TantraYana, Mantrayana dan Vajrayana
oleh
Alimansyur Muhamad
(pebandingan Agama semester IV)
Pendahuluan
Pada mulanya, sebenarnya Budha
bukanlah nama orang, melainkan suatu gelar. Nama pendiri agama Budha yang di
dapatnya dari orang tuanya ialah Sidharta (artinya yang mencapai maksud
tujuannya). Tapi biasanya ia disebut Gautama, karena sanak keluarganya
menganggap dirinya sebagai keturunan Guru Weda Gautama. Acap kali ia disebut
juga Shakyamuni (yakni rahib atau yang bijaksana dari kaum Shakya) dan Shakya
Sinha (yakni singa dari kaum Shakya), karena ia termasuk golongan Kesatriya keturunan
Shakya.
Fakta sejarah yang menyangkut kehidupan
Sidharta Gautama sebagai manusia telah tercampur oleh berbagai legenda yang
sebagian besar ditambahkan setelah beliau wafat. Legenda-legenda itu telah
dibeberkan secara lisan oleh orang India jauh hari sebelum kelahiran Sidharta
Gautama itu sendiri. Cerita-cerita itu digunakan untuk menyampaikan pemahaman
yang religius, etika dan tugas-tugas sosial.[1]
Asal golongan ini jika di turutkan kembali,
melalui seorang raja, Ikshavaku namanya, yang tentang dirinya banyak dibuatkan
orang dongengan-dongengan sehingga akhirnya dianggap sebagai dewa matahari. Kaum
Shakya itu mewujudkan sebuah republic kaum ningrat atau kaum bangsawan yang tak
seberapa luasnya di daerah pegunungan Himalaya di antara hulu sungai Rapti dan
Gandak, kira-kira 170 km jauhnya di sebelah utara Benares di perbatasan India
dan Nepal sekarang, di dekat Gorakhpur sekarang. Ibukotanya ialah kapilawastu.
Pada zaman Budha lahir, kaum Sakhya mengakui kedaulatan kerajaan tetangganya,
yakni kosala atau Oudh, dan daerah kaum Shakya itu kemudian di gabungkan dengan
kerajaan tersebut. Bentuk
pemerintahan kaum Shakya itu agaknya lebih menyerupai republic dari pada
kerajaan.
Didalam perpustakaan Budhis yang
lebih kemudian sangat ditekankan, bahwa Budha berkorban dengan hidup sebagai
rahib. Dan untuk memperbesar pengorbananya itu setingi-tinginya, kemuliaan dan
kemewahan yang mengelilinya dalam zaman mudanya sangat dilebih-lebihkan, dan di
timbulkanlah kesan seolah-olah ia berkecimpung di dalam kemewahan. Naskah-naskah
Budha acap kali menunjukkan keconkakan para Shakya dan meskipun Budha selalu di
lukiskan sebagai seorang yang ramah dan tahu bahasa, tetapi sifat keluarganya
yang congkak itu tampak juga padanya dalam kebebasan pandangnya, dalam sikapnya
yang dengan tenang memandang ringan segala tuntutan para Brahmana dan nada
otoriter yang mencirikan kata-katanya. Naskah-naskah Sansekerta dari Mahayana
(terutama Lalitawistara, yang juga di anut di Borobudur) member keterangan yang
lebih panjang tentang terjadinya Budha. Ajaran ini menekankan bahwa setiap
orang harus berusaha menuju kea rah ke Budhaan. Maka sangatlah penting mengenal
betul-betul perkembangan orang yang menjadi bagi semua orang itu. Kehidupan
Budha itu Khas dan menurut Mahayana berjalan dengan cara yang sama pada setiap
orang Budha. Menurut tradisi orang Budha berlangsung dalam dua belas masa
(bilangan sakral). Dan masa yang pertama adalah masa turunnya orang yang akan
menjadi Budha dari alam kedewaan.
Bagi seorang Budhis yang percaya
dengan kelahiran kembali, sudah semestinya, bahwa Gautama pada tahun 560 SM
tidak untuk pertama kalinya lahir di dunia. Kesempurnaan rohani yang telah di
capai oleh Budha tidak mungkin hasil dari satu kehidupan saja. Perjalanannya
tentu lama sekali, sehingga kita hampir tidak dapat membayangkan berapa
lamnaya. Sebelum ia lahir pada tahun 560 SM, Budha tinggal di surge Tushita
karena yang baik itu. Dari musik di surge ternyatalah, bahwa telah datang
saatnya ia harus turun ke dunia guna melepaskan umat manusia. Ia melayngkan ke
empat pandangannya untuk melihat waktu, bagian dunia, Negara dan keluarga
tempat ia akan lahir. Setelah ia mengambil keputusan, dimana-mana terjadi
keajaiban-keajaiban. Bahkan penghuni neraka untuk beberapa saat lamanya
terlepas dari siksaan. Setelah ia menyerahkan tiaranya kepada Maitreya, yang
dengan demukian ditunjuknya sebagai penggantinya, turunlah ia ke dunia. Tapi
justru apabila pada malam hari Budha melihat wanita tidur dalam harem dengan
berbagai sikap yang menimbulkan rasa mual, makin bertambahnya rasa enggannya
kepada kejuwitaan manusia, dan pergilah ia keluar melalui para penjaga yang
sedang tidur nyenyak.[2]
Aliran
Tantrayana
Secara umum
Tantrayana juga dapat dikatakan bagian dari mahayana, karena ada beberapa
bagian dari inti filsafat mahayana yang di terangkan secara Esoterik dan
penuh sibolis , seperti, ; sunyata bodhicita, tathata, vijnana.
Tantrayana adalah satu mazhab dalam agama Buddha yang sangat istimewa
karena memiliki ciri-ciri khas yang unik. Mazhab ini berkembang pesat diantaranya
negara India, China, Tibet, Jepang, Korea dan Asia Tenggara serta benua Eropa,
Australia hingga benua Amerika. Mazhab ini merupakan perpaduan puja bhakti
dengan praktek meditasi yogacara serta metafisika Madhyamika. Maka dari itu
mazhab Tantrayana bukan hanya membicarakan teori, akan tetapi praktek dalam
pelaksanaannya. Di dalam perkembangannya, mazhab ini kadangkala dinamakan
Tantra-Vajrayana atau Tantra-Mahayana.
Para misionaris Barat sangat kagum setelah mempelajari mazhab tantrayana,
karena terdapat konsepsi maupun ide-ide religi serta filsafat yang sangat
kenal, berlainan dengan konsepsi maupun ide yang mereka kenal sebelumnya.
Fase ketiga dari perkembangan Agama
Budha ialah Tantrayana (Fase pertama ialah Hinayana, dan fase kedua adalah Mahayana),
dan merupakan fase yang paling penting dalam agama Budha di india. Fase ini
mulai sekitar tahun 500 Masehi. Dan berakhir sampai tahun 1000 Masehi. Yang
paling menarik dari fase ini adalah cosmical-soteriogical (yang berhubungan
dengan keselamatan). Sifat dasar dominan dari Tantrayana adalah occultism
(kegaiban). Penekanan utama adalah penyesuaian dan harmonis dengan kosmos dan
pencapaian penerangan dengan mantra atau metode gaib. Bahasanya kebanyakan
Sansekerta atau Apabhramsa.
Aliran Tantra Budhist di sebut juga
Esoterik yang berarti secara rahasia, tersembunyi dan mistik, sedangkan aliran
Budhist lainnya di sebut Exoterik yang berarti sesuatu yang terbuka atau
terlihat. Bagi aliran exoteric pelajarannya di dasarkan pada Tripitaka dan
untuk mencapai ke Budhaan adalah secara berangsur-angsur dan bertingkat. Bagi
aliran esoteric pencapaian ke Budhaan hanya dalam sekejap, melakukan upacara
atau ritual (vidhi) merupakan peranan yang penting. Adalah tidak mudah untuk
dapat mengerti ajaran Tantra Budhist di karenakan begitu rumit dan kompleks
dalam perkembangannya. Oleh kerenanya, seorang guru yang ahli harus ada untuk
membimbing calon siswa tersebut. Dikatakan bahwa setelah mengerti ajaran
exoteric dengan cukup barulah dapat mengerti ajaran esoteric secara baik.
Secara umum
Tantrayana dapat juga dikatakan bagian dari Mahayana, karena ada beberapa inti
filsafat Mahayana yang diterangkan secara esoteric dan penuh simbolis, seperti
: Sunyata, Bodhicitta, Tathata dan Vijnana. Sebagai suatu ajaran mistik atau gaib,
kemunculan Tabtra tidak dapat dipisahkan dari perkembangan agama Budha
Mahayana. Munculnya Tantra sebagai suatu sistem metafisika Budhist bersamaan
waktunya dengan perkembangan berbagai sistem filsafat agama Budha Mahayana,
terutama dengan sistem Madhyamaka dan Yogacara, dan interaksi antara mereka.
Aspk rasional bathin tidak dapat lagi dipercaya untuk membawa ke penerangan
(Bodhi), karena landasan pemikiran rasional itu sendiri, dunia empiris,
terbukti bersifat khayal. Sistem yogacara yang menekankan pada pengalaman
keagamaan penerangan yang di simpulkan sebagai Trikaya (Tiga tubuh Budha) serta
pentingnya kesadaran (vijnana) sebagai dasar dari gerakan kea rah penerangan,
secara wajar meletakkan nilai lebih tinggi pada pengalaman mistik dari pada
pengetahuan empiris.
Istilah Tantra
secara etimologi berarti menenun atau alat tenun, adalah istilah yang
dipergunakan untuk mengacu pada praktek-praktek esoterik (rahasia tersembunyi)
yang bertujuan membangkitkan sifat-sifat ke Tuhanan dalam diri seseorang guna
mencapai kesempurnaan, di samping juga untuk mengacu pada kitab-kitab suci atau
sutra-sutra yang menguraikan ajaran-ajaran atau doktrin yang demikian.
Singkatnya, Istilah Tantra dapat dipergunakan untuk menunjukkan sistem
keagamaan, atau sutra yang tergolong pada sistem ini. Tantra membawakan peranan
penting dalam sejarah Mahayana, karena ia membangjitkan suatu penekanan baru
pada metode intuisi dan esoterik bersama dengan perkembangan konsepsi ke
Tuhanan dan tata upacara. Di dalam satu atau lain cara Tantra menyentuh hampir
setiap sekte Agama Budha Mahayana yang berikutnya, menjadi inspirasi dalam
perkembangan tata peribadatan dan seni Budhist. Jika kita ingin mencari dasar
logis mengenai sejarah asal mula Tantra Budhist, maka yang paling bijaksana
adalah memulainya dengan tradisi Mantra, bagian integral dari keyakinan Tantra.
Adalah suatu kenyataan bahwa Tantra terdapat dalam Agama Budha dan Agama Hindu.
Tampaknya terdapat berbagai tahapan dalam pengembangan bentuk Mantra. Pertama,
sebuah sutra panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut
hirdaya (ringkasan).[3]
Seperti kebanyakan Sutra Mahayana
lainnya, Tantra menyatakan adalah ucapan dari Budha sendiri. Sebelum kita
menolak tuntutan itu sebagai tidak masuk akal, dua fakta harus di pertimbangkan.
Yang pertama, telah mengalihkan perhatian pada yang sudah dalam hubungannya
dengan pertanyaan mengenai keabsahan relative dari kitab suci Hinayana dan
Mahayana, yang kedua yaitu di hubungkan dengan fakta dimana kita telah barusan
singgung. Pada tempat yang pertama, sebagaimana kita telah mintakan sebelumnya,
dapatlah tiada apriori keberatan dengan segala tradisi lisan selama 500 tahun
atau bahkan 1000 tahun. Ingatan orang india dalam tradisinya yang masih ada
bersifat dapat menyimpan secara luar biasa dan sangat mampu memlihara selama
100 generasi mengenai ajaran-ajaran, dan di antara orang yang kurang berbakat
akan telah kehilangan ajaran itu sepersepuluhnya. Karena keadaan lingkungan
bahwa ajaran Tantra tidak dilakukan dengan tulisan hingga 1000 tahun setelah
Hyang Budha Parinirvana tidak di anggap sebagai menghalang-halangi dasar
keabsahan mereka. Dalam hal yang kedua, mereka yang telah membuat eksperimen mengetahui
sulitnya untuk melatih dengan berhasil setiap bentuk meditasi bahkan yang
paling dasar, yang semata-mata hanya mengikuti petunjuk dari suatu teks
tertulis, bagaimanapun terincinya ini memungkinkan pada penglihatan pertama
kali untuk muncul adanya. Petunjuk dalam meditasi karena itu diberikan secara
lisan dalam semua sekte Budhist, suatu tradisi yang diteruskan oleh Mahayana
yang di sampaikan sampai dengan sekarang. Petunjuk-petunjuk tertulis
kelihatannya telah dimaksudkan bukan sebagai panduan bagi pemula tapi sebagai
aidememoire (catatan peringatan) bagi murid yang di inisiasi. Yang paling
pertama, dan barang kali yang paling berpengaruh mengenai Tantra adalah Tathagatauhyaka,
atau seperti itu gaya bahasanya yang lebih umum, Guhyasamaja, suatu
naskah yang ada di Nepal, Tibet dan Mongolia masih di anggap dengan pemujaan
sepenuhnya. Perbedaan yang luas antara arti harfiah dan interpretasi simbolis
mengenai judul dari Tantra ini mungkin di sebutkan sebagai suatu ulasan
mengenai apa yang telah di katakana tentang kesulitan itu, bahkan bahayanya
dari mencoba dengan suatu catatan umum mengenai naskah Tantra tanpa bantuan
dari tradisi lisan. Disamping Tantra mereka sendiri, ada teks kanon tertentu
yang tidak benar, dikenal sebagai Sadhana, yang menguraikan prosedur yang benar
untuk bersembahyang suatu bentuk Transendental yang penting. Di karenakan
bersamaan waktu dari sekte-sekte yang sudah menunjukkan ajarannya, kita
menemukan di dalam tambahan pada Siddha suatu kelompok dari acarya yang
walaupun nominal miliknya sekte-sekte lain, bukan saja telah menguasai ajaran
Tantra tapi menguraikan risalat-risalat secara terinci milik mereka. Jadi
Santaraksita, Madhyamika itu hanya bersifat mengenai latihan saja. Bahkan
acarya seperti Nagarjuna dan Asanga di masukkan di dalam rangkaian Tantra pada
dasar-dasar yang mereka itu meneruskan ajaran tersebut secara lisan.[4]
Terlepas dari
Sarahapada, yang paling penting dari sudut pandang sejarah ialah Padmasambhava
yang memperkenalkan Tantra di Tibet, Vajrabodhi dan Amoghavajra yang
pertama kali memperkenalkan Tantra di China. Padmasambhava di hormati di Tibet
sebagai Guru Rinpoche artinya Guru Yng mulia, sedikit yang dapat di katakana
tentang dia karena biografinya muncul bukan dari kenyataan sejarah tapi
kejadian simbolis. Namanya yang berarti kelahiran Lotus menyinggung tradisi
bahwa dia tidak di lahirkan dari manusia sebagai orang tua tetapi mewarisi
adanya oleh kelahiran yang secara tiba-tiba, salah satu dari empat macam
kelahiran yang di kenal dalam Budhism dari kelopak Lotus di atas danau di India
bagian barat Laut. Danau itu sekarang popular dikenali dengan berkilauan di
samping Golden Temple (Vihara Emas) di Amritsar, kota suci dari agama Sikh.
Barangkali semua itu dapat di nyatakan dengan kepastian lengkap mengenai
Padmasambhava bahwa dia berkembang dalam abad ke-8, sezaman dengan
Santaraksita, dan bahwa pengaruhnya mengenai kehidupan beragama dari Tibet.
Aliran Mantrayana
Mantrayana,
dimulai pada abad ke-4 dan mendapat momentumnya setelah abad ke-5. Apa yang
telah dilakukannya telah memperkaya Budhism dengan perlengkapan tradisi gaib,
mempergunakannya untuk tujuan kemudahan pencarian bagi pencerahan atau
penerangan. Didalam acara ini, banyak mantra, mudra, mandala, dewa dan ke
Tuhanan secara tidak sistematis di perkenalkan ke dalam Budhism. Ini adalah
setelah tahun 750, dalam kurun waktu itu, arah dan sistem yang lebih lanjut
membuat penampilan mereka. Perlu dicatat bahwa di antara mereka adalah
Sahajayana, yang mula seperti sekte Chan (Zen) di Tiongkok, lebih menekankan
pada latihan meditasi dan pengolahan intuisi, di ajarkan secara berbelit-belit
atau paradoksikal (berlawanan asas) dan kesan konkrit, dan menghindari nasib
dari kembali ke dalam suatu persektean sama sekali tidak ada ajaran yang di
tegaskan secara kaku. Menuju pada akhir periode ini, dalam abad ke-10, kita
mempunyai Kalacakrayana (Roda waktu yang ditandai oleh tingkat penyatuan
aliran) dan oleh penekanannya pada Astrology.
Gerakan baru ini
timbul di India bagian selatan dan barat laut. Non Indian mempengaruhi dari
China, Asia Tengah dan perbatasan sekitar India, memainkan suatu bagian penting
dalam pembentukannya. Sebagaimana metode ajaran Mahayana telah mnyatakan
ajarannya di dalam Sutra dan Sastra adalah dokumen bagi Umum, tersidia bagi siapa
saja yang cukup berminat untuk mendapatkannya, dan bagi yang rajin dan mampu
untuk mengerti mereka. Perkembangan Mantrayana sebenarnya adalah suatu reaksi
alamiah melawan kecenderungan yang meningkat merugikan sejarah dengan mengancam
mematilemaskan Budhism India. Dalam pertahanan untuk perlindungan mereka bagi
penganutnya sekarang makin lama makin menggerakkan gaib dan kekuatan gaib dan
memohon dengan khusus untuk adanya bantuan gaib yang makin banyak, yang
mempunyai realitas sesungguhnya dibuktikan kebenarannya pada mereka didalam
latihan mengenai meditasi. Di antara perhatian besar yang dicurahkan kepada
dewa angkara murka, seperti pelindung dharma. Secara sporadis Mantra dari semua
jenis secara pelan-pelan digabungkan ke dalam kitab suci. Ini di namakan
dharani, dari akar kata dhr, sebab mereka diharapkan untuk menegakkan atau
mempertahankan kehidupan keagamaan. Kemudian setelah tahun 500 Masehi, semua
prosedur biasa mengenai gaib mengambil jalan ritual dan lingkaran gaib serta
diagram. Ini diperlakukan bagi keduanya pengawal kehidupan spiritual dari
elite, dan untuk memberikan kepada orang banyak atau umat awam yang tidak
spiritual bahwa yang mana di inginkan. Mudra atau gerak isyarat ritual, sering
diperkuat kemanjuran dari mantra.
Mandala mengungkapkan
kosmik dan kekuatan spiritual dalam suatu mitologi, atau diwujudkan, bentuk
mewakili mereka dengan kesan dari dewata, diperlihatkan baik dalam penampilan
visual, atau dengan suku kata yang mengijinkan kita untuk membangkitkan mereka
dan dimana merupakan prinsip gaib mereka. Simbol-simbol ini, di baca dengan
betul, mengijinkan kita untuk memberikan penjelasan pada ketakutan yang
tersembunyi dalam, gerak hati purba dan hawa nafsu kuno. Melalui mereka kita
dapat merantaikan, menguasai, dan melarutkan kekuatan-kekuatan dari alam
semesta, mengakibatkan suatu reaksi mendadak dari semua benda ilusi dari dunia
samsara, dan mencapai penyatuan kembali dengan penerangan dari satu pikiran
absolute. Mandala adalah suatu bentuk khusus dan diagram purbakala mengenai kosmos,
di pertimbangkan sebagai suatu proses vital yang berkembang dari satu prinsip
penting dan yang berputar mengelilingi stu poros pusat, Gunung Sumeru, Poros
Mundi. Diagram seperti itu direproduksi tidak hanya di dalam mandala, tapi juga
di dalam pot kembang ritual, istana raja, stupa dan candi. Di sebabkan karena
persamaan mengenai makrokosmos dan mikrokosmos, drama dari alam semesta
direproduksi di dalam setiap individu, yang dimilikinya fikiran, dan tubuhnya
dapat di anggap sebagai suatu mandala, sebagai pemandangan dari pencarian untuk
penerangan.[5]
Disamping itu, Mahayana dengan makin dan
bertambah jelas mengajarkan Bodhisattvayana, artinya jalan yang melalui para
Bodhisatva, yakni jalan yang di tempuh untuk mencapai kebahagiaan dengan mohon
pertolongan kepada para Bodhisattva yang maha murah.
Didalam abad yang
ke-7 timbul lagi suatu jalan yang ketiga yang disebut Mantrayana atau jalan
dengan kalimat-kalimat yang mempunyai daya gaib (mantra). Nama-nama lainnya
yang dipakai ialah Tantrisme, karena pandangan-pandangan mengenai ajaran ini di
cantumkan dalam Tantra-Tantra dan Vajrayana atau jalan intan, perjalanan intan,
ialah yang keras dan tak terbinasakan, yaitu kenyataan yang tertinggi. Telah
lama sebelum ilmu gaib (magi) diajarkan secara resmi sebagai suatu jalan
kelepasan yang tersendiri di dalam agama Budha, masuklah kedalam agama Budha
banyak perbuatan magis. Maka dipandang dari segi itu memang benar, bahwa agama
Budha makin banyak kemasukan faham-faham India lama dan dengan demikian
akhirnya melebur diri dalam Hinduisme, dimana agama Budha dilahirkan. Bagi
Mantrayana, di ketemukan suatu dasar yang dogmatis-filosofis, karena orang
menganut suatu ajaran maha tunggal yang konskwen. Pastilah, seperti di dalam
lingkungan perbuatan-perbuatan magis, bahwa di dalam pertumbuhan ajaran maha
tunggalpun, Mahayana bertindak sebagai persiapan bagi Mantrayana. Ajaran maha
tunggal ini di ajukan di dalam bentuk ini bahwa orang mulai berbicara tentang
suatu Maha Budha, yang bentuk pernyataannya berupa alam semesta, seluruh dunia
dengan segala isinya. Alam semesta itu suatu manifestasi dari Dharmakaya.
Setelah dasar suatu ajaran Maha Tunggal itu di letakkan, maka selanjutnyadapat
di bangun di atasnya teori-teori tentang ilmu gaib (magi). [6]
Kenyataan demikian dapat di lihat
juga dalam agama Roma Katholik dan Protestan. Roma Katholik tidak mengalami
banyak perpecahan dalam sekte-sekte, tapi dalam Protestan yang relative lebih
banyak memberikan kebebasan berpikir dalam agama, mengalami banyak perpecahan
dalam bentuk sekte-sekte yang sampai kini di amerika saja berjumlah 257 aliran,
itu belum termasuk di tempat-tempat lain.
Demikian pula
halnya Mahayana yang juga mengalami perpecahan dalam aliran (sekte-sekte),
seperti Budhisme di Tibet yang di kenal dengan Lamisme, Budhisme di Mongolia,
Budhisme jepang yang di kenal dengan Zen Budhisme, Budhisme di China, Budhisme
di Korea dan Sebagainya. Hl ini karena masing-masing di pengaruhi oleh
kebudayaan suku bangsa setempat ataupun kebudayaan nasional baik dalam bentuk
filsafat hidup maupun dalam sistem kepercayaan.
Disamping percaya
kepada dewa-dewa tersebut, Mahayana mempercayai juga adanya sakti-sakti (istri
dewa), misalnya Budha juga mempunyai istri (sakti) yaitu Dewi Tara. Dyani Budha
dan Bodhisattva dipandang tidak mempunyai sakti-sakti, kecuali Avalokitesvara
saja yang mempunyai sakti yaitu Dewi Tara Avalokita. Dikalangan pemeluk-pemeluk
Budhisme Lamaisme Tibet, Dewi Tara sangat di hormati dan di puja sebagi halnya
Dewi Maria di kalangan Roma Katholik. Dewi Tara di Tibet digambarkan dalam 21
macam bentuk dan rupa yang kadang-kadang berupa makhluk yang mengerikan.
Avalokitesvara dan Amithaba dipandang sebagai dewa-dewa Budha yang bnyak
dimintai perlindungan oleh orang pada masa kini, terutama dikalangan pemeluk
Budhisme di Tiongkok dan Jepang. Di Jepang Avalokitesvara dipandang sama dengan
Dewa Amaterasu Omi Kami (Dewa Matahari) atau di anggap sebagai Dainichi Nyorai
(Cahaya Besar). Mantra-mantra yang ditujukan kepada Avalokitesvara tersebut
berpangkal pada rumusan kalimat suci.[7]
Sebagai ucapan permulaan setiap pekerjaan dengan “ Ong Mani Padmehung “, “ Ong “ merupakan suku kata mistis sebagai
awalan dan “ Hung “, sebagai suku kata mistis akhiran, sedangkan “ Mani Padme
“, berarti manic dalam tunjung. Dengan mengucapkan mantra-mantra tersebut,
seseorang akan memperoleh pengertian kejiwaan yang dalam. Nama Lokesvara
terdengar diucapkan orang di seluruh pelosok Negara-negara Budhis dengan
mantra-mantra tersebut. Ditiap rumah banyak di tuliskan ucpan mantra itu. Di
tiongkok Avalokitesvara sering disebut dengan nama “ Kwan Yin “ sedangkan di
Jepang dikenal juga sebagai “ Kwannon “. Di Tibet dipandang sebagai “ Penolong
Manusia “, oleh karenanya orang sangat cinta kepadanya.
Menurut
kepercayaan Budhisme ini, pada masa yang akan datang diharap kedatangan seorang
Budha baru yaitu Maitreya. Harapan demikian terdapat juga dalam agama Kristen
yang mengharapkan kedatangan Yesus Kristus kembali ke dunia, sedang di kalangan
umat Islam diantaranya ada yang mengharap-harapkan kedatangan Imam Mahdi pada
akhir zaman nanti. Pada abad ke-7 Budhisme Mahayana masuk ke daerah Tibet
dengan lebih dulu mendapatkan tantangan agama dari penduduk asli yang bernama “
Bon “, tapi akhirnya Tibet dapat dikuasai oleh Budhisme tersebut sehingga
menjadi Negara Budhis yang dipimpin oleh pendeta-pendeta (Guru-Guru) yang
disebut “Lama”. Sebagai tokoh pendeta tertingginya adalah “ Dalai Lama “ yang
menjadi kepala mazhab Budhisme tersebut. Dalai Lama dipandang sebagai
penjelmaan dari salah satu tokoh Dewa Budha. Tokoh Dalai Lama bertempat tinggal
di Lhasa. Pengikut-pengikut mazhab ini senantiasa mengenakan topi kuning.
Adapaun tokoh kepala Pendeta yang menganut mazhab yang bertopi merah bertempat
tinggal di Tashilumpo, yang menganggap bahwa Dalai Lama merupakan penjelmaan
Dewa Budha lainnya. Lamaisme di Tibet sangat mempercayai mantra-mantra dalam
usaha mencapai kelepasan samsara, dan didalam agama ini penuh dengan
kepercayaan kepada jin-jin dan hal-hal gaib yang mengandung sihir.
Aliran Vajrayana
Dalam ajaran Vajrayana
yang berkembang di Tibet, kosmos di jelaskan alam kaitan mata angin : pusat,
timur, selatan, barat dan utara, yang secara esoteric di wakili oleh
unsure-unsur yang berpasangan yang diwujudkan dalam bentuk Tathaga Wairocana
yang melambangkan ketidak-tahun (avidya) dan kebingungan (moham) serta sifat
kebalikannya. Mandala di timur diwakili Tathagata Aksobhya yang melambangkan
sifat agresif dan kebencian (dwesa) dan kebalikannya yaitu sifat kebijaksanaan
cermin yang mencerminkan segala-galanya secara tenang. Mandala di selatan
diwakili oleh Tathagata Ratnasambhva melambangkan sifat mengabulkan semua
keinginan dan rasa bangga serta sifat lawannya yaitu ketenangan hati. Mandala
di barat diwakili oleh Tathagata Amithaba melambangkan sifat keinginan besar
(lobham) dan sifat kebalikannya. Sedangkan Mandala di utara diwakili oleh
Tathagata Amoghasiddhi yang melambangkan sifat iri hati dan sifat kebalikannya.
Ciri lain lagi
untuk mengenal sekte Vajrayana dimasa lalu ialah melalui kelompok vihara tempat
para bhiksu dan bhiksuni tinggal, belajar dan beribadah. Sebuah vihara dahulu
biasanya merupakan markas besar resmi yang bersangkutan dan menjadi model bagi
yang lainnya. Masing-masing dari empat sekte besar mempunyai sejumlah vihara,
sedang beberapa subsekte kecil rupanya memiliki satu atau dua vihara saja.
Akhirnya, suatu sekte dikenal melalui pimpinan rohaninya, yang biasanya adalah
seorang tulku tingkat tinggi.
Sekte-sekte Agama Budha Vajrayana itu adalah :
a.
Nyingmapa (mashab
Merah/Purba)
b.
Kadampa/Gelukpa
c.
Saskyapa
d.
Kagyudpa
a.
Sekte Nyingmapa
Sekte ini
mempraktikkan ajaran rahasia dari Padmasambhava. Para penganut sekte ini
memakai jubah merah. Isi pokok ajaran sekte ini adalah penerus aliran Tantra
kiri yang memuja para pendamping bodhisattva. Sekte Nyingmapa terbagi ke dalam
empat subsekte.
b.
Sekte Kadampa Gelugpa
Reformasi Agama
Budha Tantra atau Vajrayana yang dilaksanakan oleh bhiksu Atisa di dasarkan pada
tradisi Yogacara yang dikembangkan oleh Maitreya dan Asanga dan dinamakan
Kadampa. Ajaran kadampa ini kemudian menjadi dasar dari ajaran Gegukpa pada
abad ke-14 yang dipromotori oleh seorang pembaharu Tson-Ka-Pa. Dalam reformasi
ini sejak abad ke-14 itu Dalai Lama memegang otoritas dalam agama dan
pemerintahan.
c.
Sekte Saskyapa
Nama Sekte ini
bermakna “ tanah abu-abu “, yaitu warna tanah dimana wihara mereka di dirikan
pertama kali tahun 1071. Sekte ini mempunyai hubungan dekat dengan sekte
Nyingmapa dari pada Kargyudpa. Pada anggota sekte ini tetap memlihara kehidupan
rumah tangga dan mengamalkan jalan tengah (sintesa) ajaran Tantra tua dan baru
berdasarkan filsafat Madhamika air Nagarjuna. Sekte ini pernah Berjaya sebelum
Tson-Ka-Pa. Sekte ini melahirka banyak tokoh pemikir, antara lain Bu-ston
(1290-1364), selainsebagi perawi (penafsir) dari ajaran dan sejarah Agama Budha
juga seorang kolektor yang pertama kali mengumpulka terjemahan bahasa Tibet
dari naskah/kitab Agama Budha. Bu-ston kemudian membuat sistematika dan membagi
kedalam dua kelompok, yaitu Kanjur (Sabda sang Budha) dalam 100 jilid dan
Tanjur (Ajaran) dalam 225 jilid. Kitab-kitab itu terpelihara dengan baik
hinggan zaman kita sekarang.
d.
Sekte Kagyudpa
Sekte ini berdiri
pada abad ke-11 Masehi yang pada mulanya mempunyai kaitan dengan Kadampa tetapi
lebih menekankan segi Samadhi. Sekte ini di dirikan oleh Lama Parma, teman
Bhiksu Atisa ketika berguru pada Siddha Naropa di perguruan tinggi Nalanda.
Setiap orang yang terlibat dalam cara ibadah Kagyudpa dianjurkan untuk
menganggap gurunya sebagai Vajradhara agar tokoh Budha itu terasa semakin dekat
dan agar menjamin hubungan guru murid yang berhasil. Latihan-latihan Samadhi
yang menjadi cirri sekte berasal dari Tilopa dan Naropa : Enam Yoga Naropa dan
Mahamudra.[8]
Vajrayana adalah
tingkat dari perkembangan lengkap, dimana apa yang dahulunya kecenderungan yang
sama bertemu ke dalam garis yang pasti mengenai pikiran dan perbuatan, dan
dimana suatu tumpukan mengenai doktrin yang kelihatannya tidak seimbang dan
metode-metode di satukan kembali secara bersama dalam suatu yang kompleks
tetapi diatur dengan baik dan sistem yang bertalian secara logis, itulah norma
dari Tantra, Vajra secara harfiah berarti halilintar atau intan, adalah sinonim
Tantra sekarang ini yang paling luas dengan sunyata. Jadi, istilah Vajrayana
berkonotasi kendaraan atau yana, dengan cara mengenai seseorang memperoleh
penerangan. Interpretasi ini ditegaskan oleh Indrabhuti, rada Siddhacarya yang
mengatakan :
“ Dia yang menaiki Vajrayana akan pergi ke pantai seberang sana
dari lautan besar itu dari dunia kerelatifan ini, yang penuh dengan arus
membangun pikiran “. (an Introduction to Tantric Buddhism, Calcutta, 1950, hal.
60-61).
Jadi, guru spiritual ialah Vajrayana, genta dibunyikan oleh pemuja
Vajraghanta, sikap tubuh dalam meditasi Vajrasana dan seterusnya.[9]
Ledakan kreatif dari Tantra
permulaan menuju suatu asumsi yang kompleks tentang kosmos dan kekuatan
spiritual dan itu adalah Vajrayana yang menentukan tatacara mengenai banyak
tradisi yang luas dalam taraf permulaan yang telah berkembang. Dia mengambil
lima bentuk bagian mengenai semua kekuatan kosmik, tiap kelas ada dalam suatu
pngertian yang dipimpin oleh salah satu dari Pancha-Tathagata. Nama-nama dari
Pancha Tathagata (Panca Dhyani Buddha) ialah : Vairocana, Aksobhya, Ratna
Sambhava, Amitabha dan Amoghasiddhi.
Pengertian yang
sebenarnya dari ajaran Vajrayana, bagaimanapun tidaklah mudah untuk di ketahui
secara pasti, sebab dia sudah menjadi suatu adat kebiasaan untuk mengungkapkan
yang paling tinggi ke dalam bentuk yang paling rendah, membuat yang paling suci
muncul sebagai yang paling umum, paling sukar di pahami sebagai paling biasa,
dan pengetahuan yang paling bijaksana dimuakkan oleh paradoksikal (berlawanan
asas) yang paling fantastis. Ini merupakan shock terapi yang sengaja diarahkan
melawan intelektualisasi yang berlebihan mengenai Buddhism pada saat itu. Hasil
dari kombinasi mengenai kebijaksanaan dan keahlian dalam caranya, diwakili oleh
penyatuan pria dan wanita di dalam kegembiraan yang luar biasa mengenai cinta.
Penjadian satu dari mereka di dalam penerangan adalah kebahagiaan tertinggi
yang tidak dapat di uraikan (Mahasukha).[10]
Pemahaman tentang
kebudhaan dalam aliran Mahayana mengalami perkembangan yang lebih rumit, bersifat
mistis dan filosofis. Mahayana mengakui bahwa Budha Gautama bukanlah suatu
fenomena yang berdiri sendiri, melainkan suatu mata rantai dari deretan para
Budha yang ada. Di akui pula bahwa di dalam pribadi seseorang terkandung unsure
kebudhaan yang di sebut dengan rahim kebudhaan.[11]
Mahayana menganggap ada perbedaan antara Budha yang pertama, kedua,
ketiga dan seterusnya. Menurut mazhab ini Budha dipandang memiliki tiga aspek :
1.
Aspek inti, yang mencakup semuanya, bersifat buani dan tidak dapat
terbayangkan. Sebagi inti, ia adalah inti dari dharma, yaitu inti dari
kebenaran itu sendiri.
2.
Aspek kemampuan, yang tidak terbatas namun tidak bermanifestasi.
Sebagai aspek kemampuan ia adalah dharma yang dianggap sebagai prinsip-prinsip
kebenaran, mengandung potensi namun tidak bermanifestasi. Ia adalah tubuh
pengganti kebudhaan yang di agungkan.
3.
Aspek manifestasi, yaitu kebudhaan yang memanifestasikan diri pada
tubuh duniawi Sakyamuni Budha dan Budha duniawi lainnya.
Dari ketiga aspek Budha di atas, akhirnya tersusun doktrin Trikaya
atau tiga badan Budha, yaitu : Dharmakaya, Sambhogakaya dan Nirmanakaya, yang
menempati kedudukan penting dalam sistem keagamaan aliran Mahayana. Tujuan
Vajrayana sebenarnya adalah untuk berhasil (siddhi) mencapai penerangan
sempurna dalam kehidupan seseorang (sebelum mati). Untuk itu Vajrayana
mempunyai sistem teori dan praktik tersendiri yang merupakan pelaksanaan
kebaktian dengan praktik Samadhi Yogacara dan metafisika Madyamika.
Perkembangan pemikiran Budha terjadi pada Mahayana yang mengubah sang Budha
Sakyamuni dari manushi Budha menjadi Budha dalam pengertian Dharma, yaitu
sebagai Dharmakaya. Sebagaimana diketahui paham Yogacara pada sekitar tahun 300
membuat formulasi tentang Tiga Tubuh Budha, yaitu : (1) Tubuh Dharma atau
Dharma Kaya (bersifat mutlak dan merupakan kebenaran dan kenyataan tertinggi),
(2) Tubuh Berkah atau Sambhoga Kaya (dengan Tubuh mana Budha memperlihatkan
dirinya sebagai Bodhisattva atau makhluk luhur lainnya yang mengajar Dharma)
dan (3) Tubuh biasa atau Nirmana Kaya (sebagai penjelmaan manusia yang
mengerjakan pekerjaan dan Tugas Budha di dunia).
Dengan pola
pemikiran Yogacara itu Vajrayana mengajarkan bahwa alam semesta dunia ini adalah
manifestasi dari Dharmakaya. Budha dalam pengertian Dharmakaya realitas rahasia
dalam segala materi atau benda, hati nurani maupun kehidupan. Puncak dari
pemikiran Vajrayana adalah bahwa semua manusia adalah Budha yang sekaligus
kosmos. Oleh karena itu manusia harus manuggal dengan Budha, yang di
realisasikan melalui sikap, perbuatan dan upacara yang bersifat mistik (tidak
dapat diterangkan oleh akal manusia) yang hanya dapat diajarkan/dipimpin oleh
seorang acarya Vajra sebagai guru spiritual dan mempunyai silsilah dan
menterjemahkan ajaran Vajrasattva kepada para siswa (chela). Untuk itu, siswa
(chela) harus di tahbiskan (bahasa sansekerta : Abhiseka, yang berarti
memerciki air suci). Ajaran Vajrayana merupakan suatu disiplin ajaran yang
mempunyai tingkat-tingkat permulaan, menengah dan akhir. Ajaran Vajrayana
dimulai dengan yang disebut “ Empat Dasar “. Untuk meahami empat dasar yang
merupakan pendahuluan dari Vajrayana ini, perlu diketahui terlebih dahulu
pemikiran Agama Budha Hinayana dan Mahayana.
Menurut Tradisi
Tibet, untuk pelaksanaan ke empat dasar itu harus memerlukan banyak persiapan.
Pada zaman dahulu orang harus banyak melakukan latihan terlebih dahulu sebelum
melaksanakan empat dasar itu. Persiapan terlebih dahulu itu antara lain
meliputi latihan samatha dan vipassa termasuk menerima sumpah Bodhisattva.
Untuk memulai latihan seseorang harus lebih dulu berserah diri kepada Dharma.
Empat dasar umum itu dilaksanakan oleh semua sekte Vajrayana di Tibet. Cara
pelaksanannya pada dasarnya sama. Syarat terpenting dalam melakukan empat dasar
ini iman dan keyakinan. Dasar umum itu dimaksudkan sebagai renungan yang
mengalihkan pikiran pada agama. Penganut Vajrayana dituntut untuk mendalaminya,
memikirkan apa maknanya dan bagaimana pengaruhnya atas kehidupan. Menurut
anggapan Vajrayana, begitu pokok-pokok pandangan itu menjadi pola pikiran kita
secara menyeluruh, perhatian kita akan bergeser menjahui urusan-urusan duniawi
jangka pendek dan menuju kea rah masalah-masalah keagamaan jangka panjang,
sehingga kita memiliki dasar untuk semakin jauh melibatkan diri ke dalam ibadah
agama.
Empat dasar umum
pada hakikatnya adalah empat renungan sebagai berikut :
1.
Kemuliaan Kelahiran Sebagai Manusia.
Renungan atas hal ini akan menanamkan rasa kemuliaan bahwa tumimbal
lahir dalam alam manusia adalah suatu kesempatan yang sulit tercapai. Kelahiran
manusia adalah brharga karena tingkat Budha akan lebih mudah dihargai dan
disadari oleh seorang manusia dari pada oleh makhluk lainnya. Tingkat Budha
adalah satu kehidupan yang mempunyai nilai paling luhur, mendapat pencerahan
agung tertinggi.
2.
Ajaran ketidak abadian (Anicca)
Renungan atas ketidak kekalan menyadarkan pada kematian akan
berlangsung lebih lama dari saat ini. Kita di tuntut untuk menggunakann rasa
takut akan kematian sebagai motivasi untuk melakukan ibadah agama. Agama tidak
disajikan sebagai penolak kematian melainkan penangkal terhadap
pengalaman-pengalaman menakutkan yang biasanya mendahului, menyertai dan
menyusul setelah kematian.
3.
Perbuatan, Sebab dan Akibat
Renungan atas karma (perbuatan) mencakup apa saja yang dilakukan,
dikatakan atau dipikirkan oleh seseorang. Suatu sebab adalah emosi atau
kehendak yang mendorong terjadinya suatu perbuatan. Kehendak ini disebut cetasika.
Suatu akibat adalah pengalaman yang timbul dari suatu perbuatan dan
kehendaknya. Perbuatan adalah bersifat kumulatif, dan setiap individu membawa
kumpulan perbuatannya dari kehidupan yang satu ke kehidupan yang berikutnya.
Kumpulan ini membentuk daya untuk terus melanjutkan daur/lingkaran kehidupan,
yakni samsara. Samsara tetap bertahan sampai kita mengalami segala akibat dari
perbuatan kita dan tidak lagi menimbulkan akibat-akibat baru.
4.
Dukkha (lingkaran Samsara)
Perbuatan terbagi menjadi dua kelompok utama, menurut sifat
motivasinya dan akibatnya. Keduanya tidak dianggap sebagai perbuatan baik atau
jahat secara hakiki.
a.
Kelompok pertama adalah perbuatan Samsara, yaitu perbuatan yang
didorong oleh ketidaktahuan/kebodohan dan emosi/perasaan yang bertentangan
(Sansekerta : klesa). Hal-hal ini mengakibatkan kelahiran kembali di 31 alam
kehidupan. Jenis tertentu dari kelahiran kembali yang kita alami tergantung
pada apakah perbuatan itu mengarah pada kehidupan samsara yang lebih tinggi
atau lebih rendah.
b.
Kelompok kedua yaitu, perbuatan yang mengarah pada pembebasan,
terdiri dari tindakan-tindakan berguna yang didorong oleh keinginan untuk
mencapai kebebasan dari samsara. Walaupun kebahagiaan akan ditimbulkan oleh
perbuatan yang berfaedah, perbuatan samsara tidak lagi tinggi nilainya, sebab
bersifat rapuh. Hanya pembebasan yang akan memberikan kebahagiaan kekal.
Jadi, ke empat dasar umum ini tidak melaksanakan dengan ulet, hal
itu bukannya mendorong ibadah meditative yang akan dilaksanakan kemudian,
tetapi hanya akan memperkuat delapan Dharma duniawi. Akar dari seluruh Dharma
adalah membersihkan pikiran dari masalah-masalah duniawi. Namun seluruh ibadah
agama dari umat Budha pada umumnya belum melenyapkan ikatan pada kehidupan
dunia ini. Pikiran belum menjahui nafsu. Renungan-renungan itu apabila telah
gagal dari awal sulit untuk diperbaiki dan ini berarti bahwa seseorang berada
dalam genggaman mentalitas kasar dirinya sendiri.
Yang mulia
Drikhung (Tokoh Vajrayana) menyatakan bahwa :
Empat dasar umum itu lebih mendalam daripada ibadah Mahamudra yang
sebenarnya. Adalah benar bahwa lebih baik menanamkan empat dasar ini dalam
jalur kehidupan seseorang, daripada melakukan semua pembacaan dan meditasi
empat Tantra yang kini dipakai. Seseorang yang melaksanakan Dharma dengan
setengah hati berarti menipu diri sendiri dan orang lain serta menyia-nyiakan
hidupnya sebagai manusia.[12]
Penutup
Jadi, Konsep Mantra pada intinya didasarkan atas keyakinan akan
kegunaan suara (sabda) sebagai sustu sumber kekuatan atau kekuatan itu sendiri,
yang memiliki pengaruh kuat terhadap organisme manusia dan alam semesta. Ini
berarti pengakuan akan adanya hubungan misterius tertentu antara evolusi kosmik
dan suara. Begitu pula dengan Tantra, walaupun pada prinsipnya Tantra tidak
bersifat spekulatif, dengan menerangkan berbagai tahapan kontemplatif yang
harus dialami oleh seorang sudhaka sebelum mencapai pencerahan bathin, namun
Tantra berpandangan bahwa penyamaan nirvana dengan samsara oleh Madhyamika
adalah kebenaran dasari. Begitu pula halnya dengan Vajrayana, aliran ini lebih
menekankan dengan silsilah yang berhubungan dengan sederetan dengan para Guru
dari Hyang Budha.
Daftar Pustaka :
·
Ali. Mukti, Agama-Agama Dunia, IAIN Sunan Kalijaga Press,
Yogyakarta : 1988.
·
Arifin. H.M, Belajar Memahami Ajaran Agama-Agama Besar, C.V.
Sera Jaya, Jakarta : 1980.
·
Jr. Honig. A.G, Ilmu Agama, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta :
2011.
·
Stokes. Gillian, Buddha, PT Gelora Aksara
Pratama, Jakarta : 2001.
·
T. Suwarto, Budha Dharma Mahayana, Majelis Agama Budha
Mahayana Indonesia, Jakarta : 1995.
·
------, Kapita Selekta Agama Budha, C.V. Dewi Karyana Abadi,
Jakarta : 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar