Agama Buddha Tantrayana sebenarnya merupakan perkembangan lanjutan dari agama Buddha Mahayana yang dianggap cukup memegang peranan penting dalam penyebarannya di wilayah India hingga ke Asia sejak awal tahun 400 Masehi. Aliran agama Buddha Tantrayana ini menekankan pada hal akhir tentang "keselamatan tertinggi / Nibbana" yang dapat dicapai melalui berbagai macam metode meditasi dan visualisasi (segi pikiran), mantera (segi ucapan) serta pembentukan mudra (segi jasmani) hasil observasi dan analisa yang mendalam dari para Guru Akar, dimana hal-hal tersebut harus dilakukan secara harmonis oleh seorang sadhaka dengan cara berusaha memahami sifat jati diri ke-Tuhan-an yang absolut dan pemanfaatan kekuatan alam semesta lewat bimbingan seorang guru spiritual Tantrayana yang ahli.
Aliran agama Buddha Tantrayana ini juga biasa disebut sebagai aliran esoteris atau aliran rahasia yang mengandung kegaiban, sedangkan aliran agama Buddha lainnya disebut sebagai aliran eksoteris atau aliran yang terbuka dan umum.
Perbedaan dasarnya adalah, bila aliran esoteris meyakini : kemampuan pencapaian Nibbana atau tubuh ke-Buddha-an dapat diraih dalam waktu sekejab di kehidupan ini lewat sadhana yang benar, sedangkan aliran eksoteris lebih meyakini : kemampuan pencapaian Nibbana atau tubuh ke-Buddha-an hanya dapat diraih dengan melewati beberapa kali kehidupan secara bertahap dan terus menerus bertumimbal lahir hingga waktu yang tepat (bisa dalam tujuh kali kehidupan atau lebih, bahkan ada yang sampai bermilyar-milyar kali kehidupan).
Menurut peraturan beberapa aliran esoteris yang melakukan disiplin keras di Tibet, seorang sadhaka baru diijinkan mempelajari agama Buddha Tantrayana setelah menguasai lebih dari 70 % dasar filsafat dan pengetahuan umum mengenai aliran eksoteris lewat ujian lisan maupun tulisan (masa pembelajaran Tri Pitaka secara umum sekitar 10 s/d 15 tahun), hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi kesalah-pahaman penerapan ajaran agama Buddha yang membutuhkan daya pemahaman universal yang cukup rumit. Sedangkan kini, di luar Tibet, peraturan-peraturan tersebut sudah lebih disesuaikan dengan kultur dan lingkungan tempat tinggal mayoritas dari para penganutnya.
Penggunaan kata "Tantra" sendiri memiliki arti merajut atau menenun, ini merupakan sebuah istilah yang mengarah pada gabungan kondisi pikiran, ucapan, tindakan yang bersifat rahasia dan memiliki tujuan untuk berusaha memahami sifat sejati "seseorang" yang sebenarnya adalah seorang Buddha, hanya saja "seseorang" tersebut masih seorang insan calon Buddha yang belum menyadari kebijaksanaan ke-Buddha-an dalam dirinya sendiri saat ini.
Untuk itulah aliran esoteris sangat menekankan pentingnya latihan sadhana yang benar, dimulai dari :
1.) Tingkat awal / eksternal = berlatih Catur Prayoga ---> Guru Yoga ---> Yidam Yoga & Dharmapala
2.) Tingkat lanjutan / internal = melatih prana, nadi dan bindu ---> Vajra Dharma Yoga
3.) Tingkat esoterik = Anuttara Yoga Tantra
4.) Tingkat maha esoterik = Maha Dzogchen
Dalam esoteris, sebuah kegiatan sadhana merupakan hal yang amat sakral dan penting sehubungan dengan adanya kemungkinan pencapaian Nibbana atau tubuh ke-Buddha-an secara sekejab, dan hal pencapaian ini sangat berhubungan erat dengan keberadaan seorang guru spiritual Tantrayana yang ahli dan yang diyakini mampu untuk memberikan pertolongan dan bimbingan ajaran secara jelas kepada seorang sadhaka pemula melalui sebuah ritual pemberkatan khusus pada tahap awal memulai pelajaran esoteris (biasa disebut : inisiasi / abhiseka / anuttement / visudhi abhisecani).
Pentingnya sebuah ritual pemberkatan khusus ini didasarkan pada kepercayaan tentang adanya perbedaan tingkatan pencapaian spiritual yang dimiliki oleh seorang guru dengan seorang calon murid, yang pada umumnya tingkat spiritual seorang guru adalah dianggap "lebih menguasai dan suci" jika dibandingkan dengan tingkat spiritual seorang murid. Sehingga atas dasar inilah seorang guru dalam tradisi Tantrayana memiliki tanggung jawab maksimal untuk menyelamatkan dan menanggung seluruh karma-karma buruk yang dimiliki oleh murid tersebut.
Dikarenakan seorang guru memiliki tanggung jawab berat seperti diatas, maka perlindungan utama di dalam aliran esoteris didasarkan pada 4 (empat) mustika yaitu : berlindung kepada Guru - berlindung kepada Buddha - berlindung kepada Dharma - berlindung kepada Sangha, biasa disebut sebagai Catur Sarana.
Pada masa lalu, penganut esoteris mayoritas berada di daerah Tibet, Nepal, China dan sebagian wilayah India bagian Selatan dan Barat Laut, kini seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi yang canggih, proses penyebaran agama Buddha Tantrayana menjadi semakin pesat mencapai hampir seluruh wilayah seperti Seattle - Chicago - San Francisco - California - Los Angeles - New York - Alaska - Kanada - Brasil - Australia - Inggris - Afrika - Perancis - Spanyol - Thailand - Vietnam - Jepang - Singapura - Hong Kong - China - Malaysia - Indonesia dan sebagainya.
Ringkasan perjalanan tumbuhnya aliran-aliran esoteris (agama Buddha Tantrayana) secara umum :
Aliran agama Buddha Tantrayana ini juga biasa disebut sebagai aliran esoteris atau aliran rahasia yang mengandung kegaiban, sedangkan aliran agama Buddha lainnya disebut sebagai aliran eksoteris atau aliran yang terbuka dan umum.
Perbedaan dasarnya adalah, bila aliran esoteris meyakini : kemampuan pencapaian Nibbana atau tubuh ke-Buddha-an dapat diraih dalam waktu sekejab di kehidupan ini lewat sadhana yang benar, sedangkan aliran eksoteris lebih meyakini : kemampuan pencapaian Nibbana atau tubuh ke-Buddha-an hanya dapat diraih dengan melewati beberapa kali kehidupan secara bertahap dan terus menerus bertumimbal lahir hingga waktu yang tepat (bisa dalam tujuh kali kehidupan atau lebih, bahkan ada yang sampai bermilyar-milyar kali kehidupan).
Menurut peraturan beberapa aliran esoteris yang melakukan disiplin keras di Tibet, seorang sadhaka baru diijinkan mempelajari agama Buddha Tantrayana setelah menguasai lebih dari 70 % dasar filsafat dan pengetahuan umum mengenai aliran eksoteris lewat ujian lisan maupun tulisan (masa pembelajaran Tri Pitaka secara umum sekitar 10 s/d 15 tahun), hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi kesalah-pahaman penerapan ajaran agama Buddha yang membutuhkan daya pemahaman universal yang cukup rumit. Sedangkan kini, di luar Tibet, peraturan-peraturan tersebut sudah lebih disesuaikan dengan kultur dan lingkungan tempat tinggal mayoritas dari para penganutnya.
Penggunaan kata "Tantra" sendiri memiliki arti merajut atau menenun, ini merupakan sebuah istilah yang mengarah pada gabungan kondisi pikiran, ucapan, tindakan yang bersifat rahasia dan memiliki tujuan untuk berusaha memahami sifat sejati "seseorang" yang sebenarnya adalah seorang Buddha, hanya saja "seseorang" tersebut masih seorang insan calon Buddha yang belum menyadari kebijaksanaan ke-Buddha-an dalam dirinya sendiri saat ini.
Untuk itulah aliran esoteris sangat menekankan pentingnya latihan sadhana yang benar, dimulai dari :
1.) Tingkat awal / eksternal = berlatih Catur Prayoga ---> Guru Yoga ---> Yidam Yoga & Dharmapala
2.) Tingkat lanjutan / internal = melatih prana, nadi dan bindu ---> Vajra Dharma Yoga
3.) Tingkat esoterik = Anuttara Yoga Tantra
4.) Tingkat maha esoterik = Maha Dzogchen
Dalam esoteris, sebuah kegiatan sadhana merupakan hal yang amat sakral dan penting sehubungan dengan adanya kemungkinan pencapaian Nibbana atau tubuh ke-Buddha-an secara sekejab, dan hal pencapaian ini sangat berhubungan erat dengan keberadaan seorang guru spiritual Tantrayana yang ahli dan yang diyakini mampu untuk memberikan pertolongan dan bimbingan ajaran secara jelas kepada seorang sadhaka pemula melalui sebuah ritual pemberkatan khusus pada tahap awal memulai pelajaran esoteris (biasa disebut : inisiasi / abhiseka / anuttement / visudhi abhisecani).
Pentingnya sebuah ritual pemberkatan khusus ini didasarkan pada kepercayaan tentang adanya perbedaan tingkatan pencapaian spiritual yang dimiliki oleh seorang guru dengan seorang calon murid, yang pada umumnya tingkat spiritual seorang guru adalah dianggap "lebih menguasai dan suci" jika dibandingkan dengan tingkat spiritual seorang murid. Sehingga atas dasar inilah seorang guru dalam tradisi Tantrayana memiliki tanggung jawab maksimal untuk menyelamatkan dan menanggung seluruh karma-karma buruk yang dimiliki oleh murid tersebut.
Dikarenakan seorang guru memiliki tanggung jawab berat seperti diatas, maka perlindungan utama di dalam aliran esoteris didasarkan pada 4 (empat) mustika yaitu : berlindung kepada Guru - berlindung kepada Buddha - berlindung kepada Dharma - berlindung kepada Sangha, biasa disebut sebagai Catur Sarana.
Pada masa lalu, penganut esoteris mayoritas berada di daerah Tibet, Nepal, China dan sebagian wilayah India bagian Selatan dan Barat Laut, kini seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi yang canggih, proses penyebaran agama Buddha Tantrayana menjadi semakin pesat mencapai hampir seluruh wilayah seperti Seattle - Chicago - San Francisco - California - Los Angeles - New York - Alaska - Kanada - Brasil - Australia - Inggris - Afrika - Perancis - Spanyol - Thailand - Vietnam - Jepang - Singapura - Hong Kong - China - Malaysia - Indonesia dan sebagainya.
Ringkasan perjalanan tumbuhnya aliran-aliran esoteris (agama Buddha Tantrayana) secara umum :
A. | Mahayana | ||||||
B. | Tantrayana | ||||||
B.1. | System Pan - Chiao | ||||||
B.2. | Buddhism Sukhavati (Chin - Tu) | ||||||
B.3. | Sekte Avatamsaka | ||||||
B.4. | Sekte Tien - Tai | ||||||
B.5. | Sekte Chan (Zen) | ||||||
B.6. | Sekte Vajrayana | ||||||
B.6.I. | Tantra Timur | ||||||
B.6.II. | Tantra Barat di Tibet | ||||||
B.6.II.a. | Sekte Nyingmapa (aliran Tantra Merah) | ||||||
B.6.II.b. | Sekte Kadampa | ||||||
B.6.II.c. | Sekte Gelugpa (aliran Tantra Kuning) | ||||||
B.6.II.d. | Sekte Kargyupa (aliran Tantra Putih) | ||||||
B.6.II.e. | Sekte Sakyapa (aliran Tantra Bunga) | ||||||
B.6.II.f. | Sekte Shibedpa | ||||||
B.6.II.g. | Sekte Vinaya | ||||||
B.6.II.h. | Sekte Tri Sastra | ||||||
B.6.II.i. | Sekte Nichiren | ||||||
B.6.II.j. | Sekte Hinayana | ||||||
B.6.II.j.1. | Sekte Abhidharma - Kosa | ||||||
B.6.II.j.2. | Sekte Satyasidhi | ||||||
B.6.III. | Tantra Satya Buddha |
Dalam kebudayaan Buddhisme Tantrayana di Tibet biasanya para pejabat, pemuka masyarakat atau guru spiritual dari sebuah kelompok tertentu, memiliki gelar kehormatan seperti : Rinpoche, Hu Thu Ge Thu, Dalai Lhama, Maha Acarya, Siddhacarya, Tulku, Panchen Lhama dan sebagainya. Gelar-gelar tersebut memiliki arti mendasar dan posisinya masing-masing di dalam struktur organisasi politik atau keagamaan yang bersangkutan. Tetapi pada intinya, memiliki arti harafiah Tibetan yang berarti "Yang telah berhasil menguasai persoalan hidup dan mati serta telah mencapai penerangan bijaksana" atau "Yang Menitis Kembali".
Sebagai contoh, kita ambil pemahaman dari gelar Rinpoche, yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai Buddha Hidup (Living Buddha - inggris / Huo Fo - mandarin), pada umumnya gelar tersebut bernilai sarat religius dan prestisius, dan gelar ini diberikan hanya kepada "seseorang" yang telah dianggap layak dan diakui oleh satu atau beberapa komunitas aliran agama Buddha Tantrayana seperti sekte Nyingmapa, Sakyapa, Kargyupa, Gelugpa, Kadampa dan lain-lainnya lewat sebuah transmisi rahasia.
Di daerah Tibet, pribadi-pribadi Rinpoche atau "Yang Menitis Kembali" dalam tumimbal lahirnya amatlah banyak dan hal ini berada diluar kemampuan pemikiran manusia (bersifat metafisika, mengandung unsur reinkarnasi) karena para Rinpoche tersebut dianggap merupakan penitisan kembali dari para mahkluk-mahkluk agung welas asih atau eliminasi-Nya yang bersimpati terhadap kehidupan manusia seperti Amitabha Buddha, Bodhisattva Kuan Se In yang Maha Karuna, Vajrasattva, Bodhisattva Vajrapani, para dewa/i dan sebagainya, sehingga mereka sangat dihormati dan dijunjung tinggi di Tibet.
Dan dari pengetahuan metafisika tentang penguasaan kelahiran dan kematian inilah kita mengenal beberapa cerita nyata tentang pencarian seorang atau beberapa bayi titisan Rinpoche yang sebelumnya telah diramalkan kedatangan-Nya berdasarkan waktu kelahiran dan tanda-tanda lahir khusus serta melewati banyak ujian-ujian fisik / batin tertentu.
Pada dasarnya, bila seorang Buddha, Arahat, Bodhisattva dan mahkluk-mahkluk agung suci lain yang berasal dari alam yang lebih tinggi berkenan untuk datang turun ke dunia dan bertumimbal lahir dalam rangka menyelamatkan umat manusia di dunia, maka pada kehidupan-Nya tersebut, layak untuk kita sebut sebagai "Orang Yang Telah Berhasil" yang telah terbebaskan dari segala macam kilesa, bebas menentukan kapan datang (lahir / menjelma) atau pergi (meninggal / parinirvana) dan telah mencapai penerangan kebijaksanaan, itulah yang benar-benar layak untuk disebut sebagai seorang Rinpoche sejati.
Sebagai contoh, kita ambil pemahaman dari gelar Rinpoche, yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai Buddha Hidup (Living Buddha - inggris / Huo Fo - mandarin), pada umumnya gelar tersebut bernilai sarat religius dan prestisius, dan gelar ini diberikan hanya kepada "seseorang" yang telah dianggap layak dan diakui oleh satu atau beberapa komunitas aliran agama Buddha Tantrayana seperti sekte Nyingmapa, Sakyapa, Kargyupa, Gelugpa, Kadampa dan lain-lainnya lewat sebuah transmisi rahasia.
Di daerah Tibet, pribadi-pribadi Rinpoche atau "Yang Menitis Kembali" dalam tumimbal lahirnya amatlah banyak dan hal ini berada diluar kemampuan pemikiran manusia (bersifat metafisika, mengandung unsur reinkarnasi) karena para Rinpoche tersebut dianggap merupakan penitisan kembali dari para mahkluk-mahkluk agung welas asih atau eliminasi-Nya yang bersimpati terhadap kehidupan manusia seperti Amitabha Buddha, Bodhisattva Kuan Se In yang Maha Karuna, Vajrasattva, Bodhisattva Vajrapani, para dewa/i dan sebagainya, sehingga mereka sangat dihormati dan dijunjung tinggi di Tibet.
Dan dari pengetahuan metafisika tentang penguasaan kelahiran dan kematian inilah kita mengenal beberapa cerita nyata tentang pencarian seorang atau beberapa bayi titisan Rinpoche yang sebelumnya telah diramalkan kedatangan-Nya berdasarkan waktu kelahiran dan tanda-tanda lahir khusus serta melewati banyak ujian-ujian fisik / batin tertentu.
Pada dasarnya, bila seorang Buddha, Arahat, Bodhisattva dan mahkluk-mahkluk agung suci lain yang berasal dari alam yang lebih tinggi berkenan untuk datang turun ke dunia dan bertumimbal lahir dalam rangka menyelamatkan umat manusia di dunia, maka pada kehidupan-Nya tersebut, layak untuk kita sebut sebagai "Orang Yang Telah Berhasil" yang telah terbebaskan dari segala macam kilesa, bebas menentukan kapan datang (lahir / menjelma) atau pergi (meninggal / parinirvana) dan telah mencapai penerangan kebijaksanaan, itulah yang benar-benar layak untuk disebut sebagai seorang Rinpoche sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar