Pages - Menu

Pages

Kamis, 09 Agustus 2012

Aliran Nichiren Soshu

A.    Sejarah Nichiren Soshu
Nichiren Soshu adalah sebuah aliran agama Buddha yang berasal dari Jepang pada abad ke-13. Dipelopori oleh bikhu Nichiren Daishonin (1222-1282). Sekte ini berpusat di Taisekiji, Fujinomina, propinsi Shizouka, Jepang. Sekte ini merupakan pewaris Dharma kedua, Nikko Shonin dan Dharma ketiga, Nichimoku Shonin, yang merupakan pendiri sekte ini.
Agama Buddha menebar dari India ke Tiongkok, lalu ke Korea, dan dari Korea kemudian masuk ke Jepang. Agama Buddha sangat terbuka mengungkapkan dasar pendirian sektenya. Bila dilihat dari dasar Buddhaloginya, Nichiren Soshu berawal dari Saddharma Pundarika Sutra versi terjemahan dari Kumarajiva, Sasta Ichinen Sanzen, Hokke Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, sebuah karya Mahaguru Tien Tai, Mahaguru Mio Lo, dan Mahaguru Dengyo.
Di Tiongkok, Mahaguru Tien Tai menyebarluaskan Saddharma Pundarika Sutra. Dalam bahasa Tionghoa, disebut dengan Miao Hua Lien Hwa Cing, dan Myohorengekyo, dalam bahasa Jepang. Sutra Saddharma Pundarika adalah ajaran Buddha mazhab Mahayana. Dari Tiongkok, lalu disebarluaskan ke Jepang oleh Mahaguru Dengyo.
Setelah lebih dari 20 tahun mempelajari berbagai sutra dari sekte-sekte berbagai kuil, maka beliau menyimpulkan bahwa hanya Saddharma Pundarika Sutra yang merupakan ajaran pokok dari Buddha Sakyamuni yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai penderitaan hidup dan mati. Sehingga, sejak saat itu ia menyebut dirinya dengan sebutan “Nichiren”.
Tujuannya adalah untuk mengembalikan ajaran Buddha kepada bentuk yang murni yang menjadi dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan melawan ritualisme dan sintementalisme aliran tanah suci, patriotis, namun eksklusif. Ia mengajarkan bahwa keselamatan dapat dicapai dengan mengucapkan kata-kata suci.
Dari hasil studi dalam mempelajari agama-agama Buddha, ia menyadari bahwa agama Buddha sudah terpecah-pecah dengan bermunculan beraneka ragam sekte. Ia beranggapan bahwa semua sekte itu telah menyimpang dari ajaran Sakyamuni yang asli, sehingga tujuan utama sekte ini adalah mengembalikan agama Buddha kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikan dasar perbaikan masyarakat.
B.     Ajaran-ajaran Nichiren Soshu
1.      Nam-myoho-renge-kyo
Nam-myoho-renge-kyo yang berarti “aku mengabdikan diriku terhadap kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan ke dalam dan keindahannya yang dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddha yang paling luhur”. Menurutnya, hanya dengan menyatu dengan alam semesta, akan mencapai kebahagiaan yang mutlak.
2.      Dohonzon
Dohonzon adalah sesuatu yang menjadi pusat pemujaan yang telah diajarkan Nichiren Doisyonin yang diamanatkan kepada setiap orang yang percaya kepada Nichiren dan ajaran-ajarannya yang benar. Siapapun yang bertawakal kepada Dai-Gohonzon dan mengucapkan Nam-myoho-renge-kyo, maka ia akan merasa roh individunya akan menyatu dengan alam semesta.
3.      Teori Kaidan
Kaidan adalah suatu tempat bagi para calon Bhikkhu untuk bernadar dan menyatakan diri akan mengabdi sebagai bhikkhu atau bhikkhuni.
C.     Nichiren Soshu di Indonesia
Agama Buddha Nichiren Soshu mulai tersebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia, walaupun hanya dianut oleh beberapa orang saja. Pada tahun 1950an dan 1960-an penganutnya mulai bertambah, dan dibentuklah banyak pertemuan untuk diskusi guna mempelajari agama Nichiren Soshu. Pada tanggal 28 Oktober 1969, yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, maka dibentuklah Yayasan Buddhis Nichiren Soshu Indonesia.
1)      Nichiren Soshu di Indonesia bukanlah agama Jepang, akan tetapi agama Buddha dari mazhab Mahayana berdasarkan Tripitaka dan bersifat nasionalis.
2)      Nichiren Soshu di Indonesia menegaskan bahwa Nichiren Soshu bukanlah suatu agama yang bersifat eksklusif untuk golongan tertentu saja, tetapi untuk seluruh lapisan masyarakat berdasarkan prinsip “Icien Bodai Soyo” dan bersifat universal.
3)      Nichiren Soshu di Indonesia memiliki prinsip “Esyo Funi” yang berarti manusia dan lingkungan tidak dapat terpisahkan. Buktinya adalah penggunaan bahasa Indonesia saat pertemuan-pertemuan.
D.    Perpecahan Nichiren Soshu di Indonesia
Sejak akhir tahun 1970 sampai pertengahan tahun 1980, NSI berkembang dan mencapai puncak kejayaannya. Tahun 1986, muncul usulan dan tuntutan untuk membuat AD dan ART NSI yang memang belum ada. Draf AD ART kemudian disusun dan dibuat oleh Sembilan orang atas permintaan Senosoenoto, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kelompok 9.
Inisiatif Kelompok Sembilan ini tidak terakomodasi, mereka disingkirkan. AD ART NSI pun tak kunjung terwujud. Lalu, mereka membuat Yayasan Visistakaritra pada tanggal 16 Februari 1987. NSI sepeninggal Senosoenoto terpecah menjadi dua, karena adanya perbedaan pandangan mengenai siapa yang akan menjadi ketua umum berikutnya, antara kubu pendukung Johan Nataprawira dan kubu pendukung Keiko Senosoenoto. Dalam suatu muktamar, terpilihlah Suhadi Sendjaja dari kubu Johan Nataprawira, dan saat ini masih menjadi ketua umum NSI. Namun, keberadaannya ditentang oleh Sangha Nichiren Soshu. Akibatnya, kini Suhadi Sendjaja dikeluarkan dari Nichiren Soshu dan organisasi NSI tidak diakui sebagai ormas penganut Nichiren Soshu di Indonesia.
Kubu Keiko Senosoenoto mendirikan Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (BDI), dan mengangkat anak perempuannya, Aiko Senosoenoto sebagai ketua umum sampai sekarang ini. Sekitar tahun 2000-an, bersama Sangha Nichiren Soshu Indonesia yang diketuai oleh menantunya, Rusdy Rukmarata.
Yayasan sangha ini memiliki dua buah kuil, yaitu Myogan-ji terletak di Mega Mendung, dan Hosei-ji terletak di Jakarta. Pada tahun 199, terjadi pertikaian antara Sangha Nichiren Soshu di Jepang dengan Sokagakki Internasional, dan berakibat Sokagakkai membentuk sekte sendiri dan diberi nama Nichiren Sekai Shu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar