Vasavattimaradhiraja
Dipetik dari buku berbahasa Thai berjudul Lokadipani tulisan Phra
Dhammadhirajamahamuni, dituturkan kembali secara bebas Oleh : Hananto,
www.sammaditthi.org
diedit seperlunya oleh sawfa untuk milis atas ijin redaksi
sammaditthi.
---------------------
Vasavattimaradhiraja yang sekarang menjadi maharaja dari para dewa
Mara yang bertinggal di Sorga Paranimmitavasavatti adalah seorang
Bodhisatta yang sedang menyempurnakan paramathaparami untuk mencapai
Kebuddhaan di masa mendatang. Usaha itu telah dimulainya dalam
hitungan asankheyya.
Semasa Sammasambuddha Kassapa muncul di dunia, Maradhiraja terlahir
sebagai seorang manusia yang bernama Bodhi. Dia bekerja sebagai
Senapati utama dan terpercaya dari Maharaja King-kissa. Karenanya, dia
juga dipanggil Bodhisenapati.
Pada suatu hari, Maharaja Kingkissa - yang mempunyai saddha terhadap
Buddhasasana - mendengar bahwa Sang Buddha Kassapa sedang masuk ke
dalam Nirodhasamapatti yang penuh kebahagiaan selama tujuh hari, di
bawah naungan pohon beringin yang amat besar. Mendekati saat keluarnya
Sang Buddha dari Nirodhasamapatti, Maharaja berpikir : 'Sang Buddha
akan segera mengakhiri samadhi-Nya. Barang siapa mempersembahkan dana
pada saat itu, akan mendapat berkah yang besarnya tak terhingga,
apapun keinginannya akan tercapai. Saya tak akan menyia-nyiakan saat
yang baik ini.' Lalu mengeluarkan perintah dan pengumuman pada
rakyatnya.
'Barang siapa mendahului Maharaja mempersembahkan dana pada Sang
Buddha sesaat beliau mengakhiri samadhi-Nya, saya akan menghukum
pancung orang itu.'
Untuk itu Maharaja memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menjaga
sekeliling pohon beringin dimana Sang Buddha sedang melakukan samadhi.
Bila ada orang yang datang hendak mempersembahkan dana,
diperintahkannya untuk ditangkap. Bodhisenapati tahu akan pengumuman
itu. Namun, dia - yang mempunyai saddha yang amat kuat dan bijaksana -
tetap mempunyai keinginan untuk mempersembahkan dana kepada Sang
Buddha sesaat Beliau mengakhiri samadhi-Nya. Dia berpikir bahwa berkah
yang didapat amatlah besar. Dia tak akan menyesal walau harus mati
karenanya.
Pada keesokan harinya, di saat Sang Buddha akan mengakhiri samadhi,
Bodhisenapati bersama istrinya, menyiapkan makanan persembahan dan
pergi menemui Sang Buddha.
Demi melihat Bodhisenapati beserta istrinya, para prajurit penjaga
bertanya : 'Wahai Tuan Senapati, kenapa Tuan melanggar perintah
Maharaja. Bukankah Tuan tahu bahwa Maharaja melarang siapapun
mempersembahkan dana kepada Sang Buddha? Maharaja sendirilah yang akan
mempersembahkan. Atau mungkin Tuan akan pergi ke tempat lain?'
Mendengar itu Bodhisenapati berpikir : 'Kalau seandainya saya
berbohong kepada mereka, atau menasehati Maharaja untuk mengundang
Sang Buddha ke istana, tentu mereka akan percaya dan mengikuti nasehat
saya. Tapi, saya tak ingin melakukannya. Sebab, dengan berbohong,
berkah yang saya dapat tak akan sesuai dengan harapan. Jadi, sebaiknya
saya berkata dengan sesungguhnya, walau harus mati karenanya.'
Maka, iapun menjawab : 'Ya, kami akan mempersembahkan dana makanan
pada Sang Buddha.'
Para prajurit itu pun segera menangkap Bodhisenapati dan istrinya. Dan
dibawa menghadap Maharaja untuk diadili. Maharaja amat Marah karena
dikhianati panglima perangnya dan menjatuhi hukuman pancung terhadap
Bodhisenapati dan istrinya.
Kassapa Sammasambuddha tahu semua apa yang terjadi. Dengan mata
Kebuddhaan-Nya, Beliau tahu siapa Bodhisenapati. Beliau menaruh metta
padanya.
Beliau segera menciptakan bayangan sendiri untuk tetap tinggal di
tempat semula, dan beliau sendiri pergi menemui Bodhisenapati yang
sedang menanti dilaksanakannya hukuman pancung terhadapnya. Karena
kesaktian-Nya, tak seorang pun bisa melihat kedatangan Beliau selain
Bodhisenapati dan istri. Lalu berkata : 'Wahai Bodhisenapati, tetaplah
tenang. Tetap pertahankan saddhamu. Jangan menyesali kehidupan ini.
Segera persembahkan dana makanan yang telah kau persiapkan dengan
keyakinan yang penuh terhadap Tathagata.'
Demi mendengar itu, keyakinan Bodhisenapati semakin mantap. Dengan
saddha dan piti yang telah memenuhi batinnya, dipersembahkannya dana
mereka pada Sang Buddha serta mengucapkan panidhana :
'Sang Buddha sebagai guru dan pelindung bagi semua makhluk. Saya telah
rela menerima kematian demi mempersembahkan dana makanan ini pada Sang
Buddha. Semoga dana persembahan ini menjadi penyebab bagi keinginan
saya untuk mencapai pencerahan sebagai Sammasambuddha di masa yang
akan datang.'
Sambil mengelus kepala Bodhisenapati, Sang Buddha Kassapa berkata :
'Apa yang kau harapkan akan tercapai. Wahai Bodhisenapati, yakinlah,
dimasa yang akan datang kau akan mencapai pencerahan sebagai seorang
Sammasambuddha.'
***********
Setelah dalam waktu yang amat lama mengikuti daur kehidupan dan
kematian dalam vattasamsara ini, Bodhisenapati terlahir sebagai dewa
Mara, menguasai Sorga Paranimitavasavatti. Dan sempat bertemu dengan
Sang Buddha Gotama, yang sebenarnya merupakan kesempatan yang amat
baik untuk berbuat kebajikan dan belajar Dhamma pada Buddha Gotama.
Namun, kesempatan yang amat baik itu sama sekali tidak
dimanfaatkannya. Bahkan, sebaliknya, ia selalu menghambat, menghalang
dan mengganggu Sang Buddha; sejak awal usaha untuk mencapai
Kebuddhaan, hingga menjelang akhir dari kehidupan Sang Buddha. Sebagai
dewa puthujana yang amat sakti namun dikuasai oleh kilesa, dengan
sombongnya ia menguji dan menghalangi kegiatan Sang Buddha Gotama yang
penuh metta. Namun, segala perbuatan jeleknya itu tak (sampai) bisa
digolongkan sebagai garuka kamma yang menyebabkan seseorang terjerumus
ke dalam neraka Avici, seperti Bhikkhu Devadatta yang telah melukai
Sang Buddha dan memecah belah Sangha.
Kiranya, perbuatannya itu bisa diibaratkan sebagai seorang anak nakal
atau durhaka yang selalu tak menyetujui dan melawan orang tuanya. Dan
ternyata, Sang Buddha pun tak pernah meramalkan sesuatu yang jelek
pada dewa Mara seperti kepada bhikkhu Devadatta.
Rupanya, kenakalan dewa Mara muncul kembali manakala ia tahu ada
seseorang yang berusaha melestarikan dan mengembangkan Dhamma secara
murni.
Itu terbukti saat Asoka Maharaja akan mengadakan peresmian dan
perayaan atas terselesaikannya pemugaran candi-candi Buddha di India,
kurang lebih 200 tahun setelah Sang Buddha parinibbana. Ia berusaha
mengganggu dan menggagalkan perhelatan besar itu. Namun, kenakalannya
itu bisa diredam oleh Upagupta Thera, yang membuat dewa Mara jera dan
menyesal. Kembali mengucapkan adhitthana untuk menjadi Sammasambuddha.
*********
Menjelang diadakannya perhelatan peresmian dan perayaan atas
berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha dan pelestarian Buddhasasana
yang diprakarsai oleh Asoka Maharaja, para bhikkhu Arahat dan
menguasai Abhinna, berkumpul diketuai oleh Moggalliputta Tissa Thera.
Mereka membicarakan tentang maksud dewa Mara yang akan datang
mengganggu dan menghalangi terlaksananya perhelatan tersebut. Walaupun
para bhikkhu itu telah mencapai Kearahatan dan menguasai Abhinna,
namun mereka merasa tak seorang pun mampu mengalahkan kesaktian dewa
Mara. Mereka mengetahui dengan mata dewa mereka, hanya seorang bhikkhu
yang mampu mengatasi dewa Mara. Dia adalah Kisanaga Upaguta Thera juga
disebut Upagupta Thera ) yang saat itu berdiam di dasar samudera
Hindia.
Sang Buddha pernah meramalkan bahwa di masa yang akan datang akan
muncul seorang bhikkhu bernama Upagupta yang akan meredam kejahatan
dewa Mara dengan kesaktiannya yang membuat Mara sadar akan
kesalahannya.
Upagupta Thera adalah seorang bhikkhu yang amat sederhana dan lebih
suka tinggal sendiri di tempat-tempat yang hening. Tak suka berkumpul
beramai-ramai. Dia suka mengembara di hutan-hutan, juga di samudera.
Bila tinggal di dasar laut, ia akan menciptakan kuti dari kaca, dan
tinggal sendiri dengan tenang dalam jhana samapatti berlama-lama.
Tanpa makan dan minum. Hingga badannya amat kurus. Karenanya, ia
dinamakan bhikkhu Kisanaga Upagupta.
Pasamuan Sangha memutuskan mengirim dua orang bhikkhu mengundang
bhikkhu Upagupta untuk mengatasi gangguan dewa Mara.
Maka dalam sekejap, dua bhikkhu sakti itu telah tiba dihadapan bhikkhu
Upagupta. Setelah saling tegur dengan Dhamma patisanthara, bhikkhu
utusan itu berkata:
'Avuso Upagupta, kami diutus oleh Pasamuan bhikkhu mengundang Anda
untuk ikut membantu terlaksananya perhelatan kita. Kami dengar Mara
akan datang menggagalkan maksud kami. Sangha menugaskan Anda untuk
mengatasi Mara. Kami harap Anda tak menolak tugas ini.'
Bhikkhu Upagupta pun menjawab :
'Baiklah Avuso, saya menyanggupi tugas ini. Sekarang silakan Avuso
pergi lebih dulu. Saya segera akan menyusul.'
Maka, menghilanglah kedua bhikkhu itu dari hadapan Upagupta Thera dan
muncul kembali di tengah-tengah Pesamuan para bhikkhu. Tapi, apa yang
mereka lihat? Ternyata bhikkhu Upagupta telah tiba lebih dulu. Duduk
dengan tenangnya di hadapan Moggalliputta Tissa Thera.
Keesokan harinya, bhikkhu Upagupta pergi pindapata, menerima dana
makanan dari para upasaka-upasika. Kala itu Asoka Maharaja melihat
bhikkhu Upagupta yang bertubuh amat kurus, merasa ragu-ragu : 'Dewa
Mara terkenal amat sakti. Mungkinkah orang sekurus bhikkhu Upagupta
itu mampu mengalahkan kesaktian dewa Mara?' Untuk meyakinkan dirinya,
ia ingin menguji kemampuan bhikkhu kurus itu. Maka, dengan segera ia
memanggil pengawalnya dan memerintahkan membuat mabuk seekor gajah
istana yang besar dan dilepas menghadang perjalanan bhikkhu Upagupta.
Sang gajah dengan liar dan ganasnya segera menyerang bhikkhu Upagupta.
Melihat itu, Upagupta Thera segera masuk ke dalam metta jhana dan
mengirimkan getaran metta ( cinta kasih ) pada gajah yang sedang mabuk
itu, membuat sang gajah tersadar dari keadaan mabuknya. Kembali
menjadi gajah istana yang perkasa tapi jinak dan manis. Dengan
lembutnya, ia menekuk kaki depannya dan bernamakkara di hadapan
Upagupta Thera. Upagupta Thera mengelus kepala si gajah lalu dengan
tenang meneruskan perjalanan.
Perhelatan yang konon dilaksanakan selama tujuh tahun, tujuh bulan dan
tujuh hari itu dibuka langsung oleh Maharaja Asoka dengan hati yang
tenang karena ia yakin pada kemampuan bhikkhu Upagupta.
Perayaan itu dibuat amat meriah dan mewah. Lampu-lampu hias dan
penerangan amatlah indah dan cemerlang. Terutama lilin-lilin,
bunga-bunga serta dupa pemujaan di altar Sang Buddha ditata begitu
indahnya. Sabda-sabda Sang Buddha dilantunkan kembali oleh para
bhikkhu dengan suara yang teratur dan merdu. Suasana benar-benar
sakral dan menyejukkan hati. Rakyatpun amat bersuka hati dengan
diadakan keramaian itu. Raja yang dermawan dan bijaksana itu berhasil
merebut hati rakyatnya dengan penerapan Dhamma yang benar.
----------
(Pengabdian Asoka Maharaja terhadap Buddhasasana bukan hanya pemugaran
candi-candi Buddha di India. Namun, juga mendukung diadakannya
Sangayana yang ketiga. Mendukung pengiriman para Dhammaduta ke luar
negeri. Yang terkenal diantaranya yaitu, putra-putrinya sendiri,
Mahinda Thera dan Sanghamitta Theri yang dikirim ke Sri Langka.
Mahinda Thera mengadakan Sangayana disana. Sementara Sanghamitta Theri
mendirikan Sangha Bhikkhuni. Dan, Dhammaduta yang diketuai oleh Sona
Thera dan Uttara Thera yang menyebarkan Dhamma ke Burma, Thailand dan
sekitarnya, sempat mampir ke pulau Jawa sejenak. Namun, karena
perjalanan ke tenggara itu amat berat, tak seorang bhikkhuni pun
menyertai sebagai Dhammaduta sehingga tidak terdapat Sangha Bhikkhuni
di tempat yang dikunjungi Sona Thera dan Uttara Thera).
--------------
Namun, perhelatan yang memang telah direncanakan amat meriah dan
menarik itu, ternyata masih ditambah dengan suatu pertunjukan seru dan
mengerikan yang tak diduga sebelumnya. Membuat suasana semakin meriah.
Itu disebabkan oleh ulah dewa Mara yang merasa tak senang atas
berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha dan kini sedang dirayakan.
Hatinya merasa gatal melihat kejayaan Buddhasasana.
Dengan segera ia turun dari Sorga Paranimitavasavatti dan menciptakan
badai, angin puyuh yang dahsyat menyapu segala perlengkapan perhelatan
yang telah diatur sedemikian indah. Melihat itu, Upagupta Thera segera
masuk jhana dan ber-adhitthana menghentikan badai dahsyat itu dan
mengembalikan segala sesuatu yang telah porak poranda ke tempatnya
semula. Dewa Mara terkejut dan merasa terhina demi melihat lawannya
hanyalah seorang bhikkhu yang bertubuh amat kurus dan jangkung. Dia
merubah diri menjadi seekor kerbau hutan yang amat besar dan ganas.
Mengamuk dan merusak barang-barang di sekitarnya. Lalu berlari
menubruk hendak melumat tubuh bhikkhu Upagupta.
Sang Thera mengubah diri menjadi seekor harimau yang jauh lebih besar
dari kerbau hutan itu. Langsung menerkam dan menangkap si kerbau,
membuat si kerbau menguak dan meraung kesakitan. Harimau besar tidak
juga melepaskan kerbau yang telah tak berdaya itu, membuat Mara
semakin marah dan mengubah diri menjadi seekor naga. Meronta,
membebaskan diri dan menyemburkan api beracun menyerang harimau besar.
Dengan cepat harimau itu mengubah diri menjadi seekor garuda yang amat
besar. Menyambut serangan nagaraja dengan paruhnya yang menganga
lebar.
Maka, berlagalah kedua makhluk dahsyat itu dengan serunya. Segala
jurus dan usaha dari nagaraja untuk membelit dan menundukkan raja
garuda selalu gagal. Dengan lincah dan ligatnya garuda menghindar dan
membalas serangan sang naga. Api berbisa yang berkobar-kobar pun
seolah-olah bagaikan angin sepoi-sepoi dirasakan garuda.
Akhirnya, sang garuda berhasil menangkap leher naga dengan paruhnya.
Diterkamnya tubuh sang naga dengan cakarnya yang besar dan tajam serta
dibawa terbang ke udara. Dalam keadaan yang tak berdaya, badan sang
naga terombang-ambing di udara lalu dihempaskan kembali ke bumi. Mara
semakin gusar dengan kekalahan yang membawa siksa ini.
Ia segera mengubah diri menjadi raksasa yang amat besar dengan taring
yang mengerikan. Tangan kanannya menggenggam gada pemukul sebesar
pohon kelapa. Meraung-raung menyerang garuda. Namun, garuda pun segera
berubah menjadi raksasa pula. Badannya lebih besar dan kedua tangannya
memegang gada pemukul pula. Menyambut serangan raksasa Mara. Saling
serang, saling mengelak. Bumi pun berdentam-dentam akibat hempasan
kaki kedua raksasa. Pukulan-pukulan raksasa Mara sering tidak mengenai
sasaran bahkan kalau mengena pun seolah tak dirasa oleh raksasa
ciptaan Sang Thera. Namun, pukulan raksasa ciptaan Sang Thera terasa
amat menyakitkan di tubuh maupun hati raksasa Mara. Tubuhnya terasa
remuk redam dan hatinya pun merasa amat sakit dan pilu menerima setiap
pukulan yang mengena.
Dewa Mara teringat saat bersama pasukannya menyerang Sang Buddha.
Semua senjata yang dilontarkan menyerang tubuh Buddha Gotama berubah
menjadi rangkaian besar bunga yang indah memayungi Sang Buddha.
Pasukannya mundur tersapu badai. Sang Buddha membalas
serangan-serangan dahsyat Mara dengan metta. Beliau sama sekali tidak
membalas serangan dengan siksaan seperti yang diterimanya sekarang.
Bhikkhu Upagupta - murid Sang Buddha itu - telah membuatnya
benar-benar tak berdaya dan tersiksa. Tubuhnya kembali menjadi dewa
Mara, terpuruk lemas di hadapan Sang Thera yang berdiri dengan
tenangnya.
Sebenarnya, ia ingin mengerang dan merintih karena rasa sakit di
sekujur tubuhnya. Namun, perasaan angkuh yang masih menguasai dirinya
membuatnya bungkam seribu basa. Rupanya, penderitaan yang dialaminya
itu belum mampu menghancurkan kesombongan dan keangkuhan yang selama
ini menjadi kebanggaannya. Dengan pasrah ia menunggu apa yang akan
terjadi selanjutnya pada dirinya, karena memang tak mampu berbuat
selain dari itu.
Dengan kesaktiannya, Upagupta Thera menciptakan bangkai anjing yang
telah berbau sangat busuk dan berulat. Lalu dikalung-kan pada leher
dewa Mara serta ber-adhitthana : 'Tak seorang pun, dewa bahkan brahma
yang mampu melepas bangkai anjing ini dari lehermu.'
Dewa Mara pun amat terkejut mendengarnya. Kesombongan dan keangkuhan
kembali mengendalikan batinnya. Dengan marahnya ia terbang mencari
pertolongan pada dewa Catumaharajika. Namun, dewa-dewa Catumaharajika
hanya bisa menjawab :
'Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya.
Apalagi kami.'
Begitupun ketika minta pertolongan pada dewa-dewa yang lebih tinggi
dari dewa-dewa Catumaharajika, seperti Yamadhiraja dan lain-lain.
Mereka menjawab :
'Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya.
Apalagi kami.'
Mendengar jawaban itu, ia tak segera putus asa. Ia terbang menemui
dewa Brahma bahkan Maha Brahma untuk minta pertolongan melepas bangkai
anjing yang menjijikkan itu dari lehernya.
'Wahai Maha Brahma yang sakti dan baik hati, tolong lepaskan bangkai
anjing ini dari leher saya. Bangkai anjing ini semakin lama semakin
busuk saja.'
'Sayang sekali, dewa Mara. Bukannya kami tak mau menolong Anda. Tapi,
sebenarnyalah, tak seorang pun dewa atau Brahma di tiga alam ini yang
mampu melepas bangkai yang menghiasi leher Anda itu. Hanya ada satu
orang yang mampu melakukannya.'
'Katakanlah Tuan, siapa yang mampu melakukannya?' tanya dewa Mara
penuh harap. Tapi, jawaban Maha Brahma membuatnya berkecil hati
kembali.
'Dia adalah Upagupta Thera, Buddhasavaka yang telah mencapai
Kearahatan dan mempunyai Chalabhinna.'
'Murid Gotama itu telah menyiksaku. Tolong nasehatkan padaku, apakah
aku harus merengek-rengek padanya? Maha Brahma, saya merasa keberatan
berhadapan muka dengannya. Hendak ditaruh dimanakah muka saya ini?'
'Wahai dewa Mara. Kami nasehatkan, kembalilah padanya. Sang Thera
adalah seorang yang penuh metta seperti Buddha Gotama gurunya. Atau
Anda menunggu hingga Sang Thera Parinibbana? Lalu, siapa pula yang
mampu melepas bangkai itu dari leher Anda? Apakah Anda menghendaki
perhiasan itu selama hidup Anda?'
Maka, dewa Mara pun berpikir : 'Baiklah! Kalau memang hanya bhikkhu
itu yang mampu melepaskannya, aku akan pergi padanya. Bila telah
terbebas dari bangkai menjijikkan ini, aku akan pergi dan tak ingin
melihat mukanya lagi.'
Setelah berpamitan, maka ia kembali ke dunia menemui bhikkhu Upagupta.
Bhikkhu Upagupta duduk samadhi di kaki gunung Himalaya, seolah sedang
menunggu kedatangan dewa Mara. Dewa Mara duduk di hadapan Sang Thera,
menunggu dengan tertibnya.
'Dewa yang baik, kau telah kembali rupanya. Kemana saja selama ini?'
tegur Sang Thera. Mendengar pertanyaan ini, makin guguplah ia, seperti
seorang anak nakal yang ditegur ayahnya.
'Bhante, lepaskanlah bangkai ini dari leher saya.' Hanya itu yang
diucapkannya. Sang Thera pun tahu bahwa dewa sakti itu masih tetap
dikuasai kesombongan dan keangkuhan.
Bhikkhu Upagupta berdiri. Melolos ikat pinggangnya serta
melemparkannya pada dewa Mara. Ikat pinggang itu memanjang di udara,
jatuh tepat di tubuh dewa Màra, membelit, mengikat tubuh dewa Mara.
Tubuh yang telah terikat erat dan tak bisa berkutik itu dijinjing oleh
Sang Thera, dibawa terbang menuju puncak gunung Himalaya.
'Lebih baik kau beristirahat di sini selama perhelatan yang diadakan
Asoka Maharaja berlangsung. Dengan begini, kau tak bisa
mengganggunya,' kata bhikkhu Upagupta sambil mengikat tubuh dewa Mara
pada puncak Himalaya. Dan Sang Thera pun beradhitthana : 'Tak seorang
pun, dewa bahkan Brahma yang akan mampu melepaskanmu.' Dan
ditinggalnya Mara terikat sendirian di atas sana selama tujuh tahun,
tujuh bulan dan tujuh hari. Alangkah menderitanya dewa malang itu. Ia
hanya bisa mengerang, mengeluh dan meronta tanpa bisa melepaskan diri.
*******
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan pun berganti tahun.
Akhirnya, tiba pula saatnya perayaan meriah itu paripurna. Bhikkhu
Upagupta pergi ke tempat dewa Mara terikat sedang merenungi dan
meratapi nasibnya tanpa bisa dilihat oleh dewa Mara. Sang Thera
sengaja tak menampakkan diri agar bisa tahu apakah dewa Mara telah
jera atau belum.
Mara yang tahu bahwa hari itu adalah hari berakhirnya perhelatan
besar, yang berarti akan terbebaskannya dirinya dari derita setelah
tujuh tahun lebih harus berkalungkan bangkai anjing busuk dan badan
terikat erat tak bisa beranjak kemana pun.
Baru kali ini dia punya kesempatan merenungkan semua tindakan dan
tingkah laku yang salah di masa lalu. Dalam keadaan tak berdaya,
batinnya bisa berpikir dengan jernih. Bukan dia yang terhebat di dunia
ini!
Dia teringat, karena pikiran usilnya, mengganggu Buddha Gotama yang
tak pernah berbuat salah padanya, dengan segala macam cara.
Sammasambuddha Gotama yang telah mencapai kesucian tertinggi, terbebas
dari nafsu, dia umpan dengan anak-anak gadisnya yang cantik
menggairahkan.
Sammasambuddha Gotama yang menguasai segala kesaktian, dia serang
dengan kekuatan penuh, dengan pasukan dan senjata lengkap. Sang Buddha
mengalahkannya tanpa menyakitinya, tanpa menyiksanya. Keusilannya
belum cukup sampai di situ. Kemudian, ia meminta Buddha Gotama untuk
segera memasuki Parinibbana. Begitupun ketika Buddhasasana, karya Sang
Buddha berjaya, iapun merasa tak senang. Sang Buddha tak pernah
mempunyai urusan dengannya. Buddhasasana pun tak pernah
menyusahkannya. Tapi, kenapa pula ia mencari perkara terhadap orang
yang tak bersalah. Kenapa pula ia usil terhadap orang yang tak pernah
mengusilinya.
Dan kini, karena ulahnya itu, ia terkena batunya. Ia harus tersiksa
karenanya. Murid Buddha Gotama yang muncul dua ratus tahun setelah
Sang Buddha Parinibbana itu telah memberinya pelajaran yang amat
berharga, walau terasa amat pahit. Membuat mata hatinya terbuka lebar.
Membuatnya sadar, betapa jahatnya dirinya, betapa usilnya dirinya,
betapa bodohnya dirinya.
Mengingat itu semua, dia merasa amat malu pada dunia. Dia merasa amat
malu pada Buddha Gotama. Dia merasa amat malu pada bhikkhu Upagupta.
Dan lebih dari itu semua, ia merasa amat malu pada diri sendiri. Dia
menyesali diri sendiri yang telah buta terhadap kebaikan. Mengabaikan
kesempatan yang amat langka.
Akhirnya, ia merasa amat marah terhadap dirinya sendiri. Giginya
mengatup, menggeretak. Dengan geram ia meronta. Dihentakkannya kakinya
beberapa kali ke tanah. Bumi pun berguncang. Salju pun pecah
bertebaran, berserakan menggelinding ke bawah mengikuti aliran sungai
Gangga.
Setelah melampiaskan kemarahan yang mengganjal di dada, Dewa Mara
merasa lilih, tenang. Pikirannya menjadi semakin jernih.
'Alangkah beruntungnya aku bertemu dengan bhikkhu Upagupta yang mampu
menyadarkan diriku. Apa yang terjadi bila tak seorang pun mampu
mengajarku. Tentu aku akan tetap tersesat pada kejahatan. Tapi, akan
lebih baik lagi bila aku mampu mencapai pencerahan sebagai
Sammasambuddha yang penuh welas asih, sebagai pelindung dan guru dari
semua makhluk' pikirnya.
Maka, di kesunyian puncak Himalaya yang amat dingin dan penuh salju,
dengan lantangnya dewa Mara, penguasa sorga Paranimmitavasavatti itu,
ber-adhitthana : 'Wahai alam semesta dan seisinya, saksikanlah, aku,
Maradhiraja penguasa sorga Paranimmittavasavatti, sejak saat ini,
menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, bertekad
akan berusaha menyempurnakan parami untuk mencapai penerangan sempurna
sebagai Sammasambuddha, pelindung dan guru bagi semua makhluk.'
Sesudah menguncarkan adhitthana itu, batinnya dipenuhi oleh ketenangan
dan kebahagiaan. Ketenangan dan kebahagiaan yang belum pernah
dirasakan sebelumnya.
Tiba-tiba, muncullah Upagupta Thera di hadapannya. Dengan malu-malu
dewa Mara menegur Sang Thera : 'Bhante, berarti sejak tadi Bhante
telah berada di sekitar tempat ini.'
'Benar, dewa yang baik. Saya tahu apa yang Anda perbuat dan mendengar
apa yang Anda katakan. Maka dari itu, ijinkan saya menyampaikan hormat
saya pada Anda, seorang Bodhisatta.'
'Tapi, Bhante dengan begitu kejamnya telah menyiksa saya. Saya tak
ingin menjadi seorang Arahat seperti Bhante, karena saya tak ingin ada
orang tersiksa seperti saya. Saya ingin menjadi Sammasambuddha yang
penuh welas asih.'
Dengan tersenyum geli, Upagupta Thera berkata :
'Dewa yang baik, janganlah Anda mendendam pada saya. Karena kamma kita
di masa lampau, kita berdua harus sering bertemu dan saling menyakiti.
Tapi, dalam kehidupan ini, sayalah yang menang dan berhasil
mengingatkan Anda kembali ke jalan yang benar. Itu tugas akhir saya
terhadap Anda. Bukankah kita tak akan bertemu lagi pada kehidupan yang
akan datang? Karenanya, harap Anda memaafkan saya bila Anda merasa
tersiksa karenanya. Jadi, bukan karena saya tak mempunyai welas asih.
Tapi, semata-mata karena kewajiban yang harus saya lakukan.'
'Bhante benar. Tak ada lagi hutang piutang diantara kita. Saya merasa
amat berterima kasih pada Bhante yang telah menolong saya untuk
kembali ke jalan yang benar. Dan Bhante ..., telah terlalu lama saya
menderita begini. Tolong bebaskanlah saya sekarang. Saya telah rindu
pada kebahagiaan sorgawi di istana saya' pintanya.
Bhikkhu Upagupta memejamkam mata sejenak, sambil mengatupkan kedua
telapak tangan di dada. Maka, terurailah ikat pinggang yang membelit
tubuh dewa Mara, melayang di udara, menjadi pendek seperti semula dan
jatuh tepat di tangan Sang Thera. Bangkai anjing di leher Mara pun
lenyap seketika.
Dewa Mara menarik napas dengan lega. Dia merasa amat kagum pada
kesaktian Sang Thera, murid Sang Buddha. Kalau muridnya saja begitu
sakti, bagaimana pula dengan Sang Buddha. 'Sebelum Anda kembali ke
tempat Anda, bolehkah saya meminta sesuatu pada Anda?' tanya Upagupta
Thera setelah membebaskan dewa Mara.
'Tentu, Bhante. Apakah yang harus saya perbuat untuk Bhante?'
'Wahai dewa Mara. Dalam satu hal, saya merasa kurang beruntung. Saya
dilahirkan jauh sesudah Sang Tathagata parinibbana. Karenanya, saya
tak pernah bertemu dan melihat langsung bagaimanakah rupa dari Guru
saya tersebut. Dalam hal ini Anda lebih beruntung dari pada saya. Anda
pernah bertemu dan melihat langsung Sang Buddha. Saya harap Anda mau
mengubah diri Anda menjadi Sang Buddha agar saya dapat melihat
bagaimanakah Guru saya itu. Itulah permintaan saya.'
'Baiklah, Bhante. Tapi, dengan satu syarat yang harus Bhante penuhi.
Bila saya telah mengubah diri menjadi Sang Buddha, janganlah Bhante
namakkara pada saya. Saya tak sanggup lagi menerima buah kamma buruk
karenanya,' kata Mara penuh kekhawatiran.
'Baiklah,' jawab Sang Thera.
Maka, Mara mengubah diri menjadi Buddha Gotama, lengkap dengan
Mahapurisalakkhana (tiga puluh dua ciri-ciri Kebuddhaan). Berjalan
dengan anggunnya diiringi oleh Asitimahasavaka (delapan puluh
murid-murid utama).
Setelah cukup lama memperhatikan dengan seksama, dengan penuh hormat,
Upagupta Thera melakukan namakkara di hadapan Sang Buddha.
Dengan segera lenyaplah pemandangan Sang Buddha beserta
murid-muridnya, berganti dengan dewa Mara yang sedang berdiri dengan
muka cemberut memandang Sang Thera.
'Mengapa Bhante mengingkari janji? Mengapa Bhante namakkara pada saya?
Lalu, buah kamma apa lagi yang akan saya terima karenanya? Dulu saya
telah banyak berbuat jahat pada Sang Buddha. Dan saya harus tersiksa
dengan badan terikat di puncak Himalaya ini,' kata Mara dengan penuh
kecemasan.
'Janganlah anda cemas. Saya tak mengingkari janji. Bhikkhu Upagupta
tidak melakukan namakkara pada dewa Mara. Saya melakukan namakkara
pada Sang Buddha, guru saya. Hal itu sama sekali tak berpengaruh pada
anda. Anda tidak akan menerima akibat buruk karenanya. Terima kasih
atas kebaikan anda. Kini, silakan kembali ke tempat Anda di sorga
Paranimmitavasavatti. Sayapun akan kembali ke senasana saya di laut
selatan. Selamat tinggal, dewa Mara.' Maka lenyaplah Sang Thera dari
pandangan dewa Mara.
Dewa Mara pun segera kembali ke sorga Paranimmitavasavatti, tingkatan
sorga yang tertinggi di antara sorga para dewa.
Kini, Maradhiraja yang biasa dikenal sebagai dewa Mara, masih
bertinggal di sorga Paranimmitavasavatti sebagai seorang Bodhisatta
yang sedang menghimpun Dasaparami. Kelak, di kappa yang akan datang,
dewa Mara akan berhasil mencapai penerangan sempurna sebagai seorang
Sammasambuddha. Sebagai satu-satunya Sammasambuddha di kappa tersebut.
Akan disebut Sammasambuddha Dhammasami, yang mempunyai amat banyak
murid yang berhasil mencapai kesucian.Kappa dimana kini kita hidup,
mempunyai paling banyak Sammasambuddha, yaitu lima orang
Sammasambuddha.***
****************
Sebagaimana ia mengajari orang lain, demikianlah hendaknya ia berbuat. Setelah
ia dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, hendaklah ia melatih orang
lain. Sesungguhnya amat sukar untuk mengendalikan diri sendiri.(DHAMMAPADA,
syair 159)
Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi
suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seorangpun yang
dapat mensucikan orang lain. (DHAMMAPADA, syair 165)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar