Pages - Menu

Pages

Minggu, 28 Desember 2014

Qi Tian Da Sheng / Sun Wu Kong ( DEWA DEWI PELINDUNG ANAK - ANAK II )



Qi Tian Da Sheng ( Ce Thian Tay Seng - Hokkian ) secara umum di sebut Da Sheng Ye ( Tay Seng Ya - Hokkian), atau Hou Qi Tian ( Khauw Ce Thian - Hokkian). Hari lahimya pada tanggal 12 bulan 10 Imlik. Ia adalah Dewa Pelindung Anak - anak terutama mulai umur 3 sampai 7 tahun, sebab pada usia tersebut anak sedang nakal-nakalnya. Periode perkembangan ini disebut "Masa Kenakalan Kera" ( sebutan ini populer di Taiwan dan Propinsi Fujian ). Dengan perlindungan Da Sheng Ye, anak -anak akan selamat melewati masa ini. Kalau ada anak-anak dalam usia tersebut yang terkejut lalu jatuh sakit, nafsu makan tidak ada, orang tuanya segera peri ke altar pemujaan Da Sheng Ye untuk memohon kesembuhannya .
Siapa sesungguhnya Qi Tian Da Sheng atau Da Sheng Ye ini? Dia tak lain dan tak bukan adalah Si Raja Kera yang sakti Sun Wu Kong ( Sun Gouw Kong - Hokkian ), tokoh utama dalam novel Xi You Ji atau Perjalanan Ke Barat. Seperti telah kita singgung sedikit, novel Xi You Ji ( Si Yu Ki - Hokkian ) adalah sebuah Mahakarya Sastra pada masa permula dinasti Ming yang ditulis oleh Wu Cheng En ( 1500 - 1582 ). Meskipun garis besamya novel ini dibuat berdasarkan kejadian bersejarah yang menceritakan perjalanan Pendeta Xuan Zang ke India untuk mengambil Kitab Tripitaka pada jaman dinasti Tang (abad 7 M), tetapi boleh dikatakan seluruhannya isi buku, berputar - putar pada satu tokoh ini saja, yaitu si Kera Sakti Sun Wu Kong
Dikisahkan dalam buku ini, bahwa Sun Wu Kong semula lahir dari sebuah batu besar di gunung Hua Guo Shan. Kelahirannya menimbulkan sinar terang yang memancar sampai ke kahyangan, Yu Huang Shang Di lalu memerintahkan Qian Li Yan ( Si Mata Seribu Li ) dan Sun Feng ( Si Telinga Angin Baik ) untuk menyelidiki apa yang teijadi. Tapi ketika diketahuinya sinar itu berasal dari seekor kera, dia merasa lega.
Sang kera batu, karena keberaniannya kemudian diangkat menjadi raja oleh segerombolan kera - kera, dengan gelar Mei Hou Wang ( Bi Kaow On - Hokkian) atau Raja Monyet yang baik.
Karena melihat rakyatnya mulai banyak yang sakit dan mati, sang Raja Kera menyadari bahwa dirinya pun takkan lepas dari hukum alam. Tapi tak ingin begitu saja tunduk pada kodratnya. Ia pergi mencari obat abadi dan ilmu sejati untuk mendapatkan umur panjang.
Dalam berkelana selama 18 tahun itu, ia sampai dipegunungan Zhong Nan Shan dan berguru pada seorang Pendeta Taois. Di situ ia memperoleh berbagai ilmu kanuragan dan ilmu berubah bentuk menjadi 72 rupa. Kemudian ia juga mempelajari ilmu lompatan awan. Dengan sekali loncat jungkir balik, ia dapat nempuh jarak 9000 km. Gurunya memberi nama Sun Wu Kong ( Sun Go Kong - Hokkian ) yang berarti "Menyadari Kekosongan".
Dengan kesaktiannya ini, ia kembali kekerajaannya di Hua Guo Shan dan memimpin rakyatnya untuk memberontak terhadap kekuasaan para dewa di kahyangan. Untuk memperoleh senjata dia mengobrak -abrik lautan timur dan memaksa Raja Naga menyerahkan besi ajaib yang dapat berubah besar kecilnya menurut kehendak si pemakai. Akhirat dilabraknya juga karena mencoba memanggil arwahnya yang menurut catatan sudah sampai waktunya untuk mati. Sejak itu nama Sun Wu Kong sangat disegani oleh para siluman di kawasan itu. Ada sejumlah Raja Siluman yang jumlahnya 72 orang takluk dan rela mengangkatnya sebagai kepala perserikatan.karena khawatir akan kekacauan yang ditimbulkannya, Yu Huang Da kemudian memanggilnya untuk menduduki jabatan di kahyangan.
Tapi karena pada dasarnya para dewa memandang rendah Sun Wu Kong, karena hanya seekor kera, maka ia diberi kedudukan yang sangat rendah pula, yaitu mengurus kandang kuda kahyangan. Mengetahui hai itu, Sun Wu Kong lalu minggat kembali ke gunung. Para rekan - rekan siluman mengangkatnya menjadi "Qi Tian Da Sheng" yang berarti "Orang bijak yang setara dengan langit". Panji - panji besar bertuliskan empat huruf ditegakkan
Para dewa sangat marah dan mengirimkan bala tentara kahyangan untuk menghukumnya. Bala tentara langit yang dipimpin oleh Li Tian Wang dan putranya Li Ne Zha itu dipukul mundur oleh Sun Wu Kong. Atas anjuran Tai Bai Jin Xing ( Tay Pek Kim Sing - Hokkian ) Sang Dewa Bintang Emas, sekali lagi Yu Huang memanggilnya ke langit dan menganugerahi gelar Qi Tian Da Sheng seperti yang dikehendakinya. Sebuah istana dibangun untuknya. Tetapi dasar wataknya usil dan nakal, maka dia mencuri buah persik Xi Wang Mu dan menghabiskan makanan - makanan yang disediakan untuk pesta para dewa itu. Rumah Tai Snang Lao Jun ( Thai Siang Lao Kun - Hokkian ) pun tak luput dari kenakalannya. Semua obat - obat ajaib untuk hidup abadi milik sang dewa dilahapnya.
Para dewa sangat murka. Sekali lagi para bala tentara langit dikerahkan secara besar-besaran untuk menangkap Sun Wu Kong.
Gunung Hua Guo Shan dikepung rapat - rapat, pertempuran besar - besaran teijadi antara balatentara kera dan siluman melawan tentara langit.
Tetap saja mereka tak berhasil menaklukkan Sun Wu Kong. Seorang perwira khayangan yang sakti dipanggil untuk menangkap Raja kera .
Perwira tersebut adalah Er Lang Shen, yang bermata tiga dan dapat berubah wujud menjadi 73 rupa. Dia hanya mengungguli Sun Wu Kong sedikit, tetapi ia tetap gagal menaklukkan apalagi menangkapnya.
Akhirnya Tai Shang Lao Jun melemparkan gelang pusaka Panca Logam dan mengenai kepala Kera Sakti. Dia teijatuh dan berhasil di tawan. Di panggung pelaksanaan hukuman dicoba dengan semua senjata pusaka,
bahkan halilintar temyata tak mempan terhadap tubuhnya, para dewa kehabisan akal.
Atas usul Tai Shang Lao Jun, sang Kera Sakti direbus dalam bejana tempat ia biasa mengolah obat panjang umur. 49 hari sang monyet terbenam di situ. Tapi bukannya ia binasa, ketika tutup bejana dibuka,
ia meloncat keluar dan dengan kekuatannya yang luar biasa mengobrak - abrik kahyangan, tanpa dapat dikendalikan lagi. Di saat para dewa putus asa itulah datang Ru Lai Fo ( Ji Lay Hud - Hokkian ). Ru Lai
berhasil menangkap Sun Wu Kong dan mengurungnya di bawah gunung Lima Elemen
Itulah bagian atas cerita Xi You Ji yang menceritakan asal - usul Qi Tian Da Sheng sampai ia di taklukkan oleh sang Tatagatha atau Ru Lai. Selanjutnya novel ini menceritakan bagaimana Sun Wu Kong setelah bebas
dari hukuman kurungan selama 500 tahun di bawah gunung Lima Elemen.
Ia menjadi pengawal Pendeta Xuan Zang ke Langit Barat (India) untuk mengambil Kitab Suci Tripitaka. Dalam perjalanan itu ia menaklukkan berbagai macam siluman dan orang jahat yang berusaha merintangi perjalannya. Diantaranya adalah Zhu Ba Jie ( Ti Pat Kay - Hokkian ) siluman babi yang rakus dan jenaka, serta Sha Sheng ( See Ceng - Hokkian ) si siluman air. -. Mereka berdua bersama Sun Wu Kong ikut mengawal pendeta Xuan Zang.
Sun Wu Kong sebagai pembuka jalan, Zhu Ba Jie yang menuntun kuda dan Sha Sheng memikul barang - barang bawaan.
Bertiga mereka mengawal guru^ya menempuh peijalanan yang jauh dan penuh rintangan. Tapi berkat kecerdikan dan kesaktiannya, Su Wu Kong berhasil mengatasi itu semua, sehingga mereka selamat sampai ke tempat tujuan.
Dalam peijalanan yang panjang ini ada dua peristiwa yang patut diperhatikannya, yang kami anggap menjadi sebab mengapa Sun Wu Kong diangkat menjadi Dewa pelindung anak - anak Peristiwa pertama terjadi ketika rombongan ini sampai di sebuah dusun yang terdiri dari keluarga Chen ( Tan - Hokkian ) di tepi sungai besar yang disebut Tong Tian He atau sungai yang menembus langit. Dalam sungai itu ternyata ada segerombolan siluman yang dipimpin oleh seekor siluman ikan mas Tiap tahun si Raja Siluman ini minta disediakan korban sepasang anak laki dan perempuan yang masih suci untuk disantap. Penduduk tempat itu sangat menderita dan tak berdaya melawan kesaktian para siluman. Kebetulan tahun itu jatuh giliran putera dan puteri tuan rumah dimana mereka menginap.
Sun Wu Kong dan para saudara seperguruan nya memutuskan untuk turun tangan. Si Monyet Sakti mengubah diri menjadi putra tuan rumah dan Zhu Ba Jie sebagai anak perempuannya.
Berdua mereka dibawa ke kuil tempat persembahan sesaji dilakukan.
Malam itu sang siluman ikan mas datang untuk menyantap korbannya. Zhu Ba Ji terburu - burn, langsung menyerang. Akibatnya siluman itu tahu dengan siap mereka kini berhadapan, lalu lari ke dalam goanya di dasar sungai.
Gagal berpesta pora, sang siluman mengincar Pendeta Xuan Zang untuk dijadikan korbannya. Pendeta Xuan Zang ditangkap ketika rombongan berjalan melewati permukaan Tong Tian He yang sedang beku. ketiga muridnya tidak tinggal diam. Sarang para siluman diaduk - aduk. Sadar akan kemampuan Sun Wu Kong, sang siluman tetap bersembunyi di bagian paling dalam dari sungai itu. Sun Wu Kong tidak kehabisan akal, dia pergi ke tempat Guan Yin ( Koan Im - Hokkian ) minta bantuan.
Berkat bantuan Guan Yin Pu Sa, akhirnya siluman ikan mas itu dapat ditaklukkan. Penduduk segera keluar berduyun - duyun mengucapkan terima kasih pada sang Dew dan Sun Wu Kong bertiga.
Dalam kesempatan itu seorang pelukis mengabadikan Guan Yin dengan lukisannya. Sebab itu konon, lukisan Guan Yin hasil karya keluarga Chen ( Tan - Hokkian ) paling bagus.
Masih ada satu peristiwa penting lagi dalam novel itu yang lebih meneguhkan citra Sun Wu Kong sebagai Dewa Pelindung Anak - anak.
Alkisah rombongan Xuan Zang beserta ketiga muridnya sampai di sebuah negeri yang disebut Bi Qiu Guo. Begitu tiba di kota mereka heran karena di tiap rumah digantungkan sebuah sangkar besar yang berkerudung kain
Di dalam tiap sangkar terdapat seorang anak kecil. Untuk menjawab pertanyaan itu , maka mereka bertanya kepada petugas wisma di mana mereka menginap. Ternyata anak - anak yang ada di dalam sangkar tersebut akan dikorbankan untuk mengobati penyakit raja yang bisa sembuh asal makan jantung anak - anak sebanyak seribu seratus sebelas biji.
Mendengar ini Pendeta Xuan Zang menangis dan Sun Wu Kong geram sekali. Malam itu Sun Wu Kong mendatangkan angin ribut dan menerbangkan semua sangkar berisi anak - anak tersebut untuk disembunyikan di suatu tempat. Akhirnya tahulah ia bahwa ini semua adalah akibat ulah seorang siluman yang menyamar menjadi pendeta palsu yang mengelabuhi raja.
Sun Wu Kong berhasil membuka kedok siluman dan menginsafkan raja bahwa cara yang ditempuh untuk kesembuhan penyakitnya adalah cara yang nista dan jahat. Siluman berhasil ditaklukkan dan kembali ke asalnya yaitu seekor .menjangan, dan atas usaha Sun Wu Kong pula, sang raja berhasil disembuhkan. Anak - anak yang nyaris menjadi korban itu dikembalikan kepada orang tuanya masing - masing.
Secara keseluruhan novel Xi You Ji menggambarkan watak - watak manusia. Pendeta Xuan Zang melambangkan hati nurani yang bersih dari prasangka, yang menganggap semua halangan adalah cobaan hidup.
Sun Wu Kong melambangkan watak manusia yang cerdik dan usil, karena itu sering cenderung untuk membuat salah. Zhu Ba Jie melambangkan watak yang malas, tak bertanggungjawab dan selalu bergulat dengan hati nuraninya.
Sedangkan Sha Sheng melambangkan seseorang yang patuh tapi mudah putus asa.
Tak dapat disangkal lagi, Sun Wu Kong menjadi seorang tokoh yang sangat dicintai rakyat. Kisahnya menjadi obyek lukisan, ukiran - ukiran dan opera. Semua ini menggambarkan begitu luasnya pengaruh cerita Xi You Ji
di kalangan masyarakat
Pemujaan terhadap Sun Wu Kong ini sangat luas sekali wilayahnya. Di Tiongkok Daratan banyak kelenteng yang memujanya, begitu juga di Taiwan.
Di Taiwan ada beberapa kelenteng yang memujanya, tapi yang paling terkenal adalah di Wan Fu Yan (Ban Hok Am - Hokkian), sebuah kelenteng dengan pendeta - pendeta yang terdiri dari kaum wanita. Di Malaysia dan Singapura juga ada demikjan juga di Indonesia. Di Semarang khususnya, pemujaan terhadap Sun Wu Kong terdapat di Kelenteng Pat Sian, Jalan Petek, dan beberapa rumah khususnya dari keturunan suku Fuqing (Hoktjia).
Peringatan hari ulang tahunnya tanggal 12 bulan 10 Imlik

Dewa Panjang Usia

PENG ZU , MA GU , ZHOU GONG DAN TAO HUA NU
DEWA PANJANG USIA.
a.PENG ZU
b. MA GU
c.ZHOU GONG DAN TAO HUA NU
a Peng Zu atau Peng seorang tua, sering disalah tafsirkan sebagai Nan Ji Xian Weng, si Bintang Panjang Usia, salah satu dari Tiga Serangkai Cai Zi Shou (Jay Cu Siu - Hokkian). Tapi oleh masyarakat, Peng Zu
juga dianggap sebagai Dewa Panjang Usia, yang sejajar dengan Nan Ji Xian Weng (Lam Kek Sian Ong - Hokkian), sehingga siapa sebetulnya Bintang Panjang Usia yang digambarkan sebagai orang tua yang berjenggot putih dan bertongkat itu, tidak jelas lagi.
Peng Zu, menurut legenda, pada jaman dinasti Shang (abad 15 M) telah berusia 767 tahun. Tapi walaupun sudah seusia itu, masih tetap gagah dan sehat, sedikitpun tidak menunjukkan tanda - tanda dimakan usia. Ia berwatak tenang dan sabar, tidak tertarik sama sekali akan hai - hai yang bersifat keduniaan, seluruh kegiatannya dipusatkan pada pengolahan diri
Pada waktu ditawari untuk menjabat suatu kedidukan tinggi dalam pemerintahan, ia dengan halus menolak, walaupun permintaan itu datang dari seorang kaisar sekali pun. Dengan alasan kesehatannya tidak mengijinkan, ia dapat menghindari diri untuk menjabat pegawai tinggi dan terlibat urusan politik kerajaan. Tapi bila ingin pergi, ia memilih berjalan kaki dan sendirian, tanpa arah tujuan yang jelas.
Ia menciptakan suatu rangkaian senam kesehatan, yang terdiri dari meditasi, latihan pemafasan dan pijat, yang tidak hanya berguna untuk menjaga kondisi tubuh, tapi juga dapat untuk menyembuhkan penyakit dan pe-
rasaan kurang enak yang lain.
Ketika para kaisar dan para pangeran menanyakan kepadanya tentang rahasia berusia panjang, ia selalu menolak. Hadiah mereka berupa emas dan perhiasan yang mahal - mahal, diterimanya dan kemudian dibagi - bagikan pada orang miskin dan pada orang yang sungguh - sungguh memerlukan, tanpa sekepingpun digunakan oleh dirinya sendiri.
Dia mengatakan bahwa dia tidak mempunyai ayah, pada saat ia berusia 3 tahun. Ia telah mengalami hidup dijaman peperangan yang lamanya seabad, mengalami masa kekacauan dan pembuangan di wilayah barat Ia beristri 49 orang dan berputra 54. Meskipun ia menuntut kehidpan sebagai layaknya seorang dewa, ia belum terbebas sama sekali dari kesusahan dan kesedihan seperti layaknya orang bisa. Pada saat meninggal pada usia 80 tahun ia mengeluh bahwa hidupnya begitu "singkat".
Begitulah nama "Peng Zu" kemudian menjadi sinonim akan kata "Panjang Usia" berabad - abad kemudian. Hari lahimya diperingati pada tanggal 9 bulan 9 Imlik.

b. Ma Gu (Moa Kouw - Hokkian) adalah dewi yang mengantarkan berkah panjang usia pada manusia yang telah mencapai umur 60 tahun ke atas.
Kepadanya, Ma Gu mengirim buah Tao Dewa yang dapat memperpanjang usia, dan diiringi ucapan selamat. Sebab itu ia sering ditampilkan dalam gambar atau patung keramik dengan membawa keranjang berisi buah persik (Tao) diiringi seekor menjangan yang melambangkan rejeki Ma Gu adalah putri seorang panglima perang, bernama Ma Qiu. Ma Gu kemudian bertapa untuk menuntut ilmu kedewaan di sebuah gunung dekat
Mouzhou, sampai kemudian menjadi dewi. Ia turun ke dunia pada masa pemerintahan kaisar Huan Di (147 - 167 M) dari dinasti Han Timur. Meskipun ia muncul sebagai seorang gadis berusia 18 - 19 tahun, ia telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tiga perubahan besar, dimana laut timur berubah menjadi semak -semak pohon murbei lalu kemudian kembali berubah menjadi lautan. Dari sini kemudian lahir ungkapan dalam bahasa Tionghoa yaitu : "Cang Hai Sang Tian" (Lautan biru dan semak - semak murbei) yang berarti waktu telah membuat perubahan besar di dunia.
Ma Gu dilukiskan sebagai seorang gadis cantik, yang memakai sanggul tinggi di kepalanya, dan rambutnya teijurai sampai ke pinggang. Pakaian nya indah dan bersulam. Dalam sebuah versi kuno dikatakan ia mempunyai tangan yang mirip cakar burung. Ma Gu mempunyai kesaktian.
Ia dapat mengubah butir-butir beras menjadi mutiara begitu ditaburkan ke udara.

Pada tanggal 3 bulan 3 Imlik, bertepatan dengan hari lahir Xi Wang Mu, ia diundang bersama - sama dengan empat gadis bidadari yang lain untuk menghadiri pesta ulang tahun itu. Ia membawa arak dewa, yang terbuat dari daun - daun obat, yang berkhasiat untuk memperpanjang usia Di pesta itu Ma Gu bersama - sama gadis lain mempersembahkan nyanyian bersama dan tarian sebagai ucapan selamat pada Xi Wang Mu.
Pada pesta ulang tahun untuk nyonya - nyonya yang lanjut usia sering kali disertakan lukisan Ma Gu sebagai hadiah ulah tahun. Dalam lukisan itu tentu saja Ma Gu tidak digambarkan dengan tangan berwujud cakar burung.
Hari lahir Ma Gu diperingati pada tanggal 16 bulan 4 Imlik. Ma Gu dan Peng Zu banyak dipuja dikalangan penduduk, tapi kelenteng yang khusus di peruntukan buat mereka jarang terdapat.

c. Zhou Gong (Ciu Kong - Hokkian) dan Tao Hua Nu (Tho Hoa Li - Hokkian) disebut juga sebagai Hua Gong (Hoa Kong - Hokkian) dan Hua Po yang berarti Kakek dan Nenek Bunga. Mereka berdua mengurus perjodohan pria dan wanita. Hua Gong dan Hua Po terdiri dari suami - istri beserta keturunan - keturunannya. Wilayah pemujaannya sangat luas.
Di Jakarta, kecuali di Kelenteng Kim Tek I, patungnya terdapat di sepuluh tempat lain. Mereka dianggap sebagai Dewa Kesuburan dan Kebahagiaan.
Di propinsi Guangdong, peran Hua Gong dan Hua Po sangat penting. Orang tua kedua mempelai mempersembahkan bunga kepada dua dewa ini pada malam pernikahan karena menurut dor.geng, pengantin pria di lambangkan sebagai bunga prem putih dan penganten wanita sebagai bunga persik jingga.
Dalam buku Guang-dong xin-you, pengarang Qu Da-jun, menyebutkan sebuah kelenteng di Hua Shan yang disebut Fu Mu Ci (yang berarti kelenteng ayah dan ibu), memuja Hua Gong dan Hua Po, tempat penduduk memohon keturunan. Demikian juga di Kelenteng Hua Shen Miao di Bukit Hu Qiu Shan dekat kota Suzhou.
Siapa sesungguhnya Zhou Gong dan Tao Hu Nu ini? Zhou Gong (Ci Kong - Hokkian) adalah seorang menteri pada pemerintahan kaisar You Wang dari dinasti Zhou, yang mengundurkan diri kembali kekampung halamannya karena merasa tidak tega melihat perbuatan kaisarnya yang buruk.
Ia meramalkan huru - hara akan teijadi kalau kaisar tetap tidak dapat mengubah lakunya.
Sedang Tao Hua Nu adalah seorang gadis cantik yang pandai meramal dan berilmu tinggi. Menurut sebuah kisah kuno yang sempat diceriiakan kembali oleh Yan Guo-hui dalam bahasa Indonesia, mengatakan bahwa keduanya sempat beradu ilmu dan kepandaian. Akhirnya, mereka dilerai oleh Xuan Tian Shang Di (Hian Thian Siang Te - Hokkian) yang mengetahui asal-usul mereka. Ternyata Zhou Gong dan Tao Hua Nil berasal dari pedang pusaka beserta sarung pedang milik Xuan Tian Shang Di sendiri. Pedang itu berubah menjadi seorang jejaka yaitu Jin Tong (Kim Tong-Hokkian) atau Anak Emas dan sarungnya menjadi Yu Nu (Giok Li - Hokkian atau Gadis Kumala. Ketika pernyataan cinta Jin Tong ditolak oleh Yu Ni , ia mendendam dan berusaha membalas sakit hatinya, maka Jin Tong lalu minggat dari tempatnya semula dan turun ke bumi menjadi Zhou Gong.
Sementara Yu Nii menjadi Tao Hua Nii. Keduanya adalah pasangan yang abadi .

Qi Xing Niang Niang. DEWA DEWI PELINDUNG ANAK - ANAK.1

Sering disebut Qi Niang Ma. Hari lahirnya tanggal 7 bulan 7 Imlik.
Niang Ma dianggap sebagai dewa pelindung anak - anak. Konon ia adalah utusan dari Zhi Nu Xing ( Binatang Gadis Penenun ).
Ada juga yang mengatakan ia berasal dari salah satu dari Tujuh Bintang Macan Putih .
Kisah Niu Lang ( Gembala ) dan Zhi Nu ( Gadis penenun ) yang bertemu setahun sekali, sangat mengharukan orang. Pada jaman Dinasti Han (226 Sm - 220 M ) kisah ini sudah mulai populer. Garis besar ceritanya kira -
sebagai berikut: 
Zhi Nii adalah cucu dari Maharaja Langit, ia cerdik dan cantik. Bertahun-tahun ia menenun berokad di istana Langit, menggunakan awan warna-wami. Suatu ketika, untuk melepas kejemuannya, ia mengintip keluar jendela dan melihat ke bumi. Ia melihat seorang gembala, dan akhirnya jatuh anta kepadanya.
Pemuda gembala ini adalah anak kedua dari satu keluarga yang kaya -raya .
Tapi ia telah kehilangan kedua orang tuanya pada saat berusia muda sekali .
Ia lalu tinggal bersama kakak dan kakak iparnya. Sang kakak ipar memperlakukannya sebagai seorang budak. Ia selalu diberi pekerjaan yang berat dan diberi makan dari sisa - sisa. Salah satu tugasnya adalah menggembala kerbau.
Sebab itu orang menyebutnya sebagai " Niu Lang " yang berarti "Jejaka penggembala kerbau". Tapi karena pada dasamya ia berwatak pemaaf , diterimanya perlakukan kakak ipamya itu dengan hati lapang, dan tan
prasangka. Tapi sang kakak ipar rupanya belum puas.
Dihasutnyalah suaminya agar mengadakan pemisahan rumah dengan si gembala. Dengan pemisah ini ia bermaksud mengangkangi sebagian warisan yang menjadi hak sang gembala.
Sang gembala sangat sedih hatinya karena sejak itu ia harus tinggal terpisah dari kakaknya, sedangkan soal pembagian harta warisan ia tidak memikirkan sama sekali. Ia menangis sedih memikirkan nasibnya, lalu tiba-tiba sang kerbau yang sesungguhnya seorang Dewa menyamar, berkata kepadanya : Janganlah mempertengkarkan pembagian harta, biarlah mereka memiliki semuanya. Mintalah agar aku saja yang tetap jadi milikmu.
Sang gembala menuruti apa yang dikatakan kerbaunya. Dan sang kakak ipamya tentu saja gembira sekali mendengar permintaan yang sangat diluar dugaan itu. Begitulah, dua bersaudara itu berpisah secara baik - baik walau dengan semua harta - benda termasuk tanah, rumah perabot dan lainnya menjadi milik sang kakak. Maka pegilah sang gembala meninggalkan rumahnya dengan hanya berteman seekor kerbau. Ia hidup tenang dan damai dan selalu menuruti nasihat kerbaunya.
Pada suatu senja, sang kerbau menyuruh si Gembala untuk pergi kesebuah telaga. Niu Lang si Gembala pergi kesana dan dilihatnya serombongan bidadari sedang mandi. Ia menyelinap ketempat mereka meletakkan pakaian . 
Diambilnya selembar gaun merah dan disembunyikan. Pada waktu para bidadari itu selesai mandi dan, satu diantaranya mendapati pakaiannya telah hilang. Ia menangis sedih, dan bersama - sama temannya mencari tapi
sia - sia. Waktu telah habis, mereka harus kembali ke Langit. Bidadari yang kehilangan pakaian itu terpaksa ditinggal. Ia menangis sejadi - jadinya.
Ternyata bidadari yang satu ini adalah Zhi Nu si Gadis penenun, dan yang tercantik diantara teman-temannya.
Niu Lang menghampirinya, dan atas prakarsa kerbau - nya mereka akhirnya terangkap sebagai suami isteri. Beberapa tahun mereka hidup bersama dengan penuh kebahagiaan. Selama itu seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan telah lahir. Tapi pada waktu itu juga sang kerbau yang telah renta itu akhirnya meninggal, meninggalkan sepasang suami - isteri muda itu dalam kesedihan yang sangat mendalam.
Maharaja Langit mendengar kelancangan cucunya yang telah berani menikah dengan manusia biasa tanpa perkenannya, menjadi gusar. Seorang malaikat diutus untuk memaksa ia kembali ke Kahyangan dan melanjutkan pekerjaannya menenun, kalau membangkang, keluarganya akan dihancurkan.
Karena rasa cinta akan suami dan anak - anaknya, dengan hati berat Zhi Nii, memutuskan untuk menuruti perintah kakeknya kembali ke kahyangan.
Niu Lang yang kembali dari bekeija, mendapati isterinya telah pergi dengan meninggalkan kedua anaknya yang menangis. Ia segera mengejar isterinya, bersama - sama kedua anaknya yang dipikul didalam keranjang bambu.
Maha dewi Xi Wang Mu yang kebetulan lewat, lalu menuding dengan tusuk kondenya. Sebuah sungai tiba-tiba muncul memisahkan mereka berdua. Setelah memperoleh penjelasan tentang ihwalnya, Xi Wang Mu atas ijin Maharaja Langit mengijinkan Niu Lahg dan Zhi Nu bertemu setahun sekali, pada malam bulan 7 tanggal 7 Imlik.
Pada malam itu. pelbagai jenis burung yang menaruh simpati akan sepasang suami - isteri itu lalu membentuk jembatan agar mereka dapat menyeberangi sungai .

Dongeng ini kemudian menimbulkan kebiasan yang disebut "qi-qiao" dikalangan rakyat. "Qi-qiao" berarti "meminta ketrampilan". Pada malam tanggal 7 bulan 7 itu, para gadis menyajikan buah - buahan dan semangka, yang dihias dengan benang sutera dan jarum sulam. Sesajian ini disertai dengan harapan semoga Zhi Nii mengajarkan ketrampilan menenunnya kepada mereka. Lalu entah bagaimana prosesnya, lama - kelamaan orang menganggap bahwa Zhi Nii itu sesungguhnya terdiri dari 7 orang Dewi bersaudara. Sehingga kemudian muncul satu dongeng lain yang menceritakan salah satu dari 7 dewi itu, yaitu Dewi Bungsu, yang paling kecil, jatuh cinta dengan seorang manusia biasa Dong Yong. Perkawinan mereka disaksikan oleh Tu Di si Dewa Bumi, tapi kemudian juga berakhir tragis, karena sang Dewi Bungsu harus kembali ke Kahyangan.

Kisah yang menceritakan ihwal Dewi Bungsu dan Dong Yong disebut Tian Xian Pei yang berarti "peijodohan Dewi Langit". Min-nan ( Fujian selatan ) merupakan tempat dimana penduduknya percaya bahwa Zhi Nii terdiri dari tujuh orang dewi. Pada saat berlangsungnya upacara qi-qiao, disamping semua keperluan wanita seperti lipstick, bedak, dan sutra merah, diatas meja sembahyang juga disediakan kembang gula, bunga Gui, biji wijen dan onde - onde yang terbuat dari tepung beras, serta buah - buahan dan semangka yang masih segar. Sajian terpenting adalah yang disebut Qi-niang-ting (Paseban Dewi Ketujuh), Qi-niang-qiao (Tandu - Dewi ketujuh) dan Qi-niang-shen-deng (Lampu suci untuk Dewi ketujuh).

Qi-niang-ting adalah sebuah rangon kecil yang terbuat dari kertas dan perekat, Qi-niang-qiao adalah tandu kecil yang juga terbuat dari kertas, dan Qi-niang-shen-deng adalah lentera dari kain, yang bertuliskan 4 buah huruf "qi-niang-shen-deng" serta digambari seorang Dewi diatas gundukan awan sambil menggendong seorang anak, dewi dalam gambar ini adalah Dewi Bungsu yang menikah dengan Dong Yong, ia melahirkan anak untuk Dong Yong agar pemuda yang berbakti itu tak sampai putus keturunannya.
Kebiasaan ini lalu menyebar sampai Taiwan, Dewi Bungsu yang kemudian secara umum disebut sebagai Qi Niang Ma dianggap sebagai Dewi Pelindung Anak - anak. Kepercayaan akan dewi anak - anak ini menjadi lebih penting dari pada kebiasaan qi-qiao, yang berasal dari daratan Fujian.
Dalam upacara tanggal 7 bulan tujuh malam itu, kisah Niu Lang dan Zhi Nii yang sangat mengharukan, bahkan hanya di singgung sambil lalu saja.
Upacara utama tetap ditunjukan untuk mohon perlindungan bagi anak-anak .
Tanggal ini di Taiwan dianggap sebagai hari lahir Qi Niang Ma, pada tanggal itu masyarakat mengadakan sembahyang di depan pintu menjelang senja. Sesajian dan perlengkapan sembahyang juga sama dengan apa yang dilakukan didaerah asalnya, Min-nan, ada Qi-niang-ting dan lain - lainnya.
Qi-niang-ting itu, beserta kertas - emas (kimcoa) baju kertas dan benda lainnya, dibakar bersama - sama setelah upacara selesai. Diantara barang - barang sesajian ada bermacam-macam bunga, seperti melati,jengger-ayam, kembang kantil dan bunga-bunga buatan. Kecuali itu ada juga pemerah bibir dan minyak wangi. Bunga dan alat - alat kecantikan itu begitu selesai upacara sembahyang lalu dilemparkan keatas genting.
Orang Taiwan umumnya, karena takut anaknya tidak dapat hidup sampai dewasa, membawa anak - anaknya yang masih belum genap berusia seminggu ke kelenteng untuk mohon perlindungan pada para Dewata Pelindung anak - anak, seperti Ma Zu, Guan Yin, Zhu Sheng Niang Niang dan lain - lain. Dihadapan para dewata itu mereka melakukan kebiasaan yang disebut jia-suo yang berarti "mengalungkan gembok". Mainan berbentuk gembok kecil, setempel perak, atau mata uang kuno dirangkai dengan seutas benang merah, lalu dikalungkan dileher sang anak, inilah yang disebut jia-suo. Kalau pada malam tanggal 7 bulan 7 itu sang anak telah berusia 16 tahun, yang berarti sudah remaja, sang ibu harus membawanya ke hadapan para dewata itu kembali untuk "melepaskan gembok" nya.
Upacara sembahyang "melepas gembok ini disertai sesajian berupa misoa, bak-cang dan lain - lain, sebagai tanda terima kasih. Qi Niang Ma juga termasuk salah satu Dewata Pelindung Anak. Kalau mereka dahulu melakukan "jia-suo" dihadapannya, "upacara melepas gembok" pun harus dilakukan disana. Biasanya diantara barang sesajian untuk Qi Niang Ma, di lengkapi juga dengan mi-soa dan bak-cang sebagai ucapan terima kasih, setelah upacara selesai barulah "gembok" dilepaskan.
Upacara qi-qiao sekarang ini sudah jarang dilakukan. Yang masih menjalankan biasanya terbatas dikalangan gadis - gadis. Mereka mengatur sembahyangan di ruang tengah, menyediakan bunga-bunga segar, bedak dan minyak-wangi, semangka dan buah - buahan lain, lalu melakukan qi-qiao di bawah sinar bulan purnama. Mereka mencoba memasukkan seutas benang sutra ke dalam lubang jarum sulam. Kalau temyata mereka berhasil memasukkan, berarti "qi-qiao" nya dikabulkan, dan kepandaian kerajian tangannya bisa diharapkan akan maju pesat. Bunga, bedak dan minyak wangi lalu dilemparkan keatap rumah begitu upacara selesai. Kalau kebetulan bunga - bunga atau wewangian itu jatuh di wajah atau tubuh, sang gadis akan makin can-
tik setelah dewasa.
Zhi Nii (Dewi penenun) mengapa bisa berubah menjadi Qi Niang Ma (Dewi Pelindung Anak)? Hal ini kiranya tidak leoas dari latar belakang ke-
jiwaan para wanita didaerah itu. Daerah Min-nan (Fujian selatan) sejak dulu-kala terkenal sebagai kampung halaman para Tionghoa perantau. Apa bila sang suami berangkat merantau keseberang lautan, sampai 7 atau 8 tahun, bahkan tidak kembali adalah hai lumrah.
Kisah Niu Lang Zhi Nii yang bertemu tiap tahun hanya sekali, dihati para wanita itu merupakan hai yang biasa, tidak aneh sama-sekali. Sebab itu mereka lebih mementingkan anak-anaknya. Dengan adanya anak-anak itu, hidupnya kelak dapat diharapkan terjamin, walau sang suami tidak kembali

Rabu, 19 November 2014

「感應」與「相應」 Kontak Batin dan Yukta


Oleh Acharya Lian Han
Diterjemahkan oleh Zhiwei Zhu

Seringkali diantara para saudara sedharma, mendengar orang tertentu berkontak dengan alam spiritual atau dengan Budha Bodhisatva dengan suatu cara tertentu, didalam mimpi atau dalam samadhi, mereka akan berkata dengan pandangan kagum: 'Anda telah beryukta 「相應」 dengan Budha Bodhisatva.' Atau berkata: 'Anda telah beryukta 「相應」 dengan Dewa Bumi.'

Akan tetapi, 'biksu tua kecil' merasa jenis 'kontak' yang kebetulan itu tidak disebut 'yukta' 「相應」 tetapi disebut 'kontak batin' 「感應」.
'Kontak batin' dan 'yukta', secara harafiah tampak tidak terdapat perbedaan besar, namun, dianalisa dengan seksama, ada perbedaan yang besar.
'Dharma Tantra Satya Budha' kita, ada 'Mula Guru Yoga', ada 'Jambhala Kuning Yoga', ada 'Baghavati Cundi Yoga', ada 'Amitabha Budha Yoga', ada 'Yoga Delapan Yidam Utama', dll, semuanya menggunakan kata 'Yoga' (Yukta); sama sekali tidak pernah ada 'Sadhana Kontak Batin dengan Mula Guru.'

Sebenarnya dimana perbedaan makna 'kontak batin' dengan 'yukta' ?
Sebenarnya definisi 'kontak batin' sangat luas, contohnya dalam proses anda melatih Dharma Tantra Satya Budha, sebelum mencapai 'yukta', akan mendapatkan banyak sekali 'kontak batin', pekerjaan anda telah menjadi lancar, atau penyakit anda telah sembuh, telah bertemu dokter yang bagus, obat menjadi berkhasiat, atau telah menghilangkan permusuhan, hubungan sosial menjadi baik....dll, ini adalah 'kontak batin' dalam hal pelenyapan karma buruk. Contoh lain adalah anda diberi petunjuk dalam mimpi oleh alam spiritual, atau pendengaran gaib, penglihatan gaib, dll, itu adalah 'kontak batin' dari hubungan dengan alam spiritual.

Berdasarkan ide belum matang dari 'biksu tua kecil', ada 'kontak batin' yang hanya sesaat saja, ada yang dalam jangka periode tertentu, ada juga yang merupakan 'kontak alam spiritual' yang relatif lebih lama stabil; namun kebanyakan adalah relatif dangkal dan di permukaan, merupakan keadaan yang mengandalkan kekuatan luar (petunjuk dari alam spiritual).

Dan 'yukta' itu bersifat selamanya, merupakan suatu kesuksesan mendalam dalam pelatihan Dharma Tantra, merupakan suatu alam kesadaran tak terjangkau pikiran yang dicapai sadhaka setelah melalui 'adhistana tiga cahaya' , 'duduk di cakra mahkota', 'memasuki aku, 'aku memasuki', 'kemanunggalan', 'saling melebur', 'tinggal dalam samadhi cahaya', oleh Yidam Budha Bodhisatva, pada saat masuk dalam 'samadhi', hasil dari perjuangan tekun jangka panjang melatih Dharma Tantra.

Ini juga merupakan salah satu keistimewaan dari Madzhab Satya Budha kita.
Maha Guru Liansheng berkata: 'Satu Dharma beryukta, semua Dharma beryukta.'
'Yukta' sama sekali berbeda dengan 'kontak batin'.

Sementara kita tidak membahas 'kontak batin sesaat' yang singkat itu, sekarang kita bahas tentang 'kontak batin dengan alam spiritual' yang bersifat relatif lebih lama dan stabil.

Tentu saja, mampu 'berkontak batin dengan alam spiritual', akan merupakan suatu hal yang membuat iri orang lain, ia dapat membantu orang berkonsultasi dan melakukan penyembuhan spiritual, membantu makhluk hidup menguraikan kesulitan mereka, sehingga lebih mudah membimbing makhluk hidup memasuki pintu Madzhab Satya Buddha.

Biksu tua kecil berpendapat, saudara sedharma yang mampu berkontak batin dengan alam spiritual, sebaiknya melakukan hal-hal berikut:
Menjunjung tinggi Mula Silsilah, tidak meninggalkan Mula Silsilah, semua mukjizat dan pahala bersumber dari Mula Silsilah. Dengan tekun melatih 'Mula Guru Yoga', setiap hari mengundang dan memohon Mula Guru Liansheng duduk di cakra mahkota memancarkan cahaya dan memberkati diri sendiri.Manfaatkan kemampuan spiritual itu, membimbing makhluk hidup bersarana kepada Mula Guru Silsilah Liansheng, bukan bersarana pada dirinya sendiri, harus menonjolkan pencapaian dan pahala besar dari Mula Guru Silsilah Liansheng, bukan menonjolkan kekuatan spiritual diri sendiri.Samasekali jangan mendambakan ketenaran dan keuntungan, harus setiap saat memberi persembahan kepada Mula Guru, harus banyak melakukan perbuatan kebajikan yang bermanfaat bagi orang banyak, juga harus membimbing makhluk hidup banyak melakukan perbuatan baik dan menambah kebajikan.Harus banyak membaca buku tulisan Mula Guru, meningkatkan kebijaksanaan Budha Dharma sendiri dengan Anuttara Prajna Mula Guru.Tingkah laku harus mematuhi Sila dengan jujur, dengan penuh kerendahan hati menjalani Dharma Bodhisatva, jangan sombong dengan kekuatan batin sendiri, jangan sembarangan berbicara tentang Hukum Karma, jangan menggunakan cara-cara tidak benar (misalnya dengan menakut-nakuti atau berbohong).

Kalau mampu menjalankan lima hal diatas, maka akan menjadi seorang sadhaka dengan kemampuan berkomunikasi dengan alam spiritual yang dihormati orang lain, pasti akan dihormati manusia dan Dewa, pahala tak terhingga.

Pada saat Mahaguru Liansheng belum lahir ke dunia, apakah ada 'Dharma Tantra Satya Budha' di dunia manusia? Mana kita tahu apa itu 'Mula Guru Yoga'? Mana tahu yang namanya 'adhistana tiga cahaya', 'masuk samadhi', 'masuk, menetap, melebur'?

Sebelum ada 'Dharma Tantra Satya Budha', di dunia manusia telah ada banyak orang yang mampu berhubungan dengan alam spiritual, namun, apakah mereka tahu melatih 'Dharma Tantra Satya Budha'? Apakah mereka tahu yang namanya melatih Tantra mencapai 'yukta'?

Dari sini dapat diketahui, cara dan metode bagi kita untuk mendapatkan 'kontak batin' ada banyak sekali; akan tetapi Mula Guru Silsilah yang mampu membimbing makhluk hidup mencapai 'yukta' , adalah benar-benar sulit ditemukan di dunia ini!

Dari sini dapat diketahui, 'yukta' dalam 'Dharma Tantra Satya Budha' dibandingkan dengan 'kontak batin' jauh lebih berharga! Mahaguru Liansheng yang tinggal dan mengajar di dunia adalah sangat langka!

Saudara sedharma yang mampu berkontak batin dengan alam spiritual, seandainya dapat maju selangkah melatih 'Mula Guru Yoga', dibawah adhistana dan pemberkatan dari Maha Guru Liansheng, memasuki alam kesadaran 'yukta' dari 'masuk, menetap, melebur', maka kesuksesan dan pencapaian pastilah luar biasa.

Edited by Legend, 31 August 2013 - 10:48 AM.

Share  Share 

Full Version

Sabtu, 15 November 2014

REINKARNASI SIKLUS KELAHIRAN, KEMATIAN, DAN BARDO

KELAHIRAN, KEMATIAN, DAN BARDO 

Kata Pembuka dari Penerjemah
Ajakan kecil ini diberikan oleh Kyabje Zong Rinpoche atas permintaan dari beberapa orang di negara Barat yang bingung mengetahui deskripsi yang diberikan oleh orang yang telah “kembali dari kematian” setelah pijitan pada jantung [untuk menyadarkan mereka] dan sejenisnya. Cukup banyak laporan mengenai orang-orang ini melihat visi dari makhluk suci bermandikan cahaya. Karena itu, beberapa orang tertarik pada ajaran Tibet mengenai kematian dan kelahiran kembali. Akan tetapi, sebagian besar dari kita membaca terjemahan dari buku “Buku Kematian dari Tibet,” sementara tidak mengetahui tentang tradisi oral yang diturunkan bersamaan dengan karya ini dan buku yang mirip dari sekte lain.

Versi yang dikenal di Barat berasal dari sekte Khargyu. Kyabje Zong Rinpoche telah mempelajari topik yang sama di tradisi Gelugpa, dan merupakan pemegang aliran dari praktek-praktek yang berhubungan dengan hal ini. Karena itu, beliau sangat berkualifikasi untuk berkomentar mengenai laporan seperti ini dari Barat, dan tanggapan beliau tidak hanya otentik tetapi juga didukung oleh banyak pengalaman praktis.
Ada banyak orang dari Barat yang meyakini bahwa Bardo (atau “kondisi diantara kematian dan kelahiran kembali”) mengikuti pola tetap yang diterangkan dalam “Buku Kematian dari Tibet.” Seperti yang ditunjukan Rinpoche dalam ajaran ini, hal ini sangatlah jauh dari kenyataannya, karena buku ini hanya membahas tentang contoh dari manusia yang meninggal karena penyakit dan usia tua. Juga meliputi ajaran mengenai arwah dan perantara, yang akan menjadi menarik bagi banyak orang.

Artikel ini meliputi berbagai subyek dalam tempat kecil. [Ajaran] ini juga meliputi ajaran agama Buddha Mahayana yang penting seperti tiga tipe motivasi untuk mengikuti ajaran ini. Ada banyak aspek lain dari Jalan Menuju Pencerahan yang diliput secara implisit dalam ajaran ini yang bila ditelaah lebih lanjut akan membawa pembaca lebih dekat dengan tujuan semua makhluk hidup, Pencerahan Sepenuhnya.
Karena itu, ajaran ini tidak hanya akan menjawab banyak pertanyaan yang dapat dimiliki seseorang mengenai kematian dari sudut pandang Tibet atau agama Buddha, tetapi juga akan, bagi pembaca yang pandai, menunjukan jalan untuk mengarahkan hidupnya untuk memberi manfaat bagi makhluk lain.

Biografi pendek Kyabje Zong Rinpoche
Venerable Kyabje Zong Rinpoche Losang Tsundu Thupten Gyaltsen dilahirkan pada tahun 1905 di desa Songo, di distrik Nang-Sang, Do-To Kham, Tibet Timur, dalam keluarga Nyen Nang-pa, dekat tempat dimana dua reinkarnasi sebelumnya lahir, seperti Tenpa Thuntsok dan Phuntsok Chopel. Ayahnya bernama Jampa dan ibunya bernama Sonam Yangzom.

Dekat rumah kelahirannya berdiri pohon buah yang sedang berbuah ketika reinkarnasi Rinpoche masih hidup, tetapi tidak akan berbuah ketika reinkarnasinya tidak di bumi.
Sejak lahir, Rinpoche menunjukan banyak tanda-tanda yang luar biasa. Tidak seperti anak-anak lainnya, usahanya dalam belajar, menulis dan menghafal hanya membutuhkan usaha yang sangat sedikit, dan beliau mengerti teks bersamaan pada saat membacanya. Karena itu, beliau mempelajari banyak teks di biara Nang Sang, dekat tempat kelahirannya.

Pada tahun 1916, beliau meninggalkan tempat kelahirannya untuk pindah ke Lhasa, Tibet Tengah. Perjalanan ini memakan waktu sekitar tiga bulan. Di sini, beliau memasuki biara Ganden Shartse, salah satu dari tiga universitas Monastik terbesar di Lhasa. Di bawah bimbingan guru-guru Tibet yang terbaik, beliau belajar mengenai Tsema (alasan), Parchin (Kebijaksanaan yang Sempurna), Uma (kekosongan), Dzo (Metafisik), dan Dulwa (Disiplin). Karena itu melalui menghafal, membaca, dan debat, beliau menjadi sangat terkenal.
Pada tahun 1928, Rinpoche menghadap His Holiness Dalai Lama ke-13 untuk menghadapi ujian, dan pada tahun 1929, beliau dianugerahi gelar Lharampa Geshe, tanda bahwa beliau sangat ahli dalam hal spiritual dan metode Sutrayana.

Sejak saat itu, Rinpoche memasuki biara Tantra atas yang luar biasa dimana beliau mempelajari seluruh bidang Tantra. Dalam hal ini, beliau menjadi guru yang sempurna dalam ajaran Sutra dan Tantra.
Pada tahun 1937, atas permintaan dan nasehat dari Radrang Rinpoche, Rinpoche menerima jabatan Kepala Biara dari universitas Ganden Shartse, posisi yang dipegangnya sampai tahun 1947. Pada masa jabatannya, beliau membangun panggung debat baru, merekonstruksi tempat tinggal biksu yang lama dan menjaga kedisiplinan monastik dengan sempurna. Pada tahun 1947, dalam acara Sangphu Yarchö (acara doa) beliau memberikan persembahan kepada 10,000 biksu.

Dari tahun 1947 sampai tahun 1950, beliau pergi ke Phagri, tempat biara bernama Richung Poto berada. Di sana, beliau memberi manfaat bagi banyak makhluk hidup melalui ajarannya yang luar biasa. Pada tahun 1950, beliau mengunjungi Tsari di Tibet Selatan. Pada saat itu, banyak tanda-tanda suci yang nampak. Setelah itu, beliau kembali ke Lhasa. Pada tahun 1951, beliau mengunjungi Do-To Kham Cha Tring dan tempat kelahirannya Nang Sang dan beberapa tempat lainnya, dimana beliau memenuhi harapan semua orang dengan memberi ajaran Lam Rim (Tahapan Menuju Pencerahan), Lo Jong (transformasi pikiran), dan memberikan inisiasi Tantra dan menolong lebih jauh dengan cara melakukan ritual untuk mengeliminasi masalah mental dan fisik mereka.

Setelah itu, Rinpoche kembali ke Lhasa dimana Tiongkok merah sangat aktif dalam menekan kebudayaan Tibet di daerah itu. Hal ini meningkat dan akhirnya sampai pada puncaknya pada tahun 1959 ketika pemerintah Tiongkok menyerang dan menggulingkan pemerintah Tibet. Rinpoche pergi bersama warga Tibet lainnya ke India, dimana beliau tinggal sebagai pengungsi sejak saat itu.
Di India, pada awalnya Rinpoche tinggal di Buxa bersama biksu lainnya yang mengungsikan diri dari tiga biara besar, Ganden, Sera, dan Drepung. Di sana beliau memberi ajaran, transmisi oral, inisiasi, dan lainnya.
Pada tahun 1965, berdasarkan permintaan dari His Holiness, Dalai Lama ke-14, beliau ditunjuk sebagai guru dari kelompok intelektual yang berjumlah besar dan mewakili empat sekte agama Buddha di Tibet, yang berkumpul di Musoorie untuk memikirkan tentang kelanggengan dari pola kebudayaan Tibet di antara pengungsi Tibet di India. Pada tahun 1967, Rinpoche menjadi kepala Central Institute of High Tibetan Studies yang pertama di universitas Sanskrit Varanasi.
Pada tahun 1970, Rinpoche mengundurkan diri dari jabatannya untuk pindah ke Mundgod di India Selatan. Dari sini, Rinpoche melakukan perjalanan mengunjungi berbagai tempat pengungsi Tibet dan memberi manfaat bagi banyak makhluk melalui ajarannya dan inisiasi.
Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Losang Norbu Tsonawa
Catatan kaki:
Berikut adalah ajaran dari Kyabje Zong Rinpoche yang diterjemahkan oleh Achok Rinpoche berkoordinasi dengan Michael Richards dan banyak lagi. Karena panjangnya ajaran ini, kami akan mencetak bagian kedua di Dreloma selanjutnya.

KELAHIRAN, KEMATIAN, DAN BARDO
OLEH KYABJE ZONG RINPOCHE

Kelahiran, kematian, dan Bardo: apakah arti dari ketiga hal ini? Bagaimana orang meninggal? Kalian telah menanyakan pada saya mengenai hal ini dan tentu saja saya harus memberikan jawaban yang berarti. Kita harus mengerti mengenai apa yang kita maksud dengan kelahiran, kematian dan Bardo pada umumnya. Kita harus mengetahui bagaimana cara memasuki Bardo. Kita meninggal, pergi ke Bardo, lahir kembali, lagi mati, pergi lagi ke Bardo. Ketiga hal ini adalah lingkaran tanpa akhir, tanpa akhir sama sekali. Menumbuhkan rasa tidak suka pada Samsara adalah sangat berguna, dan merupakan hal yang sangat baik untuk mengetahui hal ini.
Walaupun ini adalah kenyataannya, kalian tumbuh dengan pertanyaan hari ini mengenai manusia yang kembali lagi ke tubuh yang sama setelah kematian. Orang-orang ini mengatakan bahwa mereka melihat cahaya putih tetapi kita tidak bisa benar-benar mengatakan dengan pasti apakah hal ini ada atau tidak.
Biasanya, ketika orang meninggal karena suatu penyakit atau sebab lain, dan kesadaran akan meninggalkan tubuh, ada perasaan ditekan oleh gumpalan tanah yang besar dan perasaan sesak napas. Mereka meminta perawat untuk membantu mereka berdiri dengan berkata “berikan tanganmu.” Ini adalah tanda hilangnya energi vital seseorang. Setelah beberapa waktu, mereka tidak bisa mengeluarkan suara. Semua elemen air mulai kering: bibir mengering, hidung seperti dicubit. Setelah itu, mereka tidak bisa mendengar dengan baik. Kemampuan indera melemah.
Ketika seseorang merasa ditekan kebawah, mereka hanya memiliki pengalaman mental, seperti melihat halusinasi bahkan sampai dengan air mengalir. Hal ini hanyalah hal-hal yang belum pernah dilihat oleh pikiran.
Setelah itu indera orang yang sedang dalam proses meninggal merasakan sesuatu yang seperti asap biru yang juga dialami oleh pikiran. Di sekitar asap ada api seperti sedotan yang dilempar ke kegelapan. Hal-hal ini hilang perlahan-lahan. Lampu yang seperti api masih terlihat, dan setelah sesuatu yang putih seperti cahaya dari sinar rembulan. Dari hal ini ada cahaya yang berwarna merah atau krimson, seperti matahari terbit.
Tiba-tiba semua menjadi gelap. Ia menjadi tidak sadar; tanpa ingatan yang tertinggal. Kondisi tidak sadar ini menyelesaikan dan pikiran halus mengkristal dan menjadi jernih. Semua hal menjadi tidak substansial terhadap pikiran ini, seperti warna langit yang cerah sebelum musim gugur. Pada periode yang tidak substansial ini, kesadaran dari seseorang tinggal dalam tubuh selama dua hari di kondisi ini, sementara makhluk yang sadar bisa tinggal selama 21 hari bila mereka menginginkannya.



Kondisi Bardo tercipta setelah kesadaran, yang telah menemani kita sejak jaman dahulu, meninggalkan tubuh. Manusia itu sudah meninggal.

Sekarang, ada beberapa alasan untuk penampakan di atas – visi berasap dan api membara, lampu yang tenang, cahaya berwarna putih dan merah, dan suasana subuh. Mengapa kita melihat mereka karena pusat dan saluran energi yang kita miliki dalam tubuh. Bagaimana cara energi mengalir melalui hal-hal ini? Akan mengambil terlalu banyak tempat.

Sekarang kita akan membicarakan mengenai ada apa setelah kematian ketika kesadaran meninggalkan tubuh. Bila akan dilahirkan kembali sebagai manusia, maka Bardopa (kesadaran dalam kondisi Bardo) memiliki tubuh manusia. Bila akan dilahirkan sebagai deva (atau dewa), maka ia akan memiliki bentuk deva; bila sebagai hewan, maka dalam bentuk hewan. Tubuh Bardo ini mempunyai indera yang normal dan kekuatan untuk mengerti dan pergi kemanapun kesadaran ingin pergi tanpa tersandung, dan sampai pada tempat yang dia inginkan secara instan. Ketika dia pulang ke rumah dan berbicara kepada keluarga, dia melakukan semua yang biasa dia lakukan. Kita, yang masih hidup, tetap diam karena kita tidak bisa melihat dia. Dia berpikir kita tidak menghiraukannya jadi dia merasa sedih. Ketika dia berjalan di tempat yang berlumpur, kakinya tetap bersih tanpa kotoran, dan tidak ada jejak kaki di lumpur. Tubuhnya tidak terlihat. Dia tidak mendiskriminasikan antara sinar matahari dan sinar rembulan karena tubuh ini tidak mempunyai dua pikiran Boddhi, yang berwarna putih dan merah. Tubuhnya hanyalah tubuh pikiran.

Dalam proses konsepsi di rahim ibu, semua tiba-tiba menjadi gelap. Dia merasakan panas dan dingin karena dia sekarang memiliki indera perasa. Tiga delusi mengenai keberadaan, yang bernama keterikatan, kebencian, dan kebodohan, bisa mengaktivasi ingatan dalam pikirannya. Ketika berada di rahim ibu, dalam kasus manusia, dia tidak bisa melihat dan mendengar. Tubuhnya bertumbuh dengan perlahan dibawah pengaruh faktor angin. Ada kesakitan dan penderitaan. Ada dingin dan panas. Bila sang ibu merasa lapar, dia akan merasa tergantung di angin. Bila sang ibu makan banyak, maka dia akan merasa tertekan. Bila sang ibu melompat, dia akan merasa seperti jatuh dari tebing. Bila sang ibu meminum banyak cairan panas dan dingin, maka dia akan merasa panas dan dingin.

Ketika sembilan bulan berakhir, dan bila menjadi anak laki-laki, kepalanya akan berada di sisi kanan rahim dan menghadap bagian belakang ibu. Bila kesadaran ini menjadi anak perempuan, maka kepalanya ada di sisi kiri, dan menghadap bagian belakang. Sebabnya adalah bagaimana Bardopa memasuki rahim.
Kadang terjadi, sang ibu melahirkan anak kembar dengan yang satu duduk lebih tinggi dalam rahim dibanding yang lain, yang lebih bawah keluar lebih dulu, yang lebih tinggi belakangan. Pada saat konsepsi, akan tetapi, yang lebih tinggi dikonsepsi sebelum yang lebih rendah, dan juga ada perbedaan ukuran sedikit diantara keduanya.
Pada saat akan lahir, dia terbalik dalam rahim selama tujuh hari. Sekarang ini adalah penderitaan yang amat sangat. Pada saat keluar, dia merasakan rasa sakit yang amat sangat. Pada saat keluar, akhirnya dia bisa melihat, mendengar, merasa, dan mencium. Pada saat berada di dalam rahim, dia tidak bisa makan makanan dari mulut tetapi makanannya diberikan melalui saluran umbilikal yang terikat pada plasenta. Jadi ini adalah bagaimana proses kelahiran terjadi.

Ada yang mengatakan bahwa orang kembali ke tubuh yang telah meninggal akan melihat beberapa cahaya ini. Bila kalian membaca mengenai Bardo Töthul (atau Buku Kematian dari Tibet) dalam satu volume, kalian akan mengetahui mengenai bagaimana Bardo dibentuk. Terkadang, seseorang bisa menemukan komentar yang berlebihan yang membangkitkan kecurigaan, walapun sisanya cukup konsisten.

Bardopa yang akan dilahirkan kembali sebagai deva atau manusia dalam kelahiran bahagia mempunyai tubuh berwarna krimson. Mereka melihat jalur putih di depan mereka seperti ketika seseorang menggelar kain putih. Bardopa lain yang sebagai contoh berwarna hitam dan melalui jalan yang gelap dengan beberapa menuju ke atas, beberapa merangkak, dan beberapa terbalik dan juga ada perbedaan mengenai cara berjalan Bardopa.
Setelah kondisi Bardo beberapa Bardopa kembali ke tubuh yang telah mati dan mereka disebut “daelog” dalam bahasa Tibet. Kita mempunyai beberapa daelog ini di Kham atau Tibet bagian timur. Setelah kesadaran ada dalam bentuk daelog, dia bisa datang dan pergi sesukanya. Hal ini terjadi berkali-kali dan karena Bardopa bisa pergi ke mana saja dengan cepat mereka mempunyai banyak cerita yang ingin mereka sampaikan ketika mereka kembali. Bila tubuhnya tidak dikeluarkan dari ruangan dalam waktu tujuh hari, ada kemungkinan dia akan kembali.

Tetapi lebih dari itu, bila kita bermeditasi mengenai latihan yang dikenal dengan Powa Drung Jug, kita akan dapat meninggalkan tubuh kita dan memasuki mayat lain. Seperti yang disebutkan dalam biografi Gyalsae Drindon Dawa ketika beliau memasuki mayat burung merpati dan pergi menyeberangi sungai.
Jetzun Tara Natha memasuki tubuh anak yang meninggal dan tinggal di sana selama tiga hari sembari memberikan manfaat bagi banyak murid dengan memberikan ajaran dan memenuhi maksud sebenarnya dari banyak makhluk hidup dengan memimpin mereka menuju jalan kebebasan. Selama tiga tahun beliau menyimpan tubuhnya yang tidak membusuk di tempat yang aman. Tubuh anak yang diberkati dikembalikan setelah beliau kembali ke tubuhnya sendiri. Beliau melakukan hal ini tidak kurang dari enam kali. Bila seseorang telah mencapai Powa Drung Jug, maka hal ini memungkinkan.

Makhluk biasa bisa memasuki kembali tubuhnya yang telah mati, tetapi mereka tidak bisa menghindari pembusukan, dan hanya bisa masuk bila tubuh mereka aman dan utuh. Sebagai contoh, bila kepalanya dipenggal maka Bardopa tidak bisa memasuki tubuhnya. Ada juga beberapa kasus dimana Bardopa tidak bisa memasuki tubuh yang utuh karena karma yang menghubungkannya dengan tubuh tersebut sudah habis. Dia bahkan tidak akan ingin datang mendekatinya karena dia akan menganggapnya menjijikan, kotor, dan penuh dengan noda busuk. Hal ini sangat jarang. Tidak ada dokter yang bisa membawa dia kembali baik dengan obat maupun ritual. Karena itu, didorong kekuatan karma mereka, akan, mungkin satu atau dua orang bisa kembali ke tubuh mereka.

[Penjelasan] di atas adalah mengenai bagaimana kondisi Bardo diciptakan secara umum.
Bila seseorang mengalami kematian yang ganas seperti ditembak, dipenggal, atau ditenggelamkan, maka dia tidak akan mengalami asap yang menggambarkan situasi dengan api membara dan lainnya karena kematian seperti ini menghentikan kemampuannya untuk mengenal fenomena ini dan sebelum Bardo, tanda-tanda kematian lainnya tidak nampak secara jelas. Tanda-tanda ini hanya nampak bagi mereka yang meninggal karena sakit.

Bila seseorang mempunyai karma buruk yang sangat banyak untuk terlahir kembali di alam neraka, maka orang itu akan disiksa oleh penyakit terakhir. Orang itu tidak bisa berdoa kepada Tiga Permata Pelindung (i.e., Buddha, Dharma, dan Sangha) dan tidak bisa mengingat doa hariannya. Ini adalah kerugian dari orang yang mempunyai kebajikan sedikit. Pada saat seperti ini, orang itu harus mencoba tetap tenang. Akan tetapi, orang yang hanya mempunyai sedikit kebajikan melihat, sesaat sebelum jatuh ke neraka, api yang diaktivasi oleh karmanya sendiri. Hal ini menciptakan ketakutan yang luar biasa pada dirinya.
Satu ketika, pada saat jaman Khardampa, seorang murid dari Geshe Niu Zurpa membuat pernyataan buruk mengenai gurunya karena keyakinannya yang lemah, dan karena itu, hubungan guru dan murid terputus. Murid ini menolak untuk mendekati gurunya, walaupun gurunya mencoba untuk bertemu murid ini dengan memberikan banyak hadiah dan memanggilnya kembali. Ketika kematian mendekat, murid ini bisa melihat gurunya tinggal di seberang sungai.

Dia menangis kesakitan: “Saya bisa melihat api di tepi sungai dan setiap saya melihatnya, saya merasa resah. Sekarang apinya semakin mendekat dan membesar. Dan [api] ini datang kepada saya. Apinya tepat berada di samping saya!” Lalu dia berhenti bernapas. Api yang dilihatnya adalah api neraka.
Contoh lain dari seseorang yang hanya mempunyai sedikit kebajikan adalah tukang daging di Golog yang membunuh sapi setiap saat. Sebelum dia meninggal, dia melihat halusinasi sapi dan apa yang bisa dia katakan dengan keras adalah “Baa, baa.”

Mereka yang mempunyai karma baik bahagia ketika mereka meninggal. Mereka tidak disiksa oleh penyakit karena sakitnya hanya sedikit. Mereka dapat berdoa kepada Tiga Permata dan Guru atau Lama mereka. Seseorang yang meninggal dengan cara ini akan mengalami kelahiran kembali yang bahagia.
Raja Bimbisara, petua, yang membangun dan mempersembahkan taman Aramikagama kepada Buddha, mendengar musik dewa dan lahir kembali di alam dewata. Ketika beliau akan meninggal, beliau hanya mendengar musik yang tidak tertandingi, walaupun pembantunya memainkan jenis instrumen yang lain, karena sebelum musik dari pemusik beliau bisa mencapai telinganya, musik dewa menenggelamkannya. Beliau lahir kembali di alam dewa Chandvara Maharajikas.

Ketika masih muda, Raja Bimbisara dipenjara dan dibuat kelaparan oleh anaknya sendiri, Ajatasatru. Ketika sang Raja akan meninggal, beliau bisa melihat Buddha yang berjalan bersama muridnya, dan dari kota Drawasti, melalui jendela penjaranya. Yang bisa dilakukannya hanya menumbuhkan keyakinan terhadap Buddha karena beliau tidak berdaya. Sang peniru, Ajatasatru, bertanya kepada sang Raja untuk mencari tahu apa yang direncanakannya. Penjaga penjara menjawab bahwa sang Raja sedang melihat melalui jendelanya. Jadi jendela tersebut ditutupi dengan bata. Dengan tidak adanya jendela untuk melihat keluar, sang Raja merasa kesepian dan mendekati kematian.

Sang Buddha meminta Mahakasshyepa untuk memikirkan Raja Bimbisara. Mahakasshyepa langsung sampai di penjara dan beliau menyampaikan pesan dari Sang Buddha.
“Sang Buddha berkata bahwa kumpulan karmamu yang menyebabkan hal ini terjadi padamu. Dan hal ini harus dialami. Kamu harus berdamai dengan karmamu.”
Melalui ajaran kecil ini, Raja menyadari bahwa dia menderita karena karmanya. Dia meninggal dengan keyakinan yang kuat pada sang Buddha dan dapat mendengar musik Chadvara Maharajikas. Beliau dilahirkan kembali sebagai deva Kubera; dan hari ini beliau adalah anak dari deva dan salah satu diantara Dewa kekayaan. Ketika kita melakukan doa seperti Kangso, kita mengatakan pada Bimbisara yang Muda. Kematian yang bahagia seperti ini sebetulnya banyak. Di sisi lain, kumpulan dari karma hitam, ada banyak yang langsung turun ke neraka.

Di jaman kuno, Raja Bideha membunuh sebanyak 60,000 shakyas, dengan cara pura-pura memanggil mereka secara bersamaan. Dia mengirimkan salah satu orangnya untuk mendengarkan gosip umum, karena takut bahwa sang Buddha akan merasa marah atau mengutuknya (karena sang Buddha adalah Pangeran Shakyas), pria ini mendengar Buddha berkata bahwa karena membunuh 60,000 shakyas, sang Raja akan meninggal dalam tujuh hari dibakar oleh api neraka.

Ketika pembantunya memberi pesan ini, sang Raja berkata, “Kita tidak akan apa-apa karena kita akan pergi ke tempat yang tidak ada api. Lalu, kita akan membuktikan bahwa dia pembohong.” Hal ini membuktikan bahwa dia tidak mempunyai keyakinan akan kemampuan Buddha untuk melihat masa depan.
Beliau membuat gerbong besar dan tinggal di dalamnya bersama dengan Ratunya. Enam hari berlalu. Tetapi sang Ratu mempunyai beberapa batu berharga di mahkotanya dan salah satunya adalah batu berharga api. Pada siang hari di hari ketujuh, sinar matahari membuatnya memercikan api. Api ini membesar dan pasangan kerajaan ini mencoba kabur, tetapi api mengikuti semua gerakan mereka. Tidak ada tempat untuk kabur. Yang bisa mereka teriakan hanyalah “Tshiko, tshiko – kebakaran, kebakaran!” Ketika Raja, Ratu, dan gerbongnya terbakar, mereka bahkan tidak bisa meneriakannya karena mereka jatuh ke neraka dengan tubuh manusianya. Tentu saja mereka akan mendapatkan tubuh makhluk neraka setelah sampai. Hal-hal seperti ini benar-benar terjadi.

Sebelum Guru kita mendapat Pencerahan, Beliau dilahirkan sebagai Bodhisattva Monyet. Seorang pria, tidak diragukan lagi, pemburu menemukan dirinya tersesat di hutan. Dia kelaparan. Dia menemukan beberapa buah pada suatu cabang pohon. Ketika dia mencoba mencapainya, dia jatuh ke kolam yang dalam yang dikelilingi oleh batu karang. Beliau berenang ke atas dan mencari jalan keluar. Selama beberapa waktu, dia hidup dari buah-buahan sementara berteriak meminta pertolongan. Beliau didengar oleh seekor monyet. Monyet ini adalah Buddha Shakyamuni dalam kehidupan terdahulu yang masih dalam jalan Bodhisattva. Boddhisattva monyet mencari sumber teriakan: Pasti ini adalah orang dan karena itu, sang Monyet menampakan diri di tepi dan bertanya mengenai apa yang terjadi pada orang itu.
“Saya jatuh kedalamnya. Tidak ada jalan keluar dan saya akan meninggal.”
“Jangan takut, saya akan melakukan sebisa saya.”
Sang Monyet membawakan buah untuk orang itu dan akan membawa batu pada saat kembali, dan terus melakukan hal ini sampai dia membawa batu seberat orang itu. Pada saat itu, dia berkata, “Jangan takut, karena sekarang saya bisa mengangkatmu.” Sementara orang itu sudah bertambah ringan karena hanya hidup dari buah-buahan, sang Monyet telah bertambah kuat. Pada satu hari, dia mengangkat orang itu dan menyelamatkannya.

Sang Monyet berkata setelah sampai di hutan, “betapa baiknya bahwa kau sudah selamat dari bahaya. Maksud dari saya mengalami penderitaan sudah terpenuhi. Bahkan saya mengalami banyak kesulitan pada saat membawa batu-batu itu. Sekarang saya bisa tidur dengan bahagia. Kau akan menjaga [saya] dari musuh.” Dia tidur di pangkuan orang itu.
Satu pikiran datang ke kepala orang itu sementara sang Monyet tidur dengan lelap. Dia memperhatikan tubuhnya dan melihat tidak banyak daging yang tersisa di tubuhnya. “Tanpa makanan,” dia berpikir, “saya tidak bisa sampai di kota. Untuk melakukan hal itu, saya harus membunuh dan memakan sang Monyet.”
Perlahan-lahan, dia mengangkat kepala sang Monyet dari pangkuannya dan mengangkat batu dan berusaha untuk memukul kepala monyet itu, kepala Penyelamatnya. Akan tetapi, orang itu sangat lemah dan dia tidak bisa mengarahkan batunya dengan tepat, karena dia bergetar. Jadi dia memukul sang Monyet dari samping. Sang Monyet terbangun dan melihatnya, dan bertanya mengenai apa yang terjadi. Orang itu merasa malu, dan berdiri diam seperti patung. Sang Monyet melihat batu besar di dekat dirinya dan menebak apa yang telah terjadi. Orang itu mencoba untuk memukul kepalanya.

“Sekarang ikut bersama saya. Saya akan menemanimu kembali,” Dia berkata.
Dia membawa orang itu ke jalan dimana dia bisa melihat desa. Sang Monyet berkata, “Hari ini kau sudah melakukan tindakan jahat – karma buruk dari tidak tahu terima kasih. Kau harus membersihkannya.”
Dengan nasihat ini, dia mengantarnya ke desa. Ketika orang itu sudah cukup jauh dari sang Monyet, dia tidak bisa melihatnya, orang itu jatuh ke parit. Dia sangat menderita dari luka-luka yang menutupi tubuhnya dan merasa sangat gatal.
Raja pada saat itu, ketika sedang berburu, mendengar seseorang berteriak kesakitan. Sang Raja bisa melihat orang itu, tetapi, dia tidak bisa membedakan apakah itu orang atau hewan. Sang Raja bertanya siapa orang itu. Orang itu bercerita mengenai kisahnya dan berkata, “Karena saya adalah orang yang telah berbuat jahat, saya menderita akibat dari karma buruk saya. Karena itulah saya sangat menderita.”
Saat itu juga, orang itu jatuh diantara bumi yang terbelah tepat dibawahnya dan dia jatuh langsung ke alam neraka. Ada beberapa orang yang meninggal seperti ini.
Bahkan bila kita melaksanakan sedikit Dharma, kita akan merasakan manfaat yang sangat besar. Ketika Sang Buddha tinggal di Sravasti, dia tidak pergi ke negara Raja Saekhya, untuk memberinya nama Tibet, Damchen. Ceritanya panjang walaupun sangat menarik. Pada awalnya, sang menteri adalah petani yang sering pergi ke istana raja. Sang raja ahli dalam memeriksa karakter manusia. Setelah si petani pulang ke rumah, sang raja berkata, “ini adalah seseorang yang mempunyai banyak emas. Saya dapat mengetahui hal ini dari nada suaranya.”

Menteri yang lain menyela, “Bila dia memiliki banyak emas, mengapa dia datang dengan berjalan kaki? Dia tidak mempunyai rumah atau anak. Dia pergi ke sawahnya dan bekerja di sana. Kami tidak berpikir bahwa dia mempunyai banyak emas!”
Akan tetapi, sang raja berkata, “Sama saja, dia punya.”
Jadi petani ini dipanggil dan ditanya apakah dia memiliki banyak emas.
Sekali lagi, dia ditanya, “Bila kamu memiliki banyak emas, mengapa kamu bekerja di sawah? Kamu bisa datang ke sini dengan kuda atau dengan gajah ketika kamu berpergian.
“Semua petani,”dia menjawab, “berjalan kaki dan bekerja keras. Saya tidak merasa tepat bila saya berkuda atau mengendarai gajah.”
Jawaban ini sangat menyenangkan bagi sang raja, dan sang raja mempercayainya. Sang raja bahkan meminta dia menjadi salah satu menterinya.
Ada cerita yang panjang sebagai lanjutan cerita Damchen, walaupun saya tidak bisa menceritakan seluruhnya di sini.
Menteri Damchen menasihati sang raja untuk berbuat amal, dengan berkata “tidak berguna bila kamu tidak berbuat amal pada saat memiliki kekayaan.” Sang raja memberikan sebagian besar kekayaannya kepada pengemis di jalan selama sekitar sebulan. Bahkan mereka yang hanya tinggal di sana selama satu bulan juga diberi makanan. Jadi banyak orang yang datang ke sana dari Selatan.
Salah satu kelompok mempunyai 500 perantau. Mereka semua Tirthikas atau bukan beragama Buddha. Dengan berjalan dari Selatan, mereka merasa haus, karena mereka tidak mendapatkan air selama perjalanan. Mereka hampir mati. Dan dalam depresi, mereka pergi ke pohon terdekat, jenis pohon yang mengabulkan permintaan seseorang dan berteriak agar semua orang mendengar, “Oh pemilik pohon ini! Apakah engkau deva, naga, arwah atau bukan manusia, tolong berikan kami air. Kami bisa mati kehausan!”
Dari atas pohon datanglah tempayan yang dipenuhi air, dan dituang ke dalam tempat yang sangat bagus. Para Tirthikas meminum airnya dan menghilangkan rasa hausnya. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan.
Tetapi mereka belum pergi terlalu jauh ketika salah seorang dari mereka berkata, “Siapakah itu? Siapa yang memberikan kita air? Kita lupa bertanya!” Jadi, mereka kembali dan bertanya, “Siapakah engkau? Kau telah sangat baik dan menyelamatkan hidup kami. Apakah engkau adalah deva, naga atau arwah?”
Makhluk di atas pohon menjawab, “Saya adalah seorang deva. Nama saya Tangan Indah. Ini adalah sebab mengapa saya adalah seorang deva. Di kehidupan saya yang terdahulu, saya tinggal di Sravasti. Saya sangat miskin dan tidak mempunyai apa-apa untuk diberikan. Bangsawan Anathapindika pada saat itu memberikan sebagian besar kekayaannya. Hal ini membuatnya populer dan banyak orang yang datang kepadanya setelah mendengar tentang beliau. Jadi keluarga saya sedang menuju rumahnya. Saya akan duduk di pinggir jalan dan menunjukan orang-orang jalan menuju rumahnya. Saya berkata, “ke arah sini, ke arah sini!” Karena saya menunjukan jalan pada orang-orang ini dengan motivasi yang baik, saya mendapatkan pahala dengan terlahir kembali di alam deva. Saya mempunyai tangan terbaik diantara semua deva, dan ini adalah asal muasal nama saya.”

Para Tirthikas melanjutkan perjalanan, tetapi pada tempat berikutnya mereka tidak bisa menemukan makanan dan hampir mati kelaparan. Mereka menemukan pohon lain dan berteriak, “Berikan kami makanan!”
Dari atas pohon terdengar suara. “Pergilah sedikit lebih jauh ke arah tembok. Kalian akan menemukan suatu wadah penuh dengan makanan yang terkubur di bawah batu. Ini akan cukup untuk semua.”
Mereka pergi dan menggeser batunya dan menemukan wadah tersebut dan makan dengan lahap. Mereka mengisi wadah mereka sendiri dengan sisa makanan tersebut. Dan lagi, mereka bertanya siapa yang telah menyelamatkan hidup mereka.
“Saya adalah seorang deva,” adalah jawabannya. “Di kehidupan saya yang terdahulu di Sravasti saya mengambil Sumpah Mahayana satu hari dalam lima bagian dari Anathapindika. Sebetulnya saya adalah pada saat itu seorang Tirthika yang menolak ajaran Buddha. Saya pulang malam itu dan ketika sampai, istri saya menawarkan makanan. Saya mengatakan padanya bahwa untuk hari ini, saya tidak akan makan, karena saya sudah mengambil sumpah.”
“Istri saya meledek saya dengan berkata, ‘ayahmu adalah seorang pemakan daging. Apa yang membuatmu mengambil sumpah ini? Hal ini terlalu banyak untuk saya terima, seseorang yang tidak beragama Buddha dan mengikuti Dharma Gautama! Saya tidak akan marah lagi kepadamu bila kamu makan. Bila tidak, saya akan menyebarkannya kepada orang yang tidak beragama Buddha lainnya, dan mereka akan memberimu kesulitan!”

Jadi, dia tidak memenuhi sumpahnya, walaupun itu bukan salahnya. Dia dilahirkan di alam deva dimana matahari dan bulan dapat ditemukan. Bila ia memenuhi sumpahnya, dia mungkin dilahirkan di alam dewa tertinggi, kuadran ke-33. Karena melalui makan makanan pada malam itu, dia tidak dilahirkan setinggi itu.
Para Tirthikas berdiskusi di antara diri mereka dan sampai pada, dengan banyak kesulitan, suatu kesimpulan yang pada saat melaksanakan ajaran agama mereka, mereka tidak mempunyai hal apapun dalam hidup mereka, sementara mereka melaksanakan Dharma Buddha, bahkan bila hanya berupa sumpah sehari dan tidak melaksanakan sepenuhnya, tetapi dilahirkan di alam dewa. Terkagum akan hal ini, mereka mau melihat apakah mereka bisa mengambil sumpah ini atau tidak. Mereka berdiskusi mengenai hal ini sebari menuju ke Selatan.

Pada akhirnya mereka sampai pada tempat dimana sang Raja dan menterinya memberikan barang-barang yang dimilikinya. Sementara mereka beristirahat, mereka ditanya mengenai kabar mengenai huru-hara di tempat yang jauh. Mereka menyampaikan cerita mereka dan berkata bahwa mereka ingin pergi ke Sravasti untuk bertemu Anathapindika, dan mereka ingin mengambil sumpah darinya. Beberapa orang menyarankan mereka untuk menunggu sekitar dua-tiga bulan sampai musim gugur, lalu pergi ke sana. Mereka melakukan hal ini dan ketika mereka sampai ke Sravasti, mereka bertemu dengan Anathapindika, menyampaikan cerita mereka dan meminta sumpah sehari.
Anathapindika bertanya pada mereka, “kalian mau mengambil sumpah ini dari saya atau dari Guru yang memberikannya pada saya?” Mereka menjawab bahwa mereka ingin tahu mana yang lebih baik. Beliau membawanya ke Buddha. Mereka semua, 500 orang, mengambil sumpah itu dan juga mengambil sumpah Refuge. Mereka diajarkan mengenai Sunyata, walaupun mereka adalah Tirthikas, dan menjadi Arya karena mereka melihat sifat sebenarnya dari keberadaan semua hal. Mereka juga mencapai tempat, Nirvana, yang diperuntukan bagi mereka yang telah melebihi lingkaran keberadaan (cyclic existence).
Bahkan bila seseorang tidak menjalankan sumpah sepenuhnya, mereka dilahirkan kembali di alam deva. Orang itu akan meninggal dengan damai bila mereka mengumpulkan karma baik yang cukup. Bila orang-orang ini mengumpulkan [karma baik] dan bisa berdoa pada saat kematian, maka orang itu akan meninggal tanpa siksaan penyakit. Bila orang itu mempunyai keyakinan yang cukup pada saat kematian untuk mengingat Guru-nya dan Tiga Permata, walaupun orang itu hanya mempunyai karma baik yang sedikit, orang itu tidak akan lahir di alam bawah. Pertama-tama, orang itu akan mendapatkan kelahiran kembali yang bahagia karena kekuatan ingatan. Karena itu ketika kita membicarakan tentang Bardo, hal yang paling penting adalah ingat untuk melakukan hal yang bermanfaat pada saat kematian. Membicarakan tentang orang yang melihat sinar putih dan hitam ketika mereka meninggal atau orang yang bangkit dari kematian hanyalah pembicaraan yang membuang waktu; ini bukanlah hal yang bermanfaat. Walaupun hanya gossip, mungkin saja benar bahwa beberapa orang benar melihat cahaya putih dan kembali dari kondisi Bardo.
Keraguan kalian yang utama adalah mengenai cara proses Bardo bekerja dan bagaimana seseorang bisa kembali dengan cara tersebut. Pada sisi lain, ada banyak kasus dimana makhluk yang bukan manusia memasuki tubuh setelah seseorang meninggal.

Ada beberapa orang yang meninggal dan mereka tetap tidak sadar selama bertahun-tahun, hanya untuk bangun kembali di Neraka Berkali Sembuh. Sifat dari neraka ini adalah, makhluk tersebut meninggal dan mereka dibangkitkan seratus kali sehari. Kesadaran dari makhluk neraka ini tidak pergi dari tubuh tetapi tetap tidak sadar untuk beberapa waktu hanya untuk bangun kembali. Ini adalah cara makhluk ini menderita.
Dalam kasus manusia, ada beberapa daelog yang kembali ke tubuh mereka setelah meninggal, terutama di Kham, karena kita tahu bahwa kesadaran bisa meninggalkan tubuh sebelum napas berhenti dan kemudian kembali lagi.

Oracle di biara Dromo Dung Gar, di India, lebih jauh dari Sikkim, dan yang juga merupakan oracle dari Dharmapala (atau Dewa Pelindung Doktrin) Shungten, meninggalkan posisi ini dan kemudian datang ke Tibet, dan menjadi Oracle di biara Tshecholing. Di Dung Far adalah biara Bön di bukit yang dekat dengan tempat itu. Para Bönpos membunuh Oracle ini dengan sihir mereka. Berita tersebar bahwa Oracle telah meninggal dan orang-orang berkabung untuknya.
Para Bönpos senang dan meniup trompet dan memukul gendang. Mereka melakukan ritual untuk menghormati dewa mereka dan berkata “Dewa kami sudah menang!” Tetapi dewa Shungten memasuki mayat itu dan meminta orang-orang untuk menjaganya agar tetap bersih dan tidak menyentuhnya. Tubuh itu tidak disentuh atau dipindahkan selama tiga hari.
Ketika matahari terbit di atas bukit pada hari ketiga, Oracle tersebut bangkit: dia kembali. Biara Dung Gar membakar dupa, memainkan alat musik dan mengibarkan bendera doa, dan berkata bahwa akhirnya Dharmapala mereka menang.
Setelah kesembuhannya, dia tinggal selama beberapa tahun sebagai Oracle, walaupun akhirnya dia menanggalkan jubahnya dan menjadi orang awam. Jadi biara tersebut mencari biksu yang sudah diordinasi penuh untuk menjadi medium bagi dewa. Dia ke Tibet dan tinggal di Tshecholing dimana dia menerima banyak ajaran dan melaksanakan Dharma dengan sangat baik di sana.

Di Kham, ada Dewa bernama Paotrobar yang dapat memasuki tubuh seseorang. Beliau tinggal di Logdrama Gutse dan dia mempunyai reputasi sebagai pelindung Khampas yang melakukan pengorbanan hewan. Logdrama Gutse adalah bukit batu yang tinggi dan bertepi air. Dari air, kalian dapat melihat wajah dari bukit ini.

Mendaki bukit ini tidaklah mudah. Ada beberapa orang yang mendaki untuk membakar dupa dan meminta uang. Beberapa dari mereka akan membawa timbangan dan berkata dengan keras “Pinjamkan saya uang!” Setelah menerimanya, dia akan menimbang uang ini, lalu membawanya pulang dengan janji akan mengembalikannya dalam waktu satu atau dua bulan. Janji ini dilakukan sembari bersujud. Bila dia tidak mengembalikan uangnya, dia akan menderita penyakit. Lalu dia akan membakar dupa lagi saat mengembalikan uangnya. Dia harus berkata “Saya sudah membawa uangnya.” Dia kemudian menimbangnya lagi. Karena yang meminjamkan adalah dewa, seseorang bisa mengembalikan lebih sedikit dibanding uang yang dipinjam dengan sembari menimbang uang yang dikembalikan. Hal ini dilakukan dengan cara mengatakan berapa berat uang yang ditimbang. Orang tersebut tidak akan sakit atau menderita karenanya sebab sang dewa harus mempercayai apa yang dikatakan orang tersebut.
Di kota, orang akan melakukan pengorbanan dan membunuh banyak kambing. Sering terjadi orang-orang sembuh dari penyakit ketika pengorbanan ini dilakukan, dan karena sebab inilah kebiasaan ini berkembang di Kham.
Sementara pengorbanan darah diterima di negara ini, ada seorang biksu yang jatuh sakit dan hampir meninggal. Pada saat meninggal, kesadarannya mengarahkannya pergi. Dia mendengar seseorang berkata “Ikuti saya,” dan dia menemukan dirinya dibawa kepada Logdrama Gutse. Dia melihat bahwa bukit itu adalah istana yang sangat besar dengan banyak taman dan banyak bunga dan dikelilingi semak-semak yang indah. Pada saat dia mendekat, dia bisa melihat bahwa ini adalah gedung yang kompleks. Dia menemukan jalan masuk ke lantai teratas dan melihat bahwa ini adalah tepi dari tempat tinggal sang Dewa. Dia mulai mengintip dari balik tirai pintu dan kemudian dipanggil masuk.

Sang dewa berbibir sumbing dan duduk seperti seorang dewa seharusnya duduk. Setelah sang biksu dipanggil masuk, sang dewa mengabaikan rosari-nya ke udara dan menurunkannya. Sang dewa bertanya, “Siapa kamu?”
Sang biksu menjawab, ‘saya dipanggil dan karena itu saya di sini.”
Sang dewa berkata, “walaupun saya tidak memanggilmu, kamu mungkin dibawa ke sini oleh salah seorang pengikut saya. Biarkanlah, karena saya ingin kamu melakukan sesuatu. Lakukan hal ini, dan kamu tidak akan mati. Kamu akan sembuh. Dan kamu bisa kembali.”
“Saya akan melakukannya.”
“Lihatlah rosary saya,” lanjut sang dewa. “Ini diberikan oleh Padmasambhava, dan terbuat dari besi. Bila saya menyebut Vajra Guru, yang merupakan mantra dari Padmasambhava, dan menggunakan rosari ini, saya akan pergi ke alam deva Sangdong Peri. Beberapa waktu yang lalu, batunya hampir hilang karena orang lokal membunuh banyak kambing untuk dipersembahkan kepada saya, walaupun saya tidak menyukai ritual pengorbanan, saya harus menerima beban perbuatan buruk yang dilakukan atas nama saya yang telah membuat rosari ini bertambah baru. Sekarang saya merasa batunya susah dihabiskan. Karena itu, kamu harus memberikan pesan untuk tidak lagi melakukan pengorbanan dan saya sendiri tidak melakukannya. Bila mereka masih melakukan hal ini, saya akan mencelakakan mereka, bukannya menolong mereka.”
“Dan juga, kamu harus memberi tahu ini pada mereka, bila orang-orang ini mempersembahkan darah, budak-budak saya mempunyai sesuatu untuk dimakan. Karena itu, mereka sedikit menolong orang-orang ini tetapi mereka tidak bisa menolong orang-orang ini selamanya. Ini adalah pesan yang harus kamu bawa kembali.”

Biksu ini melihat bahwa dewa ini mempunyai patung Padmasambhava di samping sofanya.
“Sekarang sudah waktunya bagimu untuk kembali,” sang dewa berkata. “Kamu akan sembuh dan tidak ada celaka yang akan datang kepadamu. Tetapi kamu harus memberikan pesan ini dengan benar.”
Sang biksu kembali dan sembuh. Sementara dia dalam proses penyembuhan, dia bisa mengingat apa yang disampaikan kepadanya. Lalu, dia memberi pesan ini dengan setia dan akhirnya dapat menghapus kebiasaan buruk dari negara ini.
Jadi bisa kita lihat bahwa ada beberapa orang yang bisa kembali setelah kematian dan diarahkan oleh arwah. Ada beberapa yang kembali karena kekuatan karma mereka sendiri.
Ketika kita meninggal, terkadang, karena waktu hidup kita yang habis dan terkadang karena pahala yang dikumpulkan di kehidupan sebelumnya habis. Bila waktu hidup dan pahala kita sudah habis, maka tidak ada yang bisa menyelamatkan kita dari kematian; doa maupun ritual. Semua orang harus meninggal, walaupun bila masih ada sisa karma baik dan waktu hidup, maka doa bisa bermanfaat. Bila ada sisa karma baik dan waktu hidup sudah habis, maka waktu hidup ini bisa dikembalikan. Orang yang mempunyai residu seperti ini bisa dibawa hidup kembali, walaupun mereka meninggal karena sakit.
Karena itu, bisa terjadi bahwa banyak orang atau daelog yang kembali dengan kondisi mereka sudah meninggal selama empat atau lima hari dan tubuh mereka tetap dijaga bersih. Mereka mempunyai banyak anekdot untuk diceritakan mengenai orang yang berbeda dan mengenai apa yang terjadi pada mereka di kehidupan selanjutnya, seperti orang ini dilahirkan di sini dan seterusnya. Daelog seperti ini dianggap suci di negara saya.

Akan tetapi, tidak ada yang pasti mengenai identitas kesadaran yang kembali ke tubuh tersebut dan mulai menceritakan tentang tindakan di kehidupan sebelumnya. Kita tidak membedakan secara pasti apakah ini adalah kesadaran yang asli dari orang yang telah meninggal atau arwah lain.
Ketika mayat kembali hidup dan berlaku sama seperti orang yang telah meninggal. Ada cerita ketika Guru Padmasambhava yang berharga ada di Tibet. Salah satu menteri raja Trison Detsaen telah meninggal dan suatu ritual Bon telah dilakukan.

Sekarang ada tiga jenis sistem Bön: dikenal dengan Gyurbön, Khyarbön dan Dùbön. Sistem Gyurbön adalah terjemahan dari sistem di India yang mengkombinasikan elemen agama Buddha dan bukan agama Buddha oleh Pandit Shamdag Nagpo (yang berarti Pemakai Rok Hitam). Khyarbön didirikan oleh beberapa orang yang bukan beragama Buddha dan bisa terbang di udara dan tinggal di pinggiran Tibet ketika biara mereka dihancurkan oleh petir (nama ini berarti Bönpos tanpa tempat tinggal.) Dubon adalah sistem Bön yang didirikan di Tibet. Mereka ahli dalam melakukan ritual dan menangani orang sakit. Ketika upacara Bön, Tenpa Sherab, dilakukan, dikatakan bahwa orang yang meninggal bangkit kembali. Apa yang dilakukan atas orang yang telah meninggal ini dikatakan kembali lagi. Ini telah dilakukan bagi mereka yang telah meninggal selama berhari-hari bahkan satu tahun. Para Bönpos berteriak di atas suara mereka sembari membunyikan bel yang dikenal dengan shang. Setelah beberapa waktu, orang yang telah meninggal seharusnya kembali. Dia akan ditanya apakah dia menikmati apa yang terjadi pada dirinya diantara mereka yang telah meninggal atau apakah dia telah menderita. Dia akan mulai menceritakan setiap cerita mengenai apa yang dilakukannya semasa hidup. Dia akan menikmati teh, ch’ang dan makanan. Sebagai cara untuk memberikan hadiah, dia akan diberikan syal sebelum disihir. Bahkan ini merupakan permainan bagi arwah yang ingin makanan dan minuman gratis.
Akan tetapi setiap orang mengambil hal ini dari harga muka saja dan mempunyai keyakinan atas ritual sejenis ini, sebagai contoh dari metode Bönpos. Orang melaporkan hal ini kepada sang guru Padmasambhava, sembari berkata bahwa sistem Bön pasti sangat baik karena tidak ada hal seperti ini di Dharma Buddha. Para Bönpos bahkan bisa memanggil orang yang telah meninggal dan bertanya mengenai kehidupan sebelumnya dan dia akan memberikan jawaban yang tepat. Tidak hanya dia akan mendapatkan sesuatu untuk dimakan, dia juga akan bertemu dengan keluarganya lagi. “Hal ini tidak ada di ajaran agama Buddha, bukan begitu?” Mereka berkata.
“Ini tidak mungkin orang yang telah meninggal itu sendiri,” adalah jawabannya.
“Ini adalah orang yang telah mati, dia kembali dan kau bisa melihatnya sendiri.”
Upacara Bön dilakukan menurut instruksi sang Raja. Setelah beberapa waktu, menteri yang telah meninggal kembali hidup dan bertindak seperti menteri Raja yang asli dalam segala tingkah laku dan perkataan. Tidak ada inkonsistensi sedikitpun yang mengindiskasikan bahwa bukan sang menteri yang hidup kembali. Bila ditanya mengenai apa yang dilakukannya pada waktu tertentu, jawabannya sangat tepat. Dia menceritakan mengenai semua tindakannya sebagai menteri.
“Ketika saya memberikan inisiasi,” Padmasambhava kemudian berkata, “Saya memberimu nama rahasia. Apakah nama yang saya berikan?”
Tubuh itu menjawab, “saya tidak mungkin tahu mengenai hal ini. Ketika Guru yang Berharga memberikan inisiasi, saya tidak bisa hadir karena saya diusir sebelum acara dimulai.”
Hal ini menunjukan bahwa kesadaran ini tidak lebih daripada arwah yang mengikuti sang menteri hampir selama hidupnya. Dia diusir dari inisiasi karena sifat dari upacara yang dilakukan saat pembukaan. Karena ini, dia tidak bisa mengetahui namanya.
Setelah pengakuan ini, tubuh itu berdiri dan melarikan diri. Lalu ia menjadi serigala, lalu hilang dalam angin.
Setelah membuka kedok arwah penipu ini, Padmasambhava mengumumkan, “Ini adalah cara untuk mengetahui bahwa ini bukanlah orang yang sebenarnya.” Ketika ditanya, apakah ini, sang Guru berkata bahwa ini adalah arwah yang lahir bersamaan dengan sang menteri. Karena inilah dia memasuki mayat [menteri]. Bahkan orang-orang yang kembali pada saat upacara Bönpos adalah mirip dengan kasus ini. Beberapa arwah yang lahir dengan sendirinya sementara yang lain adalah deva. Tetapi lebih banyak nöjin dan drize.
“Ini hanyalah tipuan dari arwah bukan manusia ini,” dia melanjutkan, “karena tidak mungkin bagi kesdaran untuk kembali setelah waktu yang lama. Karena mereka pasti telah mengalami kelahiran kembali menurut karma masing-masing.”




Lalu beliau ditanya mengenai kelahiran kembali dari sang menteri. Melalui kekuatan spesial untuk melihat, beliau dapat memberi tahu bahwa sang menteri telah lahir kembali sebagai cacing di kotoran sapi yang dapat ditemukan di Lhasa. Para menteri meminta Padmasambhava untuk memperlihatkan cacing itu untuk membuktikan penjelasannya. Sang Guru besar membuat cacing tersebut mengingat kehidupannya yang terdahulu, ketika masih menjadi menteri, dengan memberkahinya. Lalu beliau memanggilnya dengan nama rahasianya, dan cacing tersebut menggoyangkan tubuhnya sebagai tanggapan atas nama tersebut.
Sang menteri tidak dapat terhindar dari kelahiran sebagai cacing karena ini adalah kekuatan dari karmanya yang telah masak. Bahkan Tiga Permata tidak dapat menolongnya dengan kekuatan mereka, karena kekuatan karma yang telah masak sama besarnya. Bahkan bila Padmasambhava melakukan Puja yang sangat ampuh untuk cacing tersebut, dia masih tidak bisa pergi ke Tanah Suci dengan segera. Ini adalah salah satu cerita Padmasambhava.

Akan tetapi, kita sebagai makhluk biasa tidak bisa membedakan apakah kesadaran yang masuk ke tubuh yang telah meninggal adalah kesadaran dari orang yang dimaksud atau bukan. Sebagai contoh, ada beberapa arwah yang memasuki tubuh dan meniru orang yang telah meninggal dalam segala hal dengan sempurna. Akan tetapi, mereka akan menyelipkan kebohongan di mana-mana, seperti melihat cahaya putih, hitam, atau merah. Kita tidak bisa benar-benar yakin siapa yang telah memasuki tubuh tersebut. Tidak ada hal seperti ini yang ditemukan dalam ajaran sang Buddha.
“Kesadaran orang yang telah meninggal” diketahui telah memasuki tubuh dari Oracle di desa lokal. Di tempat asal saya, ada seorang wanita Oracle lokal dan dewa pelindung lokal, seorang deva, yang memasuki tubuhnya. Dia juga merupakan Oracle cadangan di Dhamchen. Kedua dewa ini akan berbicara hal yang sebenarnya dan sama saja. Suatu waktu suara sang Oracle menjadi sangat kasar, jadi dia sering mengeluarkan suara “urr, urr,” dia berkata, “Saya telah memakan banyak ayam dan karena itu, salah satu kepala mereka menyumbat tenggorokan saya.” Kesadaran seorang wanita tua yang baru saja meninggal mengatakan hal ini melalui dirinya. “Kalian harus berdoa untuk saya karena karma baik saya tidak terlalu banyak.”
Kesadaran orang lain yang telah meninggal memasuki dirinya dan berkata, ‘bilamana saya membaca “Om Mani Peme Hum, saya tidak membaca Om. Bisakah kalian membaca Om untuk saya agar dapat melengkapi Mani saya?”

Tetangga kami di distrik adalah keluarga Shangli yang tinggal dekat sungai di daerah bawah. Sang ayah dan seluruh keluarganya mengadakan rapat pada malam hari. Sang ayah marah dan pergi keluar. Di bawah rumah ada sungai yang besar dan dia melepaskan ch’uba, topi, dan sepatunya di tepi sungai. Lalu dia menyeberangi sungai hanya dengan celananya. Dia belum kembali pada malam selanjutnya sehingga keluarganya mulai mencarinya. Sewaktu menemukan bajunya di tepi sungai, mereka segera memikirkan hal terburuk – dia melemparkan dirinya ke sungai. Dalam rasa kasihan kepadanya mereka bersumpah dengan keras.
Mereka mengundang beberapa Lama dan orang yang ahli dalam hal doktrin, dan meminta mereka melakukan Phowa. Kenyataan bahwa tidak ada mayat yang ditemukan telah dilupakan keluarga itu. Mereka pergi ke seorang Oracle untuk mencari mayat sang ayah.
Tidak ada yang terkejut, ketika sang ayah yang telah meninggal memasuki sang Oracle dan dengan suara yang sama berkata, “Mereka menghina saya – saya, sang kepala keluarga. Mereka berani membantah saya setelah saya bekerja keras untuk membiayai hidup mereka. Saya mengatakan satu hal dan mereka akan mengatakan hal lain.”
Semua ini mempunyai efek yang tepat.
“Saya membuat diri saya menghilang, pergi ke sungai dan melompat kedalamnya. Sekarang saya merasa dingin!” Setelah cerita sedih ini, dia pergi, meninggalkan keluarganya dalam tangis. Yang mereka pikirkan adalah, dia telah terlahir kembali sebagai arwah.
Setelah tinggal di batu karang selama empat atau lima hari, sang ayah kembali. Cerita ini tidak unik dan menunjukan betapa sulitnya untuk membedakan “siapa yang berbicara dari kubur” bila menggunakan istilah dari Barat.
Tidak ada [situasi ini] di kondisi Bardo dalam ajaran sang Buddha, Yang Mengetahui semua Fenomena, apakah hal itu merupakan Samsara atau Nirvana, nampak atau tidak nampak, atau berasal dari Tiga Waktu – dahulu, masa kini, atau masa yang akan datang – yang mengetahui sifat dari keberadaan yang sebenarnya.
Banyak ahli sains melakukan eksperimen yang berguna. Akan tetapi, bila mereka tidak bisa melihat apapun, hal ini tidak ada untuk mereka. Dalam hal ini mereka mirip dengan kaum Carvaca di jaman dahulu, karena mereka tidak mempunyai apapun untuk dikatakan mengenai kehidupan selanjutnya dan mereka tidak mengetahui tentang deva, arwah karena hal-hal ini tidak dapat dilihat secara normal. Akan tetapi, bila sesuatu bisa dilihat, mereka menganggapnya cukup berharga sebagai obyek percobaan. Hal-hal ini kebanyakan berguna dan akurat, dan kesimpulan yang mereka dapatkan masuk akal.
Jadi untuk kembali pada subyek utama, ini adalah apa yang dikatakan teks mengenai subyek ini. Untuk mengatakan kebenaran, ada banyak orang lain yang dapat menjelaskan Dharma dengan lancar dan memiliki pengetahuan sebanyak yang saya miliki dalam hal-hal ini. Kemampuan akademis mereka sebaik saya kecuali saya sudah sangat tua dan telah mendapatkan cerita dari sana dan sini. Jadi kalian dapat bertanya pada mereka mengenai subyek ini.

KELAHIRAN, KEMATIAN DAN BARDO; BAGIAN DUA

OLEH: KYABJE ZONG RINPOCHE
Pertanyaan: (Oleh seorang pendengar dalam ajaran yang diberikan): Apakah akan berguna untuk membacakan Buku Kematian dari Tibet (*Bardo T’ oedrol) kepada seseorang yang baru meninggal?
Tanggapan: Ketika kalian membacakan Buku Kematian dari Tibet, bila kesadaran orang yang meninggal kebetulan ada di dekat sana dan dia akan mendengarnya. Bila kalian membacakannya dalam bahasa Tibet dan dia tidak mengerti bahasa Tibet dalam kehidupan sebelumnya, dia tidak akan bisa mengerti, dalam kebanyakan kasus. Bila dia mengerti bahasanya dalam kondisi Bardo, siapa yang bisa menjamin bahwa dia akan mendengarnya sampai habis? Kalian tidak akan bisa mengetahui dimana dia karena dia bergerak kesana kemari seperti angin. Mungkin juga dia tidak akan memperhatikan walaupun dia ada di sana. Dan lebih jauh lagi, berapa lama dia akan ada di Bardo? Ini adalah pertanyaan yang lain, karena dia akan berada di Bardo sampai terlahir kembali.

Bila dia mendengarnya, maka akan berguna, tetapi apakah dia memperhatikan atau tidak sulit diketahui. Kita sering tidak memperhatikan saat kita mendengarkan ajaran ketika masih hidup. Jadi apa lagi untuk kesadaran!
Saya tidak akan mengatakan bahwa membacakan Buku Kematian dari Tibet tidak berguna. Bukan ini maksudnya. Secara superficial, subyeknya adalah tentang Bardo, tetapi ini bukanlah cerita yang sebenarnya. Juga dikatakan bahwa makhluk di Bardo tidak seharusnya tetap terikat pada keluarga dan orang tua dari kehidupan ini karena sekarang dia berada di Bardo. Dia juga harus memanggil Tiga Permata dengan tulus. Ada cerita mengenai cahaya putih yang tampak dan mengapa dia tidak usah takut akan hal ini karena ini adalah sinar dari Lima Buddha Dhyani, atau Lima Kebijaksanaan, dan seterusnya. Saya sendiri tidak mengetahui apakah hal seperti ini akan nampak atau tidak. Bila mereka tidak dimengerti oleh orang yang masih hidup, akan lebih sulit bagi makhluk Bardo untuk mengerti akan hal ini.
Bila mantra suci dibacakan, atau upacara yang relevan dijalankan dengan benar, dengan pahala yang dihasilkan untuk kebaikan orang yang telah meninggal, hal ini akan lebih bermanfaat secara substansial. Terlebih lagi, kalian bisa melakukan hal ini menurut Tantra, bila Tantra berkembang di area tersebut. Sebagai contoh, bila tubuh tersebut masih tersedia, dan kalian ingin melakukan upacara pembersihan dosa, lalu menyusun mayat tersebut dan melakukan upacara Pembersihan dosa dari Tiga Alam Terbawah, yang merupakan metode yang menggunakan dewa Gun-Rig.

Pertama-tama, kesadaran yang lama ditarik kembali ke mayat tersebut dengan membaca Perkataan yang Benar dari Tiga Permata. Lalu, halangan baginya untuk mencapai pencerahan atau kebebasan dari lingkaran keberadaan dihilangkan dan metode yang digunakan bisa dengan kemarahan atau kedamaian. Wijen putih dan pasir putih diberkati melalui lima-belas mantra. Akan bermanfaat untuk melempar hal ini ke tubuh yang telah meninggal. Bila barang-barang ini disebarkan di tempat-tempat seperti kuburan, kesadaran yang pernah menempati tulang yang disentuh oleh barang-barang ini akan terlahir kembali dalam alam dewa ditengah hujan bunga, bahkan bila kesadaran tersebut terlahir kembali dalam neraka. Setidaknya ini adalah yang dijelaskan dalam tantra. Bahkan hal ini akan bermanfaat dan seseorang bisa berpegang pada teknik ini karena mereka terhubung dengan ajaran yang berkaitan dengan aktivitas. Masalah mengenai klasifikasi dari ajaran yang berdasarkan interpretasi atau definitif hanya berhubungan dari perkataan sang Buddha mengenai kekosongan. Akan tetapi, ajaran yang berkaitan dengan aktivitas adalah definitif. Bila dilakukan dengan keyakinan yang kuat, mereka akan bekerja.



Bila kalian menuliskan mantra yang sangat efektif ini dalam secarik kertas, kalian harus meletakannya di samping telinga mayat, atau menguburnya dalam peti, atau menyelipkannya dalam kain.
Lama yang berkualifikasi meninggalkan wijen putih di dekat tangan dan memberkatinya dengan mantra ketika mereka membacakan doanya. Mereka juga mencatat nama orang yang meninggal ketika seseorang meminta mereka untuk mendoakan orang yang telah meninggal. Pada akhir bulan mereka melakukan upacara pembersihan dosa. Mereka menarik kesadaran orang yang telah meninggal di atas bebijian ini dan upacara pembersihan dilakukan. Setelah itu, bebijian ini dibuang. Ini juga bermanfaat.

Ada juga upacara pencucian. Sebagai contoh, Tiga Permata direfleksikan dalam cermin dan kemudian dicuci. Ketika airnya dibuang, hal-hal seperti “Air ini adalah kesempurnaan dari perbuatan memberi dalam bentuk air,” disebutkan. Apapun ritual Gun Rig yang dilakukan, selipkan nama orang yang meninggal karena ini akan memberikan manfaat baginya. Kalian bisa berkata, “Semoga semua tindakan negatif yang dikumpulkan sejak masa tanpa awal dan terutama yang berkaitan dengan kekikiran dibersihkan; semoga dia mencapai pencerahan dengan segera.” Bahkan kegiatan membuang air bermanfaat baginya, karena hal ini membersihkan kebodohannya dengan menyebutkan kata-kata yang penuh kekuatan kebenaran tentang kekosongan. Selain itu ada lima-belas bait yang harus dibacakan mengenai kegiatan Buddha Shakyamuni dan bagaimana dia mendapatkan kualitas yang luar biasa untuk tubuh, perkataan, dan pikiran, menghancurkan empat Mara, dan memutar roda Dharma. Kalian harus berharap semua ini akan sangat baik bagi yang meninggal. Ada tiga bait tambahan mengenai lagu pujian untuk Tiga Permata. Sementara semua ini dibacakan, hal yang terbaik yang bisa dilakukan adalah melempar bunga ke tubuh [yang meninggal] dan berpikir bahwa hal ini membersihkan kebodohannya. Bila kalian ingin melakukan lebih jauh, kalian bisa membaca lebih banyak bait yang menunjukan tingkatan dalam jalan menuju kondisi spiritual yang tinggi seperti jalan menuju kebebasan. Lalu, dia bisa memasuki mandala untuk mendapatkan inisiasi. Setelah semua ini dilakukan, melalui kekuatan perenungan, kesadarannya akan dipindahkan ke Tanah Suci Sukhavati. Mantranya sekarang dibakar. Jenis pembersihan seperti ini termasuk dalam tujuh jenis pembersihan sehingga akan berguna bagi dirinya. Kalian harus berbuat amal kepada fakir miskin atas namanya, atau melakukan persembahan pada Tiga Permata atau khususnya kepada Sangha (bahkan, di komunitas Tibet, kalian cukup sering mendengar tentang biksu yang bertanggung jawab untuk menegakan disiplin di biara membacakan daftar permintaan mengenai doa yang ingin dibacakan). Semua kebaikan yang dilakukan atas namanya akan membantunya. Akan tetapi, hal yang paling membantu adalah bila dia melakukan kebaikan untuk dirinya sendiri pada saat masih hidup. Hal ini sangat langsung dan apapun yang dilakukan setelahnya adalah tidak langsung.
Bila semua hal di atas belum dilakukan secara efektif, mereka hanya berlalu-lalang. Sebagai contoh mereka yang dilahirkan di neraka. Bila upacara pembersihan dosa tidak efektif, dia tidak akan mendapatkan kelahiran kembali sebagai manusia lagi. Paling tidak dia akan mendapatkan sedikit rasa lega seperti merasakan angin yang sejuk ketika neraka sedang sangat panas. Bila kalian ingin upacara ini dilakukan secara serius, kalian harus meminta pembersihan dosa dari orang yang berkualifikasi, metode tantrik adalah metode yang paling efektif untuk membersihkan dosa.

Ada beberapa orang yang melaksanakan upacara untuk mengingat yang meninggal, mengundang teman mereka, membunuh kambing dan ayam untuk pesta besar. Karena semua tindakan negatif ini dilakukan atas nama orang yang meninggal, mereka membalik seluruh tindakan baik yang sudah dilakukan untuknya dan bisa jadi sangat membahayakan.

Upacara Gun Rig dilakukan terutama bila seseorang meninggal dan mereka sangat dihargai di Tibet, tetapi kalian juga bisa meminta upacara Ghuyasamaja, Yamantaka atau Heruka untuk dilakukan. Dalam kasus ini, seseorang memberkati pasir putih dan wijen, menyebarkannya di atas tubuh bila masih ada. Bila hal ini tidak memungkinkan, salah satu tulangnya, kuku, rambut atau baju yang belum dicuci juga bisa dipakai. Inilah mengapa, ketika upacara pembersihan dosa dilakukan, orang-orang memberikan baju yang belum dicuci dan nama orang yang meninggal di atasnya. Hal ini agar upacara pembersihan dosa bisa dilakukan atas pakaian itu, bukan karena untuk dijual agar bisa mendapatkan sedikit uang! Bila tubuhnya sudah dikubur/ kremasi, persembahkan pakaian dan jangan diterima kembali karena ini adalah tradisinya. Bila kalian mempunyai tulangnya, persembahkan ini, tidak perlu mempersembahkan pakaian, karena hal ini tidak menurut tradisi upacara. Untuk memberikan pakaian di atas barang-barang yang lain menunjukan keserakahan.
Kalian tidak usah takut bila orang yang meninggal bangkit kembali. Pertama-tama panas tubuh berkumpul dan lalu dia mulai bernapas. Setelah itu dia sembuh seperti orang sakit. Akan tetapi, bila mayatnya menjadi rolang (yang artinya mayat bangkit) hal ini dikarenakan arwah jahat. Mayatnya akan membengkak ketika arwah ini memasuki tubuh. Ada beberapa tipe Rolang dan beberapa dari mereka berbicara seperti manusia. Yang lain juga makan dan berbicara bohong. Bila tubuh menjadi rolang, pada umumnya kepalanya akan bergerak dengan lambat. Tubuh akan melihat apakah ada orang yang menyaksikan. Lalu dia akan membuka kedua mata dan berdiri. Setelah itu, dia tidak bisa membungkuk lagi. Sekarang dia mencelakakan manusia. Manusia akan langsung meninggal ketika dia berkata “Ha!” Bila dia tidak bisa membunuh, dia akan berusaha merusak. Dia memukul orang dan bernapas di atas mereka, dan orang itu mungkin bisa meninggal. Ada beberapa tanda yang menunjukan mayat sudah dimasuki sebelum menjadi rolang. Salah satunya adalah ketika menyalakan lampu mentega, ia tidak bersinar tetapi memberikan cahaya yang “kehitaman.” Tanda yang lain adalah ketika kalian melihat mayat, sepertinya dia akan berdiri. Bila kalian melempar wijen putih yang telah diberkati pada kepala mayat, hal ini akan mencegahnya berdiri.

Saya ingat seorang lelaki tua dengan anting emas besar yang meninggal. Merupakan kebiasaan untuk mengadakan acara untuk mengingat yang meninggal dengan pesta besar dan banyak bir. Mereka bercerita ketika makanan dan minuman disajikan, dia duduk sebentar, meminum segelas bir dan kemudian berbaring lagi. Hal ini dilihat banyak orang. Lalu dia diperiksa dan diketahui bahwa dia telah dicelakakan oleh raja arwah yang menyukai keluarga lain. Kedua keluarga ini terlibat perkara hukum selama bertahun-tahun. Arwah ini hanya bermain dengan mayatnya.

Ada seorang Lama dari Derge yang pergi ke o P’owa (lihatlah artikel sebelumnya) atas sebuah tubuh. Biasanya tubuh itu tidak berdiri ketika hal ini dilakukan. Ketika melakukan upacara, dia merasa sesuatu tidak benar. Dia bertemu dengan muridnya di jalan ketika dia kembali. Dia bertanya pada muridnya apakah dia akan pergi ke rumah yang sama untuk melakukan upacara lain. Sang murid menjawab ya. Sang Lama berkata, “bila ada gangguan terhadap tubuh yang meninggal, berdoalah sekuatnya kepada guru utamamu. Hal ini akan lebih membantu.
Sang Lama tidak sendiri dalam merasakan pertanda buruk. Ketika sang murid duduk di samping mayat, keluarganya menyelinap keluar ruangan dan diam-diam memasang balok di pintu.
Sekarang, sudah biasa bagi murid ini untuk menutup matanya pada saat membaca doa. Pada saat masa reses dalam upacara ini, dia membuka matanya dan melihat bahwa kepala tubuh itu naik sedikit. Dia tidak memperhatikan hal ini, menutup mata lagi dan melanjutkan. Saat selanjutnya dia membuka matanya, dia melihat bahwa kepala tersebut lebih naik ke atas. Ketakutan, dia mencoba membuka pintu, tetapi pintunya sudah dikunci.


Selanjutnya, dia mencoba untuk keluar lewat jendela, tetapi jendelanya terlalu kecil. Dia tidak memperhatikan telinganya sudah terluka di bingkai jendela dan berdarah. Sekarang dia merasa tidak berdaya. Dia menekan kepala tersebut dan membuatnya sedikit turun.
Saya mendengar cerita ini dari sang murid sendiri. Dia mengatakan pada saya, “saya menekan dengan keras dan mulai melakukan hal-hal seperti membaca mantra.”
Sementara perlawanan ini berlanjut, dia menjadi lebih berani. Tiba-tiba dia teringat nasihat sang Lama. Dia meletakan vajra (salah satu alat ritual Tantra) di atas kepala mayat dan berkata dengan keras, “Semoga Lama saya mendengar saya, dan mentransfigurasi saya!” Akhirnya tubuh tersebut terjatuh dan vajra tersebuh jatuh ke lantai.
Hal ini tidaklah unik di negara saya.
Pemimpin doa di sebuah biara kecil dekat Ganden (salah satu dari tiga biara besar di Lhasa) meninggal. Tempat dimana sang mayat ditaruh untuk dimakan burung ada di atas bukit. Tubuhnya ditaruh disana oleh empat orang. Mereka meninggalkan tubuhnya dan pergi untuk minum teh. Mayat biasanya merobek pakaiannya ketika mereka bangkit kembali, jadi mayat yang ini mulai merobek jahitan pakaiannya dan berusaha bangkit. Tetapi,dia ditinggalkan di tepi jurang yang curam, sehingga dia malah terguling ke kaki gunung. Kenyataannya, mayat tersebut tidak pernah sampai berdiri karena dia hancur berkeping-keping di bawah.

Ada seorang lelaki tua bernama Gompo, yang saya kenal dengan baik dan dengan siapa saya menghabiskan banyak waktu. Suatu hari dia dan seseorang lagi bernama Trinlay mendaki gunung dan sampai pada tempat pembuangan mayat milik Ganden. Mereka melihat satu mayat ketika mereka mendekat, tubuh tersebut mulai merobek jahitan pakaiannya seperti yang kita deskripsikan sebelumnya. Gompo sangat ketakutan dan melarikan diri. Trinlay mulai meludah di satu sisi dan memukuli tubuh tersebut untuk mematahkan tulangnya. Bila kalian meludah sebelum rolang bernapas atas kalian, maka dia tidak bisa mencelakakan kalian.
Saya mempunyai banyak cerita mengenai rolang. Bahkan ada tempat dimana setiap orang yang meninggal menjadi rolang. Sebelum meninggal, mereka meminta seorang Lama untuk datang dan melakukan upacara apapun yang diperlukan. Mereka akan menggali lubang, mengubur tubuh tersebut secepat mungkin dan melarikan diri. Kaki tubuh tersebut dipatahkan sebelumnya. Suatu hari seorang wanita perantau meninggal di sana. Perantau lain mematahkan kakinya dan mengubur dia seperti sebelumnya dan memindahkan ternak dan tenda mereka ke tempat lain. Akan tetapi, sepertinya mereka tidak membuat lubang yang cukup dalam, karena sang mayat bangkit dan keluar dari dalam lubang. Dia menarik dirinya di tanah sambil merengek sepanjang waktu. Di dekat situ ada lima biksu yang sedang mengambil air dan makanan. Mereka berhenti sejenak dalam perjalanan mereka menuju biara besar di Tibet Tengah. Salah seorang dari mereka melihat sesuatu yang menyerupai rambut hitam dan sekali waktu seperti bangkit dari tanah. Ketika dia melihat lagi, makhluk itu seperti bersembunyi di balik sesuatu. Sekarang dia ada di sisi lain kandang kuda di mana mereka menginap. Dia sekarang melihat bahwa kakinya sudah dipatahkan dan ada tanda kapak di sana. Hal inilah yang menunjukan padanya bahwa ini adalah mayat. Mereka menyiramnya dengan air yang mereka didihkan untuk teh dan melarikan diri.
Ada satu keluarga dimana seorang anggotanya meninggal dan mereka mengikat tubuh tersebut dengan beban yang berat dan melarikan diri. Seorang kurir surat datang dengan kudanya. Padang rumput di sekitarnya sepertinya sangat bagus. Hal ini tidaknya mengejutkan karena keluarga yang lain sudah melarikan diri secepatnya. Dia melonggarkan ikat pinggangnya dan berbaring untuk tidur. Dia dibangunkan oleh kudanya yang resah. Dia berpikir bahwa pasti ada hewan liar di sekitar situ, tetapi dia tidak bisa melihat satupun, dia kembali tidur. Kudanya membangunkannya lagi. Kali ini, ketika dia bangun untuk memeriksa, dia melihat bungkusan dan mengenal apa yang diikatkan padanya. Dia mengencangkan ikat pinggangnya dan mulai lari ke arah yang berlawanan. Rolang tersebut membebaskan diri dan mulai mengejarnya. Sang kurir mulai berteriak kepada perantau ketika dia sampai di tempat mereka, “Bangun! Bangun! Ada rolang datang!” Setelah mereka mengerti apa yang dikatakannya, mereka bangun dan mulai menyingkirkan benda itu. Saya bisa membayangkan semua ini dengan jelas!
Seorang pria meninggal di keluarga yang tinggal di Mar K’am. Ketiga saudaranya membuat tenda terpisah untuknya, menyalakan lampu mentega dan menangisinya dengan tersedu-sedu.
Pada tengah malam, seorang wanita dibangunkan oleh siulan. Tidak umum untuk bersiul dekat mayat. Ketika mereka melihat ke tenda tersebut keesokan harinya, tubuh tersebut sudah pergi. Beberapa kerbau juga hilang dari tempat itu. Malam itu, salju turun dan mereka bisa mengikuti jejaknya. Sedikit lebih jauh mereka melihat jejak dremong (hewan sebesar beruang). Mereka datang ke gua dimana mereka berkemah di musim panas. Dremong tersebut ada di dalam membunuhi kerbau sementara saudara mereka yang telah menjadi rolang menghalangi di pintu.
Rolang melakukan hal-hal seperti ini. Saya mengatakannya pada kalian untuk membuat kalian terhibur, dan untuk menunjukan bahwa tubuh kita ini yang sangat kita sukai bisa berada di bawah kendali makhluk lain setelah kita meninggal. Keinginan kitalah yang memberikan kita tubuh ini pada mulanya, tetapi tubuh ini tidak memberikan kesetiaan pada kita sebagai balasannya.
Diterjemahkan oleh Losang Gyaltsen dan direvisi oleh Michael Richards

Diri saya bertemu dengan inkarnasi Kyabje Zong Rinpoche untuk pertama kalinya di sini dalam foto ini. Saya sudah menabung selama berbulan-bulan dan mempersembahkan patung Manjushri kepada Zong Rinpoche. Saya tidak mau bertemu dengan inkarnasi emas guru saya dengan tangan kosong. Saya mau menciptakan pahala dan jodoh untuk bertemu dengan Zong Rinpoche dalam setiap kehidupan tidak perduli dimana kita bereinkarnasi…

 

Akan ada ikatan antara diri saya dan Zong Rinpoche melalui Manjushri… Jadi saya ingin mempersembahkan sesuatu yang sangat berarti dan spesial walaupun saya tidak memiliki terlalu banyak uang… Bilamana kita bertemu dengan guru kita, kita harus memberikan persembahan yang tulus untuk menciptakan pahala demi keberhasilan usaha kita. Terutama ketika bertemu dengan guru kita untuk pertama kalinya atau meminta ajaran atau aktivitas, kita harus memberikan persembahan. Guru kita tidak membutuhkan persembahan ini, tetapi tetapi kita perlu menciptakan pahala. Pahala akan tercipta ketika dipersembahkan dengan tulus untuk menciptakan sebab bagi permintaan kita untuk terkabul.

 

 Saya diberi tahu bahwa beliau sangat senang dengan patung ini dan memaksa untuk menyimpannya dekat beliau di meja samping di kamar tidurnya. Saya sangat senang dengan foto ini untuk bertemu dengan inkarnasi guru utama saya lagi. Dan saya tidak mempunyai keraguan bahwa inkarnasinya akan kembali dengan sempurna dan dia kembali… Tsem Rinpoche


sumber : http://dharmawatychang.blogspot.com/p/kelahiran-kematian-dan-bardo.html