Pages - Menu

Pages

Selasa, 31 Juli 2012

Legenda Naga Cina dan Penampakannya di dalam Sejarah


Naga, makhluk mitologi paling terkenal di dunia. Seluruh dunia memiliki legendanya masing-masing. Namun tidak bisa disangkal kalau Naga dari legenda Cina adalah yang paling menarik. Mungkinkah makhluk terbang bertubuh ular, bertanduk dan memiliki cakar itu benar-benar ada? 


Di Eropa, naga selalu dilambangkan sebagai makhluk yang jahat. Namun, bagi masyarakat Cina, naga melambangkan kekuatan dan kekuasaan. Begitu besarnya penghormatan bangsa Cina kepada makhluk ini sehingga kaisar-kaisar yang gagah perkasa dengan bangga mengenakan gambar naga sebagai simbol mereka.



Bagi bangsa Cina, naga adalah salah satu dari empat makhluk spiritual yang mendapat penghormatan tertinggi. Tiga makhluk lainnya adalahPhoenixQilin (Kirin) dan Kura-kura. Namun diantara semuanya, naga adalah yang paling perkasa.



Karakteristik Naga dan angka 9

Di dalam mitologi Cina, naga memiliki kaitan yang sangat erat dengan angka "9". Misalnya, Naga Cina sesungguhnya memiliki 9 karakteristik yang merupakan kombinasi dari makhluk-makhluk lainnya.



1. Ia memiliki kepala seperti unta

2. Sisiknya seperti ikan
3. Tanduknya seperti rusa
4. Matanya seperti siluman
5. Telinganya seperti lembu
6. Lehernya seperti ular

7. Perutnya seperti tiram

8. Telapak kakinya seperti harimau
9. Dan Cakarnya seperti rajawali.

Selain 9 karakteristik itu, naga di dalam mitologi Cina disebut memiliki 9 orang anak yang juga memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Ia juga memiliki 117 sisik. 81 diantaranya memiliki karakter Yang(Positif) dan 36 lainnya memiliki karakter Yin (Negatif).



Pada umumnya, naga Cina memiliki tiga atau empat cakar di masing-masing kaki. Namun kerajaan Cina menggunakan lambang naga dengan lima cakar untuk menunjukkan kalau sang Kaisar bukan naga biasa. Lambang ini kemudian menjadi lambang ekslusif yang hanya boleh digunakan oleh sang kaisar. Siapapun yang berani menggunakan lambang naga dengan 5 cakar akan segera dihukum mati.




Empat Jenis Naga

Dalam literatur Cina, paling tidak ditemukan lebih dari 100 nama naga yang berbeda-beda. Namun, untuk mudahnya, Naga Cina biasanya hanya digolongkan ke dalam empat jenis, yaitu:

  1. Tien Lung atau Naga Langit yang bertugas menjaga istana para dewa.
  2. Shen Lung atau Naga Spiritual yang berkuasa atas angin dan hujan
  3. Ti Lung atau Naga Bumi yang berkuasa atas air di permukaan bumi
  4. Fucang Lung atau Naga dunia bawah bumi yang bertugas menjaga harta karun yang ada di dalamnya.

Empat jenis naga tersebut mungkin berbau spiritual, tetapi seperti yang saya katakan di atas, masih ada sekitar 100 nama naga lainnya.


Dari sekitar 100 nama ini, terlihat kalau Naga Cina sebenarnya tidak selalu berhubungan dengan makhluk spiritual. Bisa jadi, naga tersebut adalah hewan yang memiliki fisik yang nyata.

Karena itu, kita harus memisahkan antara Naga Spiritual dengan Naga sebagai hewan yang nyata.


Naga Cina dan Cryptozoology

Misalnya, Jiao Lung atau Naga Buaya. Naga jenis ini tidak bertanduk dan disebut sebagai pemimpin dari hewan-hewan air. Berdasarkan namanya, memang ada kemungkinan kalau naga jenis ini adalah seekorbuaya. Penyebutan ini paralel dengan sebutan Komodo Dragon yang menggunakan nama naga untuk menyebut makhluk reptil raksasa Komodo. Nama ini jelas menunjukkan kalau Naga Cina tidak selalu berarti makhluk terbang bertubuh ular, bertanduk, bersungut dan bercakar.



Contoh lainnya adalah Pan Lung atau Naga Spiral. Naga jenis ini berdiam di danau dan belum bisa naik ke langit untuk menjadi makhluk spiritual. Naga jenis ini bisa jadi merujuk kepada makhluk air serupa ular atau belut. Contohnya adalah Oarfish (yang hidup di laut) yang memiliki karakteristik cukup unik sehingga orang sering membandingkannya dengan naga Cina.





Ada kemungkinan kalau penampakan makhluk serupa Oarfish di danau-danau Cina telah dianggap sebagai penampakan naga.

Lalu, ada Fei Lung alias Naga Terbang. Naga ini memiliki sayap dan mengendarai awan dan kabut. Menariknya, nama ini juga digunakan untuk menyebut Pterosaurus dalam bahasa mandarin. Fei Lung mungkin adalah jenis naga yang sama dengan naga Eropa.



Penampakan Naga di dalam sejarah Cina

Jika sebagian Naga Cina bisa dikategorikan ke dalam makhluk Cryptid, pernahkah ada kesaksian mengenai penampakannya?


Jawabannya: Ada!

Sejarah negara Cina telah dimulai sejak ribuan tahun sebelum masehi. Dalam kurun waktu tersebut, para cendikiawan mendokumentasikan setiap peristiwa dalam catatan-catatan yang rapi, termasuk peristiwa terlihatnya naga di berbagai tempat di Cina.

Namun, peristiwa yang dituangkan ke dalamnya mungkin telah diinterpretasikan berdasarkan pemahaman dan kebudayaan bangsa Cina masa lampau sehingga sebagian kisah itu terdengar cukup mistis. Namun, kisah lainnya memiliki kemiripan dengan kasus perjumpaan dengan makhluk Cryptid.

Salah satu contoh peristiwa penampakan naga tercatat dalam bukuRecording for the Jiaxing Regional Government yang menceritakan kalau pada bulan September 1588, seekor naga berwarna putih terlihat terbang di atas permukaan danau Ping di wilayah Pinghu, propinsi Zhejiang. Cahaya yang keluar dari naga putih tersebut begitu terangnya sehingga menerangi sebagian langit dengan warna merah yang terang benderang.



Dalam buku lainnya, Recording for the Songjiang Regional Government, disebutkan kalau 20 tahun setelah penampakan naga putih di danau Ping itu, seekor naga putih serupa juga terlihat terbang di atas sungai Huangpu di Songjiang, Shanghai. Naga itu terlihat pada bulan Juli 1608. Seorang saksi mata mengaku melihat seorang dewa sedang berdiri di kepala naga itu.



Kesaksian mengenai adanya dewa yang mengendarai naga tersebut adalah contoh kesaksian perjumpaan dengan naga sebagai makhluk spiritual. Di samping itu, ada kesaksian-kesaksian lainnya yang sama sekali tidak menyebutkan adanya dewa atau naga yang terbang. Kesaksian-kesaksian ini terdengar sangat mirip dengan kisah-kisah penampakan makhluk cryptid pada umumnya. Di bawah ini beberapa contohnya:

Pada tahun ke-24 masa pemerintahan Kaisar Jian'an dari dinasti Dong Han (219 Masehi), seekor naga berwarna kuning muncul di sungai Chishui di kota Wuyang dan berdiam disitu hingga sembilan hari lamanya sebelum akhirnya pergi. Setelah itu, para penduduk desa membangun sebuah kuil disitu dan sebuah prasasti dibuat sebagai penghormatan kepada naga tersebut.

Pada bulan April tahun 345 Masehi, tahun pertama pemerintahan kaisar Yonghe, dua ekor naga, satu berwarna putih dan yang lainnya berwarna hitam, muncul di gunung Long. Peristiwa munculnya naga ini membuat kaisar Murong dari kerajaan Yan memimpin sejumlah pejabatnya menuju gunung itu untuk melihat naga-naga tersebut. Ketika sampai disana, mereka mengadakan upacara keagamaan pada jarak 200 yard dari kedua naga tersebut.



Ratusan tahun kemudian, di gunung yang sama, seekor naga kembali muncul. Peristiwa ini dicatat dalam buku History of the Yuan Dinasty:

"Pada bulan Juli, tahun ke-27 masa pemerintahan kaisar Zhiyuan (1290 Masehi), seekor naga muncul di dekat gunung Long di wilayah Linxong, propinsi Shandong. Naga itu mampu membuat sebuah batu besar melayang di udara."

Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana cara naga tersebut membuat batu besar itu melayang.


Tahun 1162, seekor naga mati disebut ditemukan di danau Taibai. Naga ini memiliki sungut yang panjang dengan sisik yang besar. Punggungnya berwarna hitam sedangkan perutnya berwarna putih. Di punggungnya ada sebuah sirip, sedangkan di kepalanya ada dua tanduk besar. Karena makhluk itu mengeluarkan bau yang tidak sedap, para penduduk kemudian menutupinya dengan matras. Otoritas setempat pun segera memerintahkan pengadaan upacara sembahyang di lokasi itu. Satu hari setelah penemuan itu, bangkai naga itu hilang entah kemana.

Kesaksian lainnya dicatat oleh buku Recording for the Lin'an Regional Government yang menceritakan kalau pada tahun 1631, tahun ke-4 masa pemerintahan kaisar Chongzhen, seekor naga besar terlihat di sebuah danau di propinsi Yunan. Karena kemunculan ini, danau tersebut kemudian diberi nama Yilong yang berarti danau naga misterius. Nama ini masih digunakan hingga sekarang.



Buku lainnya, Amanded Recording of the Tang Dinasty, mencatat peristiwa penemuan seekor naga mati berwarna hitam di teritori Tongcheng. Peristiwa ini terjadi pada tahun terakhir pemerintahan kaisar Xiantong. Menariknya, buku ini memberikan deskripsi yang cukup detail mengenai naga tersebut. Disebutkan kalau panjang naga itu adalah sekitar 30 meter dimana setengahnya adalah ekornya. Ujung ekor naga tersebut pipih, sisiknya seperti ikan dan di kepalanya tumbuh dua tanduk. Sungut di samping mulutnya memiliki panjang 6 meter. Kakinya yang tumbuh di perutnya memiliki lapisan berwarna merah. Deskripsi ini sangat mirip dengan gambaran naga Cina klasik.



Buku Seven Books and Scriptures tulisan Long Ying juga mencatat peristiwa penemuan naga yang terjadi pada tahun terakhir pemerintahan kaisar Chenghua dari dinasti Ming. Naga itu ditemukan di pantai Xinhui, propinsi Guangdong. Nelayan yang melihatnya memukul makhluk itu hingga mati. Panjang naga tersebut kurang lebih 10 meter dan terlihat mirip dengan naga dalam lukisan-lukisan klasik. Kisah ini cukup aneh karena seorang nelayan yang melihat naga umumnya tidak akan memukulnya sampai mati, mengingat bangsa Cina sangat menghormati makhluk ini. Mungkin makhluk itu mengganggu sang nelayan, namun kita tidak bisa memastikannya.



Buku History for the Yongping Regional Government mencatat kalau pada musim semi tahun ke-19 masa pemerintahan kaisar Daoguang (1839), seekor naga ditemukan di pinggir sungai Luanhe di wilayah Laoting. Bangkai naga itu terlihat dikerubungi oleh lalat dan belatung. Penduduk lokal kemudian membangun sebuah tempat perlindungan untuk melindunginya dari sinar matahari langsung. Mereka juga menyiram air dingin ke tubuhnya. Legenda menyebutkan kalau tiga hari kemudian, Naga itu kembali hidup dan pergi begitu saja.



Peristiwa termodern yang menyangkut penemuan naga adalah yang terjadi pada Agustus 1944. Seekor naga hitam diberitakan jatuh ke tanah di desa Weizi di halaman rumah keluarga Chen, sekitar 9,4 mil barat laut wilayah Zhaoyuan, di sebelah selatan sungai Mudan di propinsi Heilongjiang. Naga hitam itu ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa. Para saksi mata mengatakan bahwa makhluk ini memiliki tanduk di atas kepalanya dan sisik yang menutupi seluruh tubuhnya. Makhluk itu memiliki bau seperti ikan yang menarik lalat untuk mengerumuninya.

Dari semua kesaksian itu, muncul satu pertanyaan yang menarik. Jika Naga yang disebutkan dalam sebagian kesaksian tersebut adalah hewan yang nyata, maka hewan apakah yang memiliki tubuh seperti ular, bertanduk, berkaki dan memiliki sungut di sisi mulutnya?

Itulah misterinya.

'Melatih Chi' Dan 'Melatih Pikiran'.

'Melatih Chi' Dan 'Melatih Pikiran'.
「練氣」與「練意」

Oleh Mula Guru Silsilah Budha Hidup Lian Sheng
Diterjemahkan oleh Zhiwei Zhu
Sumber: lotuschef.blogspot.com.

Aku berada di Amerika Serikat sekitar dua tahunan, yang mengikuti-Ku belajar Tantrayana beribu berpuluh ribu orang, ada banyak sekali murid karena kemajuan latihannya tidak normal, dan 'meditasi' yang benar, dibawah petunjuk detail-Ku, tidak hanya beryoga dengan Hati Besar Alam Semesta, bahkan Alam Kesadaran yang dicapai luarbiasa, mempunyai kemampuan khusus menggerakkan kundalini, dengan demikian, 'Mahamudra' bukanlah pelatihan spiritual yang ilusif, akan tetapi merupakan teknik latihan tubuh dan pikiran sendiri yang nyata hasilnya.

'Mahamudra' bisa dikatakan sebagai Maha Tantra untuk mencapai ke-Budha-an sepanjang sejarah dan untuk kesehatan tubuh dan pikiran, didalam prosesnya secara total menitikberatkan 'pelatihan Chi' dan 'Pelatihan Pikiran', 'Chi' ini mengandalkan pernapasan, 'Pikiran' ini memanfaatkan kekuatan pikiran untuk mengendalikan Chi. Metode ini nampak misterius dalam penjelasannya, sebenarnya tidaklah misterius sedikitpun, karena kesehatan tubuh manusia adalah kelancaran nadi meridian tubuh, kelancaran aliran Chi dan darah, dan sebenarnya kemampuan 'Mahamudra' bagi tubuh dan pikiran adalah bertujuan utama untuk melancarkan nadi meridian, melancarkan nadi darah, sehingga timbul keselarasan, pengendalian, keseimbangan fungsi.

Pelatihan 'Mahamudra' tak terjangkau pikiran, namun metode Tantra untuk mencapai ke-Budha-an, juga merupakan satu metode ilmu pengetahuan untuk penyembuhan penyakit, kesehatan dan panjang umur!

Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam sadhana 'Mahamudra' sangat banyak, semisal: aspek pernafasan 'Tu Na' (吐納), aspek pengendalian pikiran, aspek pengendalian peredaran Chi, aspek visualisasi membentuk salira, aspek misteri mengubah menjadi ilusi (玄機變幻), aspek meditasi memasuki samadhi, aspek samadhi satu pikiran, aspek pelatihan ganda jiwa dan tubuh, aspek peningkatan kundalini, aspek mengeluarkan roh asal, dan lain-lain, semua ini mempunyai tekniknya, ada poin-poin gaibnya, dibawah pengertian yang rinci, kunci-kunci rahasia satu per satu akan tersingkapkan.

Secara umum dikatakan, yang disebut Tantrayana adalah mengandalkan prinsip Tiga Rahasia untuk melatih Mahamudra:

Pertama: Mudra --- sebenarnya adalah sikap tubuh.
Kedua : Visualisasi --- sebenarnya adalah pikiran.
Ketiga : Mantra --- sebenarnya adalah pernafasan.

Harus diketahui bahwa rahasia mantra dalam hubungannya dengan pernafasan sangat besar, penjapaan Vajra, tidak mengeluarkan suara, dan gelombang getaran mantra sama dengan gelombang berbagai organ dalam tubuh, melalui kesamaan getaran ini timbullah 'kekuatan dan energi asal mula' 「能與原力」, poin ini sangat penting, dan penjapaan mantra harus diarahkan oleh pernafasan, ini adalah semacam rahasia paling besar dalam mantra Tantrayana, orang yang memahami teknik ini, pasti mencapai ke-Budha-an, orang yang tidak memahami teknik ini, belum mencapai Alam Kesadaran apa-apa.

Terus terang, mengapa para murid-Ku harus melatih 'Guru Yoga', karena Guru Yoga adalah metode terjauh untuk saling kontak batin antara Guru (Acharya) dengan murid, dalam aspek ini, para murid menggunakan mudra Pencerahan dari Acharya dan mantra Pencerahan-Nya, dalam pikiran murid dengan Acharyanya Cahaya dengan Cahaya saling menyinari, inilah 'sikap tubuh', 'pikiran', 'pernafasan' tiga aspek itu saling terhubungkan, setelah segalanya tergerakkan inilah ber-'Yoga', prinsip ini sangat sesuai dengan kenyataan, sedikitpun tidak sulit untuk difahami, in adalah langkah pertama dalam sadhana.

Yang tidak melatih 'Guru Yoga', otomatis tidak akan memperoleh kekuatan kontak yoga dari Acharya, juga tidak mendapatkan kekuatan adhistana dari Acharya, hal ini tidak sesuai dengan tatacara latihan dalam Madzhab Satya Budha, jadi semua murid Madzhab Satya Budha, harus melatih 'Guru Yoga', setelah melatih Guru Yoga, kemudian melatih sadhana yang lain, baru tidak akan ada penyimpangan.

Sadhana Mahamudra dalam tradisinya, para sadhaka harus ada pantangan makanan, ada batasan-batasan tempat tinggal, harus memperhatikan segi penggunaan tenaga fisik dan kegiatan fisik, mencegah anasvara fisik dan psikik (kebocoran cairan dan klesha), menjauhi perilaku seksual yang menyimpang, menjaga ketenangan dan keheningan, menjaga Chi dan darah, sedikit nafsu dan tidak bosan.

Lao Tze bersabda dalam Tao Te Ching: 'Kosong hatinya, penuh perutnya.'(虛其心,實其腹)
Ada lagi: 'Tersedia tiada habis-habisnya, bermanfaat terus-menerus.' (綿綿若存,用之不勤)
'Karena kosong maka merangkul keheningan.' (致虛,守靜).

Beberapa patah kata ini sebenarnya, dengan penjelasan sederhana, pikiran manusia harus terpusat, hati dan kesadaran harus harmonis dan tenang, pernafasan harus berkelanjutan, halus dan panjang, Chi harus disimpan di Dantian, pikiran harus ditaruh di Dantian, singkatnya sebagai berikut:

Chi disimpan di Dantian, pikiran ditaruh di Dantian: 'Kosong hatinya, penuh perutnya.'
'Tersedia tiada habis-habisnya, bermanfaat terus-menerus': pernafasan yang berkelanjutan, halus dan panjang, tubuh dan pikiran akan mempunyai fungsi yang besar.
'Karena kosong maka merangkul keheningan': mencapai satu pikiran, hati dan kesadaran memasuki samadhi.

Keahlian teknik Mahamudra, dan keahlian memelihara kesehatan dari Ajaran Tao saling berhubungan, 'Visualisasi Perhitungan Nafas' dalam Ajaran Budha dengan Ajaran Mencapai Dewa Resi (仙道) dari Tiongkok dari beribu tahun yang lalu sebenarnya sama, pada jaman dulu, tabib spiritual Bian Que juga mengajarkan orang agar menggunakan teknik perhitungan nafas, ini bisa dikatakan sebagai langkah pertama dalam pengaturan nafas untuk memasuki samadhi.

Langkah paling pertama dalam Pelatihan Chi dan Pelatihan Pikiran dalam Mahamudra yaitu teknik 'Pemanasan Roh' (靈熱) dan 'Penyalaan Candali dan Bindu' (Kundalini, 明點內火) adalah mengandalkan 'Pernafasan Sempurna' (完全呼吸), pikiran masuk ke dalam Dantian, keselarasan dicapai dengan pernafasan, pertama adalah 'titik', lalu 'garis', terakhir adalah 'wajah', sampai pada tahap api kundalini bersirkulasi dengan leluasa di seluruh tubuh. (Aspek ini silahkan membaca 'Annutara Yoga Tantra dan Mahamudra' halaman 4).

Secara singkat, memanfaatkan Chi memasuki Dantian, membuat Dantian timbul panas, panas berubah menjadi api, api digerakkan di seluruh tubuh, bersirkulasi di seluruh tubuh, sehingga nadi Chi menjadi terbuka dan lancar, semua simpul nadi terbuka, darah dan Chi menjadi lancar, peredaran dan fungsi organ-organ menjadi normal, maka tubuh manusia pun menjadi sehat.

Mengapa 'Chi' harus disimpan di Dantian, karena Dantian dalam istilah India disebut 'Api Kehidupan' 「生命之火」adalah 'Energi Asal' 「原力」kehidupan berada, banyak sekali mandala Tantra, selalu ada 'bijaksara api', bijaksara api ini tidak lain adalah 'Energi Asal' dan 'Api Kehidupan', pencapaian ke-Budha-an seluruhnya mengandalkannya.

Melatih 'Chi' dan melatih 'Pikiran' adalah fondasi Mahamudra, tentu saja, bagi mereka yang berhasil langkah pertama adalah lancarnya darah dan Chi, telinga mata menjadi jelas dan terang serta cerdas, tidak akan jatuh sakit, daya tahan tubuh kuat, bahkan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Ada orang mengira, berbicara tentang 'Chi' itu sesuatu yang sangat misterius, sebenarnya sedikitpun tidak misteri, karena udara adalah salahsatu dari tiga faktor utama kehidupan manusia, manusia hidup di dalam udara, udara juga sama berada di dalam tubuh manusia, selaksa wujud di bawah Langit seluruhnya mengandalkan udara untuk bertahan hidup, banyak sekali penemuan ilmu pengetahuan yang mengandalkan fungsi udara.

Pelatihan Chi Mahamudra, Chi yang dimaksud ada tiga macam:

Chi Asali/Primordial (元氣) --- Chi yang diperoleh dari orangtua, disebut Chi Primordial, bisa juga disebut Chi Langit dan Bumi.
Chi Makanan (谷氣) --- Chi yang terkandung dalam makanan pada saat kita makan, adalah Chi Makanan.
Chi Besar (大氣) --- Udara yang terkandung di antara Langit dan Bumi, adalah Chi Besar.

Disini Aku ajarkan saudara sekalian suatu teknik Menelan Chi yang sederhana, sebagai berikut:

Langkah pertama: kaki dibuka selebar bahu, boleh berdiri, dua telapak tangan dengan ringan ditempelkan di dada, lidah ditaruh diatas langit-langit, ini adalah Gaya Berdiri Mahamudra.

Langkah kedua: mulai dengan ringan dan perlahan menghirup Chi, kira-kira enam hitungan, Dantian otomatis akan menonjol sedikit. Saat ini kedua telapak tangan dari atas ke bawah dengan ringan mendorong sampai ke perut bagian bawah, ini menyiratkan dengan tangan agar Chi turun ke Dantian, adalah suatu upaya tambahan.

Langkah ketiga: Pada saat kedua tangan telah didorong sampai ke perut bagian bawah, air liur di mulut dan tenggorokan disesuaikan, air liur ditelan seperti menelan makanan pada umumnya, sehingga Chi ditekan untuk tetap tinggal.

Tiga langkah tindakan ini sangat sederhana, lagipula bisa dilakukan kapan saja, seperti mendaki gunung di pagi hari, melihat matahari terbit, wajah menghadap ke matahari, atau pagi-pagi ke taman, pagi-pagi ke luar rumah, boleh mempraktekkan 'Teknik Menelan Chi'.

Metode ini membuat Chi menjadi penuh seharian, pada saat mengeluarkan Chi boleh dengan pelan-pelan. Teknik Menelan Chi mempunyai satu poin penting yang harus diperhatikan, pikiran harus terpusat, kesadaran disimpan di Dantian, seluruh tubuh dan anggota badan dikendurkan, kedua mata setengah tertutup setengah terbuka.

Kalau Chi seseorang itu penuh, tubuhnya pasti akan sangat sehat. Kalau Chi seseorang itu kurang, pernafasan Chi lemah, Chi setipis jaring laba-laba. Singkat kata, orang yang penuh dengan Chi, ratusan penyakit tidak akan menghinggapi, yang kekurangan Chi, adalah seseorang yang tidak berguna, hari ini, hukum tertinggi dibawah Langit, tersimpan disini seluruhnya.

'Vajra Acharya Bermahkota Merah Suci' mengajarkan para murid berlatih Sadhana Mahamudra, terlebih dahulu mengajar saudara sekalian teknik Pelatihan Chi yang dasar, penuhnya Chi baru dapat melatih diri, seandainya Cing (intisari hidup) dan Chi tidak cukup, maka akan lesu berpenyakit, hidup tidak mati tidak, bermacam-macam penyakit timbul, pusing-pusing, lemah sekali, tubuh sendiri tidak mampu menyimpan Chi, selalu mengalami kebocoran cairan dan energi, orang seperti ini ingin berlatih Mahamudra adalah tugas besar kemampuan kurang, tubuh yang sehat adalah fondasi pelatihan diri!

Ada orang bertanya pada-Ku apa itu 'Pernafasan Janin' (胎息)? Apa yang dimaksud dengan 'Makanan Janin' (胎食)? Pernafasan Janin adalah Pernafasan Dantian (丹息), Makanan Janin adalah 'Cairan Tubuh' (津液), yaitu air liur dalam mulut manusia.

Pelatihan Chi dan Pelatihan Pikiran, betapa pentingnya!

Mahamudra Itulah Yoga

大手印即是相應

Oleh Mula Guru Silsilah Budha Hidup Lian Sheng
Diterjemahkan oleh Zhiwei Zhu
Sumber: lotuschef.blogspot.com.

Secara filosofis 'Yoga' berarti 'harmonis dan menyatu' (調和與統一). Lalu 'Yoga' juga mempunyai satu makna yang setingkat lebih dalam, manusia adalah 'aku kecil' (小我) sedangkan Alam Semesta adalah 'Aku Besar' (大我); aku kecil dan Aku Besar saling menyatu itulah 'Yoga'.

Alam Kesadaran 'Yoga' semacam ini, hanya mereka yang telah memasuki samadhi yang sangat mendalam baru memahami kebahagiaan besar dari Roh Sunya (空靈) yang laksana naik ke Alam Dewa itu, tidak hanya tubuh dan pikiran sendiri beryoga, juga waktu dan ruang, masa lalu dan masa depan seluruhnya menjadi manunggal, bahkan waktu telah berhenti secara total, ruang telah hilang secara total, lenyap seluruhnya. 'Kebijaksanaan Besar' ini, 'Kesucian Besar', 'Cahaya Besar' inilah 'Yoga'.

Di India, ada banyak sekali Aliran Yoga, ada sejarah yang sangat-sangat panjang, Yoga menyebar di sepanjang pegunungan Himalaya melalui aliran sungai Gangga, ada banyak sekali sadhaka yang terkenal, semua mendapatkan pengakuan besar, 'Aliran Yoga' dan 'Agama Budha', terkadang saling menyatu, terkadang saling terpisah, yang saling menyatu adalah 'Tantrayana', jadi 'Dharma Mahamudra' asalnya adalah ajaran rahasia dari 'Yoga'.

Di China juga ada ajaran tentang 'Penyatuan Langit dan Manusia' (天人合一), Penyatuan Langit dan Manusia dari Ajaran Tao ini, sebenarnya tidak lain adalah 'Yoga' juga, 'Langit' dan 'Manusia' menjadi satu, kalau bukan 'Yoga' apa lagi? Jaman sekarang, 'Yoga' India menyebar ke seluruh dunia, sedangkan metode 'Penyatuan Langit dan Manusia' dari China, masih belum ada yang menyebarkan, Aku pikir kelak kalau ada kesempatan, Aku akan menyebarkan faham 'Penyatuan Langit dan Manusia' dan metode latihannya secara besar-besaran keluar China.

Mengapa Dharma Mahamudra bisa ber-'Yoga', karena orang yang melatih 'Dharma Mahamudra', karena ketenangan tubuhnya mampu membuat tiga kesucian besar dari pikiran yaitu 'Kesucian Ucapan', 'Kesucian Tubuh', 'Kesucian Pikiran' sampai mencapai kondisi suci murni yang nyata, sampai mencapai kondisi ini adalah 'Kekosongan Sejati' (真空), sebagai pengetahuan 'Kekosongan Sejati' adalah wujud asal dari Alam Semesta, selanjutnya 'aku kecil' melebur ke dalam 'Aku Besar', 'Aku Besar' manunggal dengan 'aku kecil'.

Saat ini, tidak peduli Aku sedang berjalan, berdiri, duduk atau berbaring, asal begitu memusatkan pikiran, dengan sangat cepat Aku akan menyatu dengan Alam Semesta, ini adalah keahlian yang dicapai dari latihan yang sangat lama, mengandalkan secara total kekuatan pikiran dalam sekejap saja, maka masuklah Aku ke dalam 'Roh Sunya'. Pada saat ini, Cahaya dengan Cahaya saling menyinari, menampilkan Alam Semesta dan dunia yang benar-benar tak terbayangkan, 'segalanya jelas dan terang' 'segalanya difahami' 「一切全明白」’「一切全知」inilah menjadi 'Budha'.

Hari ini, kita belajar Budha Dharma, kita berlatih Dharma, tujuan paling akhirnya adalah 'menjadi Budha' yang juga artinya mencapai Alam Kesadaran Peleburan dengan Kekosongan Sejati, mencapai wujud nyata dari 'Kekosongan Sejati', barulah bisa disebut 'Orang Yang Telah Mencapai Pembuktian', seandainya belum mencapai wujud nyata dari 'Kekosongan Sejati', sebenarnya masih berputar didalam pratityasamutpada (dharma berkondisi, 緣起), belum mencapai akhir.

Pratityasamutpada ini masih ada halangan dari debu halus, belum mampu benar-benar memahami 'Wujud Nyata Kekosongan Sejati' 「真空實相」, jadi masih hanya di tingkat Dasabhumi Bodhisatva saja, poin ini ada perbedaan tingkatan bhumi pencapaian.

Dengan adanya Yoga Mahamudra, akan membuat seluruh hidup manusia mengalami perubahan, seorang yang benar-benar telah ber-'Yoga', adalah seseorang dengan 'Ketidakgentaran yang besar', Alam Kesadaran ini singkat kata adalah agung tak terungkapkan kata, sekarang Aku berusaha keras menjelaskan sebagai berikut:

Apa itu 'Hukum Sejati' 「真理」? Hukum Sejati adalah Aku, lalu apa itu Aku? Aku adalah Budha, singkat kata, Aku adalah Hukum Sejati, Selaksa Perkara dan Wujud dari Langit dan Bumi, semuanya adalah penjelmaan dari Aku, menjadi fenomena satu kesatuan wujud, Aku menjelma menjadi selaksa perkara dan wujud, meliputi seluruh Alam Semesta, melingkupi Alam Semesta, yang juga menjadi satu tubuh Alam Semesta, di antara keduanya kekal dan eksis secara bersama-sama, inilah Alam Kesadaran 'Tiada Reinkarnasi' 'Tidak Berubah' 'Satu Yang Demikian Adanya Yang Sejati' 「一真如如」.

Saat telah mencapai 'Yoga', adalah saat kembali kepada Wajah Asli, pada saat ini ketika memandang semua aliran agama, ilmu pengetahuan, bermacam-macam kehidupan manusia, perasaan dan persepsi secara alamiah menjadi tidak sama, merasa kebanyakan orang 'kehilangan yang inti dan mendapatkan yang ujung', yang mampu memahami makna hakiki sangat sedikit, para sadhaka ibarat orang buta meraba gajah, semua mengira pendapatnya yang benar.

Orang yang telah berlatih sampai 'Yoga', Langit dan Bumi adalah penjelmaan-Ku, Aku adalah penjelmaan Langit dan Bumi, dari sini tidak ada lagi masalah yang menakutkan dan merisaukan, 'Kesadaran Tertinggi' telah dimengerti seluruhnya, Cahaya Hati diri setiap saat memasuki Cahaya Hati 'Tuan', dalam satu pikiran bolak-balik berulang-ulang, AC-DC, hanya ada 'pikiran yang nikmat' yang berkembang, memang tidak pernah merasakan ada masalah yang merisaukan, juga tidak pernah merasakan ketakutan, karena telah menjadi Budha, Jatidiri yang bercahaya itulah Budha, Alam Kesadaran Budha sudah dari semula datang pergi berulang kali, entah sudah berapa kali.

Sampai di Alam Kesadaran 'Yoga', maka tahulah kita tubuh kita itu ilusi belaka, Langit dan Bumi adalah ilusi, selaksa perkara dan wujud adalah ilusi, manusia dunia tidak lebih daripada sedang melakukan urusan besar di dalam mimpi. Sejak saat ini selaksa harta benda mampu difahami hakekatnya dan dilepaskan, istri, harta, anak, kedudukan, jasa, nama, laba dan jabatan, semuanya mampu difahami hakekatnya, dan tidak terlilit olehnya, bisa dikatakan sebagai bebas leluasa, bahagia laksana para Dewa, segala klesha mampu diubah menjadi kebahagiaan, inilah Alam Kesadaran Klesha adalah Bodhi (煩惱即菩提的境界).

Sampai di Alam Kesadaran 'Yoga', Jesus pernah berkata: 'Ada orang mengambil jubah luar-Ku, pakaian dalam-Ku pun Kuberikan padanya, ada orang menampar pipi kanan-Ku, pipi kiri-Ku pun Kuberikan padanya.' Hari ini setelah ber-'yoga', Aku berkata: 'Ada orang yang ingin Aku minum air seni, kotoran pun akan Aku makan'. Segala penghinaan dan fitnah, bagi-Ku telah berubah secara total menjadi 'Ketakgentaran'. Pendapat-Ku adalah begini: air seni adalah 'Air Sorgawi Cairan Kumala', kotoran adalah 'hidangan dan seafood yang lezat'. Mengapa Aku berpendapat seperti ini, karena segala fenomena di dunia ini, tidak lebih daripada siklus sesaat, 'Air Sorgawi Cairan Kumala' berubah menjadi air seni, 'hidangan dan seafood yang lezat' berubah menjadi kotoran, hanya begitu saja!

Sampai di Alam Kesadaran 'Yoga', 'nyawa' pun tidak penting lagi, ada orang memegang pisau datang membunuh-Ku, Aku bisa dengan tertawa besar menjulurkan kepala, ada orang membawa senapan datang membidik-Ku, Aku bisa dengan tertawa besar mempersilahkannya membidik tepat di jantung-Ku, jangan sampai salah target, paling baik satu peluru mengantarkan-Ku ke Sorga. 'Nyawa' Ku pun tidak penting lagi, karena bagi-Ku yang telah memperoleh 'Budhatta', tubuh fisik ini tidak ada artinya lagi, tubuh fisik harus dibuang pagi dan malam, dibuang pagi, dibuang malam sama saja, dibuang pagi waktu menyelamatkan dunia berkurang sedikit, dibuang malam waktu menyelamatkan dunia panjang sedikit, hanya begitu saja. Kemudian, mati pagi atau mati malam tidak penting, karena orang yang telah ber-'Yoga', mampu memilih kembali lagi, setelah melewati waktu di Sorga, ingin kembali lagi maka langsung kembali, poin ini tidak mampu difahami oleh manusia awam duniawi.

Hari ini, Aku benar-benar menjadi tidak takut 'mati' lagi, Aku malah menyukai 'kematian', bersedia untuk 'mati', 'kematian' memang tidak mampu mengancam-Ku. Tidak hanya demikian, terhadap segala perkara, ingin membuat-Ku 'tergerak hati' benar-benar tidak bisa lagi, total tidak ada lagi, Aku tinggal di suatu Alam Kesadaran 'Kekosongan Sejati' yang tiada gerak hati.

Ada orang mengira, menuntut-Ku ke pengadilan dengan bermacam-macam cara mempermalukan Aku, maka Aku pasti timbul rasa takut, timbul kengerian, bisa membuat-Ku menyerah. Namun, Aku menonton sandiwara ini, seperti menonton 'opera' saja, saat adegan lucu dan menarik, Aku bertepuk tangan dan memuji, sedikitpun Aku tidak tergerak hati. Orang yang telah tiba di 'Budhatta', hanya merasa simpati pada mereka, kasihan pada mereka, mengapa orang-orang ini rasa kebencian dan kemarahan begitu berat, mengapa tidak merenungi diri bagaimana jika mereka salah? Mengapa tidak berpikir diri telah menyerang nama baik orang lain, telah mempermalukan orang namun tidak tahan dengan kritikan orang lain, benar-benar satu kelompok yang patut dikasihani!

Sampai di Alam Kesadaran 'Yoga', langit runtuh, bumi terbelah, gunung meletus, banjir melanda, bencana kemarau, peperangan, bagi Orang yang telah mempunyai 'Budhatta', alis pun tidak akan sedikit dikerutkan, Mereka memandang kejadian ini sebagai hal yang alami, kejadian ini adalah semacam sebab-akibat dunia manusia, adalah semacam keharusan hukum karma, segalanya adalah supranatural, adalah yang tertinggi, namun tetap memiliki hati yang menyelamatkan semua makhluk hidup, dari Alam Latihan dan Pencapaian sampai ke Alam mencapai Ke-Budha-an yang 'tiada latihan dan tiada pencapaian'.

Banyak hal yang dulu tidak dimengerti, sekarang telah difahami seluruhnya, banyak sekali kemelekatan telah terurai semuanya, banyak sekali pertentangan ternyata adalah 'tiada halangan'! Orang yang telah ber-'Yoga', ibarat orang yang berdiri diluar persoalan, menonton wayang, ternyata masalahnya hanya seperti itu, wujud nyata ternyata hanya seperti itu.

'Vajra Acharya Bermahkota Merah Suci' adalah seorang Acharya yang telah ber-'Yoga', jadi di antara Langit dan Bumi, telah tiada hal yang 'menakutkan', pukulan yang lebih besar lagi tetap 'tak gentar' lagi, 'nyawa' Ku telah diberikan pada orang lain, 'Pagi mendengar Tao, sore hari mati pun rela!' Aku adalah 'Pagi mendengar Tao, sore hari mati pun rela!' Aku berharap para murid 'Madzhab Satya Budha', semuanya berlatih Dharma Mahamudra, dari Catur Prayoga sebagai yang paling dasar sampai Guru Yoga, kemudian melatih Yidam Yoga sampai Vajra Yoga, terakhir Cahaya dengan Cahaya saling menyinari, saat telah mengalami 'peleburan' dan 'memasuki aku' maka Anda adalah Budha Hidup.

'Aku kecil' memasuki 'Aku Besar'.
Aku adalah makhluk hidup, makhluk hidup adalah penjelmaan-Ku.

'Hukum Tertinggi' manunggal dengan Aku, inilah Yoga yang senyata-nyatanya.

Senin, 30 Juli 2012

Prajna Paramita

GATE GATE PARA GATE PARASAMGATE BODHI SVAHA
Pada saat Yang Arya Bodhisatva Avalokitesvara sedang dalam kegembiraan yang mendalam atas meditasi perenungan Kebijaksanaan Sempurna (Prajnaparamita),

Beliau memandang dari atas dan tertampaklah bahwa panca skandha (lima kelompok penopang kehidupan) itu sebenarnya kosong. Hingga akhirnya, Ia mengatasi semua penyakit dan penderitaan.

Wahai Sariputra, bentuk (rupa) tidaklah dapat dibedakan dari kekosongan (sunyata), dan kekosongan tidak dapat dibedakan dari bentuk. Bentuk adalah kosong dan kosong adalah bentuk. Demikian juga perasaan (vedana), pencerapan (sanna), pikiran (sankhara), kesadaran (vinnana).

Wahai Sariputra, segala sesuatu (dharma) bercorak sunyata; mereka tak muncul, juga tak berakhir; tidak kotor, juga tidak murni bersih, tidak kurang, tidak
lengkap/bertambah.

Oleh karena itu, di dalam kekosongan, tiada bentuk, perasaan, pencerapan, pikiran, dan kesadaran. Tiada juga mata (caksuh), telinga (srotram), hidung
(grahnam), lidah (jihva), badan (kaya), batin (manasa). Tiada bentuk (rupa), suara (sabda), bau (gandah), rasa, sentuhan (sparstavyam), maupun dhamma. Tiada unsur penglihatan (caksu dhatu), hingga tiada unsur pikiran
dan kesadaran (mano-vinnanam dhatu). Tiada kebodohan (avijja), tiada akhir kebodohan (avijja-ksayo), hingga tiada usia tua dan kematian (jaramaranamksayo), tiada akhir dari usia tua dan kematian. Demikian pula, tiada penderitaan (dukkha), asal mula dukkha (samudayah), lenyapnya dukkha (nirodha), jalan menuju lenyapnya dukkha (marga). Tiada kebijaksanaan (jahna), pencapaian (prapti), dan akhir pencapaian (abhi samaya).

Demikianlah, karena bodhisatva tidak mempunyai apa yang perlu dicapai, Ia berada dan berdiam di dalam prajnaparamita. Tiada rintangan dalam pikiran. Tanpa rintangan dalam pikiran, Ia tidak memiliki rasa takut serta tiada rintangan kesempurnaan. Hingga akhirnya, Ia mengatasi khayalan menyesatkan dan mencapai Nibbana Sejati.

Buddha dari ketiga masa --- lalu, sekarang, mendatang -- dengan bersandar pada Prajnaparamita mencapai kebuddhaan pada tingkat yang tiada tara, yaitu
samyaksambodhi. Oleh karena itu Prajnaparamita adalah mantra pengetahuan agung, mantra tiada tanding, mantra tertinggi, mantra yang pasti dapat melenyapkan semua dukkha, yang di dalamnya tiada cacat, harus dipahami sebagai kebenaran.


Kita akan membedah dan mengambil saripati dari Sutrabuddhis ini, bukan untuk mengagungkan suatu agama, namun untuk mencari jawaban dari apa yang Dee tanyakan. Umat Buddha melihatnya dalam perspektif keimanan, sedangkan kita akan meng4nalisanya secara jernih dan lirih dalam perspektif filsafat, sebab lewat filsafat barat dan timurlah saya mendapat perpektif baru dalam hidup ini

Latar Belakang Sutra Hati

Sutra Hati Prajna Paramita mungkin adalah sutra yang paling pendek, sederhana, ringkas, namun juga paling tinggi nilai pencerahannya. Itulah mengapa ia disebut hrdaya sutra atau Sutra Inti, Sutra Hati, atau Sutra Jantung; jantung dari Jalan Pencerahan Para Buddha.

Secara umum banyak ahli yang mengatakan bahwa Sutra Hati ini adalah ringkasan dari Sutra yang lebih panjang yaitu Sutra Maha Prajna Paramita. Ada juga yang mengatakan bahwa penulis Sutra Maha Prajna Paramita dan Sutra Hati Prajna Paramita itu adalah Yogi Nagarjuna, salah satu penggagas filsafat Madhyamika.

Kita tidak tahu dengan pasti. Namun yang jelas sutra Hati ini pastilah ditulis oleh seseorang dengan kemampuan ****isa dan kedalaman kebijaksanaan yang luar biasa.Kita dapat berandaiandai bahwa dalam kedalaman meditasinya, ia seakan-akankembali pada jaman Buddha Gautama ketika sedang berbicara pada Sariputra, muridnya yang paling cerdas. Buddha memaparkan rahasia inti dari jalan pencapaian menuju Nibanna

Kemunculan sutra-sutra Mahyana ini adalah sebagai berikut:

Kira-kira 400 sampai 500 tahun setelah mangkatnya Pertapa Gautama, Buddhisme telah tersebar di berbagai tempat di anak benua India sampai ke tempat sejauh Mesir dan Persia. Sekalipun demikian Buddhisme di India mengalami degradasi. Banyak para petapa yang mementingkan keheningan pertapaan dari pada memberi dampak nyata pada manusia sekitarnya. banyak pula para pertapa yang menjadikan pertapaan sebagai pelarian kekanak-kanakan dari beratnya hidup. Banyak bikkhu dan kaum awam yang menjadikan

kehidupan membiara sebagai ladang mencari nafkah. Antara satu sekte dengan sekte lain sibuk mengagungkan sutra dan vinaya mana yang lebih asli, lebih agung dan lebih adiluhung. Dan mereka meninggalkan panggilan untuk berbuat dan berbuah bagi m****ia lainnya, yaitu kaum awam.

Di sisi lain agama Brahmana, agama inti dari Hinduisme, yang darinya Buddhadharma lahir justru lebih mendapat tempat di hati masyarakat. Brahmanisme, bukannya menyusut setelah Buddhisme lahir dan berkembang, justru Brahmanisme makin kuat tertancap di hati masyarakat India. Mengapa? Karena berbeda dengan Buddhisme yang terlalu rasional, kering dalam perayaan dan terlalu berfokus pada kehidupan membiara, Brahmanisme justru agama perayaan, agama rakyat dan agama penyembahan. Rakyat tidak butuh rasionalitas yang tajam tapi kering. Rakyat butuh sesuatu yang darinya kita mencerminkan moral dan harapan, dan mencerminkan permasalahan dari
kehidupan sehari-hari.


Ada pepatah yang mengatakan :

?Jika kita hendak merubuhkan pagar di depan rumah kita,hendaknya kita bertanya dahulu pada ayah dan kakek kita, kenapa mereka dulu mendirikan pagar tersebut.?


Kiranya hal ini terjadi pada Buddhisme. Pada awal kelahirannya, Buddhisme, sekalipun melalui cara-cara yang intelek dan beradab, berusaha ?membunuh? ajaran tentang para dewa dan segala tek-tek bengek persyaratan pemujaannya.


Pertapa Gautama, seorang pangeran yang sangat intelek, menolak ketuhanan yang bersifat pribadi dan menjinakan kekuasaan para dewa dalam benak rakyat India. Dengan menolak suatu ketuhanan yang berpribadi maka sebenarnya Gautamalah yang lebih dulu mendeklarasikan tuhan telah mati ? jauh sebelum Nietzsche melakukannya.

Seperti seorang teman saya pernah katakan ?Buddha Gautamalah yang telah berhasil membunuh tuhan secara beradab, dan tradisi pembunuhan tuhan itu dilestarikan dalam semangat Theravada.?

Sebelum masa Gautama rakyat India terilusi dengan dewa-dewi sebagai suatu pribadi-pribadi yang ajek, nyata, faktual dan secara signifikan mengurusi hajat hidup m****ia. Namun setelah Gautama membabarkan dharmanya, rakyat India mulai sedikit demi sedikit mengarahkan perhatiannya dari dewa-dewi sebagai pribadi yang ajek - kepada gambaran yang lebih abstrak yaitu potensi sifat-sifat luhur dari dirinya sendiri. Dewa-dewi adalah simbol dari nilai-nilai luhur dari manusia itu sendiri.

Dalam kisah-kisah Theravada dan juga Mahayana dikisahkan bagaimana para dewa dan para Brahma sendiri menghormat kepada Buddha, yang adalah seorang manusia.

Apakah artinya ini? Ini berarti bahwa yang lebih mulia dari semua yang ada adalah manusia itu sendiri, manusia yang telah sadar, manusia yang memancarkan semua hakekat kebijaksanaan dan semangat altrusitik.

Buddha adalah simbol dari manusia yang telah tercerahkan, sehingga dewa-dewa, yang adalah simbol dari elemen-elemen semesta dan nilai-nilai luhur manusia, dan para Brahma, simbol dari kesadaran alam semesta yang halus, tunduk pada Buddha.

Manusialah yang memunculkan kisah-kisah kedewaan dan sifat-sifat luhur itu, tanpa manusia semua itu tidak akan muncul. Maka dari pada itu, tujuan dari memuja sifat-sifat luhur itu tiada lain adalah terwujudnya manusia yang berintegritas, manusia yang memiliki karakter yang luhur, mulia dan suci. Itulah Buddha. Dan kepada manusia dengan kesadaran tinggi sedemikian itu, semua elemen semesta dan kesadaran luhur bersinergi dan berharmoni.

Ini adalah rahasia. Inilah pengetahuan tingkat tinggi. Dan ini terlalu rasional sekaligus terlalu samar, bukan saja bagi kaum awam, tetapi juga bagi para bikkhu yang kesadarannya belum mencapai inti ajaran Buddha.

Para bikkhu dari aliran Utara merasakan hal yang sama. Mereka menyadari betapa Buddhisme telah begitu jauh dari rakyat, betapa para bikkhu telah begitu eksklusif dengan kehidupan biara mereka. Padahal rakyat yang awam tidak banyak meminta. Rakyat awam tidak banyak menuntut bikkhu untuk menjabarkan hal yang mendetil dan samar. Rakyat hanya membutuhkan jawaban real dari permasalahan mereka. Rakyat membutuhkan jawaban doa, rakyat membutuhkan pegangan moral, rakyat membutuhkan ia yang dengannya manusia bisa mencurahkan segala keluh kesah kehidupan, segala beban derita yang ditimbulkan dari permasalahan keluarga, permasalahan mencari nafkah dsb. Dan hal itu kurang mendapat respon dari para sebagian bikkhu yang seakan-akan terlalu remeh untuk menanggapi permasalah psikologis m****ia.

Para Bikkhu dan yogi dari Aliran Utara menyadari bahwa secara psikologis pantheon dewa-dewi yang dulu ditundukkan oleh Buddhisme ternyata masih diperlukan bagi umat awam, asalkan umat disadarkan bahwa ujung dari perjalanan rohani bukanlah pemujaan kepada dewa-dewi melainkan pada pemekaran diri yang berbuahkan sifat-sifat mulia. Dengan demikian maka para yogi dan bikkhu Aliran utara mendekonstruksi dan mereinterpretasikan ajaran Buddha dengan kearifan lokal saat itu, demikianlah para Boddhisatva dan Buddha ahistoris sebagai simbol dari sifat-sifat mulia dimunculkan dalam wacana-wacana keagamaan, devosi dan perayaan.

Jika Buddhisme aliran Selatan berfokus pada arahat, yaitu manusia yang telah tercerahkan, yang jalannya hanya bisa dilalui lewat jalan hidup membiara, maka Buddhisme aliran Utara berfokus pada jalan Boddhisatva, yaitu manusia ideal yang sadar dan berkelimpahan dalam sifat-sifat altruistik / mulia dan tetap berada bersama-sama manusia untuk bersama-sama mencapai Nibanna.


Jalan ke-bodhisattva-an bukanlah eksklusif milik para bikkhu, tetapi suatu wahana besar, wahana umat awam dan para bikkhu dan bikkhuni. Siapapun yang yang terpanggil untuk mewujudkan sifat-sifat mulia dan cinta pada segala mahluk, tergerak untuk membebaskannya dari belenggu derita - itulah bodhisattva.

Bodhisattva adalah calon Buddha, Bodhisattva adalah perwujudan Buddha itu sendiri. Buddha dan Bodhisattva bisa mewujud dalam diri siapapun, termasuk para perumah tangga. Dan pemahaman ini tertuang dalam Sutra Vimalakirti Nirdesa. Sutra ini menerangkan tentang seorang Buddha yang konon hidup di masa Buddha Guatama hidup, yang telah mencapai pencerahan sempurna, sekalipun hidup berumah tangga dan melakukan aktivitas sebagai perumah tangga.

Sekalipun setiap orang yang rindu mewujudkan idea-idea altruistik bisa disebut bodhisattva, namun ada juga figure-figur buddha dan bodhisattva langit, yang tidak menyejarah, personifikasi dari bersatunya kesadaran luhur m****ia dan respon dari alam semesta yang berfungsi sebagai devosi dan cermin kesadaran dari manusia pemujanya.

Jadi dengan mewacanakan figure-figur bodhisattva, sebenarnya Buddhisme mengambil pola-pola kedewaan yang sama dengan agama-agama India lainnya, dalam hal ini Brahmanisme / Shivaisme. Bedanya, dewa-dewi dalam hinduisme bersifat statis dan ilahi semata, sedangkan dalam figure bodhisattva ? m****ia mengambil peran disana. Bahkan perjalanan kultivasi bodhisattva sendiri adalah menjadi Buddha, manusia yang telah tersadarkan.

Di satu sisi boddhisatva dan Buddha menjadi obyek devosi, di sisi lain dipahami bahwa kesadaran boddhisatva itu adalah kesadaran dalam diri manusia sendiri. Inilah dialektika bodhisattva dalam Mahayana, yang sayangnya tidak dipahami oleh umat awam.

Dari banyak Buddha dan Bodhisattva langit yang dikenal dalam Mahayana, yang paling besar adalah Buddha Amitabha, Bodhisatva Ksitigarba, Bodhisattva Maha Tsamaprapta dan Bodhisattva Avalokitesvara. Dan di dalam sutra ini kita akan bertemu dengan Bodhisattva Avalokitesvara.

Dari banyak Buddha dan Bodhisattva langit yang dikenal dalam Mahayana, yang paling besar adalah Buddha Amitabha, Bodhisatva Ksitigarba, Bodhisattva Maha Tsamaprapta dan Bodhisattva Avalokitesvara. Dan di dalam sutra ini kita akan bertemu dengan Bodhisattva Avalokitesvara. Sutra Hati adalah sutra yang mengisahkan tentang penjelasan Dharma dari Buddha Gautama kepada muridnya yang paling cerdas, yaitu Sariputra, tentang bagaimana Bodhisattva Avalokitesvara mencapai pencerahan sempurna.


Pada saat Yang Arya Bodhisatva Avalokitesvara sedang dalam kegembiraan yang mendalam atas meditasi perenungan Kebijaksanaan Sempurna (Prajnaparamita),


(*) Siapakah Yang Arya Avalokitesvara ? Yang Arya berarti Yang Mulia, suatu gelar yang diberikan kepada seseorang yang dianggap luhur dan bijaksana. Avalokitesvara, sebagaimana yang kita ketahui adalah figur bodhisatva langit yang dimunculkan dalam wacana Mahayana.

Nama Avalokitesvara berasal dari 3 kata :

? Avalok = yang melihat ke bawah (ditengarai bahwa kata ?look?

dalam bahasa Inggris berasal dari kata Sanskrit ? lok)

? Lokite = dunia (dari sinilah kata local berasal)

? Isvara = tuhan / dewa (memakai istilah dari brahmanisme,

merujuk pada Shiva)

Jadi Avalokitesvara adalah tuhan yang melihat ke bawah, mendengar dan menjawab keluh kesah dunia. Avalokitesvara adalah paralelisme Shiva dalam kesediaannya untuk menanggung penderitaan dunia, yang juga disebut Nilakanta. Avalokitesvara juga adalah paralelisme Visnu dalam kesabaran, cinta kasih dan pengayoman segala mahluk hidup.

Jadi avalokitevara adalah personifikasi dari kerahmanian dan kerahiman alam semesta ini. Dalam berbagai budaya Avalokitsvara diasimilasikan dalam konteks kelokalan, di China menjadi Dewi Welas Asih atau Kuan Yin, di Indonesia jadi Dewi Sri, Dewi Kesuburan bumi, yang adalah sebutan lain bagi Bodhisattva Tara Hijau.

Avalokitesvara mengambil banyak bentuk sesuai dengan aspirasi si pengusung. Ada Avalokitesvara sebagai pemberi anak bagi mereka yang menginginkan anak. Ada Cintamani Cakravarti Avalokitesvara, sebagai pemberi keberkahan.


Avalokitesvara dikenal sebagai ia yang bertangan seribu dan bermata seribu, sebagai simbol dari kesediaannya untuk membantu dan mengayomi seluruh mahluk. Bagi para sadhaka Tantra, Avalokitevara juga dikenal sebagai Baghavati Cundi - Bunda Milyaran para Buddha, paralelisme dari Dewi Durga, yang membantu para sadhaka mencapai penyempurnaan sampai kesadaran para buddha. Singkatnya Avalokitesvara adalah personifikasi dari Isvara, Hare / tuhan, Brahma, Shiva dan Visnu.

Namun di dalam sutra ini, Avalokitesvara bukan sematamata suatu figur ilahi yang terpisah dari manusia. Avalokitesvara adalah simbol dari kesadaran manusia yang inheren. Avalokitesvara adalah tipologi dari manusia-manusia unggul yang terpanggil untuk menapaki jalan kemuliaan, mencapai kesadaran dan membawa sebanyak mungkin manusa ke dalam jalan kebajikan. Inilah dialektika ala Buddhisme. Di satu sisi Avalokitesvara dipuja sebagai Isvara / tuhan, di sisi lain ia tunduk pada Buddha, ia terus menerus mengumpulkan parami / kebijaksanaan untuk memberkahi manusia. Ia tidak lelah menambah pengetahuan dharma dan terus menerus menetap di bumi untuk menolong umat manusia. Lihatlah, konsep tuhan yang sungguh berbeda dengan tuhan ala hindu dan samawi yang sangat statis berada di langit. Mengapa? Karena Avalokitesvara adalah gambaran kesadaran laten yang ada pada manusia itu sendiri.


Merujuk kepada konsep Tiga Suciwan dari Barat :

1. Amitabha melambangkan kerinduan akan kesempurnaan ? summum bonum.

2. Maha Stamaprapta melambangkan kecerdasan dan kebijaksanaan ? sophia.

3. Avalokitesvara melambangkan cinta kasih dan pengayoman ? agape.

Jadi dalam Sutra Hati ini penulis sutra mencoba membawa para pembacanya untuk menempatkan dirinya sebagai Avalokitesvara yang tengah bergembira dalam perenungan Prajna Paramita yang mendalam itu.

(*)Prajna Paramita

Apakah Prajna Paramita? Prajna berarti Kebijaksanaan. Paramita berarti sempurna.

Bodhisattva bukanlah orang yang mencari ilmu mejik, atau mencari pengalaman mistis, atau pengalaman metafisik paranormalik, sama sekali bukan. Bodhisattva adalah mereka yang kesadarannya telah terpanggil untuk bertransformasi, keluar dari cangkang kedirian yang sempit dan membuahkan sesuatu yang bernilai luhur bagi dirinya dan segala mahluk.


Dalam transformasi itu ada perenungan akan enam kesempurnaan yang harus direalisasikan, yang disebut sad paramita (enam kebijaksanaan sempurna):

1. Kesempurnaan dalam Kemurahan Hati (Dana Paramita)

2. Kesempurnaan dalam Perbuatan Baik (Sila Paramita)

3. Kesempurnaan dalam Kesabaran (Ksanti Paramita)

4. Kesempurnaan dalam Semangat (Viriya Paramita)

5. Kesempurnaan dalam Perhatian (Dyana Paramita)

6. Kesempurnaan dalam Kebijaksanaan (Panna Paramita)


Mengatasi Segala Penderitaan

Dan dalam perenungan yang mendalam atas transformasidiri ke arah yang lebih mulia ternyata ?..

Beliau memandang dari atas ke bawah / mendapat pemahaman; tertampaklah, bahwa panca skandha (lima kelompok kehidupan) itu sebenarnya kosong. Hingga akhirnya, Ia mengatasi semua penyakit dan penderitaan.




Dalam wacana awal budhisme, manusia dipahami sebagai entitas yang terdiri dari nama dan rupa, yang berarti mental dan bentuk. Nama rupa ini disebut sebagai 5 khanda / gugus yang menopang kehidupan manusia. yaitu:

1. rupa (bentuk jasmani)

2. vedana (perasaan),

3. samjna (pencerapan),

4. samskara (bentuk-bentuk mental), dan

5. vijnana (kesadaran akan kedirian).


Kepada setiap meditator pertapa Gautama selalu menekankan pentingnya perenungan akan tiadanya ?aku? sebagai entitas yang ajek. ?Baik dari apa yang dirasakan, dilihat, dikecap, disadari, dicerap, ketahuilah oh para bikkhu, bahwa tiada aku (I), diriku (me), dan kepunyaanku (mine) disana.?

Maksud dari Pertapa Gautama adalah jelas, bukan berarti tidak ada kedirian itu, tetapi menyadari bahwa kedirian itu bersifat sementara, hanya suatu momen kini dan di sini saja. Namun banyak penganut buddhis menangkapnya sebagai

kenihilan diri yang bersifat dogmatis.


Apa yang disebut kedirian adalah suatu arus pembentukan yang dirajut oleh begitu banyak elemen, momen dan kondisi. Karena ia dirajut oleh begitu banyak elemen, maka ia tidak memiliki suatu inti yang kekal. Kedirian ini adalah wadah yang terus berubah sesuai dengan kondisi elemen-elemen yang menggagasnya.

Dengan memahami hal ini secara gradual dan konsisten maka terbebaslah para meditator dari kemelekatan akan konsep diri sebagai ADA yang utuh yang berdiam dalam tubuh, tidak berubah dan selalu mengembara dari satu bentuk kehidupan kepada bentuk kehidupan.

Ia yang terilusi dengan adanya aku yang utuh, kekal, abadi, dan berada terpisah dari tubuh akan mengalami ketakutan ketika datang momen-momen kehilangan, sakit penyakit, penuaan dan kematian.


Sebaliknya ia yang sadar bahwa kita hanyalah penjadian, proses kemenjadian yang terkena akan proses-proses alam, akan menyambut setiap kebahagiaan, kesedihan, pertemuan, perpisahan, kelahiran dan kematian.


Dua Sisi Berbeda Dari Koin Yang Sama

Wahai Sariputra, bentuk (rupa) tidaklah dapat dibedakan dari kekosongan (sunyata), dan kekosongan tidak dapat dibedakan dari bentuk. Bentuk adalah kosong dan kosong adalah bentuk. Demikian juga perasaan (vedana), pencerapan (sanna), pikiran (sankhara), kesadaran (vinnana).

Banyak orang yang keliru memahami kata-kata ini.

Benarkah kosong itu sama dengan bentuk? Bagaimana mungkin ada sama dengan tidak ada? Mana mungkin tidak ada uang didompet bisa dibilang ada uang? Bukan. Bukan demikian maksud penulisan Sutra Hati ini.

Kita harus memahami khazanah berpikir Buddhisme. berbalik tolak pemikiran Buddhisme ada pada Tilakhana atau tiga corak umum kenyataan kesegalaan yang ada. Menurut Buddhisme

segala yang ada bersifat :

1. Anica (ketidak kekalan),

2. Dukkha (ketidak memuaskan),

3. Anata (ketiadaan inti yang kekal).

Seperti yang tertuang dalam Dhammapada sloka 277,278,279

Segala sesuatu yang berkondisi adalah anicca. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini; maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

Segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian. Segala dhamma (kebenaran) adalah anatta. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat ini, maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.


Darimana penderitaan itu datang? Dari pengharapan kita yang tidak realistis akan nature dari hidup.

? Kita mengharapkan segala sesuatu langgeng, menguntungkan bagi pihak kita.

? Kita berharap segala sesuatu itu berpihak pada kita dan menjamin kebahagiaan kekal.

? Kita berharap segala sesuatu ada tetap, tidak berkembang, menyusut dan layu.

? Dengan segala usaha kita menutupi kenyataan yang ada bahwa hidup ini tidak abadi, tidak menjamin kepuasan sempurna dan tidak statis.

Apa yang dipakai sebagai ukuran bahagia, menyenangkan, menyukakan, ternyata tidaklah real. Ia ada, memang ada, namun ditopang oleh berbagai kondisi.

Mereka yang menyadari hal ini, yaitu bahwa segala sesuatu bersifat tidak kekal, tidak menjamin kepuasan mutlak, dan tiada hakekat inti, dengan sendirinya terlepas dari ilusi untuk terus mempertahankan status quo. Ia bebas lepas menghadapi, menjalani dan merayakan kehidupan ini apa adanya.


Wahai Sariputra, segala sesuatu (dharma) bercorak sunyata; mereka tak muncul, juga tak berakhir; tidak kotor. juga tidak murni bersih, tidak kurang, tidak lengkap / bertambah.

Bagi saya pribadi, inilah puncak pemahaman mereka yang tercerahkan. Gautama, bukanlah Buddha omong kosong, sebab ia mengilhami kita dengan pencerahan yang luar biasa pada masanya dan menancapkan pemahaman yang begitu dalam dan halus bagi orang-orang sesudahnya. Di sebelah barat banyak para nabi dan tokoh agama besar lahir setelah Pertapa Gautama, namun tak ada mampu yang melebihi kebijaksanaan dan kedalaman dan kehalusan dharma dari Gautama yang mampu membelah dualitas.

Sebagian besar keyakinan lain sampai sekarang masih terjerembab dalam perdebatan idea tentang yang suatu tuhan yang absolute, mutlak benar, berfirman begini begitu dan mengangkat nabi ini dan itu. Sementara agama-agama timur, yang lahir dari kedalaman perenungan, telah beranjak naik dari kesumpekan dualitas.

Kepada Sariputra, muridnya yang terpandai, ia nyatakan bahwa biarpun ada kebenaran yang harus dicapai, ada disiplin yang harus diterapkan, ada tata nilai dan etika yang harus diemban, namun pada dasarnya semua bentuk kebenaran, prinsip, metoda, sabda, dharma adalah sunyata, kosong, tiada inti.

Ingatlah Sariputra, segala bentuk dharma, metoda, jalan, prinsip, tata nilai ? bersifat kosong ? tiada inti. Segala dharma / prinsip kebenaran / metoda ada karena diadakan. Diadakan oleh siapa? Diadakan oleh elemen-elemen yang mendukung pemunculan dharma itu.

Tidak ada kebenaran yang muncul dari langit, sebagai hadiah dari seorang dewa atau ilah atau tuhan yang bertahta di surga sana. Semua kebenaran dipahami dan dipeluk oleh m****ia, dalam horizon ruang dan waktu sebagai usaha m****ia dalam pencarian makna hidupnya di ****i ini.

Banyak orang di dunia ini yang masih terilusi dengan adanya suatu kebenaran agama yang mutlak. Padahal mutlak atau tidak mutlak berada di pikiran si pemercayanya saja. Ketika pemikiran si pemercaya itu berkembang, apa yang mutlak sekarang, belum tentu mutlak nantinya. Mengapa? Karena segala kebenaran itu bersifat sunyata, kosong, tiada inti, ia dimunculkan karena adanya faktor-faktor yang mendukung kemunculannya. Jika tidak ada faktor faktor pendukung kemunculan itu, maka sirnalah kebenaran itu.

Anda mau contoh lebih real? Mari kita ambil salah satu petikan -edited- yang konon, menurut mitos, diberikan xxx di gunung:

?Janganlah engkau membunuh!?

Perintah ini, tidak akan pernah ada kalau tidak ada elemen-elemen yang mendukung kemunculannya. Apakah elemen tersebut?

? karena adanya subyek yang melakukan pembunuhan

? karena adanya kegiatan pembunuhan pada si obyek.

? karena adanya obyek yang terbunuh, atau dicoba dibunuh.

? karena adanya sebab dan kondisi yang memungkinkan adanya pembunuhan itu.

? karena adanya sakit yang ditimbulkan dari terbunuhnya seseorang bagi keluarga dan handai taulan yang ditinggalkan.

Jika tidak ada orang yang membunuh, tidak ada contoh kasus pembunuhan, tidak ada yang dibunuh, tidak ada sebab dan kondisi yang memungkinkan mengacu pada pembunuhan itu, jika tidak ada orang yang merasa dirugikan dari terbunuhnya seseorang, adakah larangan itu muncul? Tidak.

Siapakah yang memberi hukum itu? M****ia sendiri. Tepatnya m****ia yang mencari nilai-nilai yang dianggapnya benar, menjamin keadilan dan ketentraman bagi dirinya dan sesama. Jelas ini bukan diberikan oleh suatu pihak ilahi diseberang sana.


M****ialah yang memunculkan kesadaran tentang sesuatu yang dianggap baik, bernilai, bermakna bagi dirinya, seturut dengan evolusi kesadarannya.

"Tanpa Nama demikianlah awal ****i dan Langit.

Dengan Nama adalah ibu segala benda.

Tidak Ada kalau kita ingin menyatakan rahasianya.

Ada kalau kita ingin menyatakan keadaannya;

keduanya berpasangan walau namanya berbeda;

pasangan yang disebut amat gaib pintu semua rahasia!"

Demikianlah penggalan ayat-ayat awal dari kitab Tao Te Ching, karya Lao Tze, yang hidup hampir sejaman dengan Pertapa Gautama.

Tanpa deskripsi, tanpa penamaan, tanpa penilaian, itulah hal ihwal dari segalanya. Dengan kita mendeskripsikan, memberi nama atau label, menilai ? dari sinilah konsep diciptakan.

Dalam upaya untuk mendeskripsikan dan memaknai kehidupan, maka terciptalah segala penilaian dan pembedaan. Tanpa motif demikian - dari mana pembedaan itu tercipta?


Ketika m****ia mengenal bahasa ia melabeli segala sesuatu dalam dualitas

? ada murni ? maka ada kotor

? ada tinggi ? maka ada rendah

? ada suci ? maka ada yang tak suci

? ada halal ? maka ada yang haram

Kehidupan menjadi seperti yang kita pahami, rasakan dan persepsi manakala kita memandang dan menilai-nilai kehidupan. Tanpa penilaian seperti demikian kehidupan adalah kehidupan tiada label pembeda. Kehidupan hanyalah arus penjadian tanpa label. Tanpa nilai.

Kehidupan menjadi seperti demikian dan demikian, manakala dipahami dengan persepsi demikian. Tanpa persepsi demikian, tidak akan ada kehidupan yang sedemikian.

Baik itu memakai persepsi atau tidak, dua-duanya merajut nilai dan makna hidup. Ada dan tidak ada adalah dua sisi dari koin yang sama.

Dari manakah konsep muncul dan tidak muncul, berakhir dan tidak berakhir, kotor dan bersih, murni dan bernoda, kurang dan lengkap itu berasal ? Jawabnya : dari penilaian kita, dari persepsi kita dalam memaknai kehidupan.

Dan persepsi itu ternyata tidak berdiri sendiri, tidak mutlak ada. Persepsi ada karena ada kondisi yang melahirkan persepsi itu, yaitu karena ada pemikiran, karena ada kita, m****ia yang melabeli kehidupan.
Tanpa ada m****ia, maka tidak akan muncul konsep kemunculan dan ketidakmunculan, kelahiran dan kematian, kesucian dan ketidaksucian, kemurnian dan ketidakmurnian.

Life is life with or without humankinds who always bother to value life on their own tastes.

Hidup adalah hidup, dengan atau tanpa m****ia yang selalu ribut menilai-nilai segala sesuatu seturut seleranya.


Tesa - Anti Tesa dan Sintesa, Serta Semangat Dekonstruksi Ala Gautama

Oleh karena itu, di dalam kekosongan, tiada bentuk, perasaan, pencerapan, pikiran, dan kesadaran. Tiada juga mata (caksuh), telinga (srotram), hidung

(grahnam), lidah (jihva), badan (kaya), batin (manasa). Tiada bentuk (rupa), suara (sabda), bau (gandah), rasa, sentuhan (sparstavyam), maupun dhamma. Tiada unsur penglihatan (caksu dhatu), hingga tiada unsur pikiran dan kesadaran (mano-vinnanam dhatu). Tiada kebodohan (avijja), tiada akhir kebodohan (avijja-ksayo), hingga tiada usia tua dan kematian (jaramaranamksayo), tiada akhir dari usia tua dan kematian. Demikian pula, tiada penderitaan (dukkha), asal mula dukkha (samudayah), lenyapnya dukkha (nirodha), jalan menuju lenyapnya dukkha (marga). Tiada kebijaksanaan (jahna), pencapaian (prapti), dan akhir pencapaian (abhi samaya)

Pada tahun awal-awal pengabdiannya Pertapa Gautama tak lelah-lelahnya membangung psikologi m****ia berdasarkan perspektif yang ia tempuh. Ia memformulasikan ajaran-ajaran fundamentalnya secara mengesankan dalam 4 Kesunyataan / Kebenaran / Kenyataan Luhur, yaitu :

? kebenaran tentang adanya penderitaan (Dukkha)

? kebenaran tentang adanya sebab-sebab penderitaan (Dukkha Samudaya)

? kebenaran tentang adanya lenyapnya penderitaan (Dukkha Niroda)

? kebenaran tentang jalan berunsur 8 menuju akhir Dukkha (Dukkha Nirodha Gamini Patipada Magga)

Jalan berunsur delapan menuju lenyapnya penderitaan adalah :

1. Pengertian Benar

2. Pikiran Benar

3. Ucapan Benar

4. Perbuatan Benar

5. Mata Pencaharian Benar

6. Usaha Benar

7. Perhatian Benar

8. Konsentrasi Benar


Dalam mengembangkan Perhatian dan Konsentrasi Benar, Pertapa Gautama menekankan pentingnya kewaspadaan dalam melihat unsur-unsur yang membentuk persepsi m****ia, yaitu :

? mata (caksuh) dan aktvitasnya penglihatannya, apa yang menarik/tidak menarik bagi mata dan apa yang netral.

? telinga (srotram) dan aktivitas pendengarannya, apa yang menimbulkan ketertarikan bagi telinga untuk mendengarnya/tidak menyukakan bagi telinga, dan apa yang netral.

? hidung (grahnam) dan aktivitas penciumannya, apa yang menimbulkan kegembiraan/ketidak sukaan bagi hidung untuk menciumnya, dan apa yang bersifat netral.

? lidah (jihva) dan aktivitas pengecapannya, apa yang menimbulkan selera/ ketidakseleraan bagi lidah untuk dikecap, dan apa yang bersifat netral.

? badan (kaya) dan aktivitas ragawi yang dilakukan badan, apa

yang menimbulkan kenyamanan/ketidaknyamanan untuk dilakukan badan, dan apa yang netral.

? batin (manasa) dan aktivitas mencerap dan menginternalisasikan

nilai pengalaman-pengalaman subyektif, apa yang enak, indah dan berkenan, apa yang tidak dan apa yang netral.




Jika bahasan tadi di atas menyoal m****ia sebagai subyek yang beraktivitas, sekarang Buddha menyoal tentang obyek, nilai dan persepsi yang ditimbulkan dari aktivitas si subyek, yaitu bentuk (rupa), suara (sabda), bau (gandah), rasa, sentuhan (sparstavyam), maupun dhamma (konsep).


Semua arus kemunculan dan pengembangan, penyusutan dan hilangnya fenomena bathin dalam indra dan pikiran di****isa dalam meditasi pandangan terang, meditasi kebijaksanaan yang membelah dualitas. Dari semua fenomena itu diperiksa, adakah sebenar-benarnya aku, diriku, dan kepunyaanku (I, me, mine) yang kekal dan tak terkondisi?

Demikianlah sebagian inti fondasi Budhisme dalam kacamata psikologi meditasi. Namun di akhir pengabdiannya justru Buddha menegasikan sendiri fondasi yang dahulu ia formulasikan. Mengapa? Karena ia melihat bahwa bathin sebagian muridnya sudah cukup tinggi untuk menangkap makna terdalam dari pengajarannya. Dulu ia menawarkan tesa, sekarang ia menyuguhkan an****esa, agar tercipta sintesa dari semua ajarannya.

Tesa, anti tesa dan sintesa adalah elemen dari evolusi peradaban, entah itu dalam ranah materi, ataupun dalam laku spiritual. Tesa dan anti tesa adalah dua sisi dari satu keping uang yang sama. Dan sintesa itu adalah nilai kegunaan dari si koin itu tadi, yang tidak akan ada tanpa salah satu sisi koinnya.

Tesa itu diadakan karena suatu kondisi dan permaksudan, begitu pula an****esa. Tanpa permaksudan maka tidak akan hadirsemua fenomena konsep / dharma.

Pertapa Gautama memformulasikan ajaran karena adanya kondisi, permaksudan dan kemendesakan, yang jika kondisikondisi ini berubah, maka akan berubah pula bentuk dharma ini.

Sebagaimana rakit, oh para bikhu, diperlukan manakala kita akan menyebrang (kondisi, maksud dan kemendesakan), seketika kita sampai di seberang (kondisi, maksud dan kemendesakan yang baru), perlukah kita terus menyeret-nyeret rakit itu di sepanjang jalan menuju rumah?

Demikianlah salah satu alegori yang selalu Buddha ajarkan kepada murid-muridnya tentang dharma. Dharma bagaikan rakit, yang dipakai ketika hendak menyebrang. Ketika kita telah menyeberang kita tidak perlu rakit, kita hanya perlu jalan saja.

Konon menurut kisah buddhis, suatu saat pertapa Gautama ditanya oleh muridnya, ?Guru telah empat puluh lima tahun guru mengajarkan dharma yang tak tertandingi, tak terhitung dharma mendalam yang telah anda babarkan. Jika itu harus disimpulkan dalam suatu rangkaian kalimat, seperti apakah dharma yang terdalam itu, ya Guru??

Buddha tersenyum dan menjawab:

?Engkau keliru oh muridku, jika engkau katakan bahwa selama empat puluh lima tahun ini aku telah membabarkan dharma yang absolut, engkau keliru. Sebab tak sepatah Dharma yang aku ucapkan dari mulutku.?

?Mengapa, wahai muridku? Karena Hakekat Dharma yang sesungguhnya adalah tak terkatakan, hakekat dharma yang sejati mengatasi dualitas dharma dan adharma. Hakekat dharma yang dikatakan bukanlah dharma sejati. Dharma yang Sejati adalah tak terkatakan, tak tergambarkan, tak terperikan. Dalam Dharma yang sejati tidak ada tinggi dan rendah, panjang dan pendek, lebar dan sempit, hina dan mulia.?

Semua kebenaran yang bisa ditangkap oleh bahasa, sebenarnya kebenaran yang dualitas. Kebenaran yang mengatasi dualitas adalah ketidakhadiran nilai subyektif dari m****ia.

(*)Pada Mulanya Adalah Kata-kata

Kita harus memahami bahwa semua berasal dari bahasa, dari konsep, dari upaya m****ia untuk memaknai hidup. Untuk itu ia harus diakhiri dengan kesadaran bahwa bahasa itu sendiri adalah konsep, bahasa itu terbatas, suatu wadah yang berisikan persepsi yang menunjuk pada realitas, bukan realtas itu sendiri.




Menyadari hal ini, bagaimana mungkin kita bisa menerima bahwa ada suatu firman yang kekal tentang suatu yang haram dan halal, suatu yang suci dan tidak suci yang difirmankan oleh suatu tuhan yang absolut? Semua hanyalah konsep yang dibuat oleh m****ia dalam kadar kesadaran yang rendah dan terbatas.

Kalau anda menemukan seonggok tahi ayam di jalan, lalu anda membuang muka, merasa jijik dan sebal, lalu menjauhinya dan meludah. Sekarang pikirkan, benarkah tahi ayam itu menjijikan? Apakah konsep jijik itu melekat pada si tahi ayam atau pada pikiran anda? Jika anda suka daging ayam, mengapa anda merasa jijik dengan tahi ayam yang adalah produk satu paket dari kehidupan si ayam?

Bagi lalat dan bakteri yang ada di dalam tahi ayam itu, tahi ayam adalah berkah, surga makanan. Bagi tanah, mineral yang terkandung dalam tahi ayam akan diserap dan didaur ulang demi kelangsungan hidup lainnya. Coba anda posisikan diri anda menjadi lalat, bakteri dan tanah, maka kata jijik itu akan hilang.

Tolong bedakan antara membersihkan suatu tempat dari kotoran karena alasan higienis, dengan menilainya kotoran tersebut sebagai kejijikan dalam pikiran kita. Jijik dan tidak jijik ternyata penilaian subyektif kita sendiri, yang telah dipermak oleh konsep yang ditanam oleh lingkungan dan diri kita sendiri.

Dari manakah logika babi itu haram? Adakah itu kebenaran absolut? Pernahkah terpikir bila anda terlahir jadi babi yang diharamkan dan dijijik-jijkan oleh milyaran m****ia sepanjang jaman?

Pernahkah anda terpikr bila anda terlahir jadi orang yang anda sekarang anggap kafir, kaum yang dilaknat xxx, dsb? xxx macam apa itu yang melaknati ciptaannya sendiri (dengan meminjam logika penciptaan ala mereka)? Bukannya mendamaikan m****ia malahan memfirmankan hukum-hukum yang tidak karuan. Jelas bahwa semua itu adalah produk pemikiran m****ia, tepatnya m****ia yang masih berkesadaran rendah dan terjerambab dalam dualitas. Namun kepongahannya gak ketulungan.


Bagi yang telah sadar maka semua fenomena di dunia ini tidaklah ajek, tidaklah berinti. Kematian sebenarnya bukan akhir, sama seperti kelahiran bukanlah awal. Semua hanyalah rentetan penjadian yang terus menerus seturut dengan kondisi dan potensi yang mendukungnya.

Tiada Lagi Rintangan Pikiran

Demikianlah, karena bodhisatva tidak mempunyai apa yang perlu dicapai, Ia berada dan berdiam di dalam prajnaparamita. Tiada rintangan dalam pikiran. Tanpa rintangan dalam pikiran, Ia tidak memiliki rasa takut serta tiada rintangan kesempurnaan. Hingga akhirnya, Ia mengatasi khayalan menyesatkan dan mencapai Nibbana Sejati.

Dalam semesta berpikir Buddhisme, meditasi dianggap sebagai perjalanan menuju suatu tahapan bodhicitta.

? bodhi artinya ketercerahan, yang bangun, yang terjaga, yang mengetahui.

? citta artinya pikiran atau juga kesadaran.


Jangan sampai tertukar antara vinnana (kesadaran akan kedirian / ahankara) dengan citta (pikiran dan kesadaran yang lebih halus). Vinnana adalah kesadaran akan keberadaan diri, ego yang masih berfokus pada kepentingan diri sendiri, sedangkan citta adalah kesadaran altruistik yang mengenali keterkaitan kesegalaan yang ada dengan dirinya.

Jadi tujuan dari meditasi dan laku hidup ini adalah meraih pemahaman yang benar, suatu olah batin, transformasi dari perenungan mulia, kepada realisasi kehidupan sehari-hari.


Perenungan mulia dalam meditasi adalah suatu tahapan evolutif yang sering disimbolikkan sebagai alam-alam kehidupan. Seperti yang terdapat dalam tingkatan di candi Borobudur. Yaitu Kammadatu, Rupadatu, dan Arupadatu (pembagian 31 alam)

Kita tidak akan berkutat dalam tafsir keimanan, bagi anda yang memahaminya, silahkan saja percayai itu. Tapi seperti yang saya katakan di awal, kita akan menelaahnya dalam kerangka filsafat, bukan kerangka keimanan.

Bagi saya pribadi :

> >
Mereka yang masih terjerat dalam konsep akan terus menerus mencari satu konsep kepada konsep lainnya,membandingkan, meng****isa, mencantelkan, dan bersukacita pada konsep itu. Seperti misalnya pemikiran tentang : Benarkah ada yang namanya Dewa Shiwa / Brahma / Wisnu? Benarkah ada
yang namanya Avalokitesvara, Samantabadra dan Ksitigarba? Dimanakah sorga mereka? Siapa saja yang bisa masuk ke sorga mereka? Apa yang harus dilakukan di dunia ini agar saya bisa terlahir di sorga mereka? Berapakah panjang umur para mahluk di sana, dll. Inilah surga-surga konsep.

Dalam meditasi sering ditemukan adanya ?alam-alam? dan pemandangan yang indah, menyejukan dan menyenangkan, dimana si meditator ingin tetap tinggal di sana. Setiap kali ia bermeditasi ingin merasakan kembali berada di sana. Mengapa? Karena ia terikat dengan ?bentuk, rasa, dan suara? yang memikat dari ?alam-alam? ini.

> merasakan suatu ketidak-berdayaan ditengah-tengah kemahaluasan
alam semesta.

Menurut Buddha ada empat alam dalam arupadatu yang akan dilalui oleh meditator, yaitu :
1. alam ruang tanpa batas
2. alam kesadaran tanpa batas
3. alam kekosongan tanpa batas
4. alam bukan pencerapan ? bukan pula non-pencerapan.

Dan dari setiap alam itu meditator harus tetap menyadari bahwa itu bukanlah tahapan terakhir. Ia harus tetap lirih melihat bahwa dari semua pengalaman itu tetap tiada didapati aku, diriku dan kepunyaanku baik di dalam maupun diluar semua itu, terkait maupun terlepas dari semua itu.

Bagi saya pribadi, inilah kawasan pikiran yang sangatsangat halus dimana si meditator digoda untuk mendeskripsikan apa yang ia ?lihat ? rasa ? sentuh ? kecap dan tangkap / persepsi?, ketika ia dapati kegirangan disitu, ia digoda untuk terus melekat ke arah situ. Ketika ia mendapatkan kehampaan dan ketandusan, bahkan kengerian, ia digoda untuk menjauh dari kawasan itu.

Buddha secara tak langsung mengajar muridnya akan luasnya alam semesta yang tak terbatas ini. Alam semesta bersifat enigmatik, bagaikan buku yang setelah begitu lama kita habiskan waktu untuk membacanya, ternyata tidak kita dapati halaman terakhir. Seketika kita pikir ini adalah halaman terakhir, ternyata ini adalah halaman baru di bab berikutnya.

Dengan konsep yang ditanamkan pada diri kita, nafsu untuk mengupas alam semesta sampai batas terakhir ? adalah siasia. Dari pada bernafsu untuk menaklukan yang tidak bisa ditaklukan, mengapa tidak kita nikmati saja samudera kehidupan ini dengan tiada beban dan nilai? Lepas dari semua lekatanlekatan penilaian ? itulah nibanna ? kedamaian yang tak tergoyahkan. Penghentian dari segala kerisauan. Hilangnya rasa dahaga seketika air minum itu kita tenggak. Ahhhhhhh ? itulah nibanna.

Dengan penjelasan lain, empat alam arupaloka memiliki paralelnya pada perenungan Empat Kediaman Mulia atau Catur Brahma Vihara, yaitu :
1. Metta : perhatian, cinta kasih yang dipancarkan kepada semua mahluk hidup tanpa syarat
2. Karuna: bela rasa atau empati yang dipancarkan kepada segala mahluk yang menderita
3. Mudita: kegembiraan yang tulus atas keberhasilan orang lain, tanpa cemburu dan iri atas pencapaiannya.
4. Uppekha : ketenang seimbangan, suatu ketenangan yang timbul dari pembatinan atas perenungan pada sebab akibat. Ketidakgoyahan perasaan dan pikiran karena kegembiraan dan kesedihan, penerimaan dan penolakan, pujian dan celaan.


(.) Realization is to Release and to Realize
Demikianlah, karena bodhisatva tidak mempunyai apa yang perlu dicapai, Ia berada dan berdiam di dalam prajnaparamita.

Jikalau dalam tahap awal, Buddha Gautama tidak lelahnya memotivasi muridnya untuk mencapai ketenangan, mencapai pengetahuan yang lebih tinggi, mencapai disiplin diri, mencapai kebiasaan mulia, sekarang justru Gautama mengatakan bahwa bodhisattva tidak mempunyai apa-apa yang perlu dicapai. Mengapa?
sebenarnyan pencerahan mereka dari awal sudah secara gradual mereka dapatkan ketika mereka sedikit demi sedikit meninggalkan LMD, begitu pulalah m****ia. Ia harus diajari dulu sesuatu yang perlu dicari, dikejar dan dicapai. Jika kebiasan baik sudah dibatinkan, maka semua sifat mulia itu bukan berasal dari tuntutan syariah, atau kitab-kitab ini itu, namun mengalir sendiri secara alamiah dalam dirinya. Sifat-sifat mulia itu, yang tadinya hanya idea, sekarang menjadi bagian dari hidup, terpancar secara alami dari bathin yang telah diolah.

Jadi pencapaian pada hakekatnya adalah pelepasan segala lekatan-lekatan kotor yang selama ini melekati batin kita sehingga bodhicitta yang seharusnya bersinar jadi tidak bersinar. Pada saat kita telah mencapai, kita sadari bahwa pencapaian itu pada dasarnya adalah perealisasian, dalam bahasa inggrisnya adalah release ? melepaskan dan realize ? menyadari dan menjadi menggenapkan suatu kenyataan.


Karena Ada Ilusi Maka Ada Pencerahan, Tanpa Ilusi Tidak Akan Ada Pencerahan
Tanpa rintangan dalam pikiran, Ia tidak memiliki rasa takut serta tiada rintangan kesempurnaan. Hingga akhirnya, Ia mengatasi khayalan menyesatkan dan mencapai Nibbana Sejati.

Dalam tradisi Zen terdapat ujaran: Karena ada ilusi maka ada pencerahan. Tiada ilusi maka tiada pencerahan

Para m****ia yg termotivasi untuk bertemu dengan pencerahan atau Dewa tanpa nama atau yg maha atau yg lainya, dengan motivasi mereka terilusi untuk mencapainya, padahal justru keberangkatan usaha itu sendir sudah suatu pencapaian gradual. Ketika "sampai" mereka baru sadar bahwa semua kisah yang dulu mereka percayai sebagai konsep yang nyata ternyata tidak ada, semua adalah metafora. Yang ada adalah mereka yg baru, Apanya yang baru? Kesadaran mereka yang baru. Ahh, ternyata ini tohh? ? hingga akhirnya ia mengatasi khayalan menyesatkan dan mencapai Nibanna Sejati.

Lepas - Lepas - Lepaslah Sudah


Buddha dari ketiga masa --- lalu, sekarang, mendatang --- dengan bersandar pada Prajnaparamita mencapai kebuddhaan pada tingkat yang tiada tara, yaitu samyaksambodhi. Oleh karena itu Prajnaparamita adalah mantra pengetahuan agung, mantra tiada tanding, mantra tertinggi, mantra yang pasti dapat melenyapkan semua dukkha, yang di dalamnya tiada cacat, harus dipahami sebagai kebenaran.

Saya percaya bahwa pelajaran dari Sutra Hati ini bersifat universal, dan sepanjang ada m****ia yang rindu mencari hakekat sejati, sepanjang itu pula pesan dari Sutra Hati ini tetap bergema, maka dari itu m****ia dari jaman lalu, sekarang dan yang akan datang dengan bersandar pada Perenungan Kebijaksanaan Sempurna, pasti akan mendapat berkah tiada tara.

Mengapa mantra Prajna Paramita disebut mantra pengetahuan agung, tiada tanding, tertinggi, dan dapat melenyapkan semua dukkha?

Pencapaian material, bukan untuk mendapatkan suatu

Tidak ada mantra dalam buddhisme ataupun hinduisme dengan sederet pujian yang begitu rupa selain mantra ini. Mengapa? Karena mantra ini bertujuan bukan untuk menjadi kaya, bukan untuk menjadi pintar, bukan untuk mendapatkan suatu pengetahuan adikodrati, bukan untuk dilepaskan dari suatu kemalangan, bukan untuk meminta supaya dilahirkan di surga Amitabha, surga Brahma, surga Avalokitesvara, dsb. Melainkan mantra ini meminta kelepasan dari segala avidya / ketidaktahuan atau mungkin tepatnya dari ketidak-mautahuan yang disebabkan oleh ilusi nafsu dan konsep. Inilah mantra yang paling murni, suatu jeritan, permohonan, dan kerinduan untuk mencapai kesempurnaan.


Tadyatha : "GATE GATE PARA GATE PARASAMGATE BODHI SVAHA". Demikianlah mantra ini kupanjatkan : "GATE GATE PARA GATE PARASAMGATE BODHI SVAHA?

Sungguh menarik bahwa berbeda dengan mantra-mantra lainnya, mantra ini tidak diawali dengan bijaksara suci OM. Banyak biksu dan kaum awam menambahkan kata OM pada awalannya menjadi Om Gate Gate Paragate Para sam Gate bodhi svaha. Padahal naskah awalnya tidak berbunyi demikian.

Mengapa?

Jawaban pribadi saya adalah: Karena mereka yang belum sadar OM ? yang melambangkan Tuhan / Kehidupan / Alam semesta seakan-akan suatu pihak di seberang sana ? yang darinya kita memuji dan meminta.

Namun bagi mereka yang telah sadar OM ? Tuhan / Kehidupan / Alam Semesta dan diri kita tidaklah terpisah. Tidak ada aku dan dia dalam nibanna. Bahkan keinginan untuk mengetahui dimana aku dan dimana dia tidak pernah tercetus.

Demikianlah mengapa bijaksara OM tidak dihadirkan oleh penulis sutra hati ini.




Apakah makna dari Gate Gate Para Gate Parasam Gate Bodhi Svaha? Ternyata maknanya sederhana sekali

? gate ? gate = lepas ? lepaslah

? para gate = sudah lepas (bentuk past dari gate)

? parasam gate = telah selesai lepas dengan sempurna (bentuk past partisipel dari gate)

? bodhi = tercapailah pencerahan

? svaha = jadilah pinta ku ini atau sama dengan amin atau sadhu




Dengan kata lain mantra itu berbunyi:

?Lepas lepaslah, biarkan kesadaran ini mencapai pantai seberang / peristirahatan abadinya ? nyatalah.?

Jutaan kaum budhis membaca doa ini tiap hari tanpa mengerti hakekat dari sutra ini. Apakah dengan menjapanya saja tanpa mengerti maksud dari mantra ini akan berdampak secara signifikan?

Bersyukurlah anda yang membaca artikel ini. Sebab di jaman dahulu ajaran ini diberikan kepada para bikhu-bikhu senior yang telah mencapai pemahaman yang tinggi. Sekarang dibabarkan kepada anda dengan bahasa yang mudah.

Saya berharap saya tidak sedang melakukan kesalahan fatal dengan memberikan rahasia ini kepada anda sehingga orang akan mengira bahwa semua ini murah, mudah dan tak bernilai. Sepatutnya anda bersyukur jika bisa membaca dan memahami ajaran dan penjabaran sutra ini.


Entah karma apa yang saya dan anda lakukan sehingga kita bisa membacanya hari ini. Mudah-mudahan semua ini tidak sia-sia.

Nammo Baghavate Prajna Paramita

Terpujian Baghawati Prajna Paramita

(personifikasi dari Sutra Prajna Paramita)

Nammo Arya Avalokitesvara Bodhisatvaya Mahasatvaya

Terpujilah Yang Mulia Avalokitesvara Sang Suci Yang Maha Sadar

(personifikasi dari kesadaran mulia di dalam diri kita sendiri).

OM Mani Padme Hum

Mekarlah ? mekarlah ? mekarlah kesadaran dalam diriku.