PUNCAK musim dingin di Vihara Tsurphu, Tibet, 28 Desember 1999. Ugyen Trinley Dorje, bocah laki-laki 15 tahun, menyelinap diam-diam keluar dari vihara Buddha sekte Kagyu itu, yang terletak 80 kilometer di utara Lasha, ibu kota Tibet. Bersama empat orang kepercayaan, dia lari menuju Dharamsala, India. Dan itu merupakan pelarian yang panjang. Pertama-tama mereka menuju Nepal, menempuh jarak sekitar 1.450 kilometer.
Sebagian perjalanan dilakukan dengan berkendaraan seadanya dan berjalan kaki melewati perbukitan, untuk menghindari pemeriksaan Tentara Pembebasan Rakyat Cina. Tentara Cina memperketat penjagaan segera setelah tahu Ugyen menghilang dari vihara. Dari Mustang, kota kecil di perbatasan, mereka menyewa helikopter milik sebuah perusahaan swasta dengan membayar $ 1.000 untuk penerbangan selama sejam ke Pokhara, kota kecil di Nepal. Setelah itu, rombongan terbang ke India dan sampai di Dharamsala enam hari kemudian.
Pelarian Ugyen sangat menggemparkan dan menampar penguasa Cina. Ini merupakan peristiwa terbesar hengkangnya seorang pemimpin agama Buddha di Tibet, setelah Dalai Lama pada 1959. Sebab, Ugyen telah dinobatkan menjadi Karmapa Lama ke-17, calon ahli waris baru takhta Tibet. Pemerintah Cina telah mengakui Karmapa untuk memperoleh legitimasi kekuasaan politiknya atas Tibet. Kepergian Ugyen ke Dharamsala sangat simbolis. Dharamsala adalah tempat kini Dalai Lama mendirikan pemerintahan Tibet di pengasingan?untuk menghindari apa yang mereka sebut sebagai penindasan Republik Rakyat Cina. Namun, meski kepergian Ugyen ke Dharamsala merupakan kemenangan politik internasional bagi Dalai Lama, belum jelas masa depan Tibet sendiri.
Pada hari-hari ini, di tengah perayaan tahun baru Tibet, Losar, orang tetap bertanya: akankah Tibet merdeka, dan siapakah yang akan memimpin. Sebentar setelah sampai ke Dharamsala, Ugyen memberi pernyataan terbuka bahwa agama Buddha dan Tibet sudah di ambang kehancuran karena ulah pemerintah Cina. Padahal, untuk membayar dukungan atas Ugyen, pemerintah Cina telah melakukan propaganda habis-habisan mengangkat nama Ugyen dan propaganda betapa pihak Cina bisa menerima praktek keagamaan Tibet. Foto-foto Ugyen boleh dipasang di tempat-tempat umum di Tibet, tidak seperti foto Dalai Lama, yang dilarang keras untuk dipasang. Ugyen juga sempat dua kali diundang ke Beijing untuk menghadiri ulang tahun Partai Komunis Cina dan bertemu dengan orang-orang penting partai, termasuk Presiden Jiang Zemin.
Dengan Karmapa, pemerintah Cina berharap bisa mendudukkan ?boneka? untuk tetap menguasai negeri itu. Tibet adalah sebuah negeri teokratis. Pemimpin spiritual dan politik dipegang oleh seorang Lama, yang ditahbiskan karena merupakan reinkarnasi Lama sebelumnya. Semula, pemerintah Cina senang karena Dalai Lama pun, dari pengasingan, mengakui Karmapa (Ugyen) sebagai Lama. Padahal, Dalai Lama datang dari sekte yang berbeda. Dalai berasal dari sekte Gelukpa, sementara Karmapa dari sekte Kagyu. Tapi, harapan pemerintah Cina menguap. Bahkan pelarian itu menjadi pukulan secara politik di tingkat internasional. Karena itulah Cina bereaksi sangat keras. Di Tibet, Vihara Tsurphu, yang dihuni sekitar 320 biksu, dijaga ketat oleh polisi untuk memastikan tidak ada biksu-biksu lain yang lari mengikuti Ugyen. Para biksu dipaksa melihat televisi pemerintah Cina yang terus-menerus menayangkan kebaikan sistem komunis Cina dan keburukan hidup di pengasingan. Sementara itu, orang tua Ugyen, Dhondup dan Loga, diganjar tahanan rumah. Tujuh orang saudara Ugyen pun terus-menerus diawasi ketat gerak-geriknya.
Di sisi lain, di hadapan publik yang lebih luas?seperti diberitakan oleh media massa milik Partai Komunis?reaksi pemerintah Cina atas perginya Karmapa Lama justru tampak lunak. Tidak ada kecaman dikeluarkan atas larinya Ugyen, meskipun bocah itu sudah memperoleh suaka politik dari pemerintah India awal Februari silam. Xinhua, kantor berita pemerintah Cina, memublikasikan surat yang ditinggalkan Karmapa Lama. Isi surat itu: tujuan kepergian Ugyen adalah mencari ?instrumen musik? dan ?topi hitam? yang merupakan topi Karmapa Lama terdahulu. Menurut Xinhua, Ugyen juga menyatakan bahwa dia tidak akan menghianati siapa pun, termasuk negara Cina. Lebih jauh, pihak Cina tetap membuka pintu bila Karmapa Lama ingin kembali ke Tibet.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Sun Yuxi, menyebut bahwa Ugyen masih anak-anak dan kepergiannya kemungkinan besar dipengaruhi oleh kelompok anti-Cina. Pemerintah Cina pun secara resmi meminta pemerintah India untuk menangani kasus Karmapa Lama dengan sangat hati-hati, dan mewanti-wanti agar Ugyen dijaga dari pengaruh para aktivis anti-Cina di Dharamsala. Persoalan Lama ini memang menjadi masalah politis bagi pemerintah Cina. Bagaimanapun, Cina harus mengakui pentingnya posisi Lama di dalam masyarakat Tibet. Sebab, sepeninggal Dalai Lama, sentimen dunia luar terhadap Cina atas tindakannya terhadap Tibet makin besar. Keadaan kini makin runyam. Dalai Lama sudah berusia 66 tahun dan belum ada penggantinya. Bahkan, dengan menimbang kondisi di dalam Tibet yang sangat tertindas, Dalai Lama mengeluarkan pernyataan bahwa penggantinya bukan Lama kelahiran di dalam Tibet. Bila hal itu terjadi, bisa dipastikan kekuatan anti-Cina akan semakin besar. Untuk itu, pemerintah Cina mulai aktif ikut mencari Lama yang baru di Tibet. Segera setelah Dalai Lama menyebut soal Panchen Lama (1985), pemerintah Cina langsung ?mengamankan?-nya bersama dengan keluarga. Begitu juga dengan penunjukan Karmapa Lama ke-17 oleh Dalai Lama (1992). Pemerintah Cina langsung ikut menyetujui, lengkap dengan menyiapkan satu paket dokumen tentang proses reinkarnasi yang menyatakan bahwa Ugyen adalah ?yang terpilih?. Hanya, pemerintah Cina tidak mengamankan Ugyen seperti Panchen Lama, tapi membiarkannya tinggal di Tsurphu dengan penjagaan yang ketat. Jalan bagi bocah Lama yang baru 15 tahun itu memang berliku. Meskipun Dalai Lama menerima kedatangan Ugyen di Dharamsala dengan tangan terbuka, Ugyen belum diizinkan melakukan pelayanan agama seperti seharusnya. Ugyen harus tinggal dan belajar di Vihara Gyuto, yang berada di luar Dharamsala, dengan ditemani 30 orang penjaga. Pemerintahan Dalai Lama dan pemerintah India sangat membatasi gerak Ugyen. Sejak tiba di Dharamsala, Ugyen tidak bisa bebas bicara dengan orang di sekitar, terutama dengan wartawan. Untuk bepergian, Ugyen harus mendapat izin dari pemerintah di Dharamsala.
Lebih jauh, Ugyen belum mendapat izin untuk pergi ke Vihara Rumtek di Sikkim, tempat penting kedua bagi sekte Kagyu setelah Vihara Tsurphu. Pasalnya, Sikkim adalah wilayah sengketa, yaitu wilayah Cina yang direbut India pada 1973. Selain itu, pengangkatan Karmapa Lama ke-17 tidak diakui oleh semua sekte. Buddha dari sekte Karma Kagyu mengangkat sendiri kandidat Karmapa Lama mereka, yaitu Thaye Dorje, yang berusia 17 tahun. Menurut seseorang yang menemani Ugyen sejak dari Tsurphu, hidup di pengasingan lebih menyedihkan ketimbang sewaktu masih di Tibet. Tapi, jalan ini sudah dipilih Karmapa Lama. Tekad untuk hidup di pengasingan dan setia mendukung Dalai Lama itu diucapkan dalam pidato Ugyen pada peringatan 60 tahun Dalai Lama menjadi pimpinan spiritual dan masyarakat Tibet, 20 Februari 2000. Dalam pidato itu, jelas Ugyen menyatakan keprihatinannya atas kondisi Tibet. ?
Tibet sekarang menghadapi kehancuran tradisi religius dan budaya,? katanya. Terlepas dari semua kemelut, sebenarnya Ugyen adalah harapan rakyat Tibet yang ingin merdeka. Sebab, Karmapa Lama adalah peringkat ketiga dalam urutan Lama di Tibet, setelah Dalai Lama dan Panchen Lama. Memang, menurut aturan agama, Karmapa Lama ke-17 itu sama sekali bukan pengganti Dalai Lama karena Ugyen berasal dari sekte yang berbeda dengan Dalai Lama. Tapi, Dalai Lama sendiri telah memberikan restunya kepada bocah remaja Ugyen ini, meskipun bukan restu menjadi penggantinya. ?Saya telah mengatakan kepadanya bahwa generasi saya sudah semakin tua. Tiba waktunya untuk mempersiapkan pemimpin spiritual dari generasi berikutnya,? kata Dalai Lama. Dan Ugyen pun harus siap untuk perjalanan selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar