Pages - Menu

Pages

Rabu, 31 Juli 2013

Referensi Agama Hindu III



Siwa




Siwa dalam mitologi Hindu dikenal sebagai dewa tertinggi dan banyak pemujanya. Mitos Siwa dapat dijumpai dalam beberapa kitab suci agama Hindu, yakni kitab-kitab Brāhmana, Mahābhārata, Purāna, dan Āgama.
Dalam kitab Hindu tertua, Weda Samhita, walaupun nama Siwa sendiri tidak pernah dicantumkan, tetapi sebenarnya benih-benih perwujudan tokoh Siwa itu sendiri telah ada, yaitu Rudra.

Dalam Ŗg-Weda salah satu Weda Samhita, disebutkan Rudra sebagai dewa perusak dan tergolong sebagai dewa bawahan. Rudra dikenal sebagai penyebab kematian, dewa penyebab dan penyembuh penyakit, juga dianggap sebagai desa yang menguasai angin topan. Untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk itu maka Rudra dipuja secara istimewa dengan doa-doa khusus untuk menenangkan dan menghilangkan kemarahannya.
Namun, sebagai dewa rendahan, walaupun banyak dipuja, Rudra belumlah merupakan dewa tertinggi dan dianggap penting. Pada waktu itu yang dianggap sebagai dewa tertinggi dan dianggap penting adalah Indra. Baru pada kitab Brāhmana, Rudra diberi nama Siwa dan kedudukannya pun terus meningkat, sehingga menjadi dewa utama.

Kelahiran Rudra
Kitab Satapatha-Brāhmana menceritakan tentang kelahiran Rudra. Diceritakan bahwa ada seorang kepala keluarga bernama Prajapati yang memiliki seorang anak laki-laki. Sejak lahir, anak itu menangis terus, dia merasa tidak terlepaskan dari keburukan karena tidak diberi nama oleh ayahnya. Kemudian Prajapati memberinya nama Rudra, yang berasal dari akar kata rud yang artinya menangis.
Kisah kelahiran Rudra ini bisa dijumpai pula dalam kitab-kitab Weda Samhita dan kitab Wişņu-Purāna. Tersebutlah Brahmā sedang marah kepada anak-anaknya yang diciptakannya pertama kali, yang tidak menghargai arti penciptaan dunia bagi semua makhluk. Akibat kemarahannya itu tiba-tiba dari kening Brahma muncul seorang anak yang bersinar seperti matahari. Anak yang baru “lahir” itu diberi nama Rudra. Dari tubuhnya yang setengah laki-laki dan setengah perempuan itu “lahir” anak berjumlah sebelas orang. Badan Rudra yang berjumlah sebelas itu, menurut kitab Wişņu-Purāna merupakan asal mula Ekadasa Rudra.
Riwayat kelahiran Rudra menurut Mārkandeya Purāna disebabkan oleh keinginan Brahmā untuk mempunyai anak yang menyerupai dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Brahmā pergi bertapa. Tengah bertapa, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki berkulit merah kebiru-biruan menangis di pangkuannya. Ketika ditanya mengapa, anak itu menjawab bahwa ia menangis karena minta nama. Brahmā memberinya nama Rudra. Namun, ia tetap menangis dan meminta nama lagi. Itu dilakukannya hingga tujuh kali, sehingga Brahmā memberi tujuh nama, masing-masing Bhawa, Sarwa, Isāna, Pasupati, Bhîma, Ugra, dan Mahādewa, di samping Rudra. Kedelapan nama itu adalah nama-nama aspek Siwa dalam kelompok Murtyastaka. Kisah yang sama terdapat dalam Wisnu-Purāna.

Siwa Mahādewa

Dalam kitab Mahābhārata, Siwa lebih sering disebut sebagai Mahādewa, yaitu dewa tertinggi di antara para dewa. Kitab itu juga menjelaskan asal mula Siwa mendapatkan sebutan demikian. Pada suatu waktu, para dewa menyuruh Siwa membinasakan makhluk-makhluk jahat yang tinggal di Tripura. Untuk menghadapi makhluk-makhluk itu, Siwa diberi setengah kekuatan dari masing-masing dewa, dan setelah dapat memusnahkan makhluk-makhluk itu, Siwa dianggap sebagai dewa tertinggi.
Pertama kalinya Siwa atau Rudra disebut Mahadewa terdapat dalam Yajur-Weda putih. Dalam Mahābhārata bagian Bhismaparwa, Siwa yang digambarkan berada di Gunung Meru, dikelilingi Umā beserta pengikutnya itu disebut Pasupati (sloka 219b). Sementara, sebutan Maheswara ada dalam kitab Mahabharata sloka 222a. Sebutan lain untuk Siwa adalah Trinetra, yang artinya bermata tiga. Sebutan ini didapatkan Siwa ketika dari keningnya “muncul” mata ketiga untuk “mengembalikan” keadaan dunia seperti keadaan semula, yang “terganggu” karena kedua matanya tertutup oleh kedua tangan Parwati, yang ketika itu asyik bercengkerama dengan Siwa. Untuk mengembalikan keadaan dunia, Siwa menciptakan mata ketiga pada keningnya.

Siwa Trinetra
Uraian tentang Siwa Trinetra juga dijumpai dalam kitab Mahābhārata. Kitab Linga-Purana menjelaskan timbulnya mata ketiga Siwa. Sati, anak Daksa istri pertama Siwa bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena ayahnya, Daksa tidak menghiraukan Ciwa, suaminya. Karena peristiwa itu, Siwa pergi bertapa di atas Gunung Himalaya. Parvati, anak Himawan yang jatuh cinta kepada Siwa sebenarnya adalah Sati “yang lahir kembali”. Sementara itu, makhluk jahat asura Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan, yang dapat membinasakan makhluk jahat itu hanyalah anak Siwa. Dalam kebingungan, para dewa memutuskan untuk “membangunkan” Siwa. Mereka sepakat meminta pertolongan Dewa Kāma. Dengan upayanya, berangkatlah para dewa disertai Parwati ke tempat Siwa bertapa. Karena keampuhan panah Dewa Kāma, Siwa “terbangun”. Siwa yang sedikit terusik oleh perbuatan Kama membuka mata ketiganya yang menyemburkan api. Api itu membakar Kāma hingga menjadi abu. Pada saat yang bersamaan karena keampuhan panah Kāma, Siwa “jatuh cinta” pada Parwati. Rati, istri Dewa Kāma yang mendengar kematian suaminya datang menghadap Siwa dan mohon untuk menghidupkan kembali Kāma. Untuk menghibur rati, Siwa berjanji bahwa Kāma kelak akan lahir kembali sebagai Pradhyumna. Kisahnya diakhiri dengan pernikahan Siwa dan Parwati, serta kelahiran Kumara atau Subrahmanya yang dapat membunuh Tataka.

Siwa Nilakantha
Siwa disebut juga Nilakantha karena mempunyai leher yang berwarna biru. Diceritakan pada waktu diadakan pengadukan lautan susu untuk mendapatkan amrta, turut keluar racun yang dapat membinasakan para dewa. Untuk menyelamatkan para dewa, Siwa meminum racun itu. Parwati yang khawatir suaminya binasa, menekan leher Siwa agar racun tidak menjalar ke bawah. Akibatnya racun itu terhenti di tenggorokan dan meninggalkan warna biru pada kulit lehernya. Sejak itulah Siwa mendapatkan sebutan baru, Nilakantha.

Asal Mula Atribut Siwa
Kitab Suprabhedagama menguraikan mengapa Siwa mengenakan pakaian kulit harimau, hiasan berupa ular, kijang, dan parasu, serta memakai hiasan bulan sabit, dan tengkorak pada mahkotanya. Pada suatu waktu, Siwa pergi ke hutan dengan menyamar sebagai pengemis. Istri para pendeta yang kebetulan melihatnya jatuh cinta, sehingga para pendeta marah. Dengan kekuatan magisnya mereka menciptakan seekor harimau yang diperintahkan untuk menyerang Siwa, tapi dapat dibinasakan dan kulitnya dipakai Siwa sebagai pakaiannya. Melihat Siwa bisa mengalahkan harimau ciptaannya, mereka makin marah dan menciptakan seekor ular. Ular itu dapat ditangkap Siwa dan dibuat perhiasan. Setelah kedua usaha itu gagal, mereka menciptakan kijang dan parasu, tapi kali inipun Siwa dapat melumpuhkan serangan para pendeta itu. Sejak kejadian itu, kijang dan parasu menjadi dua di antara laksana (atribut) Ciwa.
Kitab Kurma Purana menjelaskan asal mula Siwa mendapat julukan Gajasura-samharamurti. Dikisahkan beberapa orang pendeta sedang bertapa diganggu makhluk jahat yang menjelma sebagai gajah. Siwa yang dimintai pertolongannya dapat membunuh gajah jelmaan itu. Siwa yang mengenakan pakaian kulit gajah yang dibunuhnya lalau dikenal sebagai Gajasurasamharamurti.

Kitab Kamikagama mengungkapkan mengapa dalam pengarcaannya, Siwa mengenakan hiasan bulan sabit pada jatāmakutanya (mahkota). Datohan, salah seorang putra Brahmā, menikahkan keduapuluh tujuh (=konstelasi bintang) anak perempuannya pada Santiran, Dewa Bulan. Dia minta agar menantunya memperlakukan semua istrinya sama dan mencintainya tanpa membeda-bedakan. Selama beberapa waktu, Santiran hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan mereka. Dua di antara seluruh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang tercantik. Lama-kelamaan, tanpa disadarinya, Santiran lebih memperhatikan keduanya dan mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan, mereka mengadu pada ayah mereka. Datohan mencoba menasihati menantunya agar mengubah sikap, tapi tidak berhasil. Setelah berunlangkali Santiran diingatkan dan tidak mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuh menantunya; keenam belas bagian tubuhnya akan hilang satu per satu sampai akhirnya dia akan hilang, mati. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenam belas bagian, Santiran menjadi panik dan pergi minta tolong dan perlindungan Intiran. Intiran tidak dapat menolong. Dalam keadaan putus asa, dia menghadap dewa Brahmā yang menasihatinya agar pergi menghadap Siwa. Santiran langsung menuju Gunung Kailasa dan mengadakan pemujaan untuk Siwa. Siwa yang berbelas kasihan kemudian mengambil bagian tubuh Santiran itu dan diletakkan di dalam rambutnya sambil berkata, “Jangan khawatir, Anda akan mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh Anda. Namun, itu akan kembali hilang satu per satu. Perubahan itu akan berlangsung terus.” Demikianlah dalam pengarcaannya rambut Siwa dihiasi bagian tubuh Santiran yang berbentuk bulan sabit di samping tengkorak (ardhacanrakapala). Selain mata ketiga dan hiasan candrakapala, Siwa juga dikenal mempunyai kendaraan banteng atau sapi jantan.

Sapi Jantan Wahana Siwa
Kitab Mahābhārata menguraikan asal mula sapi jantan atau banteng menjadi kendaraan Siwa dalam dua versi. Versi pertama, Bhisma menjelaskan kepada Yudistira mengenai asal mula sapi jantan menjadi wahana Siwa. Daksa, atas perintah ayahnya, yakni Brahmā, menciptakan sapi. Siwa yang sedang bertapa di dunia terkena susu yang tumpah dari mulut anak sapi yang sedang menyusu pada induknya. Untuk menjaga agar Siwa tidak marah, Dakasa menghadiahkan seekor sapi jantan pada Siwa. Siwa sangat senang menerima pemberian itu dan dijadikannya kendaraan.
Versi kedua, mirip cerita di atas, hanya peran Daksa dipegang oleh Brahmā. Di sini Siwa menjawab pertanyaan Uma mengapa kendaraan Siwa itu adalah banteng dan bukan binatang lain. Dikisahkan pada waktu penciptaan pertama, semua sapi berwarna putih dan sangat kuat. Mereka berjalan-jalan penuh kesombongan. Tersebutlah Siwa sedang bertapa di Pegunungan Himalaya dengan cara berdiri di atas satu kaki dengan lengan diangkat. Sapi-sapi yang sombong itu berjalan bergerombol di sekeliling Siwa, sehingga ia kehilangan keseimbangan. Atas kejadian itu, Siwa sangat marah dan dengan mata ketiganya ia membakar sapi-sapi yang sombong itu, sehingga warna mereka berubah hitam. Itulah sebabnya ada sapi berwarna hitam. Banteng yang melihat kejadian itu mencoba melerai dan meredakan amarah Siwa. Sejak itu banteng menjadi kendaraan Siwa. Sapi-sapi yang melihat dan mengakui kehebatan dan kesaktian Siwa sangat kagum dan mengangkatnya sebagai pemimpin, serat memberi julukan Gopari pada Siwa.

 
Kitab Suci Hindu



Berbeda dengan ajaran agama lain, Hindu memiliki banyak "kitab keagamaan" yang disucikan oleh penganutnya.
Kitab-kitab suci Hindu secara luas dalam dikelompokkan dalam 2 golongan: yaitu Sruti (itu yang didengar) dan Smriti (itu yang diingat).
Kedua kelompok kitab-kitab suci ini dianggap "wahyu Tuhan" karena dalam pembuatannya dianggap mendapat inspirasi Tuhan (God-inspired).

Kitab-kitab Weda

Kitab-kitab tersebut selanjutnya disebut Weda, yang berarti pengetahuan.
Ada empat kelompok Weda yang memberikan pelajaran tentang kebenaran tertinggi dan penuntun untuk menuju Tuhan.

Tiga kitab Weda pertama disebut sebagai Tri Weda, yang terdiri dari:
Rig Weda (Weda Nyanyian Pujaan, Weda of Hymns)
terdiri dari 1028 nyanyian pujaan atau hymne (dalam sepuluh buku) kepada para Dewa, seperti Indra dan Agni.
Yajur Weda (Weda of Liturgy)
berkaitan dengan pengetahuan upacara. Berisi tentang berbagai aturan yang menjelaskan bagaimana melaksanakan semua upakara, ditulis dalam bentuk prosa dan puisi.
Weda ini sesungguhnya buku untuk pendeta, bahkan menjelaskan aturan membuat sebuah altar dan tata ritual upacara adalah bagian penting dari Weda ini.
Sama Weda (Weda of Music)
berkaitan dengan pengetahuan pengucapan mantra (chants). Weda ini terdiri dari 1549 sloka. Sama Weda dinyanyikan oleh para Reshi ketika upacara korban Soma dilakukan. Sampai ukuran tertentu banyak dari sloka Weda ini merupakan pengulangan dari Rig Weda, dinyanyikan dalam bentuk melodi. Mantra dalam Weda ini ditujukan kepada Soma (bulan), Agni (api) dan Indra (Tuhan surga).
Satu kitab pelengkap dari Sama Weda adalah Chandogya Upanishad.
Atharva Weda
berisi pengetahuan yang diberikan oleh Maharesi Atharwa.
terdiri dari 731 hymne dengan 6000 ayat.
Beberapa orang mengatakan bahwa Atharwa bukan menyusun kitab ini tapi beberapa pendeta kepala dalam upacara yang berkaitan dengannya. Atharwa yang disebut dalam Rig Weda, dianggap sebagai putra pertama dari Tuhan Brahma, Tuhan Pencipta (God of Creation).
Atharwa Weda juga dikenal dengan Brahma Weda sebab ia digunakan sebagai manual oleh pendeta kepala upacara dan para Brahmin.
Kitab ini berisi rumusan-rumusan magis dan jampi-jampi.
Sejumlah besar Upanishad sebenarnya berasal dari Atharwa Weda. Percaya atau tidak, banyak dari mantra pengusir setan (exorcisme) dalam agama Hindu berasal dari Weda ini.

Garis besar isi kitab Weda
Weda-Weda pada umumnya berisi :


1.      Samhita; Teks dasar untuk himne, formula dan japa (chants).
2.      Brahmana; Petunjuk pelaksanaan upacara
3.      Aranyaka; Berisi Mantra dan tafsir dari upacara-upacara.
4.      Upanishad; Ini adalah sejumlah teks yang mengungkapkan kebenaran spiritual tertinggi dan berbagai anjuran mengenai cara untuk mencapai kebenaran itu.

Upanishad
Ada lebih dari 108 buku Upanishad.
Upanishad yang paling penting adalah : Isa, Kena, Katha, Prasna, Mundaka, Mandukya, Aitereya, Taittirya, Chandogya, Brihad-Aranyaka, Kausitaki, Shvetasvatara dan Maitri.
Beberapa dari Upanishad dinamai menurut Reshi besar yang ditokohkan atau digambarkan dalam Upanishad tersebut.
Para Reshi besar itu adalah Mandukya, Shvetasvatara, Kaushitaki dan Maitri. Upanishad yang lain diberi nama berdasarkan kata pertama dari kitab itu.

Yoga Upanishad bagian yang paling penting dari Upanishad ini adalah:
Yogattava berisi semua rincian mengenai praktik yoga.
Nadabindu seperti digambarkan oleh namanya, berkaitan dengan phenomena indra pendengaran yang menyertai latihan-latihan yoga tertentu. Dhyanabindu berkaitan dengan suku kata AUM dan dengan banyak wahyu mistik.