1. TUHAN YANG MAHA ESA DALAM AGAMA BUDDHA
Setiap agama bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, terlepas dari pengertian dan makna yang diberikan oleh tiap-tiap agama terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula agama Buddha bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap pemeluk agama yang sadar, percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu tidaklah sama dengan umpamanya : percaya adanya suatu telaga di suatu puncak gunung yang tinggi. Percaya tentang adanya suatu telaga di puncak gunung tidak berpengaruh pada sikap hidup dan perilaku seseorang sehari-hari. Tetapi sebaliknya, percaya tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa berakibat penyerahan diri (attâsanniyyatana) kepada-Nya. Penyerahan diri itu berakibat pula dalam perbuatan, dan perbuatan itu adalah amal ibadah (puñña). dan itulah yang disebut beragama. Corak perbuatan itu adalah kesadaran, dilakukan dengan sadar, bukan kebiasaan, bukan adat istiadat, bukan pula tradisi. Perbuatan beragama memberikan pengalaman yang mengintegrasikan hidupnya. Demikianlah maka hidupnya mempunyai tujuan, dan oleh sebab itu menjadi bermakna. Sering kita lihat orang berkecukupan dalam materi, berpangkat dan berkuasa, tetapi mereka itu tidak adanya tujuan. Tujuan itu terdapat dalam setiap agama.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dicapai bukan melalui proses evolusi atau penalaran, melainkan melalui Bodhi (Penerangan Sempurna). Sejak mulai disampaikannya Dhamma oleh Sang Buddha Gotama, dalam agama Buddha telah terdapat Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memungkinkan kita bebas dari samsara (lingkungan tumimbal lahir), yang merupakan tempat perlindungan sampai tercapainya Pembebasan Mutlak (nibbâna), yang menyatukan semua insan, yang menjadi tujuan terakhir.
Barangkali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sementara orang akan heran dan tercengang mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bahkan sejak kotbah-Nya yang pertama. Keheranan itu disebabkan karena banyaknya tulisan di Indonesia yang menyatakan bahwa agama Buddha tidak ber-Tuhan, bahkan menyangkal adanya Tuhan. Anggapan demikian sebenarnya adalah suatu kesalahan semantik, salah paham bahasa, karena orang secara bebas menterjemahkan istilah-istilah dari literatur Barat ke dalam bahasa Indonesia, seperti misalnya: 'god' dengan 'Tuhan', 'theisme' dengan 'percaya Tuhan'.
Kalau kita perhatikan ajaran agama-agama yang berbeda-beda tentang Tuhan Yang Maha Esa, dan bila kita bandingkan berbagai-bagai pengertian itu sering nampak seolah-olah ada yang bertentangan, akan tetapi terdapat pula persamaan di antara perbedaan-perbedaan itu, antara lain bahwa Tuhan adalah Yang Mutlak, Yang Tertinggi, Yang Maha Suci, dan akhir tujuan semua mahluk.
Hampir pada semua agama terdapat anthropomorphisme (memahami Yang Mutlak/Tuhan dengan ukuran bentuk manusia) dan anthropopathisme (memahami Yang Mutlak dalam ukuran perasaan manusia). Dalam hal ini karena agama Buddha memandang Yang Mutlak dalam aspek nafi (meniadakan segala sesuatu yang dapat dipikirkan), maka kecenderungan jatuh ke dalam anthropomorphisme dan anthropopathisme tersebut tidak terdapat dalam agama Buddha.
Yang Mutlak (Tuhan) dalam agama Buddha tidaklah dipandang sebagai sesuatu pribadi (punggala adhitthâna), yang kepada-Nya umat Buddha memanjatkan doa dan menggantungkan hidupnya. Agama Buddha mengajarkan bahwa nasib, penderitaan dan keberuntungan manusia adalah hasil dari perbuatannya sendiri di masa lampau, sesuai dengan hukum kamma yang merupakan satu aspek Dhamma.
Sebelum perkataan 'Tuhan" diperkenalkan kepada rakyat Indonesia, rakyat Indonesia telah ber-Tuhan, akan tetapi tidak disebut dengan perkataan 'Tuhan'. Di Jawa dikenal perkataan 'Pangeran'. Perkataan 'Pangeran' itu mempunyai akar kata 'her', 'tempat diam untuk menghadap orang tua'; kata kerjanya 'angher', 'tinggal pada suatu tempat untuk mengabdi'; maka perkataan 'Pangeran' berarti 'yang diikuti, yang diabdi'. Dalam hal ini tidak ada unsur memohon, meminta sesuatu, mengaharapkan sesuatu dari 'Pangeran', akan tetapi karena mengabdi dan mengikuti, maka pasti akan diperoleh berkah atau buah (pahala).
Tuhan atau Pangeran dalan bahasa Jawa sering digambarkan sebagai : "gesang tanpa roh; kuwaos tanpa piranti; tan wiwitan datan wekasan; tan kena kinaya ngapa; ora jaman ora makam; ora arah ora enggon; adoh tanpa wangenan; cedak tanpa gepokan (senggolan); ora njaba ora njero; lembut tan kena jinumput; gede tan kena kinira-kira", yang artinya :
"Hidup tanpa roh; kuasa tanpa alat; tanpa awal tanpa akhir; tak dapat diapa-siapakan; tak kenal jaman maupun perhentian; tak berarah tak bertempat; jauh tak terbatas; dekat tak tersentuh; tak di luar tak di dalam; halus tak terpungut; besar tak terhingga".
'Yang Mutlak' adalah istilah falsafah, bukan istilah yang biasa dipakai dalam kehidupan keagamaan. Dalam kehidupan keagamaan, 'Yang Mutlak' disebut dengan 'Tuhan Yang Maha Esa'.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha kita dapatkan dari sabda-sabda Sang Buddha, seperti yang dituliskan dalam Kitab Udana :
"Atthi bhikkhave ajâtam abhûtam akatam asankhatam,no ce tam bhikkhave abhavisam ajâtam abhûtam akatam asankhatam, nayidha jâtassa bhûtassa katassa sankhatassa nissaranam paññâyatha. Yasmâ ca kho bhikkhave atthi ajâtam abhûtam akatam asankhatam, tasmâ jâtassa bhûtassa katassa sankhatassa nissaranam paññâyâ'ti:.
artinya :
"Para bhikkhu, ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Para bhikkhu, bila tak ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka tak ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu". (Udâna, VIII : 3)
Untuk memahami Yang Mutlak ini, seseorang harus mengembangkan pengertiannya, dari pengertian duniawi (lokiya) sampai memperoleh pengertian yang mengatasi duniawi (lokuttara), yang hanya dapat dicapai oleh insan yang sadar, yang telah membebaskan diri dari cengkeraman kamma dan kelahiran kembali. Pengertian ini tidak dapat dimiliki oleh manusia yang batinnya masih dicengkeram oleh keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha).
Dengan demikian, jelaslah bahwa agama Buddha benar-benar mengajarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Yang Mutlak. Hal ini penting sebagai penegasan kepada mereka yang mengira bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan dengan sendirinya agama Buddha dianggap tidak berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. KEYAKINAN DALAM AGAMA BUDDHA
Umat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatan dan kesetiaan mereka kepada Buddha, Dhamma dan Sangha dengan kata-kata dalam suatu rumusan kuno yang sederhana, namun menyentuh hati, yang terkenal dengan nama Tisarana (Tiga Perlindungan). Rumusan itu berbunyi :
Buddham saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Buddha
Dhammam saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Dhamma
Sangham saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Sangha
Rumusan ini disabdakan oleh Sang Buddha sendiri (bukan oleh para siswaNya atau mahluk lain) pada suatu ketika di Taman Rusa Isipatana dekat Benares, pada enam puluh orang arahat siswa Beliau, ketika mereka akan berangkat menyebarkan Dhamma demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat menusia. Sang Buddha bersabda : "Para bhikkhu, ia (yang akan ditahbiskan menjadi sâmanera dan bhikkhu) hendaklah: setelah mencukur kepala dan mengenakan jubah kuning . . . bersujud di kaki para bhikkhu, lalu duduk bertumpu lutut dan merangkapkan kedua tangan di depan dada, dan berkata: "Aku berlindung kepada Buddha", "Aku berlindung kepada Dhamma", "Aku berlindung kaprda Sangha" (Vinaya Pitaka I, 22).
Sang Buddha menetapkan rumusan tersebut bukan hanya bagi mereka yang akan ditahbiskan menjadi samanera dan bhikkhu, tetapi juga bagi umat awam. Setiap orang yang memeluk agama Buddha, baik ia seorang awam ataupun seorang bhikkhu, menyatakan keyakinannya dengan kata-kata rumusan Tisarana tersebut. Nampaklah betapa luhurnya kedudukan Buddha, Dhamma dan Sangha. Bagi umat Buddha 'berlindung kepada Tiratana' merupakan ungkapan keyakinan, sama seperti 'syahadat' bagi umat Islam dan 'credo' bagi umat Kristen.
Trisarana adalah ungkapan keyakinan (saddha) bagi umat Buddha. Saddha yang diungkapkan dengan kata 'berlindung' itu mempunyai tiga aspek :
1) Aspek kemauan :Seorang umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan penuh kesadaran, bukan sekedar sebagai kepercayaan teoritis, adat kebiasaan atau tradisi belaka. Tiratana akan benar-benar menjadi kenyataan bagi seseorang, apabila ia sungguh-sungguh berusaha mencapainya. Karena adanya unsur kemauan inilah, maka saddha dalam agama Buddha merupakan suatu tindakan yang aktif dan sadar yang ditujukan untuk mencapai Pembebasan, dan bukan suatu sikap yang pasif, 'menunggu berkah dari atas'.
2) Aspek Pengertian : ini mencakup pengertian akan perlunya perlindungan yang memberi harapan dan menjadi tujuan bagi semua mahluk dalam samsara ini, dan pengertian akan adanya hakekat dari perlindungan itu sendiri.
Adanya Tiratana sebagai Perlindungan telah diungkapkan sendiri oleh Sang Buddha. Tetapi hakekat Tiratana sebagai Perlindungan Terakhir hanya dapat dibuktikan oleh setiap orang dengan mencapainya dalam batinnya sendiri. Dalam diri seseorang, Perlindungan itu akan timbul dan tumbuh bersama dengan proses untuk mencapainya. " Dengan daya upaya, kesungguhan hati dan pengendalian diri, hendaklah orang yang bijaksana membuat untuk dirinya pulau yang tidak akan tenggelam oleh air bah" (Dhammapada, V : 25).
Buddha, sebagai perlindungan pertama, mengandung arti bahwa setiap orang mempunyai benih kebuddhaan dalam dirinya, bahwa setiap orang dapat mencapai apa yang telah dicapai oleh Sang Buddha. "Seperti sayalah para penakluk yang telah melenyapkan kekotoran batin" (Ariyapariyesanâ Sutta, Majjhima Nikâya). Sebagai perlindungan, Buddha bukanlah pribadi Petapa Gotama, melainkan para Buddha sebagai manifestasi daripada Bodhi (kebuddhaan) yang mengatasi keduniawian (lokuttara).
Dhamma, sebagai perlindungan kedua, bukan berarti kata-kata yang terkandung dalam kitab suci atau konsepsi ajaran yang terdapat dalam batin menusia biasa yang masih berada dalam alam keduniaan (lokiya, mundane), melainkan "Empat Tingkat Kesucian" beserta 'Nibbâna' yang dicapai pada akhir Jalan.
Sangha, sebagai perlindungan kedua, bukan berarti kumpulan para bhikkhu yang anggota-anggotanya masih belum bebas dari kekotoran batin (bhikkhu sangha), melainkan Pasamuan Para Suci yang telah mencapai Tingkat-Tingkat Kesucian (ariya-sangha). Mereka ini menjadi teladan yang patut dicontoh. Namun landasan sesungguhnya dari Perlindungan ini ialah kemampuan yang ada pada setiap orang untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian itu.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha dalam aspeknya sebagai Perlindungan mempunyai sifat mengatasi keduniaan (supramundane, lokuttara). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha merupakan manifestasi daripada Yang Mutlak, Yang Esa, yang menjadi tujuan terakhir semua mahluk. Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai Tiratana adalah bentuk kesucian tertinggi yang dapat ditangkap oleh pikiran manusia biasa, dan oleh karena itu diajarkan sebagai Perlindungan yang Tertinggi oleh sang Buddha. Buddha, Dhamma dan Sangha atau Tiratana adalah manifestasi, perwujudan, pengejawantahan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam alam semesta ini, yang dipuja dan dianut oleh seluruh umat Buddha.
3) Aspek Perasaan (emosionil) : yang berlandaskan aspek pengertian di atas, dan mengandung unsur-unsur keyakinan, pengabdian dan cinta kasih. Pengertian akan adanya Perlindungan memberikan kayakinan yang kokoh dalam diri sendiri, serta menghasilkan ketenangan dan kekuatan. Pengertian akan perlunya Perlindungan mendorong pengabdian yang mendalam kepada-Nya; dan pengertian akan hakekat Perlindungan memenuhi batin dengan cinta kasih kepada Yang Maha Tinggi, yang memberikan semangat, kehangatan dan kegembiraan.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa 'berlindung' dalam agama Buddha berarti : "Suatu tindakan yang sadar, yang bertujuan untuk mencapai Pembebasan yang berlandaskan pengertian dan didorong oleh keyakinan". Atau secara singkat : "Suatu tindakan sadar daripada keyakinan, pengertian dan pengabdian".
Ketiga aspek daripada 'berlindung' ini sesuai dengan aspek kemauan, aspek rasionil dan aspek emosionil dari batin manusia. Oleh karena itu untuk mendapatkan perkembangan batin yang harmonis, ketiga aspek ini harus dipupuk bersama-sama.
Berlindung kepada Tiratana sebagai pengucapan kata-kata belaka tanpa dihayati, berarti kemerosotan dari suatu kebiasaan kuno yang mulia. Perbuatan demikian melenyapkan makna dan manfaat dari Perlindungan. Berlindung kepada Tiratana seharusnya merupakan ungkapan dari suatu dorongan batin yang sungguh-sungguh, seperti seseorang yang apabila melihat suatu bahaya besar akan bergegas mencari perlindungan. Orang yang melihat rumahnya terbakar, tidak akan memperoleh keselamatan hanya dengan memuja keamanan dan kebebasan tanpa bertindak untuk mencapainya. Tindakan pertama kearah keselamatan dan kebebasan ialah dengan 'berlindung' secara benar, yaitu suatu tindakan sadar daripada keyakinan, pengertian dan pengabdian.
3. POKOK-POKOK AJARAN SANG BUDDHA
Agama Buddha yang oleh umat Buddha dikenal sebagai Buddha Dhamma, bersumber pada kesunyataan yang diungkapkan oleh Sang Buddha Gotama lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu, yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan Pandangan Terang, dan oleh karenanya dapat membebaskan menusia dari ketidaktahuan (avijjâ) dan penderintaan (dukkha).
Dalam sejarah perkembangan agama Buddha, telah timbul pelbagai mahzab dan sekte, yang saling berbeda dalam cara masing-masing menafsirkan segi-segi tertentu dari ajaran Sang Buddha, juga dalam ritualnya. Akan tetapi, sekalipun terdapat perbedaan di antara mahzab dan sekte-sekte agama Buddha, namun semuanya memiliki landasan-landasan pokok tersebut. Landasan-landasan pokok yang sama ini adalah pengertian-pengertian yang minimal terdapat dalam semua mahzab dan sekte agama Buddha; yaitu :
1.Tiratana
2. Tilakkhana
3.Cattâri Ariya Saccâni
4.Kamma dan Punabbhava
5.Paticcasamuppâda
6.Nibbâna1.Tiratana (Tiga Permata)Pengertian mengenai Tiratana telah diuraikan secara khusus dalam bagian "Keyakinan dalam agama Buddha", yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2. Tilakkhana (Tiga Corak Umum)
a. Segala sesuatu yang terbentuk dan bersyarat adalah tidak kekal (sabbe sankhârâ aniccâ)
b. Segala sesuaru yang terbentuk dan bersyarat tercengkram oleh dukkha (sabbe sankhârâ dukkhâ)
c. Segala sesuatu adalah tanpa 'diri', tidak memiliki inti yang tetap atau pribadi yang kekal (sabbe dhammâ anattâ)
Segala sesuatu yang terbentuk dan bersyarat(conditioned), baik jasad organik maupun inorganik, unsur-unsur jasmani maupun batin(perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran), di dalam maupun di luar individu, semuanya bersifat tidak kekal dan selalu berubah(aniccâ).
Segala sesuatu yang bersifat tidak kekal dan selalu berubah itu dengan sendirinya tidak dapat memberikan kepuasan yang sempurna, atau dengan kata lain, terkena dukkha(dukkhâ).
Akhirnya terhadap segala sesuatu yang bersifat tidak kekal dan terkena dukkha ini tidak dapat dikatakan: "ini aku", "ini milikku", "ini diriku". Dengan kata lain, menurut kenyataan yang terakhir sesungguhnya tidak terdapat suatu "aku" atau "diri" atau "inti", baik di dalam maupun di luar segala sesuatu yang sifatnya terbentuk dan bersyarat(conditioned) ini. Segala sesuatu sebenarnya adavlah 'bukan aku'(anattâ).
Kata-kata "aku" hanyalah dipergunakan dalam pengertian sehari-hari dalam artian umum untuk membeda-bedakan satu dengan lain individu. Dengan demikian, mengingat bahwa segala bentuk dan unsur kehidupan adalah bersyarat dan tidak kekal, maka setiap bentuk kepercayaan tentang "diri" yang kekal(attâ ditthi) adalh suatu kesesatan atau khayalan(micchâ ditthi), yang bersumber pada kecenderungan yang kuat dan berakar dalam untuk mempertahankan diri, akibat kekhawatiran melepaskan segala-galanya, termasuk "aku"-nya yang sebenarnya hanyalah angan-angan belaka.
Untuk menembus kesunyataan yang dahsyat, yang menjadi ciri khas agam Buddha ini, diperlukan latihan dalam sila, samâdhi dan pañña(kebijaksanaan) yang tekun dan sungguh-sungguh.
3.Cattari Ariya Saccâni(Empat Kesunyataan Mulia)
Dalam kotbah-Nya yang pertama di Taman Rusa Isipatana yang terkenal dengan nama Dhammacakkappavattana Sutta (Khotbah Pemutaran Roda Dhamma), Sang Buddha Gotama telah mengajarkan secara singkat Empat Kesunyataan Mulia, yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma. Empat Kesunyataan Mulia tersebut adalah :
a. Kesunyataan Mulia tentang Dukkha (dukkha ariyasacca)
Kata 'Dukkha' di sini yang menyatakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan dan dunia, mempunyai pengertian filosofis yang mendalam dan mencakup bidang yang amat luas.
Dalam khotbah-Nya yang pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna, Beliau merumuskan dukkha dengan istilah sebagai berikut :
"Kelahiran, usia tua dan kematian adalah dukkha; kesakitan, keluh-kesah, ratap tangis, kesedihan dan putus asa adalah dukkha; berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang tidak disenangi, dan tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah dukkha. Dengan ringkas, jasmani dan batin (segala bentuk kehidupan) adalah dukkha".
Banyak orang salah mengerti terhadap ajaran ini, dan beranggapan bahwa Buddha Dhamma adalah ajaran pesimistis, yang memandang dunia dari sudut negatif. Karena itu di sini perlu ditegaskan bahwa Buddha Dhamma bukanlah ajaran yang bersifat pesimistis atau optimistis. Sang Buddha adalah seorang realis dan obyektif; Beliau memandang segala sesuatu menurut hakekat yang sebenarnya berdasarkan Pandangan Terang (yathâbhûtam ñânadassanam).
Sewaktu menerangkan dukkha, Beliau juga mengakui adanya berbagai bantuk 'kebahagiaan', material dan spiritual. Akan tetapi, kebahagiaan-kebahagiaan itu sendiri adalah bersyarat, selalu berubah-ubah dan tidak kekal, karena itu harus digolongkan dalam dukkha (aniccâ dukkhâ viparinâmadhammâ); dukkha bukan merupakan 'penderitaan' dalam arti umum, tetapi karena 'segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha' (yad anicam tam dukkham).
Karenanya, dukkha di sini mempunyai tiga pengertian :
1. Dukkha sebagai penderitaan yang umum (dukkha dukkha)
2. Dukkha sebagai akibat dari perubahan (viparinâma dukkha)
3. Dukkha sebagai keadaan-keadaan yang bersyarat (sankhârâ dukkha)b. Kesunyataan Mulia tentang Sebab-Musabab Dukkha (dukkhasamudaya ariya sacca) Sebab-musabab dukkha ialah 'kehausan' (tanhâ), yang menyebabkan kelahiran berulang-ulang bersama dengan hawa nafsu yang mencari kenikmatan ke sana ke mari (ponobhavika nandîrâgasahagatâ tatratatrâbhinandinî); yang terdiri atas :
1. Kehausan akan kenukmatan-kenikmatan indria (kâma tanhâ)
2. Kehausan akan kelangsungan atau perwujudan (bhava tanhâ)
3. Kehausan akan pemusnahan (vibhava tanhâ)
Setiap orang mengakui bahwa semua kejahatan dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Hal ini tidak sulit untuk dimengerti. Tetapi bagaimana tanhâ ini dapat mengakibatkan 'kelahiran berulang-ulang' (ponobhavikâ) bukanlah dengan mudah dapat dimengerti. Maka di sini kita akan membicarakan sudut falsafah yang lebih dalam dari Kesunyataan Mulia kedua yang berhubungan dengan Kesunyataan Mulia pertama.
Terdapat empat macam 'makanan' (âhâra) dalam pengertian sebab atau kondisi yang diperlukan untuk kelangsungan makhluk-makhluk :
- makanan material (kabalinkârâhâra)
- kontak dari enam indria kita dengan dunia luar (phassâhâra)
- kesadaran (viññânâhâra)
- kehendak batin atau keinginan (manosañcetanâhâra)
Âhâra Keempat merupakan kehendak untuk hidup, untuk lahir, untuk lahir kembali, untuk berlangsung, untuk menjadi lebih sempurna. Ia menciptakan akar dari kelahiran dan kelangsungan yang bergerak maju dengan perbuatan-perbuatan yang baik dan buruk (kusala-akusala kamma).
c. Kesunyataan Mulia tentang Lenyapnya Dukkha (dukkhanirodha ariyasacca)
Lenyapnya dukkha (tercapai dengan) berakhirnya sama sekali, dilepaskannya, ditinggalkannya, terbebas dari, tidak terdapatnya kehausan (tanhâ) ini; atau dengan kata lain : tercapainya Nibbâna. Keterangan mengenai Nibbâna dapat dilihat pada bab ini nomor enam.
d. Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha (dukkhanirodha gâminî patipadâ ariyasacca)
Jalan untuk menuju lenyapnya dukkha ialah 'Jalan Berunsur Delapan' (ariya atthangika magga). Delapan Jalan Utama ini dikenal jugan sebagai 'Jalan Tengah' (majjhima patipadâ). oleh karena 'Jalan' ini menghindari dan berada di luar cara hidup yang ekstrim, yaitu: pemuasan nafsu yang berlebih-lebihan dan penyiksaan diri; dan sekaligus mengajarkan suatu cara berpikir di tengah tengah yang menghindari kedua kutub pandangan, yaitu pandangan tentang 'kekekalan' (eternalisme, sassata-ditthi) dan 'kemusnahan' (nihilisme, ucchedda ditthi).
Dengan ajaran ini kita dapat membedakan antara unsur-unsur berikut : mulia dan tidak mulia (ariya-anariya), baik dan buruk (kusala-akusala), berguna dan tidak berguna (attha-anattha), benar dan salah (dhamma-adhamma), tercela dan tidak tercela (sâvajja-anâvajja), jalan hidup yang terang dan jalan hidup yang gelap (tapaniya-anatapaniya) dan sebagainya (Anguttara Nikâya V, 274-285)
Perlu ditekankan bahwa Jalan Berunsur Delapan ini bukanlah terdiri atas delapan buah jalan, yang harus diikuti satu demi satu atau dilaksanakan secara terpisah. Jalan Berunsur Delapan ini sebenarnya adalah "satu jalan" yang mempunyai delapan faktor di dalamnya. Karenanya, kedelapan unsur itu harus dilaksanakan secara serentak dan selaras, sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Jalan Berunsur Delapan tersebut terdiri atas :
1. Pandangan Benar (sammâ-ditthi)
Pandangan Benar ialah pengertian terhadap segala sesuatu dan peristiwa menurut hakekat yang sebenarnya; penembusan ke dalam Empat Kesunyataan Mulia. Dengan kata lain, langkah yang pertama sekali pada jalan itu dimulai dengan memperoleh suatu pengertian yang jelas terhadap prinsip pokok Buddha Dhamma tentang 'sifat saling bergantungan yang universal'.
2. Pikiran Benar (sammâ-sankappa)
Pikiran Benar ialah pikiran yang bebas dari hawa nafsu (râga), kemauan buruk (byâpâda), kekejaman (vihimsa) dan semacamnya; yang diwujudkan dalam bentuk cinta kasih terhadap semua mahluk. Dengan memiliki pikiran benar ini seseorang dapat membebaskan dirinya dari semua pikiran mementingkan diri sendiri, kemauan buruk, kebencian dan kekerasan dalam semua lingkungan hidup, baik individuil maupun sosial.
3. Ucapan Benar (sammâ-vâcâ)
Ucapan Benar mencerminkan tekad untuk menahan diri dari berbohong (musâvâdâ); memfitnah (pisunâvâcâ) yang dapat menimbulkan kebencian, permusuhan, perpecahan dan ketidakrukunan antara individu-individu atau golongan-golongan; ucapan kasar, pedas, tidak sopan, jahat dan caci maki (pharusavâcâ); percakapan-percakapan yang tidak bermanfaat, sia-sia serta pergunjingan (samphappalâpâ). Sebaliknya, ia adalah "seorang pembicara benar, manusia yang benar, dapat dipercaya, dapat diandalkan, bukan penipu dunia. . . Bila telah mendengar sesuatu di sini, ia tidak akan menyampaikannya di tempat lain untuk menimbulkan perpecahan dengan orang-orang di sini, atau, setelah mendengar sesuatu di tempat lain, ia tidak akan menyampaikannya di sini untuk menimbulkan perpecahan dengan orang-orang di sana . . . kerukunan merupakan kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaannya; kerukunan adalah tujuan pembicaraannya . . . Ia bisa mengucapkan kata-kata yang lembut, enak didengar, menyenangkan, menarik hati, sopan santun dan damai kepada banyak orang . . . Ia adalah seorang yang berbicara pada saat yang tepat, sesuai dengan kenyataan, tentang kebajikan, tentang Dhamma dan tentang Vinaya. Ia mengucapkan kata-kata yang bernilai . . ." (Majjhima Nikâya, I. 345).
4. Perbuatan Benar (sammâ-kammanta)
Perbuatan Benar berarti mengembangkan kelakuan bermoral, mulia dan damai, yang dapat diwujudkan dengan melaksanakan Pañcasila Buddhis dalam aspek negatif dan posotifnya; yaitu tidak melakukan pembunuhan, melainkan mengembangkan cinta kasih dan kasih sayang terhadap semua mahluk; tidak melakukan pencurian, melainkan melaksanakan kemurahan hati dan kedermawanan; tidak melakukan perbuatan-perbutatan kelamin yang salah, melainkan melaksanakan kesucian dan pengendalian diri; tidak mengumbar ucapan-ucapan bohong, melainkan melaksanakan kejujuran dan kesetiaan; tidak minum minuman yang memabukkan, atau obat-obat bius, melainkan meningkatkan kewaspadaan.
5. Penghidupan Benar (sammâ-âjîva)
Penghidupan Benar berarti menghindarkan diri dari memperoleh mata pencaharian yang menyebabkan kerugian orang lain. Penipuan, penghianatan, tipu muslihat dan pemerasan seharusnya tidak dilakukan. Lima bentuk perdagangan yang seharusnya dihindari, yaitu: memperdagangkan senjata, mahluk hidup, daging, minum-minuman keras (termasuk obat-obat bius) dan racun (Anguttara Nikâya, III. 153)
6. Usaha Benar (sammâ-vâyâma)
Usaha Benar mempunyai dua segi. Dalam segi negatifnya adalah suatu kemauan yang kuat untuk mencegah timbulnya keadaan-keadaan demikian yang telah ada dalam batin. Dalam segi positifnya adalah suatu kemauan yang kuat untuk menumbuhkan dan mengembangkan keadaan-keadaan batin baik dan sehat yang belum ada, dan meningkatkan serta menyempurnakan keadaan-keadaan demikian yang telah ada dalam batin. Dengan dua seginya yang telah dituliskan di atas, Usaha Benar terdiri atas empat macam : usaha untuk menahan diri, usaha untuk meninggalkan, usaha untuk membangun dan usaha untuk memelihara (Anguttara Nikâya, II.83).
7. Perhatian Benar (sammâ-sati)
Perhatian Benar berarti melatih diri agar benar-benar sadar, penuh perhatian dan waspada terhadap kegiatan-kegiatan tubuh (kâya), perasaan-perasaan indera (vedanâ), kegiatan-kegiatan pikiran (citta), dan ide-ide, konsepsi-konsepsi dan semua gejala batin (dhamma).
8. Konsentrasi Benar (sammâ-samâdhi)
Konsentrasi Benar berarti pemusatan pikiran yang ditujukan pada obyak yang baik, sehingga batin mencapai suatu keadaan yang lebih tinggi dan lebih dalam. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut : "Bebas dari nafsu-nafsu indria dan pikiran jahat, ia memasuki dan berdiam dalam Jhâna pertama, di mama vitakka (penempatan pikiran pada obyek) dan vicâra (mempertahankan pikiran pada obyek) masih ada, yang disertai dengan kegiuran dan kebahagiaan (pîti dan sukha). Dengan menghilangkan vitakka dan vicâra, ia memasuki dan berdiam dalam Jhâna kedua, yang merupakan ketenangan batin, bebas dari vitakka dan vicâra, memiliki kegiuran (pîti) dan kebahagiaan (sukha) yang timbul dari samâdhi. Dengan memasuki serta berdiam dalam Jhâna ketiga, ia meninggalkan kegiuran, hanya berdiam dalam ketenangan, penuh perhatian, benar-benar sadar, dan ia merasakan tubuhnya dalam keadaan nikmat. Dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, meninggalkan pikiran gembira dan sedih, ia memasuki dan berdiam dalam Jhâna keempat, keadaan yang benar-benar seimbang dan penuh perhatian murni, di mana kebahagiaan dan kesedihan tidak dapat menyentuh batinnya".
Hal-hal yang telah disebutkan di atas adalah delapan unsur dari Jalan Tengah seperti yang diterangkan dalam Kitab Suci Tipitaka (pâli). Agama Buddha menganggap Jalan Berunsur Delapan ini sebagi satu-satunya jalan untuk menuju lenyapnya dukkha- Nibbâna. Mengenai Jalan Berunsur Delapan ini Sang Buddha Gotama bersabda :
"O..para bhikkhu, apabila dibandingkan dengan hal-hal lain yang bersyarat (sankhata dhamma), Jalan Berunsur Delapan adalah yang terbaik di antara mereka. Barangsiapa yakin terhadapnya, ia memiliki keyakinan dalam hal yang terbaik; dan barangsiapa memiliki keyakinan dalam hal trbaik, akan memperoleh hasil yang terbaik" (Anguttara Nikâya, II. 44).
4) Kamma dan Punabbhava (Hukum Kamma dan Tumimbal Lahir)
Kamma (Pâli) atau Karma (Sansekerta) artinya 'perbuatan'. Hukum kamma menempati kedudukan yang penting dan merupakan salah satu landasan pokok agama Buddha. Agama Buddha memandang hukum kamma sebagai hukum semesta tentang sebab akibat dan sebagai hukum moral, yang sesungguhnya merupakan dua aspek dari satu hukum yang sama.
Dalam aspeknya sebagai hukum semesta tentang sebab akibat, hukum ini menerangkan bahwa segala sesuatu yang timbul, baik jasad organik maupun inorganik, pasti mempunyai sebab-sebab; atau dengan kata lain, tiada sesuatu yang timbul tanpa sebab sebelumnya. Rumusan 'Hukum Sebab Musabab yang saling Bergantungan' berbunyi sebagi berikut :
"Imasmim sati idam hoti; imassuppâdâ idam uppajjati.
"Imasmim asati idam na hoti; imassa nirodhâ imam nirujjhati".
"Dengan adanya ini, adalah itu; dengan timbulnya ini, timbullah itu.
Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu; dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu".
Agama Buddha mempergunakan hukum ini untuk menerangkan hakekat dari segenap alam semesta. Akan tetapi, hukum kamma dalam aspeknya sebagai hukum semesta hanyalah merupakan suatu turunan dari pengertiannya sebagai hukum sebab dan akibat. Nilai penting yang sesungguhnya dari hukum kamma terletak pada aspeknya yang kedua, yaitu sebagai hukum moral. Dengan aspeknya yang kedua ini, hukum kamma memberikan peranan yang penting dalam ajaran-ajaran Buddhis tentang etika, yang seringkali ditekankan oleh Sang Buddha.
Ajaran Buddhis tentang kamma sebagai hukum moral, adalah mengenai perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seseorang melalui badan jasmani (kâya-kamma), ucapan (vâcî-kamma) dan pikiran (mano-kamma). Ketiga macam perbuatan ini untuk dapat disebut kamma, harus selalu disertai dengan 'kehendak batin' (cetanâ). Dalam pandangan Buddhis, suatu perbuatan tanpa disertai kehendak tidak dapat disebut kamma, karena perbuatan itu tidak dapat memberikan akibat moral apapun pada pelakunya. Sang Buddha bersabda : "O para bhikkhu, kehendak itulah yang Kusebut kamma. Seseorang, setelah timbul kehendak dalam batinnya, melakukan perbuatan melalui jasmani, ucapan dan pikiran ...." (Cetanâ'ham bhikkhave kammam vadâmi. Cetayitvâ kammam karoti kâyena vâcâya manasa ....." Anguttara Nikâya, III. 415).
Pengetahuan atau pengertian mengenai hukum kamma itu sendiri tidak akan lengkap apabila tidak dipelajari dalam hubungan dengan akibat-akibatnya (phala). Dalam Kitab Suci Tipitaka (Pâli) terdapat suatu pernyatan yang memperlihatkan keyakinan umat Buddha terhadap hukum kamma. Pernyataan tersebut berbunyi :
"Yâdisam labhate bîjam tâdisam labhate phalam
Kalyânakârî ca kalyânam pâpakârî ca pâpakam""Sesuai dengan benih yang telah ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Ia yang berbuat baik akan menerima kebaikan, dan ia yang berbuat jahat akan menerima kejahatan". (Samyutta Nikâya, 1.293)
Dalam hubungan dengan akibat-akibatnya, hukum kamma dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :
1. Kamma menurut waktu
2. Kamma menurut kekuatan
3. Kamma menurut fungsi1. Kamma menurut waktu :
Di sini, kamma dihubungkan dengan unsur waktu dalam menghasilkan akibatnya, yang terdiri atas empat macam, yaitu :
a. Ditthadhammavedanîya-kamma, adalah kamma yang memberikan akibatnya pada masa kehidupan sekarang ini juga.
b. Uppajjavedanîya-kamma, adalah kamma yang akibatnya akan dialami dalam kehidupan setelah hidup sekarang ini.
c. Aparâparavedanîya-kamma, adalah kamma yang akibatnya akan dialami dalam kehidupan-kehidupan berikutnya.
d. Ahosi-kamma, adalah kamma yang memberikan akibat karena jangka waktunya untuk menghasilkan akibat telah habis atau karena kamma itu telah menghasilkan akibatnya secara penuh.
2. Kamma menurut kekuatan :
Di sini, kamma dihubungkan dengan tingkat kekuatannya dalam menghasilkan akibat, yang terdiri atas empat macam, yaitu :
a. Garu-kamma, adalah kamma yang paling berat di antara semua kamma lainnya, dan karena sifatnya yang kuat, kamma ini akan masak terlebih dahulu. Selama kamma ini masih menghasilkan akibatnya, tak ada kamma lainnya yang berkesempatan untuk masak.
b. Bahula-kamma, adalah kamma yang sering dan berulang-ulang dilakukan oleh seseorang melalui jasmani, ucapan dan pikiran, sehingga tertimbun dalam wataknya. Karenanya, kamma-kebiasaan ini akan memberikan hasilnya terlebih dahulu apabila seseorang tidak melakukan garu-kamma.
c. Âsanna-kamma, adalah kamma yang diperbuat oleh seseorang pada saat ia menghadapi kematian. Âsanna-kamma ini dapat berupa perbuatan baru yang dilakukan oleh seseorang melalui pikiran pada saat ia menghadapi kematian, atau dapat pula berupa perbuatan-perbuatan apapun yang dahulu pernah dilakukan dalam masa hidupnya yang ia ingat kembali dangan amat jelas pada saat ia menghadapi kematiannya. Menurut agama Buddha, âsanna-kamma ini memegang peranan utama dalam menentukan kehidupan selanjutnya dari orang yang sedang mangalami kematiannya.
d. Katattâ-kamma, adalah suatu perbuatan yang hampir tidak didorong oleh kehendak. Kamma ini sebenarnya lebih bersifat mekanis daripada bersifat kehendak. Karenanya, kamma ini digolongkan sebagai kamma yang paling lemah di antara semua kamma, yang akan memberikan hasilnya apabila kamma lainnya tidak ada.
3. Kamma menurut fungsinya :
Di sini, kamma dihubungkan dengan peranan dalam menghasilkan akibat, yang juga terdiri atas empat macam :
a. Janaka-kamma (kamma penyebab), adalah kamma yang berfungsi menghasilkan. Tugas kamma ini adalah menyebabkan kelahiran sesuai dengan macam dan sifatnya. Seseorang dilahirkan dalam keadaan menderita atau bahagia adalah semata-mata ditentukan oleh janaka-kamma. Manurut agama Buddha, apabila janaka-kamma telah menyebabkan suatu kelahiran, maka tugasnya telah selesai.
b. Upatthambhaka-kamma (kamma penguat), adalah kamma yang berfungsi membantu memperkuat apa yang dihasilkan oleh janaka kamma sesuai dengan macam dan sifatnya. Jadi apabila janaka kammanya baik, kamma-penguat ini membantu sehingga keadaannya menjadi lebih baik; demikian pula dalam hal sebaliknya.
c. Uppapîlika-kamma (kamma pelemah), adalah kamma yang berfungsi menandingi pengaruh dari apa yang telah dihasilkan oleh janaka-kamma, memperlemah kekuatannya atau mempersingkat waktunya dalam menghasilkan buahnya.
d. Upâghataka-kamma (kamma penghancur), adalah kamma yang mempunyai kategori sama dengan kamma pelemah di atas, karena fungsinya menentang atau menghancurkan kekuatan dari janaka-kamma. Akan tetapi, kamma ini lebih kuat dari kamma pelemah.
Bagi umat Buddha, keyakinan terhadap hukum kamma berarti yakin terhadap kemampuan-kemampuan diri sendiri dalam menentukan 'nasib' sendiri. Keadaan-keadaan hidup yang sekarang dan yang akan datang tergantung pada apa yang telah dilakukan di waktu yang lalu dan apa yang sedang dikerjakan pada masa sekarang. Keyakinan terhadap hukum kamma akan memberikan beberapa manfaat :
1. Menjaga agar kita tidak terjerat ke dalam pendangan nihilistis dan materialistis, yang mengingkari berlakunya nilai-nila moral.
2. Membuat kita percaya pada kemampuan diri sendiri untuk meningkatkan taraf kehidupan kita menjadi lebih baik; dan mencegah kita menjadi putus asa atau bersikap pasrah pada 'nasib'.
3. Memperkuat pengendalian diri untuk tidak melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun, atas dasar pengertian bahwa kita pasti akan memetik hasil dari perbuatan kita sendiri.
5) Paticcasamuppâda (Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan)
Dalam Kitab Suci Tipitaka (Pâli) banyak dituliskan saat-saat ketika petapa Gotama berhasil memahami Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan, sehingga akhirnya Beliau berhasil mencapai Penerangan Sempurna (Sammâsambuddha). Akan tetapi hal yang terpenting adalah proses pemahaman 'hukum' itu sendiri yang terjadi sesaat sebelum pencapaian Penerangan Sempurna. Para Buddha telah mencapai Penerangan Sempurna mereka melalui proses ini.
Kata 'Paticcasamuppâda' mempunyai arti : "Sebab Musabab yang Saling Bergantungan", atau "timbul karena kondisi-kondisi yang saling bergantungan".
Sang Buddha menerangkan hukum ini dalam suatu rangkaian yang terdiri atas dua belas mata rantai, yaitu kondisi-kondisi dan sebab musabab yang saling bergantungan dari penderitaan manusia serta pengakhirannya. Rumusan keseluruhan hukum itu telah diringkaskan sebagai berikut :
"Imasmim sati idam hoti; imasuppâdâ idam uppajjati.
Imasmim asati idam na hoti; imassa nirodhâ imam nirujjhati"."Dengan adanya ini, adalah itu; dengan timbulnya ini, timbullah itu. Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu; dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu". (Majjhima Nikâya, II. 32)
Dengan memahami seluruh fenomena kehidupan (samsara) ini, agama Buddha memandangnya sebagai suatu lingkaran (bhavacakka), yang tak dapat diketahui permulaan dan akhirnya. Dengan demikian masalah 'sebab pertama' (causa prima) bukan menjadi masalah dalam filsafat agama Buddha.
"Tidak dapat dipikirkan akhir roda kelahiran kembali (samsara); tidak dapat dipikirkan asal mula mahluk-mahluk yang karena diliputi oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh kehausan (tanhâ) mengembara kesana kemari ". (Samyutta Nikâya, II.178 - 193).
Sehubungan dengan masalah asal mula dan sebab pertama (causa prima) ini, Sang Buddha mengajarkan bahwa asal mula alam semesta (samsara) tidak dapat dipikirkan. Alam semesta ini bergerak menurut proses pembentukan (samvattana) dan penghancuran (vivattana) yang berlangsung terus menerus.
Di pihak lain dalam Paticcasamuppada itu diperlihatkan pula berhentinya segala rangkaian peristiwa fenomena kehidupan itu dengan berhentinya syarat-syarat yang mendahuluinya. Berhentinya rangkaian peristiwa fenomena kehidupan itu dapat dicapai oleh mereka yang telah memiliki Pandangan Terang (Kebijaksanaan Sempurna).
6) Nibbâna (Kebahagiaan Tertinggi).
Tujuan akhir umat Buddha adalah Nibbâna. Banyak buku yang menyajikan uraian tentang Nibbâna telah dituliskan sejak jaman dahulu hingga kini. Nibbâna bukanlah sesuatu yang harus dituliskan atau dijelaskan, tetapi harus dialami. Penjelasan tentang rasa gula tidak mungkin dapat memberi pengertian tentang rasa gula terhadap orang yang belum pernah merasakan gula. Hanya dengan merasakan gula, maka orang dapat mengetahui dan menilainya sendiri.
Nibbâna adalah suatu 'keadaan', seperti diajarkan oleh Sang Buddha; Nibbâna adalah keadaan yang pasti setelah keinginan lenyap. Api menjadi padam karena kehabisan bahan bakar. Nibbâna adalah padamnya keinginan, ikatan-ikatan, nafsu-nafsu, kekotoran batin. Dengan demikian, nibbâna adalah Kesunyataan Abadi tanpa kelahiran kembali, tanpa perubahan dan tanpa kematian. Keadaan ini sulit untuk dibabarkan sebagaimana keadaan gelap yang hanya dapat dikenali jika keadaan terang diketahui. Nibbâna dapat dialami jika lenyapnya dukkha dan Jalan untuk melenyapkan dukkha. Lenyapnya dukkha berarti pula lenyapnya sedih dan gembira.
Sedih dan gembira adalah nilai subyaktif yang timbul dari pikiran orang yang merupakan refleksi keinginan pribadi. Karena refleksi-refleksi tidak mempunyai nilai sejati, maka sedih dan gembira hanya merupakan refleksi "aku" yang khayal. Lenyapnya khayalan itu disebut Nibbâna. Jika khayalan "aku" telah terbasmi, maka tiada lagi perubahan-perubahan sedih dan gembira. Itulah yang dimaksud dengan "Nibbânam paramam sukham", "Nibbâna kebahagiaan tertinggi", bukan kebahagiaan duniawi atau kebahagiaan emosionil, melainkan pembebasan mutlak dari segala bantuk ikatan indria dan keinginan (tanhâ).
Pengertian Nibbâna yang paling singkat dan menyeluruh adalah berakhirnya proses menjadi (dumadi).
Dalam Milinda Pañha (Kitab berisi percakapan anatara bhikkhu Nagasena dan Raja Yunani, Menander) dikatakan : "Nibbâna penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan, O Raja. Barangsiapa yang mengatur kehidupannya secara sempurna, dengan memahami sifat kehidupan, sesuai dengan ajaran para Buddha, menyadari kehidupan melalui kebijaksanaannya (pañña), sebagaimana seorang siswa, yang dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Sang Guru, menjadikan dirinya seorang nahkoda bagi kapalnya sendiri".
"Jikalau anda bertanya, "bagaimana Nibbâna dapat diketahui", hal itu dapat diketahui melalui pembebasan dari ketegangan dan bahaya, melalui kedamaian, ketenangan, kebahagiaan, kesucian".
"Sebagaimana seseorang, O Raja, yang jatuh ke dalam tungku perapian yang penuh dengan ikatan kayu kering, melalui usahanya yang keras, ia dapat menyelamatkan dirinya dan mencapai sebuah tempat yang sejuk, maka ia akan merasakan kebahagiaan yang luhur; begitu pula halnya dengan orang yang hidup dengan benar. Orang demikian, melalui refleksi sengguh-sungguh, menyelami kebahagiaan tertinggi - Nibbâna - setelah panas yang membakar dari tiga api (kesarakahan, kebencian dan ketidaktahuan) dipadamkan seluruhnya. Tungku perapian menggambarkan tiga api di atas, sebagaimana orang yang sedang terbakar di dalamnya dan telah melepaskan diri, menggambarkan dirinya yang menempuh kehidupan dengan benar, dan sebagaimana tempat sejuk itu menggambarkan arti Nibbâna".
"Apakah Nibbâna itu suatu tempat?", tanya Raja Milinda. "Nibbâna bukanlah suatu tempat, O Raja, tetapi Nibbâna itu ada, sebagaimana nyala api itu ada meskipun api itu tidak disimpan di suatu tempat tertentu". "Apakah tiada tempat berpijak bagi seseorang untuk mencapai Nibbâna?" "Ya, O Raja, ada tempat seperti itu. Tempat itu adalah kebajikan".
Mereka yang mencapai Nibbâna tidak lagi menaruh perhatian terhadap kelangsungan dirinya. Kematian dapat tiba menurut kehendaknya atau setelah umurnya usai. Mereka tidak lagi menimbun kamma baru, melainkan sekedar menghabiskan akibat kamma lampaunya.
Sang Buddha pernah ditanya apakah seorang Buddha, sesudah mencapai Parinibbâna, ada atau tidak ada. Sang Buddha diam dan tidak menjawab. Alasannya ialah bahwa hal itu tidak bermanfaat bagi pembebasan manusia dari dukkha. Pertanyaan timbul karena orang mempunyai kesalahpahaman tentang dualitas antara ada dan tidak ada. Selama paham "Aku" masih melekat mustahil Nibbâna dapat tercapai.
Siswa terdekat Sang Buddha, Yang Ariya Ânanda, untuk waktu yang lama gagal mencapai Nibbâna karena Beliau berpikir : "Aku harus mencapai Nibbâna aku harus menembus Nibbâna". Begitu keinginan mencapai Nibbâna lenyap, Nibbâna dapat ditembusnya.
Bagi umat Buddha, Nibbâna adalah ciri-ciri yang kelak akan dicapai, entah dalam kehidupan sekarang ataupun yang akan datang. Yang jelas, diperlukan tekad kuat (adhitthâna) untuk mengikuti Jalan yang ditunjukkan oleh Sang Guru.
以 色 列 阿 , 你 要 听 。 耶 和 华 我 们 神 是 独 一 的 主 。
BalasHapus