DETIK-DETIK KEMENANGAN BODDHISATTA
DETIK-DETIK KEMENANGAN BODDHISATTA PETAPA GOTAMA ATAS MARA DAN PASUKANNYA
Mara berusaha dengan keras untuk menaklukkan Boddhisatta Petapa Gotama dengan berbagai kesaktian dan tipu-dayanya. Namun Boddhisatta Petapa Gotama, dengan Welas-Asihnya, mampu mematahkan berbagai serangan yang dilancarkan oleh Mara.
Tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi, panik serta marah, ia meneriakkan perintah (kepada pasukannya), “Mengapa kalian hanya berdiri diam di sana? Jangan biarkan Pangeran Siddhattha ini mencapai cita-cita-Nya menjadi Buddha; tangkap Dia, bunuh Dia, tusuk, dan hancurkan Dia. Jangan biarkan Dia melarikan diri.” Ia sendiri mendekati Bodhisatta, duduk di punggung Gajah Girimekhala, melambai-lambaikan sebatang anak panah, ia berkata kepada Bodhisatta, “O Pangeran Siddhattha, menjauhlah dari singgasana permata itu.” Pada saat itu, prajurit-prajurit Màra terlihat dalam wujud yang menakutkan, dan mengancam dengan tindakan-tindakan yang menakutkan.
Seorang ayah yang penuh welas asih tidak akan menunjukkan kemarahan sedikit pun kepada putranya yang nakal, bahkan sebaliknya ia akan merangkulnya, memangkunya dan menidurkannya di pangkuannya dengan cinta kasih dan welas asih seorang ayah terhadap anaknya. Demikian pula, Bodhisatta mulia memperlihatkan kesabaran terhadap semua perbuatan buruk dari Màra jahat, tidak sedikit pun merasa sedih; dan Beliau melihat Màra tanpa rasa takut tetapi dengan penuh cinta kasih dan welas asih.
Jika kumpulan jasa-jasa baik seluruh makhluk-makhluk di seluruh alam semesta yang tidak terhitung banyaknya ditempatkan di satu sisi dari sebuah timbangan kebijaksanaan dan kumpulan jasa-jasa baik yang Kulakukan dalam bentuk Pàramã, ditempatkan di sisi lainnya, kumpulan jasa-jasa baik dari seluruh makhluk tidak dapat menyamai bahkan seper dua ratus lima puluh enam (1/256) dari jasa-jasa baik yang dihasilkan dari satu Pàramã yang Kulakukan. Benar! Bahkan dalam kehidupan-Ku sebagai kelinci di alam binatang, Aku telah dengan sengaja melompat ke dalam kobaran api untuk memberikan daging-Ku yang telah matang dengan penuh kegembiraan ketika Aku melihat ia yang mengharapkan daging-Ku.
Màra tidak tahu, manusia seperti apakah Aku ini; bahwa Aku memiliki pribadi yang seperti ini dalam kehidupan ini adalah sebagai hasil dari kebajikan-kebajikan yang telah Kulakukan. Dan dia pikir Aku hanyalah manusia biasa.
Sebenarnya, Aku bukanlah manusia biasa berumur tujuh hari; Aku juga bukan raksasa, atau brahmà atau dewa. Aku dikandung dalam rahim seorang perempuan meskipun Aku bukan seorang manusia biasa berumur tujuh tahun untuk menunjukkan penderitaan karena usia tua, sakit, dan kematian dalam lingkaran kelahiran kepada semua makhluk.
Hei! Màra, meskipun Aku terlahir di alam manusia ini, Aku tidak sedikit pun ternoda oleh kondisi-kondisi makhluk-makhluk. Setelah mengatasi kondisi-kondisi ini yang tidak terbatas dan kotoran batin yang juga tidak terbatas, Aku memperoleh gelar si penakluk yang tidak terbatas (Anantajina). Bahkan selagi Aku duduk di singgasana tidak terlihat tanpa mengubah postur duduk bersila ini, Aku telah menghanguskan dan menyingkirkan semua kotoran batin; Aku telah benar-benar menjadi Buddha di antara manusia, dewa, dan brahmà. Dan Aku akan menolong semua makhluk dari aliran samsàra dan membawanya ke daratan tinggi Nibbàna. Engkau tidak mampu menahan-Ku; bukan urusanmu.
Hei! Màra, melihat bala tentaramu mendekat dari segala penjuru dengan kibaran bendera dan engkau yang menunggangi Gajah Girimekhala, Aku mendekat dan menghadapimu dengan kebijaksanaan dan bertempur dengan gagah berani. (Yang dimaksudkan di sini bukan mendekat secara fisik, tetapi dengan kekuatan kebijaksanaan). Engkau tidak dapat membuat-Ku bangkit atau pindah dari singgasana yang tidak terlihat ini; Aku akan melihat bahwa engkau tidak mampu melakukan hal ini.
Hei! Màra, bagaikan seorang kuat yang menggunakan sebuah batu besar menghancurkan semua kendi dan cangkir yang dibuat oleh seorang pengrajin tembikar, Aku akan menghancurkan dengan sebelah tangan dan tanpa bangkit dari tempat ini dan dengan kekuatan kebijaksanaan, sepuluh bala tentaramu berupa nafsu indria, kamaraga, (telah dijelaskan di atas) yang mana seluruh dunia akan mengaku kalah, Aku akan menghancurkannya dengan perasaan jijik; atau bala tentaramu yang mendekat yang sebesar dua belas yojanà ke depan, kiri dan kanan, sembilan yojanà ke atas mencapai batas alam semesta, Aku akan memukul mundur seluruh bala tentaramu hingga tidak satu pun yang tertinggal. Bahkan sejak saat ini, engkau dan seluruh bala tentaramu akan Kubuat menyerah bagaikan sekelompok burung-burung yang terbang jauh karena dilempar batu.
Hei! Màra, sebenarnya, jika Aku menginginkan (jika Aku ingin menjadi kecil), Aku dapat berjalan-jalan di dalam sebutir biji mostar. Jika Aku menginginkan (jika Aku ingin menjadi besar), Aku dapat menutupi seluruh alam semesta dengan tubuh-Ku (atthabhava).
Hei! Màra, Aku memiliki kekuatan untuk menghancur-leburkan engkau beserta seluruh bala tentaramu hanya dengan menjentikkan jari; namun Aku tidak akan merasakan sedikit pun kegembiraan dengan membunuh makhluk lain, karena itu adalah perbuatan salah.
Apa untungnya bagi-Ku jika Aku menggunakan senjata kekuatan fisik-Ku melawan Màra ini yang seukuran cacing tanah? Benar, Aku bahkan tidak menyukai berbicara dengan Màra jahat ini.
(Sebelum Bodhisatta mengucapkan kata-kata tegas ini, Màra bertanya, “O Pangeran Siddhattha, mengapa Engkau menduduki singgasana yang tidak terlihat milikku ini?” Bodhisatta menjawab, “Siapakah yang menjadi saksi bahwa singgasana yang tidak terlihat ini adalah milikmu?” Dewa Màra merentangkan tangannya dan berkata, “Apa gunanya mendatangkan saksi lain; semua prajurit Màra yang sekarang berada di depan-Mu adalah saksiku;” dan pada saat itu, banyak crore prajuritnya muncul bersamaan berseru “Aku saksinya, aku saksinya.” Kemudian Bodhisatta, untuk menahan pasukan Màra, mengucapkan bait berikut untuk mengungkapkan saksinya).
Hei! Màra, karena keinginan-Ku akan singgasana yang tidak terlihat ini, tidak ada dàna yang tidak Kuberikan; tidak ada sãla yang tidak Kupatuhi; tidak ada penyiksaan diri (dukkara) yang tidak Kupraktikkan, dalam banyak kehidupan di banyak alam. Hei! Màra, untuk Kesempurnaan Kedermawanan saja, yang telah Kulakukan dalam banyak kehidupan, bahkan dalam satu kehidupan sebagai Vessantara,
ketika Aku melakukan dàna besar tujuh kali hingga mencapai dàna-Ku yang tertinggi dengan mendanakan Ratu Maddi, bumi ini berguncang tujuh kali. Sekarang Aku menduduki singgasana yang tidak terlihat ini untuk menaklukkan seluruh dunia, dan engkau bala tentara Màra datang menantang-Ku bertempur, mengapa bumi ini begitu tenang dan tidak berguncang?
Hei! Màra, engkau memerintahkan prajuritmu untuk memberikan kesaksian palsu; namun bumi ini tidak berniat apa-apa dan bersikap adil padamu maupun pada-Ku, bumi ini tidak memihak engkau maupun Aku, dan tidak bermaksud apa pun, bumi ini adalah saksi-Ku.” Setelah berkata demikian, Bodhisatta mengeluarkan tangan kanan-Nya dari balik jubah-Nya dan menunjuk bumi, bagaikan lintasan kilat yang menyambar dari celah awan.
Pada saat itu juga, bumi ini berputar cepat bagaikan roda tembikar dan berguncang dengan keras. Bunyi yang diakibatkan oleh bumi menggelegar di seluruh angkasa bagaikan guruh. Tujuh gunung yang mengelilingi Gunung Meru serta Pegunungan Himalaya juga bergemuruh terus menerus, Seluruh sepuluh alam semesta berguncang menakutkan dan mengeluarkan bunyi yang dahsyat, bergemeretak dan terdengar bunyi ledakan-ledakan bagaikan hutan bambu yang terbakar. Seluruh angkasa yang tidak berawan bergemuruh menakutkan bagaikan padi yang dipanggang dan meletus di dalam panci panas. Hujan percikan api yang sangat lebat bagaikan air terjun lahar dari gunung berapi, dan halilintar menyambar-nyambar.
Màra, yang terperangkap di tengah-tengah bumi dan langit yang terus-menerus menggelegar, sangat ketakutan tanpa pertolongan dan perlindungan, menjatuhkan bendera pertempurannya dan melepaskan seribu senjatanya di tempat itu juga, kemudian lari tunggang langgang dengan kecepatan tinggi tanpa sempat melirik ke arah gajahnya ‘Girimekhala.’ Karena Màra menyerah, bala tentaranya porak poranda dan para prajuritnya juga menyerah, bubar dalam kekacauan ke segala penjuru bagaikan abu yang berhamburan tertiup badai; akhirnya mereka semua kembali ke Alam Dewa Vasavatti.
Demikianlah, dengan kemenangan atas Màra Vasavatti sebelum matahari tenggelam pada hari purnama di bulan Vesàkha, di tahun 103 Mahà Era, Bodhisatta menjadi penakluk semua alam, semua makhluk dan mencapai keadaan tanpa takut, tanpa bahaya, dan dengan selamat. Pada saat itu, melihat bala tentara Dewa Màra yang tercerai berai dan porak poranda, para dewa dan brahmà yang lari ketakutan saat datangnya Màra, bertanya-tanya, “Siapa yang akan keluar sebagai pemenang? Siapa yang kalah?” Menyaksikan peristiwa ini, mereka bersorak, “jayo hi Buddhassa sirimato ayam,” dan seterusnya.
“Kabar baik, Màra telah ditaklukkan; Pangeran Siddhattha keluar sebagai pemenang; kita akan merayakan kemenangan-Nya.” Dikirim dari satu nàga ke nàga lain, dari satu garuda ke garuda lain, dari satu dewa ke dewa lain, dari satu brahmà ke brahmà lain; membawa bunga-bunga dan wangi-wangian, dan lain-lain di tangan masing-masing; mereka berkumpul di singgasana Mahàbodhi di mana Bodhisatta berdiam.
Kemenangan yang diserukan oleh bumi dan langit yang mati yang bergemuruh seolah-olah hidup, hanya dimiliki Buddha, yang karena Kemahatahuan-Nya memiliki segala pengetahuan akan Kebenaran sampai yang sekecil-kecilnya yang harus diketahui, yang merupakan gudang penyimpanan keagungan yang tiada bandingnya di sepuluh ribu alam semesta.
Kemenangan ini dirayakan oleh manusia, dewa, dan Brahmà yang bergema menembus angkasa. Dan Màra yang jahat dan keji yang menderita hinaan kekalahan, mundur kocar kacir, takut akan kekuatan Buddha, dan dibutakan oleh kebodohan, mundur bersama bala tentaranya, seolah-olah dapat menyebabkan pergolakan di delapan penjuru permukaan bumi, yang memulai serangan dengan gertakan untuk merebut singgasana Puncak-Bodhi (Bodhimakuta Pallanka).
Demikianlah, pada hari kemenangan, pada hari purnama di bulan Vesàkha, tahun 103 Mahà Era, di tempat singgasana yang tidak terlihat di mana Kemahatahuan dicapai oleh Buddha, rombongan nàga, garuda, dewa, dan Brahma di alam surga, berbahagia dan bergembira dengan kemenangan Buddha, yang telah melatih sifat-sifat luar biasa seperti kelompok-kelompok perbuatan baik (silakhandha), menyerukan kemenangan yang bergema keras mencapai sepuluh ribu alam semesta.
Semua dewa dan brahmà yang berasal dari sepuluh ribu alam semesta berkumpul di depan Bodhisatta, bersujud di depan-Nya, memberi hormat dengan persembahan bunga-bungaan, wangi-wangian, menyanyikan puji-pujian dan menyampaikan penghormatan dalam berbagai cara.
PENCAPAIAN KE-BUDDHA-AN DENGAN DITANDAI PENEMBUSAN TIGA PENGETAHUAN SEJATI (TEVIJJO)
Setelah memenangkan pertempuran melawan Màra Vasavattã yang juga dikenal dengan Devaputta Màra sebelum matahari terbenam pada hari purnama di bulan Vesàkha tahun 103 Mahà Era, Bodhisatta menembus tiga pengetahuan, (vijja) , dengan urutan sebagai berikut: Pengetahuan mengenai kehidupan-kehidupan lampau (Pubbenivasanussati Nàna) di jaga pertama malam itu; mata-dewa (Dibbacakkhu Nàna), di jaga pertengahan malam itu; dan pengetahuan akan padamnya perbuatan buruk (Asavakkhaya Nàna) di jaga terakhir malam itu, dan mencapai Kebuddhaan di jaga terakhir malam itu juga di malam purnama bulan Vesàkha.
PENGHORMATAN OLEH PARA DEWA DAN BRAHMA
Pada waktu itu, Sakka sedang berdiri di Alam Dewa Tàvatimsa meniup kulit kerang Vijayuttara yang panjangnya 120 yojanà, untuk memanggil para dewa dan brahmà. Suara dari kulit kerang tersebut dapat terdengar hingga seluas sepuluh ribu yojanà. Sambil meniup kulit kerangnya terus menerus, Sakka berlari cepat menuju pohon Bodhi. (Bukan hanya Sakka dari alam semesta ini, tetapi semua Sakka dari sepuluh ribu alam semesta juga mendatangi Bodhisatta sambil meniup kulit kerang).
Mahà Brahmà datang dan memberi hormat dengan memegang payung putih yang ditinggalkannya di puncak Gunung Cakkavala dan memayungi Bodhisatta dari atas. (Semua Mahà Brahmà dari sepuluh ribu alam semesta datang berdiri memegang payung putih di tangan masing-masing, payung-payung tersebut saling bersentuhan sehingga tidak ada celah di antaranya.)
Suyama, raja dari Alam Dewa Yama datang dan berdiri di dekat Bodhisatta, memberi hormat dengan mengibaskan kipas dari ekor yak yang berukuran tiga gàvuta. (Semua Dewa Suyama dari sepuluh ribu alam semesta datang dan memberi hormat, masing-masing memegang kipas dari ekor yak, memenuhi alam semesta ini.)
Santusita, raja Alam Dewa Tusita, juga datang dan memberi hormat dengan mengipasi Bodhisatta dengan kipas berhias batu delima berukuran tiga gàvuta. (Semua Dewa Santusita dari sepuluh ribu alam semesta juga datang dan memberi hormat, masing-masing memegang kipas berhiaskan batu delima, memenuhi alam semesta ini.)Dewa Pancasikha datang, membawa harpa surgawi, Beluva, diiringi oleh sekelompok penari surgawi, dan memberi hormat dengan menari, bernyanyi, dan memainkan musik. (Semua penari surgawi dari sepuluh ribu alam semesta datang dan memberi hormat dengan menari, bernyanyi, dan bermain musik.)
Selanjutnya, semua dewa dan dewi yang berdiam di sepuluh ribu alam semesta berkumpul di alam semesta ini dan memberi hormat dengan berdiri di tempat-tempat yang masih tersedia, beberapa dari mereka bahkan harus berdiri dengan berpegangan di tiang pintu gerbang.
Beberapa berdiri di sekeliling bersama kelompoknya masing-masing, membawa berbagai persembahan yang terbuat dari tujuh jenis permata, beberapa membawa pohon pisang dari emas, beberapa membawa istana emas, beberapa membawa kebutan dari ekor yak, beberapa membawa tongkat (untuk mengendalikan gajah), beberapa membawa sepasang ikan, beberapa membawa bunga mawar, panggung bundar dari emas, mangkuk berisi air, kendi berisi air, kulit kerang, tongkat api, lampu minyak dengan tiang dari batu delima, cermin emas, cermin bertatahkan batu mulia, cermin dengan tujuh jenis permata, lampu minyak berhiaskan batu delima, kain-kain untuk bendera dan pita-pita, dan pohon-pohon harapan.
Semua dewa dari sepuluh ribu alam semesta datang, terlihat penampilan para penari surgawi, dan memberi hormat dengan menarikan tarian surgawi, menyanyikan lagu-lagu surgawi, mempersembahkan bunga-bunga, wangi-wangian, dan bubuk dupa surgawi. Pada waktu itu, seluruh angkasa dipenuhi oleh bunga-bungaan dan wewangian surgawi seolah-olah seluruh semesta ditutupi oleh hujan lebat.PENCAPAIAN KE-BUDDHA-AN DI ANTARA TIGA ALAM
Ketika Bodhisatta mencapai Arahatta-Phala segera setelah mencapai Arahatta-Magga, batin-Nya menjadi sangat murni dan Beliau mencapai Pencerahan Sempurna (Sammàsambuddha), pemimpin tertinggi di tiga alam, dengan pencapaian Kemahatahuan (Sabbannuta Nàna) bersama-sama dengan Empat Kebenaran Mulia, Empat Pengetahuan Analitis (Patisambhidà Nàna), Enam Kebijaksanaan Tinggi (Assadhàrana Nàna), yang menjadikan Empat belas Kebijaksanaan seorang Buddha, dan Delapan belas kualitas (âvenika Dhamma), dan Empat Kebijaksanaan Berani (Vesàrajja Nàna). Bersamaan dengan tercapainya Sabbannuta Nàna ( Ke-Maha-Tahu-an ), datanglah fajar. (Penembusan Sabbannuta Nàna ( Ke-Maha-Tahu-an ) berarti tercapainya Kebuddhaan.)
BERDIAM DI TUJUH TEMPAT SETELAH PENCERAHAN-SEMPURNA (1) Satu Minggu di Singgasana (Pallanka-sattàha)
Setelah mencapai Kebuddhaan, pada hari pertama bulan mulai memudar di bulan Vesàkha, Buddha mengucapkan seruan gembira (udàna), dan masih dengan postur duduk bersila di atas singgasana Aparàjita, Beliau berpikir:“Untuk memperoleh singgasana ini, Aku telah mengembara dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain selama empat asankhyeyya dan seratus ribu kappa, memenuhi Sepuluh Kesempurnaan, berkali-kali dengan cara yang unik.
Selama empat asankhyeyya dan seratus ribu kappa, untuk memperoleh singgasana Aparàjita ini, berkali-kali Aku memenggal dan mendanakan kepala-Ku; berkali-kali Aku mencungkil dan mendanakan mata dan jantung-Ku; berkali-kali Aku mendanakan putra-Ku seperti Jàli, putri-Ku seperti Kanhajina, dan istri-Ku seperti Maddi kepada mereka yang memintanya untuk dijadikan budak. Dari atas singgasana inilah Aku secara total menaklukkan lima Màra.
Sebuah singgasana yang sunguh-sungguh agung dan mulia. Selagi duduk di atas singgasana ini, semua keinginan-Ku, termasuk cita-cita untuk menjadi Buddha telah terkabulkan. Aku belum akan bangkit dari singgasana ini karena Aku berhutang banyak kepada singgasana ini.”
Demikianlah Buddha menghabiskan tujuh hari di atas singgasana tersebut berdiam dalam Jhàna Keempat yang membawa kepada tingkat Kearahattaan, pencapaian yang berjumlah lebih dari seratus ribu crore.
Berdiam dalam Jhàna Keempat sehari penuh pada hari pertama setelah mencapai Pencerahan Sempurna, Buddha menikmati kebahagiaan Kebebasan, Vimutti (Kebahagiaan Kearahattaan). Selama jaga pertama malam itu, Beliau merenungkan hukum Paticcasamuppàda (Musabab Yang Saling Bergantung), “avijjà paccaya saïkhàrà,” Karena kebodohan (avijjà), tiga jenis bentukan-bentukan pikiran (saïkhàra), yaitu: pikiran baik (pu¤¤àbhisaïkhàra), pikiran buruk (apu¤¤àbhisaïkhàra), dan pikiran netral (ana¤jabhisaïkhàra) muncul. Dimulai dengan cara ini, Buddha meneruskan perenungan dengan urutan maju proses munculnya lingkaran penderitaan.
Kemudian Beliau merenungkan, “avijjàya tv’eva asesaviràganirodho sangkhàra nirodho,” “Karena lenyapnya kebodohan dan tidak muncul kembali melalui Jalan Kearahattaan, tiga jenis bentukan-bentukan pikiran, yaitu: pikiran baik, pikiran buruk, dan pikiran netral juga lenyap (dan tidak muncul kembali).” Kemudian Buddha melanjutkan perenungan dengan urutan mundur proses lenyapnya lingkaran penderitaan.
Ketika Buddha terus-menerus merenungkan hukum ini dalam urutan maju dan urutan mundur, Beliau menjadi lebih memahami, lebih jelas dan lebih jelas lagi, proses munculnya penderitaan dalam saÿsàra dalam urutan maju, karena kebodohan yang menjadi penyebabnya, muncullah akibat yang tidak putus-putusnya berupa bentukan-bentukan pikiran, dan lain-lain; demikian pula Buddha juga memahami proses lenyapnya penderitaan saÿsàra dalam urutan mundur, bahwa, karena lenyapnya kebodohan dan lain-lain yang menjadi penyebabnya (tidak muncul kembali), sehingga
akibatnya juga lenyap yang merupakan lenyapnya bentukan-bentukan pikiran, dan lain-lain (dan tidak muncul kembali). Demikianlah, muncul terus-menerus dorongan-dorongan hati dalam batin Buddha seperti mahà-kiriya somanassasahagata nanasampayutta asa¤khàrika javana diawali dengan kepuasan dan kegembiraan, pãti dalam hati-Nya.(2) Satu Minggu Menatap Pohon Bodhi (Animisa-sattàha)(Tujuh hari selama Buddha menatap pohon Mahàbodhi dan singgasana Aparàjita tanpa mengedipkan mata-Nya disebut animisa sattàha).
Setelah mencapai Kebuddhaan dan menikmati kebahagiaan Kearahattaan (tanpa mengubah postur bersila-Nya selama duduk) Buddha tetap duduk di atas singgasana Aparàjita selama tujuh hari.
Dalam batin beberapa dewa dan brahmà biasa (selain dewa dan brahmà yang mengetahui ciri-ciri Buddha karena mereka telah mengalami mencapai Jalan dan Buahnya dalam masa Buddha-Buddha sebelumnya) merasa ragu dan bertanya-tanya, “Buddha belum bangkit dari singgasana sampai saat ini. Selain dari ciri-ciri yang telah dimiliki-Nya, adakah ciri-ciri lain yang memungkinkan-Nya mencapai Kebuddhaan?”
Kemudian pada hari kedelapan (kedelapan setelah purnama) Buddha bangkit dari menikmati kebahagiaan Kearahattaan; mengetahui keraguan dewa dan brahmà tersebut, Buddha naik ke angkasa dan memperlihatkan Keajaiban Ganda (Yamaka-Patihariya) —air dan api untuk menghilangkan keraguan mereka.
(Keajaiban ganda yang diperlihatkan di Mahàbodhi ini, yang diperlihatkan pada pertemuan sanak saudara-Nya di Kota Kapilavatthu, yang diperlihatkan pada pertemuan para petapa telanjang Pathikaputta di Kota Vesàli―Semua Keajaiban Ganda ini sama dengan yang diperlihatkan di dekat pohon mangga di Kandamba. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut.)
Setelah menghilangkan keraguan para dewa dan brahmà dengan memperlihatkan Keajaiban Ganda air dan api, Buddha turun dari angkasa dan berdiri tegak bagaikan tiang emas di sebelah timur laut dari singgasana Aparàjita dan merenungkan, “Aku telah mencapai Kemahatahuan di atas singgasana Aparàjita ini,”
Beliau menghabiskan tujuh hari tanpa berkedip menatap singgasana dan pohon Mahàbodhi di mana Beliau mencapai ‘Arahatta-Magga ¥àõa dan Sabba¤¤uta ¥àõa’ sebagai hasil dari Kesempurnaan yang Beliau penuhi selama kurun waktu empat asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa. Tempat itu disebut Animisa Cetiya.
(3) Satu Minggu Berjalan (Cankama-sattàha)
Ketika tiba di minggu ketiga, Buddha menghabiskan tujuh hari, berjalan mondar-mandir di jalan setapak permata yang diciptakan oleh para dewa dan brahmà dan berjalan dari timur ke barat antara singgasana Aparàjita dan cetiya ‘tatapan’; Pada saat itu Beliau merenungkan Dhamma dan tenggelam dalam Phala Samàpatti, meditasi dalam Buah Pencapaian. Tempat ini disebut Ratanàcankama Cetiya.(4) Satu Minggu di Rumah Emas (Ratanàghara-sattàha)Ketika tiba di minggu keempat, Buddha merenungkan hukum tertinggi dari Abhidhammà Piñaka selagi duduk bersila di dalam rumah emas (Ratanàghara) yang diciptakan oleh para dewa dan brahmà di sudut barat laut dari pohon Mahàbodhi.
Menurut Jinàlankàra Tikà, ketika Buddha duduk bersila di dalam rumah emas dan merenungkan Dhamma mengamati makhluk-makhluk yang layak ditolong, Beliau melihat jelas rangkaian praktik sila, samàdhi, dan pannà: makhluk-makhluk dewa, manusia, dan brahmà yang layak ditolong akan mencapai keadaan mulia Jalan dan Buahnya, Nibbàna, dengan menjalani sãla, memusatkan pikirannya melalui samàdhi, dan berusaha mengembangkan Pandangan Cerah melalui pannà; oleh karena itu Buddha pertama-tama merenungkan Vinaya Piñaka yang mengajarkan sila, kemudian Sutta Pitaka yang mengajarkan samàdhi, dan akhirnya Abhidhammà Pitaka yang mengajarkan pa¤¤à.
Ketika Beliau merenungkan Abhidhammà Pitaka, Beliau memulai pertama-tama dari enam ajaran-ajaran yang sederhana Dhammasàngani, Vibhanga, Dhàtukathà, Puggala Pannàtti, Kathà Vatthu, dan Yamaka; enam sinar tubuh-Nya tidak memancar karena Kemahatahuan-Nya yang sangat luas dan hukum-hukumnya (dalam ajaran tersebut) sangat terbatas; sinar tubuh-Nya tidak dapat dipancarkan.
Namun ketika Beliau merenungkan ajaran yang ketujuh yang mencakup seluruh Patthàna dengan metode yang tidak terbatas (anantanaya samanta), Kemahatahuan-Nya berkesempatan untuk memperlihatkan kecemerlangannya (seperti ikan raksasa timingala, berukuran seribu yojanà, berkesempatan bermain-main di samudra.)
Ketika Buddha memusatkan pikiran-Nya pada titik yang paling halus dan dalam yang mencakup seluruh Patthàna dengan metode yang tidak terbatas, muncullah dalam batin Buddha kebahagiaan luar biasa. Karena kebahagiaan ini, darah-Nya menjadi murni, karena kemurnian darah-Nya, kulit-Nya juga menjadi bersih; karena kebersihan kulit-Nya, cahaya sebesar rumah atau sebesar gunung bersinar dari bagian depan tubuh-Nya dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah timur bagaikan Chaddanta, raja gajah, terbang di angkasa.
Demikian pula, cahaya bersinar dari bagian belakang tubuh Buddha dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah barat; cahaya bersinar dari sebelah kanan tubuh Buddha dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah selatan; cahaya bersinar dari sebelah kiri tubuh Buddha dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah utara; dan dari telapak kaki-Nya memancar cahaya berwarna koral, mencapai angkasa luas setelah menembus daratan, air, dan udara; bagaikan rantai yang berhiaskan batu safir yang melingkar, demikian pula bola cahaya biru memancar satu demi satu dari kepala-Nya, mencapai angkasa di atasnya setelah melewati enam alam dewa dan dua puluh Alam Brahmà Kàmàvacara. Pada waktu itu tidak terhitung banyaknya makhluk di alam semesta yang tidak terhitung banyaknya memancarkan cahaya keemasan.
Catatan: Cahaya yang memancar dari tubuh Buddha pada hari Beliau merenungkan hukum Patthàna masih bergerak menuju alam semesta yang tidak terhitung banyaknya bahkan hingga hari ini dalam bentuk rantai zat-zat yang bersuhu (utuja-rupa).
(5) Satu Minggu di Bawah Pohon Banyan AjapalaSetelah menghabiskan empat minggu (dua puluh delapan hari) di dekat pohon Mahàbodhi, pada minggu kelima, Buddha berjalan menuju pohon banyan ajapàla yang terletak di sebelah timur pohon Mahàbodhi dan tinggal selama tujuh hari di bawah pohon tersebut, merenungkan Dhamma dan tenggelam dalam Phala Samàpatti. (Pohon banyan ini disebut ajapàla karena pohon ini merupakan tempat berkumpulnya para gembala. Ajapàla nigrodha, pohon banyan di mana para gembala berteduh di bawahnya).
Pada waktu itu, seorang brahmana yang tidak diketahui nama dan sukunya, yang terlihat kasar dan angkuh, mendekati Buddha dan berbincang-bincang dengan Buddha. Setelah saling menyapa, si brahmana (kasar) berdiri di suatu tempat dan bertanya kepada Buddha:
“Yang Mulia Gotama, kebajikan apa yang membuat seorang brahmana menjadi brahmana yang sesungguhnya di dunia ini? Apa yang diperlukan untuk menjadi seorang yang mulia?”
Di sini, si brahmana kasar tidak akan dapat menembus Empat Kebenaran Mulia bahkan jika Buddha mengajarkannya. Benar bahwa mereka yang mendengar bait-bait Dhamma dari Buddha sebelum Buddha mengajarkan khotbah Dhammacakka akan beruntung hanya karena mendapat kesan pada batinnya, seperti dua pedagang bersaudara Tapussa dan Bhallika; tetapi mereka tidak akan dapat mencapai Jalan dan Buahnya melalui penembusan Empat Kebenaran Mulia.
sekadar Dhamma bagi hal-hal yang alami (Sarattha Dipani òãkà). Karena si brahmana kasar tidak dapat menyerap Dhamma (bukan seorang yang dapat melihat Empat Kebenaran), Buddha tidak mengajarkan Dhamma kepadanya. Tetapi, memahami maksud pertanyaan si brahmana, Buddha mengucapkan bait berikut:
“Seorang Arahanta yang disebut brahmana adalah ia yang telah menyingkirkan semua kejahatan; ia bebas dari segala kekerasan dan kekasaran; ia bebas dari noda kotoran batin; ia berusaha untuk mengembangkan meditasi; atau ia memiliki pikiran yang terkendali oleh moralitas; atau ia telah mencapai Nibbàna, lenyapnya secara total kelompok-kelompok batin dengan penembusan Empat Magga ¥àõa; atau ia telah mencapai tingkat Arahatta-Phala, puncak dari Empat Magga Nàna.
Ia mempraktikkan latihan mulia Jalan menuju Nibbàna. Di dunia ini, di mana segalanya timbul dan lenyap, tidak ada satu pun dari lima kejahatan yang muncul (ussadà) dari salah satu objek indrianya, yaitu nafsu (rag’ussada), kebencian (dos’ussada), kebodohan (moh’ussada), kesombongan (man’ussada), pandangan salah (ditth’ussada). Arahanta tersebut disebut brahmana yang dengan berani mengatakan, “Sungguh benar, Aku adalah seorang brahmana sejati!”
(Apa yang dimaksudkan di sini adalah: Seseorang yang memiliki tujuh kebajikan layak disebut brahmana: (1) bebas dari kejahatan, (2) bebas dari kekerasan dan kekasaran, (3) bebas dari noda kotoran batin, (4) pengendalian diri melalui moralitas, (5) pencapaian Nibbàna, (6) telah menjalani praktik mulia Jalan, (7) tidak munculnya lima kejahatan (ussada).Màra Mengaku Kalah
Màra telah mengikuti Buddha selama tujuh tahun untuk mencari kesempatan menemukan kesalahan Buddha, namun ia tidak mendapat kesempatan sedikit pun untuk melakukannya. Oleh karena itu ia mendekati Buddha ketika Buddha berdiam di bawah pohon banyan ajapala dan berkata:
“O Petapa Gotama, apakah Engkau termenung di dalam hutan ini karena Engkau diliputi kesedihan? Apakah Engkau mengalami kehilangan kekayaan bernilai ratusan ribu? Atau, apakah Engkau termenung di sini karena Engkau menginginkan kekayaan bernilai ratusan ribu? Atau, apakah Engkau termenung di dalam hutan ini karena telah melakukan kejahatan berat di sebuah desa atau kota dan tidak berani bertemu orang lain? Mengapa Engkau tidak bergaul dengan orang lain? Engkau sama sekali tidak memiliki teman!”
Buddha menjawab:“O Màra, Aku telah mencabut dan menghancurkan semua penyebab kesedihan, Aku tidak melakukan kejahatan yang terkecil sekalipun; karena terbebas dari segala kekhawatiran, Aku tenggelam dalam dua Jhàna. Aku telah memotong keinginan akan kelahiran (bhavatanhà); Aku tidak memiliki kemelekatan apa pun; Aku tetap berbahagia dalam dua bentuk Jhàna. (Tidak seperti yang engkau pikirkan, Aku bukan datang ke sini karena kesedihan yang disebabkan oleh kehilangan kekayaan, atau karena keserakahan.)”Màra berkata lagi:
“O Petapa Gotama, di dunia ini, beberapa orang dan petapa melekat kepada objek-objek kekayaannya seperti emas dan perak, dan objek kebutuhannya seperti jubah, dan lain-lain, dan berkata, “Ini milikku.” Jika batin-Mu melekat, seperti orang-orang dan petapa ini terhadap emas dan perak, dan lain-lain, terhadap jubah, dan lain-lain, Engkau tidak akan pernah dapat melarikan diri dari wilayah kekuasaanku di tiga alam.”Buddha menjawab:
“O Màra, Aku tidak memiliki kemelekatan terhadap semua objek-objek kekayaan seperti emas, perak, dan lain-lain, dan terhadap objek kebutuhan seperti jubah, dan lain-lain, dan berkata “Ini milikku,” tidak seperti orang lain, Aku bukanlah seorang yang berkata “Ini milikku.” “O Màra, anggaplah Aku sebagai seorang yang demikian!, karena Aku telah meninggalkan tiga alam kehidupan, engkau tidak akan menemukan jejak-Ku di wilayah kekuasaanmu di tiga alam kehidupan (bhava), empat jenis kelahiran (yoni), lima bagian (gati), dan sembilan alam makhluk berperasaan.”Màra berkata lagi:“O Petapa Gotama, jika Engkau telah menemukan jalan menuju Nibbàna, pergilah sendiri. Mengapa Engkau ingin mengajarkannya kepada orang lain?”Kemudian Buddha berkata:“O Marà, (Sekeras apa pun engkau berusaha menghalangi Aku) Aku akan tetap mengajarkan kepada makhluk lain Jalan Benar menuju Nibbàna, jika Aku diminta untuk mengajarkan Jalan Benar dan Nibbàna, bebas dari kematian oleh dewa, manusia, dan brahmà, yang ingin mencapai Nibbàna, pantai seberang.”
Ketika berkata demikian, Màra, yang menjadi kehilangan akal bagaikan kepiting yang cangkangnya dipecahkan oleh anak-anak desa mengucapkan bait berikut (dan mengaku kalah):
“Buddha, bernama Gotama, keturunan raja besar terpilih (Mahàsammata)! (Sebuah perumpamaan bagaikan) burung gagak bodoh kelaparan melompat di delapan penjuru, mengelilingi sebutir batu yang mirip sebongkah lemak dan mencoba merobeknya dengan paruhnya, karena ia berpikir bahwa ia akan memperoleh lemak dan daging yang lembut dan rasanya pasti sangat lezat.”
“Tidak berhasil mendapatkan kelezatan batu itu, burung gagak bodoh itu pergi. Bagaikan burung gagak bodoh itu, karena gagal menikmati sedikit pun kelezatan meskipun ia telah berusaha merobek batu yang mirip sebongkah lemak tersebut, kami menyerah, merasa sedih, sangat sedih, dan hampir patah hati, karena tidak berhasil memperoleh apa pun yang diharapkan setelah mengganggu, menyakiti, dan menghalangi Engkau, Yang Mulia.”
Putri Màra Datang Merayu BuddhaSelanjutnya Màra merenungkan, “Walaupun aku telah mengikuti Buddha untuk mencari kesalahan-Nya, namun aku tidak berhasil menemukan kesalahan yang terkecil pun dari Pangeran Siddhattha yang dapat dicela. Sekarang, Pangeran Siddhattha telah lari dari kekuasaanku di tiga alam.
” Demikianlah ia termenung dan merasa patah hati duduk jongkok sendirian di jalan utama tidak jauh dari Buddha dan membuat goresan enam belas garis di atas tanah yang menggambarkan enam belas kejadian. Arti dari enam belas garis itu adalah sebagai berikut:
(1) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Kedermawanan dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis pertama.
(2) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Moralitas dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kedua.
(3) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Melepaskan keduniawian dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis ketiga.
(4) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis keempat.
(5) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Usaha dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kelima.
(6) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Kesabaran dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis keenam.
(7) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Kejujuran dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis ketujuh.
(8) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Tekad dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kedelapan.
(9) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Cinta kasih dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kesembilan.
(10) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Ketenangseimbangan dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kesepuluh.
(11) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh pengetahuan mengenai pikiran dan kehendak makhluk-makhluk lain (indriyaparopariyatti Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kesebelas.
(12) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh pengetahuan mengenai sifat dan watak makhluk-makhluk lain (àsayànusaya Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kedua belas.
(13) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk mencapai Welas asih yang luar biasa (Mahàkarunàsamàpatti Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis ketiga belas.
(14) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh Kemampuan untuk melakukan Keajaiban Ganda (Yamaka-Pàtihàriya Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis keempat belas.
(15) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh pengetahuan yang tanpa halangan (anàvarana Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kelima belas.
(16) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh Kemahatahuan (Sabbannuta Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis keenam belas.
Pada waktu itu, tiga putri Màra—Tanhà, Arati, dan Ràga—melihat ke sekeliling, berpikir, “Kita tidak melihat ayah kita (Màra). Di manakah ia sekarang?,” dan mereka melihatnya termenung berjongkok dan menggoreskan garis-garis di atas tanah, kemudian mereka segera mendekati ayah mereka dan bertanya, “Ayah, mengapa engkau begitu bersedih dan patah hati?” “Putri-putriku,” jawab Màra, “Petapa Gotama ini telah lari dari kekuasaanku di tiga alam.
Walaupun aku telah mengikutinya selama kurun waktu tujuh tahun untuk mencari kesalahan-Nya, namun aku tidak berhasil mendapat kesempatan sedikit pun untuk mencela-Nya. Oleh karena itulah aku begitu sedih dan patah hati.” “Ayah, jangan khawatir. Kami akan membujuk Petapa Gotama ini dan membawa-Nya ke hadapanmu, ayah,” janji tiga putri tersebut.
Kemudian Màra berkata, “Putriku, tidak seorang pun di dunia ini yang mampu membujuk Petapa Gotama ini. Petapa Gotama ini memiliki keyakinan yang sangat kokoh dan tidak tergoyahkan.” “Ayah, kami perempuan. Kami akan menjerat-Nya dengan nafsu dan segera membawa-Nya ke hadapanmu. Jangan kecewa dan bersedih.”
Setelah berkata demikian, tiga putri ini mendekati Buddha dan berkata dengan nada membujuk, “Yang Mulia Petapa, izinkan kami melayani-Mu, bersujud dengan hormat di kaki-Mu dan memuaskan segala kebutuhan-Mu.” Buddha mengabaikan mereka, dan tetap menikmati kebahagiaan Nibbàna dalam Phala Samàpatti tanpa membuka mata-Nya.
Kemudian, tiga putri Màra berdiskusi, “Para laki-laki memiliki selera yang berbeda. Beberapa menyukai perempuan yang muda dan halus; yang lain menyukai perempuan yang sedang dalam tahap pertama kehidupannya. Yang lain lagi menyukai perempuan yang sedang dalam tahap pertengahan. Jadi mari kita menciptakan perempuan dalam berbagai usia dan memikat petapa ini.”
Demikianlah, masing-masing dari mereka menciptakan seratus perempuan (1) yang muda, (2) yang menjelang kehamilan, (3) yang telah melahirkan satu kali, (4) yang telah melahirkan dua kali, (5) yang dalam usia pertengahan, (6) yang dalam usia yang sangat dewasa dan matang, semuanya cantik-cantik.
Kemudian mereka mendekati Buddha enam kali dan merayu seperti sebelumnya, “Yang Mulia Petapa, izinkan kami melayani-Mu, bersujud dengan hormat di kaki-Mu, dan memuaskan segala kebutuhan-Mu.” Sama seperti sebelumnya, Buddha mengabaikan mereka, dan tetap menikmati kebahagiaan Nibbàna dalam Phala Samàpatti tanpa membuka mata-Nya.
Kemudian Buddha berkata, “Pergilah, dewi. Melihat manfaat apakah engkau mencoba menguji-Ku seperti ini? Perbuatan ini hendaknya dilakukan kepada mereka yang belum terbebas dari nafsu (ràga), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha). Sedangkan Aku, Aku telah melenyapkan nafsu, Aku telah melenyapkan kebencian, Aku telah melenyapkan kebodohan.” Kemudian Buddha mengucapkan dua bait berikut seperti yang terdapat dalam Dhammapada:
Yassa jitam nàvajiyatiJitamassa no yàti kosi lokeTam Buddhaÿananta gocaramApadam kena padena nessathaYassa jàlini visattikàtanhà natthi kuhin ci netavetam Buddhaÿananta gocaramapadam kena padena nessatha.
“Buddha, yang telah menaklukkan kotoran batin, tidak ada lagi yang harus ditaklukkan. Tidak ada kotoran apa pun yang telah ditaklukkan mengikuti Buddha. Buddha yang memiliki ketidakterbatasan pemahaman melalui kebijaksanaan, yang tidak memiliki faktor-faktor kotoran seperti nafsu (ràga), dengan cara apakah engkau akan membawa-Nya.
Buddha yang tidak memiliki faktor-faktor seperti kemelekatan (taõhà), yang bagaikan jerat yang dapat menariknya ke dalam kelahiran kembali, yang memiliki sifat seperti racun yang ganas; atau yang dapat melekati segala hal. Buddha yang memiliki ketidakterbatasan pemahaman melalui kebijaksanaan, yang tidak memiliki faktor-faktor kotoran seperti nafsu, dengan cara apakah engkau akan membawa-Nya.”
Setelah mengucapkan puji-pujian terhadap Buddha mereka berkata, “Ayah kita berkata benar. Petapa Gotama ini, yang memiliki ciri-ciri seperti Arahaÿ dan Sugata, tidak dapat dibujuk dengan menggunakan nafsu,” mereka kembali ke ayah mereka, Màra.
Buddha Bertekad untuk Hidup Dalam Dhamma
Selagi Buddha berdiam selama seminggu di Ajapala, Ia berpikir, “Betapa menyedihkan hidup tanpa menghormati orang lain (tidak seorang pun yang dihormati). Siapa yang harus didekati dan dihormati oleh-Ku, seseorang yang telah melenyapkan semua kotoran, yang telah melenyapkan semua kajahatan?” Kemudian Beliau melanjutkan, “Aku harus menetap di dekat mereka yang lebih tinggi dari diri-Ku dalam hal Moralitas, Konsentrasi, Kebijaksanaan, dan Kebebasan sehingga Moralitas, Konsentrasi, Kebijaksanaan, dan Kebebasan-Ku yang masih belum lengkap dan belum mencukupi akan menjadi lengkap dan cukup.” Kemudian Buddha mencari dengan Kemahatahuan-Nya mereka yang lebih tinggi daripada-Nya dalam hal Moralitas, Konsentrasi, Kebijaksanaan, dan Kebebasan.
Melihat bahwa tidak ada makhluk yang demikian di tiga alam, Beliau berpikir, “Lebih baik Aku hanya hidup dengan menghormati Dhamma yang telah Kutembus.”
Pada waktu itu, mengetahui pikiran Buddha, Brahmà Sahampati tiba dalam sekejap di hadapan Buddha dan setelah meletakkan selendangnya di bahu kirinya dan menyentuh tanah dengan lutut kanannya, ia merangkapkan tangannya memberi hormat dan berkata, “Buddha Yang Agung, apa yang Engkau pikirkan adalah benar. Yang Mulia, Buddha-Buddha pada masa lampau hanya hidup dengan menghormati Dhamma. Buddha-Buddha pada masa depan hanya hidup dengan menghormati Dhamma. Buddha Agung, aku juga ingin agar Engkau menjadi Buddha masa sekarang yang hanya hidup dengan menghormati Dhamma.”
(6) Satu Minggu di Danau Mucalinda (Mucalinda-sattàha)
Setelah menghabiskan tujuh hari merenungkan Dhamma di bawah pohon banyan ajapala, Buddha pindah ke pohon mucalinda (Barringtonia acutangula) di sebelah timur pohon Mahàbodhi. Di bawah pohon mucalinda, Buddha duduk bersila menikmati kebahagiaan Kearahattaan.
Pada waktu itu turun hujan yang sangat lebat (hujan lebat sebelum memasuki musim hujan) selama tujuh hari. (Hujan seperti ini hanya terjadi pada dua peristiwa! Satu ketika munculnya raja dunia, dan satu lagi saat munculnya seorang Buddha.) Ketika turun hujan lebat, raja nàga yang sangat sakti dan sangat berkuasa, Mucalinda, yang memerintah alam nàga di bawah danau di sana berpikir, “Hujan lebat ini turun segera setelah Buddha berdiam di wilayahku.
Baik sekali jika tempat kediaman Buddha dapat mudah ditemukan.” Raja nàga sangat sakti untuk menciptakan sebuah istana dengan tujuh jenis permata namun ia mempertimbangkan bahwa “Tidaklah sangat bermanfaat jika aku menciptakan sebuah istana besar dari permata dan mendanakannya kepada Buddha. Aku akan menyumbangkan tenagaku kepada Buddha dengan tubuhku.” Jadi ia mengubah tubuhnya menjadi besar dan melingkari tubuh Buddha dalam tujuh lingkaran dan memayungi kepala Buddha dengan kepalanya yang mengembang sehingga Buddha tidak diserang oleh dingin, panas, gigitan serangga seperti nyamuk, lalat, dan lain-lain.
(7) Satu Minggu di Bawah Pohon Ràjàyatana (Ràjàyatana sattàha)
Setelah menghabiskan tujuh hari menikmati kebahagiaan Arahatta di bawah pohon mucalinda dan ketika tiba minggu ke tujuh, Buddha beranjak dari tempat itu dan pindah ke pohon Ràjàyatana (Buchaniania latifolia) di sebelah selatan pohon Mahàbodhi dan duduk di bawah pohon menikmati kebahagiaan Kearahattaan selama tujuh hari.
Ketika telah berlalu empat puluh sembilan hari, pada hari Rabu, tanggal lima di bulan âsàëha, selagi berdiam di Ràjàyatana, Sakka datang dan mendanakan buah obat myrobalan (Terminalia citrina) karena ia mengetahui keinginan Buddha untuk mencuci muka dan membersihkan diri. Buddha menerima buah itu. Segera setelah Buddha mengambil buah tersebut, Buddha menjawab panggilan alam (buang air). Setelah itu Sakka memberikan pembersih gigi dari alam nàga, dan air dari Danau Anotatta (untuk mencuci muka). Buddha menggunakan pembersih gigi, membersihkan mulut-Nya dan mencuci muka, dengan air dari Danau Anotatta, dengan tetap duduk di bawah pohon Ràjàyatana.Dua Pedagang Bersaudara, Tapussa dan Bhallika, Menerima Perlindungan Ganda
Kemudian dua pedagang bersaudara, Tapussa dan Bhallika, sedang melakukan perjalanan dengan lima ratus kereta dari rumah mereka di Ukkalàjanapada menuju Majjhima-Desa untuk berdagang. Saat mereka tiba di jalan besar di dekat pohon Ràjàyatana, kereta-kereta itu berhenti seolah-olah rodanya tertahan oleh lumpur walaupun tanah di jalan tersebut rata dan tidak becek. Dan ketika mereka terheran-heran, “Apa penyebabnya?” dan berdiskusi, satu dewa laki-laki yang memiliki hubungan yang erat dengan kedua pedagang bersaudara tersebut dalam kehidupan lampau menampakkan dirinya secara fisik dari atas sebuah pohon dan berkata, “Anak muda, tidak lama setelah mencapai Kebuddhaan, Buddha yang tenggelam dalam kebahagiaan Kearahattaan masih berdiam di bawah pohon Ràjàyatana saat ini tanpa makan selama empat puluh sembilan hari. Anak muda, berilah hormat kepada Buddha dengan memberikan dàna makanan. Ini akan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam waktu yang lama kepada kalian.”
Mendengar hal ini, mereka menjadi sangat bergembira dan mempertimbangkan, “Butuh waktu lama untuk menanak nasi.” Mereka mendatangi Buddha dengan membawa kue nasi dan gumpalan makanan dari madu yang menjadi bekal mereka. Setelah mendekati Buddha, mereka dengan penuh hormat bersujud kepada-Nya, dan berdiam di tempat yang sesuai. “Yang Mulia, sudilah Yang Mulia menerima kue nasi kami dan gumpalan makanan madu. Penerimaan-Mu akan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam waktu yang lama kepada kami.”
Buddha bertanya-tanya, “Semua saudara-Ku, Buddha-Buddha masa lampau, tidak pernah menerima dàna makanan dengan tangan Mereka. Jadi, dengan apakah Aku harus menerima kue nasi dan gumpalan makanan madu yang dipersembahkan oleh kedua pedagang bersaudara ini?” (Karena mangkuk tanah yang didanakan oleh Brahmà Ghatikàra sewaktu Beliau melepaskan keduniawian telah lenyap pada hari Beliau menerima nasi susu dari Sujàtà).
Mengetahui pikiran Buddha, empat raja dewa dari empat arah, yaitu: Dhataratta, Virulhaka, Virupakkha, dan Kuvera dengan hormat menyerahkan empat mangkuk terbuat dari batu zamrud. Tetapi Buddha menolak menerima mangkuk tersebut. Sekali lagi, empat raja dewa tersebut menyerahkan empat mangkuk dari batu (alami) berwarna hijau daun. Empat mangkuk ini diterima oleh Buddha.
Dan karena welas asih-Nya kepada para raja dewa tersebut, Buddha menumpuk empat mangkuk tersebut dan berkehendak, “Semoga empat mangkuk ini menjadi satu.” Segera empat mangkuk tersebut melebur menjadi satu mangkuk bersegi empat.
Kemudian Buddha menerima kue nasi dan gumpalan makanan madu dengan mangkuk dan memakannya dan memberikan khotbah yang sesuai untuk kedua pedagang bersaudara tersebut.
Kemudian kedua pedagang bersaudara tersebut menyatakan berlindung kepada Buddha dan Dhamma (karena Sangha belum terbentuk pada waktu itu), dan dengan demikian menjadi siswa yang hanya mengucapkan dua kata perlindungan (Devàcika-sarana) yang ditujukan kepada Buddha dan Dhamma, dengan mengucapkan,“Kami menyatakan berlindung, Yang Mulia, kepada Buddha dan Dhamma” (Ete mayam bhante Bhagavàntam saranam gacchàma Dhamman ca). (Kedua bersaudara ini adalah siswa pertama yang menyatakan berlindung dengan mengucapkan kedua kata ini.)
Setelah itu kedua pedagang bersaudara mengajukan permohonan dengan berkata, “Buddha Yang Mulia, berikanlah sesuatu kepada kami berkat welas asih-Mu sebagai objek pemujaan kami selamanya.” Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan-Nya dan memberikan mereka relik dari rambut-Nya sesuai permintaan mereka.
Kedua bersaudara tersebut sangat gembira menerima relik rambut Buddha, seolah-olah disiram air surga. Setelah menyelesaikan perdagangan, mereka kembali dan tiba di kota mereka Pukkharavati di distrik Ukkalà di mana mereka membangun cetiya untuk memuja relik rambut yang disimpan dalam peti emas.
BUDDHA MERENUNGKAN DHAMMA
Ketika itu, hari Kamis, tanggal enam bulan âsàlha, lima puluh hari setelah mencapai Kebuddhaan pada hari Rabu malam purnama bulan Vesàkha, setelah melewatkan Sattasattàha (empat puluh sembilan hari), Buddha bangkit dari duduk-Nya di bawah pohon Ràjàyatana, kemudian berjalan kembali menuju pohon banyan Ajapàla (gembala) dan berdiam di sana duduk bersila. Selanjutnya Buddha dalam kesunyian dan ketenangan merenungkan Kelompok Dhamma, Empat Kebenaran Mulia.
Selanjutnya, dua bait yang menakjubkan, yang belum pernah didengar sebelumnya, tiba-tiba muncul dengan jelas dalam batin Buddha, yaitu:
(1) Tidak ada manfaatnya mengajarkan Dhamma Empat Kebenaran Mulia kepada dewa dan manusia, yang telah Kuperoleh dengan usaha keras mengembangkan Kesempurnaan (Pàrami) pada saat ini di saat hanya ada perasaan welas asih-Ku yang merupakan penyebab internal (ajjhattika Nidàna) tetapi belum ada permohonan dari brahmà yang dipuja oleh dunia ini (Lokagaru), yang adalah penyebab eksternal (bàhira-Nidàna); Dhamma Empat Kebenaran Mulia ini tidaklah mudah dipahami dan sangatlah sulit bagi mereka yang diliputi oleh kejahatan dan terpengaruh keserakahan dan kebencian.
(2) Semua dewa dan manusia yang diliputi oleh kegelapan batin (avijjà), sehingga mereka tidak memiliki mata kebijaksanaan, terikat kepada kenikmatan indria (kàma-ràga), kelahiran yang berulang-ulang (bhava-ràga) dan pandangan salah (ditthi ràga), tidak akan dapat melihat Dhamma Empat Kebenaran Mulia, yang halus, dalam (bagaikan air yang tertahan di dalam tanah).
Sulit terlihat (bagaikan biji mostar yang terhalang oleh Gunung Meru besar), kecil bagaikan sebuah atom, dan yang membawa menuju Nibbàna melawan arus sangsàra. (Pikiran seperti ini adalah wajar, dhammatà, yang terjadi pada semua Buddha).
Buddha yang merenungkan demikian merasa segan untuk mengajarkan Dhamma karena tiga alasan berikut: (1) batin makhluk-makhluk yang penuh dengan kotoran, (2) Dhamma yang sangat dalam, dan (3) Buddha sangat meninggikan Dhamma.
Mengajarkan Dhamma hanya setelah permohonan brahmà adalah suatu peristiwa yang wajar, dhammatà, bagi setiap Buddha. Alasan dari pengajaran Dhamma setelah permohonan dilakukan oleh brahmà adalah: di luar masa berkembangnya ajaran Buddha (sebelum munculnya Buddha), mereka yang taat dan bajik, apakah ia umat awam, petapa pengembara, samaõa atau brahmaõa, hanya memuja brahmà.
Oleh karena itu, jika brahmà yang dihormati di dunia memperlihatkan penghormatan kepada Buddha dengan bersujud di depan Buddha, seluruh dunia juga akan berbuat serupa, memiliki keyakinan terhadap Buddha. Untuk alasan ini, adalah suatu kebiasaan dan kewajaran bagi Buddha untuk mengajarkan Dhamma hanya setelah permohonan diajukan oleh brahmà. Demikianlah, hanya setelah bàhira Nidàna, permohonan brahmà diajukan, Buddha bersedia mengajarkan Dhamma.Brahmà Sahampati Memohon Pengajaran Dhamma
(Brahmà Sahampati yang agung adalah seorang Thera mulia bernama Sahaka pada masa Buddha Kassapa. Dalam kapasitasnya, ia berhasil mencapai Jhàna Pertama Råpàvacara dan karena ia meninggal dunia tanpa terjatuh dari Jhàna, ia terlahir di Alam Jhàna Pertama dan menjadi Mahàbrahmà yang memiliki umur kehidupan enam puluh empat antara kappa yang setara dengan satu asaïkhyeyya kappa. Ia disebut Brahmà Sahampati di alam brahmà tersebut. Saÿyutta Atthakatthà dan Sàrattha Tikà).
Ketika Buddha masih tidak berkeinginan untuk berusaha mengajarkan Dhamma, Mahàbrahmà Sahampati berpikir, “Nassati vata bho loko! Vinassati vata bho loko!” “O teman, dunia akan binasa! O teman, dunia akan binasa!” Buddha yang layak mendapat penghormatan oleh dewa dan manusia karena telah menembus pengetahuan semua Dhamma di dunia tidak sudi mengajarkan Dhamma!” Kemudian dalam sekejap, dengan kecepatan bagaikan seorang kuat yang merentangkan tangannya yang terlipat atau melipat tangannya yang terentang, Brahmà Sahampati lenyap dari alam brahmà bersama-sama dengan sepuluh ribu Mahàbrahmà lainnya, muncul di hadapan Buddha.
Pada waktu itu, Mahàbrahmà Sahampati meletakkan selendangnya (selendang brahmà) di bahu kirinya dan berlutut dengan lutut kanannya menyentuh tanah (duduk cara brahmà). Bersujud kepada Buddha dengan mengangkat kedua tangannya yang dirangkapkan dan berkata:
“Buddha yang agung, sudilah Buddha mengajarkan Dhamma kepada semua makhluk, manusia, dewa, dan brahmà. Buddha agung yang memiliki bahasa yang baik, sudilah Buddha mengajarkan Dhamma kepada semua makhluk, manusia, dewa, dan brahmà. Ada banyak makhluk-makhluk yang memiliki sedikit debu kotoran di mata pengetahuan dan kebijaksanaan mereka.
Jika makhluk-makhluk ini tidak berkesempatan mendengarkan Dhamma Buddha, mereka akan menderita kerugian besar karena tidak memperoleh Dhamma yang luar biasa Magga-Phala yang layak mereka dapatkan. Buddha yang mulia, akan terbukti bahwa ada dari mereka yang mampu memahami Dhamma yang Engkau ajarkan.”
Kemudian lagi, setelah mengucapkan dengan bahasa prosa biasa, Mahàbrahmà juga mengajukan permohonan dalam syair seperti berikut:
“Buddha yang agung, pada masa lampau sebelum kemunculan-Mu, di Negeri Magadha, terdapat ajaran salah yang tidak suci, yang diajarkan oleh enam guru berpandangan salah, seperti Påraõa Kassapa yang dinodai oleh lumpur kotoran. Dan oleh karena itu, sudilah membuka pintu gerbang Magga untuk memasuki Nibbàna yang abadi (yang tertutup sejak lenyapnya ajaran Buddha Kassapa). Izinkan semua makhluk mendengarkan Dhamma Empat Kebenaran Mulia yang terlihat jelas oleh-Mu yang bebas dari debu kilesa.
“Buddha yang mulia dan bijaksana, yang memiliki mata kebijaksanaan yang mampu melihat segala sesuatu! Bagaikan seorang yang memiliki pandangan mata yang tajam berdiri di puncak gunung dan melihat semua orang di sekelilingnya, demikian pula Engkau, Buddha yang mulia, karena telah terbebas dari kesedihan, naik ke menara Pa¤¤à dan melihat semua makhluk, manusia, dewa, dan brahmà, yang terjatuh ke dalam jurang kesedihan (karena dilindas oleh kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian, dan lain-lain).
“Buddha yang mulia dan memiliki kecerdasan, yang hanya mengetahui kemenangan, tidak pernah kalah, dalam semua pertempuran! Bangunlah! Buddha yang mulia, yang bebas dari hutang kenikmatan indria, yang memiliki kebiasaan membebaskan makhluk-makhluk yang ingin mendengarkan dan mengikuti ajaran Buddha, dari perjalanan sulit berupa kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian dan bagaikan pemimpin rombongan, yang mengantar mereka dengan selamat menuju Nibbàna! Sudilah, mengembara di dunia ini dan mengumandangkan Dhamma dari Buddha yang agung, sudilah, mengajarkan Empat Kebenaran Mulia kepada semua makhluk manusia, dewa, dan brahmà. Buddha yang mulia, ada makhluk-makhluk yang dapat melihat dan memahami Dhamma yang Engkau ajarkan.”
Buddha Mengamati Dunia Makhluk-makhluk
Ketika Brahmà Sahampati telah mengajukan permohonan untuk mengajarkan Dhamma, dua kondisi, yaitu, bàhira Nidàna dan ajjhattika Nidàna telah terpenuhi, dan kemudian Beliau mengamati dunia makhluk-makhluk dengan sepasang Mata-Buddha (Buddha-cakkhu): Pengetahuan atas keinginan tersembunyi atau kecenderungan atau sebaliknya, sifat-sifat indria (Indriya-paropariyatta Nàna).
Dalam pengamatannya, Beliau melihat jelas berbagai jenis makhluk yang berbeda-beda (seperti empat jenis bunga teratai): ada sebuah kolam yang berisi bunga teratai biru, merah, dan putih, empat jenis teratai ini—(1) jenis bunga teratai yang hidup dalam air, tumbuh dalam air, dan masih berada di bawah permukaan air, (2) jenis bunga teratai tumbuh dalam air, berkembang dalam air, dan akhirnya diam persis di permukaan air,
(3) jenis bunga teratai yang hidup dalam air, berkembang dalam air, dan akhirnya diam tinggi di atas permukaan air, sama sekali tidak basah dan tidak ada air yang menempel di bunga teratai tersebut.
(Dari ketiga jenis bunga teratai ini, teratai no. 3 yang berada tinggi di atas permukaan air akan mekar pada hari itu juga; teratai no. 2 yang berada persis di permukaan air akan mekar keesokan harinya, dan teratai no. 1 yang masih berada di bawah air, akan mekar pada hari ketiga).
(4) Selain tiga jenis teratai ini, ada teratai jenis keempat yang tidak akan muncul di atas permukaan air dan tidak akan mekar; teratai jenis ini adalah teratai sakit dan akhirnya hanya menjadi makanan bagi ikan dan kura-kura.
Bagaikan empat jenis teratai ini, ada makhluk-makhluk yang memiliki sedikit atau sama sekali tidak ada debu kilesa di mata kebijaksanaannya; makhluk-makhluk yang memiliki banyak debu di mata kebijaksanaannya; makhluk-makhluk yang lima kelompok keyakinan, ketekunan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang tajam dan matang; makhluk-makhluk yang kelima kelompok tadi tumpul dan tidak matang; makhluk-makhluk yang memiliki watak-watak seperti keyakinan, dan lain-lain,
cukup baik atau tidak cukup baik; makhluk-makhluk yang dapat dengan mudah memahami Dhamma yang diajarkan dan makhluk-makhluk yang tidak dapat memahami; makhluk-makhluk yang memandang hal-hal duniawi seperti kelompok kehidupan, semua bentuk kemelekatan, perbuatan jahat, kehendak-kehendak, dan tindakan yang akan menyebabkan kelahiran kembali, sebagai kelompok yang menakutkan dan berbahaya bagaikan musuh yang memegang pedang yang bersiap-siap untuk menyerang, dan makhluk-makhluk yang tidak memiliki pandangan seperti itu.
Setelah merenungkan dan melihat, Buddha memberikan persetujuan kepada Mahàbrahmà Sahampati dalam syair berikut:“O Mahàbrahmà Sahampati, Aku tidak menutup pintu Magga bagi para dewa dan manusia untuk memasuki Nibbàna Abadi dan mencapai Kebebasan. (Pintu itu senantiasa terbuka). Semoga dewa dan manusia yang memiliki pendengaran yang baik (sotapasàda) memperlihatkan keyakinan terhadap-Ku.”
“O Mahàbrahmà Sahampati, Aku belum mengajarkan Dhamma mulia yang telah Kuperoleh kepada manusia, dewa, dan brahmà dalam beberapa hari ini. Hal ini karena pada waktu itu, dua Nidàna untuk mengajarkan Dhamma belum terpenuhi dan karena Aku melihat bahwa, bahkan jika Dhamma diajarkan, tidak akan bermanfaat bagi mereka, hanya melelahkan-Ku saja.”
Setelah itu, Mahàbrahmà Sahampati merasa sangat gembira dan berseru, “Buddha telah menyetujui untuk mengajarkan Dhamma!” Kemudian, setelah bersujud dan mengelilingi Buddha, ia menghilang dari tempat itu (dan pulang ke alam brahmà).
Tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi, panik serta marah, ia meneriakkan perintah (kepada pasukannya), “Mengapa kalian hanya berdiri diam di sana? Jangan biarkan Pangeran Siddhattha ini mencapai cita-cita-Nya menjadi Buddha; tangkap Dia, bunuh Dia, tusuk, dan hancurkan Dia. Jangan biarkan Dia melarikan diri.” Ia sendiri mendekati Bodhisatta, duduk di punggung Gajah Girimekhala, melambai-lambaikan sebatang anak panah, ia berkata kepada Bodhisatta, “O Pangeran Siddhattha, menjauhlah dari singgasana permata itu.” Pada saat itu, prajurit-prajurit Màra terlihat dalam wujud yang menakutkan, dan mengancam dengan tindakan-tindakan yang menakutkan.
Jika kumpulan jasa-jasa baik seluruh makhluk-makhluk di seluruh alam semesta yang tidak terhitung banyaknya ditempatkan di satu sisi dari sebuah timbangan kebijaksanaan dan kumpulan jasa-jasa baik yang Kulakukan dalam bentuk Pàramã, ditempatkan di sisi lainnya, kumpulan jasa-jasa baik dari seluruh makhluk tidak dapat menyamai bahkan seper dua ratus lima puluh enam (1/256) dari jasa-jasa baik yang dihasilkan dari satu Pàramã yang Kulakukan. Benar! Bahkan dalam kehidupan-Ku sebagai kelinci di alam binatang, Aku telah dengan sengaja melompat ke dalam kobaran api untuk memberikan daging-Ku yang telah matang dengan penuh kegembiraan ketika Aku melihat ia yang mengharapkan daging-Ku.
Màra tidak tahu, manusia seperti apakah Aku ini; bahwa Aku memiliki pribadi yang seperti ini dalam kehidupan ini adalah sebagai hasil dari kebajikan-kebajikan yang telah Kulakukan. Dan dia pikir Aku hanyalah manusia biasa.
Sebenarnya, Aku bukanlah manusia biasa berumur tujuh hari; Aku juga bukan raksasa, atau brahmà atau dewa. Aku dikandung dalam rahim seorang perempuan meskipun Aku bukan seorang manusia biasa berumur tujuh tahun untuk menunjukkan penderitaan karena usia tua, sakit, dan kematian dalam lingkaran kelahiran kepada semua makhluk.
Hei! Màra, meskipun Aku terlahir di alam manusia ini, Aku tidak sedikit pun ternoda oleh kondisi-kondisi makhluk-makhluk. Setelah mengatasi kondisi-kondisi ini yang tidak terbatas dan kotoran batin yang juga tidak terbatas, Aku memperoleh gelar si penakluk yang tidak terbatas (Anantajina). Bahkan selagi Aku duduk di singgasana tidak terlihat tanpa mengubah postur duduk bersila ini, Aku telah menghanguskan dan menyingkirkan semua kotoran batin; Aku telah benar-benar menjadi Buddha di antara manusia, dewa, dan brahmà. Dan Aku akan menolong semua makhluk dari aliran samsàra dan membawanya ke daratan tinggi Nibbàna. Engkau tidak mampu menahan-Ku; bukan urusanmu.
Hei! Màra, melihat bala tentaramu mendekat dari segala penjuru dengan kibaran bendera dan engkau yang menunggangi Gajah Girimekhala, Aku mendekat dan menghadapimu dengan kebijaksanaan dan bertempur dengan gagah berani. (Yang dimaksudkan di sini bukan mendekat secara fisik, tetapi dengan kekuatan kebijaksanaan). Engkau tidak dapat membuat-Ku bangkit atau pindah dari singgasana yang tidak terlihat ini; Aku akan melihat bahwa engkau tidak mampu melakukan hal ini.
Hei! Màra, bagaikan seorang kuat yang menggunakan sebuah batu besar menghancurkan semua kendi dan cangkir yang dibuat oleh seorang pengrajin tembikar, Aku akan menghancurkan dengan sebelah tangan dan tanpa bangkit dari tempat ini dan dengan kekuatan kebijaksanaan, sepuluh bala tentaramu berupa nafsu indria, kamaraga, (telah dijelaskan di atas) yang mana seluruh dunia akan mengaku kalah, Aku akan menghancurkannya dengan perasaan jijik; atau bala tentaramu yang mendekat yang sebesar dua belas yojanà ke depan, kiri dan kanan, sembilan yojanà ke atas mencapai batas alam semesta, Aku akan memukul mundur seluruh bala tentaramu hingga tidak satu pun yang tertinggal. Bahkan sejak saat ini, engkau dan seluruh bala tentaramu akan Kubuat menyerah bagaikan sekelompok burung-burung yang terbang jauh karena dilempar batu.
Hei! Màra, Aku memiliki kekuatan untuk menghancur-leburkan engkau beserta seluruh bala tentaramu hanya dengan menjentikkan jari; namun Aku tidak akan merasakan sedikit pun kegembiraan dengan membunuh makhluk lain, karena itu adalah perbuatan salah.
Apa untungnya bagi-Ku jika Aku menggunakan senjata kekuatan fisik-Ku melawan Màra ini yang seukuran cacing tanah? Benar, Aku bahkan tidak menyukai berbicara dengan Màra jahat ini.
(Sebelum Bodhisatta mengucapkan kata-kata tegas ini, Màra bertanya, “O Pangeran Siddhattha, mengapa Engkau menduduki singgasana yang tidak terlihat milikku ini?” Bodhisatta menjawab, “Siapakah yang menjadi saksi bahwa singgasana yang tidak terlihat ini adalah milikmu?” Dewa Màra merentangkan tangannya dan berkata, “Apa gunanya mendatangkan saksi lain; semua prajurit Màra yang sekarang berada di depan-Mu adalah saksiku;” dan pada saat itu, banyak crore prajuritnya muncul bersamaan berseru “Aku saksinya, aku saksinya.” Kemudian Bodhisatta, untuk menahan pasukan Màra, mengucapkan bait berikut untuk mengungkapkan saksinya).
ketika Aku melakukan dàna besar tujuh kali hingga mencapai dàna-Ku yang tertinggi dengan mendanakan Ratu Maddi, bumi ini berguncang tujuh kali. Sekarang Aku menduduki singgasana yang tidak terlihat ini untuk menaklukkan seluruh dunia, dan engkau bala tentara Màra datang menantang-Ku bertempur, mengapa bumi ini begitu tenang dan tidak berguncang?
Hei! Màra, engkau memerintahkan prajuritmu untuk memberikan kesaksian palsu; namun bumi ini tidak berniat apa-apa dan bersikap adil padamu maupun pada-Ku, bumi ini tidak memihak engkau maupun Aku, dan tidak bermaksud apa pun, bumi ini adalah saksi-Ku.” Setelah berkata demikian, Bodhisatta mengeluarkan tangan kanan-Nya dari balik jubah-Nya dan menunjuk bumi, bagaikan lintasan kilat yang menyambar dari celah awan.
Pada saat itu juga, bumi ini berputar cepat bagaikan roda tembikar dan berguncang dengan keras. Bunyi yang diakibatkan oleh bumi menggelegar di seluruh angkasa bagaikan guruh. Tujuh gunung yang mengelilingi Gunung Meru serta Pegunungan Himalaya juga bergemuruh terus menerus, Seluruh sepuluh alam semesta berguncang menakutkan dan mengeluarkan bunyi yang dahsyat, bergemeretak dan terdengar bunyi ledakan-ledakan bagaikan hutan bambu yang terbakar. Seluruh angkasa yang tidak berawan bergemuruh menakutkan bagaikan padi yang dipanggang dan meletus di dalam panci panas. Hujan percikan api yang sangat lebat bagaikan air terjun lahar dari gunung berapi, dan halilintar menyambar-nyambar.
Màra, yang terperangkap di tengah-tengah bumi dan langit yang terus-menerus menggelegar, sangat ketakutan tanpa pertolongan dan perlindungan, menjatuhkan bendera pertempurannya dan melepaskan seribu senjatanya di tempat itu juga, kemudian lari tunggang langgang dengan kecepatan tinggi tanpa sempat melirik ke arah gajahnya ‘Girimekhala.’ Karena Màra menyerah, bala tentaranya porak poranda dan para prajuritnya juga menyerah, bubar dalam kekacauan ke segala penjuru bagaikan abu yang berhamburan tertiup badai; akhirnya mereka semua kembali ke Alam Dewa Vasavatti.
“Kabar baik, Màra telah ditaklukkan; Pangeran Siddhattha keluar sebagai pemenang; kita akan merayakan kemenangan-Nya.” Dikirim dari satu nàga ke nàga lain, dari satu garuda ke garuda lain, dari satu dewa ke dewa lain, dari satu brahmà ke brahmà lain; membawa bunga-bunga dan wangi-wangian, dan lain-lain di tangan masing-masing; mereka berkumpul di singgasana Mahàbodhi di mana Bodhisatta berdiam.
Kemenangan yang diserukan oleh bumi dan langit yang mati yang bergemuruh seolah-olah hidup, hanya dimiliki Buddha, yang karena Kemahatahuan-Nya memiliki segala pengetahuan akan Kebenaran sampai yang sekecil-kecilnya yang harus diketahui, yang merupakan gudang penyimpanan keagungan yang tiada bandingnya di sepuluh ribu alam semesta.
Kemenangan ini dirayakan oleh manusia, dewa, dan Brahmà yang bergema menembus angkasa. Dan Màra yang jahat dan keji yang menderita hinaan kekalahan, mundur kocar kacir, takut akan kekuatan Buddha, dan dibutakan oleh kebodohan, mundur bersama bala tentaranya, seolah-olah dapat menyebabkan pergolakan di delapan penjuru permukaan bumi, yang memulai serangan dengan gertakan untuk merebut singgasana Puncak-Bodhi (Bodhimakuta Pallanka).
Demikianlah, pada hari kemenangan, pada hari purnama di bulan Vesàkha, tahun 103 Mahà Era, di tempat singgasana yang tidak terlihat di mana Kemahatahuan dicapai oleh Buddha, rombongan nàga, garuda, dewa, dan Brahma di alam surga, berbahagia dan bergembira dengan kemenangan Buddha, yang telah melatih sifat-sifat luar biasa seperti kelompok-kelompok perbuatan baik (silakhandha), menyerukan kemenangan yang bergema keras mencapai sepuluh ribu alam semesta.
Semua dewa dan brahmà yang berasal dari sepuluh ribu alam semesta berkumpul di depan Bodhisatta, bersujud di depan-Nya, memberi hormat dengan persembahan bunga-bungaan, wangi-wangian, menyanyikan puji-pujian dan menyampaikan penghormatan dalam berbagai cara.
Setelah memenangkan pertempuran melawan Màra Vasavattã yang juga dikenal dengan Devaputta Màra sebelum matahari terbenam pada hari purnama di bulan Vesàkha tahun 103 Mahà Era, Bodhisatta menembus tiga pengetahuan, (vijja) , dengan urutan sebagai berikut: Pengetahuan mengenai kehidupan-kehidupan lampau (Pubbenivasanussati Nàna) di jaga pertama malam itu; mata-dewa (Dibbacakkhu Nàna), di jaga pertengahan malam itu; dan pengetahuan akan padamnya perbuatan buruk (Asavakkhaya Nàna) di jaga terakhir malam itu, dan mencapai Kebuddhaan di jaga terakhir malam itu juga di malam purnama bulan Vesàkha.
Pada waktu itu, Sakka sedang berdiri di Alam Dewa Tàvatimsa meniup kulit kerang Vijayuttara yang panjangnya 120 yojanà, untuk memanggil para dewa dan brahmà. Suara dari kulit kerang tersebut dapat terdengar hingga seluas sepuluh ribu yojanà. Sambil meniup kulit kerangnya terus menerus, Sakka berlari cepat menuju pohon Bodhi. (Bukan hanya Sakka dari alam semesta ini, tetapi semua Sakka dari sepuluh ribu alam semesta juga mendatangi Bodhisatta sambil meniup kulit kerang).
Mahà Brahmà datang dan memberi hormat dengan memegang payung putih yang ditinggalkannya di puncak Gunung Cakkavala dan memayungi Bodhisatta dari atas. (Semua Mahà Brahmà dari sepuluh ribu alam semesta datang berdiri memegang payung putih di tangan masing-masing, payung-payung tersebut saling bersentuhan sehingga tidak ada celah di antaranya.)
Suyama, raja dari Alam Dewa Yama datang dan berdiri di dekat Bodhisatta, memberi hormat dengan mengibaskan kipas dari ekor yak yang berukuran tiga gàvuta. (Semua Dewa Suyama dari sepuluh ribu alam semesta datang dan memberi hormat, masing-masing memegang kipas dari ekor yak, memenuhi alam semesta ini.)
Santusita, raja Alam Dewa Tusita, juga datang dan memberi hormat dengan mengipasi Bodhisatta dengan kipas berhias batu delima berukuran tiga gàvuta. (Semua Dewa Santusita dari sepuluh ribu alam semesta juga datang dan memberi hormat, masing-masing memegang kipas berhiaskan batu delima, memenuhi alam semesta ini.)
Beberapa berdiri di sekeliling bersama kelompoknya masing-masing, membawa berbagai persembahan yang terbuat dari tujuh jenis permata, beberapa membawa pohon pisang dari emas, beberapa membawa istana emas, beberapa membawa kebutan dari ekor yak, beberapa membawa tongkat (untuk mengendalikan gajah), beberapa membawa sepasang ikan, beberapa membawa bunga mawar, panggung bundar dari emas, mangkuk berisi air, kendi berisi air, kulit kerang, tongkat api, lampu minyak dengan tiang dari batu delima, cermin emas, cermin bertatahkan batu mulia, cermin dengan tujuh jenis permata, lampu minyak berhiaskan batu delima, kain-kain untuk bendera dan pita-pita, dan pohon-pohon harapan.
Semua dewa dari sepuluh ribu alam semesta datang, terlihat penampilan para penari surgawi, dan memberi hormat dengan menarikan tarian surgawi, menyanyikan lagu-lagu surgawi, mempersembahkan bunga-bunga, wangi-wangian, dan bubuk dupa surgawi. Pada waktu itu, seluruh angkasa dipenuhi oleh bunga-bungaan dan wewangian surgawi seolah-olah seluruh semesta ditutupi oleh hujan lebat.
Ketika Bodhisatta mencapai Arahatta-Phala segera setelah mencapai Arahatta-Magga, batin-Nya menjadi sangat murni dan Beliau mencapai Pencerahan Sempurna (Sammàsambuddha), pemimpin tertinggi di tiga alam, dengan pencapaian Kemahatahuan (Sabbannuta Nàna) bersama-sama dengan Empat Kebenaran Mulia, Empat Pengetahuan Analitis (Patisambhidà Nàna), Enam Kebijaksanaan Tinggi (Assadhàrana Nàna), yang menjadikan Empat belas Kebijaksanaan seorang Buddha, dan Delapan belas kualitas (âvenika Dhamma), dan Empat Kebijaksanaan Berani (Vesàrajja Nàna). Bersamaan dengan tercapainya Sabbannuta Nàna ( Ke-Maha-Tahu-an ), datanglah fajar. (Penembusan Sabbannuta Nàna ( Ke-Maha-Tahu-an ) berarti tercapainya Kebuddhaan.)
Setelah mencapai Kebuddhaan, pada hari pertama bulan mulai memudar di bulan Vesàkha, Buddha mengucapkan seruan gembira (udàna), dan masih dengan postur duduk bersila di atas singgasana Aparàjita, Beliau berpikir:
Selama empat asankhyeyya dan seratus ribu kappa, untuk memperoleh singgasana Aparàjita ini, berkali-kali Aku memenggal dan mendanakan kepala-Ku; berkali-kali Aku mencungkil dan mendanakan mata dan jantung-Ku; berkali-kali Aku mendanakan putra-Ku seperti Jàli, putri-Ku seperti Kanhajina, dan istri-Ku seperti Maddi kepada mereka yang memintanya untuk dijadikan budak. Dari atas singgasana inilah Aku secara total menaklukkan lima Màra.
Sebuah singgasana yang sunguh-sungguh agung dan mulia. Selagi duduk di atas singgasana ini, semua keinginan-Ku, termasuk cita-cita untuk menjadi Buddha telah terkabulkan. Aku belum akan bangkit dari singgasana ini karena Aku berhutang banyak kepada singgasana ini.”
Demikianlah Buddha menghabiskan tujuh hari di atas singgasana tersebut berdiam dalam Jhàna Keempat yang membawa kepada tingkat Kearahattaan, pencapaian yang berjumlah lebih dari seratus ribu crore.
Berdiam dalam Jhàna Keempat sehari penuh pada hari pertama setelah mencapai Pencerahan Sempurna, Buddha menikmati kebahagiaan Kebebasan, Vimutti (Kebahagiaan Kearahattaan). Selama jaga pertama malam itu, Beliau merenungkan hukum Paticcasamuppàda (Musabab Yang Saling Bergantung), “avijjà paccaya saïkhàrà,” Karena kebodohan (avijjà), tiga jenis bentukan-bentukan pikiran (saïkhàra), yaitu: pikiran baik (pu¤¤àbhisaïkhàra), pikiran buruk (apu¤¤àbhisaïkhàra), dan pikiran netral (ana¤jabhisaïkhàra) muncul. Dimulai dengan cara ini, Buddha meneruskan perenungan dengan urutan maju proses munculnya lingkaran penderitaan.
Kemudian Beliau merenungkan, “avijjàya tv’eva asesaviràganirodho sangkhàra nirodho,” “Karena lenyapnya kebodohan dan tidak muncul kembali melalui Jalan Kearahattaan, tiga jenis bentukan-bentukan pikiran, yaitu: pikiran baik, pikiran buruk, dan pikiran netral juga lenyap (dan tidak muncul kembali).” Kemudian Buddha melanjutkan perenungan dengan urutan mundur proses lenyapnya lingkaran penderitaan.
akibatnya juga lenyap yang merupakan lenyapnya bentukan-bentukan pikiran, dan lain-lain (dan tidak muncul kembali). Demikianlah, muncul terus-menerus dorongan-dorongan hati dalam batin Buddha seperti mahà-kiriya somanassasahagata nanasampayutta asa¤khàrika javana diawali dengan kepuasan dan kegembiraan, pãti dalam hati-Nya.
Setelah mencapai Kebuddhaan dan menikmati kebahagiaan Kearahattaan (tanpa mengubah postur bersila-Nya selama duduk) Buddha tetap duduk di atas singgasana Aparàjita selama tujuh hari.
Dalam batin beberapa dewa dan brahmà biasa (selain dewa dan brahmà yang mengetahui ciri-ciri Buddha karena mereka telah mengalami mencapai Jalan dan Buahnya dalam masa Buddha-Buddha sebelumnya) merasa ragu dan bertanya-tanya, “Buddha belum bangkit dari singgasana sampai saat ini. Selain dari ciri-ciri yang telah dimiliki-Nya, adakah ciri-ciri lain yang memungkinkan-Nya mencapai Kebuddhaan?”
Kemudian pada hari kedelapan (kedelapan setelah purnama) Buddha bangkit dari menikmati kebahagiaan Kearahattaan; mengetahui keraguan dewa dan brahmà tersebut, Buddha naik ke angkasa dan memperlihatkan Keajaiban Ganda (Yamaka-Patihariya) —air dan api untuk menghilangkan keraguan mereka.
(Keajaiban ganda yang diperlihatkan di Mahàbodhi ini, yang diperlihatkan pada pertemuan sanak saudara-Nya di Kota Kapilavatthu, yang diperlihatkan pada pertemuan para petapa telanjang Pathikaputta di Kota Vesàli―Semua Keajaiban Ganda ini sama dengan yang diperlihatkan di dekat pohon mangga di Kandamba. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut.)
Setelah menghilangkan keraguan para dewa dan brahmà dengan memperlihatkan Keajaiban Ganda air dan api, Buddha turun dari angkasa dan berdiri tegak bagaikan tiang emas di sebelah timur laut dari singgasana Aparàjita dan merenungkan, “Aku telah mencapai Kemahatahuan di atas singgasana Aparàjita ini,”
Beliau menghabiskan tujuh hari tanpa berkedip menatap singgasana dan pohon Mahàbodhi di mana Beliau mencapai ‘Arahatta-Magga ¥àõa dan Sabba¤¤uta ¥àõa’ sebagai hasil dari Kesempurnaan yang Beliau penuhi selama kurun waktu empat asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa. Tempat itu disebut Animisa Cetiya.
Ketika tiba di minggu ketiga, Buddha menghabiskan tujuh hari, berjalan mondar-mandir di jalan setapak permata yang diciptakan oleh para dewa dan brahmà dan berjalan dari timur ke barat antara singgasana Aparàjita dan cetiya ‘tatapan’; Pada saat itu Beliau merenungkan Dhamma dan tenggelam dalam Phala Samàpatti, meditasi dalam Buah Pencapaian. Tempat ini disebut Ratanàcankama Cetiya.
Menurut Jinàlankàra Tikà, ketika Buddha duduk bersila di dalam rumah emas dan merenungkan Dhamma mengamati makhluk-makhluk yang layak ditolong, Beliau melihat jelas rangkaian praktik sila, samàdhi, dan pannà: makhluk-makhluk dewa, manusia, dan brahmà yang layak ditolong akan mencapai keadaan mulia Jalan dan Buahnya, Nibbàna, dengan menjalani sãla, memusatkan pikirannya melalui samàdhi, dan berusaha mengembangkan Pandangan Cerah melalui pannà; oleh karena itu Buddha pertama-tama merenungkan Vinaya Piñaka yang mengajarkan sila, kemudian Sutta Pitaka yang mengajarkan samàdhi, dan akhirnya Abhidhammà Pitaka yang mengajarkan pa¤¤à.
Ketika Beliau merenungkan Abhidhammà Pitaka, Beliau memulai pertama-tama dari enam ajaran-ajaran yang sederhana Dhammasàngani, Vibhanga, Dhàtukathà, Puggala Pannàtti, Kathà Vatthu, dan Yamaka; enam sinar tubuh-Nya tidak memancar karena Kemahatahuan-Nya yang sangat luas dan hukum-hukumnya (dalam ajaran tersebut) sangat terbatas; sinar tubuh-Nya tidak dapat dipancarkan.
Namun ketika Beliau merenungkan ajaran yang ketujuh yang mencakup seluruh Patthàna dengan metode yang tidak terbatas (anantanaya samanta), Kemahatahuan-Nya berkesempatan untuk memperlihatkan kecemerlangannya (seperti ikan raksasa timingala, berukuran seribu yojanà, berkesempatan bermain-main di samudra.)
Demikian pula, cahaya bersinar dari bagian belakang tubuh Buddha dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah barat; cahaya bersinar dari sebelah kanan tubuh Buddha dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah selatan; cahaya bersinar dari sebelah kiri tubuh Buddha dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah utara; dan dari telapak kaki-Nya memancar cahaya berwarna koral, mencapai angkasa luas setelah menembus daratan, air, dan udara; bagaikan rantai yang berhiaskan batu safir yang melingkar, demikian pula bola cahaya biru memancar satu demi satu dari kepala-Nya, mencapai angkasa di atasnya setelah melewati enam alam dewa dan dua puluh Alam Brahmà Kàmàvacara. Pada waktu itu tidak terhitung banyaknya makhluk di alam semesta yang tidak terhitung banyaknya memancarkan cahaya keemasan.
Catatan: Cahaya yang memancar dari tubuh Buddha pada hari Beliau merenungkan hukum Patthàna masih bergerak menuju alam semesta yang tidak terhitung banyaknya bahkan hingga hari ini dalam bentuk rantai zat-zat yang bersuhu (utuja-rupa).
(5) Satu Minggu di Bawah Pohon Banyan Ajapala
Pada waktu itu, seorang brahmana yang tidak diketahui nama dan sukunya, yang terlihat kasar dan angkuh, mendekati Buddha dan berbincang-bincang dengan Buddha. Setelah saling menyapa, si brahmana (kasar) berdiri di suatu tempat dan bertanya kepada Buddha:
“Yang Mulia Gotama, kebajikan apa yang membuat seorang brahmana menjadi brahmana yang sesungguhnya di dunia ini? Apa yang diperlukan untuk menjadi seorang yang mulia?”
Di sini, si brahmana kasar tidak akan dapat menembus Empat Kebenaran Mulia bahkan jika Buddha mengajarkannya. Benar bahwa mereka yang mendengar bait-bait Dhamma dari Buddha sebelum Buddha mengajarkan khotbah Dhammacakka akan beruntung hanya karena mendapat kesan pada batinnya, seperti dua pedagang bersaudara Tapussa dan Bhallika; tetapi mereka tidak akan dapat mencapai Jalan dan Buahnya melalui penembusan Empat Kebenaran Mulia.
sekadar Dhamma bagi hal-hal yang alami (Sarattha Dipani òãkà). Karena si brahmana kasar tidak dapat menyerap Dhamma (bukan seorang yang dapat melihat Empat Kebenaran), Buddha tidak mengajarkan Dhamma kepadanya. Tetapi, memahami maksud pertanyaan si brahmana, Buddha mengucapkan bait berikut:
“Seorang Arahanta yang disebut brahmana adalah ia yang telah menyingkirkan semua kejahatan; ia bebas dari segala kekerasan dan kekasaran; ia bebas dari noda kotoran batin; ia berusaha untuk mengembangkan meditasi; atau ia memiliki pikiran yang terkendali oleh moralitas; atau ia telah mencapai Nibbàna, lenyapnya secara total kelompok-kelompok batin dengan penembusan Empat Magga ¥àõa; atau ia telah mencapai tingkat Arahatta-Phala, puncak dari Empat Magga Nàna.
Ia mempraktikkan latihan mulia Jalan menuju Nibbàna. Di dunia ini, di mana segalanya timbul dan lenyap, tidak ada satu pun dari lima kejahatan yang muncul (ussadà) dari salah satu objek indrianya, yaitu nafsu (rag’ussada), kebencian (dos’ussada), kebodohan (moh’ussada), kesombongan (man’ussada), pandangan salah (ditth’ussada). Arahanta tersebut disebut brahmana yang dengan berani mengatakan, “Sungguh benar, Aku adalah seorang brahmana sejati!”
(Apa yang dimaksudkan di sini adalah: Seseorang yang memiliki tujuh kebajikan layak disebut brahmana: (1) bebas dari kejahatan, (2) bebas dari kekerasan dan kekasaran, (3) bebas dari noda kotoran batin, (4) pengendalian diri melalui moralitas, (5) pencapaian Nibbàna, (6) telah menjalani praktik mulia Jalan, (7) tidak munculnya lima kejahatan (ussada).
Màra telah mengikuti Buddha selama tujuh tahun untuk mencari kesempatan menemukan kesalahan Buddha, namun ia tidak mendapat kesempatan sedikit pun untuk melakukannya. Oleh karena itu ia mendekati Buddha ketika Buddha berdiam di bawah pohon banyan ajapala dan berkata:
“O Petapa Gotama, apakah Engkau termenung di dalam hutan ini karena Engkau diliputi kesedihan? Apakah Engkau mengalami kehilangan kekayaan bernilai ratusan ribu? Atau, apakah Engkau termenung di sini karena Engkau menginginkan kekayaan bernilai ratusan ribu? Atau, apakah Engkau termenung di dalam hutan ini karena telah melakukan kejahatan berat di sebuah desa atau kota dan tidak berani bertemu orang lain? Mengapa Engkau tidak bergaul dengan orang lain? Engkau sama sekali tidak memiliki teman!”
“O Petapa Gotama, di dunia ini, beberapa orang dan petapa melekat kepada objek-objek kekayaannya seperti emas dan perak, dan objek kebutuhannya seperti jubah, dan lain-lain, dan berkata, “Ini milikku.” Jika batin-Mu melekat, seperti orang-orang dan petapa ini terhadap emas dan perak, dan lain-lain, terhadap jubah, dan lain-lain, Engkau tidak akan pernah dapat melarikan diri dari wilayah kekuasaanku di tiga alam.”
“Buddha, bernama Gotama, keturunan raja besar terpilih (Mahàsammata)! (Sebuah perumpamaan bagaikan) burung gagak bodoh kelaparan melompat di delapan penjuru, mengelilingi sebutir batu yang mirip sebongkah lemak dan mencoba merobeknya dengan paruhnya, karena ia berpikir bahwa ia akan memperoleh lemak dan daging yang lembut dan rasanya pasti sangat lezat.”
“Tidak berhasil mendapatkan kelezatan batu itu, burung gagak bodoh itu pergi. Bagaikan burung gagak bodoh itu, karena gagal menikmati sedikit pun kelezatan meskipun ia telah berusaha merobek batu yang mirip sebongkah lemak tersebut, kami menyerah, merasa sedih, sangat sedih, dan hampir patah hati, karena tidak berhasil memperoleh apa pun yang diharapkan setelah mengganggu, menyakiti, dan menghalangi Engkau, Yang Mulia.”
” Demikianlah ia termenung dan merasa patah hati duduk jongkok sendirian di jalan utama tidak jauh dari Buddha dan membuat goresan enam belas garis di atas tanah yang menggambarkan enam belas kejadian. Arti dari enam belas garis itu adalah sebagai berikut:
(2) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Moralitas dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kedua.
(3) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Melepaskan keduniawian dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis ketiga.
(5) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Usaha dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kelima.
(6) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Kesabaran dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis keenam.
(7) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Kejujuran dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis ketujuh.
(9) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Cinta kasih dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kesembilan.
(10) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Ketenangseimbangan dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kesepuluh.
(12) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh pengetahuan mengenai sifat dan watak makhluk-makhluk lain (àsayànusaya Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kedua belas.
(13) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk mencapai Welas asih yang luar biasa (Mahàkarunàsamàpatti Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis ketiga belas.
(15) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh pengetahuan yang tanpa halangan (anàvarana Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kelima belas.
(16) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh Kemahatahuan (Sabbannuta Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis keenam belas.
Walaupun aku telah mengikutinya selama kurun waktu tujuh tahun untuk mencari kesalahan-Nya, namun aku tidak berhasil mendapat kesempatan sedikit pun untuk mencela-Nya. Oleh karena itulah aku begitu sedih dan patah hati.” “Ayah, jangan khawatir. Kami akan membujuk Petapa Gotama ini dan membawa-Nya ke hadapanmu, ayah,” janji tiga putri tersebut.
Setelah berkata demikian, tiga putri ini mendekati Buddha dan berkata dengan nada membujuk, “Yang Mulia Petapa, izinkan kami melayani-Mu, bersujud dengan hormat di kaki-Mu dan memuaskan segala kebutuhan-Mu.” Buddha mengabaikan mereka, dan tetap menikmati kebahagiaan Nibbàna dalam Phala Samàpatti tanpa membuka mata-Nya.
Kemudian, tiga putri Màra berdiskusi, “Para laki-laki memiliki selera yang berbeda. Beberapa menyukai perempuan yang muda dan halus; yang lain menyukai perempuan yang sedang dalam tahap pertama kehidupannya. Yang lain lagi menyukai perempuan yang sedang dalam tahap pertengahan. Jadi mari kita menciptakan perempuan dalam berbagai usia dan memikat petapa ini.”
Demikianlah, masing-masing dari mereka menciptakan seratus perempuan (1) yang muda, (2) yang menjelang kehamilan, (3) yang telah melahirkan satu kali, (4) yang telah melahirkan dua kali, (5) yang dalam usia pertengahan, (6) yang dalam usia yang sangat dewasa dan matang, semuanya cantik-cantik.
Kemudian mereka mendekati Buddha enam kali dan merayu seperti sebelumnya, “Yang Mulia Petapa, izinkan kami melayani-Mu, bersujud dengan hormat di kaki-Mu, dan memuaskan segala kebutuhan-Mu.” Sama seperti sebelumnya, Buddha mengabaikan mereka, dan tetap menikmati kebahagiaan Nibbàna dalam Phala Samàpatti tanpa membuka mata-Nya.
Kemudian Buddha berkata, “Pergilah, dewi. Melihat manfaat apakah engkau mencoba menguji-Ku seperti ini? Perbuatan ini hendaknya dilakukan kepada mereka yang belum terbebas dari nafsu (ràga), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha). Sedangkan Aku, Aku telah melenyapkan nafsu, Aku telah melenyapkan kebencian, Aku telah melenyapkan kebodohan.” Kemudian Buddha mengucapkan dua bait berikut seperti yang terdapat dalam Dhammapada:
Setelah mengucapkan puji-pujian terhadap Buddha mereka berkata, “Ayah kita berkata benar. Petapa Gotama ini, yang memiliki ciri-ciri seperti Arahaÿ dan Sugata, tidak dapat dibujuk dengan menggunakan nafsu,” mereka kembali ke ayah mereka, Màra.
Selagi Buddha berdiam selama seminggu di Ajapala, Ia berpikir, “Betapa menyedihkan hidup tanpa menghormati orang lain (tidak seorang pun yang dihormati). Siapa yang harus didekati dan dihormati oleh-Ku, seseorang yang telah melenyapkan semua kotoran, yang telah melenyapkan semua kajahatan?” Kemudian Beliau melanjutkan, “Aku harus menetap di dekat mereka yang lebih tinggi dari diri-Ku dalam hal Moralitas, Konsentrasi, Kebijaksanaan, dan Kebebasan sehingga Moralitas, Konsentrasi, Kebijaksanaan, dan Kebebasan-Ku yang masih belum lengkap dan belum mencukupi akan menjadi lengkap dan cukup.” Kemudian Buddha mencari dengan Kemahatahuan-Nya mereka yang lebih tinggi daripada-Nya dalam hal Moralitas, Konsentrasi, Kebijaksanaan, dan Kebebasan.
Pada waktu itu, mengetahui pikiran Buddha, Brahmà Sahampati tiba dalam sekejap di hadapan Buddha dan setelah meletakkan selendangnya di bahu kirinya dan menyentuh tanah dengan lutut kanannya, ia merangkapkan tangannya memberi hormat dan berkata, “Buddha Yang Agung, apa yang Engkau pikirkan adalah benar. Yang Mulia, Buddha-Buddha pada masa lampau hanya hidup dengan menghormati Dhamma. Buddha-Buddha pada masa depan hanya hidup dengan menghormati Dhamma. Buddha Agung, aku juga ingin agar Engkau menjadi Buddha masa sekarang yang hanya hidup dengan menghormati Dhamma.”
Setelah menghabiskan tujuh hari merenungkan Dhamma di bawah pohon banyan ajapala, Buddha pindah ke pohon mucalinda (Barringtonia acutangula) di sebelah timur pohon Mahàbodhi. Di bawah pohon mucalinda, Buddha duduk bersila menikmati kebahagiaan Kearahattaan.
Pada waktu itu turun hujan yang sangat lebat (hujan lebat sebelum memasuki musim hujan) selama tujuh hari. (Hujan seperti ini hanya terjadi pada dua peristiwa! Satu ketika munculnya raja dunia, dan satu lagi saat munculnya seorang Buddha.) Ketika turun hujan lebat, raja nàga yang sangat sakti dan sangat berkuasa, Mucalinda, yang memerintah alam nàga di bawah danau di sana berpikir, “Hujan lebat ini turun segera setelah Buddha berdiam di wilayahku.
Baik sekali jika tempat kediaman Buddha dapat mudah ditemukan.” Raja nàga sangat sakti untuk menciptakan sebuah istana dengan tujuh jenis permata namun ia mempertimbangkan bahwa “Tidaklah sangat bermanfaat jika aku menciptakan sebuah istana besar dari permata dan mendanakannya kepada Buddha. Aku akan menyumbangkan tenagaku kepada Buddha dengan tubuhku.” Jadi ia mengubah tubuhnya menjadi besar dan melingkari tubuh Buddha dalam tujuh lingkaran dan memayungi kepala Buddha dengan kepalanya yang mengembang sehingga Buddha tidak diserang oleh dingin, panas, gigitan serangga seperti nyamuk, lalat, dan lain-lain.
Setelah menghabiskan tujuh hari menikmati kebahagiaan Arahatta di bawah pohon mucalinda dan ketika tiba minggu ke tujuh, Buddha beranjak dari tempat itu dan pindah ke pohon Ràjàyatana (Buchaniania latifolia) di sebelah selatan pohon Mahàbodhi dan duduk di bawah pohon menikmati kebahagiaan Kearahattaan selama tujuh hari.
Ketika telah berlalu empat puluh sembilan hari, pada hari Rabu, tanggal lima di bulan âsàëha, selagi berdiam di Ràjàyatana, Sakka datang dan mendanakan buah obat myrobalan (Terminalia citrina) karena ia mengetahui keinginan Buddha untuk mencuci muka dan membersihkan diri. Buddha menerima buah itu. Segera setelah Buddha mengambil buah tersebut, Buddha menjawab panggilan alam (buang air). Setelah itu Sakka memberikan pembersih gigi dari alam nàga, dan air dari Danau Anotatta (untuk mencuci muka). Buddha menggunakan pembersih gigi, membersihkan mulut-Nya dan mencuci muka, dengan air dari Danau Anotatta, dengan tetap duduk di bawah pohon Ràjàyatana.
Buddha bertanya-tanya, “Semua saudara-Ku, Buddha-Buddha masa lampau, tidak pernah menerima dàna makanan dengan tangan Mereka. Jadi, dengan apakah Aku harus menerima kue nasi dan gumpalan makanan madu yang dipersembahkan oleh kedua pedagang bersaudara ini?” (Karena mangkuk tanah yang didanakan oleh Brahmà Ghatikàra sewaktu Beliau melepaskan keduniawian telah lenyap pada hari Beliau menerima nasi susu dari Sujàtà).
Mengetahui pikiran Buddha, empat raja dewa dari empat arah, yaitu: Dhataratta, Virulhaka, Virupakkha, dan Kuvera dengan hormat menyerahkan empat mangkuk terbuat dari batu zamrud. Tetapi Buddha menolak menerima mangkuk tersebut. Sekali lagi, empat raja dewa tersebut menyerahkan empat mangkuk dari batu (alami) berwarna hijau daun. Empat mangkuk ini diterima oleh Buddha.
Dan karena welas asih-Nya kepada para raja dewa tersebut, Buddha menumpuk empat mangkuk tersebut dan berkehendak, “Semoga empat mangkuk ini menjadi satu.” Segera empat mangkuk tersebut melebur menjadi satu mangkuk bersegi empat.
Kemudian Buddha menerima kue nasi dan gumpalan makanan madu dengan mangkuk dan memakannya dan memberikan khotbah yang sesuai untuk kedua pedagang bersaudara tersebut.
Kemudian kedua pedagang bersaudara tersebut menyatakan berlindung kepada Buddha dan Dhamma (karena Sangha belum terbentuk pada waktu itu), dan dengan demikian menjadi siswa yang hanya mengucapkan dua kata perlindungan (Devàcika-sarana) yang ditujukan kepada Buddha dan Dhamma, dengan mengucapkan,
Setelah itu kedua pedagang bersaudara mengajukan permohonan dengan berkata, “Buddha Yang Mulia, berikanlah sesuatu kepada kami berkat welas asih-Mu sebagai objek pemujaan kami selamanya.” Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan-Nya dan memberikan mereka relik dari rambut-Nya sesuai permintaan mereka.
Kedua bersaudara tersebut sangat gembira menerima relik rambut Buddha, seolah-olah disiram air surga. Setelah menyelesaikan perdagangan, mereka kembali dan tiba di kota mereka Pukkharavati di distrik Ukkalà di mana mereka membangun cetiya untuk memuja relik rambut yang disimpan dalam peti emas.
Ketika itu, hari Kamis, tanggal enam bulan âsàlha, lima puluh hari setelah mencapai Kebuddhaan pada hari Rabu malam purnama bulan Vesàkha, setelah melewatkan Sattasattàha (empat puluh sembilan hari), Buddha bangkit dari duduk-Nya di bawah pohon Ràjàyatana, kemudian berjalan kembali menuju pohon banyan Ajapàla (gembala) dan berdiam di sana duduk bersila. Selanjutnya Buddha dalam kesunyian dan ketenangan merenungkan Kelompok Dhamma, Empat Kebenaran Mulia.
Selanjutnya, dua bait yang menakjubkan, yang belum pernah didengar sebelumnya, tiba-tiba muncul dengan jelas dalam batin Buddha, yaitu:
(1) Tidak ada manfaatnya mengajarkan Dhamma Empat Kebenaran Mulia kepada dewa dan manusia, yang telah Kuperoleh dengan usaha keras mengembangkan Kesempurnaan (Pàrami) pada saat ini di saat hanya ada perasaan welas asih-Ku yang merupakan penyebab internal (ajjhattika Nidàna) tetapi belum ada permohonan dari brahmà yang dipuja oleh dunia ini (Lokagaru), yang adalah penyebab eksternal (bàhira-Nidàna); Dhamma Empat Kebenaran Mulia ini tidaklah mudah dipahami dan sangatlah sulit bagi mereka yang diliputi oleh kejahatan dan terpengaruh keserakahan dan kebencian.
Sulit terlihat (bagaikan biji mostar yang terhalang oleh Gunung Meru besar), kecil bagaikan sebuah atom, dan yang membawa menuju Nibbàna melawan arus sangsàra. (Pikiran seperti ini adalah wajar, dhammatà, yang terjadi pada semua Buddha).
Buddha yang merenungkan demikian merasa segan untuk mengajarkan Dhamma karena tiga alasan berikut: (1) batin makhluk-makhluk yang penuh dengan kotoran, (2) Dhamma yang sangat dalam, dan (3) Buddha sangat meninggikan Dhamma.
Mengajarkan Dhamma hanya setelah permohonan brahmà adalah suatu peristiwa yang wajar, dhammatà, bagi setiap Buddha. Alasan dari pengajaran Dhamma setelah permohonan dilakukan oleh brahmà adalah: di luar masa berkembangnya ajaran Buddha (sebelum munculnya Buddha), mereka yang taat dan bajik, apakah ia umat awam, petapa pengembara, samaõa atau brahmaõa, hanya memuja brahmà.
Oleh karena itu, jika brahmà yang dihormati di dunia memperlihatkan penghormatan kepada Buddha dengan bersujud di depan Buddha, seluruh dunia juga akan berbuat serupa, memiliki keyakinan terhadap Buddha. Untuk alasan ini, adalah suatu kebiasaan dan kewajaran bagi Buddha untuk mengajarkan Dhamma hanya setelah permohonan diajukan oleh brahmà. Demikianlah, hanya setelah bàhira Nidàna, permohonan brahmà diajukan, Buddha bersedia mengajarkan Dhamma.
(Brahmà Sahampati yang agung adalah seorang Thera mulia bernama Sahaka pada masa Buddha Kassapa. Dalam kapasitasnya, ia berhasil mencapai Jhàna Pertama Råpàvacara dan karena ia meninggal dunia tanpa terjatuh dari Jhàna, ia terlahir di Alam Jhàna Pertama dan menjadi Mahàbrahmà yang memiliki umur kehidupan enam puluh empat antara kappa yang setara dengan satu asaïkhyeyya kappa. Ia disebut Brahmà Sahampati di alam brahmà tersebut. Saÿyutta Atthakatthà dan Sàrattha Tikà).
Ketika Buddha masih tidak berkeinginan untuk berusaha mengajarkan Dhamma, Mahàbrahmà Sahampati berpikir, “Nassati vata bho loko! Vinassati vata bho loko!” “O teman, dunia akan binasa! O teman, dunia akan binasa!” Buddha yang layak mendapat penghormatan oleh dewa dan manusia karena telah menembus pengetahuan semua Dhamma di dunia tidak sudi mengajarkan Dhamma!” Kemudian dalam sekejap, dengan kecepatan bagaikan seorang kuat yang merentangkan tangannya yang terlipat atau melipat tangannya yang terentang, Brahmà Sahampati lenyap dari alam brahmà bersama-sama dengan sepuluh ribu Mahàbrahmà lainnya, muncul di hadapan Buddha.
Pada waktu itu, Mahàbrahmà Sahampati meletakkan selendangnya (selendang brahmà) di bahu kirinya dan berlutut dengan lutut kanannya menyentuh tanah (duduk cara brahmà). Bersujud kepada Buddha dengan mengangkat kedua tangannya yang dirangkapkan dan berkata:
“Buddha yang agung, sudilah Buddha mengajarkan Dhamma kepada semua makhluk, manusia, dewa, dan brahmà. Buddha agung yang memiliki bahasa yang baik, sudilah Buddha mengajarkan Dhamma kepada semua makhluk, manusia, dewa, dan brahmà. Ada banyak makhluk-makhluk yang memiliki sedikit debu kotoran di mata pengetahuan dan kebijaksanaan mereka.
Jika makhluk-makhluk ini tidak berkesempatan mendengarkan Dhamma Buddha, mereka akan menderita kerugian besar karena tidak memperoleh Dhamma yang luar biasa Magga-Phala yang layak mereka dapatkan. Buddha yang mulia, akan terbukti bahwa ada dari mereka yang mampu memahami Dhamma yang Engkau ajarkan.”
Kemudian lagi, setelah mengucapkan dengan bahasa prosa biasa, Mahàbrahmà juga mengajukan permohonan dalam syair seperti berikut:
“Buddha yang agung, pada masa lampau sebelum kemunculan-Mu, di Negeri Magadha, terdapat ajaran salah yang tidak suci, yang diajarkan oleh enam guru berpandangan salah, seperti Påraõa Kassapa yang dinodai oleh lumpur kotoran. Dan oleh karena itu, sudilah membuka pintu gerbang Magga untuk memasuki Nibbàna yang abadi (yang tertutup sejak lenyapnya ajaran Buddha Kassapa). Izinkan semua makhluk mendengarkan Dhamma Empat Kebenaran Mulia yang terlihat jelas oleh-Mu yang bebas dari debu kilesa.
“Buddha yang mulia dan bijaksana, yang memiliki mata kebijaksanaan yang mampu melihat segala sesuatu! Bagaikan seorang yang memiliki pandangan mata yang tajam berdiri di puncak gunung dan melihat semua orang di sekelilingnya, demikian pula Engkau, Buddha yang mulia, karena telah terbebas dari kesedihan, naik ke menara Pa¤¤à dan melihat semua makhluk, manusia, dewa, dan brahmà, yang terjatuh ke dalam jurang kesedihan (karena dilindas oleh kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian, dan lain-lain).
“Buddha yang mulia dan memiliki kecerdasan, yang hanya mengetahui kemenangan, tidak pernah kalah, dalam semua pertempuran! Bangunlah! Buddha yang mulia, yang bebas dari hutang kenikmatan indria, yang memiliki kebiasaan membebaskan makhluk-makhluk yang ingin mendengarkan dan mengikuti ajaran Buddha, dari perjalanan sulit berupa kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian dan bagaikan pemimpin rombongan, yang mengantar mereka dengan selamat menuju Nibbàna! Sudilah, mengembara di dunia ini dan mengumandangkan Dhamma dari Buddha yang agung, sudilah, mengajarkan Empat Kebenaran Mulia kepada semua makhluk manusia, dewa, dan brahmà. Buddha yang mulia, ada makhluk-makhluk yang dapat melihat dan memahami Dhamma yang Engkau ajarkan.”
Ketika Brahmà Sahampati telah mengajukan permohonan untuk mengajarkan Dhamma, dua kondisi, yaitu, bàhira Nidàna dan ajjhattika Nidàna telah terpenuhi, dan kemudian Beliau mengamati dunia makhluk-makhluk dengan sepasang Mata-Buddha (Buddha-cakkhu): Pengetahuan atas keinginan tersembunyi atau kecenderungan atau sebaliknya, sifat-sifat indria (Indriya-paropariyatta Nàna).
Dalam pengamatannya, Beliau melihat jelas berbagai jenis makhluk yang berbeda-beda (seperti empat jenis bunga teratai): ada sebuah kolam yang berisi bunga teratai biru, merah, dan putih, empat jenis teratai ini—
(Dari ketiga jenis bunga teratai ini, teratai no. 3 yang berada tinggi di atas permukaan air akan mekar pada hari itu juga; teratai no. 2 yang berada persis di permukaan air akan mekar keesokan harinya, dan teratai no. 1 yang masih berada di bawah air, akan mekar pada hari ketiga).
(4) Selain tiga jenis teratai ini, ada teratai jenis keempat yang tidak akan muncul di atas permukaan air dan tidak akan mekar; teratai jenis ini adalah teratai sakit dan akhirnya hanya menjadi makanan bagi ikan dan kura-kura.
Bagaikan empat jenis teratai ini, ada makhluk-makhluk yang memiliki sedikit atau sama sekali tidak ada debu kilesa di mata kebijaksanaannya; makhluk-makhluk yang memiliki banyak debu di mata kebijaksanaannya; makhluk-makhluk yang lima kelompok keyakinan, ketekunan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang tajam dan matang; makhluk-makhluk yang kelima kelompok tadi tumpul dan tidak matang; makhluk-makhluk yang memiliki watak-watak seperti keyakinan, dan lain-lain,
cukup baik atau tidak cukup baik; makhluk-makhluk yang dapat dengan mudah memahami Dhamma yang diajarkan dan makhluk-makhluk yang tidak dapat memahami; makhluk-makhluk yang memandang hal-hal duniawi seperti kelompok kehidupan, semua bentuk kemelekatan, perbuatan jahat, kehendak-kehendak, dan tindakan yang akan menyebabkan kelahiran kembali, sebagai kelompok yang menakutkan dan berbahaya bagaikan musuh yang memegang pedang yang bersiap-siap untuk menyerang, dan makhluk-makhluk yang tidak memiliki pandangan seperti itu.
Setelah merenungkan dan melihat, Buddha memberikan persetujuan kepada Mahàbrahmà Sahampati dalam syair berikut:
“O Mahàbrahmà Sahampati, Aku belum mengajarkan Dhamma mulia yang telah Kuperoleh kepada manusia, dewa, dan brahmà dalam beberapa hari ini. Hal ini karena pada waktu itu, dua Nidàna untuk mengajarkan Dhamma belum terpenuhi dan karena Aku melihat bahwa, bahkan jika Dhamma diajarkan, tidak akan bermanfaat bagi mereka, hanya melelahkan-Ku saja.”
Setelah itu, Mahàbrahmà Sahampati merasa sangat gembira dan berseru, “Buddha telah menyetujui untuk mengajarkan Dhamma!” Kemudian, setelah bersujud dan mengelilingi Buddha, ia menghilang dari tempat itu (dan pulang ke alam brahmà).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar