Asal Usul Ilmu Feng Shui / Hong Sui
Dewasa ini ilmu Feng Shui (mandarin) / Hong Sui (dlm bhs hokkian)
sepertinya telah menjadi buah bibir yang begitu semarak dibicarakan
orang. Seminar Hong Sui yang digelar dari hotel ke hotel dengan
pembicara para pakar lokal maupun yang sengaja didatangkan dari luar
negeri, peliputan media cetak elektronik - yang juga berlomba mengangkat
Hong Sui ke permukaan dalam rangka menaikan oplah / rating - sungguh
semua itu menjadikan Hong Sui sebagai primadona yang banyak diminati
orang.
Berbicara soal asal usul Hong Sui, tak bisa tidak, haruslah membicarakan
I Ching (Ya Keng) terlebih dahulu. Karena Hong Sui merupakan bagian
yang tak bisa dipisahkan dari I Ching / Ya Keng, yaitu sebuah Kitab Kuno
China yang sangat termashyur, yang berisi tentang pelajaran Hakekat
Perubahan dan dewasa ini telah banyak dialihbahasakan ke berbagai bahasa
mancanegara.
Kombinasi Pergerakan Pa Kua / Pat Kwa (Delapan Trigram), Perpaduan Yin
& Yang serta transformasi Wu Xing / Ngo Heng (Lima Elemen) merupakan
komponen inti yang dipakai dan dikembangkan sedemikian rupa untuk bisa
mendalami filsafat I Ching / Ya Keng dan semua komponennya itulah yang
juga menjadi bagian mendasar perhitungan Feng Shui / Hong Sui.
Kitab Perubahan (I Ching/Ya Keng) merupakan salah satu kitab kuno China
yang mengungkapkan tentang prinsip kebenaran tentang perubahan yang
mencakup aspek perubahan alam dengan segala isinya, termasuk manusia
tentunya.
I Ching / Ya Keng adalah karya klasik China yang paling kuno dan
terkenal, dimuliakan selama ribuan tahun sebagai tuntunan keberhasilan
dan sumber kebijakan. Hampir semua filsafat kehidupan China berakar dari
kitab ini. Sebut saja, hakekat kegaiban pragmatis Tao Te Ching (Tao Tek
Keng), kemanusiaan rasional Confucuis, dan strategi analitis dari seni
berperang Sun Tzu bersumber utama dari Kitab Perubahan (I Ching/Ya Keng)
ini.
Konsep dasar I Ching / Ya Keng dikembangkan lebih dari 4900 tahun yang
lalu oleh Raja Fu Xi / Baginda Hok Hie (2953 SM - 2838 SM) yang karena
pengamatannya yang cermat dan seksama terhadap segala perubahan alam
& bentuk-bentuk kehidupan termasuk setiap gerakan tubuh,
menyimpulkan bahwa semua pergerakan / perubahan di alam semesta dengan
segala isinya berubah mengikuti hukum kehidupan ( Hukum Alam / Li ).
Dari hasil pengamatan & penelitiannya, - terutama setelah Fu Xi
melihat ukiran peta di punggung Kuda Naga yang muncul dari Sungai Kuning
- kemudian ditemukanlah konsep Delapan Trigram (Pa Kua / Pat Kwa) yang
kemudian dikenal dengan Sien Thien Pa Kua / Sian Thian Pat Kwa atau PETA
SURGAWI (Pat-kwa Awal). Sesuai dengan sebutannya, awalnya Pat-kwa ini
lebih cenderung dipakai sebagai alat untuk menghitung / memprediksikan
perubahan dan fenomena yang terjadi di alam ini.
Trigram ini kemudian dibukukan oleh Pangeran Wen Wang / Bun Ong ( yang
kemudian menjadi pendiri Dinasti Chou / Chiu ,1150-249 SM ) yang
menyusunnya dalam bentuk Ho Thien Pa Kua / Ho Thian Pat Kwa atau PETA
MANUSIAWI (Pat-kwa Lanjutan), lengkap dengan 64 Heragram ( 64 Permutasi
)nya. Kuta-kura raksasa hitam yang muncul di Sungai Lo dengan angka
ajaib di punggungnya - yang kemudian dikenal sebagai Peta Lo Shu -
adalah sumber inspirasi utama yang mempengaruhi konsep PETA MANUSIAWI.,
maka dimulailah era dimana Pat-kwa dipakai sebagai alat memprediksi
perubahan tingkah pola kehidupan manusia.
Selanjutnya Khong Fu Zi / Khong Hu Cu (551-479 SM) menyempurnakan isi
Kitab I Ching / Ya Keng ini dengan menambahkan Sepuluh Sayap I Ching /
Ya Keng sebagai tafsir penjelasan dan mengembangkannya secara khusus
sebagai sumber penghayatan hidup dan pendalaman kespiritualan (
moralitas dan kebijaksanaan ).
Kaisar Qin Shi Huang Ti / Chin Se Hong Te (221-206 SM), pendiri Dinasti
Qin / Chiu, yang berkuasa dengan singkat (hanya 13 tahun), tapi
merupakan Kaisar lalim yang berkuasa dengan tangan besi, berhasil
menyatukan China kembali setelah porak poranda karena perang campuh di
akhir Dinasti Chou / Chiu. Kaisar inilah yang meninggalkan karya sejarah
spektakuler, berupa dua buah keajaiban dunia, yaitu Tembok Besar China (
Great Wall ) dan Terracota. Karena kelalimannya, kaisar ini pun
memerintahkan untuk memusnahkan semua kitab-kitab yang tidak sesuai
dengan misi kekaisaran Qin / Chin. I Ching / Ya Keng termasuk salah satu
dari sedikit kitab yang berhasil diselamatkan
.
Di jaman dinasti Han ( dinasti yang berkuasa setelah Qin / Chin runtuh )
tercapai suatu pemerintahan yang rapih & tertib, semuanya teratur
dengan baik. Di jaman ini I Ching / Ya Keng dikembangluaskan dan
dipandang sebagai buku etika & metafisika disamping juga sebagai
buku ramalan. Ajaran Khong Hu Cu pun naik daun bahkan dijadikan sebagai
agama resmi negara dengan Lima Kitab Pegangan (Wu Ching / Ngo Heng)
dimana salah satunya adalah I Ching / Ya Keng.
Di jaman kejayaan Dinasti Han inilah, dibangun perlintasan Jalur Sutra
yang sangat ramai dipakai sebagai jalur lalu lintas darat waktu itu,
sebuah jalur untuk perdagangan luar negeri, yang menghubungkan China ,
India, Turki bahkan sampai ke Afganistan (makanya di Afganistan, yang
praktis muslim, sempat ada 2 buah Patung Buddha nomor 2 tertinggi
didunia, yang di hancurkan oleh Penguasa Taliban pada dasawarsa yang
lalu).
Jalur Sutra ini pulalah yang dipakai oleh para Bhikku / Bhiksu dari
India masuk ke Daratan China membawa dan memperkenalkan Agama Buddha ke
China, yang akhirnya agama ini membaur dengan agama pribumi di China
yaitu agama Tao dan Khong Hu Cu , kemudian berkembang kembali keluar
dari China sebagai agama Chinese Buddhism ( agama Hoa Kao / agama Sam
Kao, yang di Indonesia lebih dikenal sebagai agama Kelenteng ) , dibawa
oleh para Hoa-jiao / Hoa-kiao ( kaum Tiong-hoa perantauan ).
Selama Dinasti Han, I Ching / Ya Keng dikembangkan secara resmi dan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kurikulum pendidikan waktu itu,
bahkan dijadikan sebagai pelajaran wajib yang harus dikuasai oleh para
Siu-cai ( Sarjana, red ) saat mengikuti ujian tingkat nasional kala itu.
Kemudian berkembang jugalah I Ching / Ya Keng versi Buddhis dan
Taoisme. Perpaduan pengembangan ini akhirnya menghasilkan teks standar I
Ching / Ya Keng. Teks standar inilah akhirnya dijadikan standar para
ilmuwan dunia dalam menelaah dan mempelajari I Ching / Ya Keng. Teks
standar ini pulalah yang disusun dijaman Dinasti Tang pada lebih kurang
Abad ke 7 Masehi, yang akhirnya memunculkan Ilmu Hong Sui.
Pada zaman Dinasti Tang, praktek Hong Sui mulai diperkenalkan di China
oleh Yang Yun Sang (sekitar 840-888 M) seorang Ahli Seni China Kuno
waktu itu. Yang Yun Sang yang juga penasehat utama Kaisar Hi Tsang (888
M) - secara umum ia diakui sebagai Penemu Ilmu Hong Sui - meninggalkan
warisan klasiknya berupa 3 (tiga) buah buku tentang Hong Sui. Bukunya,
akhirnya selama beberapa generasi dikembangkan menjadi dasar-dasar ilmu
Hong Sui, dan dikenal sebagai Hong Sui Aliran Bentuk yang mengacu pada
penentuan letak Naga Hijau dan Macan Putih sebagai faktor penentu
kedudukan Nafas Kosmis ( Qi / Chi / Energi Vital / Energi Pembawa
Keberuntungan ).
Ketiga buku klasik yang terkenal ini, menggambarkan praktek Hong Sui
dengan metode perhitungan melaui metafora keberadaan Sosok Naga (yang
dipercaya kalangan Tionghoa klasik sebagai lambang keberuntungan),
terdiri atas :
1. Han Lung Ching ( Seni Membangkitkan Naga )
2. Ching Nang Ao Chih ( Metode Menentukan Letak Goa Naga )
3. I Lung Ching ( Prinsip Mendekati Naga )
Selanjutnya, Wang Zhi seorang Ahli Perbintangan yang hidup di jaman
Dinasti Sung (? 960 M), memperkenalkan Feng Shui / Hong Sui Aliran
Kompas yang menekankan pada pengaruh planet terhadap kualitas baik
buruknya suatu tempat / lahan / lokasi / bangunan. Wang Zhi juga
meninggalkan warisan klasik berupa 2 (dua) buah buku Hong Sui yang
kemudian diterbitkan oleh muridnya, Ye Shui Liang, berjudul :
1. Prinsip Inti atau Pusat (Canon of the Core or Centre)
2. Diskusi tentang Pertanyaan dan Jawaban.
(Disquisitions on the Queries and Answers)
Kemudian pada akhir abad ke 19, memasuki awal abad ke 20, kedua aliran
yang tadinya berjalan sendiri-sendiri ini, berhasil digabungkan menjadi
satu prinsip perhitungan Hong Sui yang saling mengisi dan berkaitan.
Gabungan dari Aliran Bentuk dan Aliran Kompas inilah yang akhirnya terus
dianalisa, dipelajari dan diperbandingkan dari generasi ke generasi.
Pada umumnya, Aliran Bentuk memberi tekanan pada bentuk dan kontur tanah
seperti wujud gunung-gunung, arah aliran sungai serta pengaruh dari
letak garis Maca Naganya. Untuk mengamatinya membutuhkan pandangan
intuisi yang tajam. Aliran ini menggunakan rumus perhitungan Naga Hijau
dan Macan Putih sebagai tolok ukurnya. Meskipun teori simbol Naga Hijau
& Macan Putih relatif mudah dipahami, tapi kenyataannya aliran ini
sangat sulit dipraktekkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar