Pages - Menu

Pages

Minggu, 30 Desember 2012

Rahasia selalu beruntung

Nih, Rahasia Agar Selalu Beruntung
Apakah keberuntungan dan kesialan sudah suratan takdir? Adakah cara agar kita selalu jadi orang yang beruntung?
Untuk mengetahui jawabannya, kita lihat penelitian berikut.
Dua sisi paradoks kehidupan ini rupanya menarik minat ilmuwan. Mengapa ada orang yang (merasa) selalu
beruntung, sementara sebaliknya ada yang sial dan sial lagi? Professor Richard Wiseman dari University of
Hertfordshire Inggris, mencoba meneliti hal-hal yang membedakan orang-orang beruntung dengan yang sial. Proyek
penelitannya disebut: The Luck Project.
Metode penelitiannya sebagai berikut:
Wiseman merekrut sekelompok orang yang merasa hidupnya selalu untung, dan sekelompok lain yang hidupnya selalu
sial. Memang kesannya seperti main-main, bagaimana mungkin keberuntungan bisa diteliti. Namun ternyata memang
orang yang beruntung bertindak berbeda dengan mereka yang sial.
Dalam salah satu sesi The Luck Project ini, Wiseman memberikan tugas untuk menghitung berapa jumlah foto dalam
koran yang dibagikan kepada 2 kelompok tadi. Orang-orang dari kelompok sial memerlukan waktu rata-rata 2 menit
untuk menyelesaikan tugas ini. Sementara mereka dari kelompok si Untung hanya perlu beberapa detik saja! Lho kok
bisa?
Ya, karena sebelumnya pada halaman ke-2, Wiseman telah meletakkan tulisan yang tidak kecil berbunyi "Berhenti
menghitung sekarang! ada 43 gambar di koran ini". Kelompol sial melewatkan tulisan ini ketika asyik menghitung
gambar.
Bahkan, lebih iseng lagi, di tengah-tengah koran, Wiseman menaruh pesan lain yang bunyinya: "Berhenti menghitung
sekarang dan beritahu ke peneliti Anda menemukan ini, dan menangkan $250!". Lagi-lagi kelompok sial melewatkan
pesan tadi! Memang benar-benar sial.
Singkatnya, dari penelitian yang diklaimnya "scientific" ini, Wiseman menemukan 4 faktor yang membedakan mereka
yang beruntung dari yang sial:
1. Sikap terhadap peluang
Orang beruntung ternyata memang lebih terbuka terhadap peluang. Mereka lebih peka terhadap adanya peluang,
pandai menciptakan peluang, dan bertindak ketika peluang datang.
Ternyata orang-orang yang beruntung memiliki sikap yang lebih rileks dan terbuka terhadap pengalaman-pengalaman
baru. Mereka lebih terbuka terhadap interaksi dengan orang-orang yang baru dikenal, dan menciptakan jaringan-
jaringan sosial baru. Orang yang sial lebih tegang sehingga tertutup terhadap kemungkinan-kemungkinan baru.
Warren Buffet/apollokidz.com
Sebagai contoh, ketika Barnett Helzberg seorang pemilik toko permata di New York hendak menjual toko permatanya,
tanpa disengaja sewaktu berjalan di depan Plaza Hotel, dia mendengar seorang wanita memanggil pria di sebelahnya:
"Mr. Buffet!" Hanya kejadian sekilas yang mungkin akan dilewatkan kebanyakan orang yang kurang beruntung. Tapi
Helzber berpikir lain, ia berpikir jika pria di sebelahnya ternyata adalah Warren Buffet, salah seorang investor
terbesar di Amerika, maka dia berpeluang menawarkan jaringan toko permatanya.
Maka Helzberg segera menyapa pria di sebelahnya, dan betul ternyata dia adalah Warren Buffet. Perkenalan pun
terjadi dan Helzberg yang sebelumnya sama sekali tidak mengenal Warren Buffet, berhasil menawarkan bisnisnya
secara langsung kepada Buffet, face to face. Setahun kemudian, Buffet setuju membeli jaringan toko permata milik
Helzberg. Betul-betul beruntung.
2. Menggunakan intuisi dalam membuat keputusan
Orang yang beruntung ternyata lebih mengandalkan intuisi daripada logika. Keputusan-keputusan penting yang
dilakukan oleh orang beruntung ternyata sebagian besar dilakukan atas dasar bisikan "hati nurani" (intuisi) daripada
hasil otak-atik angka yang canggih.
Angka-angka akan sangat membantu, tapi final decision umumnya dari "gut feeling". Yang barangkali sulit bagi orang
yang sial adalah, bisikan hati nurani tadi akan sulit kita dengar jika otak kita pusing dengan penalaran yang tak
berkesudahan.
Makanya orang beruntung umumnya memiliki metoda untuk mempertajam intuisi mereka, misalnya melalui meditasi
yang teratur. Pada kondisi mental yang tenang, dan pikiran yang jernih, intuisi akan lebih mudah diakses. Dan makin
sering digunakan, intuisi kita juga akan semakin tajam.
3. Selalu berharap kebaikan akan datang
Orang yang beruntung ternyata selalu ge-er terhadap kehidupan. Selalu berprasangka baik bahwa kebaikan akan
datang kepadanya. Dengan sikap mental yang demikian, mereka lebih tahan terhadap ujian yang menimpa mereka,
dan akan lebih positif dalam berinteraksi dengan orang lain.
Coba saja lakukan tes sendiri secara sederhana. Tanya orang sukses yang kamu kenal, bagaimana prospek bisnis ke
depan. Pasti mereka akan menceritakan optimisme dan harapan.
4. Mengubah hal yang buruk menjadi baik
Orang-orang beruntung sangat pandai menghadapi situasi buruk dan merubahnya menjadi kebaikan. Bagi mereka,
setiap situasi selalu ada sisi baiknya.
Dalam salah satu tesnya Prof Wiseman meminta para relawan untuk membayangkan sedang pergi ke bank, dan tiba-
tiba bank tersebut diserbu kawanan perampok bersenjata.
Reaksi orang dari kelompok sial umunya adalah: "Wah sial bener ada di tengah-tengah perampokan begitu".
Sementara reaksi orang beruntung, misalnya adalah: "Untung saya ada di sana, saya bisa menuliskan pengalaman
saya untuk media dan dapat duit".
Apapun situasinya, orang yang beruntung pokoknya untung terus. Mereka dengan cepat mampu beradaptasi dengan
situasi buruk dan merubahnya menjadi keberuntungan.
=====
Sekarang, bagaimana kita menyikapi kesimpulan Richard Wiseman? 4 faktor di atas adalah kunci untuk mendapatkan
keberuntungan. Intinya adalah: memiliki rasa syukur dan selalu berpikir positif.
Dengan terus memupuk rasa syukur dan berpikir positif, hati kita menjadi 'ringan' dan hasilnya: memancarkan aura
positif yang mendatangkan banyak kebaikan bagi kita.
Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung

48 Ikrar Amithaba Buddha

1) Apabila aku telah menjadi Buddha,andaikata,jika masih
terdapat
Alam kesedihan seperti Neraka,setan kelaparan,hewan-hewan
dan sebagainya di
negeriku,maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!.
2) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada
di negeriku, andaikata usianya telah habis dan mereka masih
diterjunkan di 3
alam Kesedihan, maka aku tak akan mencapai
samyaksambuddha!
3) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada
di negeriku, andaikata semua badannya tidak berwarna emas
sejati, maka aku tak
akan mencapai samyaksambuddha!
4) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada
di negeriku, andaikata warna kulit dan jasmaninya tidak serupa,
paras dari
mereka juga berbeda-beda ada yang cantik dan ada yang jelek,
maka aku tak akan
mencapai samyaksambuddha!
5) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada
di negeriku, andaikata mereka tidak menguasai pengetahuan
Purvanivasanu ( daya
yang dapat mengingat tumimbal-lahir yang lampau ), dan
mereka hanya mengerti
segala kejadian dari ratusan ribu Koti Nayuta Kalpa, , maka aku
tak akan
mencapai samyaksambuddha!
6) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada
di negeriku, andaikata mereka tidak memiliki Caksu (mata batin)
dan mereka hanya
biasa melihat ratusan ribu Koti Nayuta negeri-negeri Buddha,
maka aku tak akan
mencapai samyaksambuddha!
7) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada
di negeriku, andaikata mereka tidak memiliki Divyasrotra (teliga
Surga) dan
hanya bisa mendengar khotbah-khotbah dari ratusan ribu Koti
Nayuta Buddha dan
banyak ajaran Buddha mereka tidak mampu menerima
seluruhnya, maka aku tak akan
mencapai samyaksambuddha!
8.) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada
di negeriku, andaikata mereka tidak memiliki pengetehuan
Paracittajnana (daya
intuisi), mampu membaca pikiran makhluk-makhluk dari ratusan
ribu Koti Nayuta
negeri-negeri Buddha, maka aku tak akan mencapai
samyaksambuddha!
9) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada
di negeriku, andaikata mereka tidak memiliki pengetehuan
Rddhividhi (langkah
Surga) dan mereka dalam selintas merenung hanya dapat
mengarungi ratusan ribu
Koti Nayuta negeri-negeri Buddha saja, maka aku tak akan
mencapai
samyaksambuddha!
10) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada di
negeriku, andaikata mereka belum memiliki pengetehuan
Asravaksaya (daya mampu
memusnahkan kekotoran batin) dan mereka hanya memiliki ide-
egois dan selalu
memikirkan keperluan tubuh diri sendiri, maka aku tak akan
mencapai
samyaksambuddha!
11) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada di
negeriku, andaikata mereka tidak ditempatkan pada
Samyaktveniyatasi (hakikat
mutlak untuk mencapai pahala yang sesuai Sang Praktek
Dharma) agar semua dapat
mencapai Nirvana, maka aku tak akan mencapai
samyaksambuddha!
12) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada di
negeriku, andaikata sinar hidupku terbatas sehingga tidak dapat
memancar ratusan
ribu Koti Nayuta negeri-negeri Buddha, maka aku tak akan
mencapai
samyaksambuddha!
13) Apabila aku telah menjadi Buddha, andaikata masa hidupku
terbatas,meskipun sampai dengan ratusan ribu Koti Nayuta
Kalpa, maka aku tak
akan mencapai samyaksambuddha!
14) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Sravaka yang berada
di
negeriku, andaikata jumlahnya dapat dihitung oleh para
pratyekabuddha yang
berasal dari rakyat-rakyat di dunia Trisahasra-Mahasahasra
Lokadhatu hingga
lamanya ratusan ribu Kalpa, mereka dapat mengerti jumlahnya
dan tidak salah
hitung seorangpun, maka aku tak akan mencapai
samyaksambuddha!
15) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada di
negeriku, kehidupan atau usianya tidak terbatas,kecuali atas
kehendaknya mereka
senang panjang atau pendek, jika tidak demikian, maka aku tak
akan mencapai
samyaksambuddha!
16) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada di
negeriku, andaikata diantara mereka kelakuan mereka terbukti
kurang baik atau
berdosa, maka aku tak akan mencapai samyaksambuddha!
17) Apabila aku telah menjadi Buddha, andaikata para Buddha
yang berada
di sepuluh penjuru dunia jumlah tak terhingga tidak memuliakan
namaku, maka aku
tak akan mencapai samyaksambuddha!
18) Apabila aku telah menjadi Buddha, para makhluk yang
berada di 10
penjuru dunia setelah mendengar namaku lalu timbul keyakinan
dengan riang
gembira, ingin dilahirkan di negeriku dengan cara merenung atau
menyebut namaku
(Namo Amitabha Buddhaya!), andaikata setelah pelaksanaanya
genap 10 kalitidak
dilahirkan di negeriku, maka aku tak akan mencapai
samyaksambuddha.Kecuali
mereka telah memiliki dosa Pancanantarya (5 perbuatan
durhaka ) dan pernah
memfitnah Sad-Dharma dari para Tathagata.
19) Apabila aku telah menjadi Buddha, para makhluk yang
berada di 10
penjuru dunia yang telah membangkitkan Bodhicitta (bercita-cita
ingin mencapai
Kebuddhaan dan ingin menyelamatkan para makhluk), telah
mempraktekkan dan
mengamalkan berbagai kebajikan dan Dharma,dengan ini mereka
berjanji bertekad
dilahirkan di negeriku.Pada saat mereka akan mengakhiri
kehidupannya,andaikata
aku tidak bersama-sama dengan rombonganku mengelilinginya
serta menampakandiri
di depan mereka, maka aku tak akan mencapai
samyaksambuddha! Supaya aku menjadi
perwira terunggul di Triloka!
20) Apabila aku telah menjadi Buddha, para makhluk yang
berada di 10
penjuru dunia setelah mendengar namaku mengarahkan hatinya
kepada negeriku dan
menanam berbagai benih kebajikan, kemudian jasa-jasanya di-
Parinamanakan
(disalurkan) di negeriku.Andaikata cita-citanya tidak dipenuhi,
maka aku tak
akan mencapai samyaksambuddha!
21) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa,manusia,yang
berada di
negeriku, andaikata seluruh badannya tidak dilengkapi dengan
Dvatrimsa-Maha-Purusa Laksana (32 macam tanda fisik agung)
seperti badan Buddha
dan Bodhisattva,maka aku tak akan mencapai
samyaksambuddha!
22) Apabila aku telah menjadi Buddha, maka para Bodhisattva
yang lahir
di negeriku yang berasal dari pelbagai alam Buddha, semua
memiliki identitas
disebut Ekajatipratibaddha (hanya satu kali menitis telah menjadi
Buddha-pilih)
kecuali:
a) Jika mereka telah mempunyai cita-cita akan menjelmakan
raganya secara
bebas, kemudian dengan badan Nirmitanya dilengkapi perisai-
ikrar. Demi
makhluk-makhluk sengsara mereka akan menimbun jasa-jasa
sebanyak-banyakknya
untukmembebaskan segala umat dari belenggu penderitaan dan
cita-citanya ini akan
tetap sukses;
b) Jika mereka akan menjelajah
ke pelbagai negeri Buddha, guna mempraktekkan Bodhisattva-
Carita (pelaksaan
tugas Bodhisattva) disana, cita-citanya juga akan sukses;
c) Jika mereka bermaksud ingin mengadakan kebhaktian untuk
mengabdi para
Buddha yang berada di 10 penjuru dunia, ini juga akan tercapai;
d) Jika mereka akan membimbing
para umat yang banyaknya bagaikan butiran pasir Sungai
Gangga,agar umat-umat
tersebut dapat menegakkan Saddharma terangung di dalam
hatinya dan dapat
meningkatkan status mereka hingga melampaui Bhumi-
Bodhisattva yang setarap,agar
segala contoh-contoh tentang “Samantabhadra-Guna” dapat
dihayati oleh para umat
yang dibimbingnya hingga sukses.
Andaikata, keadaan mereka tidak demikian,maka aku tak akan
mencapai
samyaksambuddha!
23) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika para Bodhisattva
yang berada
di negeriku, setelah menerima Adhisthana (dikuatkan) tentang
Rddhibala Buddha (tenaga gaib Buddha) dan hendak mengabdi
para Tathagata,andaikata mereka tidak dapat megunjungi negeri-
negeri Buddha yang banyaknya ber-Koti-Koti Nayuta yang
tak terhingga dengan waktu sekali santapan, maka aku tak akan
mencapai Samyaksambuddha!
24) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika para Bodhisattva
yang berada
di negeriku itu, tiba di depan para Buddha di pelbagai dunia dan
mereka sedang menampilkan jasa-jasanya guna menhasilkan
bermacam-macam sajian agung serta alat-alat pujaan untuk
mengabdi para Buddha. Andaikata, segala niat yang dimaksudkan
oleh mereka itu tidak muncul dengan memuaskan, maka aku tak
akan mencapai Samyaksambuddha!
25) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika para Bodhisattva
yang berada
di negeriku itu, tidak mampu berkhotbah tentang pengetahuan
Sarvajna ( segala pengetahuan Buddha) kepada pengikutnya,
maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!
26) Apabila aku telah menjadi Buddha, jika para Bodhisattva
yang berada
di negeriku itu, tidak memiliki badan Vajra-Narayana (badan
sekuat seperti
Narayana) , maka aku tak akan mencapai Samyaksambuddha!
27) Apabila aku telah menjadi Buddha,para Dewa, manusia, serta
segala
sesuatu yang berada di negeriku itu, bukan saja bermutu suci
murni, bercahaya indah rupawan, melainkan juga berbentuknya,
jenisnya serta warnanyapun demikian unik. Baik umat-umat
maupun

Jumat, 28 Desember 2012

SURGA TANAH SUCI BUDDHA PADMASAMBHAVA

TANAH SUCI UDDIYANA

Buddha Liansheng pernah mengatakan :

“Adinata yang berasal dari gabungan beberapa Adinata adalah memiliki Dharmabala yang sangat besar.”

Guru Leluhur kita, Padmasambhava adalah manifestasi tubuh Sakyamuni Buddha, ucapan Amitabha dan batin Avalokitesvara Bodhisattva. Dari sini kita bisa tahu betapa luas pahala dan keagungan Tanah Suci  Buddha Padmasambhava.

Padmasambhava North West Uddiyana Pure Land

Tanah suci Padmasambhava adalah Tanah Suci Uddiyana, namun bukan menunjuk pada Negeri di India Kuno, hanya saja Padmasambhava memang memilih terlahir dari padma di danau Dhanakosha di dalam wilayah Negeri Uddiyana, dan juga Beliau di bawa oleh Raja Indraboddhi ke Istana Uddiyana, diangkat sebagai putera mahkota, maka orang kemudian menyebut Acarya Uddiyana sebagai Padmaguru, oleh karena itulah maka Tanah Suci Nya dinamakan Tanah Suci Uddiyana. (Wujin Chatu)

Perbedaan antara Tanah Suci Uddiyana dengan Tanah Suci Buddha yang lain adalah dalam hal letaknya, Tanah Suci Uddiyanna berada di Jambudvipa ini. (secara astral)

Lima Tempat Suci di Jambudvipa adalah :

1.  Yang di tengah, Boddhgaya tempat Sakyamuni Buddha mencapai ke Buddha an.

2.  Wutaishan Tanah Suci Manjusri Boddhisattva di sebelah Timur.

3.  Gunung Potaloka di Selatan tempat Avalokitesvara Bodhisattva.

4.  Tanah Suci Uddiyanna Sebelah Barat tempat Padmasambhava Bodhisattva.

5.  Sebelah Utara, Shambala tempat Raja Fayinsheng.

Yang pertama merupakan Tempat Suci yang dihormati bersama oleh ketiga Yana, (Theravada, Mahayana dan Vajrayana) ; Tempat yang kedua merupakan Tempat Suci bagi Mahayana dan Vajrayana. Yang dua terakhir adalah Tempat Suci Avenika bagi Vajrayana. Ketiga tempat yang pertama adalah tempat yang dibuat oleh manusia, bisa dibuktikan lewat sejarah. Namun dua tempat yang terakhir adalah tempat yang tidak bisa dituju oleh manusia awam. Kecuali tubuh dan batin telah mencapai tingkatan suci tertentu.

Shambala berada di tengah Himalaya, merupakan Tempat Suci Kalacakra, para sadhaka kalacakra akan terlahir di Tanah Suci tersebut, sedangkan Tanah Suci Uddiyanna adalah Tempat Suci Padmasambhava.

Menurut catatan kitab, Padmasambhava telah menjelaskan kondisi tempat tersebut. Saat Padmasambhava telah menyempurnakan pengajaran di Tibet, Beliau mengamati masa depan para insan di Jambudvipa, Nampak bahwa di sebelah Barat Daya ada Negeri Raksasa, bila tidak ditaklukkan , kelak akan mencelakai insane di Jambudvipa.

Kemudian Padmasambhava menuju ke negeri raksasa, mengubah kesadaran Raja kaum raksasa kembali ke Dharmadhatu, kemudian Padmasambhava memasuki tubuhnya, dengan memakai tubuh raja raksasa Beliau menaklukkan rakyat raksasa supaya menerima Dharma, dan menggunakan abhijna Beliau mengubah negeri tersebut menjadi Tanah Suci, yaitu Tanah Suci Uddiyanna. Sedangkan rakyat raksasa yang ditaklukkan menjadi para daka dan dakini.

Tanah Suci Uddiyana berada di sebelah Barat Laut Boddhgaya, di laut ada sebuah pulau, pulau ini pada awalnya adalah tempat tinggal para raksasa kanibal, namun juga merupakan tempat yang memperoleh adhistana Buddha Tiga Masa. Kenapa demikian ? Karena pada saat awal munculnya Tantra adalah untuk menaklukkan Raja Mara Maha Bala, setelah tertaklukkan , tubuhnya terbelah menjadi delapan bagian, jatuh ke delapan tempat, dan di adhistana dan diubah menjadi delapan tempat berkembangnya Tantrayana. Oleh karena nidana yang sedemikian unggulnya, maka dikatakan memperoleh adhistana Buddha Tiga Masa menjadi Tanah Suci Guru Padma. Tanah Suci Uddiyana ini juga selalu memperoleh adhistana dari Bunda Vajravarahi , oleh karena itu semua Bunda Dakini berkumpul di tempat ini. Suara Mantra Tantra memenuhi setiap sudut Tanah Suci ini, siapapun yang sampai kesini akan mencapai Boddhi.

Di tengah Tanah Suci Uddiyana terdapat sebuah gunung bernama Gunung Manggala Berwarna Tembaga, atau disebut juga Gunung Pahala Berwarna Tembaga, bentuk gunung ini seperti jantung. Bagian bawah gunung menembus ke Negeri Dewa Naga Bumi. Pinggang gunung adalah Tanah Suci Daka dan Dakini, sedangkan puncak gunung mencapai Surga Brahma. Raja Gunung Manggala ini sama dengan Gunung Sumeru, terbentuk dari berbagai permata. Permukaan timurnya adalah kristal, sebelah selatan adalah lazuardi, sebelah barat adalah batu mustika merah, sebelah utara adalah Raja Permata Biru. Di tengah gunung ada sebuah istana yang besar, merupakan istana Padmasambhava. Terbuat dari empat macam ratna , bercahaya, tiada luar dan dalam, melampaui keterbatasan ukuran, oleh karena itulah tiada besar dan kecil. Yang ada di sana adalah tingkatan Buddha, tidak akan bisa dipahami oleh pikiran orang awam. Sekeliling , atas dan bawah istana ini terbuat dari berbagai mustika, di sebelah luar terdapat serambi, benteng, tangga dan lainnya yang terbuat dari permata. Bahkan di keempat sisinya memiliki warna yang berbeda, timur warna biru, merupakan karya tolak bala (saantika) ; Sebelah Selatan warna kuning, simbul pemberkahan (paustika) ; Barat warna merah, simbul kerukunan dan kasih saying (vasikarana) ; Utara warna hijau bermakna penaklukkan (abhicaruka) ; Di permukaan benteng di gantungkan jala mutiara, di setiap persimpangan jala digantungkan lonceng. Di keempat pintu di empat sisinya terdapat gapura dengan dekorasi menakjubkan, semua terbuat dari permata yang sangat anggun. Di empat penjuru halaman istana terdapat deretan Pohon Pengabul Kehendak , kolam amrta, air kolam dengan alamiah selalu berbuih. Diberbagai penjuru angkasanya terdapat sinar merah seperti awan, merupakan sinar padma. Maka istana ini dinamakan Istana Sinar Padma Tanpa Batas.

Kenapa dikatakan cahaya yang memenuhi istana adalah cahaya Padma ?

Kita lihat penjelasan dalam Amitayus Sutra :

Di tempat yang terbuat dari saptaratna ada teratai padma, padma tersebut mempunyai 84000 kelopak, di tiap kelopaknya terdapat 84000 nadi, bersinar bagaikan warna dari berabagai mustika.

Tiap nadinya memancarkan 84000 jenis cahaya, di antara tiap nadinya diperanggun oleh berbagai mutiara mani. Tiap mutiara memancarkan seribu spektrum cahaya, sinar kelopak dan sinar mutiara saling bersilangan di angkasa membentuk seperti payung ratna, memenuhi Tanah Suci Sukhavati.

Penjelasan di atas adalah detail dari cahaya Padma di Tanah Suci Uddiyana, terlebih dalam Amitayus Sutra disebutkan bahwa cahaya Padma membentuk payung ratna, sedangkan di Tanah Suci Padmasambhava, cahaya Padma memenuhi segala penjuru bagaikan awan. Maka ini menjelaskan fenomena yang sama.

Tanah Suci yang tak terperikan ini adalah Tempat Suci yang sangat istimewa di dunia manusia (ket : Seperti Sambhala, berada di dunia manusia namun secara astral) , kekuatan adhistananya juga tak terperikan. Barangsiapa merenungkannya akan memperoleh adhistana yang istimewa yang akan membangkitkan Ketenangan Mahasuka.

Di dalam Istana Cahaya Padma Tanpa Batas, di tengahnya terdapat padma yang menyimbulkan tersucikannya segala nafsu keserakahan, di atas padma terdapat bantalan segi delapan matahari dan rembulan yang terbentuk dari berbagai ratna mustika. Di atas bantalan matahari dan rembulan adalah Nirmanakaya alamiah Para Buddha, yaitu Padmasambhava.

(Pujian pada Kaya (tubuh ) Rahasya Padmasambhava di Uddiyana Pureland)

Warna tubuh Padmasambhava, ekspresi Nya, mudra, jubah  dan Dharmayudham yang dipegang, semua mengikuti apa yang ditampilkan Nya. Beliau bercahaya bagaikan ribuan matahari. Tubuh Nya lebih indah dan lebih gagah daripada Gunung Agung yang Menakjubkan.  Kedua mata Nya bagaikan matahari dan rembulan, kerupawanan Nya sungguh  tak terperikan.

(Pujian pada Vak (ucapan) rahasya Padmasambhava di Uddiyana Pureland)

Suara Padmasambhava sungguh merdu dan lantang bagaikan ribuan naga yang memuntahkan awan surgawi, membabarkan sadhana mantra rahasya yang mendalam.

(Pujian pada Citta – pikiran Rahasya Padmasambhava di Uddiyana Pureland)

Batin Padmasambhava sangat luas dan mendalam, bagaikan angkasa. Dengan mahakaruna menampilkan niramankaya yang tak terhingga memenuhi Dharmadhatu, kecepatannya dalam menyelamatkan insan bagaikan sambaran kilat. Senantiasa sama rata dan memperhatikan para insan dalam mengajar.

sekitar Guru Padma, ada Dharmapala manifestasi dari Panca Dhyani Buddha. Mereka semua berdiri di atas tubuh mara penghalang di panggung teratai. Di empat sisi Padmasana Guru Padma ada empat Padmasana mengelilingi, di atasnya berdiri empat Bagian Dakini, mereka semua mengenakan hiasan kuburan (seperti mahkota lima tengkorak, kalung dari tulang, gaun kulit macan dan kalung ular), semua berdiri sambil menari penuh suka cita.

Di sisi tiap gerbang bagian luar Istana Cahaya Padma Tanpa Batas ada Para Yogi Mantra , Para Yogini, Dewa dan Dewi, memenuhi seluruh penjuru bagaikan awan, mereka memberikan persembahan dalam dan luar kepada Guru Padma.

Di atas panggung pujana di Istana juga ada banyak sekali para dewi yang membawa berbagai persembahan istimewa dari dunia, dengan awan persembahan universal memberikan pujana pada Tathagata.

source : Grand Master Book –

Senin, 24 Desember 2012

The Passionate Lotus Dakini Kurukulla

Kurukulla

One Buddhist Dakini originating from the country of Uddiyana is the goddess Kurukulla. The name Kurukulla is translated into Tibetan as Rigjyedma (rig-byed-ma), “she who is the cause knowledge.” She is associated with a king of Uddiyana named Indrabhuti. But there were at least three Indrabhutis and this is most likely the second one. Moreover, there exists a sadhana text attributed to him for the red Kurukulla in her eight-armed form. [7] But whether she had eight arms or four arms, she is generally known as the Uddiyana Kurukulla. Most modern scholars believe this indicates that Kurukulla was originally a tribal goddess, much like the Hindu goddess Durga had been in India, who later, because of her popularity, became associated with the Buddhist great goddess Tara. For this reason, Kurukulla is often called the Red Tara (sgrol-ma dmar-po) or Tarodbhava Kurukulla, “the Kurukulla who arises from Tara.”
The Magical Function of Enchantment
Kurukulla appears to have become popular originally, and she remains so even among the Tibetans today, because of her association with the magical function of enchantment (dbang gi ‘phrin-las) or the bewitching of people in order to bring them under one’s power (dbang du bsdud). More than any other figure in the Buddhist pantheon, Kurukulla becomes the Buddhist goddess of love and sex, corresponding to the Western gooddesses Aphrodite and Venus. She is depicted as a voluptuous and seductive nude sixteen year old girl. Among the attributes she holds in her four hands, four arms being her most common manifestation, are the flower-entwined bow and arrow, reminiscent of the Western Eros and Cupid, although as the goddess of witchcraft, she is more akin to Diana.
It may appear strange and ironic to us that Buddhism, originally the religion of celibate monks, should give birth to this attractive and seductive sex goddess. Buddhism as a spiritual path is ultimately concerned with enlightenment and liberation from Samsara. This ultimate goal is known as the supreme attainment or siddhi (mchog gi dngos-grub). But not all Buddhist practitioners are celibate monks living in semi-permanent meditation retreat isolated from the world. Like everyone else, Buddhists must deal with the practical circumstances of life and society. Sadhana or deity invocation is a meditation and ritual practice where the practitioner in meditation assumes the aspect or form of the deity, who is regarded as a manifestation of the enlightened awareness of the Buddha, and then invokes the spiritual powers and wisdom and capacities of that particular deity as an aid to realizing liberation and enlightenment. This Deity Yoga, or assuming in one’s meditation the archetypal form of the deity, is considered a particularly powerful method to accelerate one’s spiritual evolution. The meditation image of the deity visualized by the practitioner in sadhana, being an archetype or manifestation of enlightened awareness, and this radiant image opens a channel and acts as a receptacle for receiving the grace or blessings of the Buddha for a specific purpose. The process of visualization in meditation is a method of accessing and focusing spiritual energy, like using the lens of a magnifying glass to focus the rays of the sun in order to kindle a fire. The image of the deity is something that is concrete and accessible to human consciousness. In his own nature as the Dharmakaya, the Buddha is beyond conception by the finite human mind. The meditation deity, however, makes the unmanifest manifest and therefore accessible to consciousness. In the same way, Christians might have visions of angels that might make the grace of God manifest, but in Buddhism there are both male and female meditation deities, and Kurukulla is certainly an example of the latter.
But also associated with many sadhanas are karma-yogas or action practices aimed at achieving more worldly goals. At the popular level, this greatly added to the appeal of Buddhism. The psychic powers developed through sadhana practice are known as ordinary attainments or siddhis (thun-mong gi dngos-grub), although to us Westerners, with our historical conditioning, psychic powers hardly seem very ordinary. But in Catholic countries, one is quite familiar with such practices as lighting candles while praying to the Holy Virgin or the Saints for help with worldly matters and not just the salvation of one’s soul after death. Generally, these karma-yogas or action practices are classified into the four magical actions (‘phrin-las bzhi). To our Western consciousness, such actions appear miraculous, even supernatural, but in the Buddhist view, psychic manifestations are part of the natural order. There is nothing supernatural about them. It is just that our modern view as to what constitutes the nature of reality is too limited.
Sadhana texts speak of the four magical actions or magics:
1. White magic or Shantika-karma (zhi-ba’i ‘phrin-las) has the function of calming and pacifying conditions and healing. White Tara is an example of a deity that specifically has this white function.
2. Yellow Magic or Paushtika-karma (rgyas-pa’i phrin-las) has the function of increasing wealth, prosperity, abundance, merit, knowledge, and so on. Vasundahara and Jambhala are examples of deities with these functions. Hence they are yellow in color.
3. Red Magic or Vashya-karma (dbang gi phrin-las) has the function of bringing people under one’s power, of enchanting, bewitching, attracting, subjugating, magnetizing them. This is the primary function of Kurukulla and hence her red color.
4. Black Magic or Raudra-karma (drag-po’i phrin-las) has the function of destroying evil and obstructions to the spiritual path. This is the specific function of many wrathful manifestations such as the Dakini Simhamukha who is dark blue in color.
These four functions are allotted to the four gates of the mandala palace, namely, the white or pacifying function in the east, the yellow or increasing function in the south, the red or enchanting function in the west, and the black or destroying function in the north. With each of these four magical functions there exists an elaborate system of correspondences. But generally, in the West, there is a prejudice against magic, especially in Protestant Christian cultures, which makes it difficult for people to understand the ancient Indian and the Tibetan approach to these matters. This is compounded as well by our four hundred years of the scientific world-view, which admits mechanistic causality as the only possible natural cause of events. Magic principally relates to our dimension of energy, and this energy, according to the traditional way of thinking, is intermediate between the mental and the physical, just as the soul is intermediate between the spirit and the flesh. Ritual is simply one way to access and direct energy. Although mind or spirit is primary, the other dimensions of energy or soul and body are important.
Western tradition speaks only of two kinds of magic: white and black. The former comes from God and his angels and the latter from the Devil and his minions. But the Buddhist distinction between white and black is according to function and not intention; the intention of the Buddhist practitioner in practicing magic is always compassionate and aims at preventing evil acts, to help others and alleviate suffering, whereas the Western understanding of black magic involves the deliberated attempt to harm and injure. Therefore, in Buddhist terms, the motivation in these four magical actions is always white. Without the presence of the Bodhichitta, the thought of compassion, no action or ritual is considered to be genuinely Buddhist.
But where we find sadhana or theurgy, that is, high magic, we also find low magic or goetia, that is, common witchcraft. In the Tibetan view, these practices are not necessarily black, no more sinister than finding lucky numbers for betting on the horses, or making love potions or amulets for protection, and so on. For these common practices of folk magic, it is not even necessary to enter into meditation and transform oneself into the deity. Nevertheless, Kurukulla is also the patron of such activities. She is pre-eminently the Buddhist Goddess of Witchcraft and Enchantment. In a real sense, she represents the empowerment of the feminine in a patriarchal milieu. Again, one might invoke Kurukulla to win over the heart of one’s boss for a raise, or a client for a new sales contract, or convince the personnel representative to hire one for a job. In general, Tibetans take a very clear-eyed and practical view of life, without sentimentalizing spirituality as we tend to do in the West. They do not rigidly separate this world, with its practical concerns, from the world of the spirit.
Just as Tara in her usual green form may be called upon by Buddhists to protect them from various dangers and threats, in particular the eight great terrors and the sixteen fears, so in her red form as Kurukulla, she may be called upon to exercise her powers of enchantment and bewitchment to bring under her power (dbang du bsdud) those evil spirits, demons, and humans who work against the welfare of humanity and its spiritual evolution. However, in terms of practical magic, she can bring under the practitioner’s power a personal enemy, a boss, a politician, a policeman, or a recalcitrant lover, male or female. In Tibet, Kurukulla was also called upon when commencing the building of a new monastery, when undertaking a new business or enterprise, when going into court in order to win a law case, and other such activities, because she can subdue and subjugate the demonic and the human forces that stand in one’s way. She, together with Manjushri and Sarasvati, might even be called upon when a student faces a difficult examination in school.
A text like the Arya Tara Kurukulla Kalpa contains many ritual practices of lower magic to accomplish specific goals, for example:
1. amulets for enchanting and bringing others under one’s power,
2. spells to frighten away poisonous snakes,
3. methods for a dissatisfied wife to subjugate her husband,
4. amulets for protection from evil spirits and bad luck,
5. spells for acquiring wealth and gaining power,
6. the use of cowrie shells in divination and ritual,
7. divinations to find a treasure,
8. methods for walking on water,
9. methods to avoid getting gray hair,
10. cures for frigidity and impotence.
In one Kurukulla Sadhana found in the Sadhanamala(No. 72), there occurs a list of eight great siddhis or magical powers acquired through her practice:
1. Khadga-siddhi (ral-gri), the power to be invincible in battle with a sword (khadga);
2. Anjana-siddhi (mig-rtsi), the power to remove ordinary lack of sight by using a magical ointment that enables the user to see Devas, Nagas, and other spirits;
3. Padalepa-siddhi (rkang-pa’i byug-pa), the power to be swift of foot by using a magical ointment that, when applied to the feet, allows the user to run with incredible swiftness;
4. Antardhana-siddhi (mi snang-bar ‘gyur-ba), the power to become invisible;
5. Rasayana-siddhi (bcud-len), the power of rejuvenation and long life through obtaining the elixir of life by way of an alchemical process;
6. Khechara-siddhi (mkha’-spyod), the power to levitate or to fly through the sky;
7. Bhuchara-siddhi (zhing-spyod), the power to move freely through the earth, mountains, and solid walls; and
8. Patala-siddhi (sa-‘og), the power to have command over the spirits of the underworld (patala).
The above were not the usual concerns of monks. And these recipies are very reminiscent to folk magic practices, for example, in Afro-American traditions like Voodoo, Houdou, and Santeria. Just as a practitioner of Santeria would first invoke Allegua or Eshu before engaging in a magical rite, here the Tibetan practitioner would invoke Kurukulla. However, the Buddhist Goddess of Witchcraft, is not our familiar stereotype of the witch as an old crone in a pointed hat and a wart on her hooked nose, but she is a beautiful naked sixteen year old girl.

The Symbolic Interpretation of Her Iconography
According to the texts, Kurukulla is sixteen years old because sixteen is the ideal number that signifies perfection, four times four. Her face is beautiful and her body voluptuous and alluring, as well as being red in color, because of her magical function of enchantment and magnetism. She has a single face because she embodies non-dual wisdom beyond conventional distinctions of good and evil. She is naked because she is unconditioned by discursive thoughts. She has four arms because of the four immeasurable states of mind, namely, love, compassion, joy, and equanimity. She holds the bow and arrow entwined with flowers because she can give rise to thoughts of desire in the minds of others. In her other two hands she holds the hook that attracts and summons them into her presence and the noose by which she binds them to her will. The ornaments of human bone she wears signify the five perfections, whereas she herself embodies the sixth perfection, that of wisdom. She wears a necklace of fifty freshly severed human heads dripping blood because she vanquishes the fifty negative emotions. She is dancing because she is active and energetic, her compassionate activity manifesting in both Samsara and Nirvana. She dances, treading upon a male human corpse because she enchants and subjugates the demon of ego. She stands upon a red sun disc because her nature is hot and enflamed with passion and upon a red lotus blossom because she is a pure vision of enlightened awareness. In the practitioner’s meditation, such is the recollection of the purity (dag dran) of the vision of the goddess.
Kurukulla in the Nyingmapa Tradition
The practice of Kurukulla is found in all four Buddhist schools, especially in rituals associated with the enchanting or subjugating magical function. Indeed, in the Tangyur there are found a number of sadhana texts for Kurukulla besides that composed by king Indrabhuti. In them her name is usually not translated into Tibetan, but given in the variant form Ku-ru-ku-lle. However, the chief canonical source for the goddess, found in the Tantra section (rgyud) of the Kangyur, is the Arya Tara Kurukulla Kalpa (‘Phags-ma sgrol-ma ku-ru-ku-lle’i rtog-pa), “The Magical Rituals for the Noble Tara Kurukulla.” This text was translated into Tibetan by Tsultrim Gyewa, a Tibetan disciple of the great Indian master Atisha (982-1054). The latter was largely responsible for introducing the cult of the goddess Tara into Tibet in the 11th century.
In the Nyingmapa Terma tradition, she occurs in her two or four-armed form. In the Terma cycle of Chogyur Lingpa (1829-1870), she appears in her conventional four-armed form. In the Terma of Apong Tulku, one of the sons of the famous 19th century Terton Dudjom Lingpa, she occurs in a two-armed form, sitting at ease, appearing much like the more usual form of Green Tara. She holds in her right hand a vase filled with amrita nectar and in her left hand before her heart the stem of a lotus and on the blossom itself by her ear is a miniature bow and arrow. In this guise she is specifically called Red Tara (sgrol-ma dmar-mo). In the Terma cycle of Dudjom Lingpa (1835-1904), Kurukulla represents the inner aspect of Dechen Gyalmo, the yogini form of Yeshe Tsgyal, the consort of Guru Padmasambhava. Moreover, it is interesting that in many Nyingmapa Terma texts, including Chogyur Lingpa and Dudjom Lingpa, the Hindu god Mahadeva (or Shiva) and his consort Uma are closely associated with Kurukulla as guardian deities (srung-ma) with the magical function of enchantment. Mahadeva and Uma are offered a red torma cake and charged to fulfill the task of bringing others under one’s power.
Kurukulla in the Sakyapa Tradition
But Kurukulla is also very popular among the Newer Tantric schools. In particular, she is counted as one among “the Three Red Ones” (dmar-po skor gsum) of the Sakyapa school and she is included among the Thirteen Golden Dharmas, which the Sakyapas had received from India and Nepal. These teachings are called Golden Dharmas (gser chos), not only because they represent very precious teachings, but because in those days (11th century) Tibetan students had to pay a lot of gold for the teachings obtained from Indian masters. Tibet was famous for its rich gold deposits. Moreover, in the large Sakyapa collection of sadhanas known as the sGrub-thabs kun-btus are found five sadhanas for Kurukulla in the Sakyapa tradition. But for the Sakyapas, the source par excellence for the practice of Kurukulla is in the Shri Hevajra Mahatantraraja, according to the tradition of Lalitavajra, and coming to them from the Mahasiddha Virupa and the Tibetan translator Drogmi (‘Brog-mi ye-shes, 993-1050). She is known as Hevajra-krama Kurukulla and appears in the usual four-armed form.
As it says in this Tantra (Part I, chapter 11, vv. 12-15): “Now I shall explain the sadhana for Kurukulla by means of which all beings may be brought into subjugation. Previously, this had been explained extensively in the twelve parts (of the larger version of the Tantra), but here it is condensed in brief. The Goddess originates from the syllable HRIH. She is red in color and has four arms. Her hands hold the bow and arrow, as well as the utpala flower (whose stem is a noose) and the iron hook. By merely meditating upon her, one brings the three worlds under one’s power. With one hundred thousand recitations of her mantra, one brings kings (under one’s power), with ten thousand recitations the masses of ordinary people of the world, with ten million recitations cattle and the Yakshas (earth spirits), with seven hundred thousand recitations the Asuras, with two hundred thousand recitations the Devas, and with one hundred recitations other Mantra practitioners.”
She is mentioned in two other places in the second chapter of Part I (v. 19 and v. 26) and here her mantra is given, together with the action mantras that may be appended to it for specific magical purposes.
Taranatha (b. 1575), in his collection, the Rin-byung brgya-rtsa, gives a sample Kurukulla sadhana from the Sakyapa tradition: “From out of the state of emptiness arise the eight cremation grounds. In their midst, from the syllable PAM appears a red lotus blossom. At its center, from the syllable RAM, appears a solar disc, on which arises the red syllable HRIM, with a long vowel mark and visarga. From this syllable emanate rays of light like hooks and nooses, which make offerings to all the Exalted Ones, thereby establishing all sentient beings in the state of Our Holy Lady. Thereafter they return and are dissolved into the syllable HRIM, whereupon I transform into Shri Kurukulla. She is red in color, with a single face and four arms. One pair draw a bow entwined with flowers and an utpala-tipped arrow at her ear. Her other right hand holds an iron hook that summons and her other left hand holds the stem of an utpala flower that forms a noose. She displays her fangs; she has three eyes and round breasts, being like a maiden sixteen years of age. Her tawny hair streams upward. She is adorned with five dried skulls (as her tiara), she has a long necklace of fifty freshly severed heads. She is adorned with ornaments of human bone and has a tiger skin across her thighs. She stands in ardhaparyanka dance position, with her left leg extended, upon a human corpse whose face shows to her left, amidst red rays of light and blazing masses of fire. At her crown is the syllable OM, at her throat is the syllable AH, and at her heart is the syllable HUM. In the center of her heart, upon a red utpala blossom and a solar disc, is the red syllable HRIM.”
Other Forms of Kurukulla
As we have said, this form of red Kurukulla with four arms is also known as Uddiyana Kurukulla or Uddiyanodbhava, the Kurukulla who comes from Uddiyana. And again, she is known as Tarodbhava Kurukulla, she who arises from Tara. But there exist also two-armed and eight-armed forms of Kurukulla. The Ashtabhuja Kurukulla with eight arms appears in a sadhana attributed to king Indrabhuti in the Tangyur and in a sadhana in the Sadhanamala collection (No. 174). Her first two hands make the gesture of Trailokyavijaya-mudra or “victory over the three worlds”, while her other right hands hold the iron hook, an arrow, and make the gesture of supreme generosity, varada-mudra. Her other left hands hold the noose, the bow, and the red lotus. Her two legs are in vajrasana position. Moreover, she is surrounded by a retinue of eight goddesses resembling herself, but with four arms: in the east Prassana Tara, in the south Nishpanna Tara, in the west Jaya Tara, in the north Karna Tara, in the southeast Aparajita, in the southwest Pradipa Tara, in the northwest Gauri Tara, and in the northeast Chunda.
There is also a two-armed white form of Kurukulla known as Shukla Kurukulla in the Sadhanamala (No.185). She has a single face that is calm and beautiful and the Buddha Amitabha adorns her crown. Her two hands hold a mala or rosary and a bowl full of lotus flowers. Her two legs are in vajrasana position. She adorns her body with serpents who are the great Naga kings: Ananta is her hair ribbon, Vasuki is her necklace, Takshaka is her ear rings, Karkotaka is her sacred thread, Padma is her girdle, Mahapadma is her anklet, and so on.
Kurukulla will also appear at times in the retinues of other deities. Two examples are given by Nebesky-Wojkowitz: In the mandala of the wealth god, the red Jambhala, she appears in her usual four-armed form and in the mandala of the four-armed Mahakala (Ye-shes mgon-po phyag-bzhi-pa) according to the system of Shantigupta, she appears in the southwest in a red two-armed form.
She was also taken into Hinduism for her name is found among the one thousand epithets of Mahadevi in the Lalita-sahasra-namah. She is represented as a dancing beautiful maiden or kumari.

Minggu, 23 Desember 2012

Pertanyaan Ananda tentang Amitabha Buddha

O, Bhagavan yang termulia!” Arya Ananda tiba-tiba bertanya pada Sang Buddha Sakyamuni: “Apakah Sang Bhiksu Dharmakara sudah menjadi Buddha? Apakah Beliau sudah Parinirvana atau belum? Dan di manakah Beliau berada pada masa sekarang? mohon dijelaskan!”

“O, Arya Ananda!” Sang Buddha melanjutkan sabdaNya: “Bhiksu Dharmakara O, Beliau telah menjadi Buddha yakni Buddha Amitayus juga disebut Buddha Amitabha! Kini, Beliau berada di Surga Barat, jaraknya
kira-kira ratusan ribu Koti Buddhaksetra (alam Buddha) Terbahagia!”

“O, Sudah menjadi Buddha?” Arya Ananda tanya lagi: “Kapankah? Sudah berapa lamakah Beliau mencapai Kebudhaan O, Bhagavan?”

“Lamanya sudah 10 Kalpa!” Sabda Buddha Sakyamuni: “Ketahuilah O, Arya Ananda! Seluruh bumi dari alam Buddha Amitayus (Amitabha) bukan tanah! Melainkan, bumiNya adalah kombinasi-kombinasi dari unsur-unsur Suvarna (emas), Rupya (perak), Vaidurya (lazuardi), Sphatika (kristal), Pravada (bunga karang), Musaragalva (indung mutiara) dan Asma-garbha (akik), jumlah 7 jenis permata yang bermutu tertinggi! 

Demikian pula, lingkungan dari seluruh bumi amat lapang, luas, terbesar dan tanpa batas. Permata-permata yang menjadi bumi itu semua disusun satu jenis demi satu jenis atau berganti-ganti, sehingga sinar permata terus gemerlapan, kelihatan demikian indah, megah, jernih dan menakjubkan! Mutu permata tidak berbeda dengan permata Surga Paranirmitasvara! Baik kwalitasnya maupun keindahannya telah melampaui mustika-mustika terunggul di pelbagai dunia di 10 penjuru! Lagi, alam BuddhaNya tidak ada gunung Sumeru atau gunung Cakravada dan gunung-gunung lain; Juga tidak ada laut biasa atau laut terbesar; Juga tidak ada sungai, selokan, ngarai atau lembah dan sebagainya. 

Kesemuanya itu adalah penciptaan oleh daya Rddhibala Buddha Amitayus (Amitabha)! Pada hakikatnya, apabila Sang umat ingin menyaksikan keadaannya atau ingin memandangnya meliputi pegunungan atau lautan, danau, sungai dan sebagainya pasti dapat dilihat atau dinikmati oleh mereka, asalkan Sang umat tekun melaksanakannya DharmaNya hingga dirinya dilahirkan ke Pantai-seberang (Sukhavati arti- nya)!”

“Lagi O, Arya Ananda! Di alam Buddha Amitabha juga tiada “Alam Kesedihan” seperti Neraka, Setan kelaparan, Hewan-hewan dan sebagainya! Di sana juga tiada 4 musim, maka itu baik waktu disebut Semi, Kemarau maupun, Gugur, Dingin, tapi suhunya sama sekali tidak pernah berubah-ubah, hingga penduduk yang berada di negeri tersebut tanpa merasa dingin atau panas, hanya merasa dilingkungannya demikian segar dan nyaman baginya!”

Saat itu, Arya Ananda tanya lagi kepada Sang Buddha Sakyamuni: “O, Bhagavan yang termulia! Bagaimanakah kalau alam Buddha Amitabha tidak mempunyai Gunung Sumeru, Surga-Surga dari Catur-Maha Raja
Kajika dan Surga Trayastrimsa akan bertempat di mana:”

Sang Buddha Sakyamuni bersabda kepada Arya Ananda: “O, Arya Ananda! Jika menurut anggapan anda, Surga-Surga tersebut itu harus mempunyai gunung Sumeru sebagai pesandaran; Akan tetapi,
Surga Yama terus ke atas hingga Surga Akanistha semua asalnya menyandar apa? Itu kata tiada pesandaran sama sekali!”

“Astaga!” Teriak Arya Ananda agak terperanjat: “Karma baik atau jahat, pasti ada buahnya! Sungguh, makna itu tak mudah diperkirakan O, Bhagavan!”

“Betul O, Arya Ananda!” Sabda Sang Buddha lagi: “Karma baik pasti diperoleh pahala agung; Karma jahat tetap kena hukuman, ini ‘Hukum-Karma’! Apakah makna ini tak mudah diperkirakan oleh anda? Apalagi, Alam-alam Buddha yang dimiliki oleh para Tathagata malahan lebih sulit diperkirakan oleh anda! Pada hakikatnya, setiap umat dapat memiliki pahala terunggul; Dapat menikmati kebahagiaan teragung di atas Buminya, semua adalah berkat dari kebajikan mereka. Apakah anda masih sangsi terhadap makna-makna tersebut?”

“Tidak O, Bhagavan yang termulia!” Jawab Arya Ananda: “Aku sama sekali tidak akan sangsi terhadap Dharma luhur yang dibabarkan oleh Maha Guru! Cuma, aku khawatir para umat pada masa mendatang apalagi Dharma luhur telah didengar oleh mereka, mungkin dipikiran mereka akan timbul keragu-raguan. Demi memberantas keragu-raguan di dalam pikirannya, maka aku berniat menanyakan tentang maknanya kepada Sang Buddha dan inilah maksudnya!”

Sang Buddha bersabda kepada Arya Ananda: “O, Arya Ananda yang bijak! Ketahuilah, Buddha Amitayus atau Amitabha memiliki kewibawaan serta sinar hidup sangat luhur dan paling terang! Sinar cahaya dari para Buddha tidak dapat dibandingkan dengan Sinar Buddha Amitayus Dan sinar yang demikian terang dari Buddha tersebut dapat menembus ratusan Koti bahkan ribu-ribuan Koti dunia Buddha yang berada di 10 penjuru! Singkat kata, sinar hidup Buddha Amitayus dapat memancar hingga ke negeri Buddha dibagian Timur yang banyaknya bagaikan butiran-butiran pasir di Sungai Gangga! 

Demikian pula, di sebelah Selatan, di sebelah Barat, Utara, Timur-laut, Tenggara, Barat-daya, Barat-laut, bagian atas dan bagian bawah sejumlah 10 penjuru dunia Buddha semua terkena sinarNya! Pancaran yang paling pendek adalah 7 kaki atau satu Yojana atau 2 Yojana, menjadi lagi 3, 4, 5, Yojana. 

Akan tetapi, daya terangnya dapat berlipat ganda dan memancar terus tanpa henti yakni mulai dari satu Yojana, kemudian menjadi 2 Yojana, menjadi lagi 4 Yojana hingga 8, 16, 32 … dan seterusnya hingga satu Buddhaksetra dan lebih jauh lagi! Maka dari itu, gelar dari Buddha Amitayus disebut: Amitabha (cahaya tak terbatas), Amitayus (kehidupanNya tak terbatas), Amitaprabha (terangNya tak terhingga), Amitaprabhasa (memiliki cemerlang tak terhingga), Asamaptaprabha (cahayaNya tak berakhir), Asangataprabha (cahayaNya tanpa melekat), Prabhasikhotsrstaprabha (cahayaNya proses dari menyala), Sadivyamaniprabha (cahayaNya dari manikam Surga), Apratmatarasmirajaprabha (cahaya dari Raja-sinar berpancar terus), Rajaniyaprabha (cahayaNya terindah), Premaniyaprabha (cahayaNya yang tersayang), Pramodaniyaprabha (cahayaNya yang tergembira), Sangamaniyaprabha (cahayaNya yang terpesona), Uposaniyaprabha (cahayaNya yang tersenang), Anibandhaniyaprabha (cahayaNya tanpa henti), Ativiryaprabha (cahayaNya yang penuh kuasa), Atulyaprabha (cahayaNya yang tak terbanding), Abhibhuyanarendrabhutrayendraprabha (cahayaNya melampaui segala cahaya dari para Raja Indra di Surga), Srantasancayendusuryajihmikaranaprabha (cahayaNya melampaui cahaya Bulan purnama serta cahaya Sang Surya), Abhibhuyalokapalasakrabrahmasuddhavasamahesvarasar vadevajihmikaranaprabha (cahayaNya melampaui sinar Lokapala, Sakra, Brahma, Suddha-vasa, Mahesvara dan segala cahaya Dewa Jihmikarana).”

“Yang penting O, Arya Ananda!”Sang Sakyamuni Buddha melanjutkan sabdaNya: “Barangsiapa yang dapat kesempatan menemukan sinar hidup Buddha Amitayus yang demikian terang benderang itu, ke 3 jenis ‘Kotoran’ (ketamakan, kebencian dan kebodohan) yang pernah dimilikinya lantas lenyap total! Baik lahir maupun batin dari mereka akan terasa lemah-lembut; terasa halus budi dan bersemangat riang-gembira! Demikian pula, jika para makhluk yang berada di “Tiga Alam Kesedihan” sedang menderita berbagai sengsara, setelah mereka menemukan sinar tersebut, hilanglah segala belenggu-belenggu apapun dalam sepintas! Dan apabila usia mereka telah habis segeralah bebas dari alam kesedihan tersebut dan dilahirkan di dunia manusia atau Surga!”

“O, Arya Ananda! Ketahuilah, oleh karena sinar hidup Buddha Amitayus demikian terang benderang, maka dunia-dunia dari para Buddha di 10 penjuru tak akan ada seorang Buddha pun yang tidak mendengar nama Beliau bukan hanya aku yang menyanjungi Beliau di dunia Sahaloka, para Buddha, para Sravaka, Pratyekabuddha, para Bodhisattva semuanya memuji jasa-jasaNya! O, Arya Ananda! Ketahuilah, andaikata terdapat para umat yang berbudi setelah mendengar jasa-jasa Beliau; Kewibawaan dan sinar hidup yang terang benderang dari Beliau, lantas mengarahkan hatinya ke alam Buddha Amitayus, kemudian dengan sepenuh kebulatan tekad memuliakan namaNya. 

Demikian pula, mereka di siang hari, malam hari atau di suatu kesempatan dengan khidmat menceritakan tentang hal-hal Buddha Amitayus kepada para makhluk, supaya makhluk-makhluk apapun dapat memperoleh manfaatNya. Maka, Sang umat yang berbudi itu boleh menurut kehendaknya atau cita- citanya, agar dilahirkan di “Sukhavati” yakni alam Buddha yang terbahagia! Dan kelakuan atau perbuatan yang terpuji dari Sang umat tersebut akan selalu dipuji oleh para Bodhisattva serta para Sravaka, Pratyekabuddha dan lain-lainnya!Saat Sang umat tersebut sedang mencapai Kebuddhaan, sinar hidup merekapun tidak berbeda dengan Buddha Amitayus atau Amitabha.Dan para Buddha serta para Bodhisattva yang berada di 10 penjuru dunia juga ikut bergembira, sehingga keadaannya seperti sekarang kalian memuji Buddha Sakyamuni dengan hati riang gembira!”

Amitabha Buddha dan Surga Sukhavati





Amitabha Buddha dan Surga Sukhavati 
Wednesday, 30 January 2008
oleh: Tim Rohani KMBUI XV

Amitabha (Amitofo) merupakan kata yang sudah tidak asing kita dengar. Sebenarnya, apakah teman-teman tau makna daripada kata itu? Kita mungkin sering menyebutkan kata tersebut ketika bertemu dengan teman sedharma atau ketika kita melakukan puja. Kata Amitabha atau Amitayus, disampaikan oleh Buddha Gautama dalam Sutra Amitabha. Berikut ini adalah kitipan dari Sutra Amitabha yang menjelaskan tentang makna dari nama Amitayus:
“Dari panjangnya usia Hyang Bhagava Amitabha, Hyang Tathagata. Oh Ananda, tidaklah terukur, sehingga sulit untuk diketahui lainnya, agar dapat dikatakan (bahwa itu meliputi) begitu banyak ratusan kalpa, begitu banyak ribuan kalpa, begitu banyak ratusan ribu kalpa, begitu banyak berkoti-koti kalpa, begitu banyak ratusan koti kalpa, begitu banyak ribuan koti kalpa, begitu banyak ratusan ribu koti kalpa, begitu banyak ratusan ribu niyuta koti kalpa. Karenanya, Hyang Tathagata itu disebut Amitayus.”

Jadi dapat disimpulkan, Buddha Amitabha (Amitayus) adalah Buddha Cahaya Tanpa Batas yang usianya tidak terbatas oleh waktu. Negeri tempat beliau tinggal disebut Sukhavati yang kunon dikatakan berada nun jauh di sebelah barat bumi kita. Amitabha Buddha memiliki empat puluh delapan ikrar, yang isinya terutama untuk mendirikaan tanah suci atau surga, yang penghuninya dapat menghayati kehidupan berkebahagiaan tingkat tertinggi. Makhluk hidup yang memanggil nama Beliau, untuk memohon pertolongan, akan Beliau bawa mengarungi samudera kehidupan, hingga tiba di Tanah Suci yang Beliau ciptakan itu. Di antara ke-48 Ikrar-Nya, ada tiga yang merupakan Ikrar yang paling utama, yaitu:
  1. Saya bersumpah bahwa makhluk-makhluk hidup yang ada di sepuluh penjuru mata angin, yang mempercayai ajaran Buddha, Saya usahakan agar semuanya dapat dilahirkan di Tanah Suci ini. Apabila diantara mereka masih masih ada yang belum dapat terlahirkan di Tanah Suci Saya itu, Saya tidak akan mau menikmati hasil Pencerahan Agung (Pencapaian Nirvana) secara sempurna, yang telah Saya capai.
  2. Saya bersumpah bahwa makhluk-makhluk yang telah berusaha dengan segenap kemampuan jiwanya untuk mencapai tingkat Ke-Bodhi-an, dan yang telah melatih diri untuk memiliki, memelihara, dan meningkatkan jasa-jasa kebaikan dan kebajikannya, Saya usahakan agar semuanya dapat dilahirkan di Tanah Suci Saya itu. Pada saat-saat menjelang kematiaannya, maka makhluk tersebut akan dikelilingi oleh Para Penolong Gaib (yang akan mengantarkan orang-orang yang telah meninggal dunia itu, ke Tanah Suci atau Surga ciptaan Saya itu). Apabila diantara mereka masih masih ada yang belum dapat terlahirkan di Tanah Suci Saya itu, Saya tidak akan mau menikmati hasil Pencerahan Agung (Pencapaian Nirvana) secara sempurna, yang telah Saya capai.
  3. Saya bersumpah bahwa makhluk-makhluk hidup yang ada di sepuluh penjuru mata angin, yang mendengar nama Saya, yang telah memikirkan mengenai Tanah Suci yang Saya ciptakan, dan telah merencanakan akan berbuat kebajikan-kebajikan, Saya usahakan agar mereka itu dapat terlahirkan di Tanah Suci Saya itu. Apabila diantara mereka masih masih ada yang belum dapat terlahirkan di Tanah Suci Saya itu, Saya tidak akan mau menikmati hasil Pencerahan Agung (Pencapaian Nirvana) secara sempurna, yang telah Saya capai.

Sekarang , yang menjadi pertanyaan, bagaimana agar dapat terlahir di Tanah Suci ini?
“Karena tekad lampau (purva-pranidhana) Ku, maka makhluk-makhluk yang dengan cara apapun pernah mendengar nama-Ku, selamanya akan pergi ke negeri-Ku (tanah suci Sukhavati). Tekad-Ku, yang mulia ini telah tercapai dan setelah makhluk-makhluk dari berbagai alam datang kemari ke hadapan-Ku, mereka tak akan pernah berlalu dari sini, meskipun hanya untuk satu kelahiran.” (Mahasukhavativyuha Sutra 50:17)
Selain itu, di dalam Amitayurdhyana Sutra, dijelaskan beberapa hal yang dapat menyebabkan kita terlahir di Sukhavati.

“Jenis kelahiran mulia (dalam alam Sukhavati) tingkat tinggi dapat dicapai oleh mereka yang di dalam pencarian mereka untuk terlahir di sana, telah mengembangkan tiga macam pikiran. Engkau mungkin akan bertanya apakah ketiga macam pikiran itu:
  1. Pikiran yang tulus,
  2. Pikiran yang penuh keyakinan,
  3. Pikiran yang terpusat pada tekad untuk terlahir di alam Sukhavati dengan mempersembahkan segenap kumpulan kebajikan yang mengakibatkan kelahiran kembali di sana.

Mereka yang telah menyempurnakan ketiga macam pikiran ini pasti akan terlahir di alam Sukhavati.
Dedikasi:
“Semoga lenyaplah tiga kumpulan karma buruk yang menjengkelkan”
“Semoga memperoleh kebijaksanaan dan kesadaran yang nyata”
“Semoga semua hambatan dan karma buruk lenyap”
“Semoga senantiasa hidup melaksanakan Jalan Bodhisattva”.

Kisah Hidup Atisha



Genshe Ngawang Dhargyey
terjemahan lisan oleh Sharpa Tulku
dipersiapkan dan disunting oleh Alexander Berzin
diperbaiki sedikit oleh Alexander Berzin, November 2003
Versi asli dicukil dari
Anthology of Well-Spoken Advice, vol 1.
Dharamsala, India: Library of Tibetan Works & Archives 1982.
Pesan naskah aslinya langsung dari Snow Lion Publications.

Masa Kecil dan Penyerahan Hidup Kepangeranan

Di bagian timur India, di tanah Jahor, di kota Bangala, di Istana Panji Emas, hiduplah Raja Kalyana yang Baik Hati dan Ratu Prabhawati yang Berseri. Istana kerajaan itu dimahkotai dengan tiga belas atap emas yang memuncaki satu sama lain dan megah dihiasi dengan 25.000 panji-panji emas. Istana itu dikelilingi oleh taman, kolam, dan kebun indah yang tak terhitung jumlahnya. Kerajaan itu sendiri sama kaya-rayanya dengan kerajaan-kerajaan kuno Cina yang mewah.
Pasangan raja-ratu itu memiliki tiga putra, Padmagarbha, Chandragarbha, dan Shrigarbha. Pangeran kedua inilah yang tumbuh menjadi guru panutan kita, Atisha (982-1054 M).
Ketika Atisha berumur delapan belas bulan, orangtuanya mengadakan pertemuan umum pertamanya di puri setempat, Kamalapuri. Tanpa diperintah, Atisha melakukan sembah-sujud pada benda-benda mulia di dalam kuil dan dengan tanpa diminta ia berkata, “Karena welas asih dari orangtuaku, aku telah beroleh hidup yang berharga sebagai manusia yang kaya akan kesempatan untuk menyaksikan kalian semua, tokoh-tokoh luar biasa. Aku akan selalu mencari arahan (perlindungan) hidup dari kalian semua.” Saat diperkenalkan pada rakyatnya di luar, ia berdoa supaya dapat menyadari daya penuh yang ia miliki agar dapat memenuhi setiap kebutuhan mereka. Ia juga berdoa untuk mampu mengenakan jubah pencari rohani yang menyangkal hidup keluarga, tak pernah pongah, dan selalu memiliki perhatian welas asih dan kepedulian penuh kasih sayang bagi sesama. Hal ini sangat luar biasa untuk dilakukan seorang bocah yang masih begitu belia.
Saat Atisha tumbuh besar, keinginannya untuk menjadi biksu fakir membuncah lebih hebat daripada sebelumnya, tapi orangtuanya punya harapan yang berbeda. Dari ketiga putra mereka, Atisha adalah yang paling cemerlang, dan pertanda-pertanda baik yang hadir di saat kelahirannya membuat mereka percaya bahwa Atisha seharusnya menjadi pewaris tahta raja. Oleh karena itu, ketika bocah itu berumur sebelas tahun, usia lazim untuk menikah pada masa itu, kedua orangtuanya membuat persiapan-persiapan teliti bagi pernikahannya.
Menjelang hari pernikahan, sosok Buddha (yidam) Tara menampakkan diri dalam mimpi Atisha. Ia memberitahukan bahwa selama 500 kehidupan berturut-turut Atisha telah menjadi biksu fakir dan karenanya tak memiliki ketertarikan pada kenikmatan fana dunia ini. Ia menjelaskan bahwa seorang awam yang terperangkap dalam kenikmatan-kenikmatan itu akan mudah diselamatkan, seperti menarik seekor kambing yang terjebak dalam pasir isap. Tapi, sebagai pengeran, Atisha akal sulit untuk ditarik seperti halnya menarik gajah dari perangkap pasir. Atisha tidak memberitahukan mimpi ini pada siapa pun, tapi dengan lain alasan ia dengan cerdik berkelit dari pernikahannya.
Atisha merasa betul-betul yakin bahwa ia harus menemukan seorang guru rohani, tapi berkata pada orangtuanya bahwa ia hendak pergi berburu, ia pun meninggalkan istana dengan ditemani 130 prajurit berkuda. Pertama-tama, di hutan ia bertemu Jetari yang kudus, seorang lelaki berkasta brahmana yang hidup sebagai seorang petapa Buddha. Dari Jetari, Atisha secara resmi menerima sebuah arahan aman dalam kehidupan dan mengambil sumpah bodhisattwa. Lelaki kudus ini kemudian mengirim Atisha ke wihara perguruan tinggi Nalanda yang sunyi dan ke guru rohani Bodhibhadra.
Atisha segera berangkat bersama seluruh prajurit berkudanya dan di sana, dari Bodhibhadra, ia kembali menerima sumpah dan ajaran bodhisattwa. Ia kemudian diarahkan ke Vidyakokila yang agung untuk perintah lebih lanjut dan kemudian ke Avadhutipa yang ternama. Guru yang terakhir ini menasihati Atisha untuk pulang, berlaku hormat pada setiap orang, tapi juga untuk coba melihat semua kekecewaan dari hidup penuh kemewahan itu, kemudian kembali lagi untuk melapor.
Kedua orangtua Atisha bersuka melihatnya dan berpikir akhirnya ia akan menetap, mengambil seorang istri, dan mempersiapkan kepemimpinannya di masa mendatang. Akan tetapi, Atisha memberitahu mereka bahwa ia sebenarnya pergi mencari guru rohani untuk mendapatkan arahan. Ia mengakui bahwa yang ia inginkan adalah menjalani hidup perenungan yang tenang dan ia pulang untuk memohon izin supaya dapat meninggalkan tugas-tugas kepangeranannya.
Terhenyak oleh kata-kata Atisha, orangtuanya mencoba untuk menghalangi kepergiannya. Mereka berkata bahwa ia boleh memadukan dua kehidupan itu dan menawarkan padanya pembangunan biara-biara sunyi di dekat istana dan mengizinkannya belajar, memberi makan orang miskin, dan seterusnya. Mereka memohon agar ia tak kembali ke hutan. Tapi, Atisha memberitahu mereka bahwa ia tak punya sekelumit pun minat terhadap kehidupan istana. “Bagiku,” ia berkata, “istana emas ini tak ada bedanya dari penjara. Putri yang ayah dan ibu tawarkan tak ada bedanya dari putri roh jahat, makanan manis di sini tak ada bedanya dari daging anjing busuk, dan pakaian satin dan perhiasan ini tak ada bedanya dari kain rombeng di tumpukan sampah. Sejak hari ini, aku teguh untuk hidup di hutan dan belajar dari kaki guru Avadhutipa. Yang kuminta hanyalah sedikit susu, madu, dan gula aren dan aku akan beranjak pergi.”
Tak ada yang bisa diperbuat kedua orangtua Atisha selain menyetujui permintaannya. Demikianlah, Atisha kembali ke hutan dengan bekal-bekal yang dimintanya dan serombongan besar dayang kerajaan yang membuatnya malu. Orangtua Atisha rupanya bersikeras supaya rombongan ini ikut serta. Avadhutipa lalu mengirim pangeran muda ini ke guru Rahulagupta, di Gunung Hitam, untuk memasuki latihan tantra. Atisha tiba dengan seluruh prajurit berkudanya dan memberitahu guru vajra ini betapa ia telah belajar dari banyak guru, tapi masih belum mampu mengibaskan keterikatannya pada kehidupan istana. Rahulagupta menawarinya pemberdayaan yang pertama, yaitu latihan Hevajra, sosok Buddha yang akan menjadi tempatnya untuk mengikatkan pikiran. Rahulagupta kemudian mengirim Atisha kembali ke istana dengan delapan pengikutnya, empat laki-laki dan empat perempuan, berpakaian compang-camping dengan hiasan tulang khas mahasiddha, sosok-sosok luar biasa dengan pencapaian nyata.
Selama tiga bulan, Atisha tinggal di lingkungan istana dengan kawan-kawan barunya yang aneh ini, berperilaku dalam sikap yang sepenuhnya tak biasa dan kurang ajar. Pada akhirnya, orangtua Atisha terpaksa menghapus semua harapan atas putra berharga mereka. Mengira Atisha telah gila, mereka memberikan izin penuh baginya untuk pergi bersama kawan-kawannya yang berperawakan menjijikkan itu dan menghilang untuk selamanya.

Pelajaran-Pelajaran di India dan Pulau Emas

Atisha dengan segera kembali ke gurunya, Avadhutipa, dan kini, dari usia 21 sampai 25 tahun, ia mempelajari secara mendalam pandangan jalan tengah Madhayamaka terhadap kenyataan. Selama rentang waktu ini, ia juga belajar dengan banyak guru mahapandai lainnya dan menjadi sungguh berpengalaman dalam semua sistem latihan tantra. Malah, ia menjadi agak congkak dengan pengetahuan luasnya itu dan merasa dirinya pandai tentang aturan-aturan tersembunyi untuk melindungi cita ini dan bahwa ia telah menguasai seluruh naskahnya. Tapi kemudian, ia menerima penglihatan murni dari dakini, seorang perawan samawi yang gerakan-gerakannya tak dirintangi kebodohan, yang memegang banyak jilid aliran abadi dari sistem tantra seperti itu. Ia berkata pada Atisha, “Di tanahmu, hanya ada sedikit naskah semacam itu, tapi di tanah kami ada begitu banyak.” Setelah itu, kecongkakan Atisha mengempis.
Satu hari, ia memutuskan untuk pergi dan mengabdikan seluruh tenaganya pada latihan-latihan tantra untuk mewujudkan daya paling penuh dalam hidupnya. Guru vajranya, Rahulagupta, kemudian muncul dalam sebuah mimpi dan menasihatinya supaya tidak berbuat demikian dan meninggalkan semua orang, namun supaya menjadi seorang biksu fakir. Ia seharusnya lanjut dalam sikap ini dengan latihan yang ajeg dan mencapai pencerahan sempurna saat waktunya tiba. Karenanya, di usia 29 tahun, Atisha menerima dari tetua Shilarakshita jubah pencari rohani yang telah meninggalkan kehidupan keluarga dan diberi nama Dipamkara Jnana, “Ia yang Kesadaran Mendalamnya Bertindak sebagai Pelita.”
Selama 12 pertama setelah mengenakan jubah itu, Atisha belajar di wihara perguruan tinggi Odantapuri dengan Dharmarakshita yang agung, penulis naskah lojong (latihan cita) yang terkenal untuk pembersihan sikap-sikap kita, Cakra Senjata-Senjata Tajam. Mereka memusatkan perhatian pada semua aturan Hinayana atau cita-bersahaja untuk diambil sebagai wahana menuju pembebasan, tapi Atisha selalu tak merasa puas. Ia mendamba cara tercepat untuk mewujudkan daya terpenuhnya.
Guru vajranya, Rahulagupta, berkata pada Atisha, “Tak peduli seberapa banyak penglihatan murni yang kamu terima, kamu harus berlatih untuk menumbuhkan kasih peduli, nuraga welas asih, dan tujuan bodhicita yang dipersembahkan khusus untuk membawa manfaat bagi sesama dan untuk mencapai pencerahan.” Rahulagupta menasihati Atisha untuk berjanji sepenuh hati dalam dirinya pada sosok Buddha Avalokiteshvara, untuk mengikat erat citanya dengan dirinya dan bergiat untuk jadi tercerahkan supaya ia bisa melakukan yang terbaik untuk membebaskan setiap orang dari samsara, keadaan yang terus terjadi tanpa terkendali. Hanya dengan pencapaian ini Atisha mampu mewujudkan daya terpenuh yang dimilikinya.
Di Vajrasana, Tempat Duduk Vajra, di Bodh Gaya sekarang, ketika sedang mengelilingi tugu peninggalan stupa besar untuk menghormati Buddha, Atisha mendengar dua patung saling berbisik di sudut di balik stupa itu. Yang satu bertanya pada yang lain, “Jika kamu ingin meraih pencerahan secepat mungkin, dalam apa seharusnya kamu berlatih?” “Hati bodhicita yang penuh mengabdi” adalah balasannya. Dan sembari mengelilingi pucuk tugu tersebut, sebuah patung Buddha, Guru Agung Pelampau Segala, berbicara padanya, “O biksu fakir, jika kamu ingin mewujudkan daya terpenuhmu dengan cepat, berlatihlah dalam cinta, welas asih, dan bodhicita.”
Kala itu, guru paling tenar yang mengampu ajaran lengkap tentang cara menumbuhkan bodhicita adalah Dharmakirti (Dharmapala) Guru Mahamulia dari Suwarnadwipa, Pulau Emas. Oleh karenanya, dengan sekelompok 125 biksu terdidik, Atisha berangkat dengan kapal dagang ke Pulau Emas, Sumatera sekarang. Di masa itu, perjalanan laut yang panjang bukanlah sebuah urusan gampang dan mereka dengan susah-payah melewati badai, serangan paus, dan hilang arah. Butuh tiga belas bulan yang berat untuk menyelesaikan perjalanan, tapi Atisha tak sedikit pun gentar melewatinya.
Saat mereka akhirnya berlabuh, Atisha tidak serta-merta pergi menemui guru ternama itu; alih-alih, ia tinggal selama dua minggu penuh bersama sekelompok pengikut Dharmakirti. Ia terus mengorek pengetahuan dari mereka tentang guru mereka itu dan bersikeras mengetahui kisah hidup lengkapnya. Hal ini menunjukkan pada kita pentingnya untuk mempelajari secara menyeluruh seorang guru rohani dan memeriksa kemampuannya sebelum belajar darinya.
Sementara itu, Guru Mahamulia dari Pulau Emas ini telah mendengar kedatangan sarjana terdidik dari India dan rekan-rekan fakirnya dalam perjalanan rohani mereka. Ia mengumpulkan masyarakat biksunya sendiri untuk mempersiapkan sambutan dan ketika Atisha tiba, mereka bersama-sama menyelenggarakan banyak upacara yang berguna untuk masa depan. Ia juga menghadiahi Atisha sebuah patung Buddha dan meramalkan bahwa suatu hari Atisha akan menjinakkan cita orang-orang di Tanah Salju sebelah utara.
Atisha menetap di Pulau Emas selama dua belas tahun, penuh gelora berlatih dengan gurunya ini. Pertama-tama, ia mempelajari Kerawang Perwujudan (Skt. Abhisamaya-alamkara) perintah-perintah panduan dari Maitreya yang Jaya untuk memahami makna Sutra Kesadaran yang Jauh Menjangkau dan Membedakan dari Yang Mahatahu (Skt.Prajnaparamita Sutra). Lambat laun ia lalu menerima ajaran penuh tentang perilaku luas dari silsilah Maitreya dan Asanga, juga ajaran-ajaran dari silsilah khusus tentang menukar sikap mementingkan diri sendiri dengan sikap peduli terhadap sesama, yang bodhisattwa Shantidewa, seorang putra rohani dari Yang Jaya, terima dari yang dimuliakan dan tiada bercela Manjushri sendiri. Setelah Atisha memperoleh perwujudan penuh dari tujuan bodhicita lewat cara-cara ini, ia kembali ke India di usianya yang ke-45 tahun dan berdiam di sana, menghabiskan sebagian besar waktunya di wihara perguruan tinggi Vikramashila yang sunyi.
Secara keseluruhan, Atisha telah belajar dari 157 guru agung, tapi ia memiliki rasa hormat yang istimewa terhadap guru luar biasanya dari Pulau Emas dan aturan-aturan yang ia berikan; sampai-sampai air mata menggenangi pelupuk matanya manakala ia menyebut atau mendengar nama gurunya itu. Ketika kemudian ditanya oleh para pengikutnya di Tibet tentang apakah penampakan rasa ini berarti ia lebih menyukai salah satu guru di antara guru yang lain, Atisha membalas, “Aku tidak membeda-bedakan guru rohaniku. Tapi oleh karena kebaikan guruku yang mahamulia dari Pulau Emas ini, aku telah beroleh kedamaian cita dan hati penuh pengabdian pada tujuan bodhicita.”

Mengundang Atisha ke Tibet

Setelah Atisha kembali ke India, ia melindungi dan menjunjung Dharma Suci yang Jaya dengan tiga kali mengalahkan orang-orang picik non-Buddha dalam perdebatan resmi. Di dalam ajaran Buddha, ia membangun banyak lembaga pembelajaran ke mana pun ia berpergian, dan kapan saja ia melihat tanda praktik-praktik yang merosot atau keliru, ia akan segera memperbaikinya. Ketenarannya menyebar ke seluruh India. Karena welas asih dan wawasannya, ia dipuja sebagai permata mahkota guru-guru terpelajar. Akan tetapi, anugerah paling luar biasa darinya ia berikan pada masyarakat di Tibet, Tanah Salju.
Walau Buddha Dharma pernah dibawa ke Tibet beberapa abad sebelumnya, utamanya lewat usaha Guru Rinpoche Padmasambhava dan beberapa lainnya, kemekaran awal ini menderita kelayuan yang hebat karena tekanan Raja Langdarma (863-906 M). Tinggal sedikit saja pelaku ajaran yang tersisa dan setelahnya banyak pokok yang tidak lagi dipahami dengan tepat. Banyak orang merasa bahwa praktik-praktik disiplin-diri etis dan tantra itu saling terpisah dan bahwa pencerahan dapat dicapai lewat kemabukan dan beragam pelecehan seksual. Yang lain percaya bahwa, begitu juga, ajaran Hinayana dan Mahayana pun saling bertolak-belakang, yang satu berujung pada pembebasan dan yang lain bermuara pada pencerahan.
Sedih karena keadaan yang merosot ini, Raja Tibet Yeshey-wo berkeinginan besar mengundang guru terpelajar dari salah satu pusat wihara agung di India untuk datang ke Tibet dan menjernihkan kekeruhan ini. Karena tidak mengenal Atisha secara khusus, ia mengirim 21 pemuda untuk mempelajari bahasa Sanskerta dan mencari guru yang cocok. Semua kecuali dua mati karena suhu panas. Tak mampu mengundang siapa pun, tapi telah belajar bahasa Sanskerta, para penerjemah baru Rinchen-zangpo (958 – 1050 M) dan Legshay kembali kepada raja dan mewartakan padanya tentang Atisha.
Segera setelah mendengar nama Atisha, raja memutuskan bahwa Atisha inilah orang yang dibutuhkan. Tanpa membuang waktu, ia mengirim rombongan kedua yang berjumlah sembilan orang, dikepalai oleh Gyatsonseng, dengan banyak emas untuk mengundang guru ini. Tapi delapan dari mereka juga mati dan, karena tak mampu membawa Atisha, Gyatsonseng tinggal di India. Saat kabar tentang kegagalan kedua ini sampai ke telinga Yeshey-wo, ia memutuskan untuk memimpin sendiri perjalanan untuk mengumpulkan emas untuk rombongan yang lain. Namun dalam tugas kali ini, ia ditangkap di perbatasan Nepal oleh Raja Garlog (Qarluq) saingannya, yang berusaha mencegah penyebaran ajaran Buddha lebih jauh lagi di Tibet.
Keponakan Raja Yeshey-wo, Jangchub-wo, diberitahu untuk membatalkan perjalanan ke India atau menggalang sejumlah emas yang setara dengan ukuran pamannya untuk menjamin pembebasan sandera. Keponakan raja itu berkeliling kerajaan, tapi hanya mampu mengumpulkan emas yang setara dengan badan, kaki, dan tangan Raja. Ia tidak mampu menggalang emas tambahan untuk menebus kepala pamannya itu. Saat Garlog si penguasa menginginkan tebusan penuh, keponakan itu memohon izin untuk bertemu dengan pamannya.
Ia dibawa ke ruang penjara yang gelap, yang direbat dengan terali besi. Di sana ia menjelaskan keadaannya pada pamannya, yang dibelenggu dan amat rapuh, dan berkata bahwa ia akan terus mencari emas yang tersisa. “Jangan berhenti berharap,” ujarnya pada pamannya, “karena aku akan memenuhi tebusannya. Aku bisa saja menyatakan perang dengan raja Garlog, tapi akan banyak orang yang terbunuh. Membeli kebebasanmu tampaknya jalan terbaik.”
“Keponakanku tersayang,” Raja yang renta itu membalas, “aku tak pernah menyangka kau begitu penuh dengan welas asih dan kebijaksanaan. Aku senang bahwa kau memahami betapa jahatnya kekerasan, tapi sekarang kau harus melupakanku. Alih-alih, gunakan semua emas yang telah kau kumpulkan untuk mengundang guru agung Atisha ke Tibet. Tak terhitung jumlah kematianku di kehidupan sebelumnya, tapi aku yakin aku belum pernah mengorbankan diriku untuk Dharma dari Yang Jaya. Kini aku dengan senang hati melakukannya. Siapa pun yang kau kirim ke India, tolong minta dia untuk mengatakan pada Atisha bahwa aku telah memberikan nyawaku untuk kesejahteraan rakyatku dan Dharma supaya ia bisa dibawa ke Tibet. Walau aku belum punya keberuntungan untuk bertemu dengannya di kehidupan ini, aku sungguh-sungguh berharap bahwa aku bisa di masa depan.” Keponakan raja itu patuh pada perintah pamannya dan kemudian beranjak pergi, hampir-hampir tak kuasa dirudung oleh dukacita.
Jangchub-wo lalu menjadi Raja Tibet. Ia memutuskan bahwa orang terbaik yang bisa ia kirim pada perjalanan ketiga ini adalah Nagtso si penerjemah, yang pernah ke India beberapa kali. Raja baru itu mengundangnya ke istana dan, setelah bersikeras meminta penerjemah itu duduk di tahta kerajaan, memohon padanya. “Pamanku menyerahkan nyawanya supaya Atisha dapat diundang ke Tibet. Jika keinginan ini tidak terpenuhi, orang-orang kacau di tanah ini pasti akan jatuh ke dalam kelahiran kembali yang mengerikan. Aku memohon padamu untuk menyelamatkan manusia-manusia yang malang ini.” Raja muda itu kemudian terjatuh dan tersedu. Nagtso tak punya pilihan lain kecuali menerima dan memberanikan diri menentang kesukaran-kesukaran perjalanan ke India lagi ini.
Penerjemah itu berangkat dengan 700 keping emas dan enam rekan. Raja mengantar mereka selama beberapa hari dan, sebelum beranjak pergi, ia mengingatkan Nagtso untuk memberitahu Atisha, “Ini adalah emas terakhir di Tibet dan pamanku adalah laki-laki hebat Tibet yang terakhir. Jika ia punya rasa welas asih bagi sesama, ia pasti datang. Jika orang-orang Tibet yang biadab ini saja menaruh perhatian pada Dharma dan ia tidak, ajaran Buddha memanglah telah melemah dan tak ada lagi harapan!” Raja kemudian kembali ke istananya.
Dalam perjalanan ke India, rombongan utusan itu bertemu dengan seorang bocah laki-laki yang menanyakan tujuan perjalanan mereka. Saat diberitahu, bocah itu merasa sangat senang dan berkata, “Kalian akan berhasil dalam perjalanan ini jika kalian selalu melafalkan doa ini, ‘Kepada Avalokiteshvara aku bersujud, dari Avalokiteshvara pula kuambil arah yang aman. Aku mohon Dharma yang Jaya tumbuh mekar di Tibet.” Saat ditanya tentang siapa dirinya, bocah itu berkata bahwa mereka akan mengetahuinya ketika saatnya tiba.
Akhirnya, rombongan itu sampai di wihara perguruan tinggi Vikramashila yang sunyi di satu malam yang sudah larut dan mereka berkemah di pintu gerbangnya. Di ruangan di atas, tinggallah Gyatsonseng, orang Tibet yang telah memimpin perjalanan kedua dari Raja Yeshey-wo. Saat ia mendengar suara-suara yang berbicara dalam bahasa pribuminya, ia melihat ke bawah dengan rasa terkejut luar wihara dan, melihat bahwa rombongan itu berkemah di bawah, ia bertanya mengapa mereka datang. Orang-orang Tibet itu dengan girang melontarkan cerita mereka, dan bahkan terang-terangan membuka bahwa tujuan dari perjalanan mereka sebenarnya untuk membawa Atisha ke Tibet. Gyatsonseng memperingatkan mereka untuk tidak mengungkap tujuan-tujuan mereka segamblang itu. Ia menasihati mereka untuk meninggalkan emas mereka pada bocah laki-laki yang berjaga di gerbang dan untuk datang menemuinya di pagi hari. Para utusan lalu melakukannya dan bocah laki-laki itu meminta mereka untuk beristirahat dan untuk menaruh percaya padanya.
Pagi buta di hari berikutnya, bocah itu membangunkan mereka dan bertanya tentang alasan mereka datang. Saat mereka memberitahu semuanya, bocah laki-laki itu membentak, “Kalian orang Tibet terlalu banyak cakap! Kalian harus menyimpan hal ini diam-diam. Kalau tidak, akan ada banyak gangguan. Hal penting tak boleh dilakukan tergesa-gesa, tapi selalu dengan perlahan, teliti, dan diam-diam.” Bocah itu lalu mengembalikan keping emas mereka dan membimbing mereka masuk ke lahan wihara yang luar biasa besar itu.
Rombongan itu bertemu dengan seorang lelaki tua yang menyapa mereka dan bertanya dari mana asal mereka dan mengapa mereka datang ke tempat itu. Lagi-lagi, mereka tak berusaha menyembunyikan apa pun dan pria tua itu memarahi mereka, “Jika kalian terus ceroboh seperti ini, kalian tidak akan pernah meraih tujuan kalian. Beritahukan tugas kalian hanya pada Atisha.” Ia kemudian menawarkan diri untuk mengantar mereka ke ruangan Gyatsonseng. Walaupun ia berjalan perlahan dengan bantuan tongkat rotan, tak seorang pun yang bisa mengimbangi jalannya, karena ia juga, seperti dua bocah laki-laki sebelumnya, merupakan perwujudan dari Avalokiteshvara, yang sedang mengawasi perjalanan mereka.
Kini, para utusan dari Tibet itu memutuskan sebuah rencana tindakan. Gyatsonseng meminta mereka untuk berkata bahwa mereka datang untuk belajar bahasa Sanskerta. “Kepala Wihara utama kami, tetua Ratnakara, adalah atasan Atisha dan begitu menghormatinya. Jika ia mendengar tujuan kalian yang sebenarnya, ia akan pastikan kalian tak bakal pernah bertemu Atisha.”
Pagi berikutnya, mereka melapor pada Kepala Wihara dan mempersembahkan separuh dari keping emas mereka. Mereka berkata bahwa di masa lalu banyak dari rakyat mereka yang datang ke India untuk mengundang datang ke Tibet guru-guru terpelajar seperti Atisha. Akan tetapi, mereka sendiri datang untuk belajar dan menjadi terpelajar. Tetua yang dihormati itu sungguh merasa lega dan berkata, “Silahkan kalian lakukan. Jangan salah paham. Bukan karena aku tidak berwelas asih terhadap Tibet, tapi Atisha adalah salah satu guru kami yang mahapandai, khususnya dalam hal bodhicita. Jika ia tidak tinggal di India, tak ada harapan bagi ajaran-ajaran Buddha untuk lestari di tanah kelahirannya sendiri.” Kepala Wihara itu, akan tetapi, masih menaruh curiga pada orang-orang asing ini dan mencegah mereka bertemu Atisha.
Orang-orang Tibet itu, yang merasa yakin siasat mereka berhasil, mulai menghadiri pelajaran sambil menanti kesempatan mereka. Setelah beberapa bulan, sebuah upacara kewiharaan penting digelar. Karena setiap orang diminta untuk datang, para utusan Tibet itu berharap bahwa mereka pada akhirnya dapat sepintas melihat Atisha. Selagi mereka menonton dan menunggu, banyak guru agung masuk ke dalam tempat upacara. Beberapa orang, seperti Naropa yang ternama, datang dengan dikelilingi rombongan pendamping yang ramai. Yang lain diiringi oleh para pembantu yang membawa bunga dan dupa. Akhirnya, Atisha tiba. Ia mengenakan jubah tua yang compang-camping, dengan kunci-kunci ruang doa dan gudang terselip di pinggangnya. Para utusan Tibet itu kecewa berat dengan penampilan Atisha yang tak mengesankan dan bertanya pada Gyatsonseng apa mereka bisa mengundang salah satu dari guru yang lebih menawan saja sebagai gantinya. Gyatsonseng berkata pada mereka, “Tidak, Atisha punya ikatan erat yang sangat khusus dengan Tibet dan, meski berpenampilan begitu, merupakan orang yang harus kalian bawa pulang.”
Akhirnya, sebuah pertemua rahasia diatur. Nagtso mempersembahkan keping-keping emas yang ditumpuk tinggi di atas piring sesaji mandala bundar dan memberitahu Atisha sejarah tentang bagaimana Dharma suci telah merosot di Tibet. Setelah menautkan cerita itu dengan kisah pengorbanan Raja Yeshey-wo dan mengulangi kata-kata raja dan keponakannya itu, Nagtso memohon supaya Atisha datang.
Atisha berkata bahwa mereka sangat baik hati dan bahwa ia tak ragu sama sekali bahwa kedua raja Tibet tersebut sesungguhnya adalah bodhisattwa. Ia sadar betul dengan masalah-masalah yang terjadi dan dengan tulus menghormati Raja untuk pengorbanannya, tapi mereka juga harus mencoba memahami bahwa ia semakin renta dan bahwa ia punya banyak tanggung jawab sebagai penjaga gudang wihara. Ia berharap bisa datang. Lalu, ia mengembalikan emas mereka untuk keperluan perjalanan pulang. “Sementara itu,” katanya pada mereka, “aku harus meminta saran dari yidam pribadiku.”
Malam itu, Tara menampakkan diri pada Atisha dalam sebuah penglihatan murni dan berkata padanya bahwa perjalanannya akan menjadi sebuah keberhasilan yang lengkap. Ia akan membawa limpahan manfaat bagi orang-orang Tibet dan menemukan di antara mereka satu pengikut yang secara khusus punya ikatan erat dengannya. Ini akan menjadi upasaka, seorang laki-laki dengan sumpah-sumpah awam, dan ia akan menyebarkan Dharma bahkan lebih luas lagi. “Tapi,” kata Tara padanya, “jika kamu tinggal di India, kamu akan hidup sampai umur 92, sementara jika kamu pergi ke Tibet, rentang hidupmu hanya sampai 72 tahun.” Atisha kini merasa yakin untuk pergi bersama para utusan dari Tibet itu dan bahwa kehilangan dua puluh tahun usianya adalah sebuah pengorbanan yang pantas jikalau ia sungguh mampu membawa manfaat bagi orang lain. Ia tinggal mencari cara cerdik agar bisa mendapat izin pergi dari kepala wiharanya yang cerdas.
Pertama-tama, ia meminta izin untuk berziarah ke timur, selatan, dan barat Vikramashila. Ini diizinkan dan Atisha mengunjungi sejumlah tempat suci. Lalu, ia meminta izin untuk melakukan perjalanan serupa ke utara, tapi Tetua itu, mengendus niat tersembunyi Atisha, menolaknya.
Para utusan dari Tibet itu betul-betul putus-asa dan memutuskan bahwa memberitahu Kepala Biara tentang hal yang sebenarnya adalah satu-satunya harapan yang tersisa. Tetua wihara itu berpura-pura marah, dan para utusan dari Tibet itu jatuh berlutut dan memohon ampunan. “Alasanku menolak memberi Atisha pada kalian masih sama dengan yang dulu,” Kepala Wihara membuka suara, “tapi karena Tibet membutuhkannya begitu hebatnya, aku bersedia membiarkannya untuk menetap di tanah kalian selama tiga tahun. Akan tetapi, kalian harus berjanji untuk mengembalikannya ke India setelah itu.” Diliputi sukacita, para utusan dari Tibet itu pun mengucapkan janji mereka.

Membentuk Ulang dan Menghidupkan Kembali Dharma di Tibet

Demikian, di usianya ke-53 tahun, Atisha melakukan perjalanan panjang ke Tanah Salju. Di jalan, penerjemah Gyatsonseng jatuh sakit dan meninggal. Dalam duka, Atisha menyatakan, “Kini lidahku telah tercabut!” Kemudian Nagtso dengan rendah hati membungkuk di hadapannya dan berkata, “Janganlah khawatir. Walau sekarang tidak sempurna, bahasa Sanskerta saya pasti akan berkembang. Juga masih ada orang lain yang mungkin dapat melayani Anda.”
Di Nepal, mereka bertemu penerjemah hebat yang mencelikkan-mata, Marpa (1012-1099 M), yang sedang dalam perjalanannya ke India untuk yang ketiga kalinya. Atisha mengundangnya untuk menjadi penerjemahnya, tapi Marpa menolak dengan berkata, “Guruku ingin aku mengunjungi India tiga kali. Kini, aku harus melakukan perjalanan terakhir ini.” Mereka juga bertemu Rinchen-zangpo, penerjemah yang sudah lanjut usia, tapi ia juga tidak mampu menolong, “Seperti yang bisa Anda lihat dari uban di kepala saya,” katanya, “saya ini sudah sangat tua. Saya telah bekerja sepanjang hidup saya tanpa pernah punya kesempatan untuk melakukan latihan batin secara mendalam.” Karena itu, Atisha terus beranjak, terpaksa mengandalkan keterampilan Nagtso yang terbatas.
Setelah dua tahun perjalanan, rombongan itu akhirnya tiba di Tibet Atas (Tibet bagian barat) di kota Ngari, ibukota kerajaan Yeshey-wo. Tuan rumah dan para biksu menggelar arak-arakan besar dan mengundang Atisha untuk tinggal di biara sunyi terdekat. Guru dari India ini bersukacita melihat kegairahan terhadap ajaran-ajaran Yang Jaya ini dan sungguh terkejut mengetahui jumlah orang yang telah mengenakan jubah pencari rohani. Banyak orang terpelajar datang dari seluruh wilayah Tibet. Ia sungguh terkesan dengan kedalaman pertanyaan-pertanyaan mereka mengenai sutra dan tantra Buddha yang Suci sampai-sampai ia berpikir mengapa mereka harus bersusah-payah mengundangnya ketika sudah ada begitu banyak guru di situ. Akan tetapi, saat ia bertanya balik tentang bagaimana dua perangkat aturan-aturan pencegahan itu membentuk satu kesatuan utuh, mereka tidak mampu menjawab. Atisha kini tahu tujuan dari tugasnya.
Suatu hari, Raja Jangchub-wo meminta sebuah pengajaran bagi masyarakat Tibet. “Kami tidak menginginkan pengajaran tentang aturan-aturan yang begitu luas dan mendalam sehingga kami takkan mampu menganutnya,” katanya. “Yang kami butuhkan adalah sesuatu yang akan menjinakkan cita kami dan memampukan kami menghadapi perilaku harian kami yang selalu menuruti dorongan hati (karma) dan akibat-akibatnya. Tolong ajarkan kami aturan-aturan yang Anda sendiri ambil.”
Atisha begitu terpikat oleh kesederhanaan dan ketulusan permintaan Raja, sehingga di tahun-tahun berikutnya ia menyebutnya sebagai “pengikutku yang sempurna”. Kalau saja ia diminta untuk mengajar tentang pemberdayaan lebih maju menuju sistem-sistem kedewaan tantra atau untuk latihan-latihan yang dapat mendatangkan kekuatan khusus, ia akan jauh lebih kecewa. Karena itu, Atisha menghabiskan tiga tahun di Ngari, memberikan wacana-wacana yang kemudian dikumpulkan ke dalam Pelita bagi Jalan menuju Pencerahan(Skt. Bodhipathapradipa), sebuah purwarupa bagi seluruh naskah selanjutnya mengenai pokok ajaran ini.
Pokok-pokok yang selalu ia tekankan dalam percakapannya dengan orang-orang menghasilkan nama panggilan baginya, “Guru Mahamulia Arah yang Aman (Lama Perlindungan) dan “Guru Mahamulia Perilaku Menurut Dorongan Hati dan Akibat-Akibatnya (Lama Sebab dan Akibat)”. Ia sangat bahagia dengan hal ini dan berkata, “Bahkan mendengar nama-nama itu saja mungkin sudah membuktikan manfaatnya.”
Selama masa ini, Atisha tetap menanti ketua pengikutnya di masa depan, orang awam Tibet yang dinubuatkan oleh Tara yang dimuliakan dan tiada bercela, tapi orang ini belum muncul juga. Suatu hari, Atisha diundang ke rumah seorang teman untuk makan siang dan, sebab ia adalah seorang vegetarian yang ketat, ia diberi sajian kue jelai panggang khas daerah itu (tsampa). Ketika ia beranjak pergi, ia meminta beberapa potong tambahan dan mentega. Di saat itu juga, Dromtonpa yang dihormati (1004-1064 M), orang awam upasaka yang ditunggu-tunggu, tiba di rumah Atisha. Ia bertanya pada para pembantu, “Di mana guru Mahayanaku yang mahamulia itu?” Mereka membalas, “Atisha sedang bersantap siang dengan temannya. Jika Anda menunggu di sini, sebentar ia akan kembali.”
Dromtonpa tidak bisa menunggu. Alih-alih, ia berlari cepat menuju rumah teman itu. Atisha dan Dromtonpa bertemu di salah satu jalan. Walau mereka belum pernah saling bertemu sebelumnya, mereka langsung dapat saling mengenali oleh karena ikatan mereka yang erat di kehidupan sebelumnya. Dromtonpa melakukan sembah-sujud dan Atisha, sambil menawarinya kue jelai, berkata, “Ini makan siangmu. Kau pasti sangat lapar.” Orang awam itu menyantap kue tersebut dan menggunakan mentega untuk membuat persembahan pelita-mentega bagi guru rohani yang baru ditemukannya itu. Sejak saat itu, ia mempersembahkan pelita semacam itu setiap malam tanpa gagal.
Setelah Atisha berada di Ngari selama tiga tahun, ia berangkat bersama penerjemah Nagtso untuk kembali ke India. Namun, perang yang berkecamuk di perbatasan Nepal menghalangi perjalanan mereka. Nagtso menjadi teramat sangat cemas karena kini tampaknya mustahil baginya untuk menepati janjinya pada Kepala Wihara Vikramashila. Atisha segera menenangkan ketakutannya dengan berkata, “Tak ada gunanya mengkhawatirkan keadaan yang berada di luar kendali kita.”
Merasa sungguh lega, Nagtso menulis sepucuk surat untuk Kepala Biara, menjelaskan bagaimana niat baik mereka terpaksa pupus. Sebagai ganti ketakhadirannya, Atisha mengirimkan sebuah salinan Pelita bagi Jalan menuju Pencerahan. Ia juga meminta izin untuk tetap tinggal di Tibet sampai akhir hayatnya. Mereka kemudian kembali ke Ngari.
Di masa sekarang, penerbitan sebuah buku cenderung menjadi kesepakatan niaga sederhana saja. Akan tetapi, pada masa Atisha, sebelum sebuah naskah dapat dicetak, naskah tersebut harus melewati sebuah ujian ketat dari sebuah panitia yang terdiri dari para sarjana, dan sidang ujian ini dipimpin oleh raja yang memimpin di daerah itu. Jika terdapat kekurangan apa pun dalam karya tersebut, karya itu akan diikatkan pada ekor anjing dan diseret dalam debu. Sementara penulisnya, alih-alih memetik pujian dan ketenaran, akan menderita karena kehilangan nama baiknya dengan memalukan.
Naskah Atisha juga harus melewati pengamatan yang sama, dan panitia penguji dengan suara bulat menyetujui nilainya yang luar biasa. Raja yang memimpin sidang bahkan tergerak untuk menyebut bahwa karya tersebut tidak hanya akan membawa guna bagi orang-orang Tibet yang abai, tapi juga bagi orang-orang India yang bercita-tajam. Saat Kepala Wihara Vikramashila membaca naskah itu, ia menulis surat untuk Nagtso, si penerjemah, “Saya sudah tidak berkeberatan jika Atisha menetap di Tibet. Yang ia tulis telah membawa manfaat bagi kita semua. Saya hanya meminta supaya ia sekarang menulis dan mengirimkan pada kami tafsirnya sendiri tentang naskah itu.” Inilah sebab ditulisnya tafsir Atisha sendiri tentang pokok-pokok sukar dalam naskah penting ini.
Segera, Dromtonpa mengundang Atisha untuk pergi lebih jauh ke utara ke Tibet Pusat dan mengunjungi Lhasa. Dalam perjalanan, mereka berhenti di Samyay, wihara pertama yang dibangun di Tibet. Atisha sangat terkesan dengan kumpulan buku berbahasa Sanskerta dan Tibet yang dimiliki perpustakaan wihara itu dan berkata ia tidak berpikir bahwa begitu banyak naskah ajaran Buddha dalam bahasa Sanskerta yang ada bahkan di India sekalipun pada masa itu.
Secara keseluruhan, Atisha menghabiskan 17 tahun di Tanah Salju; tiga di Ngari, sembilan di Nyetang dekat Lhasa, dan lima di berbagai tempat lainnya sampai kematiannya pada tahun 1054 M di usia 72 tahun, persis seperti yang dinubuatkan oleh Tara. Jenazah Atisha dibalsem dan diabadikan di Nyetang dan, dua tahun setelah itu (1056 M), Dromtonpa, orang awam yang dihormati, membangun Wihara Radreng, pusat terpenting dari aliran Kadam yang meneruskan silsilah gurunya.
Nagtso si penerjemah mengingat bahwa tak sekali pun selama bertahun-tahun mereka bersama Atisha mengatakan atau melakukan sesuatu hal yang tidak menyenangkan. Dengan mengajarkan jalan terpadu tentang sutra dan tantra, guru agung dari India itu telah menyelesaikan tugas besar membentuk ulang dan menghidupkan kembali penyebaran Dharma lengkap dari Yang Jaya di Tibet. Pada kenyataannya, karena kebaikannyalah aturan-aturan suci ini bertahan dalam bentuk aslinya sampai sekarang.