Sering disebut Qi Niang Ma. Hari lahirnya tanggal 7 bulan 7 Imlik.
Niang Ma dianggap sebagai dewa pelindung anak - anak. Konon ia adalah utusan dari Zhi Nu Xing ( Binatang Gadis Penenun ).
Ada juga yang mengatakan ia berasal dari salah satu dari Tujuh Bintang Macan Putih .
Kisah Niu Lang ( Gembala ) dan Zhi Nu ( Gadis penenun ) yang bertemu setahun sekali, sangat mengharukan orang. Pada jaman Dinasti Han (226 Sm - 220 M ) kisah ini sudah mulai populer. Garis besar ceritanya kira -
sebagai berikut:
Zhi Nii adalah cucu dari Maharaja Langit, ia cerdik dan cantik. Bertahun-tahun ia menenun berokad di istana Langit, menggunakan awan warna-wami. Suatu ketika, untuk melepas kejemuannya, ia mengintip keluar jendela dan melihat ke bumi. Ia melihat seorang gembala, dan akhirnya jatuh anta kepadanya.
Pemuda gembala ini adalah anak kedua dari satu keluarga yang kaya -raya .
Tapi ia telah kehilangan kedua orang tuanya pada saat berusia muda sekali .
Ia lalu tinggal bersama kakak dan kakak iparnya. Sang kakak ipar memperlakukannya sebagai seorang budak. Ia selalu diberi pekerjaan yang berat dan diberi makan dari sisa - sisa. Salah satu tugasnya adalah menggembala kerbau.
Sebab itu orang menyebutnya sebagai " Niu Lang " yang berarti "Jejaka penggembala kerbau". Tapi karena pada dasamya ia berwatak pemaaf , diterimanya perlakukan kakak ipamya itu dengan hati lapang, dan tan
prasangka. Tapi sang kakak ipar rupanya belum puas.
Dihasutnyalah suaminya agar mengadakan pemisahan rumah dengan si gembala. Dengan pemisah ini ia bermaksud mengangkangi sebagian warisan yang menjadi hak sang gembala.
Sang gembala sangat sedih hatinya karena sejak itu ia harus tinggal terpisah dari kakaknya, sedangkan soal pembagian harta warisan ia tidak memikirkan sama sekali. Ia menangis sedih memikirkan nasibnya, lalu tiba-tiba sang kerbau yang sesungguhnya seorang Dewa menyamar, berkata kepadanya : Janganlah mempertengkarkan pembagian harta, biarlah mereka memiliki semuanya. Mintalah agar aku saja yang tetap jadi milikmu.
Sang gembala menuruti apa yang dikatakan kerbaunya. Dan sang kakak ipamya tentu saja gembira sekali mendengar permintaan yang sangat diluar dugaan itu. Begitulah, dua bersaudara itu berpisah secara baik - baik walau dengan semua harta - benda termasuk tanah, rumah perabot dan lainnya menjadi milik sang kakak. Maka pegilah sang gembala meninggalkan rumahnya dengan hanya berteman seekor kerbau. Ia hidup tenang dan damai dan selalu menuruti nasihat kerbaunya.
Pada suatu senja, sang kerbau menyuruh si Gembala untuk pergi kesebuah telaga. Niu Lang si Gembala pergi kesana dan dilihatnya serombongan bidadari sedang mandi. Ia menyelinap ketempat mereka meletakkan pakaian .
Diambilnya selembar gaun merah dan disembunyikan. Pada waktu para bidadari itu selesai mandi dan, satu diantaranya mendapati pakaiannya telah hilang. Ia menangis sedih, dan bersama - sama temannya mencari tapi
sia - sia. Waktu telah habis, mereka harus kembali ke Langit. Bidadari yang kehilangan pakaian itu terpaksa ditinggal. Ia menangis sejadi - jadinya.
Ternyata bidadari yang satu ini adalah Zhi Nu si Gadis penenun, dan yang tercantik diantara teman-temannya.
Niu Lang menghampirinya, dan atas prakarsa kerbau - nya mereka akhirnya terangkap sebagai suami isteri. Beberapa tahun mereka hidup bersama dengan penuh kebahagiaan. Selama itu seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan telah lahir. Tapi pada waktu itu juga sang kerbau yang telah renta itu akhirnya meninggal, meninggalkan sepasang suami - isteri muda itu dalam kesedihan yang sangat mendalam.
Maharaja Langit mendengar kelancangan cucunya yang telah berani menikah dengan manusia biasa tanpa perkenannya, menjadi gusar. Seorang malaikat diutus untuk memaksa ia kembali ke Kahyangan dan melanjutkan pekerjaannya menenun, kalau membangkang, keluarganya akan dihancurkan.
Karena rasa cinta akan suami dan anak - anaknya, dengan hati berat Zhi Nii, memutuskan untuk menuruti perintah kakeknya kembali ke kahyangan.
Niu Lang yang kembali dari bekeija, mendapati isterinya telah pergi dengan meninggalkan kedua anaknya yang menangis. Ia segera mengejar isterinya, bersama - sama kedua anaknya yang dipikul didalam keranjang bambu.
Maha dewi Xi Wang Mu yang kebetulan lewat, lalu menuding dengan tusuk kondenya. Sebuah sungai tiba-tiba muncul memisahkan mereka berdua. Setelah memperoleh penjelasan tentang ihwalnya, Xi Wang Mu atas ijin Maharaja Langit mengijinkan Niu Lahg dan Zhi Nu bertemu setahun sekali, pada malam bulan 7 tanggal 7 Imlik.
Pada malam itu. pelbagai jenis burung yang menaruh simpati akan sepasang suami - isteri itu lalu membentuk jembatan agar mereka dapat menyeberangi sungai .
Dongeng ini kemudian menimbulkan kebiasan yang disebut "qi-qiao" dikalangan rakyat. "Qi-qiao" berarti "meminta ketrampilan". Pada malam tanggal 7 bulan 7 itu, para gadis menyajikan buah - buahan dan semangka, yang dihias dengan benang sutera dan jarum sulam. Sesajian ini disertai dengan harapan semoga Zhi Nii mengajarkan ketrampilan menenunnya kepada mereka. Lalu entah bagaimana prosesnya, lama - kelamaan orang menganggap bahwa Zhi Nii itu sesungguhnya terdiri dari 7 orang Dewi bersaudara. Sehingga kemudian muncul satu dongeng lain yang menceritakan salah satu dari 7 dewi itu, yaitu Dewi Bungsu, yang paling kecil, jatuh cinta dengan seorang manusia biasa Dong Yong. Perkawinan mereka disaksikan oleh Tu Di si Dewa Bumi, tapi kemudian juga berakhir tragis, karena sang Dewi Bungsu harus kembali ke Kahyangan.
Kisah yang menceritakan ihwal Dewi Bungsu dan Dong Yong disebut Tian Xian Pei yang berarti "peijodohan Dewi Langit". Min-nan ( Fujian selatan ) merupakan tempat dimana penduduknya percaya bahwa Zhi Nii terdiri dari tujuh orang dewi. Pada saat berlangsungnya upacara qi-qiao, disamping semua keperluan wanita seperti lipstick, bedak, dan sutra merah, diatas meja sembahyang juga disediakan kembang gula, bunga Gui, biji wijen dan onde - onde yang terbuat dari tepung beras, serta buah - buahan dan semangka yang masih segar. Sajian terpenting adalah yang disebut Qi-niang-ting (Paseban Dewi Ketujuh), Qi-niang-qiao (Tandu - Dewi ketujuh) dan Qi-niang-shen-deng (Lampu suci untuk Dewi ketujuh).
Qi-niang-ting adalah sebuah rangon kecil yang terbuat dari kertas dan perekat, Qi-niang-qiao adalah tandu kecil yang juga terbuat dari kertas, dan Qi-niang-shen-deng adalah lentera dari kain, yang bertuliskan 4 buah huruf "qi-niang-shen-deng" serta digambari seorang Dewi diatas gundukan awan sambil menggendong seorang anak, dewi dalam gambar ini adalah Dewi Bungsu yang menikah dengan Dong Yong, ia melahirkan anak untuk Dong Yong agar pemuda yang berbakti itu tak sampai putus keturunannya.
Kebiasaan ini lalu menyebar sampai Taiwan, Dewi Bungsu yang kemudian secara umum disebut sebagai Qi Niang Ma dianggap sebagai Dewi Pelindung Anak - anak. Kepercayaan akan dewi anak - anak ini menjadi lebih penting dari pada kebiasaan qi-qiao, yang berasal dari daratan Fujian.
Dalam upacara tanggal 7 bulan tujuh malam itu, kisah Niu Lang dan Zhi Nii yang sangat mengharukan, bahkan hanya di singgung sambil lalu saja.
Upacara utama tetap ditunjukan untuk mohon perlindungan bagi anak-anak .
Tanggal ini di Taiwan dianggap sebagai hari lahir Qi Niang Ma, pada tanggal itu masyarakat mengadakan sembahyang di depan pintu menjelang senja. Sesajian dan perlengkapan sembahyang juga sama dengan apa yang dilakukan didaerah asalnya, Min-nan, ada Qi-niang-ting dan lain - lainnya.
Qi-niang-ting itu, beserta kertas - emas (kimcoa) baju kertas dan benda lainnya, dibakar bersama - sama setelah upacara selesai. Diantara barang - barang sesajian ada bermacam-macam bunga, seperti melati,jengger-ayam, kembang kantil dan bunga-bunga buatan. Kecuali itu ada juga pemerah bibir dan minyak wangi. Bunga dan alat - alat kecantikan itu begitu selesai upacara sembahyang lalu dilemparkan keatas genting.
Orang Taiwan umumnya, karena takut anaknya tidak dapat hidup sampai dewasa, membawa anak - anaknya yang masih belum genap berusia seminggu ke kelenteng untuk mohon perlindungan pada para Dewata Pelindung anak - anak, seperti Ma Zu, Guan Yin, Zhu Sheng Niang Niang dan lain - lain. Dihadapan para dewata itu mereka melakukan kebiasaan yang disebut jia-suo yang berarti "mengalungkan gembok". Mainan berbentuk gembok kecil, setempel perak, atau mata uang kuno dirangkai dengan seutas benang merah, lalu dikalungkan dileher sang anak, inilah yang disebut jia-suo. Kalau pada malam tanggal 7 bulan 7 itu sang anak telah berusia 16 tahun, yang berarti sudah remaja, sang ibu harus membawanya ke hadapan para dewata itu kembali untuk "melepaskan gembok" nya.
Upacara sembahyang "melepas gembok ini disertai sesajian berupa misoa, bak-cang dan lain - lain, sebagai tanda terima kasih. Qi Niang Ma juga termasuk salah satu Dewata Pelindung Anak. Kalau mereka dahulu melakukan "jia-suo" dihadapannya, "upacara melepas gembok" pun harus dilakukan disana. Biasanya diantara barang sesajian untuk Qi Niang Ma, di lengkapi juga dengan mi-soa dan bak-cang sebagai ucapan terima kasih, setelah upacara selesai barulah "gembok" dilepaskan.
Upacara qi-qiao sekarang ini sudah jarang dilakukan. Yang masih menjalankan biasanya terbatas dikalangan gadis - gadis. Mereka mengatur sembahyangan di ruang tengah, menyediakan bunga-bunga segar, bedak dan minyak-wangi, semangka dan buah - buahan lain, lalu melakukan qi-qiao di bawah sinar bulan purnama. Mereka mencoba memasukkan seutas benang sutra ke dalam lubang jarum sulam. Kalau temyata mereka berhasil memasukkan, berarti "qi-qiao" nya dikabulkan, dan kepandaian kerajian tangannya bisa diharapkan akan maju pesat. Bunga, bedak dan minyak wangi lalu dilemparkan keatap rumah begitu upacara selesai. Kalau kebetulan bunga - bunga atau wewangian itu jatuh di wajah atau tubuh, sang gadis akan makin can-
tik setelah dewasa.
Zhi Nii (Dewi penenun) mengapa bisa berubah menjadi Qi Niang Ma (Dewi Pelindung Anak)? Hal ini kiranya tidak leoas dari latar belakang ke-
jiwaan para wanita didaerah itu. Daerah Min-nan (Fujian selatan) sejak dulu-kala terkenal sebagai kampung halaman para Tionghoa perantau. Apa bila sang suami berangkat merantau keseberang lautan, sampai 7 atau 8 tahun, bahkan tidak kembali adalah hai lumrah.
Kisah Niu Lang Zhi Nii yang bertemu tiap tahun hanya sekali, dihati para wanita itu merupakan hai yang biasa, tidak aneh sama-sekali. Sebab itu mereka lebih mementingkan anak-anaknya. Dengan adanya anak-anak itu, hidupnya kelak dapat diharapkan terjamin, walau sang suami tidak kembali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar