Minggu, 29 Januari 2012 0 komentar

Kisah Vasavattimaradhiraja -- maharaja dari para dewa Mara

Vasavattimaradhiraja
Dipetik dari buku berbahasa Thai berjudul Lokadipani tulisan Phra
Dhammadhirajamahamuni, dituturkan kembali secara bebas Oleh : Hananto,

---------------------

Vasavattimaradhiraja yang sekarang menjadi maharaja dari para dewa
Mara yang bertinggal di Sorga Paranimmitavasavatti adalah seorang
Bodhisatta yang sedang menyempurnakan paramathaparami untuk mencapai
Kebuddhaan di masa mendatang. Usaha itu telah dimulainya dalam
hitungan asankheyya.

Semasa Sammasambuddha Kassapa muncul di dunia, Maradhiraja terlahir
sebagai seorang manusia yang bernama Bodhi. Dia bekerja sebagai
Senapati utama dan terpercaya dari Maharaja King-kissa. Karenanya, dia
juga dipanggil Bodhisenapati.

Pada suatu hari, Maharaja Kingkissa - yang mempunyai saddha terhadap
Buddhasasana - mendengar bahwa Sang Buddha Kassapa sedang masuk ke
dalam Nirodhasamapatti yang penuh kebahagiaan selama tujuh hari, di
bawah naungan pohon beringin yang amat besar. Mendekati saat keluarnya
Sang Buddha dari Nirodhasamapatti, Maharaja berpikir : 'Sang Buddha
akan segera mengakhiri samadhi-Nya. Barang siapa mempersembahkan dana
pada saat itu, akan mendapat berkah yang besarnya tak terhingga,
apapun keinginannya akan tercapai. Saya tak akan menyia-nyiakan saat
yang baik ini.' Lalu mengeluarkan perintah dan pengumuman pada
rakyatnya.

'Barang siapa mendahului Maharaja mempersembahkan dana pada Sang
Buddha sesaat beliau mengakhiri samadhi-Nya, saya akan menghukum
pancung orang itu.'

Untuk itu Maharaja memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menjaga
sekeliling pohon beringin dimana Sang Buddha sedang melakukan samadhi.

Bila ada orang yang datang hendak mempersembahkan dana,
diperintahkannya untuk ditangkap. Bodhisenapati tahu akan pengumuman
itu. Namun, dia - yang mempunyai saddha yang amat kuat dan bijaksana -
tetap mempunyai keinginan untuk mempersembahkan dana kepada Sang
Buddha sesaat Beliau mengakhiri samadhi-Nya. Dia berpikir bahwa berkah
yang didapat amatlah besar. Dia tak akan menyesal walau harus mati
karenanya.

Pada keesokan harinya, di saat Sang Buddha akan mengakhiri samadhi,
Bodhisenapati bersama istrinya, menyiapkan makanan persembahan dan
pergi menemui Sang Buddha.

Demi melihat Bodhisenapati beserta istrinya, para prajurit penjaga
bertanya : 'Wahai Tuan Senapati, kenapa Tuan melanggar perintah
Maharaja. Bukankah Tuan tahu bahwa Maharaja melarang siapapun
mempersembahkan dana kepada Sang Buddha? Maharaja sendirilah yang akan
mempersembahkan. Atau mungkin Tuan akan pergi ke tempat lain?'

Mendengar itu Bodhisenapati berpikir : 'Kalau seandainya saya
berbohong kepada mereka, atau menasehati Maharaja untuk mengundang
Sang Buddha ke istana, tentu mereka akan percaya dan mengikuti nasehat
saya. Tapi, saya tak ingin melakukannya. Sebab, dengan berbohong,
berkah yang saya dapat tak akan sesuai dengan harapan. Jadi, sebaiknya
saya berkata dengan sesungguhnya, walau harus mati karenanya.'

Maka, iapun menjawab : 'Ya, kami akan mempersembahkan dana makanan
pada Sang Buddha.'

Para prajurit itu pun segera menangkap Bodhisenapati dan istrinya. Dan
dibawa menghadap Maharaja untuk diadili. Maharaja amat Marah karena
dikhianati panglima perangnya dan menjatuhi hukuman pancung terhadap
Bodhisenapati dan istrinya.

Kassapa Sammasambuddha tahu semua apa yang terjadi. Dengan mata
Kebuddhaan-Nya, Beliau tahu siapa Bodhisenapati. Beliau menaruh metta
padanya.

Beliau segera menciptakan bayangan sendiri untuk tetap tinggal di
tempat semula, dan beliau sendiri pergi menemui Bodhisenapati yang
sedang menanti dilaksanakannya hukuman pancung terhadapnya. Karena
kesaktian-Nya, tak seorang pun bisa melihat kedatangan Beliau selain
Bodhisenapati dan istri. Lalu berkata : 'Wahai Bodhisenapati, tetaplah
tenang. Tetap pertahankan saddhamu. Jangan menyesali kehidupan ini.
Segera persembahkan dana makanan yang telah kau persiapkan dengan
keyakinan yang penuh terhadap Tathagata.'

Demi mendengar itu, keyakinan Bodhisenapati semakin mantap. Dengan
saddha dan piti yang telah memenuhi batinnya, dipersembahkannya dana
mereka pada Sang Buddha serta mengucapkan panidhana :

'Sang Buddha sebagai guru dan pelindung bagi semua makhluk. Saya telah
rela menerima kematian demi mempersembahkan dana makanan ini pada Sang
Buddha. Semoga dana persembahan ini menjadi penyebab bagi keinginan
saya untuk mencapai pencerahan sebagai Sammasambuddha di masa yang
akan datang.'

Sambil mengelus kepala Bodhisenapati, Sang Buddha Kassapa berkata :

'Apa yang kau harapkan akan tercapai. Wahai Bodhisenapati, yakinlah,
dimasa yang akan datang kau akan mencapai pencerahan sebagai seorang
Sammasambuddha.'

***********

Setelah dalam waktu yang amat lama mengikuti daur kehidupan dan
kematian dalam vattasamsara ini, Bodhisenapati terlahir sebagai dewa
Mara, menguasai Sorga Paranimitavasavatti. Dan sempat bertemu dengan
Sang Buddha Gotama, yang sebenarnya merupakan kesempatan yang amat
baik untuk berbuat kebajikan dan belajar Dhamma pada Buddha Gotama.
Namun, kesempatan yang amat baik itu sama sekali tidak
dimanfaatkannya. Bahkan, sebaliknya, ia selalu menghambat, menghalang
dan mengganggu Sang Buddha; sejak awal usaha untuk mencapai
Kebuddhaan, hingga menjelang akhir dari kehidupan Sang Buddha. Sebagai
dewa puthujana yang amat sakti namun dikuasai oleh kilesa, dengan
sombongnya ia menguji dan menghalangi kegiatan Sang Buddha Gotama yang
penuh metta. Namun, segala perbuatan jeleknya itu tak (sampai) bisa
digolongkan sebagai garuka kamma yang menyebabkan seseorang terjerumus
ke dalam neraka Avici, seperti Bhikkhu Devadatta yang telah melukai
Sang Buddha dan memecah belah Sangha.

Kiranya, perbuatannya itu bisa diibaratkan sebagai seorang anak nakal
atau durhaka yang selalu tak menyetujui dan melawan orang tuanya. Dan
ternyata, Sang Buddha pun tak pernah meramalkan sesuatu yang jelek
pada dewa Mara seperti kepada bhikkhu Devadatta.

Rupanya, kenakalan dewa Mara muncul kembali manakala ia tahu ada
seseorang yang berusaha melestarikan dan mengembangkan Dhamma secara
murni.

Itu terbukti saat Asoka Maharaja akan mengadakan peresmian dan
perayaan atas terselesaikannya pemugaran candi-candi Buddha di India,
kurang lebih 200 tahun setelah Sang Buddha parinibbana. Ia berusaha
mengganggu dan menggagalkan perhelatan besar itu. Namun, kenakalannya
itu bisa diredam oleh Upagupta Thera, yang membuat dewa Mara jera dan
menyesal. Kembali mengucapkan adhitthana untuk menjadi Sammasambuddha.

*********

Menjelang diadakannya perhelatan peresmian dan perayaan atas
berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha dan pelestarian Buddhasasana
yang diprakarsai oleh Asoka Maharaja, para bhikkhu Arahat dan
menguasai Abhinna, berkumpul diketuai oleh Moggalliputta Tissa Thera.
Mereka membicarakan tentang maksud dewa Mara yang akan datang
mengganggu dan menghalangi terlaksananya perhelatan tersebut. Walaupun
para bhikkhu itu telah mencapai Kearahatan dan menguasai Abhinna,
namun mereka merasa tak seorang pun mampu mengalahkan kesaktian dewa
Mara. Mereka mengetahui dengan mata dewa mereka, hanya seorang bhikkhu
yang mampu mengatasi dewa Mara. Dia adalah Kisanaga Upaguta Thera juga
disebut Upagupta Thera ) yang saat itu berdiam di dasar samudera
Hindia.

Sang Buddha pernah meramalkan bahwa di masa yang akan datang akan
muncul seorang bhikkhu bernama Upagupta yang akan meredam kejahatan
dewa Mara dengan kesaktiannya yang membuat Mara sadar akan
kesalahannya.

Upagupta Thera adalah seorang bhikkhu yang amat sederhana dan lebih
suka tinggal sendiri di tempat-tempat yang hening. Tak suka berkumpul
beramai-ramai. Dia suka mengembara di hutan-hutan, juga di samudera.
Bila tinggal di dasar laut, ia akan menciptakan kuti dari kaca, dan
tinggal sendiri dengan tenang dalam jhana samapatti berlama-lama.
Tanpa makan dan minum. Hingga badannya amat kurus. Karenanya, ia
dinamakan bhikkhu Kisanaga Upagupta.

Pasamuan Sangha memutuskan mengirim dua orang bhikkhu mengundang
bhikkhu Upagupta untuk mengatasi gangguan dewa Mara.

Maka dalam sekejap, dua bhikkhu sakti itu telah tiba dihadapan bhikkhu
Upagupta. Setelah saling tegur dengan Dhamma patisanthara, bhikkhu
utusan itu berkata:

'Avuso Upagupta, kami diutus oleh Pasamuan bhikkhu mengundang Anda
untuk ikut membantu terlaksananya perhelatan kita. Kami dengar Mara
akan datang menggagalkan maksud kami. Sangha menugaskan Anda untuk
mengatasi Mara. Kami harap Anda tak menolak tugas ini.'

Bhikkhu Upagupta pun menjawab :

'Baiklah Avuso, saya menyanggupi tugas ini. Sekarang silakan Avuso
pergi lebih dulu. Saya segera akan menyusul.'

Maka, menghilanglah kedua bhikkhu itu dari hadapan Upagupta Thera dan
muncul kembali di tengah-tengah Pesamuan para bhikkhu. Tapi, apa yang
mereka lihat? Ternyata bhikkhu Upagupta telah tiba lebih dulu. Duduk
dengan tenangnya di hadapan Moggalliputta Tissa Thera.

Keesokan harinya, bhikkhu Upagupta pergi pindapata, menerima dana
makanan dari para upasaka-upasika. Kala itu Asoka Maharaja melihat
bhikkhu Upagupta yang bertubuh amat kurus, merasa ragu-ragu : 'Dewa
Mara terkenal amat sakti. Mungkinkah orang sekurus bhikkhu Upagupta
itu mampu mengalahkan kesaktian dewa Mara?' Untuk meyakinkan dirinya,
ia ingin menguji kemampuan bhikkhu kurus itu. Maka, dengan segera ia
memanggil pengawalnya dan memerintahkan membuat mabuk seekor gajah
istana yang besar dan dilepas menghadang perjalanan bhikkhu Upagupta.

Sang gajah dengan liar dan ganasnya segera menyerang bhikkhu Upagupta.

Melihat itu, Upagupta Thera segera masuk ke dalam metta jhana dan
mengirimkan getaran metta ( cinta kasih ) pada gajah yang sedang mabuk
itu, membuat sang gajah tersadar dari keadaan mabuknya. Kembali
menjadi gajah istana yang perkasa tapi jinak dan manis. Dengan
lembutnya, ia menekuk kaki depannya dan bernamakkara di hadapan
Upagupta Thera. Upagupta Thera mengelus kepala si gajah lalu dengan
tenang meneruskan perjalanan.

Perhelatan yang konon dilaksanakan selama tujuh tahun, tujuh bulan dan
tujuh hari itu dibuka langsung oleh Maharaja Asoka dengan hati yang
tenang karena ia yakin pada kemampuan bhikkhu Upagupta.

Perayaan itu dibuat amat meriah dan mewah. Lampu-lampu hias dan
penerangan amatlah indah dan cemerlang. Terutama lilin-lilin,
bunga-bunga serta dupa pemujaan di altar Sang Buddha ditata begitu
indahnya. Sabda-sabda Sang Buddha dilantunkan kembali oleh para
bhikkhu dengan suara yang teratur dan merdu. Suasana benar-benar
sakral dan menyejukkan hati. Rakyatpun amat bersuka hati dengan
diadakan keramaian itu. Raja yang dermawan dan bijaksana itu berhasil
merebut hati rakyatnya dengan penerapan Dhamma yang benar.

----------
(Pengabdian Asoka Maharaja terhadap Buddhasasana bukan hanya pemugaran
candi-candi Buddha di India. Namun, juga mendukung diadakannya
Sangayana yang ketiga. Mendukung pengiriman para Dhammaduta ke luar
negeri. Yang terkenal diantaranya yaitu, putra-putrinya sendiri,
Mahinda Thera dan Sanghamitta Theri yang dikirim ke Sri Langka.
Mahinda Thera mengadakan Sangayana disana. Sementara Sanghamitta Theri
mendirikan Sangha Bhikkhuni. Dan, Dhammaduta yang diketuai oleh Sona
Thera dan Uttara Thera yang menyebarkan Dhamma ke Burma, Thailand dan
sekitarnya, sempat mampir ke pulau Jawa sejenak. Namun, karena
perjalanan ke tenggara itu amat berat, tak seorang bhikkhuni pun
menyertai sebagai Dhammaduta sehingga tidak terdapat Sangha Bhikkhuni
di tempat yang dikunjungi Sona Thera dan Uttara Thera).
--------------

Namun, perhelatan yang memang telah direncanakan amat meriah dan
menarik itu, ternyata masih ditambah dengan suatu pertunjukan seru dan
mengerikan yang tak diduga sebelumnya. Membuat suasana semakin meriah.
Itu disebabkan oleh ulah dewa Mara yang merasa tak senang atas
berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha dan kini sedang dirayakan.
Hatinya merasa gatal melihat kejayaan Buddhasasana.

Dengan segera ia turun dari Sorga Paranimitavasavatti dan menciptakan
badai, angin puyuh yang dahsyat menyapu segala perlengkapan perhelatan
yang telah diatur sedemikian indah. Melihat itu, Upagupta Thera segera
masuk jhana dan ber-adhitthana menghentikan badai dahsyat itu dan
mengembalikan segala sesuatu yang telah porak poranda ke tempatnya
semula. Dewa Mara terkejut dan merasa terhina demi melihat lawannya
hanyalah seorang bhikkhu yang bertubuh amat kurus dan jangkung. Dia
merubah diri menjadi seekor kerbau hutan yang amat besar dan ganas.
Mengamuk dan merusak barang-barang di sekitarnya. Lalu berlari
menubruk hendak melumat tubuh bhikkhu Upagupta.

Sang Thera mengubah diri menjadi seekor harimau yang jauh lebih besar
dari kerbau hutan itu. Langsung menerkam dan menangkap si kerbau,
membuat si kerbau menguak dan meraung kesakitan. Harimau besar tidak
juga melepaskan kerbau yang telah tak berdaya itu, membuat Mara
semakin marah dan mengubah diri menjadi seekor naga. Meronta,
membebaskan diri dan menyemburkan api beracun menyerang harimau besar.
Dengan cepat harimau itu mengubah diri menjadi seekor garuda yang amat
besar. Menyambut serangan nagaraja dengan paruhnya yang menganga
lebar.

Maka, berlagalah kedua makhluk dahsyat itu dengan serunya. Segala
jurus dan usaha dari nagaraja untuk membelit dan menundukkan raja
garuda selalu gagal. Dengan lincah dan ligatnya garuda menghindar dan
membalas serangan sang naga. Api berbisa yang berkobar-kobar pun
seolah-olah bagaikan angin sepoi-sepoi dirasakan garuda.

Akhirnya, sang garuda berhasil menangkap leher naga dengan paruhnya.
Diterkamnya tubuh sang naga dengan cakarnya yang besar dan tajam serta
dibawa terbang ke udara. Dalam keadaan yang tak berdaya, badan sang
naga terombang-ambing di udara lalu dihempaskan kembali ke bumi. Mara
semakin gusar dengan kekalahan yang membawa siksa ini.

Ia segera mengubah diri menjadi raksasa yang amat besar dengan taring
yang mengerikan. Tangan kanannya menggenggam gada pemukul sebesar
pohon kelapa. Meraung-raung menyerang garuda. Namun, garuda pun segera
berubah menjadi raksasa pula. Badannya lebih besar dan kedua tangannya
memegang gada pemukul pula. Menyambut serangan raksasa Mara. Saling
serang, saling mengelak. Bumi pun berdentam-dentam akibat hempasan
kaki kedua raksasa. Pukulan-pukulan raksasa Mara sering tidak mengenai
sasaran bahkan kalau mengena pun seolah tak dirasa oleh raksasa
ciptaan Sang Thera. Namun, pukulan raksasa ciptaan Sang Thera terasa
amat menyakitkan di tubuh maupun hati raksasa Mara. Tubuhnya terasa
remuk redam dan hatinya pun merasa amat sakit dan pilu menerima setiap
pukulan yang mengena.

Dewa Mara teringat saat bersama pasukannya menyerang Sang Buddha.
Semua senjata yang dilontarkan menyerang tubuh Buddha Gotama berubah
menjadi rangkaian besar bunga yang indah memayungi Sang Buddha.
Pasukannya mundur tersapu badai. Sang Buddha membalas
serangan-serangan dahsyat Mara dengan metta. Beliau sama sekali tidak
membalas serangan dengan siksaan seperti yang diterimanya sekarang.
Bhikkhu Upagupta - murid Sang Buddha itu - telah membuatnya
benar-benar tak berdaya dan tersiksa. Tubuhnya kembali menjadi dewa
Mara, terpuruk lemas di hadapan Sang Thera yang berdiri dengan
tenangnya.

Sebenarnya, ia ingin mengerang dan merintih karena rasa sakit di
sekujur tubuhnya. Namun, perasaan angkuh yang masih menguasai dirinya
membuatnya bungkam seribu basa. Rupanya, penderitaan yang dialaminya
itu belum mampu menghancurkan kesombongan dan keangkuhan yang selama
ini menjadi kebanggaannya. Dengan pasrah ia menunggu apa yang akan
terjadi selanjutnya pada dirinya, karena memang tak mampu berbuat
selain dari itu.

Dengan kesaktiannya, Upagupta Thera menciptakan bangkai anjing yang
telah berbau sangat busuk dan berulat. Lalu dikalung-kan pada leher
dewa Mara serta ber-adhitthana : 'Tak seorang pun, dewa bahkan brahma
yang mampu melepas bangkai anjing ini dari lehermu.'

Dewa Mara pun amat terkejut mendengarnya. Kesombongan dan keangkuhan
kembali mengendalikan batinnya. Dengan marahnya ia terbang mencari
pertolongan pada dewa Catumaharajika. Namun, dewa-dewa Catumaharajika
hanya bisa menjawab :

'Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya.
Apalagi kami.'

Begitupun ketika minta pertolongan pada dewa-dewa yang lebih tinggi
dari dewa-dewa Catumaharajika, seperti Yamadhiraja dan lain-lain.
Mereka menjawab :

'Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya.
Apalagi kami.'

Mendengar jawaban itu, ia tak segera putus asa. Ia terbang menemui
dewa Brahma bahkan Maha Brahma untuk minta pertolongan melepas bangkai
anjing yang menjijikkan itu dari lehernya.

'Wahai Maha Brahma yang sakti dan baik hati, tolong lepaskan bangkai
anjing ini dari leher saya. Bangkai anjing ini semakin lama semakin
busuk saja.'

'Sayang sekali, dewa Mara. Bukannya kami tak mau menolong Anda. Tapi,
sebenarnyalah, tak seorang pun dewa atau Brahma di tiga alam ini yang
mampu melepas bangkai yang menghiasi leher Anda itu. Hanya ada satu
orang yang mampu melakukannya.'

'Katakanlah Tuan, siapa yang mampu melakukannya?' tanya dewa Mara
penuh harap. Tapi, jawaban Maha Brahma membuatnya berkecil hati
kembali.

'Dia adalah Upagupta Thera, Buddhasavaka yang telah mencapai
Kearahatan dan mempunyai Chalabhinna.'

'Murid Gotama itu telah menyiksaku. Tolong nasehatkan padaku, apakah
aku harus merengek-rengek padanya? Maha Brahma, saya merasa keberatan
berhadapan muka dengannya. Hendak ditaruh dimanakah muka saya ini?'

'Wahai dewa Mara. Kami nasehatkan, kembalilah padanya. Sang Thera
adalah seorang yang penuh metta seperti Buddha Gotama gurunya. Atau
Anda menunggu hingga Sang Thera Parinibbana? Lalu, siapa pula yang
mampu melepas bangkai itu dari leher Anda? Apakah Anda menghendaki
perhiasan itu selama hidup Anda?'

Maka, dewa Mara pun berpikir : 'Baiklah! Kalau memang hanya bhikkhu
itu yang mampu melepaskannya, aku akan pergi padanya. Bila telah
terbebas dari bangkai menjijikkan ini, aku akan pergi dan tak ingin
melihat mukanya lagi.'

Setelah berpamitan, maka ia kembali ke dunia menemui bhikkhu Upagupta.

Bhikkhu Upagupta duduk samadhi di kaki gunung Himalaya, seolah sedang
menunggu kedatangan dewa Mara. Dewa Mara duduk di hadapan Sang Thera,
menunggu dengan tertibnya.

'Dewa yang baik, kau telah kembali rupanya. Kemana saja selama ini?'
tegur Sang Thera. Mendengar pertanyaan ini, makin guguplah ia, seperti
seorang anak nakal yang ditegur ayahnya.

'Bhante, lepaskanlah bangkai ini dari leher saya.' Hanya itu yang
diucapkannya. Sang Thera pun tahu bahwa dewa sakti itu masih tetap
dikuasai kesombongan dan keangkuhan.

Bhikkhu Upagupta berdiri. Melolos ikat pinggangnya serta
melemparkannya pada dewa Mara. Ikat pinggang itu memanjang di udara,
jatuh tepat di tubuh dewa Màra, membelit, mengikat tubuh dewa Mara.
Tubuh yang telah terikat erat dan tak bisa berkutik itu dijinjing oleh
Sang Thera, dibawa terbang menuju puncak gunung Himalaya.

'Lebih baik kau beristirahat di sini selama perhelatan yang diadakan
Asoka Maharaja berlangsung. Dengan begini, kau tak bisa
mengganggunya,' kata bhikkhu Upagupta sambil mengikat tubuh dewa Mara
pada puncak Himalaya. Dan Sang Thera pun beradhitthana : 'Tak seorang
pun, dewa bahkan Brahma yang akan mampu melepaskanmu.' Dan
ditinggalnya Mara terikat sendirian di atas sana selama tujuh tahun,
tujuh bulan dan tujuh hari. Alangkah menderitanya dewa malang itu. Ia
hanya bisa mengerang, mengeluh dan meronta tanpa bisa melepaskan diri.

*******

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan pun berganti tahun.
Akhirnya, tiba pula saatnya perayaan meriah itu paripurna. Bhikkhu
Upagupta pergi ke tempat dewa Mara terikat sedang merenungi dan
meratapi nasibnya tanpa bisa dilihat oleh dewa Mara. Sang Thera
sengaja tak menampakkan diri agar bisa tahu apakah dewa Mara telah
jera atau belum.

Mara yang tahu bahwa hari itu adalah hari berakhirnya perhelatan
besar, yang berarti akan terbebaskannya dirinya dari derita setelah
tujuh tahun lebih harus berkalungkan bangkai anjing busuk dan badan
terikat erat tak bisa beranjak kemana pun.

Baru kali ini dia punya kesempatan merenungkan semua tindakan dan
tingkah laku yang salah di masa lalu. Dalam keadaan tak berdaya,
batinnya bisa berpikir dengan jernih. Bukan dia yang terhebat di dunia
ini!

Dia teringat, karena pikiran usilnya, mengganggu Buddha Gotama yang
tak pernah berbuat salah padanya, dengan segala macam cara.
Sammasambuddha Gotama yang telah mencapai kesucian tertinggi, terbebas
dari nafsu, dia umpan dengan anak-anak gadisnya yang cantik
menggairahkan.

Sammasambuddha Gotama yang menguasai segala kesaktian, dia serang
dengan kekuatan penuh, dengan pasukan dan senjata lengkap. Sang Buddha
mengalahkannya tanpa menyakitinya, tanpa menyiksanya. Keusilannya
belum cukup sampai di situ. Kemudian, ia meminta Buddha Gotama untuk
segera memasuki Parinibbana. Begitupun ketika Buddhasasana, karya Sang
Buddha berjaya, iapun merasa tak senang. Sang Buddha tak pernah
mempunyai urusan dengannya. Buddhasasana pun tak pernah
menyusahkannya. Tapi, kenapa pula ia mencari perkara terhadap orang
yang tak bersalah. Kenapa pula ia usil terhadap orang yang tak pernah
mengusilinya.

Dan kini, karena ulahnya itu, ia terkena batunya. Ia harus tersiksa
karenanya. Murid Buddha Gotama yang muncul dua ratus tahun setelah
Sang Buddha Parinibbana itu telah memberinya pelajaran yang amat
berharga, walau terasa amat pahit. Membuat mata hatinya terbuka lebar.
Membuatnya sadar, betapa jahatnya dirinya, betapa usilnya dirinya,
betapa bodohnya dirinya.

Mengingat itu semua, dia merasa amat malu pada dunia. Dia merasa amat
malu pada Buddha Gotama. Dia merasa amat malu pada bhikkhu Upagupta.
Dan lebih dari itu semua, ia merasa amat malu pada diri sendiri. Dia
menyesali diri sendiri yang telah buta terhadap kebaikan. Mengabaikan
kesempatan yang amat langka.

Akhirnya, ia merasa amat marah terhadap dirinya sendiri. Giginya
mengatup, menggeretak. Dengan geram ia meronta. Dihentakkannya kakinya
beberapa kali ke tanah. Bumi pun berguncang. Salju pun pecah
bertebaran, berserakan menggelinding ke bawah mengikuti aliran sungai
Gangga.

Setelah melampiaskan kemarahan yang mengganjal di dada, Dewa Mara
merasa lilih, tenang. Pikirannya menjadi semakin jernih.

'Alangkah beruntungnya aku bertemu dengan bhikkhu Upagupta yang mampu
menyadarkan diriku. Apa yang terjadi bila tak seorang pun mampu
mengajarku. Tentu aku akan tetap tersesat pada kejahatan. Tapi, akan
lebih baik lagi bila aku mampu mencapai pencerahan sebagai
Sammasambuddha yang penuh welas asih, sebagai pelindung dan guru dari
semua makhluk' pikirnya.

Maka, di kesunyian puncak Himalaya yang amat dingin dan penuh salju,
dengan lantangnya dewa Mara, penguasa sorga Paranimmitavasavatti itu,
ber-adhitthana : 'Wahai alam semesta dan seisinya, saksikanlah, aku,
Maradhiraja penguasa sorga Paranimmittavasavatti, sejak saat ini,
menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, bertekad
akan berusaha menyempurnakan parami untuk mencapai penerangan sempurna
sebagai Sammasambuddha, pelindung dan guru bagi semua makhluk.'
Sesudah menguncarkan adhitthana itu, batinnya dipenuhi oleh ketenangan
dan kebahagiaan. Ketenangan dan kebahagiaan yang belum pernah
dirasakan sebelumnya.

Tiba-tiba, muncullah Upagupta Thera di hadapannya. Dengan malu-malu
dewa Mara menegur Sang Thera : 'Bhante, berarti sejak tadi Bhante
telah berada di sekitar tempat ini.'

'Benar, dewa yang baik. Saya tahu apa yang Anda perbuat dan mendengar
apa yang Anda katakan. Maka dari itu, ijinkan saya menyampaikan hormat
saya pada Anda, seorang Bodhisatta.'

'Tapi, Bhante dengan begitu kejamnya telah menyiksa saya. Saya tak
ingin menjadi seorang Arahat seperti Bhante, karena saya tak ingin ada
orang tersiksa seperti saya. Saya ingin menjadi Sammasambuddha yang
penuh welas asih.'

Dengan tersenyum geli, Upagupta Thera berkata :

'Dewa yang baik, janganlah Anda mendendam pada saya. Karena kamma kita
di masa lampau, kita berdua harus sering bertemu dan saling menyakiti.
Tapi, dalam kehidupan ini, sayalah yang menang dan berhasil
mengingatkan Anda kembali ke jalan yang benar. Itu tugas akhir saya
terhadap Anda. Bukankah kita tak akan bertemu lagi pada kehidupan yang
akan datang? Karenanya, harap Anda memaafkan saya bila Anda merasa
tersiksa karenanya. Jadi, bukan karena saya tak mempunyai welas asih.
Tapi, semata-mata karena kewajiban yang harus saya lakukan.'

'Bhante benar. Tak ada lagi hutang piutang diantara kita. Saya merasa
amat berterima kasih pada Bhante yang telah menolong saya untuk
kembali ke jalan yang benar. Dan Bhante ..., telah terlalu lama saya
menderita begini. Tolong bebaskanlah saya sekarang. Saya telah rindu
pada kebahagiaan sorgawi di istana saya' pintanya.

Bhikkhu Upagupta memejamkam mata sejenak, sambil mengatupkan kedua
telapak tangan di dada. Maka, terurailah ikat pinggang yang membelit
tubuh dewa Mara, melayang di udara, menjadi pendek seperti semula dan
jatuh tepat di tangan Sang Thera. Bangkai anjing di leher Mara pun
lenyap seketika.

Dewa Mara menarik napas dengan lega. Dia merasa amat kagum pada
kesaktian Sang Thera, murid Sang Buddha. Kalau muridnya saja begitu
sakti, bagaimana pula dengan Sang Buddha. 'Sebelum Anda kembali ke
tempat Anda, bolehkah saya meminta sesuatu pada Anda?' tanya Upagupta
Thera setelah membebaskan dewa Mara.

'Tentu, Bhante. Apakah yang harus saya perbuat untuk Bhante?'

'Wahai dewa Mara. Dalam satu hal, saya merasa kurang beruntung. Saya
dilahirkan jauh sesudah Sang Tathagata parinibbana. Karenanya, saya
tak pernah bertemu dan melihat langsung bagaimanakah rupa dari Guru
saya tersebut. Dalam hal ini Anda lebih beruntung dari pada saya. Anda
pernah bertemu dan melihat langsung Sang Buddha. Saya harap Anda mau
mengubah diri Anda menjadi Sang Buddha agar saya dapat melihat
bagaimanakah Guru saya itu. Itulah permintaan saya.'

'Baiklah, Bhante. Tapi, dengan satu syarat yang harus Bhante penuhi.
Bila saya telah mengubah diri menjadi Sang Buddha, janganlah Bhante
namakkara pada saya. Saya tak sanggup lagi menerima buah kamma buruk
karenanya,' kata Mara penuh kekhawatiran.

'Baiklah,' jawab Sang Thera.

Maka, Mara mengubah diri menjadi Buddha Gotama, lengkap dengan
Mahapurisalakkhana (tiga puluh dua ciri-ciri Kebuddhaan). Berjalan
dengan anggunnya diiringi oleh Asitimahasavaka (delapan puluh
murid-murid utama).

Setelah cukup lama memperhatikan dengan seksama, dengan penuh hormat,
Upagupta Thera melakukan namakkara di hadapan Sang Buddha.

Dengan segera lenyaplah pemandangan Sang Buddha beserta
murid-muridnya, berganti dengan dewa Mara yang sedang berdiri dengan
muka cemberut memandang Sang Thera.

'Mengapa Bhante mengingkari janji? Mengapa Bhante namakkara pada saya?
Lalu, buah kamma apa lagi yang akan saya terima karenanya? Dulu saya
telah banyak berbuat jahat pada Sang Buddha. Dan saya harus tersiksa
dengan badan terikat di puncak Himalaya ini,' kata Mara dengan penuh
kecemasan.

'Janganlah anda cemas. Saya tak mengingkari janji. Bhikkhu Upagupta
tidak melakukan namakkara pada dewa Mara. Saya melakukan namakkara
pada Sang Buddha, guru saya. Hal itu sama sekali tak berpengaruh pada
anda. Anda tidak akan menerima akibat buruk karenanya. Terima kasih
atas kebaikan anda. Kini, silakan kembali ke tempat Anda di sorga
Paranimmitavasavatti. Sayapun akan kembali ke senasana saya di laut
selatan. Selamat tinggal, dewa Mara.' Maka lenyaplah Sang Thera dari
pandangan dewa Mara.

Dewa Mara pun segera kembali ke sorga Paranimmitavasavatti, tingkatan
sorga yang tertinggi di antara sorga para dewa.

Kini, Maradhiraja yang biasa dikenal sebagai dewa Mara, masih
bertinggal di sorga Paranimmitavasavatti sebagai seorang Bodhisatta
yang sedang menghimpun Dasaparami. Kelak, di kappa yang akan datang,
dewa Mara akan berhasil mencapai penerangan sempurna sebagai seorang
Sammasambuddha. Sebagai satu-satunya Sammasambuddha di kappa tersebut.
Akan disebut Sammasambuddha Dhammasami, yang mempunyai amat banyak
murid yang berhasil mencapai kesucian.Kappa dimana kini kita hidup,
mempunyai paling banyak Sammasambuddha, yaitu lima orang
Sammasambuddha.***


****************
Sebagaimana ia mengajari orang lain, demikianlah hendaknya ia berbuat. Setelah
ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, hendaklah ia melatih orang
lain. Sesungguhnya amat sukar untuk mengendalikan diri sendiri.(DHAMMAPADA,
syair 159)

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi
suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seorangpun yang
dapat mensucikan orang lain. (DHAMMAPADA, syair 165)
0 komentar

BAGAIMANA SANG BUDDHA WAFAT ?

BAGAIMANA SANG BUDDHA WAFAT ?
Oleh : Dr. Bhikkhu Mettanando*

Selama hari Vesak, kita telah diberitahukan bahwa hari itu juga merupakan hari dimana Sang Buddha mencapai Parinibbana. Tetapi tidak banyak orang mengetahui bagaimana Sang Buddha wafat. Teks-teks kuno menampilkan dua kisah tentang wafatnya Sang Buddha. Apakah wafatnya Sang Buddha direncanakan dan merupakan kehendak Sang Buddha, atau apakah karena keracunan makanan, atau ada hal lain yang berkaitan satu sama dengan yang lain ? Inilah jawabannya.
BAGAIMANA SANG BUDDHA WAFAT ?
Oleh : Dr. Bhikkhu Mettanando*

Selama hari Vesak, kita telah diberitahukan bahwa hari itu juga merupakan hari dimana Sang Buddha mencapai Parinibbana. Tetapi tidak banyak orang mengetahui bagaimana Sang Buddha wafat. Teks-teks kuno menampilkan dua kisah tentang wafatnya Sang Buddha. Apakah wafatnya Sang Buddha direncanakan dan merupakan kehendak Sang Buddha, atau apakah karena keracunan makanan, atau ada hal lain yang berkaitan satu sama dengan yang lain ? Inilah jawabannya.

Mahaparinibbana Sutta, yang merupakan kotbah panjang dalam Tipitaka Pali, tidak diragukan lagi merupakan sumber yang paling dapat dipercaya untuk perincian atas wafatnya Siddhattha Gotama (563-483 SM), Sang Buddha. Mahaparinibbana Sutta disusun dalam bentuk naratif yang membiarkan para pembaca untuk mengikuti kisah hari-hari terakhir Sang Buddha, yang dimulai dari beberapa bulan sebelum Beliau wafat.

Walaupun demikian, untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi terhadap Sang Buddha adalah suatu hal yang tidak sederhana. Sutta, atau kotbah, melukiskan dua kepribadian Sang Buddha yang saling bertolak belakang, yang satu mengesampingkan yang lainnya.

Kepribadian Sang Buddha yang pertama adalah sebagai pembuat keajaiban yang menyeberangkan diriNya dan rombongan para bhikkhu ke seberang Sungai Gangga (D II, 89), Yang dengan mata batin melihat keberadaan para dewa di atas bumi (D II, 87), Yang dapat hidup sampai akhir dunia dengan syarat seseorang mengundangNya untuk melakukan hal itu ( D II, 103), Yang menentukan waktu kemangkatanNya ( D II, 105), dan Yang kemangkatanNya dimuliakan dengan hujan bunga surgawi, serbuk kayu cendana dan musik surgawi (D II, 138).

Kepribadian Sang Buddha yang lainnya adalah sebagai layaknya makhluk berusia lanjut yang jatuh sakit ( D II, 120), Yang hampir kehilangan hidupNya karena sakit yang teramat sangat selama masa vassaNya (retreat musim hujan)yang terakhir di Vesali( D II, 100), dan Yang harus menghadapi penyakit dan kemangkatanNya yang tak didugaNya setelah mengkonsumsi hidangan khusus yang ditawarkan oleh penjamuNya yang dermawan.

Dua kepribadian ini bergantian muncul dalam bagian-bagian yang berbeda dari cerita naratif tersebut. Lebih dari itu, di dalamnya juga nampak dua penjelasan mengenai penyebab mangkatnya Sang Buddha : Yang pertama, kemangkatan Sang Buddha disebabkan oleh pengiringNya, Ananda, yang gagal mengundang Sang Buddha untuk tetap hidup sampai akhir dunia atau bahkan lebih lama dari itu (D II, 117). Yang kedua adalah bahwa Sang Buddha mangkat karena sakit yang mendadak yang dimulai setelah Beliau makan makanan yang dikenal sebagai "Sukaramaddava" (D II, 127-157).

Kisah yang pertama mungkin suatu legenda, atau hasil dari suatu pergumulan politik di dalam komunitas Buddhist selama tahap transisi, sedangkan kisah yang terakhir terdengar lebih realistis dan akurat dalam menggambarkan situasi kehidupan nyata yang terjadi di dalam hari-hari terakhir Sang Buddha.

Sejumlah studi telah memusatkan perhatian pada asal-muasal hidangan khusus yang dimakan oleh Sang Buddha selama makanan terakhirNya sebagai penyebab kemangkatanNya. Bagaimanapun juga, ada pendekatan lain yang didasarkan pada deskripsi tentang gejala-gejala dan tanda-tanda yang diberikan dalam Sutta, yang bisa dijelaskan oleh pengetahuan medis modern.

Dalam salah satu lukisan dinding yang berada di Wat (Vihara) Ratchasittharam, Sang Buddha dalam keadaan mendekati ajalNya, tetapi Beliau masih menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh petapa Subhadda, yang menjadi siswa terakhirNya, yang setelah ditahbis menjadi anggota sangha, kemudian menjadi seorang Arahat.


Apa yang kita ketahui

Dalam Mahaparinibbana Sutta, kita diberitahukan bahwa Sang Buddha menderita sakit secara tiba-tiba setelah Beliau memakan suatu hidangan khusus yang lezat, Sukaramaddava, yang secara harafiah diterjemahkan sebagai "daging babi lunak", yang telah disiapkan oleh penjamu dermawanNya, Cunda Kammaraputta. Nama dari hidangan tersebut menarik perhatian dari banyak sarjana, dan hal itu menjadi fokus dari riset akademis terhadap asal muasal makanan hidangan atau bahan baku yang digunakan di dalam memasak hidangan khusus ini.

Dalam Sutta sendiri selain menyediakan detil-detil yang berkaitan dengan tanda-tanda dan gejala-gejala dari penyakit Sang Buddha, juga menyertakan beberapa informasi yang dapat diandalkan mengenai keadaan Sang Buddha selama empat bulan sebelumnya, dan uraian ini juga sangat berarti secara medis.

Sutta di awali dengan rencana Raja Ajatasattu untuk menaklukkan negara saingannya, kerajaan Vajji. Sang Buddha melakukan perjalanan ke Vajji untuk memulai vassa (retreat musim hujan) terakhirNya. Dalam masa vassa ini Beliau jatuh sakit. Gejala dari penyakiNya adalah tiba-tiba dan sakit yang teramat sangat.

Walau demikian, di dalam Sutta tidak diuraikan tentang ciri-ciri dan letak penyakitNya. Sutta itu hanya menyinggung sekilas penyakit Beliau, dan dikatakan penyakitnya sangat keras, dan hampir membunuhNya.

Sesudah itu, Sang Buddha dikunjungi oleh Mara, Dewa Kematian, yang mengundang Beliau untuk mangkat. Sang Buddha tidak menerima undangan dengan segera. Hanya setelah Ananda, pengiringNya, gagal untuk mengenali isyarat yang diberikanNya mengenai kemangkatan Beliau. Sepotong pesan ini, meskipun terkait erat dengan mitos dan hal supernatural, memberikan kita beberapa informasi medis yang sangat berarti. Saat sutta ini disusun, penulisnya berada dalam keadaan terkesan bahwa Sang Buddha wafat bukan oleh karena makanan yang Beliau makan, tetapi dikarenakan Beliau telah memiliki penyakit yang serius dan akut serta memiliki gejala-gejala yang sama dengan penyakit yang pada akhirnya membuatNya mangkat.


Waktu Kejadian

Umat Buddha tradisi Theravada berpegang pada asumsi bahwa Buddha Historis wafat pada malam bulan purnama dalam penanggalan bulan di bulan Visakha (yang kadangkala jatuh pada bulan Mei sampai Juni). Tetapi waktu tersebut bertolak belakang dengan informasi yang terdapat dalam Sutta, dimana secara jelas bahwa Sang Buddha segera mangkat setelah masa vassa (retreat musim hujan), kemungkinan besar adalah pada musim gugur atau pertengahan musim dingin, yaitu antara bulan November hingga Januari.

Uraian tentang keajaiban akan mekarnya daun-daun dan bunga-bunga pada pohon-pohon sala ketika Sang Buddha berbaring di antaranya, menunjukkan periode waktu yang diberikan dalam sutta.

Bagaimanapun juga, musim gugur dan musim dingin adalah musim yang tidak cocok untuk pertumbuhan jamur, yang menurut beberapa sarjana dipercaya sebagai sumber racun yang dimakan Sang Buddha selama memakan makanan terakhirNya.


Diagnosa

Sutta menceritakan kepada kita bahwa Sang Buddha jatuh sakit dengan seketika setelah menyantap Sukaramaddava. Karena kita tidak mengetahui segalanya tentang sifat dasar makanan ini, menjadi sukar bagi kita untuk mengatakannya sebagai penyebab langsung dari penyakit Sang Buddha. Tetapi dari uraian yang diberikan, diketahui bahwa serangan penyakit tersebut berlangsung cepat.

Ketika menyantap, Sang Buddha merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan makanan itu dan ia menyarankan penjamuNya untuk menguburkan makanan tersebut. Segera setelah itu, Sang Buddha menderita sakit perut yang parah dan mengeluarkan darah dari rektumNya.

Masuk akal untuk kita asumsikan bahwa penyakit itu dimulai ketika Sang Buddha sedang menikmati makananNya, sehingga membuatNya berpikir bahwa ada sesuatu yang salah dengan makanan yang tidak familiar itu. Karena kasih sayangNya kepada orang lain, maka Beliau sarankan agar makanan itu dikubur.

Apakah makanan yang beracun sebagai penyebab dari penyakit itu? Sepertinya tidak demikian. Gejala-gejala yang diuraikan tidak mengindikasikan keracunan makanan, yang bisa sangat akut , tetapi dapat dipastikan menyebabkan diare dengan darah. Umumnya, makanan beracun disebabkan oleh bakteri yang tidak segera membelah diri, tetapi mengalami suatu masa inkubasi selama dua sampai 12 jam untuk membelah diri, umumnya disertai dengan diare dan muntah-muntah yang akut, bukan dengan pendarahan.

Kemungkinan yang lain adalah bahan kimia beracun, yang juga memiliki efek cepat, tetapi bukanlah hal yang biasa bagi bahan kimia beracun menjadi penyebab pendarahan usus yang sangat parah. Makanan yang beracun dengan pendarahan usus langsung hanya bisa disebabkan oleh bahan kimia yang bersifat menghancurkan (korosif) seperti asam cuka yang keras, yang dapat dengan mudah menimbulkan penyakit seketika. Tetapi bahan kimia yang bersifat menghancurkan tersebut sudah pasti akan menyebabkan pendarahan pada usus bagian atas, yang menimbulkan muntah darah. Tidak satupun tanda-tanda parah tersebut disebutkan dalam teks.

Penyakit-penyakit radang dinding lambung juga dapat diabaikan dari daftar penyakit tersebut. Kendati faktanya bahwa penyakit ini menyerang dengan cepat, penyakit ini jarang diikuti oleh kotoran (feces) berdarah. Radang lambung dengan pendarahan usus menghasilkan kotoran berwarna hitam ketika radang menembus suatu pembuluh darah. Tukak pada saluran pencernaan yang lebih atas akan lebih memungkinkan mengakibatkan muntah darah, bukan pendarahan melalui rektum.

Bukti lain yang menyangkal kemungkinan ini adalah seorang pasien dengan radang lambung yang besar pada umumnya tidak mempunyai selera makan. Dengan menerima undangan untuk makan siang bersama sang penjamu, kita dapat berasumsi bahwa Sang Buddha merasa sesehat yang dirasakan orang manapun yang berada di awal usia 80nya. Dengan usiaNya yang demikian, kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan bahwa Sang Buddha tidak mempunyai suatu penyakit kronis, seperti TBC atau kanker atau suatu infeksi/peradangan tropis seperti penyakit tipus atau disentri, yang sangat lazim di jamanNya.

Penyakit-penyakit ini bisa mengakibatkan pendarahan usus bawah, tergantung pada letaknya. Penyakit-penyakit ini juga sesuai dengan sejarah dari penyakit awal Sang Buddha sepanjang masa vassa (retreat musim hujan). Tetapi penyakit-penyakit ini dapat dikesampingkan, karena pada umumnya penyakit-penyakit ini diikuti oleh gejala lain, seperti kelesuan, hilangnya selera makan, penurunan berat badan, busung atau buncit pada perut bagian bawah (abdomen). Tidak satupun gejala tersebut di sebutkan dalam sutta.

Wasir besar dapat menyebabkan pendarahan parah pada daerah pembuangan, tetapi sepertinya wasir mustahil dapat menyebabkan sakit yang sangat parah pada perut bagian bawah (abdomen) kecuali jika tersumbat. Tetapi hal itu akan sangat mengganggu perjalanan Sang Buddha ke rumah penjamuNya, dan jarang sekali pendarahan wasir disebabkan oleh makanan.


Mesenteric infarction

Penyakit yang sesuai dengan gejala-gejala yang yang telah dideskripsikan, yang disertai rasa sakit hebat pada perut bagian bawah (abdominal) dan mencret darah, umumnya ditemukan pada orang-orang usia lanjut, dan dipicu oleh makanan adalah mesenteric infarction (terganggunya jaringan pembuluh darah sekita usus), yang disebabkan oleh tersumbatnya pembuluh darah di mesentery. Hal ini sangat mematikan. Ischaemia Mesenteric akut (berkurangnya suplai darah ke mesentery)adalah suatu kondisi yang parah dengan resiko kematian yang tinggi.

Mesentery adalah bagian dari dinding usus yang mengikat keseluruhan bidang usus sampai rongga abdominal. Terhambatnya suplai darah di sekitar usus biasanya menyebabkan kematian pada jaringan tisu di bagian besar dari saluran usus bagian akhir (intestinal tract), yang akan mengakibatkan luka sayatan pada dinding saluran usus bagian akhir.

Secara normal hal ini menghasilkan sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas (abdomen) dan mencret darah. Pasien pada umumnya meninggal karena kekurangan darah yang sangat parah. Kondisi ini sesuai dengan informasi yang diberikan dalam sutta. Hal ini juga dikuatkan kemudiannya ketika Sang Buddha meminta Ananda untuk mengambil sedikit air untukNya untuk diminum, yang menandakan Beliau sangat haus.

Seperti yang dikisahkan, Ananda menolak, karena Ananda tidak menemukan sumber air bersih. Ananda berargumen dengan Sang Buddha bahwa aliran sungai yang terdekat telah dikeruhkan oleh rombongan kereta besar. Tetapi Sang Buddha meminta Ananda dengan tegas untuk mengambil air bagaimanapun juga.

Sebuah pertanyaan muncul pada poin ini: Mengapa Sang Buddha tidak pergi sendiri saja ke sumber air, daripada mendesak Ananda yang enggan untuk melakukannya ? Jawabannya sederhana. Sang Buddha sedang menderita shock yang disebabkan oleh kehilangan banyak darah. Beliau tidak mampu berjalan lagi, dan dari saat itu sampai ke tempat peristirahatan terakhirNya Beliau hampir dapat dipastikan berada dalam tandu.

Jika situasinya memang demikian, sutta tidak mengisahkan tentang perjalanan Sang Buddha ke peristirahatan terakhirnya, kemungkinannya karena si penulis merasa bahwa hal itu akan memalukan Sang Buddha. Secara geografis, kita mengetahui bahwa jarak antara tempat yang di percaya sebagai rumah Cunda dengan tempat dimana Sang Buddha mangkat adalah sekitar 15 sampai 20 kilometer. Tidaklah mungkin bagi seorang pasien penderita penyakit yang mematikan seperti itu untuk berjalan kaki dengan jarak seperti itu.

Lebih memungkinkan, apa yang terjadi adalah Sang Buddha dibawa dalam sebuah tandu oleh sekelompok bhikkhu ke Kusinara (Kushinagara).

Yang menjadi point perdebatan adalah apakah Sang Buddha benar-benar bertekad untuk mangkat di kota ini (Kusinara), mengingat bahwa kota ini diperkirakan tidak lebih besar dari dari sebuah kota kecil. Dari arah perjalanan Sang Buddha yang diberikan dalam sutta, Beliau menuju ke utara dari Rajagaha. Ada kemungkinan Beliau tidak berniat untuk mangkat di sana, tetapi di kota tempat kelahiranNya dimana membutuhkan waktu tiga bulan untuk sampai ke sana.

Dari sutta, sudah jelas bahwa Sang Buddha tidak mengantisipasi penyakit mendadakNya, jika tidak, Beliau tidak akan menerima undangan penjamuNya. Kusinara mungkin merupakan kota yang terdekat dimana Beliau bisa menemukan seorang dokter untuk merawat diriNya. Tidaklah sukar untuk membayangkan sekelompok bhikkhu dengan terburu-buru membawa Sang Buddha di atas sebuah tandu menuju ke kota yang terdekat untuk menyelamatkan hidupNya.

Sebelum mangkat, Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda untuk tidak menyalahkan Cunda atas kemangkatanNya dan Beliau mangkat bukan disebabkan memakan Sukaramaddava. Pernyataan ini sangat penting. Makanan tersebut bukanlah penyebab secara langsung atas kemangkatanNya. Sang Buddha mengetahui bahwa gejala penyakit yang muncul merupakan gejala yang pernah Beliau alami beberapa bulan lebih awal, yang telah hampir membunuhNya.

Sukaramaddava, apapun bahannya ataupun cara memasaknya, bukanlah penyebab langsung dari penyakit mendadakNya.


Tahapan perkembangan penyakit

Mesenteric infarction adalah suatu penyakit yang biasanya ditemukan di antara orang lanjut usia, disebabkan oleh penyumbatan pada pembuluh darah utama yang menyuplai bagian tengah dinding saluran usus kecil bagian akhir dengan darah. Penyebab yang paling umum dari penyumbatan ini adalah melemahnya dinding pembuluh darah (vessel), pembuluh darah besar mesenteric, yang menyebabkan sakit yang teramat sangat pada perut bagian atas (abdomen), yang juga dikenal sebagai abdominal angina (keram perut).

Secara normal, rasa sakit dipicu oleh makanan yang berat (besar), yang memerlukan aliran darah lebih tinggi ke saluran pencernaan. Ketika penyumbatan terjadi, saluran usus kecil kehilangan persediaan darah nya , yang kemudian terjadi hambatan suplai darah, atau mati rasa setempat (gangrene), pada bagian saluran usus akhir (intestinal tract). Hal ini pada gilirannya mengakibatkan luka sayatan pada dinding saluran usus akhir, pendarahan yang sangat dalam pada saluran usus akhir, dan kemudian diare berdarah.

Penyakit menjadi tambah parah ketika cairan dan isi usus mengalir ke luar melalui rongga peritoneal, sehingga menyebabkan radang selaput perut atau radang dinding abdominal.

Ini sudah merupakan kondisi yang mematikan bagi si pasien, yang sering kali meninggal karena kehilangan darah dan cairan tubuh lainnya. Jika tidak diperbaikan dengan pembedahan, penyakit ini sering berkembang menjadi septic shock karena masuknya racun-racun bakteri ke dalam aliran darah.


Analisa Retrospektif (kebelakang)

Dari hasil diagnosa tersebut di atas, kita dapat lebih memastikan bahwa Sang Buddha menderita mesenteric infarction yang disebabkan oleh penyumbatan pada superior mesenteric artery. Inilah penyebab rasa sakit yang hampir saja merenggut ajal Beliau beberapa bulan lalu saat vassa (retret) musim hujan terakhirNya.

Dengan berkembangnya penyakit itu, sebagian dari selaput lender usus Beliau terkelupas, dan di sinilah yang menjadi menjadi asal muasal pendarahan tersebut. Arteriosclerosis, pengerasan dinding pembuluh darah akibat penuaan, merupakan penyebab dari tersumbatnya pembuluh darah, penyumbatan kecil yang tidak akan mengakibatkan diare berdarah, tapi merupakan gejala, yang juga kita kenal sebagai abdominal angina (keram perut).

Beliau mendapat serangan kedua ketika sedangan makan Sukaramaddava. Pada awalnya rasa sakit itu tidak begitu hebat, tapi membuat Beliau merasa ada yang sesuatu yang tidak beres. Mempertanyakan akan makanan itu, Beliau lalu meminta tuan rumah untuk menguburkan makanan itu sehingga yang lain tidak akan menderita karenanya.

Segera, Sang Buddha menyadari bahwa penyakit itu serius, dengan adanya mencret darah yang disertai rasa sakit yang hebat pada bagian perut. Karena kehilangan banyak darah, Beliau mengalami shock. Tingkat dehidrasi atau kehilangan cairan darah sudah sedemikian parah sehingga Beliau tidak sanggup lagi mempertahankan diri dan harus berteduh di sebuah pohon di sekitar situ.

Merasa sangat haus dan kelelahan, Beliau meminta Ananda untuk pergi mengambilkan air untuk diminumNya, walaupun Beliau mengetahui bahwa airnya keruh. Di sanalah Beliau pingsan sehingga rombongan pengiring Nya membawa Beliau ke kota terdekat, Kusinara, dimana ada peluang untuk menemukan dokter atau penginapan untuk memulihkan diriNya.

Mungkin benar Sang Buddha menjadi lebih baik setelah minum untuk menggantikan cairan tubuhNya yang hilang, dan beristirahat di atas tandu. Pengalaman dengan gejala-gejala yang sama memberitahukan Beliau bahwa penyakitNya yang tiba-tiba ituadalah serangan kedua dari penyakit yang sudah ada. Beliau memberitahukan Ananda bahwa bukan makanan itu sebagai penyebab penyakitNya, dan Cunda jangan di salahkan.

Pasien yang mengalami shock, dehidrasi, dan kehilangan banyak darah biasanya merasa sangat dingin. Inilah sebabnya Beliau meminta pengiringNya untuk menyiapkan pembaringan yang dialasi dengan empat lembar Sanghati. Sesuai dengan disiplin monastic Buddhist (Vinaya), Sanghati adalah selembar kain atau seprei, yang diijinkan oleh Sang Buddha utnuk dipakai oleh para bhikkhu dan bhikkhuni pada musim dingin.

Informasi ini mencerminkan betapa Sang Buddha merasa dingin karena kehilangan darahNya. Secara klinis, tidaklah memungkinkan bagi pasien yang sedang dalam keadaan shock dengan rasa sakit yang hebat di bagian perut, kemungkinan besar mengalami peritonitis atau peradangan pada dinding perut, pucat, dan sedang menggigil kedinginan, untuk bisa berjalan.

Kemungkinan terbesar Sang Buddha diistirahatkan di sebuah penginapan yang terletak di kota Kusinara, di mana Beliau dirawat dan diberi kehangatan. Pandangan ini juga sesuai dengan deskripsi tentang Ananda yang menangis, tidak sadarkan diri, dan berpegangan pada pintu penginapan setelah tahu Sang Buddha akan segera wafat.

Secara normal,pasien yang menderita mesenteric infarction dapat hidup 10 sampai dengan 20 jam. Dari sutta kita tahu Sang Buddha wafat sekitar 15 sampai 18 jam setelah serangan itu. Selama jangka waktu itu, para pengiringNya telah mengusahakan upaya terbaik mereka untuk menyamankan Beliau, misalnya, dengan menghangatkan kamar istirahatNya, atau dengan meneteskan beberapa tetes air ke mulut Beliau untuk menghilangkan rasa hausNya yang terus-menerus, atau dengan memberikan Beliau minuman herbal. Namun kecil sekali kemungkinannya pasien yang sedang mengigil kedinginan akan membutuhkan seseorang untuk mengipasi diriNya sebagaimana yang dideskripsikan dalam sutta.

Beliau mungkin silih berganti pulih dari kndisi kelelahan sehingga memungkinkan diriNya untuk melanjutkan pembicaraan dengan beberapa orang. Kebanyakan kata-kata terakhir Beliau kemungkinan benar adanya, dan kata-kata tersebut dihafal dari satu generasi bhikkhu ke generasi bhikkhu lainnya hingga ditranskripkan. Tapi pada akhirnya, di malam yang semakin larut, Sang Buddha wafat saat septic shock kedua menyerang. Penyakit Beliau berasal dari sebab-sebab yang alami ditambah usia lanjut, sebagaimana yang bisa menimpa siapa saja.


Kesimpulan

Hipotesisa yang secara garis besar di uraikan di atas menjelaskan beberapa kejadian dari kisah di dalam sutta, sebut saja, desakan agar Ananda pergi mengambilkan air, permintaan Sang Buddha agar tempat tidurnya dilapisi empat lembar kain, permintaan agar makanan itu dikubur, dan lain sebagainya.

Hipotesa ini juga menyingkap kemungkinan lain yaitu sarana transportasi yang digunakan oleh Sang Buddha untuk pergi ke Kusinara dan ranjang kemangkatanNya. Sukaramaddava, apapun sifat dasarnya, sepertinya bukanlah penyebab langsung dari penyakit Beliau. Sang Buddha wafat bukan karena keracunan makanan. Melainkan, karena porsi makan, yang relatif terlalu besar untuk saluran pencernaanNya yang sudah bermasalah. Porsi makan inilah yang memicu serangan mesenteric infarction kedua yang mengakhiri hidupNya.






*)
Dr. Bhikkhu Mettanando adalah Bhikkhu Thailand yang telah mengajar meditasi selama lebih dari tiga puluh tahun. Beliau mendapatkan S1 untuk sains dan gelar dokter dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, dan menguasai bahasa Sanskerta dan kebudayaan agama India kuno berkat gelas Master yang diperolehnya dari Universitas Oxford. Beliau juga mendapat gelar Master Theologi dari Havard Divinity School dan PhD. dari Universitas Hamburg, Jerman. Tesisnya difokuskan pada Meditasi dan Penyembuhan dari Tradisi Theravada di Thailand dan Laos. Saat ini mengajar Agama Buddha dan Meditasi di Universitas Chulalongkorn dan Universitas Assumption, juga aktif di bidang pengobatan alternatif dalam hospice and palliative care, dan mengajar etika medis pada dokter dan perawat Thailand maupun secara internasional.


Judul asli: How Buddha Died
Oleh: Dr. Bhikkhu Mettanando
Diterjemahkan dan online di : Bhagavant.com
0 komentar

Te Cong Ong Pho Sat - Bodhisatva Ksitigarbha

Te Cong Ong Pho Sat – Bodhisatva Ksitigarbha
[我不入地獄,誰入地獄]  “Kalau bukan aku yang ke Neraka, siapakah yang akan pergi ke Neraka?” Kalimat ini sering dipakai untuk melukiskan semangat & tekad Kalau bukan saya siapa lagi, hanya satu-satunya yaitu diri sendiri menghadapi dengan keberanian, suatu keadaan yang luar biasa sulit, di mana orang lain satu demi satu akan menghindar dari hal tersebut. Sebenarnya, kalau kita mengerti betapa menakutkan & menderitanya berada di Neraka, yang bisa mengucapkan & bisa melaksanakan sekaligus, barangkali hanya Te Cong Ong Pho Sat.
地藏王菩薩Di Zang Wang Pu Sa {Hok Kian = Te Cong Ong Pho Sat} atau disebut juga Di Zang Pu Sa {Te Cong Pho Sat}. Dalam bahasa Sansekerta disebut Bodhisatva Ksitigarbha, adalah dewata Buddhisme yang paling banyak dipuja oleh masyarakat di samping Guan Yin Pu Sa.
Di berarti bumi yang amat besar. Zang berarti menyimpan. Ini menunjukkan bahwa hati Te Cong Ong Pho Sat seperti bumi yang amat besar, yang dapat menyimpan apa saja, termasuk manusia yang tak terhitung jumlahnya, terutama yang memiliki akar kebajikan.
Te Cong Ong Pho Sat adalah salah satu dari 4 Bodhisatva yang amat dihormati oleh umat Buddhis Mahayana. Keempat Boddhisatva tersebut masing-masing memiliki 4 kwalitas dasar :
  1. Guan Yin Pu Sa sebagai lambang Welas Asih.
  2. Wen Su Pu Sa sebagai lambang Kebijaksanaan.
  3. Pu Xian Pu Sa sebagai lambang Kasih & Pelaksanaan.
  4. Di Zang Pu Sa sebagai lambang Keagungan dalam sumpah untuk menolong roh-roh yang sengsara.
Sumpah Agungnya yang penuh rasa welas asih berbunyi : “Kalau bukan aku yang pergi ke Neraka untuk menolong roh-roh yang tersiksa di sana, siapakah yang akan pergi? …… Kalau Neraka belum kosong dari roh-roh yang menderita, aku tidak akan menjadi Buddha.”
Di dalam hati orang Tionghoa, Te Cong Ong Pho Sat adalah Dewa Pelindung bagi arwah-arwah yang mengalami siksaan di Neraka, agar mereka dapat terbebas & terlahir kembali (tumimbal lahir). Beliau sering dikaitkan dengan 10 Raja Akhirat (Shi Tian Yan Wang). Ke sepuluh Raja Akhirat adalah bawahan langsung dari beliau, sehingga beliau bergelar You Ming Jiao Zhu (Pemuka Agama di Akhirat). Beliau menjadi pelindung para arwah, membimbing mereka agar insyaf dari perbuatan buruknya di masa yang lalu, & tak akan mengulangnya lagi, agar dapat terbebas dari karma buruk pada penitisan yang akan datang.
Sejarah Te Cong Ong Pho Sat tercatat dalam Kitab Suci Buddhis sebagai berikut: Ketika Buddha Sakyamuni telah menyelesaikan tugasnya & masuk Nirwana, 1.500 tahun kemudian ia menitis kembali ke dunia & terlahir di Korea, dengan nama Jin Qiao Jue {Kim Kiauw Kak}, seorang pangeran dari keluarga Raja di negeri Sin Lo. Setelah banyak orang mengetahui bahwa ia adalah penitisan Buddha, mereka memanggilnya Jin Di Zang. Beliau berwatak sederhana, welas asih & berbudi, tidak serakah akan harta & tahta. Ia amat gemar mendalami ajaran Kong Hu Cu & Buddha.
Pada tahun 653 M, tahun Yong Wei ke-4, yaitu masa pemerintahan Kaisar Tang Gao Zong, Jin Qiao Jue yang pada waktu itu berusia 24 tahun dengan membawa seekor anjing yang diberi nama Shan Ting (arti harfiah : “Pandai Mendengar”) berlayar menyeberangi lautan, kemudian sampai di pegunungan Jiu Hua Shan, propinsi An Hui.
Gunung Jiu Hua Shan sebenarnya adalah milik Min Gong {Bin Kong}. Min Gong adalah orang yang sangat berbudi, suka menolong orang-orang yang tertimpa kemalangan. Ia berjanji untuk menyediakan makanan vegetarian untuk 100 orang Bikkhu. Namun, setiap kali ia hanya bisa mengumpulkan 99 orang, tidak pernah berhasil memenuhi jumlah 100 orang.
Oleh karena itu, kali ini ia pergi sendiri ke gunung untuk mencari Bikkhu yang ke-100. Ketika melihat Jin Qiao Jue sedang bersemedi di sebuah gubuk, ia segera menghampirinya & mengundangnya datang ke rumah untuk makan bersama. Jin Qiao Jue yang melihat Min Gong kelihatannya berjodoh dengannya, lalu memenuhi undangannya, tapi dengan mengajukan 1 permintaan. Permintaannya sederhana: ia hanya menginginkan sebidang tanah di Jiu Hua Shan seluas baju Kasa-nya (Jubah Suci Bikkhu) yang ditebarkan. Melihat permintaan yang sepele itu, Min Gong langsung menyetujuinya. Namun keanehan terjadi. Ketika Jin Qiao Jue menebarkan baju kasanya ke udara, ternyata baju pusaka tersebut berubah menjadi luar biasa besar sehingga dapat menutup seluruh pegunungan itu.
Demikianlah Min Gong lalu menyerahkan Jiu Hua Shan kepada Jin Qiao Jue yang digunakan untuk mendirikan tempat ibadah & mengajar Dharma. Min Gong bahkan menyuruh putranya untuk menemani Jin Qiao Jue menjadi Bikkhu. Putra Min Gong ini kemudian disebut Dao Ming He Sang {To Bing Hwe Sio}. Selanjutnya Min Gong pun meninggalkan kehidupan-nya yang penuh kemewahan untuk ikut menjadi penganut Jin Qiao Jue & mengangkat Dao Ming He Sang, putranya sendiri, menjadi gurunya, & mensucikan diri di gunung Jiu Hua Shan.
Dewasa ini, gambar ataupun arca Te Cong Ong Pho Sat biasanya dilengkapi dengan seorang Bikkhu muda yang berdiri di sebelah kiri & seorang tua berdiri di sebelah kanannya. Itu adalah Dao Ming He Sang & Min Gong.
Jin Qiao Jue bertapa di Gunung Jiu Hua Shan selama 75 tahun, dengan ditemani oleh anjingnya yang setia. Te Cong Ong Pho Sat wafat di usia 99 tahun, tahun 728 M, pada masa pemerintahan Kaisar Xuan Zong dari Dinasti Tang, pada bulan 7 tanggal 30 penanggalan Imlek. Inilah sebabnya mengapa setiap tanggal tersebut orang Tionghoa banyak membakar hio yang disebut Di Zang Xiang {Te Cong Hio} atau Dupa Te Cong.
Jenazah Jin Qiao Jue ditempatkan pada sebuah gua batu kecil. Sampai pada suatu ketika jenazah dikeluarkan, tapi masih dalam keadaan baik & tidak membusuk, & wajahnya seperti orang tidur.
Pada masa pemerintahan Kaisar Xiao Zong, para umatnya membangun sebuah pagoda di Nan Tai (salah satu puncak di Jiu Hua Shan) & menempatkan abunya di sana. Tatkala pagoda tersebut selesai dibangun & abu telah ditempatkan, ternyata dari pagoda itu mengeluarkan sinar yang terang-benderang, sehingga mengherankan orang-orang yang ada di situ. Tempat itu lalu diubah namanya menjadi Shen Guang Ling yang berarti Bukit Cahaya Dewa. Sejak itu Jiu Hua Shan menjadi salah satu gunung suci umat Buddha.
Di Tiongkok terdapat 4 Gunung Suci untuk umat Buddha :
  1. Jiu Hua Shan di propinsi An Hui.
  2. Wu Tai Shan di Propinsi Shan Xi.
  3. Er Mei Shan di propinsi Si Chuan.
  4. Pu Tuo Shan di propinsi Zhe Jiang.
Jiu Hua Shan yang merupakan Gunung Suci umat Buddha, sebenarnya adalah salah satu cabang dari pegunungan Huang Shan, dengan tinggi + 1.000 m. Karena 9 puncaknya berbentuk seperti bunga yang sedang mekar, maka orang-orang lalu menamakannya Jiu Hua Shan (Gunung 9 Bunga). Di sini terdapat 108 buah Kuil Buddha. Yang tertua adalah Hua Cheng Si.
Zaman dulu setiap bulan 7 tanggal 30 Imlek, para umat banyak yang berbondong-bondong ke Kelenteng Hua Cheng Si untuk merayakan ulang tahun Di Zang Wang. Bangunan Kelenteng ini sangat indah, penuh ukiran kayu & batu yang bermutu tinggi sehingga para pengunjung dapat menikmati suatu karya seni Tiongkok Kuno yang amat bernilai. Selain itu patut dinikmati pula peninggalan sejarah berupa tulisan & prasasti yang ditulis oleh para Kaisar zaman dulu yang berkunjung ke Kelenteng ini. Ruang utama kelenteng ini disebut Yue Shen Bao Dian, adalah tempat wafatnya Te Cong Ong Pho Sat. dalam ruang ini terdapat batu yang tercatat telapak kakinya. Para pengunjung yang memasuki ruangan ini selalu berdoa sambil membakar dupa.
Dalam masyarakat pemujaan Te Cong Ong Pho Sat amat populer, tidak hanya di kalangan Buddhis saja. Selain dipuja di kelenteng yang bercorak Buddha, Te Cong Ong banyak terdapat di kelenteng-kelenteng keluarga, rumah-rumah abu atau tempat pembakaran mayat. Tujuannya agar roh leluhur mereka memperoleh perlindungan dari Te Cong Ong Pho Sat sehingga dapat lebih cepat terbebas dari siksaan di Neraka & terlahir kembali. Kadang kala upacara di tempat itu dilakukan secara Taoisme, tapi bagi masyarakat umum hal ini tidak penting. Yang penting bagi mereka adalah sembahyang itu sendiri, tanpa perduli apakah itu dari Taois atau Buddhis.
Menurut Buku “Catatan dari Beijing”, pada malam peringatan hari lahir Te Cong Ong Pho Sat, diadakan sembahyang & diadakan pembacaan paritta di kelenteng-kelenteng di Beijing & sekitarnya. Dipersiapkan juga sebuah perahu dari kertas & bambu, di dalamnya ditempatkan arca Te Cong Ong & 10 Raja Akhirat yang juga terbuat dari kertas. Tengah malam setelah selesai upacara sembahyang, lilin di tengah perahu itu dinyalakan & perahu itu diturunkan ke air & dibiarkan mengalir ke mana saja. Masyarakat yang menunggu di tepi sungai juga melepaskan lilin kecil yang diapungkan di atas piring kertas & mengalir mengikuti perahu tersebut. Upacara ini disebut Liu Hua Deng (Mengalirkan Lentera Bunga). Propinsi-propinsi lain di Tiongkok seperti Jiang Su, Zhe Jiang juga mempunyai kebiasaan seperti ini, walaupun dengan variasi yang berbeda.
Te Cong Ong Pho Sat ditampilkan dalam keadaan duduk di atas teratai, memakai topi Buddha berdaun 5 dengan wajah yang memancarkan sinar kasih, membawa tongkat bergelang. Pada saat dibawa berjalan, gelang-gelang yang ada di ujung tongkat ini akan berbunyi gemerincing. Bunyi ini diharapkan dapat membuat serangga atau hewan kecil lainnya menyingkir agar tidak terinjak Sang Bikkhu, sebab salah satu Sila Dasar agama Buddha adalah tidak membunuh makhluk hidup.
O
—oooOOOooo—
O
Buddhist Temple Jindeyuan Jakarta
Te Cong Ong Pho Sat - Bodhisatva Ksitigarbha
Te Cong Ong Pho Sat - Bodhisatva Ksitigarbha
1 komentar

Tradisi Sembahyang Tuhan Allah ( King Thi Kong ) Tanggal 9 bulan 1 Imlek


Beribu tahun sebelum Masehi, masyarakat tionghoa sudah mengenal adanya Tuhan. Kaisar Kuning (Oey Tee / Huang Ti) pada tahun 4697SM mengajarkan kepada rakyatnya nilai - nilai budaya yang tinggi, diantaranya adalah bersembahyang kepada Tuhan, menghormati Roh Suci dan memuliakan para leluhur. Masyarakat kuno yang sederhana dengan taat menjalankannya. Ritual ini disempurnakan oleh Pangeran Zhougong dan para nabi berikutnya.

Setiap tanggal 9 bulan 1 Imlek orang Tionghoa terutama orang Hok Kian, melakukan upacara sembahyang Jing Tian Gong {Hok Kian = King Thi Kong}, yang berarti sembahyang kepada Tuhan YME. Di kalangan orang Tionghoa di Indonesia, sembahyang ini dikenal dengan sebutan Sembahyang Tuhan Allah atau Sembahyang Tebu yang dilakukan dengan penuh kekhidmatan. Upacara sembahyang ini termasuk salah satu rangkaian upacara pada pesta menyambut Tahun Baru Imlek / Musim Semi yang berlangsung selama 15 hari; dari tanggal 1 s/d 15 bulan 1 penanggalan Imlek.

Di Propinsi Fu Jian {Hok Kian} & Taiwan muncul istilah yang sangat populer, yaitu Chu Jiu Tian Gong Sheng , yang berarti bahwa pada Cia Gwe Cwe Kao (Tanggal 9 bulan pertama Imlek) adalah Hari Ulang Tahun Thi Kong. Sehingga masyarakat di propinsi Hok Kian & Taiwan mengadakan sembahyang khusus untuk menghormati Thi Kong (Tuhan YME). Upacara King Thi Kong ini juga telah menyebar di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Upacara King Thi Kong dapat diselenggarakan secara sederhana atau lengkap, yang terpenting adalah ketulusan dan kesuciannya, bukan kemewahannya. Biasanya yang menjalankan ritual King Thi Kong adalah orang yang sudah berpantang makanan berjiwa atau vegetarian sejak beberapa hari sebelumnya. Dalam ritual ini, segala perlengkapan harus khusus atau tidak pernah dipergunakan untuk keperluan lainnya, bersih lahir dan batin.

Penduduk yang miskin cukup menempatkan sebuah Hiolo (pedupaan = tempat menancapkan dupa) kecil yang digantungkan di depan pintu rumahnya dan menyalakan hio (dupa) dari pagi sampai tengah malam secara kontinue.

Bagi orang berada, acara sembahyang ini merupakan hal yang paling megah & khidmat. Sebuah meja besar dengan keempat kakinya diletakkan di atas 2 buah bangku panjang. Lalu di atas meja tersebut diatur 3 buah Shen Wei(Tempat Dewa) yang terbuat dari kertas warna-warni yang saling dilekatkan. Kemudian di depan Shen Wei dijajarkan 3 buah cawan kecil yang berisi teh, & 3 buah mangkuk yang berisi misoa yang diikat dengan kertas merah. Setelah itu Wu Guo Liu Cai {Hok Kian = Go Ko Lak Chai} diatur di bagian depan. Wu Guo Liu Cai berarti 5 macam buah-buahan & 6 macam masakan vegetarian, ini menjadi dasar utama dalam penataan barang sajian upacara sembahyang orang Tionghoa. Di bagian paling depan (sebelah kiri & kanan) dipasang lilin 1 pasang (= 2 batang).

Sehari sebelum upacara sembahyang (Cia Gwe Cwe Pe = Tanggal 8 bulan 1 Imlek) dimulai, seluruh penghuni rumah melakukan mandi keramas & ganti baju. Sembahyang dilakukan tepat pukul 12 tengah malam, dimulai dengan anggota keluarga yang paling tua dalam urutan generasinya. Semua melakukan San Gui Jiu Kou {Hok Kian = Sam Kwi Kiu Kho} yaitu 3 X berlutut & 9 X menyentuhkan kepala ke tanah. Setelah selesai baru kemudian kertas emas yang dibuat khusus lalu dibakar bersama dengan Shen Wei yang terbuat dari kertas warna-warni. Kemudian dinyalakan petasan untuk mengantar kepergian para malaikat pengiring. Upacara sembahyang King Thi Kong ini di kalangan Hoa Qiao Indonesia dikenal dengan sebutan “Sembahyang Tuhan Allah atau Sembahyang Tebu "

Ritual di Indonesia, umumnya dilaksanakan dengan mendirikan meja tinggi didepan pintu menghadap langit, bersembahyang mengucap syukur kepada Yang Kuasa, berjanji untuk hidup lebih baik terhadap sesama dan memenuh kewajiban sebagai mahluk ciptaanNya. Dipilih tanggal 9 bulan 1 adalah karena angka 1 berarti esa dan angka 9 adalah yang tertinggi.

Altar Langit (Tian Tan)

Altar ini terletak di timur laut kota Beijing, membujur dari utara ke selatan, merupakan tempat kaisar - kaisar dari Dinasti Ming (1389 - 1644) dan Qing (1644 - 1912) melakukan ritual King Thi Kong. Altar tersebut didirikan pada tahun 1420 diatas tanah seluas 273 hektar. Kompleks Altar Langit dikelilingi taman luas, berbentuk lingkaran bersusun tiga seperti kue tart sehingga dinamakan juga Altar Bukit Bundar, tidak beratap dan tiap lingkaran dihubungkan dengan tangga yang batuannya terdiri dari 9 tangga. Semuanya terbuat dari batu granit putih dan diempat penjuru terdapat tiga gerbang yang indah. Orang - orang menyebutnya Kuil Surgawi, terbuat dari batu granit putih dengan genting berlapis warna biru, biru langit dan putih awan seperti warna - warna yang ada di langit.

Kaisar bersembahyang ditempat tersebut diiringi oleh sekitar 3000 peserta upacara, membawa semua atribut kerajaan dengan naik tandu diiringi kereta kuda, gajah dan sebagainya dalam formasi yang harmonis, berangkat dari Istana Terlarang (Forbidden Palace). Tepat ditengah malam ritual dimulai hanya dengan diterangi cahaya obor, bulan dan bintang. Doa - doa dilantunkan hingga menjelang fajar.

Altar Langit atau Tian Tan biarpun sudah berusia berabad - abad, hingga sekarang masih terawat dengan sangat baik. Jika anda berkesempatan mengunjungi Beijing, jangan lupa untuk menikmati keindahan dan keagungannya.

Versi Lain

Tidak jelas kapan masyarakat propinsi Hok Kian & Taiwan memulai King Thi Kong ini. Sebuah sumber mengatakan bahwa King Thi Kong baru mulai diadakan pada masa awal Dinasti Qing [1644 - 1911].

Seperti diketahui bahwa Hok Kian merupakan basis terakhir perlawanan sisa-sisa pasukan yang masih setia kepada Dinasti Ming [1368 – 1644]. Pada waktu pasukan Qing (Man Zhu) memasuki Hok Kian, mereka berhadapan dengan perlawanan gigih dari rakyat setempat & sisa-sisa pasukan Ming. Setelah perlawanan ditaklukkan dengan penuh kekejaman, akhirnya seluruh propinsi Hok Kian dapat dikuasai oleh pihak Qing.

Selama terjadinya peperangan & kekacauan ini, banyak rakyat yang bersembunyi di dalam perkebunan tebu yang banyak tumbuh di sana. Di dalam rumpun tebu itulah mereka melewati malam & hari Tahun Baru Imlek. Setelah keadaan aman, pada Cia Gwe Cwe Kaw (Tanggal 9 bulan 1 Imlek) pagi mereka berbondong-bondong keluar & kembali ke rumah masing-masing. Untuk menyatakan rasa syukur karena terhindar dari bencana maut akibat perang, mereka lalu mengadakan upacara sembahyang King Thi Kong pada tanggal 9 bulan 1 Imlek ini sebagai ucapan rasa terima kasih kepada Thi Kong atas lindungan-Nya. Oleh karena ini, maka sebagian besar orang Hok Kian mengatakan bahwa Cia Gwe Cwe Kaw adalah Tahun Baru-nya orang Hok Kian, sedikitpun tidak salah.

Selain upacara King Thi Kong, pada tanggal 9 bulan 1 Imlek ini bertepatan pula dengan Hari Kelahiran Maha Dewa Yu Huang Shang Di {Hok Kian = Giok Hong Siong Tee = Maha Dewa Kumala Raja}, yaitu Dewata Tertinggi yang melaksanakan pemerintahan alam semesta dan dibantu oleh para dewata lain.
Karena 2 hal yang bertepatan inilah maka orang Tionghoa menganggap Giok Hong Siong Tee sebagai penitisan dari Tian (Tuhan YME).
Cap It Gwe Cwe Lak (tanggal 6 bulan 11 Imlek) adalah Hari Giok Hong Siong Tee mencapai kesempurnaan.

Dari cerita di atas, jelaslah bahwa orang Tionghoa percaya kepada Tuhan YME (God the Almighty) yang disebutkan sebagai Tian atau Tian Gong {Thi Kong}, hanya saja konsepsinya berbeda dengan agama lain. Bagi umat Tionghoa, Tuhan memiliki pembantu-pembantu yang terdiri dari berbagai dewa yang mempunyai jabatan & wilayah tertentu, & berkewajiban melakukan pengawasan terhadap perbuatan manusia dalam lingkungan kekuasaan & wilayah masing-masing

Analitic

Suasana angin Topan di surabaya november 2017

Suhu Malaysia yang gagal Panggil Shen

Upacara Buddha Tantrayana Kalacakra indonesia

Four Faces Buddha in Thailand 1 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=jnI1C-C765I

SemienFo At Thailand 2 (Copy Paste Link ini) https://www.youtube.com/watch?v=GOzLybAhJ2s

Informasi

 
;