Pages - Menu

Pages

Kamis, 13 September 2012

Wajah Buddha Yang Tertoreh (Renungan Filsafat)

Kata Pengantar Penerjemah

Menerjemahkan teks apapun dari satu bahasa ke dalam bahasa target yang lain memang bukan tanpa resiko. Dalam proses penerjemahan, tentu ada saja yang luput dari peliputan dan pencakupan—seberapapun telitinya pekerjaan itu dilakukan. Kami pun tak mungkin dapat menghindari resiko teknis yang tak terelakkan itu ketika mengalihbahasakan teks The Broken Buddha tulisan Biku Dhammika ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Wajah Buddha Yang Tertoreh.

            Namun, beberapa strategi teknis, yang memang diperbolehkan dalam metodologi penerjemahan yang lazim, telah diambil untuk memastikan agar hasil terjemahan yang ada di tangan para pembaca sekalian ini, bukan saja lebih dapat berterima bagi para pembaca sekalian yang ber-Bahasa Indonesia, tetapi juga dapat menjadi produk tekstual paling maksimal yang dapat dihasilkan. Untuk aspek-aspek lain yang tidak disebutkan di dalam Kata Pengantar Penerjemah ini; yakni, yang mana tidak diadakan penyesuaian apapun sama sekali, kami mengikuti saja sedapat mungkin apa yang ada dalam teks asli secara setia.
Pertama, paragraf-paragraf yang super panjang pada The Broken Buddha telah kami jadikan alinea-alinea yang lebih pendek dan dibubuhi dengan banyak tanda baca tambahan di sana-sini; supaya, dengan demikian, teks terjemahannya akan dapat lebih mudah dan nyaman diikuti. Namun, ini dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan akurasi sintaksis dan pertanggungjawaban semantiknya juga.

Kedua, struktur kalimat yang terlalu kompleks pada The Broken Buddha telah diupayakan disederhanakan sedapat mungkin dengan teknik reshuffling. Kalimat-kalimat majemuk-bertingkat yang banyak dijumpai di sana-sini dalam teks asli sebagian besar telah dapat kami adaptasikan menjadi kalimat-kalimat yang lebih sederhana. Mudah-mudahan dengan hal ini, kami dapat berlaku adil kepada The Broken Buddha juga.
Ketiga, bukan saja terhadap alinea-alinea yang panjang, kalimat-kalimat yang panjang sekali juga telah kami potong menjadi beberapa kalimat yang lebih pendek. Tujuannya adalah untuk mempermudah pemahaman para pemakai Bahasa Indonesia yang memang terbiasa dengan sifat bahasa nasional kita yang cenderung lebih pendek dibandingkan dengan sifat bahasa Inggris. Tetapi, ini dilakukan tentu saja dengan tetap setia pada isi dan makna aslinya.

Keempat, istilah-istilah tertentu; seperti, ‘vihara’, ‘bhikkhu’, ‘bhiksu’, ‘Dhamma’, ‘Sangha’, dll. yang memang sebagiannya sudah ada ejaan resminya dalam bahasa Indonesia sebisa-bisanya diganti cara penulisannya menjadi ‘wihara’, ‘biku’, ‘bikuni’, ‘biksu’, ‘Dharma’ dan ‘Sanggha.’ Namun, ‘Buddha’, ‘Kathina’ dan ‘Vassa’ dan lain-lain tetap dipertahankan dalam bentuk aslinya agar tidak menimbulkan kebingungan yang tidak perlu. Ikhtiar ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi harapan agar ajaran Buddha, mulai dari sekarang,  dapat juga disajikan dalam bahasa yang lebih bersifat lokal, kontekstual dan meng-Indonesia.
Kelima, kami juga menyisipkan beberapa  kata penyambung dan kata-kata Bantu lainnya yang dirasakan perlu, yang pada teks aslinya memang tidak ada. Hal ini terpaksa kami lakukan karena banyak bagian tertentu dalam kalimat-kalimat Biku Dhammika yang memang dibiarkan begitu saja untuk menjadi implicit—sesuatu yang memang khas dalam penggunaan Bahasa Inggris. Penambahan ini diharapkan dapat memperlancar tali-temali antara kalimat di dalamnya dan, sekaligus, menghaluskan ‘lagu’ kalimatnya. Strategi ini kami lakukan, bukan saja karena hal ini sudah merupakan kelaziman dalam praktek penerjemahan; tetapi, juga karena dalam buku The Broken Buddha ini ternyata banyak sekali kiranya pesan-pesan subtil yang ingin disampaikan juga oleh Biku Dhammika, tetapi between the lines, terutama kepada para pembacanya di negara-negara Barat.

Terakhir, kami haturkan terima kasih yang setinggi-tingginya atas koreksi penting yang diusulkan kepada kami oleh cendekiawan Buddhis Bapak Surjadi Harjadi mengenai sebuah rujukan sutra Mahayana. Setelah terlebih dahulu mendapatkan izin dari Biku Dhammika, Bapak Surjadi mengusulkan agar kesalahan kutip yang terdapat pada bagian yang diberi sub-judul Kenegatifan di bawah ini (dimana tertulis ‘Upayakausala Sutra’) agar dikoreksi (menjadi ‘Sutra Winaya Definitif.’) Dengan ini, maka kesilafan Biku Dhammika dapat kami luruskan dalam versi terjemahan Bahasa Indonesia di sini. Untuk ketelitian dan wawasan scriptural Bapak Surjadi Harjadi yang demikian luas serta kepeduliannya pada proses penerjemahan buku The Broken Buddha ini, sekali lagi kami haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Mudah-mudahan semua ikhtiar ini dapat memberikan gambaran keseluruhan yang paling representatif untuk buku The Broken Buddha yang, sejauh ini, rupa-rupanya telah banyak diperbincangkan juga dalam beberapa kalangan Buddhis di tanah air. Tentu saja, tidak ada salahnya bagi para pembaca sekalian, demi kepuasan tekstual dan otentisitas bahasa, untuk dapat kiranya membaca versi aslinya secara langsung dalam bahasa Inggris.
Kepada penulisnya, Biku Dhammika, yang telah mengizinkan dan menyediakan tulisannya kepada kami untuk diterjemahkan, walaupun Beliau tentu faham dengan resiko teknis dalam sebuah proses penerjemahan seperti telah disebutkan di atas ini, kami haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Sudah barang tentu, tiada gading yang tak retak. Oleh sebab itu, segala kesalahan dan kelemahan yang masih ada dan tak sanggup lagi kami hindari adalah semata-mata kekeliruan kami sebagai manusia biasa. Untuk itu, kami terlebih dahulu memohon maaf yang sebesar-besarnya. Mudah-mudahan ikhtiar kami ini dalam mengalihbahasakan buku The Broken Buddha dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Terima kasih.
Sadhu! Sadhu! Sadhu!     

Upasaka Saccako (Drs. Harkiman Racheman, MA)

Kata Pengantar

Walaupun saya masih terus mengadakan penyempurnaannya di sana-sini hingga tiga tahun kemudian, namun sebagian besar dari buku ini telah ditulis pada tahun 2001. Setelah merampungkan buku ini, saya masih saja ragu-ragu dalam waktu yang cukup lama. Saya berfikir jangan-jangan, dengan menerbitkannya, akan timbul lebih banyak lagi masalah ketimbang kebaikan.

Namun, tiba-tiba naskah yang belum resmi dari buku tersebut muncul di internet tanpa persetujuan maupun pengetahuan saya. Ini kemudian memaksa saya untuk mempublikasikan salinan akhir buku tersebut disini. Ketika itu saya berharap agar, kalau buku ini muncul juga, ia seyogianya disirkulasikan hanya di dalam kalangan masyarakat Buddhis saja. Namun, sepertinya hal ini tak mungkin lagi dilakukan.

            Cukup banyak orang, termasuk puluhan biku atau mantan biku keturunan Barat, telah meyakinkan saya bahwa banyak sekali hal yang saya utarakan dalam buku tersebut yang memang perlu untuk dikemukakan. Saya sadar sepenuhnya bahwa, dengan
menerbitkan buku ini, saya tentu saja akan membahayakan reputasi saya sendiri, persahabatan saya dengan beberapa orang dan mungkin juga banyak orang yang dalam tulisan saya ini telah saya jadikan sasaran komentar-komentar saya yang dipenuhi kemarahan.

            Harapan saya adalah agar buku ini (aslinya berjudul The Broken Buddha) akan memunculkan pembicaraan-pembicaraan yang lebih luas, lebih dalam dan realistis lagi di antara umat Buddhis Barat tentang masa depan Tiratana di negara-negara Barat.

Pendahuluan

‘Tidak ada hukum kepastian dalam sejarah yang dapat menjamin bahwa agama Buddha akan tumbuh dan berakar di Barat atau bahwa agama Buddha akan berkembang jauh meninggalkan tahap perkembangan awalnya sekarang ini. Tetapi orang dapat berharap bahwa agama Buddha akan semakin menyadari kesulitan-kesulitan yang dihadapi dirinya sendiri; dan, umat Buddhis akan tersadarkan seketika oleh adanya persoalan-persoalan yang ditimpakan oleh agama Buddha terhadap umat manusia sebagai bagian penting dari warisan agama tersebut. Orang juga akan berharap agar keragu-raguan akan segera hilang sebagai pertanda dari adanya sebuah keyakinan yang mendalam.’
(Louis O. Gome)

Di daerah-daerah pinggiran, sebelah Barat-Daya kota Mandalay, ada terdapat sebuah wihara yang menyimpan patung Buddha yang paling terkenal dan yang paling dihormati di dunia; yakni, patung Mahamuni. Menurut legenda, patung tersebut sebenarnya merupakan sebuah potret dari Sang Buddha sendiri kendatipun kisah asal-usul sebenarnya dari patung tersebut telah hilang bersama bergulirnya waktu.

            Selama berabad-abad, patung tersebut disimpan di Arakhan hingga Raja Bodawpaya dari Burma melakukan invasi ke negeri tersebut dengan maksud mendapatkan patung itu untuk dirinya sendiri. Setelah mengalahkan orang-orang Arakhan dan menghancurkan tanah mereka, sang raja meminta agar patung tersebut ditarik ke atas pegunungan walaupun dengan mengorbankan banyak nyawa manusia dan, setelah itu, ditempatkan di dalam sebuah wihara dimana patung itu masih dapat dijumpai sekarang ini.
        
   Pada tahun 1973, ketika saya berkunjung ke Mandalay, saya berkesempatan melihat patung yang amat terkenal ini. Saya meminta dua orang Burma yang saya jumpai untuk membawa saya ke patung tersebut; dan, mereka ternyata sangat senang memperlihatkan teman kulit putih mereka ini apa yang telah menjadi ikon paling suci di negara tersebut. Mereka membawa saya masuk ke dalam sebuah ruangan yang sudah penuh sesak dengan para umat Buddhis; dan, akhirnya kami pun masuk ke sanctum sanctorum.
         
  Namun, pengalaman ini menjadi sesuatu yang anti-klimaks. Saya tidak melihat sebuah patung yang anggun seperti yang ada dalam harapan saya; melainkan, sesuatu yang berbentuk pendek dan gemuk serta agak canggung di hadapan saya. Wajah patung tersebut cukup menyenangkan tetapi bagian tubuh lainnya tampak seperti gumpalan dan kelihatannya tak begitu serasi. Saya perlu waktu beberapa menit untuk memikirkan apa sebenarnya alasan di belakang semua ini.
         
  Semua laki-laki berebutan untuk mendekati patung tersebut (tetapi perempuan dilarang  menyentuhnya) supaya dapat menempelkan lembaran-lembaran kertas emas (yang dapat diperoleh dari umat Buddhis disana) langsung pada patung tersebut. Selama berabad-abad, timpukan kertas-kertas emas ini secara perlahan-lahan membentuk sebuah lapisan yang amat tebal namun tak rata di atas permukaan patung tersebut. Akhirnya, bentuk aslinya pun menjadi tak jelas lagi.
         
  Yang telah terjadi pada patung Mahamuni tersebut kiranya merupakan sebuah kiasan metafora yang juga dapat menggambarkan apa yang telah terjadi pada ajaran Buddha itu sendiri.
       
    Hingga tahun 2001, saya telah menjadi seorang biku dalam tradisi Therawada selama dua puluh lima tahun lamanya. Setelah ulang tahun yang ke lima puluh, saya telah mencapai usia separuh baya dalam hidup saya pada waktu itu. Rasanya saat itulah waktu yang tepat pula bagi saya untuk memberikan penilaian atas hidup saya dan segala latihan yang saya telah jalani hingga tahun itu sekaligus juga untuk memikirkan kemana kedua hal tersebut akan saya lakukan terus di masa-masa yang akan datang.
         
  Saya telah memiliki keberatan tertentu mengenai beberapa hal yang telah saya lihat ketika saya tinggal di wihara-wihara di Thailand dan Laos bahkan sebelum saya menjadi biku. Sekalipun demikian, hal-hal ini tidaklah sampai menunda saya untuk minta ditahbiskan menjadi biku. Saya berfikir waktu itu bahwa penyimpangan dan salah faham tentu terjadi dalam semua agama dan barangkali tidak terlalu sulit untuk dapat menemukan orang-orang yang masih benar-benar berlatih dalam tradisi Therawada yang murni.
         
  Namun, mendapatkan orang-orang seperti itu ternyata sangatlah sulit sekali. Yang lebih mengecewakan lagi adalah ketika saya bertemu dengan penganut-penganut tradisi Therawada yang kendatipun tulus dan berdedikasi tinggi, namun tampaknya mereka terlalu berlebihan sekali karena mementingkan hal-hal yang, setidak-tidaknya bagi saya, tidak lebih baik daripada mengikuti ritual-ritual dan formalitas-formalitas semata-mata.
        
   Saya ingat ketika saya mengunjungi sebuah perkebunan teh suatu siang bersama-sama dengan almarhum Venerable Sivali dari Khandaboda. Beliau adalah seorang biku yang berdedikasi tinggi dan sekaligus seorang guru meditasi yang sangat terampil. Manajer perkebunan teh itu sengaja berjalan seperempat mil jauhnya dengan menuruni lereng bukit yang terjal untuk menyambut kedatangan kami dan untuk menawarkan kami secangkir teh. Kami menjawab ‘ya’ dan dia kembali berjalan ke bukit yang menuju ke bungalonya tadi untuk mempersiapkan teh dan membawanya kepada kami.
         
  Ketika menyesap teh tersebut, saya perhatikan Sivali kelihatannya agak sedikit malu-malu dan tidak meminum teh yang disuguhkan. Saya memandangi teh tersebut dan mengetahui bahwa ada sedikit susu di dalamnya; dan, lalu saya pun segera menyadari  mengapa.[*] Beberapa menit kemudian, sang manajer juga memperhatikan bahwa Sivali belum juga meminum tehnya dan ia menghampiri Sivali untuk bertanya apakah ada masalah. Sivali dengan lembut memberitahu sang manajer. Laki-laki yang cemas itu merasa malu sekali dan lalu mengambil cangkir teh Sivali, membuang isinya dan kemudian berlari kembali ke bukit tadi untuk mengambilkan Sivali secangkir teh tanpa susu.
        
   Jika orang biasa merepotkan kita seperti itu, karena tidak menghendaki adanya susu di dalam teh mereka setelah lewat tengah hari, kita akan melupakannya sebagai sebuah keanehan yang bodoh. Tetapi, mengapa seseorang yang sebetulnya sangat cerdas dan berdedikasi dalam melatih diri untuk berpasrah, merasa puas dengan segala sesuatu sebagaimana adanya, dan menumbuhkan hati yang penuh welas asih begitu teganya menyebabkan rasa malu dan kerepotan luar biasa hanya karena sebuah hal yang sangat sepele sekali?
      
     Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, kita pun harus mengerti esensi dari tradisi Therawada itu sendiri. Secara perlahan-lahan saya menjadi sadar akan hal ini. Lalu saya memutuskan untuk melanjutkan berlatih dan mencoba berhubungan sesedikit mungkin dengan tradisi Therawada dalam pengertian sebagai institusi. Namun, sebagai seorang biku Therawada, hal ini tentu saja lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan .
        
   Dapat dimengerti bahwa para penganut Therawada di Asia mengharapkan anda untuk mengikuti tradisi-tradisi mereka dan tidak mempertanyakannya. Anda dapat saja menunjukkan bahwa praktek-praktek atau ide-ide tertentu tidak ada dalam Tipitaka atau bahkan bertentangan dengan Tipitaka, tetapi ini tidak ada gunanya. Benar atau salah, baik yang bersifat bawaan atau yang bersifat praktis, begitulah semuanya telah dilakukan dan anda harus melakukannya juga.
        
   Pada tahun 1996, saya mengunjungi Eropah untuk pertama kalinya. Ini memberikan saya kesempatan untuk melihat bagaimana tradisi Therawada itu difahami dan dipraktekkan di sana. Saya kira tradisi Therawada di Asia barangkali sudah begitu tak mungkin berubah lagi dan telah menjadi mati seperti laiknya fosil-fosil tua. Sekurang-kurangnya orang-orang Barat akan dapat membedakan mana yang buah dan mana yang kulitnya, mana hadiah dan mana kertas kado pembungkusnya, mana Buddha dan mana ‘lapisan kerak yang keras dan kasar’ yang menyelimutinya.  Namun, ketika saya lihat di Barat keadaannya ternyata tidaklah seperti itu, maka saya begitu kaget dan putus asa. Sebagian besar kelompok, pusat meditasi dan wihara yang telah pernah saya kunjungi di sana menganut praktek-praktek yang sama juga, bahkan dengan tingkat kegigihan yang lebih tinggi lagi bila dibandingkan dengan di Asia.
       
    Akhirnya saya harus akui bahwa inilah Therawada itu; dan, dengan keengganan dan sedikit kesedihan saya harus memutuskan bahwa saya tak mungkin lagi menjadi bagian dari tradisi seperti itu. Sejak itu saya mulai mengatakan kepada siapapun yang barangkali tertarik untuk mengetahuinya bahwa saya tidak lagi menganggap diri saya dan tidak mau lagi dianggap sebagai seorang biku Therawada.
        
   Sebenarnya, sebelumnya pun saya barangkali tidak pernah benar-benar menjadi seorang biku Therawada, setidak-tidaknya bukan seorang biku Therawada yang baik. Ketika saya mengatakan hal ini kepada seorang teman, ia bertanya, ‘Jadi biku seperti apa anda ini?’ Waktu itu saya tidak siap menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu, tetapi setelah berfikir beberapa lama saya putuskan bahwa saya tidak harus bergabung dengan sekte apapun juga. 
      
     Sekarang ini saya mengikuti ajaran-ajaran Buddha sesanggup-sanggupnya pemahaman saya dan kemampuan saya. Yang tertera di bawah ini adalah pemikiran-pemikiran dan pengamatan-pengamatan saya mengenai tradisi Therawada yang telah terbentuk dalam pikiran saya selama lebih dua puluh lima tahun, juga pengalaman-pengalaman saya yang telah menyebabkan lahirnya pemikiran-pemikiran dan pengamatan-pengamatan tersebut. yang tertera di bawah ini merupakan beberapa pokok pikiran saya mengenai kemungkinan masa depan Dharma di negara-negara Barat.
        
   Mungkin saja ada yang menganggap bahwa renungan-renungan di bawah ini merupakan sebuah komentar penuh kemarahan yang saya ucapkan sebelum meninggalkan tradisi Therawada. Tetapi, renungan-renungan tersebut bukanlah sama sekali komentar seperti itu, kendatipun menuliskan semua itu di atas kertas tentu merupakan sebuah  katarsis (cara untuk melampiaskan emosi). Saya yakin sekali bahwa ajaran-ajaran Buddha benar-benar ‘indah pada awalnya, pada pertengahannya dan pada akhirnya’ dan benar-benar dapat menawarkan sebuah jawaban yang dapat dipercaya sebagai sebuah solusi untuk krisis spiritual yang terjadi di negara-negara Barat.
       
    Begitupun, saya juga percaya bahwa ada terdapat sebuah hambatan besar bagi berkembangnya Dharma di luar negeri tradisionalnya. Hambatan tersebut adalah pandangan kebanyakan orang Barat yang terlalu mengidealkan tradisi Therawada di Asia itu. Semua ini acapkali berarti bahwa orang-orang Barat tersebut menerima Dharma begitu saja bersama-sama dengan praktek-praktek yang sudah ketinggalan zaman beserta kesalahfahaman-kesalahfahaman yang telah terbentuk di sekelilingnya.
       
    Bila keadaan ini terus berlanjut, maka Dharma tidak pernah akan benar-benar mengakar di negara-negara Barat. Lebih buruk lagi, orang-orang Barat tersebut pun akan turut melanggengkan berbagai masalah yang tengah menghantui tradisi Therawada di Asia. Oleh sebab itu, renungan-renungan di sini juga mencoba memperlihatkan apa sesungguhnya tradisi Therawada itu dan bagaimana tradisi Therawada tersebut telah berubah menjadi seperti itu. Renungan-renungan ini sekaligus memberikan saran-saran guna membawa tradisi tersebut lebih dekat lagi kepada roh ajaran-ajaran Buddha yang murni supaya, dengan demikian, tradisi Therawada dapat hidup kembali dalam sebuah lingkungan yang bebas dari tradisi tersebut.
       
    Perlu disampaikan disini bahwa hanya beberapa saja dari pengamatan-pengamatan saya tentang tradisi Therawada disini yang dapat dikatakan benar-benar orisinal. Pengamatan-pengamatan yang sama telah sering kita dengar dari para mantan penganut tradisi Therawada, para penganut tradisi Mahayana dan yang lainnya. Pengamatan-pengamatan ini pun tidaklah bersifat amat sangat kontemporer.
            Dalam Vimalakirtinidesa Sutra yang terkenal itu, sebuah teks Mahayana yang ditulis pada abad-abad awal Era Modern, sebagai contoh, perumahtangga Vimalakirti berpura-pura sakit dan Buddha meminta para biku untuk mengunjunginya satu per satu. Tetapi, para biku menolak karena mereka tahu bahwa Vimalakirti sebenarnya lebih bijaksana daripada mereka. Bila orang melihat para biku belajar dari seorang perumahtangga, maka kejadian ini akan merusak citra kebikuan mereka. Namun, Buddha bersikeras dan akhirnya para biku bersepakat untuk pergi bersama. Banyak juga teman-teman Vimalakirti yang datang menjenguk.
        
   Vimalakirti memakai kesempatan ini untuk mengajarkan Dharma. Tetapi, sebelum Vimalakirti memulainya, ada terjadi sedikit kericuhan dalam kelompok biku tersebut. Sariputta, disini mewakili biku ‘Hinayana’ yang khas, tak dapat menemukan sebuah kursi yang akan membuatnya tampak lebih tinggi daripada orang-orang awam. Lalu Vimalakirti secara gaib menciptakan kursi ‘yang memang diperbolehkan’ itu dan kemudian ia pun memulai kotbahnya.
          
Setelah kotbah berjalan setengah jalan, Sariputta mengganggu kotbah Dharma itu lagi. Vimalakirti menanyakan apa masalahnya sekarang, dan Sariputta menjawab bahwa dia dan para biku lainnya haruslah makan sebelum tengah hari; dan, waktunya sudah dekat sekali. Lalu Vimalakirti secara gaib menciptakan makanan untuk para biku. Setelah para biku tenang kembali, barulah Vimalakirti melanjutkan menguraikan Dharma.
       
    Setelah kotbah Dharma berakhir, langit terbuka dan bunga-bunga surgawi berjatuhan dari langit dan menempel pada semua yang hadir. Sariputta dan para biku yang lain dengan marahnya menyingkirkan bunga-bunga tersebut seraya berkata, ‘Kami para biku dilarang menghiasi diri kami.’
       
    Walaupun terjadi akibat keadaan yang kurang menyenangkan, sifat seperti itu dapat saja terjadi dalam sebuah wihara Therawada, bahkan yang ada di negara-negara di Barat dewasa ini sekalipun.
        
   Pengamatan-pengamatan saya tersebut tidaklah berhubungan dengan berbagai praktek penyalahgunaan maupun penyelewengan yang telah menggerogoti tradisi Therawada; dan, tentang hal-hal tersebut, saya akan menyinggungnya sambil lalu saja. Yang menjadi perhatian utama saya disini bukanlah suatu kegagalan karena berlatih secara tradisi Therawada, melainkan bagaimana berlatih secara benar; serta, masalah-masalah yang muncul daripadanya. Banyak orang akan menuduh bahwa saya terlalu memfokuskan diri pada hal-hal yang negatif saja dan tidak menyebutkan bahwa, walaupun ada masalah-masalah, toh sudah cukup banyak umat awam dan para biku yang dapat berlatih dengan pengertian yang benar.
        
   Tetapi, hal-hal yang baik dalam tradisi Therawada—tentu saja, sisi yang baik itu pasti ada—justru adalah sisi satu-satunya yang telah diketahui orang.   Hampir seluruh wacana tentang tradisi Therawada telah menghadirkan hal-hal yang luar biasa sebagai hal-hal yang biasa; dan, hal-hal yang ideal sebagai hal-hal yang aktual. Walhasil, persoalan-persoalan besar lainnya yang menimpa tradisi Therawada diabaikan, dibantah, tidak diacuhkan atau, lebih sering lagi, dibiarkan saja berlalu tanpa terselesaikan sama sekali.
      
     Mudah-mudahan, renungan-renungan saya disini akan membantu memberikan sebuah gambaran yang lebih berimbang tentang keadaan yang sebenarnya. Beberapa pengamatan saya disini mungkin juga dapat diberlakukan untuk tradisi Mahayana, terutama lagi, untuk tradisi agama Buddha Tibet. Begitupun, para penganut Vajrayana Barat yang cerdas sudah mulai mempertanyakan aspek-aspek dari tradisi mereka; dan, mereka ini tentu lebih tepat lagi untuk memberikan komentar pada tradisi Vajrayana ketimbang saya.
        
   Saya belum membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan ajaran meditasi dalam tradisi Therawada di sini. Wilayah ini sangat penting sekali sehingga ia pantas dieksplorasi secara mendalam. Harapan saya adalah kiranya saya dapat melakukannya suatu saat nanti.
      
     Saya banyak mengutip dari berbagai buku, khususnya The Buddhist Monastic Code oleh Thanissaro Biku dan The Buddhist Monk’s Discipline – A  Layman’s Guide oleh Ariyeseko. Kedua buku tersebut mewakili pendirian tradisi Therawada yang ortodoks. Ada banyak yang tidak saya setujui tentang yang kedua penulis ini katakan. Mudah-mudahan ketidaksetujuan saya itu janganlah dianggap sebagai sikap kurang hormat dari saya kepada mereka secara pribadi. Bagaimanapun juga, ajaran-ajaran Buddha begitu kaya sekali sehingga ia memperbolehkan adanya sebuah penafsiran yang lebih luas. Menurut hemat saya, saatnya telah sampai bagi sebuah alternatif yang akan menggantikan posisi Therawada tersebut.
         
  Saya juga banyak mengutip dari buku Milford Spiro berjudul Buddhism and Society, yang adalah sebuah kajian antropologi mengenai tradisi Therawada dengan latar belakang negara Burma. Pengamatan-pengamatan Spiro sangatlah bermanfaat bukan semata-mata karena memiliki kemiripan dengan pengamatan-pengamatan saya sendiri; tetapi, terutama karena mereka berasal dari seorang pengamat yang sangat objektif dan yang tidak memiliki keinginan tersembunyi apapun sama sekali.
         
  Akhirnya, haruslah dikatakan bahwa saya berharap agar komentar-komentar saya tentang umat Buddhis awam yang terlalu memanjakan para biku janganlah sampai disalahartikan menjadi seolah-olah saya kurang berterima kasih pada mereka. Selama bertahun-tahun di Sri Lanka, banyak umat awam, mulai dari masyarakat Colombo sendiri hingga para penduduk desa yang sangat sederhana dan saleh, telah memperlakukan saya dengan kemurahan hati dan keramahtamahan mereka yang luar biasa. Untuk itu semua, saya tentu akan bersyukur selama-lamanya. Walaupun demikian, sudah sampai waktunya bagi saya untuk berpisah jalan sekarang. Saya harus menapaki jalan yang lain.  

Apa Therawada itu?

Istilah ‘thera’ dalam bahasa Pali berarti sesepuh; dan, kata ini merujuk kepada pengertian seorang biku yang telah ditahbiskan selama sepuluh tahun atau lebih; sedangkan, kata ‘vada’ berarti pandangan atau pendapat. Jadi, kata ‘Therawada’ dapat diterjemahkan sebagai ajaran atau pandangan para biku yang telah sepuh.
       
    Para penganut tradisi Therawada mengklaim bahwa versi mereka tentang Dharma yang sama persis dengan ajaran-ajaran Buddha yang terkandung dalam Tipitaka berbahasa Pali. Tetapi, ini hanya bisa dibenarkan sampai tahap tertentu saja. Akan lebih benar lagi bila kita mengatakan bahwa Therawada adalah sebuah penafsiran terhadap ajaran-ajaran tertentu yang berasal dari Tipitaka dalam bahasa Pali.
            Tipitaka dalam bahasa Pali mengandung keanekagaraman bahan yang begitu mengagumkan, mulai dari etika hingga epistemologi, dari psikologi hingga kebijaksanaan praktis. Akan sangat sulit sekali untuk merangkum semua bahan tersebut ke dalam sebuah sekte atau sistim. Tentu saja kaum Therawada pun belum melakukan hal ini. Yang telah dilakukan mereka adalah memberikan penekanan pada beberapa bagian dari ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Buddha, tetapi tidak menekankan atau, bahkan, mengabaikan ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Buddha lainnya.
         
  Sebagai contoh, keempat ekspresi dari rasa simpati (Sanggha vatthuni) cukup sering dikatakan oleh Buddha dan dapat saja memiliki implikasi yang penting untuk sebuah pemahaman yang lebih mendalam tentang cinta dan welas asih, terutama lagi implikasi sosialnya. Tradisi Mahayana memanfaatkan ini untuk membangun sebuah filosofi altruisme praktis; tetapi, Therawada hampir-hampir tidak memberikan perhatian sama sekali pada hal-hal ini.
         
  Saya lihat bahwa hal-hal ini pun tidak diikutkan dalam kamus yang disusun oleh Nanatiloka; dan, selama tiga puluh tahun saya membaca teks-teks Therawada, saya tidak pernah melihat hal-hal tersebut dibicarakan ataupun disinggung sama sekali.
         
  Sebuah contoh lagi, salah satu konsep utama dalam ajaran Buddha adalah hukum sebab akibat yang saling bergantungan. Ada terdapat dua versi dari doktrin ini—yang satu memperlihatkan munculnya penderitaan, dan yang lainnya memperlihatkan munculnya pembebasan dan kebebasan. Versi pertama dianggap yang paling dikenal dari semua ajaran agama Buddha kendatipun ia belum tentu telah dipahami dengan baik.
         
  Versi pertama ini terdapat hampir di setiap buku mengenai tradisi Therawada. Ia biasanya digambarkan dalam bentuk diagram pada gambar-gambar dan lukisan-lukisan dinding di sebuah wihara. Kedua belas konstituennya pun acapkali dilafazkan oleh para biku ketika ada upacara agama.
          
Versi yang kedua, walaupun ada yang mengganggapnya lebih penting dari versi pertama, hampir-hampir tidak diketahui sama sekali, bahkan oleh para penganut tradisi Therawada yang terpelajar sekalipun. Hanya Biku Bodhi, penganut tradisi Therawada satu-satunya dari Barat yang pernah memberikan perhatian pada skema hukum sebab akibat yang saling bergantungan yang penting ini.
       
    Katanya ‘para pemberi komentar tradisional hampir-hampir tidak pernah memberikan perhatian khusus pada teks ini kendatipun ia boleh jadi pantas mendapatkannya.’ Akan lebih benar lagi bila kita mengatakan bahwa mereka telah mengabaikannya sama sekali.
       
    Caroline  Rhys Davids memberi nama versi hukum sebab akibat yang saling bergantungan ini sebagai sebuah ‘oasis’ dan mengatakan, ‘Betapa ini telah dapat mengubah keseluruhan wajah agama Buddha di Barat bila urutannya telah dijadikan ilustrari untuk hukum sebab-akibat yang tampaknya biasa saja itu!’  Sungguh, ini pasti dapat mengubah keseluruhan wajah tradisi Therawada di Asia.
          
Lalu, ketika kita periksa lagi bagaimana bahan-bahan yang telah dipilih itu ditafsirkan, kita dapati bahwa bahan-bahan tersebut telah ditafsirkan dengan cara yang paling harfiah, kaku dan tidak imajinatif atau, bahkan, telah disalahfahami.[†]
         
  Saya ingin memberikan dua buah contoh lagi. Sang Buddha menggambarkan seseorang yang telah tercerahkan itu sebagai telah memiliki ‘pikiran yang penghalang-penghalangnya telah hilang’ (cetasa vimariyada katena). Bukankah ini sebuah frase yang luar biasa! Ketika seseorang telah dapat melihat dan menembus batas-batas ras, kelas, ‘milikku’ dan ‘bukan milikku’ yang merupakan hasil ciptaan pikiran, mereka dapat mencintai orang lain secara tanpa syarat.  
         
  Visuddhimagga menceritakan sebuah kisah yang menjelaskan bagaimana, menurut Tradisi Therawada, sebutan 'pikiran yang penghalang-penghalangnya telah hilang' itu  semestinya difahami. Seorang biku sedang duduk-duduk dengan tiga orang biku lainnya—salah satu di antaranya adalah temannya sendiri, seorang lagi adalah orang asing, dan yang terakhir adalah seorang biku yang tidak menyukainya—ketika mereka diserang oleh sekelompok orang jahat yang ingin mengambil salah satu dari keempat orang tersebut untuk dijadikan kurban bagi dewa mereka.
          
Biku yang pertama diminta untuk memilih siapa yang akan dijadikan korban, tetapi karena ia mempunyai ‘pikiran yang penghalang-penghalangnya telah hilang,’ maka ia benar-benar tidak mampu lagi membedakan dirinya dengan orang lain; dan, oleh sebab itu, ia tak sanggup melakukan apapun kecuali terduduk. Walaupun terkesan benar-benar simplistik, namun hal ini sesungguhnya bertolakbelakang dengan pernyataan Buddha bahwa seseorang yang berwelas asih bahkan sanggup mengorbankan dirinya demi orang lain (D.III,187). 
         
  Istilah papanca dan papanca sanna sankha sangatlah penting dalam memahami meditasi dan psikologi sebagaimana yang diajarkan oleh Buddha. Dalam bukunya yang brilian dan benar-benar baru berjudul Concept and Reality, Biku Nanananda telah memperlihatkan bahwa tradisi Therawada telah salah secara serius dalam memahami makna sebenarnya dari istilah-istilah tersebut. Sangat menarik pula bahwa penulis tersebut memperlihatkan bahwa tradisi Mahayana telah melestarikan banyak dari arti yang sebenarnya dan, oleh karenanya, juga implikasi filosofisnya yang lebih mendalam.
       
    Kombinasi dari penekanan yang selektif dan penafsiran yang konservatif, sempit dan simplistik telah menjadikan tradisi Therawada tersebut sebagaimana adanya pada saat ini. Dengan menyoroti bahan-bahan yang berbeda dari Tipitaka berbahasa Pali dan menafsirkannya secara berbeda, namun secara lebih benar dan sah, seseorang dapat saja memperoleh semacam agama Buddha yang berbeda sekali. Pada kenyataannya, hal tersebut memang terjadi.
         
  Kaum Sarvastavada, Dharmaguptaka, Sautrantika, Abhayagirivasin, dll. adalah sekte-sekte yang berbeda yang masing-masing memiliki sebuah ‘rasa’ (feel) yang berbeda; kendatipun, semua sekte tersebut berdasarkan Sutta dan Winaya Pitaka yang sama atau, sebagaian besar daripadanya, sama dengan Sutta dan Winaya Pitaka dalam bahasa Pali. Sayangnya, semua sekte ini telah hilang sehingga hanya para penganut Therawada saja yang menguasai arena sebagai yang menafsirkan ajaran Buddha dalam bentuknya yang paling awal—dan sebagai satu-satunya sekte yang ‘ortodoks.’
        
   Tentu saja, seorang penganut tradisi Therawada akan mengatakan bahwa menafsirkan kembali dan mengelaborasi kata-kata Buddha bisa juga berbahaya dan tidaklah perlu dilakukan. Tetapi menggali makna yang lebih dalam dan yang lebih luas lagi dari kata-kata Buddha bahkan telah dilakukan pada masa kehidupan Buddha itu sendiri. Lihat, misalnya, bagaimana Maha Kachyana secara sangat kreatif sekali menafsirkan kembali salah satu ucapan Buddha dalam Sutta Nipata (S.III,9). 
       
    Jadi tampaknya, bila menyangkut sesuatu yang negatif atau teoritis, penganut tradisi Therawada dapat menjadi benar-benar kreatif. Tetapi, bila berkaitan dengan aspek-aspek praktis, positif atau apapun yang berada di luar orbit di mana mereka memilih untuk beroperasi, mereka tampaknya kehilangan kata-kata.
        
   Jadi sangatlah tidak mengherankan bahwa dalam sejarahnya yang berusia dua ribu tahun itu tradisi Therawada tidak ada menghasilkan pemikir-pemikir religius besar—tidak ada Augustine, Aquinas atau Erasmus, tidak ada Nagarjuna, Tsong Khapa ataupun Dogen.   
Beberapa abad pertama setelah Buddha parinirvana, ada perkembangan ajaran-ajaran dan ketaksefahaman mengenai ajaran-ajaran tersebut. Tetapi, ketaksefahaman tersebut relatif kecil. Perbedaan-perbedaan mengenai pelaksanaan Winaya telah menyebabkan perpercahan di dalam Sanggha, tetapi tidaklah mungkin bahwa perbedaan-perbedaan mengenai doktrin begitu seriusnya sehingga berbagai kelompok tersebut berfikir bahwa mereka merupakan sekte-sekte yang berbeda-beda.
         
  Sekitar tahun 270 Sebelum Masehi, Maharaja Maurya Asoka menganut agama Buddha, yang barangkali merupakan peristiwa satu-satunya yang paling penting dalam agama Buddha setelah peristiwa pencerahan Buddha sendiri. Tampaknya, setidak-tidaknya dalam lingkungan tertentu pada masa itu, makna sosial dari banyak ajaran Buddha bukan saja dibicarakan tetapi juga secara aktif diterapkan.
          
Asoka adalah seorang individu yang sangat peduli dengan keadaan spiritual dirinya sendiri dan sekaligus rakyatnya. Bersamaan dengan kemurahan hatinya dalam menyokongi Sanggha, ia juga melakukan banyak hal untuk menerapkan Dharma pada bidang sosial. Seperti juga banyak umat Buddhis awam pada waktu itu, Asoka sangat mengetahui Sutta-sutta sebagaimana dapat dilihat dengan jelas pada kata-kata dan frase-frase yang berasal dari Sutta-sutta tersebut pada prasasti-prasastinya. Asoka mengadakan sebuah konsili agung Sanggha.
       
    Meskipun detil-detil mengenai itu cukup sedikit, konsili tersebut tampaknya juga mengeluarkan para anggota yang tidak disiplin dari Sanggha, mengkodifikasi Dharma dan mengirimkan misi-misi ke seluruh India dan ke berbagai tempat di Asia untuk menyiarkan agama. Misi yang paling berhasil adalah yang dikirim ke Sri Lanka dan yang dipimpin langsung oleh putra Asoka sendiri. Agama Buddha diterima disana sebagai agama resmi negara dan perlahan-lahan seluruh pulau tersebut pun menjadi Buddhis.
      
     Tentu saja, bagian-bagian tertentu dalam praktek keagamaan harus diubah demi menyesuaikan agama tersebut dengan keadaan-keadaan setempat. Segera setelah para biku Sri Lanka sendiri mulai mengeksplorasi agama Buddha, mereka pun mulai menafsirkan agama tersebut sesuai dengan pemahaman dan pengalaman mereka sendiri. Politik juga berpengaruh. Dengan munculnya sebuah penafsiran ‘resmi’, yang kemudian diberi nama Therawada, agama Buddha pun di didikte oleh negara; sedangkan, penafsiran-penafsiran yang lain tidak mendapat dukungan dan terkadang penganjurnya pun dieksekusi.
      
     Sejak periode awal, praktek meditasi tidaklah diberikan penekanan yang besar di Sri Lanka. Pada awal abad Masehi, para biku sepuh memutuskan bahwa melestarikan Dharma harus lebih diutamakan ketimbang mempraktekkannya. Hal ini terlihat dalam komenteri-komenteri dimana dikatakan,  ‘Intinya bukanlah pada tercapai tidaknya suatu hasil atau suatu praktek. Pembelajaran Dharma sudahlah cukup untuk pelestarian sasana. Bila seorang bijaksana mempelajari Dharma, maka ia akan melakukan kedua-duanya…Oleh sebab itu, sasana akan menjadi kokoh bilamana pembelajaran Dharma dapat berlangsung terus-menerus.’ Pada bagian lain, juga dikatakan, ‘Bahkan bila ada 100,000 orang biku sekalipun yang mempraktekkan meditasi, tetap saja tidak akan ada realisasi dari Jalan Utama bila tidak ada pembelajaran.’
            Salah satu dari beberapa dokumen wihara dari Sri Lanka yang jumlah sangat sedikit sekali, tetapi yang menyinggung meditasi, adalah dokumen Mahinda IV yang berasal dari abad ke-10. Dokumen yang meletakkan dasar-dasar rutinitas bagi para biku di wihara besar di Mihintale ini mengatakan bahwa para biku seharusnya bangun pada waktu subuh dan kemudian melaksanakan keempat meditasi untuk perlindungan.[‡] Hal ini seolah-olah membuktikan bahwa memang ada praktek meditasi yang sungguhan; tetapi, meditasi di sini lebih sering berupa duduk dengan mata tertutup dan kaki bersila selama beberapa menit saja dan dilakukan setelah puja pada pagi hari. Hingga sekarang pun, ‘meditasi’ seperti ini tetapi berlaku.
         
  Peraturan kebikuan yang ditulis oleh Dimbulagala  Kassapa pada abad ke-12 mengatakan bahwa seorang biku harus diarahkan kepada praktek meditasi hanya bila ia tidak cukup cerdas untuk mencapai keberhasilan yang gemilang dalam studi.
     
      Sebagai anak muda pada dekade-dekade awal abad ke-18, Valivita Saranamkara mengadakan perjalanan ke seluruh Sri Lanka untuk mencoba mencari seseorang yang dapat mengajarkannya meditasi; tetapi, ia tidak berhasil menemukan siapapun juga. Di kemudian hari, ia menjadi seorang reformis dan tokoh pendidik besar yang senantiasa  memahami pentingnya meditasi. Tetapi, hingga saat itu pun, dia masih tidak dapat menemukan siapapun yang tahu bagaimana melakukan meditasi. Dalam buku-buku panduan dan pedoman wihara yang demikian banyak yang disusunnya, Saranamkara hanya sekali-sekali saja menyinggung meditasi dan itupun dengan cara yang singkat dan formalistis.
        
   Tentu saja ini tidak berarti bahwa tidak pernah ada biku yang melakukan meditasi. Tetapi, jumlah mereka sangatlah sedikit dan pengaruh mereka terhadap perkembangan tradisi Therawada pun sangatlah kecil sekali. Dari kumpulan teks Therawada yang demikian besar jumlahnya dan yang masih bertahan hingga saat ini, tidak dapat dijumpai buku-buku panduan meditasi ataupun ulasan-ulasan mengenai meditasi sebelum abad ke-20.
            Tampaknya perkembangan Dharma yang telah berlangsung di India di bawah pengaruh Asoka begitu saja diabaikan; dan, mereka lebih memilih sebuah pendekatan yang lebih konservatif, fundamentalis dan klerikosentris. Sebagai contoh, bentuk pemerintahan (polity) Buddhis yang diperkenalkan oleh Asoka pun ditolak; dan, mereka memperkenalkan teori Brahminikal serta tidak menganjurkan keterlibatan aktif umat Buddhis awam dalam urusan agama Buddha.
       
    Pada abad ke 5 M, Buddhaghosa menulis komenteri-komenteri tentang Tipitaka dimana ia membakukan semua perkembangan dan penafsiran yang ada hingga saat itu.[§]  Sejak saat itu pula, komenteri-komenteri tersebut dianggap sebagai otoritas tertinggi dan tradisi Therawada pun tidak pernah lagi berubah. Richard Gombrich mengatakan dengan benar bahwa, ‘Hingga saat ini, agama Buddha-nya Buddhaghosa sebenarnya merupakan standar keseragaman untuk ortodoksi doktrinal bagi semua penganut agama Buddha tradisi Therawada.’  
       
    Para penganut tradisi Therawada memaknai kata-kata Buddha semata-mata berdasarkan kaca mata keilmuan yang sulit difahami dan dipercaya yang terdapat dalam komenteri-komenteri tersebut ketimbang membiarkan kata-kata Buddha tersebut berbicara kepada diri mereka sendiri. Kebanyakan penganut Therawada akan berpihak pada penfasiran Buddhaghosa bahkan bila penafsiran itu sendiri bertolak belakang dengan kata-kata  Buddha. Keadaan ini, dalam hal tertentu, mirip sekali dengan yang terjadi pada agama Kristen sebelum Reformasi dimana tradisi gereja dianggap lebih otoritatif daripada kitab suci itu sendiri.
      
     Pada masa-masa setelah itu, sub-sub komenteri pun ditulis untuk mendampingi komenteri-komenteri yang telah ada sebelumnya; dan, pada gilirannya, komenteri-komenteri seterusnya juga ditulis; tetapi, mereka terutama berisi komentar-komentar tentang tata bahasa dan sintaksis. Oleh sebab itu, hingga akhir abad ke-19, ketika pengaruh Barat mulai memasuki negara-negara Asia yang beragama Buddha, keseluruhan kecendikiawanan Therawada pun dapat dikatakan hanya sedikit lebih baik daripada, apa yang oleh N.C.Chaudhuri disebut sebagai, ‘penafsiran atas penafsiran’ (exegesis of exegesis).
           
Karena hakekatnya yang konservatif, tanpa wawasan-wawasan baru yang dapat dihasilkan melalui praktek meditasi dan, tambahan lagi, mereka pun berada di dalam sebuah masyarakat yang demikian statisnya, para biku Sri Lanka, oleh sebab itu, berkonsentrasi semata-mata pada upaya untuk melestarikan apa yang telah diwariskan dari masa lampau tanpa menciptakan apapun juga yang baru. Mereka mendengar dan mereka mengulangi; tetapi, mereka jarang sekali bertanya, bereksplorasi ataupun meragukan.
        
   Ketika mengomentari istilah yang dipakai oleh Mahayana untuk para penganut Therawada; yakni, ‘savaka’ yang artinya ‘pendengar’,  Prof. Ishii mengatakan: 
Asal kata savaka itu sendiri menangkap karakter utama dari para biku Therawada; yakni, orang-orang yang mengabdikan diri mereka demi menjunjung tinggi Dharma dan Winaya sebagaimana yang diajarkan oleh Buddha. Sikap mereka yang benar-benar pasif telah menjadi penghalang bagi berkembangnya secara aktif ajaran-ajaran yang mereka telah dengar.’
        
   Ketika mengomentari kondisi pendidikan di Burma sebelum era modern, yang hampir keseluruhannya bersifat religius dan berada di tangan para agamawan, Aung San Suu Kyi

mengatakan:

Pendidikan Burma tradisional tidaklah menganjurkan spekulasi. Ini sebagian besar disebabkan oleh pandangan, yang sangkin luasnya dianut sehingga ia tampak sebagai bagian dari kejiwaan ras orang Burma, bahwa agama Buddha mewakili filosofi yang sempurna. Sehingga tidak perlu lagi mengembangkannya lebih jauh lagi ataupun melihat filosofi-filosofi yang lain. Akibatnya, walaupun ajaran-ajaran Buddha pada dasarnya sangat toleran, agama di Burma cenderung monolitik. Ia memiliki batas-batas yang luas, tetapi tidak fleksibel. Perdebatan teologis, yang memang tidak banyak terjadi, terpusat pada penafsiran tentang aturan kebikuan atau Winaya; sehingga sedikit sekterianisme yang ada pun terbatas hanya pada kehidupan kebikuan semata-mata.’  
Bila dihubungkan dengan Thailand, Cambodia, Laos dan juga Sri Lanka, dapatlah dikatakan bahwa pernyataan ini, dalam skop yang lebih kecil, juga berlaku untuk negara-negara tersebut.

            Di benua Eropah, gereja Kristen mempunyai badan-badan tertentu di dalamnya yang berfungsi memeriksa secara cerma penfasiran-penafsiran baru terhadap ajaran agama Kristen. Ini untuk memastikan agar penafsiran-penafsiran baru tersebut senatiasa sejalan dengan penafsiran-penafsiran ortodoks. Tampaknya hal seperti ini tidak dibutuhkan dalam tradisi Therawada, karena memang tidak ada hal yang baru sama sekali.
           
Para biku terkadang beradu pendapat mengenai penafsiran tertentu terhadap aturan-aturan Winaya, tetapi mereka jarang sekali berbeda pendapat mengenai aspek-aspek Dharma. Para biku Therawada ini sedikit sekali menghasilkan karya yang nilainya dapat bertahan lama.  Milindapanha, Visuddhimagga dan AbhidharmatthaSanggha adalah beberapa karya dalam tradisi Therawada yang masih secara luas dibaca dan dipelajari hingga saat ini. Namun, karya-karya selebihnya bukan main membosankan, tak berguna dan acapkali terlalu menonjolkan sisi keilmuannya. Oleh karena itu, karya-karya tersebut sedikit sekali atau tidak sama sekali membantu orang dalam memahami Dharma. Karya-karya dalam tradisi Therawada pun boleh dikatakan sangat sedikit sekali apalagi menimbang usia kecendekiawanannya yang sudah berusia dua ribu tahun.
          
Hingga abad ke-11, tradisi Therawada terbatas hanya pada Sri Lanka dan beberapa wilayah kecil di India bagian selatan dan Burma bagian selatan. Setelah itu, ia menyebar ke seluruh Burma, Thailand, Cambodia dan dataran-dataran rendah di Laos. Sejak tahun 1930-an, komunitas-komunitas penganut Therawada yang kecil mulai bermunculan di Vietnam,  Indonesia,  Semenanjung Malaya, Nepal dan, setelah tahun 1956, juga di India.
           
Tradisi  Therawada adalah bentuk agama Buddha yang paling dikenal di Barat hingga tahun 1970-an ketika ia secara cepat mulai digantikan oleh agama Buddha Tibet. Di negara-negara Barat, tradisi Therawada dewasa ini berada di urutan ketiga setelah agama Buddha Tibet dan Zen. Seperti dikatakan oleh Biku Bodhi, tradisi Therawada ini merupakan ‘sesuatu yang terisolasi di dalam apa yang semestinya merupakan lahan perbatasan agama Buddha Barat yang hidup.’

Para Biku dan Umat Awam

Pada masa-masa awal, dalam tradisi Therawada, umat Buddhis awam tidaklah termasuk di dalam kelompok manusia yang dapat mencapai Nirvana. Kalaupun tidak pernah dinyatakan secara resmi, hal ini memang secara aktual dimaksudkan demikian. Seperti disiratkan dalam sebutan ‘Therawada’ itu sendiri, Therawada utamanya berkaitan dengan para biku sepuh, bukan dengan umat awam, dan sudah barang tentu tidak berhubungan sama sekali dengan para bikuni maupun umat Buddhis awam perempuan.
           
Hingga saat munculnya Milindapanha (abad ke-1 M?), kenyataan tersebut telah menjadi ajaran yang ortodoks. Dalam kasus yang amat jarang sekali terjadi, bila seorang umat awam mencapai pencerahan, maka pada hari yang sama itu juga ia harus segera memilih untuk menjadi seorang biku atau mati.  Namun, biku Thanissaro tampak menyiratkan bahwa, bagi seorang umat awam biasa, pencapaian pencerahan adalah sebuah ketidak mungkinan. Ia mengatakan, ‘(Kita) harus mencatat mulai dari awal sekali bahwa Dharma dan Winaya berfungsi bersama-sama sekaligus. Satu tanpa yang lainnya tidak akan berhasil mencapai tujuan yang dikehendaki. Dalam teori, keduanya mungkin tampak berpisah, namun dalam diri seseorang yang mempraktekkannya, Dharma dan Winaya lebur menjadi kualitas-kualitas yang dikembangkan dalam pikiran dan karakter….’
          
Winaya adalah faktor yang maha penting untuk pencapaian pencerahan. Umat Buddhis awam tidaklah menjalankan Winaya dan, oleh sebab itu, mereka tidak dapat mencapai pencerahan. Namun, hal ini tidaklah sangat sejalan dengan ajaran Buddha; tetapi, lagi-lagi Buddha tentu saja bukan seorang penganut tradisi Therawada.
          
Sutta-sutta menyebutkan adanya bukti umat awam yang memang mencapai pencerahan. Lebih jauh lagi, kita pun diberitahu bahwa di dalam masa dua puluh tahun pertama sejak Buddha membabarkan Dharma, pun tidak terdapat Winaya sama sekali. Jika yang dikatakan Biku Thanissaro benar, orang mungkin akan bertanya: bagaimana mungkin orang-orang pada masa awal itu dapat mencapai pencerahan? Dan, bagaimana pula dengan para guru Tibetan, Ch’an dan Zen yang tidak mempraktekkan Winaya atau setidak-tidaknya tidak menjalankan Winaya versi Therawada itu? 
         
  Bila didasarkan pada kriteria yang dikatakan Biku Thanissaro itu, jelaslah bahwa mereka-mereka ini pun tidak mungkin dapat merealisasi pencerahan. Dalam kaitan ini, bagaimana pula kita harus memaknai ucapan Bhaddali yang menarik itu bahwa bila Winaya semakin sedikit, maka jumlah arahat akan semakin banyak? (M.I, 444)  
           
Sang Buddha memberikan banyak sekali ajarannya, walaupun tentu saja bukan seluruhnya, kepada orang-orang yang meninggalkan keduniawian. Banyak sekali hal yang diajarkannya yang relevan bagi siapapun yang memiliki kecenderungan spiritual; sebaliknya, cukup banyak pula ajarannya yang menarik bagi umat awam. Tetapi, sejak dari awal sekali, para biku Therawada telah mencoba memonopoli ajaran Buddha dan memutuskan apa yang telah diajarkan oleh Buddha serta kepada siapa ajaran tersebut harus diberikan.
       
    Keadaan ini sungguh berbeda dengan tradisi Mahayana dimana umat awam senantiasa mendapatkan tempat. Pada abad ke-7, ketika biksu Tiongkok Hiuen Tsiang berada di India, ia menghabiskan beberapa tahun untuk mempelajari filosofi dan meditasi dengan seorang guru umat awam biasa bernama Jayasena—salah seorang guru yang paling dihormati pada saat itu. Beberapa guru Ch’an dan tradisi Tibet adalah juga umat awam.[**]
         
  Saya tidak mengetahui seorang pun guru Dharma ataupun guru meditasi dalam tradisi Therawada yang berasal dari kalangan umat awam hingga berakhirnya abad ke-19. Dengan adanya para biku yang memonopoli Dharma, wajarlah bila mereka menekankan aspek-aspek Dharma yang berhubungan dengan mereka. Lebih dari itu, mereka pun cenderung mengutamakan ajaran-ajaran yang lebih praktis bagi mereka vis-à-vis umat awam. Oleh sebab itu, dewasa ini cukup wajar bila kita mendengar orang mengatakan bahwa kewajiban seorang umat Buddhis awam adalah menjaga para biku yang kewajibannya adalah mempelajari dan menjalankan Dharma. Kita juga mendengar bahwa anda tidak mungkin memahami Dharma bila tidak mengenal bahasa Pali; bahwa mengkritik atau berbeda pendapat dengan seorang biku dapat mendatangkan karma buruk, dlsb.
          
Tentu saja ada umat awam yang tidak dapat menerima asumsi-asumsi ini. Sudah barang tentu ada juga para biku progresif yang mencoba mengoreksi semua itu. Tetapi, mereka-mereka ini akan berbenturan dengan tradisi yang telah berurat akar dan yang telah berlangsung selama berabad-abad.
       
    Dengan demikian para penganut Therawada sebenarnya terdiri dari dua kelompok yang berbeda—umat Buddhis paruh-waktu yang menjalankan Dharma hanya semampu mereka saja dan pada waktu yang memungkinkan, serta umat Buddhis ‘sungguhan’ yang menjalankan Dharma secara penuh (para biku).
      
     Lawrence Mills, yang menjadi seorang biku Therawada selama lebih tiga puluh tahun sebelum akhirnya lepas jubah and sekarang belajar dengan seorang guru dari Tibet, menggambarkan tradisi Therawada sebagai terdiri dari ‘dua tingkat.’ Beliau menulis:
Dengan model ini, para biku menjadi superior, sedangkan umat awam menganggap diri mereka inferior di hadapan para biku. Ini merupakan sebuah keadaan yang tidak baik bagi kedua belah pihak. Para biku dapat menjadi begitu sombong karena posisi mereka yang tinggi, sedangkan umat awam akan merasa bukan saja kelas dua tetapi juga tak bisa menjalankan banyak latihan.’
    
       Umat awam senantiasa diberi tahu bahwa mereka cukup bercita-cita untuk menjalankan Dharma yang paling dasar saja. Namun, dari ketiga unsur pokok Dharma yang paling dasar itu; yakni, dana, sila dan bhavana—kebanyakan dititikberatkan hanya pada yang pertama saja. Memang saya tidak pernah mendengar para biku Therawada mengatakan bahwa berdana kepada Sanggha adalah lebih penting daripada hidup secara bermoral, bersikap baik, memiliki kejujuran atau mempraktekkan meditasi. Tetapi, dengan begitu ditekankannya aspek berdana itu, maka akan memiliki kesan seperti itu.
      
     Stanley Tambiah melakukan survei di antara orang-orang Thailand sehari-hari. Ia membuat daftar berbagai praktek keagamaan dan meminta mereka untuk menentukan urutan, dimulai dengan kegiatan yang paling banyak memberikan mereka pahala. Menjalankan sila secara ketat tampaknya berada di urutan di bawah mendirikan wihara dan berdana kepada para biku. Hal ini membantu menjelaskan mengapa di negara-negera Therawada para anggota komplotan penjahat, para pelaku bisnis yang tak jujur, dan para politisi yang korup acapkali termasuk di antara para pendukung Sanggha yang paling pemurah dan paling kasat mata.
    
       Orang beranggapan bahwa bermurah hati kepada Sanggha kiranya sudah cukup untuk memenuhi persyaratan menjadi menjadi seorang umat Buddhis awam yang baik. Asumsinya adalah bahwa segala perbuatan jahat apapun yang dilakukan seseorang dapat dengan mudah dihapuskan bila ia melakukan perbuatan yang paling baik; yakni, berdana kepada Sanggha. Orang-orang seperti ini juga sangat percaya bahwa pemberian mereka akan diterima dengan sangat ramah; dan, kotbah-kotbah agama yang mereka akan dengar setelah itu pun hanya berkaitan dengan perbuatan moral dalam pengertian yang sangat  abstrak saja. 
      
     Hal utama yang menghubungkan para biku Therawada dengan umat Buddhis awam bukanlah komitmen yang sama terhadap Dharma, tetapi dukungan materi yang berlebih-lebihan dan segala pujian yang diberikan oleh umat awam kepada para biku serta pahala yang seyogianya dapat diberikan oleh para biku itu kepada umat awam.  Para biku sangat tidak rela melepaskan dan berbagi peran mereka dengan umat awam sebagai guru; dan, umat awam pun cukup yakin bahwa Dharma itu terlalu esoterik untuk diketahui dan terlalu sulit untuk dipraktekkan, bila dibandingkan dengan berdana dan menjalankan sila-sila dasar.
       
    Akibat pengaruh agama Kristen Protestan pada akhir abad ke-19, Sri Lanka kini mempunyai sejumlah guru Dharma dari kalangan umat awam yang dihormati, walaupun jumlahnya masih kecil. Tetapi hal seperti ini hampir-hampir tidak ada di negara-negara Therawada yang lain. Dalam Tipitaka, para biku digambarkan berada dalam peranannya sebagai guru, tetapi kita juga membaca tentang para biku dan umat awam belajar bersama-sama dan, bahkan, kita dapat membaca tentang para biku yang menerima pelajaran dari umat awam.
           
Di India, tradisi peran umat awam ini bertahan hingga beberapa abad lamanya. Beberapa prasasti yang ditemukan di Sanchi dan Bharhut dari abad ke-2 dan ke-1 SM banyak menyinggung peran umat awam dan, bahkan, peran para perempuan yang ‘dapat mengingat sebuah sutta melalui hafalan’, yang ‘sangat menguasai kelima Nikaya itu’ atau, bahkan, ‘yang sangat luas pengetahuannya dalam sebuah Pitaka.’  Juga dalam Winaya, kita kadang-kadang membaca tentang para biku yang belajar Dharma dari umat awam (Vin.I,139). 
      
     Banyak umat Kristen memiliki Alkitab dan yang lebih serius akan membacanya secara teratur. Semua anak laki-laki bangsa Jahudi diberi pelajaran Torah sebagai persiapan untuk Bah Mitzvah mereka. Umat Muslim membaca Al Quran dan, bahkan, sanggup menghafal bagian-bagian tertentu di dalamnya. Namun, mayoritas umat Buddhis awam Therawada dan banyak juga biku yang tidak pernah membaca Tipitaka sama sekali.
     
      Ketika agama Buddha Mahayana datang ke China dan Tibet, banyak sekali para biksu yang menerjemahkan semua sutra ke dalam bahasa mereka—sebuah tugas yang terus berlanjut selama beberapa abad lamanya dan yang merupakan suatu upaya penerjemahan yang paling dahsyat dalam sejarah. Tak ada hal seperti ini yang pernah terjadi di negara-negara Therawada. Mahavamsa menyinggung bahwa seorang raja Sri Lanka pernah meminta agar Tipitaka diterjemahkan ke dalam bahasa Sinhala. Tetapi ini hanyalah satu dari begitu sedikitnya referensi yang saya ketahui dalam sejarah Therawada yang pernah dilakukan sebelum permulaan abad modern.
        
   Sangatlah tidak mungkin bahwa terjemahan tersebut dapat tersebar secara meluas pada masa itu. Di kebanyakan negara dewasa ini cukup mudah memperoleh buku-buku Dhammapada dan buku-buku kecil yang barangkali berisi Mangala Sutta dan Metta Sutta. Sampai akhir-akhir ini, buku-buku lainnya pun masih tergolong langka. Akhirnya, pada tahun 1950-an, pemerintahan Sri Lanka dan Burma mengambil inisiatif untuk menerjemahkan Tipitaka ke dalam bahasa mereka masing-masing.
      
     Dalam halnya Tipitaka dalam bahasa Sinhala, itu pun baru dilakukan hampir lima puluh tahun kemudian; dan, pekerjaan tersebut pun belum rampung. Bagian-bagian Tipitaka yang telah diterjemahkan dan diterbitkan juga sulit sekali untuk ditemukan sekarang ini. Jilid-jilid yang tepisah-pisah sangatlah banyak dan mahal; dan, bahasa Sinhala yang dipakai pun acapkali sudah terlalu kuno untuk dapat dicerna oleh orang kebanyakan dengan mudah. Para biku Sri Lanka memberitahu saya bahwa, bagi mereka, lebih mudah membaca Tipitaka dalam bahasa Pali ketimbang dalam bahasa Sinhala.
      
     Hal yang sama juga terjadi dengan terjemahan-terjemahan Tipitaka dalam bahasa Thailand maupun Burma. Pergilah ke wihara manapun dari Rangoon hingga ke Phnom Penh, dari Korat hingga ke Kandy; dan, bila ada satu set Tipitaka disana maka ia akan diabaikan dan acapkali terkunci dalam laci yang sudah ditutupi debu. Tetapi ini tak mengapa karena umat Buddhis awam memang tidak mau membacanya.
       
    Umat awam sudah begitu terbiasa mempercayai bahwa untuk menjadi umat Buddhis yang baik yang harus dilakukan hanyalah menjaga para biku. Mereka sendiri tidak tertarik untuk mengetahui Dharma secara lebih mendalam. Karena, mengetahui Dharma adalah pekerjaan para biku! Lagi pula, tidaklah sulit memperoleh kesan bahwa banyak biku yang juga cukup puas dengan keadaan ini. 
          
Kalau umat awam membaca apa yang dikatakan Buddha tentang para biku yang menyediakan jimat-jimat dan ramuan obat-obatan, mereka barangkali akan syok (D.I,9).  Bila umat awam membaca tentang seorang umat Buddhis awam seperti Citta yang dapat mengajari para biku dalam hal Dharma, mereka barangkali akan dapat segera mengembangkan ide-ide besar (S.IV,284).  Kalau umat awam mengetahui betapa sederhananya hidup Buddha dan para siswanya, mereka mungkin akan segera berfikir bahwa segala kemewahan dan keberlimpahan yang ada di wihara-wihara tidaklah semestinya demikian (A.I136).

Semua penyimpangan dan kejanggalan yang membuat tradisi Therawada seperti apa adanya dewasa ini dapat terus berlangsung juga terutama dikarenakan mayoritas umat awam yang hanya mengetahui sebatas apa yang telah dipilihkan oleh para biku untuk disampaikan kepada mereka.  

Seseorang yang saya kenal telah hadir ke sebuah wihara Thailand di Singapura selama lima belas tahun sebelum ia akhirnya menjadi salah seorang murid saya. Ia dapat menghafal kelima Sila, tetapi tidak dapat memerincinya; dan, ia juga tidak mengetahui bahwa apa yang dihafalkannya itu berhubungan dengan moralitas. Walaupun demikian, ia tahu bahwa setiap kali ke wihara ia harus memberikan ang pow (dana uang) kepada para biku. Orang-orang muda di Asia yang berpendidikan tinggi sering memberi tahu saya bahwa pemahaman mereka tentang Dharma yang pertama kali mereka dapatkan itu berasal dari keterlibatan mereka dengan sebuah kelompok Buddhis di universitas dimana mereka berkuliah di negara Barat. Barangkali untuk menghindari masalah-masalah seperti itulah Buddha menghimbau semua siswanya, baik para biku maupun umat awam, agar belajar memahami Dharma.

Dalam Mahaparinibbana Sutta, Buddha mengatakan: 
Aku tidak akan mencapai Nirvana yang terakhir sebelum para biku dan bikuni, umat awam laki-laki dan perempuan yang telah mencapai kesempurnaan dan terlatih, yang terampil dan terpelajar, yang mengetahui Dharma, yang terlatih berdasarkan Dharma, yang sepenuhnya terlatih, yang hidup sesuai dengan Dharma, yang dapat berbagi Dharma dengan orang lain, yang mengajarkannya, yang menyatakannya, yang menjelaskannya, yang memantapkannya, yang menguraikannya, yang menganalisisnya dan yang menjelaskannya dapat memanfaatkan Dharma untuk membuktikan kesalahan ajaran-ajaran salah yang telah berkembang dan menegakkan Dharma yang murni.’ (D.II,104)

Winaya

Winaya adalah kumpulan kitab suci yang kedua dalam Tipitaka berbahasa Pali. Ia terdiri dari dua ratus dan dua puluh tujuh peraturan yang harus diikuti oleh para biku. Ia juga berisi prosedur-prosedur tata tertib kehidupan wihara. Ada sebuah bagian yang terpisah dari Winaya tersebut yang juga berisi aturan-aturan yang berlaku untuk para bikuni.
      
     Orang Barat dan juga banyak penganut tradisi Therawada dari Asia sendiri yang percaya bahwa para biku itu menaati seluruh aturan Winaya yang ada. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Dahulu pun tidaklah pernah demikian pula. Tentu sebaiknya tidaklah seperti itu. Banyak peraturan yang tidak relevan atau tidak berarti lagi sama sekali karena mereka berada di luar konteks negara India kuno dimana peraturan-peraturan itu dibuat dulunya.

Yang sebenarnya terjadi adalah kebanyakan biku itu hanya mengikuti saja aturan-aturan yang telah dijalankan sesuai kebiasaan; dan, mereka tidak mempedulikan aturan-aturan lain yang tidak pernah dijalankan menurut kebiasaan mereka. Memang cukup sulit untuk melacak pola apa yang dipakai dalam pemilihan aturan-aturan yang dijalankan oleh para biku itu, kecuali bahwa aturan-aturan yang memberikan para biku tersebut preseden dan statuslah yang senantiasa dipraktekkan dan, dengan kenyakinan yang tinggi, sangat ditekankan.

Beberapa aturan yang bermanfaat tampak telah dibiarkan begitu saja; sedangkan, yang lainnya yang tampaknya tidak bermanfaat sama sekali diikuti dengan teliti sekali.  Lagi-lagi, aturan-aturan tertentu dijalankan dengan sangat hati-hati, namun dengan cara yang sangat bodoh dan harfiah. Ada lagi aturan-aturan lainnya yang dilaksanakan dengan cara yang terkesan bertentangan dengan logika dan tanpa tujuan sama sekali.
Sebagai contoh, amat banyak biku yang ‘menghandle uang,’ meminjam sebuah frase dalam bahasa Thailand yang boleh dikatakan aneh. Para biku membeli, menjual barang; mereka mempunyai rekening di bank; mereka menerima sumbangan; kadang-kadang mereka pun meminta sumbangan; dan, semua ini dipandang biasa saja walaupun bertentangan dengan Winaya. Ada juga beberapa biku yang rewel yang meminta agar uang yang diberikan kepada mereka harus ditempatkan di dalam sebuah amplop, sehingga mereka tidak menyentuh lembaran-lembaran uang itu secara langsung. Dengan demikian, mereka seolah-olah bertindak sesuai dengan Winaya walaupun tidak memahami maksud ayat Winaya tersebut.

Para biku tidak boleh minum susu setelah tengah hari. Ini sesuai dengan aturan Winaya. Tetapi, di Thailand, mereka makan keju dan coklat pada siang hari; dan, ini jelas-jelas tidak sesuai dengan aturan Winaya.

Winaya menegaskan bahwa setiap makanan yang diberikan kepada seorang biku haruslah diberikan secara formal. Bila umat awam lupa melakukannya, maka para biku yang akan mengajari mereka untuk melakukannya. Tetapi, ini tidak sesuai dengan Winaya yang tidak memperbolehkan para biku meminta apapun.

Di wihara-wihara yang lebih baik, sebuah upacara akan diadakan dua kali sebulan supaya para biku dapat memberikan pengakuan kesalahan bilamana mereka telah melanggar Winaya ataupun telah berkelakuan tidak semestinya. Upacara ini dapat memberikan sebuah nilai tambah yang baik untuk perkembangan pribadi maupun untuk kehidupan bermasyarakat.

Namun, sayangnya, upacara tersebut selalu saja dilakukan secara asal-asalan dimana kata-kata yang dipakai dalam upacara tersebut pun diulang-ulang tanpa ada pengakuan kesalahan ataupun pemberian maaf yang sungguh-sungguh.
     
      Di atas itu semua, ada juga sejumlah praktek yang sebenarnya telah merupakan kebiasaan yang tidak ada lagi di dalam Winaya, namun masih diperlakukan seolah-olah ada disebutkan dalam Winaya. Terkadang, praktek-praktek ini pun dianggap lebih keramat lagi. Oleh karena itu, para biku di Thailand menerima pemberian uang walaupun ini bertentangan dengan Winaya.

Tetapi, mereka tidak akan mengambil apapun secara langsung dari tangan seorang perempuan—sesuatu yang tidak diatur dalam Winaya. Bila seorang biku menerima pemberian uang, tak seorang pun akan berfikir macam-macam tentang itu. Namun, kalau ia menerima sesuatu langsung dari tangan seorang perempuan, maka orang yang melihat akan sangat berkeberatan sekali. Biku tersebut bahkan akan dipaksa lepas jubah.
Namun, ada komplikasi lain disini. Aturan-aturan yang diikuti berdasarkan kebiasaan dan yang tidak, serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang telah berkembang di sekitarnya ternyata sangatlah berbeda dari satu negara ke negara lain, dari satu sekte ke sekte yang lain; dan, terkadang, bahkan dari satu tempat ke tempat yang lain di dalam sebuah negara yang sama.

Para biku Thailand, sebagai contoh, sangat kritis sekali terhadap para biku Burma yang bepergian keluar dengan hanya menutupi sebelah bahu saja dengan jubah. Para biku Sri Lanka memakai mangkuk Pindapata yang terbuat dari aluminium. Karena sebuah alasan yang tak jelas, para biku Thailand menganggap hal ini bertentangan dengan Winaya.
Tidak ada biku Sri Lanka yang berani merokok di depan umum, karena ini diyakini melanggar Winaya; tetapi, bila mereka mengunyah tembakau, hal itu dapat diterima. Sekte Thammayut di Thailand demikian juga menganggap merokok bertentangan dengan Winaya, tetapi sekte Mahanikaya tidak.
       
    Kenyataannya adalah institusi Sanggha telah berjalan secara otomatis selama berabad-abad lamanya, dan faktor utama yang mengatur sifat maupun kebiasaan kebanyakan biku itu adalah, bukan Winaya maupun Dharma, melainkan tradisi-tradisi yang telah terbentuk sejak lama.

Beberapa tradisi ini muncul bersama-sama dengan Winaya dan tidak bertentangan dengan Winaya, tetapi yang lainnya tidaklah demikian. Beberapa tradisi sangat praktis dan dapat diterima akal sehal, tetapi banyak juga yang tidak. Ada tradisi yang bisa saja bermanfaat bila ia dijalankan dengan kebijaksanaan, tetapi ada juga yang betul-betul tidak bermanfaat sama sekali. Kebanyakan para biku taat pada pola-pola prilaku yang setidak-tidaknya sesuai dengan kebiasaan; sedangkan, umat awam hanya melihat para biku saja dan hidup tanpa terlalu banyak memperhatikan atau memikirkan Dharma dan Winaya.  
Dapatlah dimengerti sekarang mengapa ada sejumlah kecil para biku yang tulus yang menentang keteledoran dari kebanyakan biku lainnya, lalu mencoba mengikuti aturan Winaya secara keras dan hampir-hampir secara fanatik sekali. Namun demikian, hal ini tidak saja memperlihatkan sebuah kesalahfahaman yang serius tentang Dharma, melainkan juga menyebabkan munculnya keanehan-keanehan dan masalah-masalah yang akan dibicarakan di bawah ini.

Sejumlah kecil biku yang lain, yang tak kalah tulusnya, tetapi barangkali lebih cerdas, mampu melihat tujuan yang sesungguhnya dari keseluruhan kehidupan kebikuan—yaitu, untuk menjadi berkesadaran (mindful), sebuah sifat kedisiplinan yang kondusif terhadap tumbuhnya pemahaman—dan mereka mencoba sebaik-baiknya untuk menjadi berkesadaran seperti itu tanpa harus mengikuti segala aturan secara kaku. Sayangnya, para biku ini hanyalah sebuah kelompok yang sangat kecil dan mereka pun tidak memperoleh dukungan dari mayoritas para biku yang tidak pernah lagi menggunakan pikiran dan senantiasa terikat pada tradisi. Para biku ini pun hanya menerima  ejekan dan ketidaksetujuan dari sekelompok minoritas fundamentalis yang tidak fleksibel.

Menjadi seorang Biku

Pada zaman Buddha, orang menjadi biku atau bikuni semata-mata untuk tujuan ‘mengatasi penderitaan dan merealisasi Nirwana.’ Namun, dewasa ini, anehnya tujuan ini tidak lagi  menjadi alasan yang lazim bagi orang untuk memasuki Sanggha Therawada. Di Burma dan Thailand, semua laki-laki diharapkan untuk ditahbiskan menjadi biku setidak-tidaknya sekali dalam hidup mereka. Pengalaman ini dapat saja memberikan pengaruh yang positif pada seseorang; tetapi, dalam banyak kasus, pengalaman tersebut pun ada kalanya tidak banyak meninggalkan kesan apapun bagi yang menjalaninya.

Suatu kali saya tinggal di sebuah wihara yang besar dan bagus di Mandalay. Karena saya satu-satunya biku Barat, maka saya senantiasa dikelilingi oleh biku-biku yang ramah dan selalu tersenyum yang ingin sekali melihat saya dan berlatih berbicara dalam bahasa Inggris dengan saya. Di ruangan yang tak seberapa jauh, tinggallah seorang biku yang lebih tua.
Saya perhatikan bahwa setiap kali biku yang lebih tua ini bergabung dengan kelompok kecil yang mengelilingi saya itu, maka para biku lainnya itu semuanya tiba-tiba menjadi terdiam. Mereka tampak sedikit gugup dan perlahan-lahan beranjak pergi dan meninggalkan kami berdua saja. Biku yang lebih tua ini dapat berbahasa Inggris dengan sempurna dan tampaknya ia pun cukup memahami Dharma dan mempunyai minat untuk bermeditasi.

Mula-mula saya berfikir bahwa perasaan tidak enak yang ada pada para biku tersebut, ketika biku tua tersebut menghampiri mereka, barangkali disebabkan karena semata-mata keinginan mereka untuk menghormati usianya atau barangkali karena kedudukannya dalam hirarki Sanggha. Lalu, saya menemukan alasan sebenarnya tak lama setelah itu.

Rupa-rupanya biku yang lebih tua itu dulunya adalah seorang kepala polisi rahasia setempat yang sangat ditakuti; dan, ia mempunyai reputasi tertentu karena kebrutalannya. Sekali setahun ia menghabiskan beberapa minggu ‘menjalankan agama Buddha’ sebagai seorang biku. Orang Thailand percaya bahwa meminta ditahbiskan menjadi biku adalah juga sebuah cara untuk membayar kembali kebaikan orang tua mereka yang telah berkorban dalam membesarkan mereka; dan, ini merupakan motivasi utama mengapa orang ingin menjadi biku di negara tersebut.

Sebagai sebuah rite of passage (upacara yang mesti dilalui), ini tentu merupakan sebuah pengalaman yang membuat kita sangat disukai dan secara sosial pun sangatlah penting; namun, bila dijadikan alasan untuk bergabung ke dalam Sanggha ini tentu tidak baik sama sekali. Alasan ini tentu tidak dapat menjamin bahwa seseorang akan menjadi seorang biku yang sesungguhnya.

Di Burma, semua laki-laki pasti menjadi biku selama beberapa lama karena ia semata-mata telah menjadi sebuah tradisi. Di kedua negara tersebut, kebanyakan dari para biku itu melepas jubah setelah beberapa hari atau beberapa minggu; sedangkan, yang lainnya akan memutuskan untuk tinggal.

Mereka yang memutuskan untuk tetap tinggal itu mempunyai berbagai alasan. Beberapa orang di antaranya karena benar-benar ingin mempelajari Dharma; beberapa lagi mendapati bahwa kehidupan wihara yang tenang itu dapat menjadi tempat pelarian bagi kewajiban-kewajiban pekerjaan dan, sebagai anggota masyarakat; beberapa biku lainnya memasuki Sanggha karena tidak memiliki kesanggupan apapun untuk dapat berhasil di luar sana sehingga tidak mempunyai pilihan kecuali tinggal di wihara.

Ada juga beberapa orang yang memutuskan untuk tinggal di wihara karena alasan-alasan yang paling keji yang tidak akan saya bahas disini. Semua ini berarti bahwa ada banyak biku, biasanya persentasenya sangat tinggi sekali, yang tidak punya minat atau tidak benar-benar berminat untuk meniti kehidupan spiritual. Dalam sebuah pengakuannya tentang keadaan ini, seorang modernis Thailand Chatsumarn Kabilsingh mengatakan bahwa banyak biku di negaranya yang tidak lebih daripada ‘para petani sederhana yang berjubah kuning dan tak berpendidikan.’
        
   Di Sri Lanka keadaannya sungguh berbeda. Tradisi menjadi biku untuk sementara waktu saja tidak ada di sana. Begitu seseorang memasuki Sanggha maka ia diharapkan akan senantiasa berada di dalam Sanggha tersebut. Kebanyakan biku ditahbiskan ketika mereka masih sangat muda dan acapkali karena orang tua mereka terlalu miskin untuk dapat membiayai hidup mereka. Kadang-kadang, bila seorang anak laki-laki mempunyai bintang astrologi yang jelek, maka ia akan ditempatkan di dalam Sanggha dengan harapan agar hal ini akan mengubah takdirnya.

Wihara-wihara yang harga tanahnya tinggi biasanya dikendalikan oleh keluarga-keluarga tertentu selama beberapa generasi lamanya. Salah seorang anggota keluarga mereka akan ditahbiskan menjadi biku agar tanah-tanah itu tetap menjadi milik keluarga. Tetapi, apapun yang dijadikan alasan untuk pentahbisannya, bila ada pengarahan dan contoh yang baik dari orang-orang yang lebih tua, seorang anak pun bisa saja berlanjut terus dan menjadi benar-benar religius pada akhirnya. Namun, masalahnya adalah, sekalipun pengaruh-pengaruh tersebut tidak ada, dan sang anak tidak menyukai kehidupan wihara serta ia tidak cocok dengan kehidupan wihara secara psikologis, ia tetap tak punya pilihan dan harus tetap tinggal di wihara.

Dewasa ini, tekanan sosial terhadap para biku untuk tetap berada di dalam Sanggha memang telah menghilang dan sejumlah besar biku muda lepas jubah. Semakin banyak dari mereka yang mempelajari ilmu-ilmu sekuler sehingga mereka dapat melarikan diri dan memperoleh sebuah pekerjaan segera setelah mereka tamat sekolah. Ini artinya bahwa wihara-wihara perlahan-lahan akan ditinggalkan dan yang tersisa adalah para biku yang sangat muda, yang sangat tua, yang malas dan yang tetap menjadi biku karena mereka tidak tahu lagi bagaimana untuk bertahan hidup.

Pada masa lampau, sistim yang ada di Sri Lanka memang tidaklah terlalu baik dalam ikut membantu mengembangkan potensi yang ada di dalam diri seseorang; tetapi, sekarang keadaannya malah jauh lebih buruk lagi daripada sebelumnya.
            Siapapun yang menjadi biku dan berapapun jumlah biku yang ditahbiskan secara keseluruhan—semua itu tidak ada lagi hubungannya dengan ada atau tidaknya sebuah minat  yang sungguh-sungguh untuk mendalami Dharma.

Di Burma, pada abad ke-17, ada demikian banyak laki-laki yang memasuki Sanggha sehingga kenyataan ini menyebabkan kurangnya jumlah tenaga kerja yang serius di negara tersebut. Raja Thalun akhirnya membuat semua biku mengikuti sebuah ujian mengenai dasar-dasar agama Buddha. Beliau tahu bahwa kebanyakan dari para biku itu tidak akan lulus ujian; dan, ini akan memberinya sebuah alasan untuk memaksa para biku tersebut lepas jubah.

Menurut Departemen Agama Thailand, pada tahun 1990, ada terdapat sebanyak 290,300 orang laki-laki yang menjadi biku di negara tersebut; dan, ketika memasuki musim monsoon (angin musim), yang merupakan saatnya para laki-laki memasuki wihara sesuai tradisi, jumlah biku bertambah lagi menjadi 423,400 orang. Umat awam sangat senang dengan jumlah biku yang banyak itu karena mereka dapat menerima pahala karma dari para biku itu. Mereka pun dapat meminta para biku untuk memberikan pemberkahan serta memimpin upacara kematian; dan, juga untuk memastikan agar wihara-wihara setempat tetap penuh dengan orang-orang. Apakah para biku ini benar-benar memiliki komitmen untuk menjalani kehidupan spiritual? Hal ini merupakan pertimbangan kedua.

Di Sri Lanka, kadang-kadang alasan mengapa anak laki-laki ditahbiskan menjadi biku tak dapat diketahui dengan mudah. Akhir-akhir ini saya menghadiri sebuah upacara dimana tiga puluh tujuh anak laki-laki berusia antara delapan hingga dua belas tahun ditahbiskan menjadi biku. Sangatlah mengharukan bagi saya ketika melihat anak-anak kecil tersebut menangis karena ingin bertemu ibu mereka. Ketika saya bertanya kepada biku penyelenggara mengapa sebanyak tiga puluh anak, ia pun tersenyum dan mengatakan, ‘Karena ada sebanyak Tiga Puluh Tujuh Faktor yang menyebabkan Pencerahan.’

Tidaklah mengherankan bila wihara-wihara dipenuhi oleh para biku yang sebenarnya berada di sana karena alasan-alasan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan tujuan sebenarnya dari adanya institusi Sanggha itu. Karena biku-biku semacam ini merupakan mayoritas, maka mereka cenderung menentukan wujud kehidupan monastik dan suasana dari wihara-wihara itu juga. Para biku sungguhan yang terinspirasi semata-mata oleh Dharma, karena mendapatkan dukungan yang sedikit sekali, terpaksa takluk pada keadaan mayoritas tersebut; atau, seperti yang terjadi dewasa ini, ada pula yang sekalian lepas jubah..

            Menurut Winaya, seorang anak laki-laki yang telah berusia delapan tahun dapat menjadi samanera. Menjadi seorang biku yang akan ditahbiskan secara lengkap, seseorang hanya perlu menjawab sebanyak dua belas pertanyaan dengan tegas dan jujur; seterusnya, memberi tahu namanya sendiri serta nama gurunya.[††]

Pada abad ke-2 dan pertama Sebelum Masehi, pada masa Winaya disusun, persyaratan ini barangkali sudah tidak lagi memadai untuk menentukan apakah seorang calon biku cocok atau tidak untuk menjadi biku. Dewasa ini, persyaratan tersebut sudah barang tentu sangat tidak memadai lagi; dan, karenanya, hal ini menjadi alasan utama mengapa tingkat spiritualitas dalam Sanggha begitu rendah.

Tetapi, kendatipun tampak merupakan ketidakmampuan tradisi Therawada untuk berubah, persyaratan-persyaratan menjadi biku tersebut toh masing dibutuhkan seseorang untuk menjadi biku. Praktisnya, semua orang boleh boleh menahbiskan biku; dan, pada kenyataannya, memang setiap orang melakukan hal itu. Masalah ini telah diketahui lebih dari seribu tahun.

Pada abad ke-10, Raja Kassapa V dari Sri Lanka menginstruksikan Sanggha untuk berhenti menahbiskan anak-anak laki-laki yang masih kecil. Dua ratus tahun kemudian, Raja Nissankamalla memohon agar Sanggha berlaku sedikit diskriminatif terhadap siapa-siapa saja yang semestinya direkrut menimbang karena banyaknya ‘orang-orang yang pendusta, licik dan jahat’ telah menjadi biku.
Walaupun ada desakan-desakan seperti itu, Sanggha tetap saja maju terus tanpa mempedulikan itu semua. Di India, dewasa ini segala macam orang yang bereputasi jelek telah muncul di wihara-wihara Thailand dan Burma di negara itu; dan, mereka ditahbiskan dengan syarat bahwa, setelah ditahbiskan menjadi biku, mereka akan segera pindah ke tempat-tempat lain. Orang-orang ini bertindak semau-maunya saja, tanpa pernah berlatih, tanpa mengetahui Dharma, tetapi memakai jubah untuk mencari nafkah dan, biasanya, memberikan  reputasi yang jelek sekali terhadap agama Buddha.

Pada tahun 1975, mantan diktator militer Thailand yang diasingkan Thanom Kittikchorn menjadi seorang biku di Singapora; dan, kemudian ia menyusup masuk kembali ke negaranya. Dengan menjadi biku, ia memiliki sebuah kekebalan de facto  terhadap berbagai tuntutan kriminal terhadap dirinya. Kittikchorn merencanakan untuk kembali meraih kekuasaannya, kemudian lepas jubah dan seterusnya melakukan kudeta.

Pada awal 1990-an, seorang biku asal Thailand memperkosa dan membunuh seorang turis Inggris dan membuang mayatnya ke dalam sebuah gua. Setelah tertangkap, terungkaplah bahwa ia sebenarnya adalah seorang pecandu heroin dengan catatan kriminal yang begitu panjang, dan baru saja dibebaskan dari penjara beberapa minggu sebelum kejadian itu. Walaupun memiliki latar belakang ini, tampaknya dia tidak mendapat kesulitan untuk ditahbiskan menjadi biku.

Setelah insiden ini, barulah adalah permintaan, yang disuarakan melalui pers, agar sistim pentahbisan biku mulai direformasi; namun, seperti biasanya, badan keagamaan tertinggi di Thailand yang mulai semakin lemah gaungnya itu tidak melakukan apapun juga.[‡‡]
Ketika pertama sekali saya tiba di Singapora, saya mengenal seorang biku asal Thailand yang bicara sedikit keras, tetapi orangnya agak periang. Saat pembicaraan berlangsung, saya bertanya padanya mengapa ia bergabung ke dalam Sanggha. Ia menjawab bahwa dirinya dan seorang temannya telah menginvestasikan seluruh uangnya untuk sebuah bisnis klab malam di Bangkok. Namun, segera setelah pembukaan klab malam itu, sebuah sungai meluap dan banjir pun terjadi. Air setinggi enam inci menggenangi lantai selama berminggu-minggu lamanya; dan, investasinya pun hanyut bersama dengan air itu.
Katanya, ia menjadi biku semata-mata karena mencoba mengumpulkan cukup uang untuk memulai kembali bisnis klab malam itu. Setiap bulan, ia datang ke Singapura dengan sebuah koper besar penuh berisi jimat-jimat dan patung-patung pembawa rezeki untuk dijual kepada orang Tionghoa Singapura yang mempunyai keinginan yang tak pernah puas terhadap hal-hal seperti itu.

Yang menarik tentang biku ini adalah bahwa ia cukup berterus terang mengenai alasannya menjadi biku. Ia membicarakannya, sebagaimana juga halnya dengan banyak biku Thailand, seolah-olah hal itu adalah hal yang paling wajar di dunia ini. Kadang-kadang menjadi biku dapat pula mendatangkan keuntungan—walaupun keuntungan tersebut datangnya semata-mata karena nasib baik saja, bukan karena manajemen yang baik.
Pernah sekali saya mengenal seorang biku Thailand yang sangat menyenangkan. Matanya yang sebelah kiri mengalami cedera parah; dan, suatu hari saya menanyainya mengenai hal itu; dan, ia pun bercerita kepada saya. Dulunya ia adalah seorang anggota kelompok penjahat dan, ketika menembak dengan sebuah senjata laras panjang, senjata itu meledak di wajahnya dan hampir saja membutakannya. Akhirnya, polisi datang ke orang tuanya dan memberitahu mereka bahwa polisi telah bosan menangkapnya. Bila polisi menangkapnya sekali lagi, maka mereka akan langsung saja menembaknya.

Karena takut dan supaya dapat menghindari keadaan yang kian memanas itu, akhirnya ia bersembunyi di dalam sebuah wihara dengan menjadi biku. Di Thailand para penjahat kadang-kadang menganggap bahwa jubah biku itu dapat memberikan perlindungan sementara kepada mereka dari pengejaran polisi. Dalam kasus teman saya ini, guru pembimbingnya kebetulan sekali adalah seseorang yang terampil dan penuh kasih sayang.
Sang guru memintanya untuk mengawasi para biku yang masih kanak-kanak usianya. Ia senang dapat menjadi seorang abang yang besar untuk adik-adik kecil tersebut; dan, hal ini rupanya memberinya kesempatan untuk mengembangkan sifat-sifatnya yang baik. Pada waktunya, ia pun semakin menghargai hidup kewiharaan dan, dengan dukungan sang guru tersebut, ia mulai mempelajari Dharma, menjadi tertarik untuk belajar bermeditasi dan, dua puluh tahun kemudian, ia masih tetap seorang biku—dan, seorang biku yang baik pula.
Memang, umumnya, ada berbagai macam orang yang tadinya tidak cocok; namun, akhirnya, setelah menjadi anggota Sanggha, mereka pun berubah menjadi baik seperti itu. Seorang biku kepala yang tidak asal pilih saja akan terlebih dahulu memeriksa latar belakang seorang calon biku dan, mungkin, sekalian memintanya untuk menunggu beberapa lama, supaya ia dapat melihat apakah calon tersebut cocok untuk menjadi biku. Winaya telah mengatur bagaimana semestinya hal ini dilakukan; tetapi, lagi-lagi ini merupakan sebuah contoh bahwa aturan yang baik biasanya tidak diindahkan.

Siapapun yang berusia di atas dua puluh tahun dan mempunyai keinginan untuk menjadi biku biasanya langsung diberikan pentahbisan sebagai samanera; dan, segera setelah itu, akan diberikan pentahbisan penuh untuk menjadi biku. Seperti juga hal-hal lain dalam tradisi Therawada, penekanannya semata-mata adalah pada bagaimana supaya prosedur itu dilakukan dengan benar. Tetapi, kiranya maksud di belakang pelaksanaan prosedur itu tidak difahami dengan benar.

Sama seperti para penduduk lokal, orang-orang Barat pun dapat dengan mudahnya muncul di sebuah wihara Therawada di Asia; dan, hampir dengan seketika itu pula mereka dapat ditahbiskan menjadi biku. Sejalan dengan Winaya, seorang calon akan ditanya apakah dia manusia, apakah dia laki-laki, dan seterusnya. Tetapi, kepadanya tidak akan ditanyakan—apa yang oleh orang-orang yang paling cerdas dianggap sebagai pertanyaan-pertanyaan yang lebih berhubungan—misalnya, ‘Apakah anda punya catatan kriminal? Apakah anda pernah menderita penyakit jiwa? Bisakah anda membaca dan menulis? Apakah anda benar-benar ingin menjadi biku?’

Yang lebih mengagetkan lagi adalah kepada calon biku tersebut pun tidak akan ditanyakan apakah ia benar-benar beragama Buddha! Dimana lagi di dunia ini bisa didapati kenyataan bahwa siapapun juga bisa menjadi ulama dalam sebuah agama; kendatipun, yang bersangkutan belum mengetahui agamanya sendiri?

            Tujuan utama dari adanya institusi Sanggha itu adalah untuk menyediakan lingkungan yang optimal guna merealisasi  Nirvana dan juga untuk mendapatkan sejumlah orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan siar Dharma. Setidak-tidaknya dalam tradisi Therawada, tujuan-tujuan yang agung ini sudah lama menjadi tidak berarti lagi.
Di Sri Lanka, secara meluas orang percaya bahwa kita tidak mungkin lagi mencapai pencerahan. Dan, yang mempercayai ini bukan hanya orang-orang yang sederhana saja. Sekali waktu saya menghadiri ceramah di Colombo oleh biku Narada Thera dari Vajirarama yang terkenal itu. Dalam ceramahnya, ia mengatakan bahwa dewasa ini untuk menjadi sotapanna pun sudah tidak mungkin lagi. Richard Gombrich menemukan bahwa banyak orang di Sri Lanka juga mempunyai pandangan yang sama.

Kenyataan bahwa meditasi kiranya telah jarang dilakukan sangatlah erat hubungannya dengan keyakinan yang meluas bahwa agama Buddha sedang mengalami kemunduran. Seorang gadis desa mengatakan bahwa dalam sebuah zaman dimana tidak ada lagi Buddha, seseorang harus terus mencoba, namun ia hanya mungkin memperoleh kemajuan yang terbatas sekali. Lebih jauh lagi, mayoritas biku, setidak-tidaknya para biku yang sikapnya secara umum masih dapat dikatakan tradisional, percaya bahwa sasana sejauh ini telah mengalami kemunduran sehingga tidak mungkin lagi manusia dapat mencapai Nirvana. Pendapat ini sangatlah umum di antara umat awam…Seorang biku malahan mengatakan secara spesifik bahwa hingga (Metteyya) muncul nanti, manusia bahkan tidak akan mungkin menjadi sotapanna. Biasanya dikatakan bahwa arahat yang terakhir adalah Maliyadeva  (abad ke-1 SM). Yang lainnya mengatakan bahwa barangkali masih terdapat arahat-arahat manusia; tetapi, hal ini kemungkinannya sangatlah kecil dan/atau mereka pun tak dapat ditemukan. Seorang biku telah membandingkan sasana dengan sebuah organisme yang sudah rusak; sangat sedikit sekali orang yang dapat mencapai nirvana sekarang ini—seperti layaknya sebuah pohon yang telah mandul akibat buahnya dipetik terlalu sering, dan seperti layaknya anak yang ketujuh tentu akan lebih lemah fisiknya dibandingkan dengan anak yang pertama lahir. Rata-rata pandangan mereka, barangkali, adalah seperti pandangan biku yang mengatakan bahwa memang bukanlah tidak mungkin bagi seseorang untuk merealisasi nirvana sekarang ini, namun karena ‘praktek keagamaannya’ lemah sekali, maka sangatlah sulit untuk mempercayai bahwa masih ada manusia hidup sekarang ini yang telah menjadi arahat’ (cetak miring seperti pada teks asli).[§§]

            Saya sendiri telah mendengar pandangan-pandangan seperti ini beribu-ribu kali di Sri Lanka. Bahkan Buddhaghosa sendiri tidak benar-benar percaya bahwa latihan dalam tradisi Therawada dalam membimbing orang menuju Nirvana. Karyanya Visuddhimagga seharusnya menjadi sebuah panduan langkah demi langkah menuju pencerahan. Tetapi, dalam catatan penutupnya ia mengatakan bahwa ia berharap agar pahala karma yang diperolehnya dari menulis Visuddhimagga akan membawanya lahir kembali di alam surga; sehingga ketika Buddha Metteyya muncul nanti, ia dapat mendengarkan ajarannya; dan, barulah setelah itu, ia berharap mencapai pencerahan.

Jadi ada suatu keadaan yang sangat aneh disini—sebuah keadaan yang saya percaya belum pernah terjadi sebelumnya dimana pun juga bahwa mayoritas penganut sebuah agama, termasuk para ulamanya sendiri, telah secara terbuka mengatakan bahwa agama mereka tidak lagi sanggup membimbing orang menuju kepada tujuan akhir yang dikehendaki bersama itu. Kalau begitu, apakah masih mengherankan bahwa banyak sekali biku yang keyakinannya tampak begitu lemah? Cara satu-satunya yang mungkin dapat menjelaskan mengapa keyakinan tampaknya telah mengalahkan dirinya sendiri itu adalah bahwa pastilah ada alasan-alasannya mengapa hal tersebut terjadi pada awalnya.
            Di Thailand dan Kamboja, keadaannya sedikit berbeda, tetapi anggapan umum mengenai apa sebenarnya pencerahan itu pun sangatlah khas sekali di sana. Luang po yang sudah ujur dan berpenampilan lusuh, tak masalah yang manapun juga, asalkan dipercaya dapat menebak angka lotere dengan benar atau yang dapat melakukan mujizat, langsung saja dianggap sebagai seorang arahat. Sudah barang tentu para pengamat yang lebih teliti akan menilai tingkat spiritualitas dalam Sanggha Thailand dengan cara yang sangat berbeda..

Menurut Paul Breiter, Ajahn Chah dahulu pernah mengatakan, ‘Agama Buddha di Thailand menyerupai sebuah pohon tua yang besar; ia tampaknya mengagumkan, tetapi hanya dapat menghasilkan buah yang kecil-kecil dan masam.’

Bila kita gabungkan pengertian-pengertian seperti ini dengan struktur Sanggha yang fungsinya telah terselewengkan itu, dan dengan praktek-praktek yang sudah ketinggalan zaman dan, bahkan, counter productive itu, maka tidaklah mengherankan bahwa tradisi Therawada memang menghasilkan sangat sedikit guru-guru agung. Orang masih dapat menemukan cendekiawan-cendekiawan yang cerdas di dalam Sanggha, atau umat yang sangat tulus serta orang-orang sederhana yang sangat baik; tetapi, individu-individu yang  dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang atau, bahkan, sotapanna senantiasa amat sedikit jumlahnya.

Buddha dan Aturan-aturan Winaya

            Bahkan Biku Thanissaro sendiri mengakui bahwa Winaya, sebagaimana yang kita miliki saat ini, tidaklah diajarkan oleh Buddha. Beliau mengatakan,  ‘Para ahli sejarah menaksir bahwa Vibhanga dan Khandhaka mengambil wujudnya yang sekarang ini tidak lebih awal dari abad ke-2 SM, dan bahwa Parivara, atau Tambahan-tambahan lainnya—sebuah ringkasan dan pedoman belajar—baru ditambahkan beberapa abad kemudian…’ Dalam mengatakan hal ini, Thanissaro hanya menerima saja apa yang telah diketahui oleh para pakar selama berpuluh-puluh tahun.

Setelah meringkaskan  temuan-temuannya, Von Hinuber mengatakan ‘…kondisi kultural yang melatarbelakangi keempat Nikaya pertama dari Suttapitaka benar-benar lebih tua dibandingkan dengan kondisi kultural yang melatarbelakangi Winayapitaka.’ Ketika Buddha berbicara tentang Winaya, seperti halnya dalam sebutan 'Dharma Winaya, Beliau tidaklah merujuk pada Winaya Pitaka; demikian juga, Buddha tidak merujuk pada Abhidharma Pitaka ketika berbicara tentang Abhidharma.

Winaya dalam bentuknya yang sekarang belumlah ada pada zaman Buddha; dan, demikian juga dengan Abhidharma. Bagi Buddha, Winaya (kedisiplinan) itu semata-mata berarti prilaku yang berdisiplin dan senantiasa penuh dengan kesadaran serta konsisten dengan semangat dalam Dharma itu sendiri. Winaya bukanlah sekumpulan aturan kompleks yang dikodifikasi dan yang berkembang dalam berbagai generasi setelah Buddha wafat.

Kita tidak mengetahui seperti apakah Patimokkha itu dulunya; tetapi, hampir dapat dipastikan bahwa Patimokkha itu terdiri dari sekumpulan ayat yang merupakan contoh-contoh dari ajaran-ajaran Buddha, dan bukanlah sekumpulan aturan (lihat D.II,48-9).  Pada zaman Buddha, tentu saja ada aturan-aturan yang kebanyakan darinya barangkali sama saja dengan aturan-aturan yang diikuti oleh para pertapa pengembara. Winaya Pitaka memang memperlihatkan semua bukti bahwa dirinya merupakan kompilasi yang dikerjakan belakangan.
Ambil, misalnya, aturan mengenai ketentuan untuk menetap pada suatu tempat tertentu selama tiga bulan lamanya pada saat terjadinya angin musim. Orang mengetahui bahwa para pertapa pengembara di India telah menjalankan aturan-aturan tersebut selama berabad-abad lamanya sebelum adanya Buddha. Aturan-aturan itu bukanlah merupakan paksaan-paksaan yang keras dan untuk memaksakan hasil yang secepat-cepatnya; mereka merupakan sebuah kebiasaan yang dilakukan semata-mata karena kepraktisannya. Namun, pada saat Winaya dituliskan, konvensi tersebut pun tiba-tiba menjadi sebuah peraturan yang keras,dan asal-usulnya tak lagi difahami. Akibatnya, apa yang nyatanya sebuah kisah yang sebenarnya tak menarik itu kemudian menjadi penjelasan bagi sebuah aturan kebikuan yang diajarkan secara resmi.

Ambillah sebuah contoh lagi. Winaya mengatakan bahwa anak laki-laki memang dapat ditahbiskan menjadi biku. Tetapi, ini tampaknya sangat bertolak belakang dengan apa yang kita ketahui tentang Buddha. Buddha dan para pengikutnya meninggalkan keduniawiaan karena mereka berkomitmen untuk membebaskan diri dari samsara demi kebaikan semua mahluk. Menyadari betul apa yang mereka ingin lakukan, mereka pun rela meninggalkan segala harapan dan norma yang berlaku di masyarakat serta, kemudian, berkelana mencari kebenaran. Apakah mungkin seorang anak kecil dapat berfikir dan merasakan seperti ini?
Pentahbisan anak-anak kecil menjadi biku mempunyai makna bahwa, pada saat peraturan itu dibuat, menjadi anggota Sanggha telah menjadi sesuatu yang rutin; dan, menjadi biku, setidak-tidaknya bagi beberapa orang, telah merupakan sebuah kebiasaan atau, bahkan, telah menjadi seperti sebuah karir. Dalam sebuah bagian di dalam Winaya, memang ada dikatakan bahwa Sang Buddha mengizinkan dua orang anak laki-laki kecil ditahbiskan menjadi biku karena mereka adalah yatim piatu yang orang tuanya dahulu telah sangat berjasa menyokongi Sanggha (Vin.I,78).

            Di dalam Winaya, ada sebuah ayat yang berbunyi:
Ketika itu Biku Udayin sedang tinggal di dalam hutan. Wiharanya indah sekali—sesuatu untuk dilihat, benar-benar cantik sekali. Ruang pribadinya terletak di tengah-tengah wihara dan dikelilingi oleh bangunan utama dan diperlengkapi dengan kursi malas dan kursi, bantalan kursi dan bantal guling, serta disediakan air untuk minum dan mandi; dan, lagi, kamar-kamar yang lain juga dijaga dengan baik sekali. Banyak orang datang untuk melihat wihara tersebut. Seorang Brahmana dan istrinya mendekati Biku Udayin dan bertanya apakah mereka boleh juga melihat wihara itu. ‘Lihatlah,’ kata biku tersebut dan, setelah mengambil kunci dan membukakan pintu, ia pun masuk…’ (Vin.I,118).

Jadi jelaslah bahwa pada waktu kisah tersebut ditulis, seorang biku masih dapat menempati sebuah rumah yang dibangun dengan baik dengan perabotan yang bagus dan semuanya diamankan dengan gembok dan kunci; dan, ia masih dinyatakan lulus sebagai seorang ‘biku (yang tinggal di) hutan.’ Jelaslah ini memperlihatkan kepada kita sebuah masa ketika gaya hidup para pertapa pengembara yang masih asli itu, setidak-tidaknya bagi beberapa orang, kini hanya merupakan sebuah kenangan masa lampau dan sesuatu yang tidak pernah diperbincangkan lagi.

Cukup menarik, tempat tinggalnya Biku Udayin yang menyenangkan itu. Ini  kedengarannya juga sangat mirip dengan apa yang kadang-kadang dipandang dewasa ini sebagai sebuah ‘wihara hutan’ di Thailand. Kadang-kadang, mereka bahkan menjadi sebuah daya tarik pariwisata setempat.

Tetapi, apabila Winaya, dalam bentuknya yang dikenal sekarang, memang benar-benar diajarkan oleh Buddha, maka untuk dapat bertahan hidup di London atau di Los  Angeles pada abad ke-21, dengan aturan-aturan yang dibuat di India bagian utara pada abad ke-2 atau ke-1 SM, tentu saja Winaya tersebut tidaklah praktis atau, bahkan, tidak akan sesuai.
Ambillah, sebagai contoh, Pacittiya 56 yang melarang seorang biku untuk menyalakan api terkecuali bila dirinya sakit. Kisah aslinya menjelaskan alasan di balik aturan yang sangat aneh ini. Rupa-rupanya, pada sebuah malam musim dingin di masa lampau itu, beberapa biku menyalakan api dengan sebatang kayu tua. Kebetulan ada seekor ular Cobra bersembunyi di dalam kayu tersebut sehingga beberapa saat kemudian ular itu bergegas keluar dan menyebabkan para biku ketakutan setengah mati. Ketika Buddha mengetahui kejadian ini, Ia kemudian melarang para biku untuk membuat api.

Tetapi, apakah masuk akal bila seorang biku yang tinggal di Toronto pada tahun 2001 tidak boleh  menyalakan alat pemanas (atau memberikan isyarat dan sindiran agar umat awam melakukannya untuk sang biku tersebut)? Hanya karena beberapa orang biku di India bagian utara lebih dua ribu lima ratus tahun yang lalu menjadi ketakutan akibat seekor ular melompat keluar dari sebatang pohon tua yang tengah dibakar?

Seorang penganut Thravada akan berargumentasi bahwa hal itu tentu masuk akal. Yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak masuk akal akan dianggap sebagai bukti dari ketidaktulusan dan, barangkali, tidak bermoral. Ketika anda menjadi seorang biku dalam tradisi Therawada, hal pertama dan yang terpenting yang harus anda tinggalkan adalah nalar sehat anda.

            Marilah kita perhatikan sikap Buddha terhadap segala aturan. Dalam Mahaprinibbana Sutta, Beliau mengatakan: ‘Bila dikehendaki, Sanggha diperbolehkan menghilangkan aturan-aturan Winaya yang kecil setelah kepergianKu.’ (D.II,154). Hal ini tampak cukup masuk akal. Peraturan dibuat sesuai dengan kebutuhan; dan, akan diubah bila keadaan-keadaan telah berubah. Inti dari kutipan ini adalah untuk membedakan mana aturan yang penting dan mana aturan yang tidak. Bagi banyak orang, perbedaan antara kedua hal tersebut cukuplah jelas.

Menghindari pembunuhan (Parajika 3) atau mencuri dari mereka ( Parajika 2 ) merupakan, menurut saya, dua peraturan yang sangat penting. Berbaring di tempat tidur dengan kaki yang dapat dilepaskan (Pacittiya 18) atau memiliki tikar yang terbuat dari bahan wol berwarna hitam ( Nissaggiya Pacittiya 12) secara relatif tidaklah penting; bahkan, dewasa ini tidak relevan lagi.

Di dalam Winaya dikatakan bahwa, ketika Sidang Konsili Pertama berlangsung, persoalan mengenai perubahan aturan-aturan kecil itu muncul dalam pembicaraan, tetapi tidak satu pun dari kelima ratus arahat yang hadir dapat menunjukkan mana aturan-aturan yang penting dan mana pula aturan-aturan kecil yang tidak penting. Akhirnya, mereka memutuskan untuk tidak mengubah satu pun peraturan itu. Ini tentu saja sebuah kisah arketip dari pihak Therawada; dan, ini pun banyak memperlihatkan kepada kita seperti apa kiranya kebijaksanaan dan wawasan yang dimiliki oleh para arahat ketika itu.

Dalam Sapurisa Sutta, Buddha mengatakan: 
Misalnya, ada seseorang yang jahat tetapi ahli dalam Winaya dan ia berfikir, ‘Aku adalah seorang ahli dalam Winaya, tetapi yang lainnya bukan,’ dan ia meninggikan dirinya serta merendahkan orang lain. Inilah Dharma bagi orang jahat tersebut. Tetapi, orang yang baik berfikir seperti ini, ‘Ketamakan, kebencian dan kebodohan itu tak dapat dihancurkan karena keahlian dalam Winaya.’ Bahkan bila seseorang bukan ahli sama sekali dalam Winaya, ia masih dapat menjalankan latihan sesuai dengan Dharma, dapat mempraktekkannya dengan benar, dapat hidup sesuai dengan Dharma; dan, oleh karenanya, ia pantas mendapatkan penghargaan dan penghormatan.’ Setelah menjadikan Jalan Buddha hal yang utama dalam hidupnya, ia tidak meninggikan dirinya ataupun merendahkan orang lain. Inilah Dharma bagi orang yang baik itu.’ (M.III,39)

Inilah yang dapat diharapkan oleh seseorang dari Buddha. Kendatipun beberapa aturan memiliki konsekwensi moral dan, karenanya, haruslah ditaati dengan hati-hati; aturan-aturan mengenai etiket untuk memperlancar fungsi-fungsi dalam kehidupan bermasyarakat yang oleh karena tidak memiliki signifikansi moral sudah semestinya diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan. Bila seorang biku atau bikuni ‘membuat Dharma sebagai satu-satunya hal yang utama,’ maka ia benar-benar menjalankan ajaran-ajaran Buddha.
Sekali waktu, seorang biku Vajji datang kepada Buddha dan mengakui bahwa ia tidak sanggup lagi mengikuti segala aturan dalam Winaya. Buddha menjawab, ‘Lalu dapatkah engkau berlatih untuk melakukan kebajikan yang lebih tinggi, untuk memiliki hati-pikiran yang lebih tinggi dan untuk memiliki pengertian yang lebih tinggi?’ ‘Saya dapat melakukannya,’ kata biku tersebut. Buddha kemudian mengatakan, ‘Kalau demikian, berlatihlah untuk mendapatkan ketiga hal tersebut. Bila engkau dapat melakukannya, maka ketamakan, kebencian dan kebodohan akan terpinggirkan dan engkau tidak akan lagi melakukan perbuatan yang salah ataupun terlibat dalam perbuatan jahat yang bagaimanapun juga.’ (A.III,85).

Disini, Buddha mengatakan bahwa bila seorang biku atau bikuni menjalankan Dharma dengan ketulusan dan integritas, dengan atau tanpa menjalankan semua aturan Winaya yang ada pun, ia akan dapat berkembang secara spiritual.

Pembenaran untuk  Winaya

Biku Thanissaro dan para fundamentalis Therawada lainnya mengklaim bahwa pelaksanaan Winaya yang ketat dapat membantu menciptakan keharmonisan dalam Sanggha. Tetapi, tidak ada banyak bukti historis yang dapat membenarkan klaim ini. Buku Thanissaro memuat banyak kalimat yang berbunyi seperti, ‘Pada titik-titik dimana komenteri-komenteri zaman dahulu itu bertentangan dengan Kanon…,’ ‘Salah satu kesulitan dalam mencoba memeriksa berbagai teks adalah terdapatnya poin-poin dimana Vibhanga berbeda dengan kata-kata yang terdapat dalam aturan-aturan Patimokkha, dan komenteri-komenteri tersebut berbeda dengan Kanon,’ ‘Ada banyak wilayah dimana Vibhanga itu tidak jelas dan ini menyebabkan munculnya berbagai penafsiran, tetapi yang sama keabsahannya,’ dan seterusnya.
Tentu saja bagi mereka yang telah menjadikan Dharma sebagai satu-satunya hal yang utama dalam hidup mereka, perbedaan-perbedaan dan kontradiksi-kontradiksi menyangkut aturan-aturan kecil tidak akan menjadi masalah sama sekali. Tetapi orang-orang yang suka sekali mempersoalkan hal-hal yang kecil-kecil dan yang teramat sangat telitinya dapat saja membesar-besarkan masalah yang hanya sekepal itu dan, kemudian, menjadikannya sebuah gunung yang sesungguhnya; dan, itulah kiranya yang biasa dilakukan oleh para penganut tradisi Therawada.

Kebanyakan perpecahan yang terjadi  di dalam Sanggha Therawada disebabkan karena pertengkaran-pertengkaran yang berkaitan dengan aspek-aspek Winaya. Pertengkaran-pertengkaran ini secara khas menyangkut hal-hal yang yang luar biasa sepelenya. Beberapa di antaranya telah terjadi berlarut-larut selama berabad-abad lamanya dan mereka sering menimbulkan pertengkaran yang hebat, kebencian dan, bahkan, kekerasan. 
Biku Thanissaro mengatakannya dengan benar bahwa, ‘Karena alasan tertentu, kendatipun orang cenderung sangat toleran terhadap penafsiran-penafsiran tentang Dharma yang berbeda, mereka dapat pula menjadi sangat tidak toleran mengenai penafsiran-penafsiran mengenai Winaya dan dapat bertengkar dengan hebat mengenai isu-isu yang yang sangat tak berarti ….’

Karena suatu alasan tertentu, orang dapat memperlakukan aturan-aturan yang sifatnya sementara—karena  dimaksudkan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan tertentu—tetapi mengatakan bahwa aturan-aturan tersebut adalah perintah Buddha sendiri serta menjadikannya aturan-aturan yang mutlak secara moral. Mereka kemudian mengklaim bahwa kepatuhan pada aturan tersebut sangatlah penting untuk pencapaian pencerahan. Karena hal inilah, pertikaian pun hampir-hampir tak dapat dihindari.

            Pada abad ke-12, raja Sri Lanka bernama Parakramabahu I mencoba selama bertahun-tahun untuk mempersatukan negerinya. Ketika pada akhirnya ia berhasil dan lalu menjadikan dirinya raja, salah satu tugas awal yang dilakukannya adalah mempersatukan Sanggha. Namun ini tampaknya jauh lebih sulit daripada semua kampanye yang telah dilakukannya dan ia pun merasa sangat jengkel. Ia bahkan tak sanggup mengumpulkan para biku dari berbagai sekte untuk duduk bersama. Akhirnya, dengan memakai berbagai ancaman, dengan menyogok dan menggunakan kekerasan, ia dapat mempersatukan mereka; tetapi, segera setelah sang raja wafat, para biku tersebut terpecah-pecah kembali.
Pertengkaran Ekamsika Parupanu (Satu Bahu Dua Bahu) pada abad ke-18 mengenai cara yang benar dalam memakai jubah berlangsung hingga lebih seratus tahun. Pertengkaran Adhikamasa Vadaya di Sri Lanka pada abad ke-19 yang akhirnya melibatkan petinggi-petinggi dalam organisasi Sanggha di Burma dan Thailand berkaitan dengan sepotong kayu yang membuat sebuah bangunan sima menjadi tidak sah. Persengketaan ini memanas hingga tiga puluh tahun dan, akhirnya, terselesaikan.
Percekcokan yang lain, yang akhirnya mengoyak-ngoyak Sanggha Sri Lanka, terjadi karena ketidaksetujuan mengenai, antara lain, cara yang tepat untuk mempersembahkan makanan kepada para biku.

Pada tahun 1914, sebagai bagian dari sebuah upaya yang gigih untuk mempersatukan Sanggha di Thailand, pemerintah Thailand membangun sebuah wihara dimana para biku dari kedua sekte yang ada dapat hidup bersama sebagai ‘sebuah contoh persatuan dan keharmonisan.’ Namun, sebagaimana kebiasaan yang berlaku, percekcokan yang tak berkesudahan mengenai Winaya segera mengakhiri ikhtiar tersebut.

Pola kejadian yang sama terjadi kembali berulang kali dalam sejarah tradisi Therawada. Ada yang memberi tahu saya bahwa para murid seorang guru terkenal asal Thailand yang dewasa ini sangat populer di Barat suatu ketika bahkan menolak untuk mengikuti acara yang dihadiri raja, bila mereka tidak didudukkan secara terpisah dari para biku yang mempraktekkan Winaya dengan cara yang sedikit berbeda.
        
   Seperti dikatakan oleh Biku Thanissaro, pembenaran lainnya terhadap fundamentalisme atas Winaya adalah bahwa ia dapat ‘membantu mengembangkan hidup berkesadaran dan kehati-hatian dalam perbuatan-perbuatan mereka, kualitas-kualitas yang akan terbawa ke dalam pelatihan hati dan pikiran.’ Klaimnya disini adalah bahwa aturan-aturan tersebut dapat membuat seseorang menjadi lebih berkesadaran atau bahwa aturan-aturan itu dapat merupakan meditasi itu dengan sendirinya. Ini memang benar tetapi adalah juga benar bahwa seseorang dapat saja membalikkan beberapa aturan atau memiliki aturan yang sama sekali berbeda;  dan, aturan-aturan tersebut dapat saja sama kondusifnya terhadap pencapaian hidup berkesadaran (mindfulness). Intinya disini adalah hidup berkesadaran itu sendiri, bukan objek ataupun prilaku yang dijadikan seseorang sebagai sasaran dari hidup berkesadaran tersebut.

Tetapi, aturan-aturan tersebut dapat saja dijalankan dengan kelewat kritisnya sehingga seluruh perhatian tertumpu pada bentuk luaran saja dan tidak pada transformasi di dalam diri kita. Pada kenyataannya, ini pula yang acapkali terjadi. Beberapa orang mengatakan bahwa aturan Winaya yang keras akan membebaskan seorang biku dari kegelisahan dan kekhawatiran; sehingga, dengan demikian Winaya dapat membantunya dalam latihan meditasi. Menurut pandangan ini, setiap perbuatan seorang biku telah diatur secara jelas dan dia tahu harus berbuat apa dalam segala keadaan. Ini dapat membebaskannya untuk berkonsentrasi pada hal-hal yang lebih penting. Namun, siapapun yang pernah tinggal bersama biku-biku yang fundamentalis akan mengetahui betapa tidak benarnya hal ini.
Suatu hari saya pernah tinggal sekamar dengan seorang biku dari Australia yang sangat keras menjalankan Winaya. Suatu hari saya memasuki kamar dan mendapati ia dalam keadaan jauh lebih muram daripada biasanya. ‘Ada apa?’ saya bertanya.

‘Saya telah menjadi tidak suci selama setahun karena tidak mengakuinya,’ begitu katanya. ‘Aturan yang manakah yang telah kamu langgar?’ saya bertanya. ‘Nissaggiya Pacittiya 18,’ ia menjawab; yakni, aturan yang melarang para biku menyentuh emas atau perak; yaitu, uang. Pengakuannya ini mengejutkan saya karena saya tahu bahwa ia benar-benar keras dalam menjalankan peraturan ini.

‘Tetapi, saya tidak pernah melihatmu melanggar aturan itu,’ kata saya. Ia menundukkan kepala dan mengatakan,  ‘Saya telah melakukan itu sejak saya menjadi biku.’  ‘Bagaimana? Kapan?’ Tanya saya lagi. Ia membuka mulutnya dan menunjuk pada sebuah tambalan gigi belakang yang terbuat dari emas yang tampaknya baru saja ia sadari.

Sebuah aturan Winaya menegaskan bahwa seorang biku tidak boleh memakai barang-barang yang menjadi milik Sanggha tanpa menutupnya. Ini tampak seperti sebuah aturan yang cukup masuk akal. Tetapi, cobalah bandingkan hal itu dengan kecendrungan obsesif yang lazim di kalangan penganut Therawada; dan, ini bisa menjadi sebuah persoalan besar.
Saya mengenal seorang biku, lagi-lagi biku yang berasal dari Australia, yang senantiasa menderita sekali akibat aturan ini. Ia selalu tidur dengan gelisah dan, pada pagi harinya, ia bangun dan mendapati seperainya telah lepas dari tempatnya pada malam hari.

Oleh karena itu, tubuhnya menyentuh tempat tidur; yakni, menyentuh barang milik Sanggha. Namun, apabila ia terbangun dan tubuhnya tidak menyentuh tempat tidur secara langsung, ia tetap saja khawatir karena jangan-jangan, pada malam harinya, dia telah melakukannya. Suatu pagi, ia begitu kecewa dan gelisahnya sehingga rasa-rasanya ia hampir saja akan melakukan bunuh diri. Bila saya ataupun biku yang lain tidak bersamanya pada saat itu, kemungkinan saja ia telah melakukannya.


Sedikit menyimpang dari pokok pembicaraan, saya melihat ada dua hal mengenai mereka yang bersikap amat fundamentalis terhadap Winaya. Yang pertama adalah bahwa para fundamentalis tampaknya mempunyai tingkat kemungkinan melepas jubah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan para biku yang sedikit lebih ‘longgar.’ Kedua, dan ini tidak akan mengejutkan siapapun juga yang telah memahami psikologi, bila para fundamentalis itu akhirnya lepas jubah, mereka acapkali akan menjadi liar dan tak jarang bahkan meninggalkan agama Buddha sama sekali. Ini merupakan sebuah contoh dimana orang yang ekstrim terhadap sesuatu pada awalnya, akan menjadi ekstrim pula nantinya terhadap hal lain.


Kedua biku yang disebutkan di atas itu, segera setelah mereka lepas jubah, satu di antaranya kemudian bersikap memusuhi agama Buddha dengan semangat yang berapi-api; sedangkan, yang kedua lama kelamaan pun meninggalkan agama Buddha.
    
       Bukan tidak sering para biku yang keras menjalankan Winaya itu mengakui telah melanggar beberapa aturan yang tidak jelas walaupun mereka melakukan pelanggaran tersebut secara tidak sengaja. Ini dilakukan untuk membebaskan mereka dari perasaan gelisah bahwa mereka barangkali telah melanggar aturan-aturan tersebut. Konon pada masa Raja Monkut menjadi biku, ia minta berkali-kali ditahbiskan dan lalu lepas jubah hingga sebanyak hampir tiga puluh kali. Raja Monkut tidak terlalu yakin apakah upacara-upacara pentahbisannya telah dilakukan dengan benar dan apakah, oleh karenanya, ia telah dapat dikatakan menjadi benar-benar seorang biku.

Kaum fundamentalis Winaya tampak banyak menghabiskan waktu merenungkan hal yang kecil-kecil menyangkut aturan-aturan yang tak jelas; dan, dengan gelisah, terus memandangi jam dinding serta membicarakan yang mana dari skenario hipotetis yang banyak itu yang merupakan atau tidak merupakan sebuah pelanggaran dari aturan-aturan yang ada.

Pembicaraan dapat berkisar dari topik apakah menelan odol gigi, tatkala sedang menggosok gigi, termasuk melanggarkan aturan mengenai larangan makan setelah tengah hari; hingga, topik bagaimanakah menghitung waktu untuk berhenti makan apabila seorang biku tinggal di sebuah tempat di atas Garis Kutub, dimana hitungan satu hari bisa menjadi beberapa minggu lamanya.

Lalu, ada pokok pembicaraan mengenai apakah dengan meletakkan sebuah sapu tangan di kursi dan lalu duduk di atasnya dapat membuat seorang biku lebih tinggi daripada umat awam yang kebetulan duduk pada jenis kursi yang sama.

Saya tahu ada sebuah wihara di Eropah dimana di dapurnya terdapat dua buah toples madu; yang satu diberi label ‘Madu Pagi’ dan yang lain ‘Madu Siang.’ Alasan untuk pengaturan yang aneh ini adalah karena para biku dilarang untuk makan makanan yang padat selepas tengah hari; tetapi, mereka diizinkan meminum madu (Nissaggiya Pacittiya 23). Ketika seorang biku mengoleskan madu di atas rotinya pada pagi hari, serpihan roti mungkin saja ikut terjatuh ke dalam toples tersebut. Jika serpihan roti tadi termakan saat biku tersebut minum madu pada siang harinya, maka ia akan melanggar aturan Winaya. Jadi, untuk menghindari perbuatan dosa tersebut itu, maka kedua toples itu harus dipisahkan.

Pengaturan-pengaturan seperti itu menandakan tingkat kekhawatiran yang tidak proporsional terhadap pentingnya aturan Winaya dan juga terhadap ukuran serpihan roti yang barangkali secara tidak sengaja masuk ke dalam pencernaan. Jauh dari memberikan kelegaan, pelaksanaan Winaya secara fundamentalistis tak jarang menimbulkan kecemasan, kekhawatiran, perasaan bersalah dan prilaku yang obsesif.

Sebuah lagi pembenaran lain yang diberikan terhadap pelaksanaan Winaya secara keras adalah bahwa, dengan tidak memperbolehkan seorang biku meminta apapun, hal ini akan membangun sikap pasrah dan menipisnya rasa keakuan. Lagi-lagi, ini bisa saja benar; namun, kebalikannya  yang justru lebih sering terjadi.

Para biku yang menjalankan Winaya secara keras biasanya menjadi sangat ahli dalam meminta apapun yang mereka inginkan dan sekaligus memaksakannya tanpa mempedulikan apa sebenarnya yang dikatakan dalam aturan-aturan itu. Karena ada banyak cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan—misalnya, melalui isyarat, sindiran, tatapan yang memelas, dan kerutan-keruta pada wajah—dan, seperti akan kita lihat lebih jauh di bawah ini nanti, tradisi Therawada kiranya telah mengembangkan sebuah budaya untuk mengelabui aturan-aturan tersebut.

Kemunafikan

Anda harus terlebih dahulu tinggal di dalam sebuah wihara Therawada untuk menyadari efek yang secara spiritual mematikan tersebut sebagai akibat dari formalisme Winaya yang telah berlangsung selama berabad-abad lamanya. Tidak ada tempat yang lebih tepat lagi untuk melihat kemunafikan yang merajalela kecuali dalam kehidupan di dalam wihara. Jadi, tatkala memaksakan agar sebuah aturan Winaya diikuti dengan setepat-tepatnya dan sefanatik-fanatiknya, biasanya para biku sendiri malahan tidak mengindahkan aturan-aturan yang terutama tidak sesuai dengan keinginan mereka.  
Sebagai contoh, salah satu aturan dalam Winaya mengatakan bahwa  ‘engkau tidak boleh melakukan perjalanan dengan sebuah kenderaan. Barangsiapa yang melakukan perjalanan dengan berkenderaan, maka ia melakukan sebuah pelanggaran  Dukkhata.’ (Vin.I,190) ‘Kenderaan’ disini berarti segala macam bentuk kendaraan, apakah yang beroda, yang dikendalikan manusia atau yang ditarik oleh hewan. Ekuivalen modernnya barangkali adalah mobil, bus, kereta api, dll.

Tetapi, para biku senang sekali bila para umat membawa mereka bepergian dengan mobil. Sanggharaja Thailand dan Maha Nayaka dari Sri Lanka tidak merasa cemas mengenai bepergian dengan mobil Mercedes yang dibawa oleh seorang supir mereka. Setahu saya tidak ada seorang pun yang berupaya untuk mempermasalahkan aturan tersebut apalagi dengan cara-cara yang biasanya diwarnai oleh cara pikir yang tidak masuk akal dan cenderung dicari-cari.

Seperti halnya dengan aturan mengenai hanya diperbolehkannya mempunyai satu set jubah saja. Aturan ini pun diabaikan. Kemudian, ada juga praktek-praktek dimana para biku kiranya sangat tunduk pada detil-detil aturan tertentu, tetapi mereka melupakan tujuan dan maksud yang sebenarnya dari aturan-aturan itu.

Suatu ketika, saya tinggal di sebuah wihara di Sri Lanka dimana para biku selalu dengan amat teliti memeriksa hewan-hewan kecil yang terdapat pada ember-ember yang telah penuh berisi air sumur sebelum mengguyur air tersebut ke atas kepala mereka untuk mandi ( Pacittiya 20). Suatu hari, salah seorang biku menderita penyakit cacingan. Ia melaporkan hal tersebut kepada penjaga wihara yang rupanya telah diajari cara untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan seperti ini.

Penjaga wihara lalu membawakan sebuah botol obat cacing, mencelupkan labelnya ke dalam air, lalu mengisi beberapa botol serupa lainnya namun yang sudah tak berlabel dengan air; dan, kemudian meletakkan semua botol itu bersama-sama di kamar biku yang menderita cacingan tersebut. Selama beberapa hari ke depan, biku tersebut akan mengambil botol-botol tersebut satu demi satu, tetapi secara acak, dan meminumnya hingga isi dari semua botol tersebut habis. Dengan cara ini, biku tersebut dapat membunuh cacing-cacing yang ada di tubuhnya, tetapi tanpa melanggar aturan-aturan Winaya.

Tetapi, kemunafikan yang sebenarnya terjadi jauh lebih parah lagi dibandingkan dengan hal itu. Para biku Therawada yang keras disiplinnya rupa-rupanya juga telah menerbitkan sendiri buku-buku yang memberikan instruksi-instruksi kepada umat awam supaya umat awam dapat membantu para biku tersebut dalam memperdaya aturan-aturan yang tidak menyenangkan mereka.

Buku berjudul TheBikus’ Rules - A Guide for Laypeople yang ditulis oleh Ariyesako adalah sebuah contoh yang baik untuk buku-buku semacam itu. Dalam satu bagian buku tersebut kepada pembacanya diinformasikan bahwa para biku tidak diizinkan untuk menggali tanah ataupun meminta orang lain melakukannya untuk mereka (Pacittiya 10). Tetapi, bila seorang biku menginginkan sebuah lubang untuk menanam pohon, sebagai contoh, apa yang harus dilakukannya? Ia tidak dapat meminta seseorang untuk melakukannya; dan, orang tersebut pun tidak akan mengetahui keinginan biku itu.

Jalan keluarnya adalah dengan mengajari umat awam apa yang dapat dinamakan pendekatan ‘wink wink, nudge nudge’ (‘dengan kedipan mata dan isyarat’)  terhadap Winaya. Izinkan saya mengutip langsung dari buku Ariyesako tersebut sebagai berikut:
‘Memang…diizinkan kepada para biku untuk memberikan isyarat bagi para umat awam atau para samanera mengenai hal-hal yang perlu dilakukan sepanjang kata-kata atau isyarat-isyarat itu tidak berupa sebuah perintah. Jika para biku menginginkan agar jalan-jalan dikosongkan, atau agar pekerjaan penting dapat dilakukan di atas tanah, atau agar tanah lapang (untuk pencegahan api kebakaran) dibuatkan, dan lain-lain, maka umat awam yang ingin membantu haruslah dapat mencari isyarat-isyarat dan petunjuk-petunjuk mereka.’ 
Biku Thanissaro mengusulkan sebuah strategi yang sama untuk melaksanakan aturan Winaya, tanpa merusak pepohonan. Anda dapat menunjukkan secara tidak langsung bahwa rumput-rumput perlu dipotong (‘Coba lihat alangkah tingginya rumput-tumput itu’) atau bahwa sebuah pohon perlu dipangkas (‘Ranting pohon ini menjadi penghalang’) tanpa secara jelas memberikan perintah untuk memotong pohon tersebut.  Dengan kata lain, ini merupakan aturan lain dimana seseorang dapat menghindari pelanggaran dengan menggunakan kappiya vohara; memakai kata-kata secara benar. (Dalam kedua kutipan di atas, tanda cetak miring adalah milik saya).

Tetapi, mengapa aturan-aturan ini diberlakukan pada mulanya bila, pada akhirnya, seseorang toh terpaksa mengakal-akali aturan-aturan Winaya seperti itu? Kaum fundamentalis Winaya mengatakan bahwa aturan-aturan yang keras tersebut dapat menumbuhkan rasa ikhlas menerima apa adanya dan membangkitkan disiplin. Tetapi, serangkaian tipu-daya seperti yang disebutkan di atas itu justru secara tegas memperlihatkan bahwa mereka hanya membantu menciptakan semacam mentalitas orang Farisi yang munafik.

Walaupun demikian, hal tersebut di atas bukanlah hal yang baru sama sekali; karena, ia mempunyai sebuah tradisi yang cukup panjang dalam Therawada. Komenteri-komenteri kuno untuk Winaya dan petunjuk-petunjuk Winaya tradisional memberikan begitu banyak instruksi serupa mengenai bagaimana caranya mengelak dari aturan-aturan Winaya itu.
Cara lain untuk mengakal-akali aturan Winaya adalah dengan mengutak-atik definisi-definisi. Biku Thanissaro memberikan sebuah contoh mengenai kapan hal tersebut dapat dilakukan. Sekhiya 73 mengatakan bahwa seorang biku tidak boleh buang air besar atau air kecil dalam keadaan berdiri, bila ia tidak sedang sakit. Tetapi, bila anda berada di negara Barat dan anda harus buang air kecil, apakah sekat-sekat berbentuk segi empat (yang hanya pas untuk tempat berdiri) dalam toilet umum itu harus dirubuhkan terlebih dahulu? Biku Thanissaro mengusulkan agar anda menganggap diri anda dalam keadaan ‘sakit’ saja sehingga anda dapat pergi ke toilet dan merasa lega, dengan hati nurani yang jernih, tanpa melanggar aturan Winaya sama sekali.

            Tidaklah mengherankan bahwa kemunafikan terbesar di dalam Sanggha Therawada masih berkisar seputar masalah uang. Seperti telah kita lihat di atas, ada demikian banyak biku yang secara terbuka menerima dan memakai uang; dan, dalam pengertian ini, setidak-tidaknya mereka jujur dan realistis. Terhadap hal yang satu ini hampir seluruh biku bersedia untuk bersikap fleksibel. Karena itu, mayoritas biku akan dianggap munafik bila tidak bersikap demikian terhadap uang, tetapi mereka masih saja membesar-besarkan peraturan-peraturan lain yang sama usangnya atau peraturan yang lebih tak penting lainnya.

Kaum fundamentalis yang menyombongkan diri mereka sebagai yang ‘murni’ dan yang ‘menjalankan Winaya’ kiranya adalah yang paling munafik dalam hal ini. Ada dua cara yang dipakai para biku untuk mengelak dari peraturan mengenai uang. Yang paling lazim adalah dengan meminta umat awam memberikan sumbangan uang di dalam sebuah amplop sehingga, dalam pengertian yang sangat harfiah, biku tersebut tidak akan ‘menyentuh’ uang tersebut.

Saya pernah mengenal seorang biku yang menyimpan sepasang alat penjepit sehingga ia dapat menghitung pemberian-pemberian yang diterimanya tanpa harus bersentuhan secara langsung dengan uang. Di dalam bakti sala utama di dalam wihara-wihara Therawada biasanya selalu terdapat sebuah kotak besar dengan amplop-amplop yang telah disediakan, sehingga orang dapat memasukkan uang ke dalamnya sebelum mempersembahkannya kepada para biku.

Cara yang kedua dan yang dipakai oleh kaum fundamentalis yang lebih canggih adalah dengan menyerahkannya kepada seorang akuntan pribadi. Saya mengenal para biku yang ‘keras disiplinnya’ yang melakukan perjalanan-perjalanan untuk memberikan kotbah. Mereka juga melakukan upacara-upacara pemberkahan atau penggalangan dukungan untuk membantu pembangunan wihara-wihara. Para biku itu tahu bahwa mereka akan mendapatkan uang. Mereka akan mendapatkan keuntungan dari uang yang disumbangkan oleh umat awam. Para biku tersebut memiliki kontrol sepenuhnya atas bagaimana uang tersebut harus dibelanjakan; dan, mereka menggunakan rekening bank dan, secara hati-hati untuk tidak berhubungan secara fisik dengan satu sen pun uang hasil pemberian itu.
Para biku tersebut tentu mengingatkan seseorang pada John D. Rockefeller yang, ketika ia telah menjadi seorang multi-jutawan, tidak pernah lagi membawa-bawa uang ataupun membelanjakan uang apapun.

Satu hal yang barangkali meringankan dalam kaitannya dengan kemunafikan penganut Therawada tersebut adalah, setidak-tidaknya, ia memberikan kesempatan bagi kita untuk benar-benar dapat tertawa. Suatu ketika, ketika saya tiba di sebuah kota tertentu di Asia Tenggara, saya tak punya pilihan melainkan tinggal di sebuah wihara Thailand yang besar, kaya dan yang sangat populer.

Sehari setelah kedatangan saya, biku kepala memberi tahu saya bahwa saya harus menemaninya dan beberapa biku lainnya ke rumah seseorang untuk tujuan menerima dana. Setelah kami selesai makan dan siap meninggalkan rumah tersebut, perempuan pemilik rumah tersebut yang sudah memegang sejumlah amplop berdiri di pintu sambil membungkuk memberi hormat kepada setiap biku yang melintas di depannya. Perempuan tersebut menjatuhkan sebuah amplop ke dalam tas bahu yang telah terlebih dahulu dibukakan untuknya. Saya tidak memiliki tas bahu sehingga saya mengeluarkan tangan untuk meraih amplop tersebut. Perempuan itu merasa ragu sekejap sebelum memberikan amplop itu pada saya; karena, ia tidak yakin apakah telah ‘melakukannya dengan benar.’
Biku kepala tersebut marah-marah kepada saya sepanjang perjalanan kami pulang ke wihara, karena saya telah menerima amplop tersebut secara langsung yang, menurutnya, ‘bertentangan dengan Wini’ (yakni, Winaya). Segera setelah kami tiba kembali di wihara, ia langsung mencarikan sebuah tas bahu, melemparkannya ke arah saya dan, dengan berang berkata, ‘Wini! Kamu harus mempraktekkan Wini!’ Lalu, ia mengomel dalam bahasa Thailand mengenai para biku ‘farang.'

Dua malam setelah itu, saya terbangun oleh sebuah suara keras. Saya meraba-raba jam dinding untuk melihat sudah jam berapa dan lalu mengetahui bahwa saat itu sudah jam 01:30 dini hari. Saya berbaring di tempat tidur sebentar sambil memikirkan suara aneh apa itu yang berasal dari lantai bawah. Akhirnya, saya bangun dari tempat tidur dan melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Begitu saya melewati pojok dan menuruni tangga, saya begitu terperangah dengan sebuah pemandangan yang belum pernah saya lihat sebelumnya.

Di atas sebuah meja besar di ruang makan, ada setumpuk uang logam dan uang kertas yang tingginya barangkali mencapai lima atau enam inci. Uang-uang logam dan uang-uang kertas itu ditebarkan dari ujung meja yang satu ke ujung meja yang lainnya. Panjang meja keseluruhannya mencapai sekitar dua puluh lima kaki. Semua biku yang ada di sana duduk mengelilingi meja; mereka sedang menghitung uang tersebut dan, kemudian, menyusunnya ke dalam tumpukan-tumpukan uang yang rapi. Kepala wihara, sementara itu, duduk di ujung meja yang lebih jauh dengan sebatang rokok di mulut dan sebuah buku catatan di tangannya. Kepala wihara tersebut sedang menjumlahkan semua perolehan bulan tersebut dari semua kotak dana yang telah diletakkan di lantai dengan posisi dibalik.
Suara aneh yang telah saya dengar itu rupanya adalah suara gemerincingan ratusan uang logam yang sedang dikumpulkan dan dihitung. Saya tak dapat menahan tawa dan lalu saya kembali ke kamar saya. Sambil berbaring di tempat tidur untuk tidur kembali, saya melafazkan mantra Therawada yang sudah amat tua; yaitu, Wini, Wini, Wini, Wini!    
            Sudah barang tentu semua kepura-puraan dan kemunafikan ini dapat dengan mudah dihindari. Bila seorang biku memiliki komitmen yang sungguh-sungguh dan memiliki ketulusan, ia seharusnya dapat menggunakan uang tersebut pada saat uang tersebut benar-benar diperlukan; dan, ia tidak tergoda olehnya. Uang dapat saja menyentuh tangannya, tetapi tanpa menyentuh hatinya. Dengan menjalankan aturan-aturan secara amat ketat, sang biku tidak akan dengan sendirinya mengubah pikirannya itu; malahan, pada kenyataannya, hal itu bisa-bisa menjadi sebuah tameng untuk menutupi kelicikan, ketakfleksibelan, sifat merasa menang sendiri dan keadaan-keadaan negatif lainnya.

Ritual-ritual

Orang sering mendengar bahwa penganut tradisi Therawada tidak suka dengan tradisi Mahayana, karena tradisi Mahayana banyak sekali memiliki ritual-ritual. Saya berpendapat disini bahwa ritual bahkan lebih menyatu dan lebih lazim dalam tradisi Therawada daripada di dalam tradisi Mahayana. Namun, sebelum saya lanjutkan, tentu penting sekali kita mendefinisikan apa sebenarnya ritual itu.

Bila sebuah perbuatan dilakukan demi sebuah tujuan tertentu, maka perbuatan itu dapatlah dianggap penting dan memiliki arti. Namun, apabila perbuatan yang sama dilakukan tanpa mempedulikan apakah perbuatan tersebut mencapai tujuannya semula; atau, apakah tujuannya tersebut telah menjadi mubazir, maka perbuatan tersebut dapatlah dikatakan sebagai ritual.

Berdasarkan definisi tersebut, maka cara kebanyakan aturan Winaya dilaksanakan dapatlah memenuhi syarat untuk disebut sebagai ritual-ritual. Ambillah sebagai contoh aturan yang melarang seorang biku untuk memakan apapun bila makanan tersebut belum ditawarkan secara formal kepadanya (Pacittiya 40).

Bila saya sedang berjalan di sebuah kebun buah-buahan dan secara sambil lalu memetik sebuah apel, atau bila saya mengambilnya langsung dari atas tanah, maka pemiliknya mungkin akan marah, dan saya akan mendapatkan kesulitan. Lebih lanjut, pemilik kebun buah-buahan tersebut mungkin akan mendapatkan kesan yang jelek tentang Sanggha. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, maka aturan Winaya tersebut dapat saja memiliki arti yang penting sekali.

Tetapi, katakanlah, saya diundang oleh seorang teman untuk makan di rumahnya dan saya menerima undangan tersebut. Di rumah tersebut, hanya ada kami berdua saja. Ia mempersiapkan makanan dan, setelah itu, ia menawarkannya di depan saya sambil berkata, ‘Ini makan siangmu.’ Ketika ia menaruh piring di depan saya, maka tidak ada sedikitpun keragu-raguan dalam benak saya bahwa memang makanan tersebut diperuntukkan bagi saya sendiri. Saya menganggap bahwa makanan tersebut telah diberikan kepada saya terlepas dari apakah makanan tersebut telah diberikan secara langsung ke tangan saya atau tidak.
Bila saya meminta agar makanan tersebut ‘dipersembahkan kepada saya secara formal’ (yakni, dengan kedua belah tangan dan diletakkan secara langsung di tangan saya), atau bila ia sendiri yang meminta agar ia sekali lagi ‘mempersembahkan makanan tersebut secara formal’, maka perbuatan tersebut akan berhenti mempunyai makna ataupun manfaat. Barangkali, perbuatan tersebut pun akan terasa sangat berlebihan. Pendek kata, perbuatan itu akan menjadi semata-mata perbuatan ritual.

            Ambillah sebuah contoh lagi, tentang Vassa dan Kathina. Institusi Sanggha pada mulanya adalah sebuah organisasi para biku pengembara dan selama berabad-abad ia tetap saja tak berubah. Selama musim monsoon (angin musim) di India, ketika melakukan perjalanan masih merupakan sesuatu yang sulit, para biku akan menetap pada sebuah tempat tertentu selama tiga bulan. Setelah berakhirnya musim tersebut, sebelum mereka melanjutkan kembali perjalanan-perjalanan mereka, umat awam akan menawarkan mereka jubah baru dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Pada masa itu, perayaan Kathina dan Vassa sangatlah berarti dan bermanfaat, dan mereka pun sangat diperlukan. Tetapi, sekarang ini keadaan sudah sangat berubah. Di India dan terutama lagi di Sri Lanka dan Thailand, jalan-jalan, jembatan-jembatan dan alat pengangkutan sama saja bagusnya baik pada saat terjadinya musim monsoon maupun pada saat seterusnya sepanjang tahun.

Apalagi, seperti laiknya orang-orang biasa, para biku dewasa ini pun sudah dapat bepergian dari satu tempat ke tempat lain dengan mobil, bus, kereta api, dst. Namun, para biku memang tidak mengadakan perjalanan selama masa Vassa berlangsung. Beberapa biku Therawada dewasa ini tinggal di tempat-tempat dimana dari bulan Juli hingga Oktober tempat-tempat tersebut malahan sedang dilanda musim kering. Namun, tetap saja para biku harus menjalani masa Vassa. Di Sri Lanka, musim monsoon (angin musim) terjadi dua kali dalam setahun, sehingga para biku justru menjalankan Vassa yang kedua, bukan yang pertama..

Sekarang ini, hampir tidak ada lagi biku yang mengembara. Mereka umumnya adalah pemilik sah dari wihara-wihara dan, sekalipun bukan, tetap saja mereka memiliki hak penuh untuk tinggal menetap dalam sebuah wihara tertentu; dan, bisa saja para biku tersebnut menghabiskan seluruh hidupnya disana. Begitupun, tetap saja Kathina dilaksanakan pada akhir masa Vassa. Para biku tersebut seolah-olah hanyalah menetap sementara saja. Dengan kata lain, melaksanakan Vassa dan menjalankan Kathina telah menjadi ritual semata-mata.

Sekarang dapatlah kita berargumentasi dan secara masuk akal pula, menurut saya, bahwa praktek-praktek keagamaan yang usianya telah tua sekali dapatlah diberikan  makna-makna baru. Ini bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi juga sah untuk dilakukan. Namun, bila seseorang akan memberikan makna baru bagi Kathina maupun Vassa (baca: fungsi utama dari pelaksanaan Kathina dewasa ini tampaknya hanyalah pengumpulan dana), apakah kita perlu memaksakan agar setiap detil dari praktek-praktek yang telah berusia sangat tua dan ketinggalan zaman itu dijalankan? Seorang penganut tradisi Therawada tentu saja akan beradu pendapat bahwa itu perlu dilakukan.

            Sebuah contoh lagi dapat dikemukakan. Pacittiya 10 dan 11 mengatakan bahwa seorang biku tidaklah boleh merusak tanaman ataupun menggali-gali tanah. Seperti peraturan-peraturan lainnya, kedua peraturan ini kedua-duanya berasal muasal dari kepercayaan dan praktek-praktek ritual para pertapa yang ada pada masa sebelum agama Buddha itu muncul—dalam hal ini para pertapa Jainisme.

Para penganut Jainisme meyakini bahwa tanaman, batu-batuan, air, pasir dan tanah sekalipun adalah entitas-entitas yang hidup yang, walaupun lebih rendah derajatnya dari mahluk-mahluk lain, tetap saja mereka dianggap mahluk hidup. Oleh sebab itu, memetik sebuah bunga atau menghancurkan segumpal tanah dapatlah menyebabkan entitas-entitas itu mengalami rasa sakit atau, bahkan, dapat sekalian membunuh mereka.

Sekhiya 74 dan 75 juga didasarkan pada kesalahfahaman yang sama. Apabila seorang biku memakan buah-buahan yang di dalamnya mengandung benih-benih buah tersebut yang masih sehat, maka biku tersebut dapat dikatakan telah melakukan pembunuhan. Akibatnya, Winaya pun akhirnya mengungkapkan sebuah cara untuk menghindari perlakuan seperti itu.
Sebelum seorang biku diberikan buah-buahan yang di dalamnya terdapat benih-benih buah tersebut yang masih baik, maka seorang umat awam haruslah menancapkan sebuah pisau ke dalam benih-benih tersebut untuk mematikannya; sehingga, dengan demikian, buah-buahan tersebut menjadi ‘berterima’ bagi biku tersebut. Tatkala sedang melakukan ini, umat awam haruslah mengatakan ‘Kappiyam Bhante’ yang artinya ‘Yang Mulia, buah ini telah diperbolehkan untuk dimakan.’

Praktek semacam ini masih dilakukan di Thailand dan Burma, tetapi telah ditangguhkan pelaksanaannya di Sri Lanka.  Biku Thanissaro menulis lima halaman tentang peraturan ini. Inti dari komentar-komentarnya adalah sebagai berikut. Adalah tidak penting melakukan semua prosedur yang tidak bermakna ini. Pertama-tama, karena prosedur ini didasarkan pada sebuah ‘kepercayaan animistik’ yang primitif dan salah. Kedua, karena untuk mematikan semua benih buah-buahan tersebut, misalnya seikat buah anggur atau sepiring jeruk, akan diperlukan waktu yang sangat lama sekali. Yang perlu anda lakukan adalah mematikan beberapa benih secara simbolik—dengan menggoreskan pisau secara perlahan ke dalam kulit sebiji anggur atau sebuah jeruk sambil mengatakan ‘Kappiyam  Bhante.’ Ini akan menjadikan semua buah-buahan lainnya menjadi ‘diperbolehkan untuk dimakan.’

Dengan kata lain, walaupun mengakui bahwa prosedur ini didasarkan pada sebuah kepercayaan yang salah, Biku Thanissaro tetap saja berpendirian bahwa orang tetap saja harus melakukannya, kendatipun yang dilakukan hanyalah berpura-pura.
Seorang biku senior Burma yang sangat terpelajar menyakinkan saya bahwa buah-buahan diperbolehkan untuk dimakan, apakah benih-benih di dalamnya telah atau belum dimatikan, asalkan kata-kata ‘Yang Mulia, buah-buahan ini bolehlah dimakan’ dilafazkan dalam bahasa Pali, bukan dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Burma.

Sangatlah jelas disini bahwa praktek-praktek semacam ini tidaklah lebih daripada sekedar ritual yang tak ada artinya, yang kosong-melompong dan agak membodohkan. Praktek-praktek seperti ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan peningkatan kualitas moralitas, disiplin ataupun transformasi pikiran; dan, dalam kasus yang disebutkan di atas, prosedur ini pun bahkan tidak berpretensi sama sekali bahwa, dengan melakukannya, tujuan yang dikehendaki dalam praktek tersebut pasti akan tercapai. Sebaliknya, orang dapat berargumentasi bahwa ritual semacam itu bahkan merupakan contoh dari silabhataparamasa atau belenggu kedua dari Sepuluh Belenggu itu. 
            Kecendrungan mengutamakan ritualisme di dalam tradisi Therawada bahkan terjadi di luar konteks pelaksanaan Winaya. Sesungguhnya, ia tampak menempati hampir segala aspek tradisi tersebut mulai dari hal moralitas hingga ke meditasi, mulai dari hal dana hingga ke bakti.

Pada zaman Buddha, seseorang menjadi biku hanya setelah mengalami sebuah perubahan radikal dalam sikapnya yang memperlihatkan peninggalan keduniawiaan. Namun dalam tradisi Therawada, seseorang dapat menjadi biku apabila telah melaksanakan sebuah ritual dan memperlihatkan tampilan lahiriah tertentu. Para calon biku biasanya masih menjaga harta miliknya, janji-janji kesetiaannya dan hubungannya dengan dunia luar; dan, masih saja mereka dianggap biku sepanjang mereka telah melaksanakan upacara pentahbisan yang dilakukan secara benar. Mereka tak diminta untuk meninggalkan apapun. Bahkan, mereka pun tidak pernah diminta untuk melakukan hal tersebut. Perhatian besar hanyalah diberikan agar upacara pentahbisan dilakukan secara benar.

Di Sri Lanka, bila ada ketidakpastian mengenai bagaimanakah seharusnya melafazkan sebuah huruf Pali, maka upacara pentahbisan biku bisa dilakukan sebanyak dua kali—upacara pertama memakai lafaz yang pertama, upacara kedua menggunakan lafaz yang kedua—karena upacara tersebut bisa dianggap tidak sah bila kata-kata Pali tidak diucapkan dengan semestinya.

Seorang sil maniyo ataupun seorang maichi [***] bisa saja telah meninggalkan keduniawiaan dan lebih berdisiplin, tulus dan baik ketimbang para biku di wihara di sekitar mereka. Tetapi, ia tidak akan pernah dianggap sebagai anggota Sanggha; karena, ia pasti tidak akan pernah menjalankan proses pentahbisan. Oleh sebab itu, tidaklah mungkin seorang sil maniyo ataupun seorang maichi itu secara sah dapat memiliki penampilan lahiriah seperti seorang penghuni wihara.

Menurut  Milindapanha, seorang biku yang tak bermoral lebih tinggi tingkatannya daripada seorang perumahtangga yang tak bermoral; dan, memberikan dana kepada biku tersebut masih akan mendatangkan pahala besar. Mengapa demikian? Karena seorang biku memiliki tanda lahiriah seorang biku (kepala dicukur, dll) dan, oleh karenanya, di saat ia berada di antara orang-orang lain ia masih bertingkah laku seolah-olah dirinya adalah orang yang baik (Mil.257).

Jelaslah bahwa seorang biku adalah seseorang yang telah menjalankan sebuah ritual tertentu dan kelihatan serta bertingkah laku seperti layaknya seorang biku, tidak persoalan bagaimana keadaan sebenarnya di dalam dirinya itu. Bila ia benar-benar telah meninggalkan keduniawiaan, sangat terpelajar dan baik, maka itu akan lebih baik lagi. Tetapi, faktor penentu utama kebikuannya adalah apakah ia telah melaksanakan ritual tersebut. Tak perlu disebutkan disini tentunya bahwa Buddha berpandangan sebaliknya dalam hubungannya dengan apa sesungguhnya yang menjadikan seseorang benar-benar seorang biku. Lihat misalnya Dhammapada 142, 264, 266, dan seterusnya.

Ketika menuliskan pengalaman-pengalamannya di Thailand, biku asal Inggris Phra Peter mengatakan bahwa kebanyakan makanan yang diberikan kepadanya dan kepada para biku lainnya tatkala melakukan pindapatta itu dibuang demikian saja.

‘Bahkan setelah dua orang dari kami memakan sebanyak yang mereka butuhkan untuk waktu sehari, masih saja ada bersisa tiga atau empat kantongan yang penuh berisi makanan, ditambah lagi dengan jumlah nasi yang amat banyak. Ini semua dibuang. Setiap hari. Bila jumlah makanan yang banyak ini ditambahkan lagi dengan jumlah makanan yang dikumpulkan para biku dan samanera yang pergi berpindapatta, pastilah jumlah makanan yang diboroskan setiap hari itu lebih banyak lagi…Disamping menjadi pemborosan yang percuma, makanan itu pun sering merupakan pemberian orang-orang miskin, yang
mungkin saja merupakan makanan yang lebih baik daripada makanan yang mereka dapat makan sendiri. Saya mula-mula berfikir bahwa orang-orang miskin itu pasti berharap para biku akan memakannya.  Atau, jangan-jangan berpindapatta telah menjadi semacam kegiatan simbolik semata-mata yang berkaitan dengan ‘membuat kebajikan’ dan tidak benar-benar berkaitan dengan keinginan memberi makan pada para biku?’

Phra Peter menanyakan para mahasiswa yang diajarkannya di dalam kelas apa pendapat mereka tentang hal ini.

‘Agak mengejutkan saya bahwa para mahasiswa secara umum berpendapat bahwa para biku sudah seharusnya menerima makanan sebanyak yang umat awam ingin berikan, sekalipun kebanyakan dari makanan itu akhirnya harus dibuang. Para mahasiswa itu mengatakan bahwa para pemberi makanan sangat menyadari sekali bahwa tidaklah mungkin para biku itu dapat menghabiskan semua makanan yang diberikan. Tetapi, hal yang lebih penting lagi terletak pada perbuatan ‘memberi’, bukan pada ‘menerima.’ Para mahasiswa sepakat bahwa biku tersebut haruslah memperlihatkan Metta dan mengizinkan orang-orang lain untuk ‘melakukan perbuatan baik.’’

Dengan ini, kecurigaan-kecurigaan Phra Peter itu akhirnya terbukti; yakni, bahwa melakukan pindapatta, seperti halnya praktek lainnya dalam tradisi Therawada, utamanya adalah sebuah perbuatan simbolik, sebuah ritual semata-mata.

Pendapat yang diperoleh Phra Peter dari para informannya, dan kebanyakan orang Thailand akan menyetujuinya, mengilustrasikan betapa praktek Metta pun telah menjadi ritual. Seseorang ‘memperlihatkan Metta’ dengan menerima makanan yang ia tidak butuhkan; dan, makanan itu berasal dari orang yang sesungguhnya tidak memiliki cukup uang untuk membelinya; dan, lalu makanan itu dibuang begitu saja.

Bagi seorang penganut tradisi Therawada, mengajari kaum fakir miskin, walaupun dengan membuat mereka menghabiskan harta milik mereka yang hanya tinggal sedikit itu, adalah semata-mata perbuatan sekuler yang tidak ada hubungannya dengan Metta.
  
  Bagi para biksu Mahayana di masa lampau, melakukan pindapatta itu bukanlah sebuah ritual. Ia lebih-lebih merupakan sebuah cara untuk mendapatkan  makanan dan pun sekalian merupakan sebuah kesempatan untuk mengembangkan cinta kasih.

Ratnarasi Sutra mengatakan bahwa seorang biksu yang melakukan  Pindapata  haruslah berfikir seperti ini:

‘Orang-orang itu sangatlah sibuk, mereka tidak wajib memberikan saya apapun. Sudah merupakan sesuatu yang luar biasa bila ada orang yang mau memperhatikan saya. Apalagi memberikan saya dana makanan!’ Oleh karena itu, yang melakukan pindapatta akan melakukannya tanpa kekhawatiran apapun. Semua yang datang ke hadapannya – laki-laki, perempuan, anak-anak, dan bahkan hewan sekalipun – ia tetap saja memberikan cinta kasih dan welas asih…

Tak persoalan apakah pemberian sedekah yang telah diterimanya itu baik atau tidak, ia tetap harus melanjutkan perjalanannya ke segala penjuru sambil bertanya, ‘Mahluk menderita apa yang ada di desa atau di kota ini yang mau berbagi makanan sedekah ini dengan saya? Bila ia melihat mahluk apapun yang menderita, ia haruslah memberikannya sedikit dari makanannya. Bila ia tidak menjumpai mahluk menderita untuk berbagi makanan, maka ia harus bertanya, ‘Apakah ada mahluk-mahluk menderita yang belum saya temukan? Untuk mereka saya akan sisihkan sebagian makanan ini.’’’

Bila seorang biku Thailand ataupun Burma benar-benar ingin berbagi makanannya dengan seorang gelandangan atau seseorang yang sedang lapar, ia biasanya tak dapat melakukan hal ini, karena akan ada penolakan yang keras. Para pemberi makanan akan marah sekali bila mengetahui bahwa makanan yang mereka persembahkan kepada biku tersebut diberikan kepada orang lain—terkecuali kepada biku lain atau penjaga wihara.

Sebaliknya, seseorang yang sedang merasa lapar sekali pun akan segan sekali menerima pemberian makanan dari seorang biku. Tradisi Therawada mengajarkan bahwa adalah benar-benar sebuah karma buruk bila kita menerima sesuatu dari seorang biku; dan, orang-orang biasa sangat patuh pada ajaran ini dan menjalankannya dengan sangat serius.

Di Sri Lanka, saya pernah punya sebuah tempat kecil untuk bermeditasi yang terletak di sebuah lereng bukit yang terjal; dan, siapapun yang mendaki ke atas bukit untuk menemui saya biasanya sampai ke atas dengan kondisi tubuh yang panas dan berkeringat. Saya biasanya menawarkan mereka segelas air, tetapi mereka lebih sering menolaknya seraya mengatakan ‘Paw  nedha,’ ‘Ini kan dosa?’ 

Sekepal Menjadi Segunung

Segera setelah terjadinya huru hara di Sri Lanka pada bulan  Juli 1983, saya kebetulan sedang menetap di sebuah wihara di distrik Bandarawela yang kepala wiharanya terkenal dengan sentimen-sentimennya yang anti-Tamil.

Suatu pagi beberapa orang laki-laki duduk di bawah kaki beliau sambil berdiskusi soal-soal yang berkaitan dengan kejadian-kejadian baru-baru ini. Kepala wihara tersebut memberikan pendapatnya; dan, saya masih mengingat bahwa salah satu hal yang dikatakannya adalah bahwa orang-orang Tamil haruslah diusir, dan kalau mereka menolak maka mereka semuanya harus dibunuh. Sambil terus melanjutkan bicara, ia pun berbicara semakin kuat dan keras.

Setelah sekitar satu jam, seseorang yang duduk di barisan paling depan mengganggu perhatiannya dan menepuk-nepuk jam tangannya. Kepala wihara ini melihat jam dinding, waktu menunjukkan pukul 11.35 pagi, dan ia mengakhiri semburan kata-kata marah tersebut dengan seketika; lalu, bergegas pergi untuk menerima pemberian dana.
Mereka yang hadir tentu saja setuju sekali dengan apa yang dikatakan oleh kepala wihara itu, tetapi kalau ia tidak segera beranjak pergi untuk makan sebelum tengah hari maka dipastikan ia akan memberengut dan menyalahkan mereka.

Ketika biku jahat Buddharakshita sedang berada di penjara menunggu proses pengadilan karena membunuh perdana menteri Sri Lanka pada tahun 1959, rutinitas penjara terpaksa diubah supaya biku tersebut dapat menerima pemberian dana makanannya sebelum tengah hari. Kebanyakan orang menganggap ini sebagai sesuatu yang pantas.

‘Kecanduan pada hal-hal yang sepele’ (addiction  to trivia) seperti itu, meminjam ungkapan Thomas More, sangatlah mewabah di antara para penganut tradisi Therawada. Hal ini acapkali membutakan mata mereka terhadap hal-hal yang benar-benar penting.

Sebuah contoh lagi yang amat mengejutkan, baru-baru ini telah menjadi perhatian umum bahwa beberapa biku di sebelah timur laut Thailand yang miskin telah membantu mendapatkan anak-anak perempuan untuk dipekerjakan sebagai pelacur di Bangkok. Para agen dari rumah-rumah pelacuran membiayai pelaksanaan upacara-upacara di wihara-wihara. Penduduk setempat membanjiri wihara-wihara. Rekruitmen pun diadakan dan kepala wihara pun mendapatkan bagiannya berdasarkan seberapa banyak anak-anak gadis yang dapat dijerat.

Untuk meringankan perasaan bersalah dan perasaan segan pada anak-anak gadis itu, para biku memberitahu mereka bahwa menjadi pelacur adalah semata-mata akibat dari karma buruk mereka di masa lampau, yang dampaknya dapat mereka kurangi bila mereka mengirimkan sebagian pendapatan mereka nanti ke wihara; dan, banyak dari antara mereka yang melakukannya.[†††]

Tampaknya hal seperti ini telah terjadi selama bertahun-tahun; dan, ini hanya mungkin terjadi karena para biku dan penduduk lokal tidak melihat pelacuran sebagai bertentangan dengan kata-kata dalam Winaya. Bahkan, para biku yang terlibat dalam bisnis kotor ini pun bisa berargumentasi secara panjang lebar.

Aturan Winaya apakah yang dilanggar? Apabila uang yang ‘disumbangkan’ kepada wihara itu diberikan kepada pengurus wihara dengan cara semestinya? Kalau ada resiko bahwa Winaya akan dilanggar, ketika sedang terjadi tawar-menawar dengan agen-agen rumah pelacuran, maka hal itu dapat dengan mudah dihindarkan; yaitu, dengan ‘memakai kata-kata yang terkesan benar.’ Tetapi, apakah ini tidak ada kaitannya dengan para biku tadi? Bila akibat dari semua ini toh adalah eksploitasi dan penderitaan? Menurut Winaya maupun ortodoksi tradisi Therawada, ada pemahaman bahwa para biku hanya bekerja untuk kebebasan dirinya sendiri dan mereka tidak terlibat dalam urusan-urusan keduniawian.

Namun, sebaliknya satu hal dapat dipastikan. Bila seorang biku dari salah satu dari wihara-wihara yang membantu menyediakan gadis-gadis tadi kelihatan bersalaman dengan seorang turis perempuan, atau makan biskuit pada siang hari, atau menendang bola kaki, maka dipastikan akan ada kegaduhan yang dahsyat; dan, biku tersebut akan menghadapi banyak sekali keberatan. Faktanya adalah praktek-praktek yang memalukan seperti ini masih berlangsung terus dan tak seorangpun, termasuk otoritas tertinggi dalam agama Buddha sendiri, yang mengkhawatirkannya sepanjang Winaya dalam tampilan luarannya itu masih dipatuhi.

Ketika pendiri Shanti Asoka yang kontroversial itu, Phra Phutirak, menjalankan praktek-praktek Winaya yang sedikit tidak biasa, petinggi-petinggi agama Buddha Thailand dengan begitu cepatnya memanggil organisasi sekuler di bawahnya dan segera meminta agar Phra Phutirak dilepas-jubahkan.

Sepanjang pengetahuan saya para biku yang membantu bisnis pelacuran dari sebelah timur laut Thailand itu tidaklah pernah berdisiplin, walaupun sejak pemberitaan pers tersebut, mereka mungkin sudah lebih sedikit bijaksana.

Kebenarannya adalah bahwa dalam tradisi Therawada mengikuti bunyi setiap kata dalam Winaya ternyata lebih penting dibandingkan dengan mengajarkan Dharma. Ia lebih penting daripada merepotkan orang lain. Ia lebih penting daripada melakukan kebaikan dan meditasi dan lebih penting daripada menentukan sebuah sikap moral.

Sesungguhnya, tradisi Therawada membuatnya menjadi begitu jelas bahwa mengikuti Winaya jauh lebih penting daripada kehidupan itu sendiri. Dalam komenteri-komenteri itu, ada cerita mengenai seorang bikuni yang jatuh ke dalam sebuah kolam dimana ia akan segera diterkam oleh seekor buaya. Seorang laki-laki yang melihat ini segera bergegas untuk membantunya; namun, ketika laki-laki ini menjulurkan tangannya sehingga bikuni tersebut dapat meraih tangannya untuk ditolong, sang bikuni menolaknya karena Winaya mengatakan bahwa para biku maupun bikuni tidak diperbolehkan menyentuh tangan dari seorang lawan jenis. Akhirnya, bikuni itu pun ditelan hidup-hidup oleh buaya.
Dalam tradisi lainnya, kisah seperti itu dipakai untuk menjelaskan belenggu kedua dari Sepuluh Belenggu—yakni, menjadikan moralitas dan aturan-aturan itu semata-mata sebagai ritual. Tetapi, dalam tradisi Therawada, bikuni memang senantiasa disodorkan sebagai sebuah model untuk perbuatan baik.

Memang benar, pada sebuah teks tertentu Buddhaghosa ada mengatakan bahwa seorang biku mungkin akan mempertimbangkan untuk melanggar sebuah aturan kecil demi mempraktekkan cinta kasih—salah satu dari begitu sedikitnya percikan cahaya remang-remang dalam tulisan Buddhaghosa yang umumnya suram. Tetapi masalahnya adalah, bila para arahat pada Konsili Pertama tidak sanggup menentukan mana aturan-aturan yang penting dan mana aturan-aturan yang kecil, bagaimana mungkin seorang biku biasa yang belum tercerahkan dapat mengetahuinya? Cara yang lebih baik tentu adalah melupakan hal kasih sayang itu tadi dan mengikuti semua aturan Winaya tanpa melanggarnya, atau setidak-tidaknya tidak melanggar kulit-kulit luar dari Winaya itu. Dan, inilah saran yang biasanya diberikan oleh Buddhaghosa.

Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa bahkan bila ibu seorang biku terjatuh ke dalam sungai yang airnya deras sekalipun, ia tidak boleh sama sekali menolongnya apabila harus bersentuhan dengan ibunya sendiri secara fisik. Kemudian, Buddhaghosa mengatakan bahwa bila seorang biku jatuh ke dalam sebuah lubang, ia pun tidak boleh menggali-gali tanah untuk menyelamatkan dirinya sendiri karena perbuatan ini akan melanggar Winaya yang tidak memperbolehkan seorang biku menggali tanah.

Sekarang, tatkala aturan-aturan kecil seperti itu telah dianggap jauh lebih penting daripada nyawa orang lain, lebih penting daripada nyawanya sendiri, apakah masih mengherankan bila aturan-aturan kecil tersebut diberi perhatian begitu banyak sehingga hal-hal penting lainnya dianggap tidak menjadi penting lagi?
          
Tradisi Mahayana justru muncul sebagai sebuah protes terhadap egoisme yang kejam dan mementingkan hal-hal sepele semacam itu.  Bodhicariyavatarapanjika mengatakan bahwa welash asih dan kebahagiaan orang lain haruslah lebih diutamakan ketimbang menaati aturan-aturan kecil atau, bahkan, kadangkala aturan-aturan yang besar sekalipun.

‘Setelah merealisasi kebenaran tertinggi, ia seharusnya memiliki komitmen untuk emperjuangkan kesejahteraan dan kebaikan mahluk-mahluk lain. Dan bila ada orang yang berkeberatan dan mengatakan, ‘Bagaimana mungkin ia dapat menghindar dari berbuat jahat dengan melakukan yang dilarang?’ Jawabannya adalah bahwa Yang Maha Suci mengajarkan bahwa yang dilarang dapat dilakukan oleh seseorang manakala ia  melihat keuntungan-keuintungan orang lain di dalamnya dengan mata pengetahuan…Tetapi, ini tidak berlaku bagi setiap orang; ini hanya berlaku bagi mereka yang mempraktekkan welas asih sampai pada tingkat tertinggi,  mereka yang tidak memiliki motif mementingkan diri sendiri, yang hanya berkepentingan semata-mata dengan orang lain dan benar-benar berdedikasi untuk tercapainya cita-cita tersebut. Hal ini tidak akan melukai perasaan orang-orang yang mengutamakan keselamatan orang lain (skilled in means) dan yang bekerja untuk kepentingan orang lain dengan kebijaksanaan dan cinta kasih.’

Kehormatan dan Memberi Hormat .

Kaum Brahmana pada zaman India Purba mengklaim bahwa mereka wajib dihormati semata-mata karena mereka anggota dari kelompok sosial tertentu. Buddha menolak ide ini dengan mengatakan bahwa hanyalah orang-orang yang baik dan bijaksana saja yang benar-benar patut dihormati. Tradisi Therawada tampak telah kembali kepada pandangan Brahmana tersebut.

Menurut Milindapanha, bahkan seorang umat awam yang telah mencapai tingkat pencerahan pertama haruslah berdiri dan memberi hormat kepada seorang samanera yang belum mencapai pencerahan apapun (Mil.162). Para biku ngotot bahwa mereka harus dihormati dan dipuja semata-mata karena mereka memakai jubah kuning dan, seperti juga kaum Brahmana, mereka bisa menjadi sangat kesal sekali bila mereka tidak menerima pemberian hormat tersebut. Sangatlah menarik sekali menyaksikan betapa para biku Therawada akan mempermasalahkan hal tersebut berpanjang-panjang demi mempertahankan kesuperioritasannya di atas yang lainnya.

P. A. Bigandet menulis tentang sebuah kejadian yang disaksikannya sendiri di Penang menjelang akhir abad ke-19. Seorang biku asal Thailand harus mengunjungi seorang laki-laki yang sedang dikurung di sebuah kamar loteng di tingkat dua sebuah rumah. Untuk mengunjunginya, biku tersebut tentu harus memasuki kamar di lantai bawah yang artinya, setidak-tidaknya selama beberapa saat, biku tersebut akan berada lebih rendah daripada umat awam tadi—sesuatu yang dibenci sekali oleh seorang biku dalam tradisi Therawada. Lalu apa yang harus dilakukan? Biku tersebut meminta agar dibelikan sebuah tangga dan tangga tersebut diletakkan dengan salah satu ujungnya di lantai dan ujungnya yang satu lagi di jendela kamar loteng itu. Biku tersebut kemudian menaiki tangga tersebut untuk bisa memasuki kamar laki-laki tersebut.

Dewasa ini, hal seperti ini memang tidak pernah lagi saya dengar dilakukan. Namun, saya tahu persis bahwa para biku Therawada bahkan akan menerbitkan buku untuk menginstruksikan orang awam mengenai bagaimana memberi hormat kepada para biku secara benar.

Kunjungan seorang biku Therawada ke rumah anda ataupun ke sebuah perkumpulan Buddhis boleh jadi sedikit menyerupai sebuah kunjungan kerajaan. Sebelum biku tersebut tiba, anda barangkali akan diajarkan bagaimana membungkuk memberi hormat secara benar, bagaimana berbicara dengannya, mempersiapkan sebuah tempat duduk yang lebih tinggi untuknya, mempersiapkan kamar kecil khusus untuknya, dan seterusnya. Ketika biku tersebut masuk ke rumah, suara-suara harus didiamkan, kepala harus dibungkukkan, dan para perempuan yang memperlihatkan gerakan-gerakan tubuh yang berlebihan agar enghindari melakukan kontak badan dengan biku tersebut. Sebelum biku tersebut memberikan kotbah, anda haruslah secara formal memintanya untuk berbicara; dan, sebelum ia meninggalkan tempat, anda harus meminta maaf kepadanya atas segala sesuatu yang barangkali telah menyinggung perasaannya.

Biku Ariyesako menulis sebanyak lima belas halaman tentang persyaratan-persyaratan yang diharapkan dari anda bila anda mengunjungi sebuah wihara Therawada di negara Barat. Berikut ini adalah sepilihan persyaratan yang dikatakannya:  
‘Bila anda bertemu dengan seorang biku di dalam bakti sala atau di dalam rumah, tunjukkanlah hormatmu sebelum anda mulai berdiskusi dengannya. Sebelum anda keluar dari ruangan, tolong lakukan yang sama.’

           ‘Janganlah bersalaman dengan seorang biku. Ketika sedang berbicara dengan seorang biku, senantiasalah sopan dan jangan pernah meninggikan suara anda.’
            ‘Janganlah menunjuk dengan kaki ataupun dengan punggung kepada seorang biku. Ini dianggap tidak menghormatinya.’
            ‘Bila tidak menawarkan makanan dengan sebuah piring, senantiasalah menawarkannya dengan kedua belah tangan. Janganlah membiarkan makanan itu di depan seorang biku, tanpa terlebih dahulu menawarkannya kepada biku tersebut.’
            ‘Umat awam tidak boleh makan di depan seorang biku dan mereka haruslah makan setelah biku tersebut selesai makan terlebih dahulu.’
            ‘Seseorang tidaklah boleh dalam keadaan berdiri dan berbicara dengan seorang biku, manakala biku tersebut sedang duduk.’
            ‘Seorang biku haruslah didekati dengan penuh rasa hormat oleh seseorang yang sedang menawarkan dana, dan ia senantiasa harus mencoba untuk mempertahankan posisi tubuhnya agar berada sedikit di bawah posisi biku tersebut.’.
            ‘Ketika sedang berjalan dengan ditemani sekelompok biku, umat awam haruslah berjalan sedikit di belakang, cukup dekat untuk dapat berbicara dengan mereka.’
         
Daftar ini berasal dari sebuah bab dalam buku yang ditulis oleh Biku Ariyesako berjudul Examples of Vinaya Practice walaupun, sejauh yang saya ketahui, tidak ada satupun dari persyaratan di atas, kecuali yang terakhir, yang berkaitan dengan aturan-aturan dalam Winaya.

Namun, seperti acapkali terjadi juga pada para penganut tradisi Therawada yang lain, Biku Ariyesako ternyata mengacaukan etiket yang berasal dari sebuah kebudayaan tertentu (dalam hal ini kebudayaan Thailand) dengan Winaya; dan, bahkan, dengan Dharma. Inilah contoh kesalahan serupa yang acapkali dilakukan oleh para misionaris Kristen yang picik pandangannya di Asia pada abad ke-19.

Untuk menjadi seorang Kristen, anda bukan saja harus percaya pada Yesus tetapi juga harus bisa berbahasa Inggris, memakai celana panjang dan makan dengan pisau dan garpu—pendeknya, anda harus menjadi orang Inggris. Sikap seperti itu ternyata menghambat persebaran agama Kristen pada saat itu. Sekarang ini, hal yang sama kiranya juga tengah menghambat siar Dharma. Tak perlu dikatakan lagi disini bahwa Buddha tentu saja selalu mengambil pendekatan yang jauh lebih cerdas.

Karena mengetahui bahwa Kebenaran melampaui batas-batas budaya dan Beliau benar-benar berkeinginan agar Dharma dapat dijangkau oleh siapa saja, Buddha bahkan bersedia menyesuaikan diriNya dengan kebudayaan dan kebutuhan-kebutuhan orang lain.
‘Aku mengingat dengan baik banyak kelompok bangsawan, pandita, perumahtangga, pertapa dan para dewa…yang telah Aku jumpai. Sebelum duduk bersama dengan mereka, berbicara dengan mereka, atau ikut serta dalam percakapan dengan mereka, Aku menyesuaikan diri dengan penampilan mereka dan cara bicara mereka, seperti apapun juga itu adanya, dan kemudian Aku mengajarkan mereka dalam Dharma.’ (D.II,109). Buddha memberi tahu para biku dan bikuni bahwa, ketika memberikan pengajaran Dharma di negeri-negeri asing, mereka seharusnya memakai bahasa dari orang-orang setempat (M.III,235).

Bila hal ini dapat dibenarkan dalam hal penggunaan bahasa, apakah dalam hal etiket dan kebiasaan-kebiasaan budaya, ia tak dapat dibenarkan?
      
    Poin lain yang ditegaskan sekali dalam daftar di atas adalah bahwa para biku Therawada bukan saja sangat mengutamakan agar diri mereka dihormati, mereka juga meminta untuk dihormati dengan sebuah cara yang sesuai dengan keinginan mereka. Di negara-negara Barat, kita dapat memperlihatkan rasa hormat kita pada orang lain dengan berjabat tangan dengannya—sebuah isyarat tradisional yang sangat anggun dan bermartabat.

Tetapi, ini tidaklah cukup untuk seorang biku Therawada. Biku tersebut ingin anda memberikan hormat kepadanya dengan cara yang lazim di Thailand ataupun di Burma, bahkan sekalipun ia dan anda adalah manusia Barat dan anda berdua tinggal di negara Barat. Tawarkanlah tangan anda kepada seorang biku Therawada dan ia akan segera memberi tahu kepada anda dengan nada yang agak angkuh bahwa ‘para biku tidak berjabat tangan,’ walaupun tidak ada ketentuan yang melarang hal itu.

Ketika bertemu dengan Ratu, akan dianggap sopan bila seorang laki-laki membungkukkan kepala secara simbolis; dan, bila anda seorang perempuan, anda hendaknya membungkukkan badan. Bila anda melakukan hal tersebut kepada seorang biku Therawada, ia barangkali akan memberikan anda sebuah buku kecil yang berisikan instruksi rinci beserta diagram-diagram mengenai bagaimana anda membungkuk di hadapan seorang biku ‘secara semestinya’—yang mana artinya adalah sesuai dengan cara-cara hal tersebut dilakukan di Asia Tenggara. Para biku asal Sri Lanka dan negara Barat yang menjalani pelatihan di Sri Lanka cenderung sedikit rewel mengenai hal semacam ini.

Sangatlah menarik disini bila kita membandingkan semua itu dengan sikap Buddha sendiri mengenai rasa hormat dan penghormatan. Setelah Sonadanda selesai menyatakan berlindung pada Tiratana, ia menceritakan kepada Buddha bahwa ia mempunyai sebuah masalah. Sonadanda adalah seorang Brahmana dan uang pendapatannya tergantung pada seberapa besar para brahmana yang lain menghormatinya. Bila ia kelihatan oleh mereka sedang membungkuk untuk memberi hormat pada Buddha, ia tentu akan kehilangan rasa hormat dari mereka. Akibatnya, uang pendapatannya pun akan berkurang.

‘Jadi ketika sedang memasuki tempat pertemuan, saya bersikap anjali. Mohon anggaplah hal itu seolah-olah sama dengan saya benar-benar berdiri untukMu. Bila saya melepaskan turban ketika memasuki tempat pertemuan, mohon anggaplah hal itu seolah-olah sama dengan saya benar-benar bersujud di kakiMu. Bila saya turun dari kereta kuda ketika ingin memberikan hormat kepadaMu, yang lainnya tentu akan mengkritik saya. Jadi, bila saya melewati Engkau dengan kereta kuda dan saya merendahkan kepada, mohon anggaplah itu seolah-olah sama seperti aku benar-benar telah turun dari kereta dan lalu bersujud di kakiMu.’ (D.I,126).

Buddha tidak memiliki masalah apapun dengan cara Sonadanda memberikan hormat kepadaNya, karena Buddha ternyata bersimpati dengan permasalahan yang dihadapinya. Bagi Buddha, formalitas-formalitas sosial tidaklah terlalu penting sekali. Di tempat lain, Buddha mengatakan, ‘Aku tiada berurusan dengan hormat-menghormat dan hormat-menghormat tiada berurusan denganKu.’ (A.III,30).

Setelah membaca buku Ariyesako dan buku-buku sejenis lainnya, kita akan sangat mudah sekali mendapatkan kesan bahwa menjadi seorang biku Therawada itu ternyata berkaitan sekali dengan urusan hormat-menghormat.

Suatu ketika, ketika berbicara kepada Buddha, Sariputta menyamakan dirinya sendiri dengan seorang anak kecil dari kasta rendah yang berpakaian compang-camping dan miskin. (A.IV,375) Kita melihat di sini betapa berbedanya Sariputta yang telah mencapai pencerahan bila dibandingkan dengan para biku Therawada yang belum mencapai pencerahan. Yang terakhir ini masih duduk di singgahsana yang tinggi dengan senyuman yang puas-diri; dan, dengan perasaan kepatutan, ketika mereka memberikan perintah-perintah kepada umat awam dan menyahuti penghormatan-penghormatan yang mereka terima itu—tetapi, dengan anggukan kepala dan suara teguran yang paling singkat! 

            Sutra-sutra Mahayana acapkali memberikan julukan kepada mereka sebagai ‘semua arahat yang sombong itu’ dan, berabad-abad kemudian, banyak biku Therawada kiranya masih tetap memberikan kesan sedikit tinggi hati dan sombong. Sebuah insiden terjadi baru-baru ini terhadap sebuah kelompok Buddhis di Eropah.

Seorang biku yang namanya tidak akan disebutkan disini sedang memberikan sebuah ceramah di hadapan tiga puluh orang. Di dalamnya termasuk seorang perempuan yang memakai topi. Biku tersebut memperhatikan hal ini dan menganggapnya sebagai sebuah ancaman serius terhadap kewibawaannya, karena perempuan tersebut seolah-olah menghindari ceramahnya. Biku ini lalu menyimpang dari inti kotbahnya dan mengatakan betapa pentingnya bagi umat awam untuk memberikan hormat secara semestinya kepada Sanggha; dan, betapa sangat tidak sopan sekali bila seseorang memakai topi tatkala seorang biku sedang mengajarkan Dharma.

Semua hadirin lalu berpaling ke perempuan yang merasa amat malu itu; dan, beberapa menit kemudian, perempuan itu pun perlahan-lahan meninggalkan tempat tersebut sambil menangis. Terakhir, barulah diketahui bahwa perempuan tersebut telah kehilangan seluruh rambutnya, karena ia telah menjalani kemoterapi akibat mengidap kanker yang mematikan. Perempuan itu mengenakan topi karena ingin menyembunyikan cacat rambut tersebut. 
Di Sri Lanka saya pernah menghadiri sebuah ceramah yang diberikan oleh seorang guru meditasi yang terkenal. Ketika ia memasuki ruangan, beberapa orang di dalamnya tidak berdiri. Merasa sangat terganggu karena tidak dihormati sebagaimana seharusnya ia dapatkan, guru meditasi tersebut pun berjalan ke depan ruangan, menceramahi panitia dan hadirin secara panjang lebar; dan, akhirnya, bergegas meninggalkan ruangan tersebut. Saya juga telah menyaksikan hal yang sama terjadi dalam beberapa kesempatan lain.
            Ada kisah-kisah yang dituliskan dalam komenteri-komenteri tersebut yang memperlihatkan bahwa, bahkan, arahat-arahat Therawada dapat meledak dalam kemarahan manakala mereka tidak mendapatkan penghormatan sebagaimana mestinya.

Arahat bernama Dhammadinna, sebagai contoh, diundang ke sebuah wihara untuk mengajarkan meditasi. Tetapi, para penghuni wihara sedang mengerjakan tugas-tugas mereka sehari-hari ketika arahat tersebut tiba. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menyambutnya dengan semestinya. Setelah menghentak-hentakkan kakinya di lantai, arahat tersebut pun pergi.

Kisah ini bukanlah dimaksudkan untuk menyatakan suatu ketidaksetujuan dengan Dhammadinna. Jauh dari itu, kisah ini adalah untuk memberikan gambaran bahwa menjadi seseorang yang terlalu ngotot berpegang pada formalitas-formalitas memang dianggap merupakan sebuah indikasi untuk pencapaian spiritual tertinggi.

Suatu kali, saya pernah mendengar Biku K. Sri Dhammananda bercerita tentang masa mudanya di India. Saat itu, beliau masih kuliah di Banares Hindu University. Biku Dhammananda berbicara dengan penuh keakraban dan rasa takjub mengenai Dr. S. Radhakrishnan, rektor universitas tersebut yang adalah juga seorang filsuf yang kelak menjadi presiden India.
Biku Dhammananda terdiam seketika dan mengatakan, ‘Ada satu hal mengenai masa lalu itu yang saya sesali. Tatkala saya dan para biku lainnya pergi jalan kaki pada suatu pagi, kami sering berpapasan dengan Dr. Radhakrishnan. Beliau selalu memberikan salam dengan mendekatkan kedua tangannya dan menyampaikan salam kepada kami. Namun, karena kami adalah biku, maka kami tak pernah sekalipun membalas salam darinya. Sekarang saya benar-benar menyesal telah melakukan hal itu.’

Kebanyakan biku Therawada dewasa ini masih saja melakukan hal yang dilakukan Biku Dhammananda dahulu. Perbedaannya hanyalah bahwa para biku sekarang ini kemungkinan besar tidak pernah lagi mengembangkan kebijaksanaan atau sifat rendah hati untuk menyesali perbuatan mereka. Bila para biku ‘sungguhan’ dan yang ‘berdisiplin keras’ saja masih sangat memperhatikan harga diri dan kehormatan, bagaimana pula dengan para biku yang biasa-biasa saja? 

Spiro mencatat sebuah insiden yang disaksikannya sendiri ketika ia tinggal di Burma. ‘Ketika seorang supir bus dari Mandalay diduga telah menghina beberapa biku yang kebetulan naik bus yang dikendarainya, sejumlah besar biku berkumpul untuk meminta supir tersebut berjalan dari Gedung Pemerintah ke Pagoda Arakan—kurang lebih 5 mil jauhnya—dengan membawa sebuah pertanda ‘kejahatannya’ yang dipakaikan ke lehernya. Sementara itu, sekelompok biku mengikutinya dari belakang sambil mengumumkan bahwa begitulah akibatnya bila orang menghina seorang biku. Hanya setelah melakukan negosiasi dengan pimpinan perusahaan bus tersebut, para biku itu mau mengalah dan menyelesaikan masalah tersebut. Supir bus tadi harus meminta maaf secara terbuka dan, tentu saja, mengadakan sebuah upacara khusus untuk itu.’

Dalam Tathagataguhya Sutra dan banyak kitab Mahayana lainnya, ada dikatakan bahwa seorang bodhisatwa ‘membungkuk memberi hormat di depan semua mahluk.’ Seorang biku Therawada tidak akan pernah berfikir untuk melakukan hal seperti itu. Mengapa para biku demikian mudah tersinggung dan demikian banyak menuntut bila berkaitan dengan formalitas-formalitas sosial yang dapat menaikkan derajat mereka di depan mata orang lain? Mengapa mereka tidak menjawab sapaan atau penghormatan yang diberikan oleh seorang biksu Mahayana, apalagi yang diberikan oleh seorang umat awam? Mengapa mereka tak pernah mengatakan ‘Terima Kasih’ ketika diberikan sesuatu atau ketika diberikan bantuan?

Buddha tak pernah mengatakan bahwa seorang biku tak boleh melakukan hal-hal tersebut. Di dalam peraturan Winaya pun, hal itu tak ada disebutkan. Oleh sebab itu,  ketaatan pada kitab suci tak mungkin dapat dijadikan alasan. Fakta sebenarnya adalah bahwa tradisi Therawada itu ada sedemikian rupa sehingga ia lebih memungkinkan seorang biku mengembangkan sebuah kompleks superioritas.

Bahasa-bahasa yang dipakai dalam tradisi Therawada pun semakin memperteguh rasa pentingnya diri sendiri itu di kalangan para biku. Di Burma, para biku disebut sebagai  yahan yang berasal dari kata Pali arahat; dan, mereka disapa dengan sebutan  pungi yang artinya ‘kemuliaan besar.’ Bahasa Thailand yang sangat dihormati  phra hanya dipakai untuk Buddha, sang raja, para dewa dan, seperti dapat ditebak, juga untuk para biku. Di Sinhala, para biku saling menyapa di antara sesama mereka dengan sebutan muradevatavo, ‘dewa pelindung’ dan dipanggil dengan sebutan  swamiwahanse yang artinya seperti ‘Yang Mulia.’
Ketika sedang berbicara kepada dan tentang para biku, umat awam Therawada memakai kosa kata yang terpisah dan bersifat lebih khusus lagi. Di Sri Lanka, umat awamnya pergi  nidienawa, ‘tidur’, namun para bikunya satapenawa, ‘beristirahat dengan anggun.’ Umat Burma biasa  tamin sarde  ‘makan’, tetapi para bikunya sun poung pide’ ‘memuliakan makanan.’  Yang paling dahsyat dari semua itu adalah orang biasa di Burma theide ‘meninggal dunia’, sedangkan para biku pyando mude  ‘kembali ke alam surga.’  Para biku di Sri Lanka malahan dapat naik darah dengan cara yang berbeda; mereka ediriwenawa; sedangkan, umat awam hanyalah tarahawenawa.
Para biku diperlakukan seolah-olah mereka lebih superior dan, tentu saja, mudah-mudahan mereka memang lebih superior seperti itu. Tetapi, kenyataannya adalah bila belum mencapai tingkat sotapanna atau yang lebih tinggi, para biku itu hanyalah umat manusia biasa dengan kelemahan-kelemahan fisik dan moril sebagaimana manusia biasa.
Dari semua kekotoran batin, kesombongan adalah yang paling mudah untuk dibangkitkan dan yang paling menggiurkan. Memperlakukan seorang manusia biasa, bahkan yang paling tulus dan berkesadaran sekalipun, seakan-akan ia adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, pada akhirnya nanti ia pun akan mulai berfikir dan berbuat seolah-olah ia telah menjadi Tuhan Yang Maha Kuasa itu.  Pujian, rasa hormat dan sanjungan dapat menjadi sangat menggiurkan..

Mula-mula para biku akan menyukainya, kemudian mereka mengharapkannya; lalu, mereka tergantung padanya dan pada akhirnya—untuk memastikan agar hal-hal tersebut tetap ada—mereka pun menjadikan hal-hal tersebut menjadi tema dari kotbah-kotbah dan tulisan mereka.  Seorang biku bisa saja tak berhasil mengajarkan aspek-aspek tentang Dharma, tetapi tentang pentingnya melayani dan menghormati Sanggha adalah sebuah pokok soal yang tak pernah mereka lupakan. Padahal, Buddha mengatakan bahwa hanya mereka-mereka yang mempraktekkan Dharma sajalah yang paling menghormatinya (D.II,138).  Tetapi, banyak biku Therawada tampak mengajarkan yang sebaliknya; yakni, siapa yang menghormati para biku merekalah yang paling baik dalam mempraktekkan Dharma.
Pembenaran yang umum diberikan oleh para biku agar umat awam membungkuk memberi hormat pada mereka, makan secara terpisah dari para biku, dan takkan pernah duduk lebih tinggi daripada para biku adalah bahwa  semua itu semata-mata merupakan cara bagi anda untuk menghadapi dan meperlemah kesombongan anda. Bukankah sangat membesarkan hati mengetahui bahwa para biku Therawada begitu pedulinya dengan upaya membantu umat manusia yang lebih lemah supaya mereka dapat membuang kesombongan mereka? Betapa bijaksananya mereka mau menyediakan diri untuk tujuan tersebut!

Tetapi, bila dengan membungkuk memberi hormat pada orang lain dapat mengurangi kesombongan kita, bukankah sebaliknya juga benar bahwa mereka yang diberi penghormatan semacam itu justru kesombongannya akan bertambah? Poin ini tampaknya tak pernah dibicarakan sama sekali. Penekanan para biku akan pentingnya umat awam memberi hormat kepada mereka dan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang mula-mula diajarkan kepada para pendatang baru di dalam tradisi Therawada memperlihatkan bahwa tujuan sesungguhnya dari praktek tersebut tentu adalah sesuatu yang sama sekali lain daripada yang dikatakan di atas.

Seorang guru meditasi bernama Eric Harrison menulis, ‘Sebuah bungkukan badan memang adalah masalah kecil, tetapi apa maksudnya bungkukan tersebut? Memang hampir-hampir tidaklah mungkin bagi anda unyuk mendekati seorang guru Buddhis sebagai sesama orang yang setara tingkat intelektualnya. Dinamika ajaran yang diberikannya pun tidak akan terjadi sebelum anda mengakui status superior biku tersebut. Otoritas tersebut perlulah senantiasa diperkuat dengan sikap-sikap yang terus-menerus memberikan hormat padanya. .. Sikap ritual yang mengelilingi seorang guru memang didesain untuk memperkuat statusnya dan juga ajarannya. Memberikan rasa hormat, ataupun bersedia masuk ke dalam urutan kekuasaan tersebut biasanya adalah sebuah persyaratan bila seseorang ingin mendapatkan ajarannya.’ Tentu sangatlah sulit untuk tidak menyetujui penilaian ini.

Namun, penghormatan yang berlebihan yang mengitari para biku tersebut bukan saja telah membuat kebanyakan dari para biku cepat berpuas diri dan sombong, tetapi juga mempunyai efek yang lebih membahayakan lagi.  Hal itu membantu menciptakan sebuah keadaan dimana umat awam dapat saja memberikan atribut-atribut kebaikan kepada para biku, sedangkan para biku itu tidak memilikinya; atau, sebaliknya, umat awam tak dapat melihat kebaikan-kebaikan yang sebenarnya telah mereka sendiri miliki.

Tampaknya umat awam menjadi buta untuk sementara waktu ketika berhadapan dengan seseorang yang mengenakan jubah kuning itu. Dalam Dhammapradipika, ada sebuah kisah yang menyarankan bagaimana sebaiknya respon umat Therawada yang ideal dalam menghadapi kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalam Sanggha.

Suatu ketika, seorang umat awam melihat seorang biku dan bikuni sedang melakukan hubungan seks. Tetapi, daripada memprotes perbuatan tersebut kepada mereka, ia menyalahkan matanya sendiri; dan, kemudian ia membutakan matanya sendiri agar tidak akan pernah lagi melihat perbuatan kotor di dalam Sanggha. Tindakan-tindakan seperti inipun disarankan sebagai norma. Namun, pada waktunya nanti, bahkan seorang biku yang baik sekali pun dapat tergoda untuk mengambil keuntungan-keuntungan dari keadaan ini melalui cara-cara yang tanpa disadari dapat menyebabkan para biku itu menjadi tidak jujur dan ekploitatif..

Saya kira ini dapat menjelaskan bukan saja mengapa terdapat korupsi dalam Sanggha Therawada, tetapi mengapa penyelewengan tersebut begitu merembes kemana-mana. Secara kebetulan, bukan saja mereka yang mengalami pengkondisian secara tradisi Therawada saja yang mudah tertipu, bila berhadapan dengan Sanggha; umat Buddhis Barat yang idealistis dan tak tahu-menahu pun sama saja dapat dengan mudahnya teperdaya.
            Bertahun-tahun yang lalu, saya diminta untuk mengadakan sebuah pelatihan meditasi di sebuah pusat pembelajaran meditasi di negara Barat.  Ketika saya tiba di tempat tersebut, saya diberitahu bahwa ada seorang biku yang akan memakai tempat yang sama untuk mengadakan sebuah kursus pelatihan; dan, saya dibawa untuk menemuinya.
Biku tersebut adalah seorang biku tua asal Burma yang benar-benar berpenampilan kumal.  Ia menyambut saya dengan cara yang membesarkan hati, memukul-mukul saya di punggung dan berbicara dengan keras sekali. Biku itu merokok cerutu dari Burma yang asapnya bau sekali; dan, gigi serta jari-jari tangannya menjadi kecoklatan akibat nikotin. Kebetulan saya telah mengenal biku tersebut.

Ia memiliki reputasi tertentu di Asia Tenggara karena sering menjajakan relik-relik tiruan dan juga karena sering terlibat dalam transaksi bisnis yang curang. Hal ini sungguh tak mengejutkan saya karena biku-biku seperti ini memang cukup lazim; dan, saya telah bertemu dengan mereka beberapa kali. Namun, yang mengejutkan saya adalah begitu mudahnya ia dapat menyelinap menjadi guru meditasi; dan, juga keterpesonaan saya akan murid-muridnya orang-orang Barat yang begitu menerimanya.

Mereka mabuk oleh setiap kata yang diucapkannya—seolah-olah biku tersebut adalah seorang arahat atau, setidak-tidaknya, hampir mencapai pencerahan. Orang-orang jahat biasanya harus menutupi sifat dan niat mereka yang sebenarnya supaya tidak diketahui oleh mereka yang akan segera ditipunya. Tetapi, untuk biku Therawada yang satu ini, hal tersebut tidaklah diperlukan. Dengan mengenakan jubah kuning saja, ia dapat membuat semua daya kritis umatnya tertidur tak berdaya.

Perempuan yang mula-mula mengundang biku tersebut ke Barat pun akhirnya menjauhkan diri darinya, setelah biku tersebut mencoba merayunya. Tetapi, itu sepertinya tidak menjadi soal pada saat itu.  Tentu saja, perempuan itu tidak akan berani mengatakan apapun. Sementara itu, sang biku telah menarik perhatian cukup banyak perempuan lainnya. Perempuan-perempuan ini hanya senang saja, karena mereka memang ingin memujanya, mencarikan uang untuknya, serta menuruti saja perintahnya.
            Barangkali cukup mudah bagi kita untuk bersikap kritis terhadap para biku seperti ini, dan membayangkan bahwa mereka akan menghancurkan tradisi Therawada itu. Namun, perasaan saya mengatakan bahwa kenyataannya bisa saja sebaliknya. Para biku tersebut adalah juga korban sama seperti para umat yang dieksploitasinya. Mereka merusak tradisi Therawada, tetapi semata-mata karena tradisi Therawada telah merusak mereka terlebih dahulu.

Memang benar bahwa banyak sekali laki-laki yang memasuki kehidupan kebikuan dengan tujuan yang baik; dan, sekalipun banyak anak muda yang dipaksa untuk memasuki Sanggha, namun dengan pengaruh yang benar, mereka akan dapat tumbuh menjadi biku-biku yang sesungguhnya.

Tetapi, lambat laun namun pasti, bahkan para biku yang baik sekalipun pasti memiliki ego yang akan bertambah besar bila terus-menerus dipuja-puji secara berlebih-lebihan. Mereka dininabobokkan oleh kerumunan umat awam yang melayaninya dengan kepatuhan sehingga, akhirnya, mereka pun menjadi malas. Upaya-upaya para biku tersebut untuk hidup secara keras menjadi luluh karena adanya segunung pemberian dan hadiah yang mereka terima. Integritas mereka pun mengalami erosi karena setiap kata dan tindakan yang mereka lakukan mendapat pujian dan tepuk tangan—bahkan, sekalipun, kata-kata atau tindakan-tindakan tersebut biasa-biasa saja. Persoalannya bukanlah terletak pada para biku itu, melainkan pada sistim yang berlaku; walaupun, adalah para biku itu juga yang membuat sistim tersebut berjalan.

Kenegatifan

Tradisi Therawada kiranya mempunyai pandangan yang jelas-jelas negatif. Negatif dalam artian bahwa terdapat di dalamnya kecendrungan untuk memperhatikan hanya yang buruk-buruk saja, yang jelek-jelek saja, atau bagian dari segala sesuatu yang memiliki kekurangan saja.

Secara tradisi, para biku Therawada akan menghadiri upacara kematian, tetapi mereka tidak akan menghadiri perayaan-perayaan kesenangan ataupun kebahagiaan dalam hidup ini. Mereka dapat melihat signifikansi spiritual dalam peristiwa sakit dan kematian, tetapi tidak melihat apapun yang positif dalam peristiwa perkawinan, kelahiran ataupun memasuki usia akil balik. Bila kita melihat teks-teks Therawada tentang perbuatan kebajikan, maka kita akan  melihat kecendrungan yang sama ini.

Bab pertama dari buku Visuddhimagga, kompedium Therawada yang sangat besar itu, berjudul ‘Sebuah Ulasan Mengenai Kebajikan’ merupakan analisis tentang moralitas yang paling panjang dan paling rinci yang dapat dijumpai dalam literatur Therawada tradisional.[‡‡‡] Menurut Buddhaghosa, fungsi dari kebajikan adalah untuk menghentikan perbuatan-perbuatan yang jahat dan menghindari cemoohan; dan, ‘penyebab-penyebabnya yang paling dekat’ adalah penyesalan dan rasa malu.[§§§]

Mengawalinya dengan catatan yang negatif ini, Buddhaghosa kemudian melanjutkannya dengan nada bicara yang sama hingga sepanjang lima puluh delapan halaman (baca: dalam terjemahan Inggrisnya). Hampir-hampir tidak ada disebutkan sedikitpun di sana tentang perlunya melakukan apapun yang biasanya dapat dianggap sebagai kebajikan. Memang, kebajikan ada didefinisikan dan dideskripsikan. Penyebab-penyebab yang paling dekat dengan kebajikan serta akibat-akibat karma dari kebajikan itu dibicarakan secara rinci; tetapi, pada akhirnya, kebajikan diperlihatkan secara keseluruhan sebagai upaya untuk menghindari perbuatan jahat, dan bukan melakukan perbuatan baik itu sendiri.
Tetapi, Visudhimagga ditulis berabad-abad yang lalu. Barangkali tradisi Therawada pun telah berubah menjadi lebih inklusif sejak saat itu.

            Saya menjangkau rak buku di belakang saja dan secara acak mengambil sebuah buku dan melihat apa kata buku tersebut tentang kebajikan atau Perbuatan Benar. Kebetulan saya mengambil komenteri Mahasi Sayadaw tentang Dharmacakkappavattana Sutta. Lalu, saya melirik ke bagian yang menyinggung Perbuatan Benar untuk melihat apa yang dikatakan Mahasi Sayadaw tentang kebajikan.

‘(B)ila sebuah keadaan muncul di hadapan seseorang untuk melakukan pembunuhan, pencurian, pelecehan seksual, dan ia dapat menahan diri untuk tidak melakukannya, maka orang tersebut dapat dikatakan melakukan Perbuatan Benar.’
Lagi-lagi, disini kebajikan dan kebaikan hanya dimengerti sebagai hanya menghindari kejahatan. Lalu, saya meraih lagi sebuah buku yang lain secara random. Kali ini saya mendapatkan buku  Biku Khantipalo berjudul  Lay Buddhist Practice.

 Khantipalo dulunya adalah seorang biku Inggris yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengajarkan tradisi Therawada di Barat; sehingga, ia mungkin mengambil sebuah pendekatan yang lebih positif. Lalu, saya melirik ke bagian tentang Kelima Sila. Penulisnya menempatkan kelima sila itu dalam sebuah daftar dan kemudian mengatakan ‘Sila-sila ini adalah latihan dasar dan minimal yang dilakukan oleh seorang Buddhis untuk mengembangkan perbuatan moral. Sila-sila itu didesain untuk menjauhkannya dari melakukan karma buruk dalam ucapan dan perbuatan dan berfungsi sebagai dasar untuk kemajuan selanjutnya dalam Dharma.’ (cetak miring dari saya)
Sila-sila itu dengan benar dikatakan sebagai standar minimum kesusilaan, tetapi lebih dari itu tidaklah dibicarakan lagi. Khantipalo menyebutkannya secara benar bahwa sila-sila tersebut adalah dasar untuk pengembangan perbuatan baik selanjutnya. Tetapi, seperti juga sebelumnya, tidak lagi disebut-sebut apa sebenarnya kemajuan selanjutnya itu. (Apakah seseorang akan jauh meninggalkan tindakan menghindari pembunuhan dan, lalu, melakukan sesuatu untuk meningkatkan kebahagiaan dan kehidupan mahluk hidup lainnya?)

Saya lalu melirik ke bagian buku tersebut yang membahas tentang Delapan Sila untuk melihat apa yang dikatakan Khantipalo mengenai mereka: ‘Umat Buddhis awam telah memahami bahwa bila seseorang hendak menjalankan ke-Delapan Sila ini, maka ia harus berusaha keras untuk tidak melanggarnya… Bila seseorang mencoba melaksanakannya, maka ia harus cukup yakin…bahwa ia tidak akan melanggar satu pun dari sila-sila itu.’ Disini pun, seperti juga di bagian-bagian lainnya, kebajikan difahami tidaklah dalam kaitannya dengan melakukan sesuatu yang baik dan menguntungkan, melainkan dalam kaitannya dengan tidak melakukan apapun yang jahat.
            Bila kita melihat ajaran Buddha tentang kebajikan, kita akan mendapati bahwa ia biasanya menyeimbangkan perbuatan menghindari yang salah (varita) dengan berbuat kebaikan (carita). Ringkasan ajaran tersebut yang terkenal dalam Dhammapada adalah sebuah contoh yang khas dalam hal ini – ‘Janganlah berbuat kejahatan, belajarlah berbuat kebaikan…’ etc (Dhp.183). Penyeimbangan antara yang negatif dengan yang positif, aspek-aspek yang pasif dan dinamis dari kebajikan tersebut secara baik terilustrasikan dalam sila pertama yang diajarkan oleh Buddha itu.

Buddha mengatakan,  ‘Setelah menghindari keinginan untuk membunuh, pertapa Gotama menjauhi tindakan membunuh. Ia telah melepaskan tombak dan pedang dan hidup dengan penuh pertimbangan, kebaikan dan welas asih untuk kebaikan semua mahluk’ (D.I,40). 
Komenteri untuk ayat ini bisa mengandung sebuah pembicaraan yang panjang dan berbelit-belit mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan membunuh; dan, sub-komenterinya memanfaatkan kesempatan untuk mengelaborasi beberapa dari ide-ide tersebut secara lebih mendalam lagi. Tetapi, seperti dapat ditebak, baik komenteri maupun sub-komenteri tersebut kedua-duanya tidak membicarakan, walau sedikitpun, implikasi-implikasi dari kata-kata ‘hidup dengan penuh pertimbangan, kebaikan dan welas asih untuk kebaikan semua mahluk.’

Hal lain lagi dimana kebajikan menurut tradisi Therawada dapat dikatakan bersifat negatif adalah adanya ajaran bahwa kebajikan itu pada dasarnya bersifat lebih mementingkan diri sendiri. Dampak dari sifat seseorang, apakah baik atau tidak, terhadap orang lain tidaklah begitu penting dalam tradisi Therawada. Seorang penganut Therawada menjauhkan diri dari menyakiti orang lain, bukan karena ia peduli dengan orang lain itu; melainkan, agar ia dapat mengelak dari berbuat karma buruk; dan, bila ia melakukan suatu perbuatan yang baik, itu pun bukanlah karena ia ingin menolong orang lain, melainkan demi keuntungan-keuntungan pribadi yang dapat diperolehnya.

Tentang semangat mementingkan diri sendiri di dalam sila tersebut, kaum Mahayana telah mengkritiknya sejak berabad-abad yang lalu. Dalam Sutra Winaya Definitif (Sutra ke-24 dari kumpulan Maharatnakuta) dikatakan,  ‘Buddha mengajari para Bodhisatwa sila-sila yang tidak perlu dipatuhi secara amat ketat dan secara harfiah; tetapi, Ia mengajari para sravaka (penganut Theravada) sila-sila yang harus dipatuhi secara amat ketat dan secara harfiah; Buddha mengajari para bodhisatwa sila-sila yang permisif tetapi sekaligus prohibitif; tetapi, Ia mengajarkan para sravaka sila-sila yang semata-mata prohibitif.’  
Teks yang lain, Mahayanasangraha, menekankan bahwa sila mempunyai tiga aspek—menganjurkan orang untuk menghindari yang jahat, mengejar kebaikan dan demi kebaikan orang banyak. Teks ini secara tepat memperlihatkan bahwa kaum sravakas hanya mengejar aspek yang pertama; dan, mereka menjalankan sila hanya untuk kebaikan mereka sendiri saja.

Sebagai contoh aspek sila proaktif yang kedua, Mahayanasangraha menyebutkan pentingnya menjaga si sakit, terlibat dalam kepentingan-kepentingan orang lain supaya kita mampu mengajarkan Dharma, menolong orang yang melakukan perjalanan, belajar bahasa isyarat supaya dapat berkomunikasi dengan para tuna runggu, melindungi orang lain dari bahaya-bahaya, dll. Buddha juga mendesak kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan pengaruh yang positif bagi kehidupan orang lain.

Dalam Samyutta Nikaya, sebagai contoh, Buddha menyarankan agar kita menanam pepohonan di pinggir jalan besar, melakukan pekerjaan-pekerjaan irigasi, menggali sumur dan memberikan tempat penampungan untuk para gelandangan (S.III,45-6). Contoh-contoh perbuatan bajik yang praktis dan positif seperti ini acapkali dianjurkan dalam sutra-sutra Mahayana; tetapi, jarang sekali, kalaupun ada, terdapat dalam kitab-kitab tradisi Therawada.
            Kecendrungan tradisi Therawada dalam melihat kebajikan secara negatif ini, saya percaya, telah mempengaruhi cara pikir dan pola sikap orang secara mendalam. Di Thailand, sebagai contoh, orang biasanya membuang hewan piaran anjing ke wihara-wihara, karena, dengan banyaknya makanan yang bersisa di wihara-wihara, biasanya hewan-hewan yang tak berpemilik itu pasti akan dapat memakan sesuatu disana.
Anjing-anjing pi ini, sebagaimana mereka biasa dipanggil, selalu berkelahi satu sama lain dan biasanya sangat kurus dan berpenyakitan. Memang tak ada orang yang memperlakukan anjing-anjing itu dengan kejam, namun tak ada seorang pun yang melakukan apapun juga untuk memperbaiki keadaan mereka itu. Anjing-anjing itu dibiarkan saja menggaruk-garuk kudis mereka, berak di sekeliling wihara dan, lalu, melahirkan lebih banyak lagi anjing-anjing kecil yang tak diinginkan orang.

Apa yang terjadi pada anjing, demikian juga terjadi pada manusia. Kendatipun umat Kristiani hanyalah sebuah minoritas yang amat kecil dari keseluruhan penduduk Thailand, mereka cukup banyak melakukan pekerjaan sosial tanpa mengikutsertakan pemerintah. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara Therawada lainnya.
Suatu ketika saya tinggal di sebuah wihara yang luas dan kaya di Sri Lanka dimana terdapat selusin pelayan atau lebih, tetapi salah seorang di antaranya tuli dan bisu. Di Sri Lanka, sebagaimana juga pada masyarakat-masyarakat agraris dimanapun, orang banyak menganggap manusia-manusia cacat sebagai sumber hiburan; dan, di wihara ini orang yang tuli dan bisu tersebut pun tak henti-hentinya diganggu oleh yang lainnya.

Para pelayan wihara yang lain tiba-tiba saja muncul di belakang orang tuli dan bisu tersebut dan menarik sarong yang dipakainya, atau menepuk kepalanya, atau meletakkan serangga ke atas punggungnya sehingga membuat yang lainnya tertawa terbahak-bahak. Terkadang, si bisu dan tuli itu menangis karena merasa frustasi dan terhina. Memang, saya tak pernah melihat biku kepala maupun para biku lainnya menyiksa laki-laki malang tersebut (walaupun mereka sering ikut tertawa juga); namun, mereka tidak melakukan apapun juga untuk menghentikan yang lainnya supaya mereka tidak lagi mengganggu si tuli dan bisu itu. Sesungguhnya, satu kata saja dari biku kepala yang cukup disegani itu akan menghentikan siksaan tersebut; tetapi, kata itu pun tak pernah terucapkan.

Dalam tradisi Therawada, sudahlah cukup kiranya bila kita menghindari perbuatan yang salah. Bukti lain bahwa tradisi Therawada hanya melihat kebajikan secara negatif dapat dilihat pula pada praktek sila yang lazim dilakukan di wihara pada hari uposata. Pada hari tersebut, orang menghabiskan waktu mereka di wihara untuk menghindari keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan mereka melakukan perbuatan yang salah. Namun, tatkala berada di dalam wihara untuk menghabiskan waktu pada hari uposata itu, tradisi tidak mengajarkan agar mereka juga melakukan perbuatan baik bagi orang lain.
Khuddakapatha, kitab yang paling singkat dalam Tipitaka Pali, adalah sekumpulan teks dan sutta yang di dalamnya termasuk Dvattisakara dan Metta Sutta yang terkenal itu.  Dvattisakara  terdiri dari sebuah daftar bagian-bagian tubuh manusia; dan, ini dimaksudkan untuk menjadi renungan yang dapat melepaskan kita dari  kemelekatan atau, dalam tradisi Therawada, mengubah perasaan kita terhadap tubuh kita sendiri.

Metta Sutta adalah sebuah kidung yang indah dan menggugah. Ia menganjurkan agar kebajikan dilakukan terhadap semua mahluk hidup. Buddhaghosa menguraikan Dvattimsakara yang terdiri dari hanya tiga puluh enam kata Pali itu menjadi sebuah komenteri yang panjangnya tiga pulah enam halaman panjangnya; sedangkan, Metta Sutta, yang panjangnya lebih dari tiga kali panjang Dvattimsakara, hanya diuraikan menjadi sebuah komenteri yang panjangnya hanya dua puluh satu halaman dan  membosankan serta tak menarik.
Di atas telah disinggung bahwa dari dua skema berbeda tentang hukum sebab akibat yang saling bergantungan, semua penekanannya diberikan kepada yang berkaitan dengan penderitaan. Mengapa para pandit Therawada kuno memberikan cakupan yang menyeluruh terhadap ajaran tentang sebab penderitaan, namun secara total mengesampingkan ajaran mengenai bagaimana untuk keluar dari penderitaan itu?

Bila kita melihat ‘mata rantai’ dalam setiap skema tersebut, kita akan mendapatkan alasannya. Yang pertama adalah tentang ‘duka cita, kesedihan, penderitaan, ratapan, sakit dan putus asa’—pengalaman-pengalaman yang para penganut tradisi Therawada sangat menghayatinya. Yang kedua adalah keimanan, kesenangan, kebahagiaan, ketenangan, suka cita, pengetahuan, pandangan terang (vision) dan, terakhir, kebebasan—hal-hal yang tidak begitu diperhatikan sekali oleh penganut tradisi Therawada.
Kecendrungan untuk tidak memperhatikan hal-hal yang positif atau, kalaupun harus memberikan komentar, hanya mengatakannya dengan sesingkat mungkin atau, setidak-tidaknya, lebih singkat dibandingkan dengan komentar pada hal-hal yang negatif, sangat kelihatan sekali dalam hampir setiap aspek dalam tradisi Therawada.
            Sekarang, marilah kita melihat meditasi.

Buddha mengajarkan bahwa ada banyak jenis meditasi. Beberapa di antaranya dapatlah dianggap negatif—misalnya, dengan merenungkan peristiwa kematian atau dengan merenungkan rasa jijik yang dapat dimunculkan oleh makanan. Maksudnya, meditasi-meditasi seperti itu dapat menyebabkan orang menahan diri, menjauhkan diri, serta mengurangi emosi. Jenis-jenis meditasi lainnya, seperti  Metta bhavana, dapat dianggap positif karena mereka membangkitkan semangat, mendatangkan kebahagiaan dan mendatangkan antusiasme.

Sangatlah mungkin bahwa Buddha mengajarkan jenis-jenis kontemplasi yang berbeda-beda ini untuk memenuhi kebutuhan setiap kepribadian yang berbeda, untuk mengatasi masalah-masalah yang spesifik, untuk mendatangkan kebajikan tertentu dan untuk mendatangkan keseimbangan antara satu dengan yang lainnya. 
Marilah kita lihat bagaimana meditasi itu dijelaskan dalam Visuddhimagga.
Buddhaghosa menghabiskan sebelas halaman penuh untuk membicarakan meditasi yang mengambil kematian sebagai objek renungan; sedangkan, sebanyak dua puluh halaman dipakai untuk membicarakan meditasi yang mengambil objek perasaan jijik terhadap tubuh jasad. Ketika membicarakan meditasi yang objeknya adalah tubuh-tubuh mayat yang membusuk itulah, Buddhaghosa menunjukkan kepiawaiannya. Dalam sembilan belas halaman penuh, ia begitu setia dan begitu rinci dalam menggambarkan daging yang membusuk, isi perut yang membengkak, dan belatung-belatung yang keluar dari rongga-rongga mata.
Namun, ketika ia mengulas tentang meditasi yang dapat membangkitkan hati dan menyegarkan pikiran, Buddhaghosa tampaknya kering sekali akan ide-ide.  Meditasi dengan objek kemurahan hati, sebagai contoh, dibicarakan secara cepat dengan memakai kurang dari tiga halaman; sedangkan, meditasi tentang kedamaian hanya dilakukan dalam dua halaman saja. Meditasi-meditasi yang positif lainnya seperti meditasi dengan objek renungan persahabatan spiritual (Kalyanamittaanussati, A.V. 336) hampir-hampir terlupakan seluruhnya.

            Buku-buku petunjuk meditasi modern juga memperlihatkan kecendrungan orang dalam menyukai yang negatif seperti itu. Kebanyakan buku tersebut memberikan ruang yang banyak untuk membicarakan Metta bhavana, tetapi meditasi-meditasi yang positif lainnya hanya diberi perhatian yang sedikit sekali atau tidak sama sekali. Sedangkan meditasi yang berdasarkan perenungan akan jijiknya makanan dan kematian hampir selalu saja diikutsertakan. Jenis meditasi yang terakhir ini dan juga praktek-praktek yang mengitarinya telah memainkan peranan yang begitu penting dalam tradisi Therawada.
Pusat pengajaran meditasi di Sri Lanka yang dapat disebut sebagai pusat meditasi yang layak haruslah mempunyai sebuah kerangka tulang manusia yang sudah tua dan rapuh. Pusat-pusat meditasi dan wihara-wihara yang lazim di Thailand sering mempunyai koleksi foto-foto otopsi, mayat-mayat yang telah membengkak dan korban-korban mutilasi yang mengerikan. Foto-foto ini diberikan dengan segala senang hati oleh pihak kepolisian.  
Sebuah buku yang diterbitkan baru-baru ini berjudul  Treasury of Truth berisi terjemahan dari Dhammapada dengan dilengkapi gambar-gambar berwarna berupa ilustrasi untuk syair-syair Dhammapada tersebut. Dua puluh persen dari gambar-gambar tersebut memperlihatkan bangkai-bangkai manusia ataupun tulang-belulang manusia.

Saya memiliki biografi dari seorang guru meditasi Thailand kontemporer yang populer dan, di dalamnya, terdapat paragraf yang bunyinya seperti berikut ini:
‘Ia melihat mayat-mayat tersebut membusuk dari hari ke hari. Ia tinggal bersama dengan mayat-mayat busuk yang telah membengkak, mayat dengan darah dan cairan tubuh yang keluar darinya, dan juga mayat dengan bau daging yang sudah busuk. Untuk memperlihatkan dan mencari organ-organ tubuh sebelah dalam yang dapat dijadikan objek kontemplasi, ia memotong mayat-mayat busuk itu, memindahkan beberapa organ tubuhnya dan mengawetkannya dalam cairan. Tinggal bersama-sama dengan mayat-mayat ini membuatnya mampu untuk mendapatkan kemajuan dalam menapaki jalan Dharma.’

Apakah biku ini benar-benar menghabiskan waktu selama berbulan-bulan lamanya dalam lingkungan yang sangat tidak menyenangkan tersebut, saya tidak tahu. Tetapi, bila ingin dianggap sebagai guru meditasi yang serius, tentu saja ia harus mengakui bahwa ia telah melakukannya.
Dalam tradisi Therawada, necrophilia atau merenung dengan mempergunakan tubuh mayat hampir-hampir sama dengan kebajikan spiritual. Psikologi Therawada yang khas adalah bahwa kecantikan menimbulkan kemelekatan; dan oleh sebab itu, penolakan terhadapnya dengan perasaan jijik akan dapat mendatangkan ketakmelekatan.[****]
Ironisnya, untuk bukti yang dapat membenarkan ini, kita dapat membaca Winaya yang banyak berisi kisah-kisah tentang para biku yang melakukan meditasi dengan objek tubuh mayat tersebut, tetapi yang berakhir dengan persetubuhan atau masturbasi dengan mayat-mayat itu—termasuk di dalamnya mayat-mayat yang sudah dalam tahap sangat membusuk (Vin.III,36).[††††]

Winaya menyebutkan bahwa sebanyak enam puluh orang biku melakukan bunuh diri setelah Buddha memberikan kotbah yang memuji-muji meditasi yang memanfaatkan perasaan jijik atas tubuh jasmani. (Vin.III,67)  Seseorang mungkin berfikir bahwa sudah cukuplah bila guru-guru meditasi itu hanya merekomendasi praktek tersebut dengan sangat berhati-hati. Tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Nyatanya, hal ini cukup lazim diajarkan kepada siapapun yang datang untuk belajar meditasi.
Secara pribadi saya mengetahui ada beberapa kasus di Singapura dan Malaysia yang berakhir dengan akibat fatal bagi orang-orang yang belajar meditasi dengan para biku itu.
Seperti juga dengan banyak hal lainnya, Mahayana memakai pendekatan yang lebih berimbang dan lebih positif bila berkenaan dengan tubuh manusia. Walaupun mengakui adanya aspek-aspek yang tidak menarik tentang tubuh manusia itu, penganut Mahayana dianjurkan untuk sebaiknya dapat menggunakan tubuhnya demi kebaikan orang lain.

Sebagai contoh,  Sutra Akshayamati meminta setiap bodhisatwa untuk berfikir seperti ini, ‘”Aku harus memakai bahkan tubuh ini untuk kebaikan semua mahluk’’ …Setelah melihat bahwa tubuh ini dipakai untuk maksud tersebut, bodhisatwa tersebut memandangi malangnya tubuh ini tetapi tanpa merasakan penderitaan karena ia lebih mempedulikan mahluk-mahluk lain.’

Sekarang, orang barangkali akan bertanya, ‘Jika tradisi Therawada demikian negatifnya, mengapa orang-orang yang ada di negeri-negeri Therawada itu begitu hangat dan ramahnya?’ Walaupun benar bahwa orang-orang di Thailand,   Sri Lanka dan lain-lain selalu tersenyum dan bersikap baik, namun alasan untuk hal ini bukanlah karena mereka menganut tradisi Therawada; tetapi, sebaliknya, karena mereka tidak menerapkan ajaran Therawada.

Antropolog Paul Wirs mengatakannya dengan benar bahwa, ‘Pada kenyataannya, hal itu sama saja (di Sri Lanka) dan di negara-negara Buddhis lainnya; hanya beberapa orang saja yang benar-benar mengerti dan memahami ajaran agama Buddha dalam kedalamannya yang sesungguhnya; sisanya hanyalah orang-orang yang namanya saja Buddhis, di dalamnya termasuk juga mereka-mereka yang mengenakan jubah kuning …’
Bagi mayoritas penduduk di negara-negara Therawada, agama hanyalah sedikit melebihi tindakan memberikan dana kepada para biku, berkonsultasi dengan para biku soal astrologi, memuja-muja relik, melakukan puja dan barangkali juga menjalankan sila-sila pada hari-hari uposatha bagi mereka telah mencapai usia tua. Namun, segera setelah mereka mulai melakukan studi Dharma ataupun meditasi secara serius, maka selubung kemuraman khas tradisi Therawada itu pun akan segera menyelimuti mereka lagi; dan, mereka akan mulai menjadi pendiam, hanya memikirkan diri sendiri dan muram.

Hadirilah sebuah perayaan dalam sebuah wihara di Sri Lanka, maka anda akan mendapatkan warna, senyuman dan suasana kesalehan yang sangat sederhana. Namun, pergilah ke sebuah pusat pengajaran meditasi, gedung-gedungnya sama buruknya dengan toilet-toilet di kota, kamar-kamarnya dingin, tak seorang pun tersenyum, dan para peserta meditasi berjalan dan kelihatannya seperti para penghuni sebuah rumah sakit jiwa yang telah berada lama disana.

Sesungguhnya bukanlah tak diketahui bahwa ada juga orang, yang karena menghabiskan waktu di pusat-pusat pengajaran meditasi ini, kemudian mempunyai masalah mental yang serius. Sebuah lelucon yang beredar di beberapa kalangan tertentu di Sri Lanka pada tahun 90-an berbunyi seperti ini,  ‘Satu bulan di Kanduboda, setelah itu enam bulan di Angoda.’  Kanduboda adalah sebuah pusat meditasi yang terkenal di Colombo dan Angoda adalah rumah sakit jiwa yang terutama di kota Colombo.

Kebosanan

Karena Winaya Therawada, seperti juga latihan moral untuk umat awam Therawada, disajikan dalam bentuk sebuah daftar berisi hal-hal yang tidak boleh dilakukan, ini dapat berarti bahwa seorang biku, yang tidak melakukan apapun juga, kemungkinan dapat memenuhi syarat untuk menjadi seorang biku yang baik. Secara signifikan, tidak ada aturan Winaya yang mengharuskan para biku untuk mempelajari Dharma, untuk mengajarkannya, untuk melakukan apapun juga yang praktis demi menolong sesama atau, bahkan, untuk bermeditasi sekalipun.[‡‡‡‡]

Kekurangan ini telah lama disadari di dalam lingkungan tradisi Mahayana dan, kemudian, diralat dengan membuat aturan-aturan yang proaktif. Sebagai contoh, dalam Bodhisattavabhumi, yang merupakan sebuah Winaya alternatif untuk Mahayana, ketidakmauan dalam berbagi dengan orang lain adalah sebuah pelanggaran yang sama seriusnya dengan penolakan untuk mengajarkan Dharma ketika diminta; sama seriusnya dengan mengabaikan orang lain, karena mereka tidak bermoral; sama seriusnya dengan memaksakan penerapan aturan-aturan yang kecil kendatipun sedang menghadapi kebutuhan orang lain yang bertentangan dengannya, dlsb.

Hanya sejumlah kecil biksu Mahayana saja yang mempunyai pengetahuan Dharma yang baik dan mendalam; kebanyakan dari mereka hanya memahami hal-hal yang mendasar saja, walaupun tidak jarang kita juga menemukan para biksu yang hanya memahami sangat sedikit sekali atau, bahkan, tidak sama sekali.

Bertolak belakang dengan persepsi umum, meditasi sangatlah jarang dalam lingkungan Therawada. Spiro mengatakan,  ‘(S)angat sedikit sekali para biku di kampung-kampung yang bermeditasi; dan, hanya segelintir saja yang mengaku melakukannya. Biasanya mereka mengatakan tidak ada waktu. Keadaan ini sedikit berbeda dengan di wihara-wihara kota yang lebih besar. Di Mandalay, menurut seorang pejabat dari Kementrian Agama, tak lebih daripada 15 persen dari para biku itu yang mengambil waktu untuk bermeditasi. Di daerah terpencil di Thailand, menurut Ingersoll, tidak ada biku yang bermeditasi. Biasanya, seperti halnya di Burma, mereka mengatakan tidak ada waktu.’  

Antopolog Jane Bunnag yang melakukan penelitian tentang para biku di sebuah kota propinsi di Thailand menulis, ‘Kurang dari sepertiga dari informan saya di Ayutthaya melaporkan bahwa mereka melakukan meditasi; dan, bahkan, para biku ini pun bermeditasi hanya ‘dari waktu ke waktu’ saja, atau ‘ketika mereka tidak memiliki kesibukan.’ Ketika ditanya apakah teknik yang dipakai, mereka menjawab dengan sangat kabur…Walaupun kebanyakan para biku mengatakan, walaupun dengan berpura-pura, bahwa orang seharusnya bermeditasi …meditasi ternyata dianggap sebagai aktivitas yang lebih sesuai untuk dilakukan oleh para bikuni…oleh biku yang saiyasat (mereka yang mempraktekkan ilmu santet) atau oleh para biku yang doen thudong (melakukan ziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha).’

Di Sri Lanka,  meditasi hampir-hampir tidak ada lagi kecuali di sejumlah wihara tertentu yang memang mengajarkan meditasi;  dan, bahkan, itu pun tidaklah bersifat universal.[§§§§] Para biku yang sedang ditugaskan untuk belajar atau bermeditasi tentu memiliki kesempatan yang luar biasa untuk berlatih; tetapi, mereka biasanya hanyalah sebuah minoritas saja. Bagi para biku lainnya, motivasi untuk melakukan apapun sangatlah kecil sekali. Godaan untuk tidak melakukan apapun dan, lalu, membiarkan umat awam saja yang membuat kebajikan dengan melayani setiap tingkah mereka sangatlah besar. Sangatlah menyedihkan bahwa inilah yang dilakukan oleh banyak sekali biku.

            Para biku Thailand dan Burma menghabiskan waktu berjam-jam untuk ngobrol dengan ibu-ibu dan gadis-gadis muda; dan, kebanyakan dari yang diobrolkan itu pun adalah gosip-gosip dari kampung, bukan tentang Dharma sama sekali.  
Di Sri Lanka, para biku suka rileks di kursi-kursi malas yang besar sambil mengunyah siri dan membaca surat kabar. Bahkan sebuah wihara yang dikelola dengan sangat baik oleh seorang kepala wihara yang sangat luar biasa sekalipun kadang-kadang belumlah cukup untuk membangkitkan minat atau antusiasme, kecuali dari segelintir orang saja.

Paul Breiter yang menjalani hidup bertahun-tahun di Wat Pah Pong dengan Ajahn  Chah menulis bahwa kebanyakan para biku Thailand di sana merupakan ‘sekelompok orang-orang biasa yang hatinya benar-benar tidak ada di sana sama sekali.’  Pengamatan Spiro tentang Burma juga dapat diterapkan untuk negara-negara Therawada yang lain.

‘Kebosanan dan kejemuan serta kelesuan yang sering dapat ditemukan di wihara-wihara tersebut, tak diragukan lagi, telah menyebabkan begitu banyaknya waktu yang dipakai untuk tidur di wihara-wihara tersebut. Para biku selamanya tidur siang. Saya curiga jangan-jangan para biku yang mempraktekkan ilmu santet, pengobatan, praktek eksorsisme (mengusir hantu) dan … yang terlibat dalam politik melakukan semua itu bukan karena benar-benar tertarik dengan hal-hal tersebut, melainkan karena hal-hal itu memberikan sebuah kesempatan bagi mereka untuk melarikan diri dari kebosanan kehidupan wihara. Demikian juga, kebosanan yang serupa barangkali juga menyebabkan para biku itu begitu tertarik dengan para pengunjung vihara.’

Ada juga para biku yang mengambil jalan pelarian yang berbeda. Dalam sebuah survei yang dilakukan terhadap para biku di Thailand, antropolog J. C. Ingersoll mendapatkan bahwa kebosanan adalah alasan utama mengapa anak-anak muda meninggalkan Sanggha.
Ketika Somerset Maugham melakukan perjalanan di Burma, ia ditemani seorang penerjemah yang semasanya mudanya pernah tinggal di sebuah wihara. Maugham menanyai apa pendapatnya tentang kehidupan seorang biku.’Ia mengangkat bahunya.’ ‘Tak ada yang dilakukan disana,’ katanya. ‘Dua jam bekerja pada pagi hari dan ada pembacaan doa-doa pada malam hari; tetapi, sepanjang hari tidak ada apapun lagi yang dilakukan. Saya sangat senang ketika tiba waktunya bagi saya untuk pulang ke rumah.’’

Para biku muda yang telah meninggalkan masa muda mereka yang menyenangkan itu perlahan-lahan diterpa oleh beratnya tradisi dan, juga, oleh kenyamanan akibat adanya umat awam yang terus-menerus melakukan segala sesuatunya untuk mereka. Tak lama setelah itu, mereka pun melihat apa yang dilakukan oleh para biku yang lebih tua—yaitu, tidur.  
Anda akan sulit mempercayai bahwa ada manusia yang bisa tidur demikian lamanya kalau anda belum pernah tinggal di dalam sebuah wihara Therawada. Gambaran-gambaran dalam benak saya yang tak dapat saya lupakan tentang kehidupan saya di wihara selama bertahun-tahun adalah mengenai para biku Burma yang tertidur di kursi ketika umat mereka memijat-mijat kaki mereka; atau, para biku Thailand yang mendengkur ketika tertidur di lantai pada jam sepuluh pagi; dan, para nayaka hamdarus  tua yang mengantuk di Sri Lanka yang beranjak dari tempat tidur untuk makan siang; dan, kemudian, kembali ke tempat tidur selepas makan siang.

Biku Inggris Phra Peter mencatat sebuah kejadian lucu yang dilihatnya ketika seorang biku muda memberi hormat pada seniornya dengan tiga kali membungkukkan badan sesuai tradisi. Bungkukan yang pertama baik, yang kedua sedikit lebih lambat dan, ketika melakukan yang ketiga, ia langsung loyo dan tertidur di lantai.

Kemalasan yang merajalela ini adalah konsekuensi logis dari pemahaman Winaya bahwa orang lain akan melakukan segalanya untuk para biku. Dengan mengutip kata-kata Spiro lagi, ‘Hampir semua kebutuhan seorang biku dipersiapkan oleh orang lain, tanpa ia sendiri melakukannya—ataupun diizinkan untuk melakukannya untuk dirinya sendiri. Seperti kita telah lihat, ia tidak melakukan pekerjaan apapun; ia tidak bekerja untuk mendapatkan nafkah hidup; bahkan, sekalipun ia menghendakinya, ia bahkan tidak boleh menuang teh untuk dirinya sendiri atau mengangkat mangkoknya, apalagi untuk berkebun atau memperbaiki wiharanya sendiri. Segala sesuatu yang dibutuhkan olehnya harus diberikan kepadanya oleh orang lain; semua yang diinginkannya harus diberikan kepadanya oleh orang lain. Lebih dari itu, orang lainpun bukan saja wajib melayani para biku tersebut, tetapi, pada kenyataannya, mereka pun pasti melayaninya, dan—seperti kita telah lihat bersama—melayaninya dengan berlebihan pula.’ (Kata-kata yang dicetak miring seperti pada teks aslinya)

Begitu seringnya para biku yang lebih tua di Sri Lanka mengidap penyakit diabetes barangkali disebabkan karena mereka hampir-hampir tak pernah berolah raga dan karena mereka banyak mengkonsumsi makanan yang menggemukkan. Sebuah hasil penelitian yang diumumkan pada tahun 2002 memperlihatkan bahwa penyebab utama kematian di kalangan para biku Thailand adalah penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan merokok.
Karena tak banyak yang dapat dilakukan, para biku kemudian menghabiskan waktu untuk tidur, ngobrol dan merokok Klongtips. Bahkan para biku yang tertarik dengan meditasi atau belajar pun tak sanggup menyegarkan pikiran mereka dengan berolah raga. Aturan Winaya dan, ditambah dengan, keinginan masyarakat untuk terus memanjakan para biku dan membuat kebajikan telah membuat gerak badan menjadi sulit.

Pada akhir tahun 1970-an, ketika saya masih di Peradeniya University, saya sering berjalan setiap siang melewati kampus dan naik ke Wihara Hindagala yang indah, sejauh empat mil jauhnya pulang-pergi. Kepala wihara akhirnya mengetahui hal ini dan, setiap kali saya mengunjungi wihara itu lagi, ia akan dengan ramah memaksa agar saya dibawa pulang oleh supirnya; atau, dia akan memberi saya ongkos bus agar saya pulang dengan naik bus. Ia tidak mengerti mengapa saya harus berjalan bila ada kesempatan.

Para Lama Tibet membentuk-bentuk mentega untuk dijadikan persembahan dan memahat-mahat blok-blok kayu untuk percetakan. Para biksu Tiongkok membuka usaha restoran vegetarian dan berlatih tai chi. Para biksu aliran Zen membuat kaligrafi dan berkebun. Tetapi, banyak biku Therawada tidak melakukan apapun juga;[*****] dan, makna satu-satunya yang diberikan oleh tradisi Therawada kepada badan jasmani adalah sebagai objek yang kotor dan menjijikkan.

Konsep Yunani dan India mengenai bagaimana mengembangkan manusia seutuhnya—jasmani, mental dan spiritual—tidak pernah dihargai dalam tradisi Therawada dan, akibatnya, tentu adalah sebuah malapetaka. Baik oleh teman maupun musuh, penilaian terhadap para biku Therawada itu selalu sama saja—menyenangkan, lembut, selalu tersenyum dan benar-benar lamban sekali. Dalam keputusasaannya, Anagarika Dharmapala  berkata dengan keras,  ‘Kalau saja para biku itu mau menggerakkan diri mereka, maka agama Buddha tidak akan disebut agama pesimisme.’

Mengomentari ikhtiarnya melibatkan para biku untuk memajukan pendidikan Buddhis di Sri Lanka, Henry Olcott menjadi marah dan frustasi,  ‘Saya kira, kita harus menunggu waktu cukup lama untuk mendapatkan bantuan dari para biku Buddhis tersebut…setidak-tidaknya, saya tak sanggup membangkitkan semangat mereka kendatipun telah berhubungan cukup akrab dengan mereka selama dua puluh dua tahun.’

David Maurice, seorang Buddhis yang tekun dan pernah tinggal di Burma selama bertahun-tahun, menulis sebagai berikut, ‘Tinggallah di wihara-wihara di Burma; dan, anda akan berharap bahwa anda lebih baik berada di Afrika Timur. Semua orang disini tampaknya mengidap Penyakit Tidur.’ 
            Namun, walaupun memiliki banyak waktu luang, sangatlah mengherankan sekali betapa sedikitnya biku yang benar-benar melakukan sesuatu yang punya pengaruh terhadap perkembangan Dharma.

Pada tahun 1991, ketika saya masih tinggal di Singapura, saya melakukan sebuah survei tentang wihara-wihara Thailand yang ada di negara tersebut. Saya menetapkan lima buah wihara dan lima belas rumah (yang dijadikan wihara) tetapi yang pegawainya adalah para biku Thailand maupun biku Singapura yang telah dilatih dan ditahbiskan di Thailand—semuanya berjumlah empat puluh tiga biku. Tetapi, sebelum saya menginterviu para kepala wihara itu pun, sudah demikian jelas bagi saya bahwa kegiatan-kegiatan utama di setiap tempat ibadah ini berkaitan dengan apa yang dapat disebut sebagai ilmu santet Thailand—ada jimat-jimat   pembawa keberuntungan, patung-patung dewa caturmuka, peramalan nasib, ilmu santet, dan jimat-jimat penolak bala, dll.

Salah satu dari wihara tersebut bahkan memiliki seorang ‘Buddha Pembawa Keberuntungan’ dimana ada seseorang di dalamnya yang sanggup memprediksi nomor-nomor pembawa keberuntungan. Wihara ini sangat populer di kalangan pencinta judi sepak bola terutama sebelum diadakannya pertandingan sepak bola pada hari Minggu siang.
Wihara lainnya, di Racecourse Rd, tampaknya lebih menyerupai sebuah pasar ketimbang sebuah tempat untuk bersembahyang. Di antara kartu-kartu pos dan perhiasan-perhiasan murah yang dijual di ruang baktisala, saya juga temukan gantungan kunci yang dihias dengan gambar-gambar setengah porno di atasnya.

Saya bertanya kepada setiap biku kepala atau mereka yang dibawahinya apakah mereka melakukan meditasi. Beberapa dari mereka menolak untuk menjawab, tetapi kebanyakan menjawab tidak. Ketika saya bertanya lagi mengapa,  beberapa di antaranya menjawab bahwa agak sulit untuk bermeditasi di kota besar; tetapi, kebanyakan hanya tersenyum saja; beberapa lagi meminta agar saya melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Ketika saya bertanya kepada para biku kepala itu apakah mereka melakukan kegiatan-kegiatan berdana, empat di antaranya mengiyakan dan menjawab bahwa kadang-kadang mereka memberi uang kepada para biku yang datang; atau, mengumpulkan dana di tempat dimana para biku diberi dana makanan.

Seorang biku, karena mengetahui arah pertanyaan saya, secara tegas mengatakan bahwa ia secara teratur mengirimkan uang ke Thailand untuk membantu kaum miskin di sana. Tetapi, ketika saya menanyakan rinciannya, dia tersenyum dan berdalih serta mencoba mengubah topik pembicaraan.

Hanya ada dua wihara saja yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan-kegiatan Dharma, disamping membaca parita dan mengadakan upacara-upacara dimana makanan dan uang diberikan kepada para biku. Kegiatan-kegiatan ini terdiri dari ceramah-ceramah dan diskusi-diskusi seputar ajaran Buddha. Yang menarik adalah bahwa kegiatan-kegiatan ini juga diatur sepenuhnya oleh sekelompok kecil umat awam. Tidak ada seorang biku pun yang turut membantu mengadakan acara ceramah Dharma, menghadirinya maupun memberikan ceramah.
Dalam kedua kasus tersebut, umat awam memberi tahu saya bahwa kepala wihara telah mengizinkan mereka untuk mengadakan acara tersebut di tempatnya; dan, mereka mengatakan bahwa apabila mereka tidak melakukannya, maka tak seorangpun akan melakukannya.

Sangatlah mungkin bahwa, bila survei diadakan terhadap wihara-wihara Therawada di Malaysia dan, barangkali juga, di kota-kota besar di Thailand, maka pola yang sama akan dijumpai.

Tercerabut dari dunia luar

Di luar sebuah kota terpencil bernama Matale di Sri Lanka, terdapat Wihara Aloka dimana Tipitaka Pali pertama sekali dituliskan pada abad ke-1 Sebelum Masehi. Pada tahun 1954, kepala wihara tersebut memutuskan untuk mendirikan sebuah perpustakaan internasional untuk kepentingan penelitian ilmu agama Buddha. Uang dalam jumlah besar berhasil dikumpulkan. Pangeran Sihanouk dari Cambodia meletakkan batu pertama dan, akhirnya, kompleks utamanya pun selesai dibangun.

Perpustakaan itu masih ada disana hingga hari ini; namun, sebuah buku pun tidak dapat dijumpai di dalamnya. Baik biku kepala wihara maupun para biku yang berada di bawah asuhannya tidak mengetahui sedikit pun ilmu perpustakaan. Letaknya pun bermil-mil jauhnya dari kota terdekat; dan, lagi, tak seorang pun di daerah setempat yang sanggup memanfaatkan perpustakaan tersebut.

Perpustakaan wihara tersebut dibangun tak lain tak bukan supaya semua orang yakin bahwa dua ribu seratus tahun yang lalu disana memang pernah berdiri sebuah perpustakaan. Melakukan sesuatu semata-mata karena ia sudah pernah dilakukan pada masa lampau yang penuh kenangan, bukan karena ingin memenuhi sebuah kebutuhan yang aktual pada masa kini, merupakan cirri khas umat Buddhis di Sri Lanka.

Suatu ketika saya didekati oleh seorang biku senior Burma yang meminta saya untuk membantunya agar ia dapat pergi ke Amerika. Ia ingin mengumpulkan uang untuk membiayai sebuah ekspedisi ke bulan yang dapat membuktikan bahwa dahulu pernah ada seekor kelinci disana, seperti dikatakan dalam mitologi Buddhis. Walaupun saya mencurigai bahwa sebagian tujuannya adalah agar ia dapat melakukan perjalanan ke Barat dengan semua ongkos perjalanannya ditanggung oleh umat Buddhis yang murah hati, saya tidak meragukan keyakinannya bahwa ekspedisi ke ruang angkasa tersebut akan berhasil; dan, akan membantu memajukan agama Buddha.

Ketika pertama sekali anda pindah dan menetap ke Asia dan mulai mendengar para biku mengatakan hal-hal seperti ini, anda bisa menjadi sedikit bingung; tetapi, perlahan-lahan anda pun akan terbiasa juga.

            Pada tahun 1960-an seorang biku asal Sri Lanka yang terkenal memiliki ide untuk mendirikan sebuah stupa raksasa di pintu masuk pelabuhan Colombo. Pembenaran untuk pendirian stupa ini adalah bahwa ‘kapal-kapal yang melewati Ceylon akan melihat cahaya di atas stupa tersebut dan mengetahui bahwa ini adalah sebuah negara Buddhis.’
Jutaan rupee dihabiskan untuk membangun stupa tersebut; dan, hingga akhir-akhir ini, ia masih termasuk stupa tertinggi yang dibangun manusia di Sri Lanka.
Sekarang ini stupa tersebut masih berdiri disana. Bagian stupa yang dulunya berwarna putih sekarang telah menjadi kotor dan tidak lagi dicat. Lampu di atas stupa tersebut telah lama hancur dan tak pernah diganti dengan yang baru; dan, bagian-bagian yang terbuat dari logam telah pula berkarat akibat air laut. Dengan hanya beberapa rupee saja, seorang pengunjung dapat menaiki stupa tersebut dan melihat bagian dalam kubahnya yang kosong. Disamping untuk hal tersebut dan juga untuk memberikan tempat bertengger bagi burung-burung Gagak Colombo yang begitu banyak, stupa tersebut tidak bermanfaat sama sekali.

Di puncak bukit Frazer Hill di Singapura dulu terdapat sebuah patung Buddha raksasa yang jelek sekali, yang dibangun oleh seorang biku dari Thailand. Bila anda menyelipkan sebuah uang logam ke dalam patung tersebut, lidah patung dari semen yang panjang itu akan keluar masuk, dan matanya akan bersinar serta berkedip, sehingga menciptakan sebuah efek yang aneh dan sangat sulit untuk tidak menertawainya.
Barangkali biku yang membangunnya itu bermaksud memberikan kelegaan dan hiburan untuk orang-orang Singapura yang merasa bosan; tetapi, saya kira itu bukan ide yang baik.  Karena merasa kasihan, pemerintah kemudian membeli lahan tersebut pada tahun 1980-an dan menghancurkan patung itu.

Di sebelah kiri jalan utama ke utara, untuk keluar dari Rangoon, terdapat sebuah wihara Buddhis yang sangat aneh dan tak dapat dilihat dimanapun juga. Ia kelihatannya sebagai pencampuran dari Gereja St Peter’s di Roma, Lunar Park dan sebuah pengalaman LSD dalam semen. Wihara itu begitu anehnya; dan, ia menampilkan selera yang demikian menyeramkan sehingga, barangkali, ada manfaatnya juga untuk pergi ke sana melihatnya. Tentu saja orang-orang Burma yang membawa saya ke sana sangat terkesan dengan keseluruhan wihara tersebut; dan, ia membuat biku kepala yang gemuk dan perokok cerutu, yang adalah penjaga wihara tersebut, terperangah. Saya tidak tahu mengapa pemandangan yang menyakitkan mata ini dibangun, tetapi melihat ukurannya, pastilah perlu biaya besar dan waktu bertahun-tahun untuk mendirikannya.   
            Proyek-proyek dan monumen-monumen religius yang tidak realistis, memboroskan uang, yang tidak dipikirkan dengan baik, atau bahkan yang tak pernah diselesaikan sudah demikian lazimnya sehingga ini perlu dijelaskan. Mengapa para biku acapkali terlibat dalam upaya-upaya yang tak berguna itu?

Seorang umat awam Therawada tidaklah mungkin sampai berfikir untuk mendirikan sebuah patung Buddha dari semen yang tingginya dua ratus kaki, serta yang memerlukan sebuah eskalator untuk menaikkan orang hingga ke pangkuan patung Buddha tersebut—sebuah patung yang diperlengkapi dengan lingkaran cahaya lampu merah cerah di belakang kepalanya. Umat awam umumnya terlalu sibuk untuk mencari makan dan memberi makan keluarganya. Disamping itu, mereka tak mungkin dapat mengumpulkan cukup uang untuk melakukan hal-hal seperti itu.

Sementara itu, ada banyak biku yang tidak memiliki banyak kesibukan lain kecuali memikirkan berbagai hal yang muluk-muluk yang singgah di benak mereka.  Lebih jauh lagi, mereka pun yakin akan selalu mendapatkan dukungan finansial dari para umat; dan, para biku tersebut tak akan pernah diminta oleh pengadilan untuk mempertanggungjawabkan usulan mereka, seberapapun bodoh atau tak pentingnya usulan tersebut. Tak ada seorang pun yang akan berfikir untuk meragukan keputusan seorang biku, apalagi menghambat keinginannya. Di dalam tradisi Therawada, ada diajarkan bahwa para biku tidak memiliki tanggungjawab kecuali untuk diri mereka sendiri. Konsep ini lebih-lebih lagi menjadi sebuah dorongan bagi para biku untuk mewujudkan sebuah impian menjadi kenyataan.

 Kalau rencana luar biasa mereka ternyata menjadi kenyataan, atau menjadi bangkrut atau tak pernah diselesaikan, maka sang biku dapat saja berjalan pergi dan membiarkan orang lain untuk membersihkan kekacauan yang ditimbulkannya. Tetapi, mengapa—orang mungkin bertanya—para biku itu tidak menggunakan dukungan dan dorongann yang mereka terima terus-menerus itu untuk hal-hal yang lebih berguna bagi masyarakat?
Memang beberapa orang biku telah melakukan hal itu dan jumlah mereka pun mulai meningkat perlahan; namun, secara rata-rata pendidikan dan gaya hidup para biku tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak mengetahui ataupun peduli dengan keadaan-keadaan yang terjadi dalam kehidupan sehari-sehari. Dari sejak mereka masuk ke wihara, segala sesuatu telah dipersiapkan untuk mereka di mangkuk perak; dan, dalam beberapa kasus yang memang terjadi, ini bukan sekedar gaya bahasa saja..

Sekalipun pendidikan kebikuan menyentuh masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan riil, masalah-masalah tersebut pun akan disajikan oleh para biku dengan cara yang paling halus dan teoritis. Tentu saja, disiplin-disiplin ilmu seperti sosiologi, antropologi, kerja sosial, konseling, dan lain-lain dapat memberikan dasar pemahaman yang lebih mantap kepada mereka; namun, sayangnya, ilmu-ilmu tersebut dianggap terlalu bersifat ‘duniawi’ untuk dipelajari oleh para biku.  Oleh sebab itu, bila kita tambahkan semua masalah itu bersama-sama—yakni, kebodohan, kurangnya kepedulian sosial dan kehidupan kebikuan yang membosankan—kita masih akan melihat mereka membangun sebuah patung Buddha raksasa lagi dari semen. Tetapi, bila ada penganut tradisi Therawada yang ingin memulai dengan sebuah keinginan melakukan sesuatu yang bermanfaat, keinginannya itu pun acapkali akan terbentur oleh cara pikir yang tidak realistis, oleh perencanaan yang buruk dan juga kebodohan.

Beberapa tahun yang lalu, saya mengunjungi Wat Tamprabhat, wihara yang terkenal sebagai pusat rehabilitasi untuk para pengguna obat terlarang di luar kota Bangkok. Sangatlah menyentuh sekali melihat kepedulian yang sungguh-sungguh dari kepala wihara terhadap anak-anak muda yang telah mendatangi beliau untuk meminta tolong. Tak perlu diragukan lagi bahwa beliau pun telah menolong banyak sekali nyawa orang.  Pada bagian ujung wihara yang agak jauh terdapat beberapa patung Buddha besar dari semen yang tingginya menjulang ke atas dan melebihi tingginya pepohonan; dan, tak seberapa jauh dari sana, terdapat sebuah ruangan konferensi yang besar.

Bila anda membersihkan debu yang melekat pada salah satu jendela ruangan konferensi tersebut, dan lalu mengintip ke dalamnya, anda akan melihat bahwa isinya kosong—kecuali debu, tumpukan kursi dan kain gordin yang telah sobek tetapi yang dahulunya bergelantungan di atas panggung. Ruangan konferensi ini tak pernah lagi dipakai selama bertahun-tahun lamanya dan, sama seperti patung-patung Buddha di dekatnya, ruangan itu pun perlahan-lahan akan hancur. Tampaknya ketika kepala wihara tersebut memenangkan Penghargaan Magsaysay untuk Pelayanan Sosial pada tahun 1974, beliau menghabiskan seluruh uang yang diterimanya untuk membangun patung-patung Buddha dan ruangan konferensi itu.
Saya mengenal sebuah organisasi Buddhis di Colombo yang dahulu pernah menerbitkan sebuah buku tentang agama Buddha, yang ditulis dengan cukup baik, sebanyak lima puluh ribu eksemplar. Ketika saya pergi untuk mengambil beberapa eksemplar buku tersebut pada tahun 1970-an, saya melihat masih banyak bungkusan berisi buku tersebut yang ditumpukkan begitu saja, satu bungkusan di atas bungkusan yang lain, dalam sebuah ruangan besar di kompleks organisasi tersebut.

Kebetulan belum lama ini saya mengunjungi tempat ini lagi; dan, saya sangat yakin bahwa kebanyakan dari buku-buku itu masih berada disana. Hanya bedanya sekarang buku-buku itu telah begitu dipenuhi debu, jamur dan barang-barang sampah yang dibuang ke sana selama bertahun-tahun. Motif di belakang penerbitan buku-buku itu tentu saja baik; tetapi, sangat jelas sekali bahwa memang tidak pernah dipikirkan berapa banyak dari buku-buku itu yang mungkin dapat terbeli oleh anggota masyarakat; dan, bagaimana sebaiknya buku-buku itu didistribusikan.

            Arthur Kostler menulis bahwa ketika ia tengah mengadakan perjalanan melalui Uni Soviet di tahun  1930-an, kontras antara laporan-laporan yang mengagumkan tentang panen-panen yang berlimpah dan pekerja-pekerja yang begitu bahagia, yang dibacanya di koran-koran, dan kemelaratan serta kemiskinan yang disaksikannya sendiri dimana-mana menyebabkannya merasakan bahwa kenyataan yang sebenarnya tidaklah riil, ia laiknya seperti mimpi. Membaca jurnal-junral Therawada dan bacaan-bacaan lainnya terkadang juga memberikan seseorang perasaan yang sama.
Saya mengenal sebuah wihara Sri Lanka di Barat yang mengalami perpecahan pendukungnya. Persengketaan yang terjadi sungguh pahit dan sengit—bahkan bila kita melihatnya dengan standar Sri Lanka sekalipun. Namun, tatkala laporan berkala wihara edisi berikutnya terbit, tidak ada kesan sedikitpun bahwa telah terjadi sebuah persengketaan di dalam kepanitiaan wihara tersebut, apalagi mengenai kasus yang disidangkan, ataupun kejadian saling-memaki dan perkelahian yang terjadi di ruang bakti sala.

Beberapa saat yang lalu saya membaca sebuah artikel yang ditulis dengan baik. Di dalam artikel tersebut terdapat sebuah argumentasi yang cukup meyakinkan bahwa hukuman mati bertentangan dengan ajaran Buddhis Therawada. Tetapi, artikel tersebut gagal menyebutkan bahwa di semua negara Therawada juga diberlakukan hukuman mati; dan, hal itu telah berlangsung selama berabad-abad lamanya. Walaupun demikian, di negara Therawada yang manapun juga, tidak pernah ada keberatan-keberatan yang disuarakan dari kalangan profesi hukum, masyarakat dan, apalagi, dari kalangan Sangghanya untuk menghapuskan hukuman mati itu.

Saya kira kegagalan penulis artikel tersebut dalam menyebutkan fakta-fakta yang relevan ini disebabkan oleh ketakjujurannya. Bagi banyak penganut tradisi Therawada, yang benar itu hanyalah bersifat kebetulan terhadap teori dan tidaklah perlu untuk mengaitkan keduanya atau menjelaskan kontradiksi-kontradiksi di antara keduanya. Maka dari itu, sangatlah mungkin bagi para biku Sri Lanka untuk memberikan ritual ke-Lima Sila itu kepada para tentara sebelum mereka pergi perang dan sungguh-sungguh tidak melihat adanya kontradiksi disana.

Para biku Thailand dengan senang memberikan pemberkahannya pada acara pembukaan panti pijat di Bangkok; dan, hanya akan tersenyum tanpa peduli pada orang Barat yang memberi komentar bahwa yang dilakukannya itu boleh jadi bertentangan dengan semangat ajaran Buddha itu.

Dulu, saya mempunyai sebuah gambar yang diambil dari sebuah koran di Thailand. Gambar tersebut memperlihatkan Sanggharaja negara tersebut pada waktu itu sedang memercikkan air suci ke atas pesawat pemboman Amerika di pangkalan angkatan udara Amerika di Ubon, sebelum pesawat pemboman tersebut tinggal landas untuk menjatuhkan muatan-muatan yang mematikan itu di Laos dan Vietnam.  Saya menyangsikan apakah jutaan orang, yang pasti telah menyaksikan hal ini, memperhatikan kontradiksi yang terlihat disini. Tetapi, jelas sekali bahwa Sanggharaja tersebut tentu tidak melihat kontradiksi itu.

            Ada sebuah jurnal agama Buddha bernama World Buddhism yang telah diterbitkan di Sri Lanka selama kira-kira tiga puluh tahun lamanya. Jurnal ini memuat artikel-artikel tentang doktrin agama Buddha dan berita-berita seputar kegiatan-kegiatan Buddhis di seluruh dunia.  Banyak sekali dari artikel-artikel ini yang ditulis dengan baik dan mereka sangat informatif sekali; tetapi, banyak di antaranya juga yang membuat anda bertanya-tanya apakah artikel-artikel itu perlu ditanggapi secara serius atau tidak.

            Sebagai contoh, kita dapat membaca di sana bahwa yang menemukan benua Amerika sebenarnya adalah seorang biku. Biku Narada menulis bahwa Jerman segera akan menjadi ‘Benteng Pertahanan Buddhis di Eropah’ (ini di awal tahun 1960-an). Dan, sudah barang tentu, banyak artikel yang mengatakan bahwa Jesus sungguh-sungguh adalah seorang Buddhis. Tetapi, hanya tatkala anda membaca laporan-laporan berita mengenai resolusi-resolusi yang dicapai dalam berbagai konferensi Therawada atau pengumuman-pengumuman oleh petinggi-petinggi Therawada yang berbeda itu, barulah anda benar-benar mengusap mata, tak percaya.

Beberapa laporan berita tersebut memuat sebuah kampanye untuk menjadikan Sarnath sebagai ibu kota India; sebuah usulan untuk membangun ‘Buddhist Peace Universities’ di semua ibu kota negara-negara Eropah; sebuah usulan untuk membentuk sebuah ‘Commonwealth of Buddhist Nations,’ dan sebuah kampanye untuk mendirikan sebuah ‘World Buddhist Army’ untuk membantu menyelesaikan persengketaan internasional.

Mementingkan Diri Sendiri

Beberapa tahun yang lalu, saya menghadiri sebuah konferensi mengenai  Agama Buddha yang Terlibat (Engaged Buddhism) yang diadakan di sebuah pulau di sebuah sungai dekat Bangkok. Salah seorang tamunya adalah Sanggharaja dari Cambodia, seorang lelaki tua yang lembut dan ramah yang merokok pipa ala Sherlock Holmes.
Setelah acara penutupan, semua peserta berkumpul di tepian sungai menunggu untuk diangkut dengan feri menyeberangi sungai ke seberang dimana sebuah bus telah menunggu. Yang pertama meninggalkan tempat tersebut adalah Sanggharaja. Beliau dan seorang biku pendamping diseberangkan dengan feri oleh seorang laki-laki yang menggerakkan perahu dengan menarik-narik sebuah tali.  Ketika perahu hampir merapat di tepian seberang, kedua biku tersebut melompat keluar dari perahu, tetapi pada saat yang sama, sehingga perahu tersebut terbalik; dan, laki-laki itupun jatuh ke dalam air sungai yang keruh.

Kedua biku tersebut sedikit semberono; namun, kecelakaan kadang-kadang memang dapat terjadi. Inti dari cerita saya ini adalah justru itu. Sebagai reaksi mereka atas deburan air tersebut, kedua biku itupun berbalik untuk melihat. Namun, tanpa sedikitpun keraguan, tanpa upaya apapun untuk membantu, dan bahkan tanpa ekspresi kepedulian sedikitpun di wajah mereka, mereka lalu melanjutkan berjalan menuju ke arah bus yang telah menunggu dan duduk di dalamnya—dengan meninggalkan laki-laki tadi dalam keadaan tengah menggelepar-gelepar di dalam air.

Saya dan beberapa orang Barat lainnya yang menyaksikan kejadian tersebut menggerenyit dengan rasa malu; lalu, beberapa di antara kami turun ke sungai untuk membantu menolong laki-laki itu.

Bila diperhatikan lebih teliti lagi, tidak ada satu orang Asia pun pada konferensi itu yang tampak terganggu dengan sikap kedua biku tersebut. Saya mempunyai kecurigaan yang kuat bahwa orang-orang Asia ini mungkin berfikir bahwa memang tidak selayaknya kedua biku itu membantu laki-laki yang terjatuh ke dalam air tadi, karena hal ini dapat mengotori jubah mereka.

Konsep Therawada tentang seorang ulama yang baik benar-benar adalah kebalikan dari apa yang ada dalam kebanyakan agama lain. Para pendeta Jahudi, ulama Muslim dan pendeta Kristen dimaksudkan sebagai pelayan untuk komunitasnya. Di negara-negara Therawada, sebaliknya umat Buddhis itulah yang menjadi pelayan bagi para biku.
Pada akhir tahun 1990-an, saya mengadakan beberapa perjalanan (dengan berjalan kaki) di wilayah-wilayah yang terkena perang di sebelah utara dan timur Sri Lanka. Banyak sekali wihara yang kosong dan para bikunya telah meninggalkan wihara-wihara tersebut untuk pergi ke tempat-tempat yang lebih aman.

Pemikiran untuk turut merasakan penderitaan umat awam, yang sudah demikian lama melayani mereka, atau untuk tetap menetap di wihara untuk memberikan umat awam tersebut bimbingan atau pun penghiburan, karena telah menghadapi ujian maha berat tersebut, ternyata tidak sejalan dengan peranan seorang biku Therawada. Padahal, selama ini, umat awam senantiasa berada di sana untuk melayani para biku; tetapi, rupa-rupanya para biku hanya berada di sana untuk diri mereka sendiri.

Seorang perempuan Australia pernah memberitahu saya tentang pengalaman pertamanya dengan seorang biku Therawada. Ia telah mengundang seorang biku yang terkenal untuk hadir ke kotanya guna memberikan kursus latihan meditasi yang akan diadakan di suatu tempat yang jauhnya lima puluh mil dari sana. Perempuan Australia ini mengunjungi tempat dimana biku tersebut menginap. Ia ditemani oleh dua orang perempuan lainnya yang juga ingin mengikuti kursus meditasi itu.

Tetapi, setelah biku tersebut keluar dari tempat penginapan tersebut untuk menuju ke mobil, ia mulai tampak sedikit marah. ‘Apa masalahnya?’ perempuan itu bertanya. ‘Saya tak bisa masuk ke dalam mobil ini,’ jawab biku tersebut. ‘Mengapa tidak?’ perempuan itu bertanya lagi. ‘Karena kami para biku tidak diizinkan duduk di kursi mobil dengan seorang perempuan.’
Karena ingin sekali untuk melakukannya dengan benar, maka perempuan itupun mendiskusikan hal ini dengan kedua orang teman perempuannya itu. Lalu, dicapailah keputusan agar kedua perempuan itu ditinggal dulu dan akan dijemput setelah biku itu dibawa terlebih dahulu ke pusat meditasi yang ingin dituju.

‘Itu bukan solusi yang baik,’ kata biku itu lagi, ‘karena saya akan sendirian bersama anda di dalam mobil dan saya tak diizinkan melakukan itu juga.’ Setelah dibicarakan lagi, lalu diputuskan bahwa perempuan Australia tadi akan pulang ke rumahnya terlebih dahulu dan meminta anaknya yang laki-laki untuk ikut; sehingga dengan demikian, anak laki-laki tersebut dapat menemani ibunya beserta biku tersebut untuk trip yang pertama. Setelah itu, ia akan mengantarkan anaknya kembali pulang dan baru menjemput kedua orang perempuan tadi untuk bersama-sama pergi ke tempat tujuan.

Biku itu mengatakan bahwa solusi ini boleh juga, tetapi setelah perempuan itu datang dengan anaknya yang hanya dua belas tahun usianya, sang biku mengatakan bahwa solusi ini masih belum cukup baik. Yang dibutuhkan adalah seorang laki-laki dewasa.
Saya tidak ingin membosankan anda dengan sisa kejadian seterusnya. Tetapi, cukuplah disini mengatakan bahwa, ternyata untuk mengetahui seperti apakah meditasi itu, perempuan ini menjadi begitu kelelahan karena harus mengikuti ketentuan-ketentuan Winaya Therawada sampai ke detil-detilnya yang paling kecil. Ia harus mengendarai mobil sejauh dua ratus enam puluh mil, bukan seratus mil. Lalu, ia pun tidak menerima ucapan terima kasih sedikit pun dari biku tersebut, kendati ia telah bersusah payah.

Kedua orang teman perempuannya itu, yang diliputi perasaan benci, harus mencari jalan sendiri untuk pulang ke rumah mereka masing-masing; sedangkan, perempuan Australia yang menceritakan semua ini kepada saya mengatakan bahwa, setelah ia  cukup jera dengan Therawada, ia lalu memutuskan untuk bergabung dengan kelompok Zen. Bisakah kita menyalahkannya?

          
Pada saat saya sedang menulis semua ini, wihara di Malaysia di mana saya tinggal sedang dipenuhi oleh para biku yang telah datang untuk ikut berpartisipasi dalam sebuah lagi konferensi Buddhis internasional. Sehari sebelumnya, sekitar jam 5:20 sore, saya mendengar ada orang yang menangis di luar tempat tinggal biku. Lalu, saya pergi untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi; dan, saya menemukan seorang perempuan yang kelihatannya sangat capek, tetapi sedang mencoba menenangkan dua orang anaknya yang  sedang uring-uringan.
Sebelum ini, saya telah pernah melihat perempuan tersebut beberapa kali. Saya menanyainya apa yang sedang ia lakukan. Dia mengatakan bahwa, sekitar jam 11 pagi, dia dan keluarganya sengaja datang untuk melakukan puja pagi, dan memberikan dana; tetapi, setelah itu, dua orang biku tamu meminta suaminya untuk mengantarkan mereka untuk berbelanja.

Perempuan ini masih sedang menunggu suaminya kembali. Ketika ia sedang berbicara, sebuah mobil berhenti dan dua orang biku dari Sri Lanka keluar dari mobil. Setelah mengucapkan banyak-banyak terima kasih, kedua biku itu pun menghilang dan memasuki kamar—sembari membawa banyak tas belanjaan serta berbicara satu sama lain dengan begitu semangatnya. Perempuan tersebut lalu tersenyum lemah ketika kedua biku tersebut lewat di depannya. Kemudian, ia pun masuk ke dalam mobil dengan anak-anaknya yang masih terus menangis, dan mereka pun pergi.

Tak lama kemudian, saya baru tahu bahwa—setelah mereka mendapatkan barang-barang yang mereka kehendaki—para biku tersebut rupa-rupanya meminta suami perempuan tersebut untuk membawa mereka berjalan-jalan ke pusat-pusat perbelanjaan dan, kemudian, ke tempat-tempat wisata yang utama di kota; dan, baru setelah itu, mereka pergi ke kebun binatang.

Sejalan dengan pengkondisian yang ada di dalam tradisi Therawada, biku-biku itu tidaklah memikirkan keadaan laki-laki ataupun keluarganya. Sedangkan laki-laki tersebut tidak pernah akan bermimpi untuk menolak permintaan-permintaan biku-biku itu. Juga, mungkin sekali bahwa laki-laki itu pun telah menawarkan untuk membayar semua barang-barang yang dibawa oleh biku-biku tadi; dan, kemungkinan tawaran itu pun telah diterima oleh para biku—walaupun saya tak dapat memastikannya. Hal satu-satunya mengenai kejadian ini, yang kiranya tak seperti biasanya, adalah bahwa biku-biku ini memang benar-benar berterima kasih pada laki-laki tadi.
.
Saya mengenal seorang biku yang telah menyetujui untuk memberikan sebuah ceramah tentang agama Buddha dalam sebuah konferensi lintas agama. Ketika ia berdiri untuk memberikan ceramahnya, ia tiba-tiba teringat bahwa Winaya melarang seorang biku mengajarkan Dharma kepada siapapun yang tengah mengenakan sepatu (Sekhiya 61) dan, tentu saja, setiap orang dalam konferensi tersebut memakai alas kaki dan menyalahi aturan tersebut. Setelah berdiskusi panjang lebar dengan pihak panitia; akhirnya, para hadirin diberi tahu soal ini dan diminta untuk melepaskan sepatunya. Para hadirin yang mulia dan bersikap baik itupun akhirnya menyetujui permintaan biku tersebut, tanpa membantah.
Namun, sikap mulia dan sikap baik itu hampir selalu datangnya dari pihak lain, bukan dari biku Therawada itu sendiri. Para biku Therawada sangat terbiasa mendapatkan semua keinginannya dan, jikalau itu artinya harus merepotkan seratus orang atau lebih sekalipun—seperti halnya dalam kasus ini—maka biarlah semua itu terjadi..

Spiro mengamati bahwa, ‘sangatlah jarang bahwa umat awam yang mengunjungi wihara tidak diminta oleh seorang biku untuk melakukan sesuatu untuknya; untuk membantunya demi sebuah keperluan, untuk mengirimkan sesuatu, dan untuk membawanya ke suatu tempat tujuan tertentu. Bahwa pengunjung wihara tersebut kemungkinan sibuk, kemungkinan tidak mempunyai waktu, kebetulan tidak akan pergi ke jurusan yang sama—kemungkinan-kemungkinan ini tidak pernah masuk dalam benaknya. Mengutamakan diri sendiri seperti ini terjadi bukan saja sekali dua kali saja.

Di salah satu desa dimana saya bekerja, untuk memberikan sebuah contoh yang cukup lazim, para pelajar di sekolah negeri mempunyai tugas mengumpulkan makanan Pindapata untuk si biku (yang tentu saja adalah sebuah cara yang penting untuk mengumpulkan kebajikan). Setelah mengumpulkan makanan, mereka akan menyajikannya untuk sang biku dan juga membersihkan segala sesuatunya setelah sang biku selesai makan. Baru setelah itulah, sang biku membolehkan mereka kembali ke sekolah. Sebagai akibatnya, para murid itu kehilangan sekurang-kurangnya satu jam pelajaran sekolah pada pagi hari, dan para guru tak dapat melakukan apapun kecuali menunggu hingga para murid kembali ke kelas. Kekurangnyamanan bagi guru dan hilangnya kesempatan belajar para murid itu tampaknya tidak pernah terlintas dalam benak sang biku…

Dalam sebuah upacara kematian, terutama, apa yang barangkali dapat disebut sebagai  ‘narsisisme yang sudah dilembagakan’ dari sang biku itu dapat terlihat dengan jelas. Kendatipun baru saja kehilangan seseorang yang dicintai, bukanlah pihak yang sedang berkabung, melainkan sang biku, yang keperluannya harus diperhatikan. Sesuai dengan persyaratan untuk peranannya itu, sang biku tidak akan memperlihatkan rasa simpati pada pihak yang berkabung karena kehilangan anggota keluarga. Sang biku tidak akan melakukan penghiburan dan, secara umum, tidak akan memberikan kepedulian khusus untuk pihak yang sedang berkabung. Sebaliknya adalah sang biku itu pula yang menjadi objek perhatian. Adalah untuk biku tersebut makanan akan dibeli, adalah untuk biku itu makanan akan diberikan; dan, adalah biku itu yang harus dijemput dan kemudian dipulangkan kembali ke wihara.‘  (cetak miring seperti dalam tulisan aslinya).

            Mementingkan diri sendiri seperti ini—tanpa memperhatikan akibatnya pada orang lain—adalah norma yang berlaku pada para biku; dan, sayangnya, praktek ini juga mudah untuk dicarikan pembenarannya dalam kita suci Tipitaka.
Kisah Sangamaji  adalah sebuah contoh yang lebih menonjol, tetapi tidak menarik untuk ini. Suatu hari biku bernama Sangamaji sedang duduk di kaki sebuah pohon dan sedang beristirahat, ketika mantan istrinya mendekatinya sambil menggendong bayi laki-laki mereka. Perempuan itu berkata, ‘Aku punya seorang anak. Biayailah aku.’ Sangamaji tidak mengatakan apapun. Tiga kali perempuan itu meminta dan, setiap kalinya, Sangamaji menolak untuk menjawab. Akhirnya, perempuan itu membaringkan anaknya di depan Sangamaji dan mengatakan, ‘Setidak-tidaknya biayailah anakmu ini.’ Lagi-lagi, biku itu tak menjawab.

Setelah meninggalkan anaknya disana, perempuan itu berjalan menjauh; dan, setelah beberapa saat, secara sembunyi-sembunyi ia melihat ke belakang untuk mengetahui apa yang dilakukan suaminya itu. Namun, seperti juga sebelumnya, suaminya tidak berbicara sedikitpun, tidak pula melihat anaknya. Menyadari bahwa ia tidak akan mendapatkan bantuan apapun atau, bahkan, simpati dari suaminya itu, perempuan malang tersebut lalu berjalan kembali ke arah suaminya, mengambil bayi tersebut dan meninggalkannya.
Pada akhir kisah tersebut, Buddha malahan memuji Sangamaji sebagai seorang ‘brahmana sejati’ (Ud.5-6); dan, kita tak pernah diberi tahu lagi tentang perjuangan-perjuangan dan kesulitan-kesulitan hidup yang dialami oleh perempuan tersebut sebagai seorang istri yang telah ditelantarkan.

            Saya masih mengingat secara jelas pertemuan saya yang pertama dengan ‘narsisisme yang sudah dilembagakan’ itu dari tradisi Therawada.  Ketika itu, saya baru saja mendarat di Sri Lanka dan telah diminta oleh kepala wihara dimana saya tinggal untuk menghadiri sebuah upacara dana atau pemberian makanan. Waktu itu tahun 1976 dan ketika itu sedang terjadi wabah kelaparan yang meluas di pulau itu.
Kepala biku itu meminta saya untuk menemani empat orang biku lainnya. Rekan-rekan saya menggerutu karena cara satu-satunya untuk sampai pada rumah tersebut adalah dengan naik bus, tetapi mereka ingin naik mobil. Rumah yang sedang dituju itu rupa-rupanya adalah sebuah rumah kumuh. Pemiliknya adalah sebuah keluarga yang sangat miskin; dan, dana tersebut diperuntukkan bagi bayi perempuan mereka yang telah meninggal tujuh hari sebelumnya.

Biku senior itu memberikan kotbah yang fasih, seperti biasanya, tentang tidak ada manfaatnya berkabung, kecuali membuang-buang waktu saja, karena kematian tidak dapat dielakkan; dan, kemudian kami diberi sajian makanan yang demikian banyak.
Saya merasa sulit untuk makan. Ibu yang hatinya hancur, anak-anaknya yang kurus kering serta rumah yang kumuh, itu semua telah cukup untuk menghilangkan selera makan saya. Para biku yang lain tidak memperlihatkan sedikitpun perhatian pada tragedi yang baru saja melanda keluarga ini. Mereka segera makan dengan bernafsu sekali,  seperti biasanya. Setelah selesai makan, masing-masing kami diberikan sebuah kaleng susu bubuk, sebuah kemewahan yang mahal sekali pada waktu itu; dan, mungkin sekali keluarga tersebut telah meminjam uang  untuk dapat memberikan kami makanan dan hadiah seperti itu.
Ketika kami beranjak untuk pergi, saya sengaja menyembunyikan susu kaleng tersebut di bawah kursi dengan harapan sang ibu akan menemukannya nanti dan, kemudian, menggunakannya untuk memberi makan pada anak-anaknya nanti. Begitu kami meninggalkan rumah tersebut, beberapa orang tampak berbisik-bisik dan kepala rumah tangga tersebut bergegas lari untuk mencarikan kami taksi. Biku senior kami secara halus telah menyarankan kepada laki-laki tersebut bahwa akan lebih baik lagi bila kami kembali ke wihara dengan naik taksi saja, sebuah cara yang para biku sudah lebih terbiasa.
Tentu saja, biku senior itu ‘tidak memberi perintah’ dan, secara hati-hati, berusaha untuk ‘membahasakannya dengan benar’—sebagaimana juga disarankan oleh Biku Thanissaro  dan Biku Ariyesako. Malangnya, sebelum taksi tiba, perempuan itu menemukan susu kaleng tersebut dan, langsung, memberikannya kembali kepada saya. Dengan halus saya katakan kepadanya bahwa saya tidak membutuhkannya, dan ia harus menyimpannya; tetapi, usulan saya ini mengagetkannya sekali; dan, ia memaksa agar saya menerimanya.

Laki-laki tadi kemudian muncul bersama taksi. Ia memberikan ongkos kepada supir taksi dari uang hasil pendapatannya yang sedikit itu; dan, kami pun berangkat. Dalam perjalanan kembali ke wihara, salah satu dari biku-biku ini dengan sangat lugunya mengatakan kepada saya, ‘Kalau anda tidak menginginkan susu kaleng itu, maka saya akan menerimanya.’ 
          
Cendekiawan Sri Lanka H.L.Seneviratne mengatakan bahwa hal-hal seperti penghargaan tinggi yang diberikan kepada para biku, begitu jauhnya para biku dari segala pekerjaan fisik, dan gaya hidup para biku yang menyenangkan itu ‘dapat membantu memberikan sebuah penjelasan terhadap adanya sebuah paradoks di dalam sebuah Sanggha yang tidak sensitif terhadap penderiaan luar biasa dari umat manusia, padahal Sanggha diyakini memiliki welas asih tak terbatas. Akibat dari pengertian-pengertian kultural ini juga turut menyebabkan terjadinya sebuah ketakterlibatan para biku dalam keadaan kesulitan ekonomi rakyat yang realistis dan dapat dirasakan.’ Ia berkesimpulan secara gambling—dan, saya yakin, secara akurat pula—bahwa, ‘adalah tidak mungkin mengharapkan kepedulian sosial, apalagi keprihatinan yang radikal, akan tumbuh dari kelompok manusia seperti itu.’

Para penganut tradisi Therawada yang fanantik memberikan gambaran yang menyenangkan mengenai betapa praktek Winaya yang keras dapat membantu—bukan, apakah itu diperlukan—bagi perkembangan spiritual seorang biku, dan bagaimana itu akan memberikan keuntungan bagi masyarakat awam. Namun, hasil sesungguhnya dari ajaran dan praktek seperti itu terkadang sangatlah aneh sekali sehingga untuk memikirkannya pun sangatlah sulit.

Kehidupan kewiharaan

Pada zaman dahulu, kehidupan para biku lebih bebas, tetapi tidak terjamin. Bila seorang biku pergi memohon makanan, ia kemungkinan akan mendapatkan makanan yang baik atau tidak mendapatkan makanan sama sekali. Kemungkinan ada orang yang menghormati para biku, namun ada juga yang mencemoohkan para biku itu. Pada saat yang baik, para biku dapat melanjutkan hidupnya; tetapi, pada saat kesusahan atau ketika terjadi wabah kelaparan, dapat bertahan hidup saja sudah termasuk sebuah perjuangan yang berat. Tetapi, saat-saat seperti itu sudah lama tidak ada lagi.

Para biku Therawada dewasa ini diberi penghormatan, perlakuan istimewa, rasa hormat dan penghargaan yang barangkali tidak pernah dapat tersaingi oleh kelompok manapun di dunia ini, kecuali beberapa raja/ratu yang masih tersisa. Dengan hanya menjadi seorang biku saja, seseorang akan segala memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pelayanan seperti itu. Di Burma, berjalan di atas bayangan tubuh seorang biku pun, seseorang akan dianggap tidak menunjukkan rasa hormat.

Anggapan-anggapan seperti itu membuat kehidupan kebikuan yang dulunya keras atau gaya hidup yang dulunya sederhana itu menjadi sebuah ketidakmungkinan. Para biku Therawada dewasa ini kiranya belumlah benar-benar meninggalkan keduniawian. Mereka, sebaliknya, telah dinaikkan derajatnya ke sebuah posisi yang paling tinggi di dunia ini.
Jauh dari kehidupan kebikuan sebenarnya yang keras, sebagian besar biku hidup dalam keadaan dimanja, terjamin dan sangat menyenangkan; walaupun, hampir setiap saat, mereka tampak sedikit berpura-pura menjalani kehidupan kebikuan. Kepura-puraan ini mulai, bahkan, jauh sebelum seseorang benar-benar telah ditahbiskan menjadi seorang biku.

Pentahbisan untuk menjadi biku dalam tradisi Therawada bisa menjadi sebuah urusan yang mahal. Di Thailand, serang biku kepala hanya dapat mentahbiskan seseorang menjadi biku kalau ia telah diberi kuasa untuk melakukannya oleh Departemen Agama Thailand; dan, setelah mendengar usulan dari Dewan Sanggha. Para biku kepala tersebut dapat memperoleh cukup banyak uang melalui ‘hadiah-hadiah yang sesuai dengan kebiasaan’ yang mereka terima pada upacara pentahbisan biku itu. Mereka biasanya akan memberikan uang suap yang besar kepada para pejabat di Departemen Agama ataupun kepada para biku yang duduk di Dewan Sanggha karena mereka telah mendapatkan hak untuk melakukan pentahbisan tersebut.

Di Sri Lanka pada tahun 1990-an, biaya upacara pentahbisan biku bisa sama tingginya dengan total gaji pekerja kantoran selama empat bulan. Di Burma, ada anggapan bahwa menanggung seluruh biaya pentahbisan seorang pemuda miskin, bilamana orang tuanya sendiri tak sanggup, merupakan sebuah kebajikan.
Merupakan sebuah paradoks bahwa, dalam tradisi Therawada, untuk meninggalkan keduniawiaan saja kita memerlukan biaya yang demikian besar sehingga orang-orang miskin tidak akan menyanggupinya.
Di Thailand dan Burma, semua laki-laki muda menjadi biku sekurang-kurangnya sekali dalam hidupnya dan memiliki keinginan penuh untuk meninggalkan kebikuan setelah beberapa waktu lamanya.  Sikap mereka adalah, ‘Saya akan meninggalkan keduniawian untuk sementara waktu. Maukah anda menjaga mobil saya atau menjaga pacar saya sewaktu saya pergi?’

Sebenarnya, ‘meninggalkan keduniawian secara sementara’ seperti itu merupakan sebuah penghinaan terhadap gambaran keseluruhan mengenai kehidupan seorang biku. Pada zaman Buddha, para pertapa yang tak berpakaian juga sering meminta para murid mereka untuk menjalani pentahbisan sementara seperti itu. Mereka akan menanggalkan pakaiannya, berpura-pura meninggalkan semua harta benda, berkelakuan seperti layaknya seorang pertapa; dan, pada hari berikutnya, mereka semua kembali berpakaian dan menjalani hidup mereka kembali seperti biasa. Buddha mengatakan bahwa, kata-kata mereka bahwa mereka telah ‘meninggalkan’ keduniawiaan, tidak lebih dari sebuah kebohongan. (A.I,205).

Kalau demikian, siapapun akan dapat menjadi biku, dengan atau tanpa keinginan yang sesungguhnya, dan memasuki suatu kehidupan yang dipenuhi oleh perlakuan-perlakuan istimewa serta berkelimpahan. Satu-satunya masalah yang mungkin dihadapinya hanyalah berkaitan dengan sebuah frustasi seksual; tetapi, ia akan mencoba untuk melakukan sesuatu agar ia dapat menghindari perasaan bosan.
Di wihara-wihara yang lebih baik, ada banyak hal yang dapat dilakukan; seperti, menyapu halaman, melakukan Pindapata dan menghafal beberapa sutta; dan, semua ini hampir-hampir bukanlah sebuah rutinitas yang berat. Di tempat-tempat seperti di utara dan timur Sri Lanka dan di daerah pedalaman Burma, ada wihara-wihara yang agak miskin; dan, walaupun demikian, para biku dapat hidup dengan lebih baik ketimbang umat awam disana.   
Banyak wihara yang dilengkapi dengan perabotan lengkap. Banyak pula—terutama di Thailand—yang dapat dikatakan sangat mewah sekali. Di daerah terpencil, adalah lumrah bahwa wihara merupakan tempat satu-satunya dimana dapat dijumpai televisi, AC atau kipas angin, bangunannya sudah dengan semen, atap genteng, air leding, sebuah mobil dan para pelayan. Tetapi, semua ini diperoleh bukan karena kerja keras, melainkan karena ada orang yang mengenakan jubah kuning.
Baru-baru ini, saya tinggal bersama seorang biku yang ramah sekali dari Thailand. Beliau telah saya kenal beberapa lama. Saya perhatikan bahwa di dinding di sebelah tempat tidurnya ada sebuah jam tangan mahal yang digantungkan pada sebuah cantelan.  Dan, di sebelah tempat tidurnya yang lain ada sebuah jam tangan yang lain. Saya sedikit tergoda untuk ingin mengetahui lebih banyak lagi soal ini; dan, lalu, saya bertanya mengapa ia telah melakukan hal ini. Ia mengatakan bahwa ia sengaja menempatkan kedua jam tangan itu di tempatnya; supaya, ketika ia bangun pada pagi hari, tak persoalan di bagian mana tempat tidurnya, ia akan tetap dapat melihat sudah jam berapa—tanpa harus membalikkan badannya sama sekali.
Saya tak pernah berhenti merasa kagum melihat betapa banyak benda-benda berharga yang mampu dikumpulkan oleh para biku Therawada; kendatipun, mereka tetap saja mengatakan bahwa mereka adalah para pertapa sederhana yang telah meninggalkan keduniawian.
            Walaupun memiliki gaya hidup yang sudah benar-benar seperti perumahtangga (domesticated), para biku tetap memakai bahasa kebikuan sepanjang waktu. Tak persoalan betapa mewahnya sebuah wihara Sri Lanka adanya, wihara itu tetap saja disebut sebagai ‘pansala,’ yakni, sebuah gubuk dari daun pepohonan. Sebelum para biku Burma mulai memakan jamuan makan siang mereka setiap hari, mereka melafazkan parita yang merujuk kepada makanan tersebut sebagai ‘Pindapata,  yakni, makanan yang diperoleh dari meminta-minta.
Walaupun hampir seluruh biku di Sri Lanka dan Burma adalah pemilik yang sah atas wihara mereka dan juga lahan tanah yang mengitarinya, setiap tahun pada awal ritrit musim hujan, umat awam ‘mengundang’ para biku untuk menetap di wihara selama tiga bulan berikutnya. Kadang-kadang, kehidupan asketik yang palsu itu sampai melampaui apa, yang oleh adat kebiasaan setempat, dianggap sebagai kekecualian; sehingga, ia menjadi benar-benar menggelikan.
Dalam satu dekade atau lebih yang lalu, telah menjadi semacam mode bagi para biku Thailand untuk melakukan dhutanga. Dhutanga artinya ketiga belas latihan asketik yang diizinkan oleh Buddha. Seorang biku akan  meminta pendukungnya untuk membelikan semuanya—mangkuk cantik dengan semua peralatannya (termasuk dudukannya, penutupnya, tali pengikatnya, tas pembawanya, dll), payung, kelambu nyamuk dan, tentu saja, jubah berwarna coklat tua yang diwajibkan. Keseluruhan pemberian tersebut dapat bernilai ribuan  bhats harganya.
Kemudian, para pendukungnya itu akan membawa biku itu ke sebuah taman nasional yang menyenangkan dimana ia dapat menghabiskan akhir minggu yang panjang dengan tidur-tiduran di bawah pohon atau bergaya untuk difoto; sedangkan, para pendukungnya itu berkemah di dekatnya untuk mempersiapkan makanan yang lezat bagi sang biku.
Biku tersebut akan kembali ke wiharanya dengan perasaan puas bahwa ia telah menjalankan latihan asketik; dan, para pendukungnya pun merasa yakin bahwa mereka telah mendapatkan pahala yang lebih banyak daripada biasanya dengan membantu seorang biku pertapa. Tentu saja ada beberapa biku dhutanga yang sungguh-sungguh di Thailand; tetapi, hingga akhir-akhir ini, mereka ini pun dilihat dengan sedikit kecurigaan.
Pada tahun 1970-an, Jane Bunnag mendapatkan bahwa para biku tersebut ‘sering dianggap sederajat dengan para gelandangan, peminta-minta dan macam-macam orang jalanan lainnya.’
Jadi, orang Thailand ingin benar-benar yakin terlebih dahulu bahwa seseorang itu benar-benar biku (yakni, ia mempunyai bisuthee, semacam KTP resmi untuk para biku yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah benar-benar menjalankan upacara pentahbisan yang semestinya), sebelum mereka memberinya apapun. Bila tidak, kebajikan mereka itu tentu tidak akan menghasilkan pahala bagi diri mereka. Dan, anda tak mungkin dapat begitu saja yakin terhadap para biku, yang berpakaian kumal dan bau keringat, yang tidak tinggal di dalam wihara. Barangkali para pertapa akhir minggu di atas adalah investasi yang jauh lebih aman lagi tentunya.
Kenyataannya adalah, walaupun mengaku sebagai pertapa dan meminta perlakuan istimewa dari masyarakat sebagai pertapa serta memakai bahasa asketisisme, kehidupan rata-rata biku Therawada kiranya sangat sedikit sekali perbedaannya dengan rata-rata umat awam, kecuali barangkali dalam tiga hal berikut ini. Kebanyakan umat awam tidaklah selibat, sedangkan semua biku haruslah selibat. Umat awam haruslah bekerja untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, sedangkan para biku tidak. Walaupun menikmati segala kenyamanan (sebagai akibat dari kepemilikan mereka atas sesuatu), keamanan dan status sosialnya, para biku tidaklah memiliki tanggungjawab ataupun kewajiban yang melekat pada hal-hal tersebut. Lebih sering ketimbang tidak, kehidupan yang keras bahkan dianggap tidak pantas untuk mahluk yang lembut dan terhormat seperti para biku itu.
Saya mengingat sebuah insiden yang terjadi pada saya pada bulan-bulan pertama saya di Sri Lanka. Dengan tiga orang biku Barat lainnya, saya berziarah ke Anuradhapura. Tak seorang pun dari kami yang telah cukup lama menjadi anggota Sanggha; dan, oleh karenanya, kami masih sangat naif dan berfikir bahwa kehidupan yang keras atau menjadikannya sedikit lebih keras lagi adalah bagian dari kehidupan seorang biku Therawada. Lalu, kami tiba di wihara tersebut dalam keadaan sedikit terlambat—semua lampu telah dimatikan dan semua orang tampaknya telah pergi tidur.
Daripada membangunkan yang lain, kami memutuskan untuk merebahkan jubah kami di bawah sebuah pohon di halaman yang luas di depan wihara tersebut, dan tidur begitu saja disana. Keesokan harinya, ketika tuan rumah mengetahui bahwa kami tidur di udara terbuka dan di atas tanah, mereka menjadi ternganga keheranan. Ada suara hembusan nafas ketakjuban, ada suara tertawa terbahak-bahak dan ada jari-jari tangan yang diangkat ke atas telinga dan digerak-gerakkan dengan arah berputar untuk mengindikasikan bahwa kami telah gila. 
Ketika biku senior, Ven. Madihe Pannasiha, mendengar apa yang telah terjadi, ia memanggil kami ke kamarnya; dan, dengan keras, ia mengomeli kami. Apa sebenarnya yang kami permainkan? Syukurlah tidak ada seorang umat awam pun yang telah menyaksikan kami. Apa yang kami sedang lakukan? Merendahkan kewibawaan Sanggha di mata para dayakas?  Kami seharusnya menjadi biku, bukan gelandangan! Itu intinya! Ia mengakhiri omelannya dengan membuatnya begitu jelas bahwa jika kami melakukan lagi tindakan-tindakan seperti itu, maka ia akan mengusir kami. Selama beberapa hari kami tinggal di wihara tersebut, para biku yang lain akan terkekeh-kekeh bila mereka melihat kami.
            Selama berabad-abad, para biku yang tulus kadang-kadang mencoba hidup secara keras, tetapi mereka jarang bisa bertahan dalam waktu cukup lama. Di Sri Lanka pada abad ke-8, sekumpulan biku, yang telah merasa muak dengan keduniawian yang dijalani kebanyakan orang, memutuskan untuk tinggal di dalam hutan dan mereka memakai jubah yang terbuat dari pakaian compang-camping; dan, karena itulah, mereka dikenal dengan sebutan Pansakulakas. Para biku ini dapat menarik rasa hormat yang besar; dan, segera para umat awam berbaris panjang untuk memberikan mereka pujian dan hadiah-hadiah.
Kita membaca di Culavamsa bahwa seorang raja menawarkan kepada mereka jubah yang terbuat dari gaun raja dari emas miliknya sendiri dan peralatan yang ‘sesuai untuk para bangsawan.’ Teks yang lain bahkan merinci daftar makanan mewah yang diberikan kepada mereka. Tentu saja, tak lama setelah itu para Pansakulakas pun menjadi malas dan kaya; dan, akhirnya, mereka menjadi sama korup dan duniawinya dengan orang-orang lainnya juga.
Memang benar mengatakan bahwa tradisi Therawada mengandung sebuah mekanisme yang menyatu di dalamnya yang dapat menyebabkan degenerasi pada Sanggha dan membuat umat awam menjadi pasif sekali dalam melakukan hal-hal lain kecuali hanya memberi pada para biku. Umat awam tidak dapat mengalami pencerahan sehingga yang terbaik yang dapat mereka lakukan adalah menyembah para biku dan memberi mereka hadiah-hadiah dengan harapan agar mereka mendapatkan pahala untuk kehidupan berikutnya. Semakin keras kehidupan seorang biku, maka semakin besar pujian yang diterimanya, semakin mewah pula hadiah-hadiah yang diterimanya, dan semakin besar kemungkinannya untuk menjadi rusak.
Ekses dan pemborosan
Di negara-negara Therawada, sumber-sumber dana yang banyak itu kiranya dihabiskan secara umum untuk kepentingan-kepentingan agama dan, secara khusus, untuk Sanggha. Kitab Mahavamsa mencatat dengan pujian bahwa selama pemerintahan Raja Udaya selama tujuh tahun, sang raja telah menghabiskan 1,300,000 keping emas untuk keperluan Sanggha dan upacara-upacara keagamaan lainnya. Nissankamalla menghabiskan sebanyak 4,700,000 keping emas hanya untuk melaksanakan dua upacara keagamaan di sebuah wihara tertentu.
Pemborosan seperti itu acapkali disebutkan dalam sejarah kewiharaan sebagai bukti dari rasa bakti seorang raja; dan, sekaligus, sebagai sebuah himbauan untuk para raja berikutnya supaya melakukan yang lebih dan lebih lagi dibandingkan dengan raja pendahulu mereka.
Pagoda Shwedagon di  Rangoon dilapisi dengan lebih dari enam puluh ton emas dan dimahkotai dengan sebuah payung yang dihiasi dengan ribuan berlian dan batu-batuan berharga lainnya. Semua ini ditambah lagi dengan sebuah berlian raksasa yang tujuh puluh enam karat. Setiap tahun bagian yang lebih rendah dari pagoda tersebut dan juga tempat-tempat persembahan lainnya dilapisi dengan dua puluh delapan ribu lembar daun emas. Hasil dari semua ini adalah mereka berhasil menciptakan salah satu monumen keagamaan yang paling indah untuk dipandang dimananpun juga.
Namun demikian, orang terus berfikir apakah Buddha, yang menolak bahkan untuk menyentuh emas, tidak merasa lebih senang dihargai apabila keberlimpahan kekayaan tersebut dipakai untuk membantu meringankan kemiskinan negara Burma yang mengerikan itu. Spiro memberikan taksiran bahwa di sebuah tempat di Burma, yang dijadikannya daerah penelitiannya itu, kebanyakan keluarga disana menghabiskan rata-rata 40% dari pengeluarannya untuk Sanggha. Penelitian-penelitian yang dilakukan di tempat-tempat lain di Burma menunjukkan bahwa persentase itu dapat lebih tinggi lagi.  
Tetapi, masalahnya bukanlah bahwa para biku mendapatkan demikian banyak, melainkan bahwa apa yang diberikan kepada mereka pun hilang percuma.
Di Sri Lanka, ketika para biku sedang makan, umat awam akan datang untuk melihat apakah para biku itu memerlukan tambahan makanan lagi. Yang khas sekali adalah bahwa para biku tersebut membiarkan makanan terus-menerus ditambahkan ke atas piring mereka; sehingga, setelah mereka usai makan, jumlah makanan yang bersisa sama saja banyaknya dengan makanan yang baru saja mereka konsumsi.
Sewaktu piring-piring dikumpulkan setelah para biku selesai makan, di atas piring-piring itu masih terdapat potongan-potongan kue/keik yang bagian atasnya yang manis saja yang telah dimakan, dan buah-buah apel dengan bekas satu atau dua gigitan saja, serta biskuit-biskuit yang baru setengahnya saja dimakan. Sudah barang tentu, sisa makanan itu semua akan dibuang begitu saja.
Saya pernah melihat para biku Therawada dari Bangladesh, sebuah negara dimana kelaparan dan kekurangan gizi begitu merajalelanya, melakukan hal yang persis sama. Karena selalu ada kepastian bahwa mereka akan diberikan lagi makanan yang selengkapnya pada keesokan harinya, dan mereka pun tidak harus membayar sepeser pun untuk makanan itu, maka mereka tidak peduli. Bila orang menawarkan anda sabun atau handuk, anda bisa saja mengatakan dengan sopan bahwa anda telah punya lebih dari yang anda butuhkan; tetapi, itu tidak akan ada bedanya. Mereka tetap akan memaksa agar para biku menerima pemberian-pemberian mereka itu.  
Sering saya melakukan percakapan yang bunyinya kira-kira seperti ini: ‘Bhante, apakah Bhante ingin minum kopi?’ ‘Tidak. Terima kasih.’ ‘Kopi?’ ‘Tidak. Terima kasih.’ ‘Kalau begitu, apakah Bhante ingin jus buah barangkali?’ ‘Tidak. Jangan sekarang. Mungkin nanti.’ ‘Kalau begitu, bagaimana kalau segelas Milo?’ ‘Tidak.’ ‘Lalu, bolehkah saya bawakan air mineral?’ dst. dst.
Pengunjung wihara yang pertama akan melakukan itu, kemudian yang kedua akan melakukan yang persis sama, dan seterusnya. Pada akhirnya, karena merasa capek akibat keinginan mereka yang tak henti-hentinya ingin memberi, anda pun kemudian menyerah dan menerima saja apa yang ditawarkan; lalu, anda menghirupnya sedikit untuk menyenangkan orang yang memberikannya, tetapi sisanya tentu dibuang ke dalam  bak cuci piring.
Tradisi Therawada menganjurkan agar kita memberikan dalam jumlah banyak kepada Sanggha dan juga bagaimana serta apa yang seharusnya diberikan. Semakin mewah pemberiannya atau semakin sulit pemberiannya, semakin besar pula rasa bakti yang diperlihatkan dan semakin besar pahala karma yang akan diterimanya.
Anjuran untuk memberikan secara berlebihan kepada Sanggha telah ada diperkenalkan pada saat Winaya itu ditulis. Kita diberitahu bahwa ada beberapa orang yang ‘tidak makan makanan padat yang lezat maupun minum, mereka tidak memberikannya kepada orang tua mereka, tidak pula kepada istri dan anak-anak mereka, tidak kepada pelayan atau budak mereka, tidak kepada teman ataupun kolega mereka dan mereka tidak memberikannya pada sanak famili mereka. Tetapi, mereka memberikannya kepada para biku yang, sebagai imbalannya, mereka menjadi rupawan, gemuk, dan kulitnya menjadi berwarna cerah dan memiliki daya tarik.’   (Vin.III,87)
Kita juga diberitahu bahwa ketika sedang terjadi wabah kelaparan di Vesali, orang-orang sengaja tidak memberi makan pada anak-anak mereka sehingga mereka dapat memberikan makanan tersebut kepada para biku (Vin. I, 86-7).
Dalam komenteri-komenteri dan teks-teks Therawada yang kemudian, ide tersebut muncul dalam bentuk yang paling memalukan dan paling mementingkan diri sendiri.
Ada sebuah kisah tentang seorang laki-laki bernama Darubhandaka Mahatissa yang menjual anak perempuannya untuk dijadikan budak supaya ia dapat membelikan makanan mewah untuk para biku. Setelah bekerja selama setengah tahun, ia dapat mengumpulkan cukup uang untuk menebus anak perempuannya itu. Tetapi, begitu ia akan melakukannya, ia melihat seorang biku yang hampir telat untuk makan sebelum tengah hari, dan maka ia menghabiskan semua uangnya itu untuk membelikan makanan bagi sang biku.
Kita juga memiliki kisah tentang seorang perempuan miskin yang memberi sisa-sisa makanan kepada anak perempuannya agar ia dapat memberikan makanan yang mewah untuk biku bernama Mahamitta. Kemudian ada perempuan yang, ketika terjadi bencana kelaparan, menemukan sedikit makanan sisa dan segera akan memberikannya pada bayinya yang sedang kelaparan. Namun, ketika dilihatnya seorang biku sedang lewat dengan mangkuk Pindapatanya, perempuan itu pun memberikan makanan sisa tersebut kepada biku itu.
Teks tersebut kemudian menggambarkan istana surgawi yang menakjubkan sebagai tempat kelahiran perempuan tersebut nanti setelah ia mati kelaparan dalam kehidupan ini.
Coba bandingkan kisah terakhir ini dengan kisah Rukmavati dari sebuah kitab Mahayana berjudul Avadanakalpalata. Rukmavati terkenal karena welas asihnya pada orang miskin. Suatu hari ia melihat seorang perempuan yang sangkin laparnya sehingga ia siap untuk segera melahap anaknya sendiri. Rukmavati bingung mengenai apa yang harus dilakukannya. Jika ia berlari pulang ke rumah untuk mengambil makanan buat perempuan lapar tersebut, maka anak tersebut mungkin akan segera dimakan oleh ibunya. Namun, jika ia membawa pulang anak tersebut, ibunya yang kelaparan tersebut mungkin akan segera mati. Dengan tanpa membuang-buang waktu lagi, ia pun segera mengerat daging dari dadanya sendiri dan memberikannya kepada perempuan yang kelaparan tersebut.
Kedua kisah di atas secara sempurna memberikan contoh mengenai kepedulian yang berbeda yang diajarkan dalam Therawada dan Mahayana.
            Kisah-kisah seperti laki-laki yang menjual anak perempuannya itu, yang tentunya banyak sekali, tidaklah pernah dilengkapi dengan sebuah penjelasan bahwa apa yang dilakukan disana sangatlah ekstrim; atau, bahwa para biku tidaklah menganjurkan rasa bakti yang salah arah tersebut. Sebaliknya, sifat seperti itu pula yang ditinggikan dan dijadikan sebuah contoh yang ideal.
Tentu, semua ini tidak berarti bahwa ada orang yang, demi berdana kepada Sanggha, benar-benar menjual anak-anak mereka dan tidak memberikan mereka makanan apapun. Tetapi, jelas sekali bahwa itulah yang ingin dihimbau oleh para biku yang menggubah atau mencatat kisah-kisah seperti itu. Dan ekses seperti itu masih terus dianjurkan.
Di Singapura dan Malaysia dewasa ini, sangatlah populer sekali mengundang para biku dalam jumlah besar dari luar negeri semata-mata agar mereka menerima dana. Kadang-kadang sebanyak seratus orang biku diterbangkan dari Thailand atau Sri Lanka supaya orang-orang dapat memberikan dana makanan kepada para biku. Biaya tiket dan biaya akomodasi serta biaya lain-lainnya untuk menjaga para biku tersebut selama beberapa hari lamanya dapat mencapai $1000 atau lebih untuk setiap bikunya.  
Pemborosan yang dilakukan demi Sanggha sangatlah lumrah; dan, ini menggambarkan bahwa kemurahan hati, sebagaimana diajarkan dalam tradisi Therawada, agaknya berbeda dari dugaan kebanyakan orang. Biasanya kita memberi dan berbagi untuk alasan-alasan yang berbeda, tetapi yang paling umum adalah untuk memenuhi kebutuhan yang spesifik dari si pemberi dana. Tetapi, hal ini tidaklah begitu penting bagi para penganut Therawada. 
Suatu ketika saya diundang untuk tinggal beberapa lama di sebuah perkumpulan Buddhis Sri Lanka di Australia. Mereka tidak mempunyai seorang biku pun yang menetap disana, tetapi para biku yang berkunjung untuk sementara waktu kadang-kadang tinggal disana. Kamar bikunya agak lusuh dan tidak rapi, sehingga saya memutuskan untuk membersihkannya sendiri. Ketika sedang melakukannya, saya menemukan lebih dari dua ratus batang sabun, enam puluh buah sikat gigi, banyak sekali handuk, kain-kain pelanel dan jubah (saya tak ingat persis jumlahnya), enam buah alat pemanas elektrik, selusin atau lebih jam digital dan masih banyak lagi barang-barang lain yang diberikan, namun yang belum pernah dipakai, oleh umat kepada para biku yang berkunjung ke tempat tersebut.
Dalam kunjungan saya yang terakhir di Burma, saya tinggal di sebuah wihara; dan, di ruangan yang luas dimana biku kepala berbicara dengan para pengunjung wihara, ada terdapat tujuh puluh empat buah jam dinding yang tergantung di dinding! Saya tak perlu mengatakan bahwa, karena ini adalah sebuah wihara Therawada, kebanyakan dari jam-jam tersebut menunjukkan waktu yang berbeda.
Saya mengenal sekelompok biku dari Burma yang tinggal di Malaysia yang menganjurkan agar umat mereka memberikan mereka jubah pada perayaan Kathina, dan juga memberikan kepada para biku sejumlah jubah ekstra untuk kemudian mereka kirimkan kepada para biku yang lain di Burma.  Sekarang ini, para biku dari Burma sangat pilih-pilih; mereka hanya memakai jubah yang dibuat di Burma. Jadi inilah yang terjadi. Setelah jubah-jubah itu dibeli di Burma, mereka dikapalkan ke Malaysia, lalu dibeli kembali oleh umat, dan dipersembahkan kepada para biku; setelah itu, jubah-jubah itu dikapalkan kembali ke Burma dan, kemudian, baru diberikan kepada para biku di Burma.
Saya juga tahu bahwa apa yang dibutuhkan oleh para biku di Burma sebenarnya bukanlah jubah, karena para umat selalu saja memberikan kepada para biku itu banyak jubah. Lemari-lemari pakaian dan gudang-gudang di wihara-wihara biasanya penuh dengan jubah-jubah tersebut. Jadi, ketika para biku di Burma menerima jubah-jubah yang sudah melakukan perjalanan cukup jauh itu, saya curiga keras bahwa mereka pasti menjualnya ke took-toko jubah—ini adalah sebuah cara yang lazim untuk mengurangi kelebihan jubah dan sekalian mendapatkan sedikit uang. Dari sana, seseorang kemungkinan akan membeli jubah-jubah itu lagi untuk kemudian mengapalkannya ke Malaysia.
Saya pernah menyaksikan seorang biku Thailand yang diyakini masyarakat setempat sebagai seorang arahat yang tengah melakukan Pindapata. Beberapa ribu orang berdiri dalam dua barisan yang berhadap-hadapan ketika ia berjalan di antara mereka dan menerima pemberian makanan dari mereka. Ketika mangkuk Pindapatanya sudah penuh, ia akan mengosongkannya ke dalam kotak-kotak kardus besar yang dibawa oleh para pendampingnya. Biku tersebut melakukannya berulang-ulang dan pada akhir ‘Pindapata’ tersebut terdapat dua ratus kotak kardus yang penuh berisi makanan. Saya diberitahu bahwa sebagian dari makanan ini akan diberikan kepada fakir miskin dan mungkin sekali memang demikian. Orang ramai juga memakan sebagian dari makanan itu, tetapi karena makanan tersebut telah diremas-remas, menjadi layu, dan telah diaduk-aduk menjadi semacam bubur yang sangat tidak membangkitkan selera makan lagi, maka akhirnya makanan itu pun dibuang begitu saja.
Pemborosan makanan bukanlah hal yang baik—ia memperlihatkan ketakpedulian dan kurangnya rasa hormat kepada kedua-duanya masyarakat dan linkungan. Tetapi, di Sri Lanka, Burma, Laos dan Cambodia—yang termasuk negara-negara paling miskin di dunia—memboroskan makanan itu benar-benar sebuah kejahatan. Mengapa orang masih saja memberikan kepada para biku walaupun para biku itu telah memiliki lebih dari yang mereka sanggup manfaatkan? Mengapa kemurahan hati kepada orang-orang yang membutuhkan, bila kemurahan hati itu benar-benar ada, bukan sesuatu yang dipikirkan dengan hati-hati sekali? Mengapa kemurahan hati dalam Therawada itu mengakibatkan begitu banyak pemborosan?
Bab keempat dalam buku  The Teachings of the Buddha (Ajaran-ajaran Buddha) yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Burma sebagai buku teks untuk mengajarkan agama Buddha Therawada diberi judul Dispensing Charity (Menyalurkan Kemurahan Hati). Di dalamnya, kemurahan hati dijelaskan secara eksklusif sebagai memberikan kepada Sanggha atau memberikan persembahan kepada patung Buddha. Tidak ada sedikitpun isyarat di dalamnya yang menyatakan bahwa orang-orang miskin, orang-orang sakit atau bahkan teman atau tetangga pun memenuhi syarat menjadi penerima kemurahan hati seseorang.
            Sebuah buku yang baru saja saya baca berjudul A Course in Basic Buddhism (Sebuah Kursus Agama Buddha Dasar) yang diterbitkan oleh the Klang and Coast Buddhist Society di Malaysia menyoroti secara lebih baik lagi karakteristik dari kemurahan hati sebagaimana diajarkan dalam Therawada.
Dalam bab mengenai Dana, ada bagian-bagian yang menjelaskan arti dari Sanghika Dana, waktu yang tepat untuk berdana kepada para biku, cara yang benar untuk memberikan persembahan dan, tentu saja, juga tentang ‘kekayaan berlimpah, harta benda dan kemakmuran’ yang akan diterima seseorang bila telah berdana kepada para biku. Tidak ada disebutkan sama sekali tentang kemurahan hati terhadap sesama kecuali kepada para biku.
Bab mengenai Sepuluh Perbuatan Berpahala memberikan sepuluh contoh kemurahan hati. Delapan di antaranya berkaitan dengan berdana kepada para biku atau wihara; sedangkan, hanya satu saja—yakni, mendonorkan organ tubuh seseorang setelah kematian—yang dapat dikatakan memberikan keuntungan bagi orang lain di luar lingkungan biku.
Pada halaman 48 buku tersebut, terdapat sebuah diagram yang bermanfaat yang mencantumkan daftar keempat belas penerima dana beserta jumlah pahala karma baik yang akan diperoleh seseorang bila berdana kepada setiap penerima dana itu. Pahala paling kecil yang terdapat di bawah daftar tersebut dapat diperoleh dengan berdana kepada hewan. Persis setingkat di atasnya adalah pahala yang diperoleh dengan berdana kepada kaum fakir miskin. Namun, jumlah pahala karma yang akan diperoleh dengan berdana kepada mereka-mereka yang telah mencapai salah satu dari empat tingkat kesucian (yang dalam tradisi Therawada hal ini hampir selalu berarti para biku saja) sungguh ‘tak terhingga.’ Jadi, jelaslah disini bahwa hanya orang bodoh saja yang ingin bersusah-payah berdana kepada hewan ataupun memberi bantuan kepada kaum fakir miskin. Oleh karena itu, para penganut Therawada jarang sekali mau melakukan ini.
Pada halaman 55 dari buku ini, ada dua kalimat—saya ulangi, ada dua kalimat saja—yang mengusulkan agar kita berdana kepada organisasi-organisasi amal dan merawat orang sakit. Ini adalah sentuhan yang baik, namun anjuran ini hampir-hampir tak kelihatan di antara banyak halaman buku tersebut yang isinya terutama menganjurkan agar kita berdana kepada Sanggha dan menyajikan hitungan-hitungan mengenai keuntungan material apa saja yang akan diterima oleh seseorang bila melakukannya.
            Saya mempunyai sebuah buklet yang ditulis oleh seorang guru meditasi Thailand yang sangat dihormati bernama Phra Panyapatipo. Penulis tersebut sangatlah jujur tentang tujuan penulisan bukletnya itu yang diberi judul How to Get Good Results from Doing Merit (Bagaimana Memperoleh Pahala dengan Melakukan Kebajikan).
Phra Panyapatipo mengatakan bahwa bila anda memberi dana makanan kepada para biku, maka anda akan memiliki kesehatan dalam kehidupan anda berikutnya. Bila anda memberikan mereka lilin atau lampu senter, maka anda akan memiliki penglihatan yang baik; dan, bila anda menghadiahkan patung Buddha, maka anda akan menjadi secantik patung Buddha. Berilah sabun dan losion kulit untuk para biku, maka anda akan memiliki kulit yang indah. Berilah uang atau materi untuk membangun sebuah wihara, maka anda akan mendapatkan sebuah rumah yang cantik; sedangkan, bila anda memberikan odol dan sikat gigi, maka anda akan memiliki gigi yang baik.
Pada akhir daftar yang panjang ini, Phra Panyapatipo menambahkan bahwa bila anda membangun sebuah klinik/rumah sakit mata, maka anda akan memiliki mata yang sehat; dan, bila anda mendonorkan anggota tubuh, maka anda akan mempunyai sebuah tubuh yang sehat.
Seperti klaim-klaim yang lainnya, hal ini memang sangat simplistik sekali (walaupun sejalan dengan ajaran dalam Therawada); tetapi, setidak-tidaknya, daftar ini menyatakan bahwa kemurahan hati dapat diperluas hingga melampaui batas lingkungan Sanggha—sebuah pendekatan yang kiranya agak jarang terjadi.
Therawada telah membuat salah satu perbuatan kebajikan yang semestinya paling indah itu—yakni, memberi—menjadi sebuah bentuk lain dari menerima dengan mementingkan diri sendiri. Pemberian yang penuh perhitungan ini sangat berbeda sekali dengan apa yang diajarkan dalam sutra-sutra Mahayana dimana seseorang dianjurkan untuk memberi tanpa berfikir hanya untuk kebaikan dirinya sendiri.
Narayanapariprccha, sebagai contoh, mengatakan, ‘Yang Mulia, Bodhisatwa haruslah berfikir seperti ini, ‘saya telah mengabdikan tubuh saya ini untuk kebaikan orang lain. Apalagi dengan benda-benda materi?… saya akan  melepaskan semua harta milikku untuk dimiliki mereka—tanpa  penyesalan, tanpa keragu-raguan, tanpa mengharapkan pahala, tanpa membedakan siapapun, tetapi semata-mata karena kebaikan hati, karena welas asih—sehingga mahluk-mahluk ini …dapat mengenal Dharma yang baik.’’
            Harus ditekankan disini pula bahwa ketiga buku yang disebutkan di atas itu tidaklah ditulis oleh para petani sederhana yang tidak berpendidikan. Buku-buku itu pun tidaklah dimaksudkan untuk dibaca oleh orang-orang yang tidak berpendidikan seperti para petani sederhana itu. Buku-buku ini, sebaliknya, ditulis oleh para penganut tradisi Therawada yang berwawasan luas dan sangat mengetahui ajaran-ajaran ortodoks; dan, mereka semata-mata mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang telah begitu lama diuraikan dalam komenteri-komenteri, dalam ratusan buku sejenis, dan dalam ribuan kotbah yang disampaikan setiap minggu di seluruh negara Therawada.
Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran tersebut kiranya adalah jaminan bahwa organisasi-organisasi amal akan terus-menerus mengemis dana dan bahwa wihara-wihara akan terus menjadi tempat yang jemu dan boros. Sama buruknya dengan itu, pemikiran-pemikiran tersebut pun memperlihatkan serta menguatkan kesalahfahaman yang mendalam selama ini mengenai apa sesungguhnya arti dari memberi dan berbagi itu.
Bahwa berdana seharusnya dilakukan karena semata-mata kebahagiaan untuk berbagi; bahwa berdana dilakukan semata-mata karena welas asih; serta, berdana dilakukan hanya untuk mereka yang benar-benar membutuhkan, sangat jarang dibicarakan dalam teks-teks tradisional Therawada atau, bahkan, dalam uraian-uraian modern sekalipun. Berdana secara diam-diam atau dengan kerendahan hati juga sama jarangnya dibicarakan. Jadi, seseorang memberi semata-mata supaya ia dapat memperoleh pahala; tetapi, bila ia mendapatkan pujian dan dipuja oleh teman-teman sejawatnya, maka itu akan lebih baik lagi.
Di wihara-wihara Burma, hampir segala sesuatu mempunyai nama donaturnya yang biasanya dituliskan di atasnya; kadang-kadang, jumlah sumbangannya pun dituliskan sekaligus di sana. Di wihara-wihara di Sri Lanka dan Thailand, ketika sedang berlangsung festival-festival keagamaan, pengeras suara mengumumkan nama-nama orang yang memberikan dana dan sekaligus jumlahnya dengan suara keras yang tinggi melengking. Memberi dengan rendah hati atau secara diam-diam, seperti yang dilakukan oleh Hatthaka, tampaknya bukan sebuah kebajikan dalam Therawada (A. IN, 113).
Keberlimpahan yang membosankan yang terlihat di wihara-wihara, pemborosan yang tak dikira-kira, dan keanehan tentang para biku yang meninggalkan keduniawian namun tetap saja hidup dalam kemewahan (sedangkan umat biasa hidup dalam keadaan serba kekurangan)—semua itu adalah akibat yang logis dari doktrin-doktrin Therawada yang mengajarkan bahwa orang harus terlebih dahulu memberi sebelum mereka menerima; dan, bahwa pihak yang paling pantas menerima kemurahan hati dari orang lain hanyalah Sanggha.
Posisi perempuan
Buddha sebenarnya mempunyai sikap yang ambivalen terhadap perempuan. Walaupun mengakui bahwa perempuan sama kemampuannya dengan laki-laki dalam mencapai keBuddhaan, ada juga masa-masa dimana Buddha tampak skeptis terhadap kemampuan moral dan spiritual dari para perempuan. Namun demikian, tradisi Therawada tampak cukup jelas posisinya dalam hal ini—yakni, bahwa para penganut Therawada secara seragam dapat dikatakan misoginistik (kurang menyukai perempuan).
Tidak diikutkannya perempuan untuk memainkan peranan yang berarti dalam kehidupan spiritual sebenarnya bersifat lebih menyeluruh lagi ketimbang dalam agama Islam. Dalam Islam, sekurang-kurangnya masih terdapat beberapa orang perempuan suci, penyair dan teolog perempuan; sedangkan, dalam Therawada hingga abad ke-20 tidak ada satupun sama sekali sepanjang yang saya ketahui.
Tidak diikutkannya perempuan tersebut sangatlah ironis; apabila, kita menyadari bahwa, hingga taraf yang jauh, adalah perempuan juga sebenarnya yang tampak menghidupkan agama Buddha itu.
Di negara-negara Therawada, perempuanlah yang secara menyolok tampak lebih saleh. Adalah para perempuan pula yang terutama menjaga para biku, yang melakukan segala sesuatu untuk para biku itu, dan yang memastikan agar dana untuk para biku dapat tiba tepat pada waktunya. Pun, yang datang menghadiri kotbah hampir seluruhnya perempuan. Pergilah ke wihara manapun juga di Sri Lanka pada hari bulan purnama dan yang paling banyak menjalankan delapan sila adalah justru para perempuan dan, biasanya, seperti yang hadir dalam kotbah-kotbah tersebut, mereka adalah perempuan-perempuan yang sudah tua sekali.
            Walaupun demikian, para biku tetap saja memperlakukan perempuan sebagai tidak cukup suci secara fisik maupun ritual. Para biku Thailand tidak akan mengambil apapun langsung dari tangan seorang perempuan; dan, di Burma para biku tidak akan mengunjungi rumah seorang perempuan yang sedang datang bulan; begitu juga, perempuan tersebut tidak diizinkan mengunjungi wihara.
Di Thailand, terutama di Utara, para perempuan tidak diizinkan berjalan mengelilingi stupa; karena, ketaksucian yang memang terkandung pada tubuh perempuan itu diyakini akan menghancurkan kekuatan dari relik di dalam stupa itu.
Di Burma, perempuan tidak diizinkan menyentuh patung-patung Buddha tertentu yang dianggap suci, atau memasuki sima atau bahkan tempat pemujaan tertentu. Ketika saya mengunjungi tempat suci di Kathiayo di Burma, saya memperhatikan sebuah papan pengumuman besar yang dibuat untuk dibaca para turis perempuan Barat. Bunyinya adalah ‘Perempuan dilarang masuk.’ Perempuan Burma tentu tidak membutuhkan pengumuman seperti itu, karena mereka telah mengenal tempat mereka sendiri dengan baik.
Jelas sekali bahwa, bahkan, gambaran seorang perempuan bisa mengotori. Baru-baru ini saya baru mengetahui bahwa ada orang di Thailand yang menganggapnya sebagai penghinaan terhadap aturan Winaya bila seorang biku, dengan tanpa sengaja, menyentuh gambar seorang perempuan yang ada di sebuah surat kabar atau majalah ketika ia sedang membacanya.
Sebuah kelompok Buddhis di Eropah baru-baru ini mengundang seorang petinggi biku dari Thailand untuk menghadiri sebuah acara; dan, salah seorang anggota panitia—yakni, seorang perempuan yang bisa berbahasa Thailand—bertindak sebagai juru terjemah untuk ceramahnya. Setelah acara itu usai, duta besar Thailand, yang juga turut menghadiri acara tersebut, menginformasikan kepada kelompok Buddhis tersebut bahwa panitia acara tersebut telah benar-benar menghina petinggi biku itu—karena mereka telah menyebabkan biku itu melanggar Winaya dengan mengizinkan kata-katanya ‘disentuh’ oleh perempuan penerjemah itu.
Para apologis Therawada mengatakan bahwa hal ini—dan ide-ide lain atau semua praktek yang memalukan itu—adalah akibat dari kesalahfahaman dan ketahyulan; dan, semua itu bukanlah ‘Therawada yang sebenarnya.’ Tetapi, karena para biku itu mempunyai pengaruh yang begitu meluas dan mereka telah benar-benar mengajarkan ‘Therawada yang sebenarnya’ selama berabad-abad lamanya, kita mungkin bertanya mengapa kepercayaan tahyul seperti di atas masih tetap saja bertahan. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa para biku tersebut memang mengajarkan hal-hal itu; dan, bila ada yang tidak, mereka pun pasti tidak mau bersusah-payah untuk turut menghapuskannya.
Sanggha bikuni didirikan oleh Buddha sendiri dan telah bertahan hingga saat ini di beberapa negara Mahayana.[†††††] Dalam tradisi Therawada, Sanggha bikuni berkembang selama beberapa abad lamanya, kemudian tidak diperhatikan lagi dan akhirnya mengalami kemunduran hingga akhirnya mati sekitar berakhirnya millennium pertama.
Sampai akhir-akhir ini, tidak ada upaya untuk menghidupkan kembali Sanggha bikuni. Di Burma dan Thailand, hierarki Sanggha yang ada dapat dan pasti akan mempergunakan pengaruhnya terhadap otorita sekuler demi mencegah agar Sanggha bikuni tidak dimulai kembali di negara masing-masing. Tampaknya cara satu-satunya untuk membuat Sanggha menjadi aktif dan mengambil tindakan adalah memang dengan mengusulkan agar mulai dilakukan perubahan-perubahan. Di Sri Lanka—seperti juga dengan hal-hal lainnya di negara tersebut—keadaan ini tampak telah berjalan dengan lebih baik.  
Di negara tersebut, Sanggha tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan munculnya kembali Sanggha bikuni; dan, beberapa biku progresif serta umat awam bahkan mendukung upaya-upaya ke arah sana. Begitupun, ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan untuk tujuan tersebut sejauh ini terasa masih janggal dan kurang mendapat dukungan luas. Seperti yang lazim kita jumpai pada para penganut Therawada itu, yang tampak lebih dipentingkan secara berlebih-lebihan justru adalah bagaimana melaksanakan upacara pentahbisan yang ‘sah’; dan, sama sekali bukan pada isu-isu yang jauh lebih penting; semisal, pendidikan, pelatihan, penseleksian calon-calon biku yang menjanjikan dan sungguh-sungguh memikirkan bentuk Sanggha bikuni seperti apakah yang mungkin sesuai untuk sebuah zaman modern.  
Feminisasi  
Orang pasti tak habis pikir betapa banyak waktu yang biasa dihabiskan oleh para biku Therawada itu ketika mereka sedang ditemani oleh para perempuan. Memang ada alasan yang masuk akal mengapa hal ini demikian. Seperti juga para biku, para perempuan kelas menengah dan kelas atas pun tidak mempunyai banyak kesibukan. Mereka ini menunggu di sekitar meja ketika para biku sedang makan. Mereka mengatur semuanya dan, sekali-sekali, menunjuk ke arah sebuah makanan tertentu dan mengusulkan agar para biku mencicipinya; karena, para perempuan itu memang sengaja memasaknya untuk para biku.
Mintalah segelas jus jeruk dan mereka pun akan dengan penuh kasih sayang memberikan tiga sendok gula ke dalamnya dan bukan seperti takaran biasanya. Bila anda sedang mencoba mengambil sebotol air, para perempuan itu akan bergegas dan membuka tutup botolnya untuk anda. Usaplah mulut anda dengan kertas serbet dan kertas tisu akan segera dibawakan; dan, kertas itu akan cepat-cepat digantikan pula dengan yang bersih. Para perempuan itu akan memotong buah-buahan hingga menjadi potongan-potongan kecil berbentuk kotak-kotak untuk sekali kunyah dan menancapkan sebuah tusuk gigi ke atas masing-masing potongan buah itu—supaya para biku dapat memakannya dengan mudah.
Di Burma, para perempuan itu malahan menguliti buah-buah anggur untuk para biku. Saya tidak berkelakar. Semua ini memang demikian adanya. Bila dimanjakan seperti ini selama bertahun-tahun dan ditambah lagi dengan begitu sedikitnya kewajiban para biku tersebut—serta terus-terusan dipuji-puji seperti itu—maka hal tersebut tentu akan mempunyai dampak yang merusak pada semua laki-laki.
            Seperti anak-anak yang dimanja, banyak biku Therawada yang akhirnya banyak memikirkan masalah kesehatan mereka. Lemari di dalam kamar para biku itu menjadi kacau balau dengan banyaknya obat sakit kepala, balsam, berbagai macam krim dan botol-botol dengan tablet-tablet vitamin; dan, lemari-lemari laci di danasala dipenuhi dengan botol-botol minuman dan suplemen. Para perempuan berusia lanjut selalu saja bertanya tentang kesehatan para biku dan bila ada yang mengatakan ‘sedikit sakit kepala’ atau ‘merasa sedikit kurang sehat pagi ini’ maka segera akan ada yang membeli obat-obatan.
Sangatlah sulit untuk mencegah tertumpahnya semua perhatian dari para perempuan itu. Bila anda mengatakan bahwa anda ingin melakukannya sendiri atau bahwa anda telah merasa cukup dan tak lagi ingin dibantu, maka anda akan segera mendapatkan sebuah wajah yang kecewa dan anda akan didesak lagi secara terus-menerus.
Terakhir kali saya berada di Burma, saya melihat bahwa makanan yang disajikan kepada para biku kebetulan sangatlah menggemukkan sekali; sehingga, untuk beberapa kali, saya memutuskan berpuasa saja selama sehari.  Ketika saya tidak pergi ke danasala di tempat di mana saya menetap, sebuah rombongan ibu-ibu yang luar biasa datang untuk menyelidiki apa yang terjadi. ‘Apakah anda sakit, Bhante?’ ‘Tidak. Saya baru saja memutuskan untuk tidak makan hari ini.’ Mata mereka kemudian terbelalak, rahang mereka jatuh seperti tak percaya, dan kemudian mulailah proses bertanya hingga ke detil-detilnya dimulai. ‘Bagaimana kalau Bhante makan sedikit saja?’ ‘Tidak, terima kasih. Saya betul-betul ingin mengistirahatkan perut saya.’ ‘Kalau begitu makanlah buah-buahan. Bhante harus tetap menjaga agar badan tetap kuat.’ ‘Tidak. Itu tidak apa.’ ‘Kalau makan sup saja bagaimana Bhante?’ ‘Tidak. Tidak. Saya tidak akan makan apapun hari ini.’ Dst. Dst.
Dalam contoh di atas ini, saya tetap berpegang pada pendirian saya; dan, ibu-ibu itu pun akhirnya pergi sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan bercampur rasa bingung dan rasa takjub. Tetapi, cukup mudah sebenarnya untuk menyerah ketika seseorang diperhadapkan dengan hal semacam ini dari hari ke hari. Sangatlah sulit untuk menyalahkan para biku yang mengizinkan diri mereka untuk menuruti kehendak para umat awam yang terus mendesak. Sama sulitnya pula menyalahkan umat awam karena memang inilah yang diajarkan oleh Therawada kepada mereka untuk mereka lakukan selama berabad-abad lamanya. Kedua belah pihak tampaknya terjebak dalam sebuah lingkaran setan—pihak  yang satu merusak pihak yang lain.
            Saya tidak begitu yakin apakah ada terdapat sebuah motivasi yang tidak disadari di belakang semua tindakan memanjakan dan sangat merepotkan yang dilakukan oleh para perempuan itu; tetapi, barangkali yang dilakukan itu bukanlah sesuatu yang sehat. Tentu saja, perbuatan itu cenderung akan membuat banyak biku menjadi lemah dan tak berguna karena mereka menjadi tak sanggup atau tak bersedia untuk menghadapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Biku Thanissaro mengklaim bahwa peraturan-peraturan Winaya tertentu dimaksudkan untuk melindungi para biku dari akibat-akibat kepedulian umat ‘yang terlalu memberatkan bagi pikiran yang sensitif.’ Saya betul-betul tak habis pikir bahwa ternyata gagasan-gagasan seperti inilah yang telah membuat para biku  melihat diri mereka sendiri, atau dilihat juga oleh orang lain, sebagai mahluk-mahluk yang sangat berharga. Mereka tidak memiliki tanggung jawab, kewajiban, tekanan ataupun pekerjaan yang dapat mengganggu latihan meditasi mereka yang rapuh, atau yang membahayakan pahala kebajikan mereka yang masih labil, atau yang dapat merusak keadaan jasmaniah mereka yang rapuh.
Tentang seberapa rapuhkah para biku itu dapatlah kiranya dilukiskan dengan baik sekali bila kita merujuk pada apa yang terjadi pada alat pengangkutan umum. Di banyak tempat di dunia ini, laki-laki harus berdiri dan memberikan tempat duduknya untuk para perempuan yang sedang hamil atau perempuan berusia lanjut. Di negara-negara Therawada, semua orang, termasuk juga perempuan hamil dan yang berusia lanjut, harus berdiri dan merelakan tempat duduknya untuk para biku.
Sesungguhnya, kita telah menjadi begitu berbeda dengan Buddha yang maha berani dan maha welas asih ketika Beliau masuk ke dalam hutan sendirian untuk menaklukkan Angulimala (M.II, 98). Sungguh kita telah begitu berbeda dengan Punna yang berani dan bertekad bulat untuk pergi mengajar di negeri Sunaparanta; kendatipun, ia tahu mara bahaya yang menyertainya. (M. III, 267).
            Tentu saja ada beberapa orang biku yang telah mencoba untuk melepaskan diri dari kehidupan yang terlalu dimanjakan itu. Mereka pergi memasuki hutan dimana mereka dapat hidup layaknya seperti para biku pada masa dahulu. Tetapi, ada juga kepercayaan bahwa umat Buddhis awam akan memperoleh pahala yang jauh lebih besar lagi bila mereka dapat berdana kepada seorang Biku yang menyepi seperti itu. Jadi, tak lama kemudian, umat Buddhis awam pun akan pergi mencari-cari biku tersebut dan mulai menghujaninya dengan pemberian-pemberian dan pujian-pujian.
Saya ingat ketika saya tinggal di sebuah tempat pertapaan di Karanbhagala di sebelah selatan Sri Lanka. Setiap hari, tiga atau empat buah bus dan bertruk-truk penumpang yang datang untuk memberikan makanan kepada lima orang biku yang tinggal di sana. Meja-meja penuh dengan makanan-makanan yang menggemukkan, gudang-gudang penuh dengan sabun, handuk, bantal, payung, jubah, dll. Para biku disana, seperti juga biku-biku yang tulus lainnya, mencoba untuk mempertahankan kehidupan mereka yang tadinya sangat sederhana. Tetapi, kesederhanaan itu harus selalu diperjuangkan; dan, mereka mempunyai lebih dari yang mereka sanggup memakainya, lebih dari yang mereka butuhkan, bahkan lebih dari yang mereka sanggup untuk menyimpannya.
Umat awam dapat saja menyimpan sebagian dari keberlimpahan tersebut atau memberikannya untuk amal; tetapi, dengan melakukan itu, mereka hanya akan memperoleh pahala karma baik yang sedikit sekali. Oleh sebab itu, mereka tidak melakukannya. Para biku dapat saja membagi-bagikan barang-barang yang berlebihan itu kepada para penduduk miskin di sekitarnya; tetapi, bila mereka melakukannya, maka para donatur akan merasa tidak senang. Demikianlah, suka atau tidak suka, para biku yang paling tulus sekalipun akhirnya akan berakhir dengan keadaan serba berkelebihan.
Fenomena ini dapat dilihat hampir di seluruh negara Therawada di dunia ini. Semakin baik seorang biku dan semakin besar perhatian yang didapatkannya, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menjadi lemah, dimanja dan dikelilingi segala barang mewah.
Mitos dan Realita
Ketika penganut tradisi Therawada ingin merekomendasikan versi mereka tentang ajaran Buddha kepada orang lain, mereka acapkali mengatakan hal-hal tentang ajaran Buddha yang kedengarannya sangat mengesankan, namun yang sedikit sekali berkaitan dengan kenyataan. Beberapa klaim ini telah begitu seringnya diulang-ulang dan, bahkan, dalam kata-kata yang hampir sama sehingga klaim-klaim itu praktis telah menjadi slogan; seperti misalnya, ‘agama Buddha mengajarkan agar anda jangan percaya begitu saja, tetapi harus menemukan kebenarannya sendiri,’ ‘Buddhisme bukanlah sebuah agama melainkan sebuah way of life,’ ‘Ajaran Buddha itu rasional sekali,’ ‘Ajaran Buddha itu bukan pesimistis ataupun optimistis; ajaran Buddha itu realistis.’
Para penganut Therawada di Barat barangkali dapat dimaafkan bila mereka mempercayai dan kemudian ikut-ikutan mengulangi klaim-klaim semacam itu. Mereka biasanya hanya sedikit sekali mengetahui bagaimana tradisi Therawada itu dijalankan di Asia dan, lebih sedikit lagi, mengenai sejarah tradisi Therawada itu. Keadaan ini berbeda dengan para penganut tradisi Therawada di Asia; sehingga, oleh karena itu, para penganut Therawada di Asia patut disalahkan bila masih banyak menyampaikan ketidakjujuran.
Salah satu dari slogan tersebut yang paling sering diucapkan adalah bahwa ‘Setetes darah pun tak pernah dijatuhkan atas nama agama Buddha’—tentu “agama Buddha” di sini maksudnya adalah agama Buddha tradisi Therawada. Tetapi, klaim tersebut tidaklah berdasar sama sekali. Perkenalan yang sekilas saja dengan sejarah Asia bahkan telah cukup untuk memperlihatkan bahwa hal itu tidak benar. 
Sebutlah, misalnya, karir Raja Anawarhta (1047-77) yang telah menjadikan Therawada sebagai agama resmi negara Burma. Setelah ia masuk agama Buddha yang dikarenakan biku Shin Arahan, tugas pertama Anawarhta adalah mendapatkan kitab suci dalam bahasa Pali. Kitab suci yang paling dekat kebetulan berada di kerajaan tetangga yang terdekat yakni kerajaan Thaton. Kerajaan itu pun kemudian diduduki Raja Anawarhta, ibu kotanya dibubarkan dan kitab suci tersebut dibawa dengan perasaan penuh kemenangan ke Pagan di atas punggung-punggung gajah yang berjalan berbaris-baris. Raja Thaton dan keluarganya menghabisi sisa-sisa kehidupan mereka sebagai budak di dalam sebuah wihara.
Lalu, untuk mendapatkan relik-relik untuk diletakkan di atas tempat pemujaan yang sedang dibangunnya, Anawarhta menginvasi Prome, melucuti semua emas di wihara-wihara di sana, menghancurkan stupa-stupanya dan mengangkut segala sesuatunya ke Pagan lagi.
Korban berikutnya adalah Arakhan yang memiliki Patung Mahamuni yang sangat dihormati itu—sehingga sang raja begitu berniat untuk merebutnya agar ia dapat memuliakan ibu kotanya sendiri. Tetapi, kali ini, pertempuran-pertempuran yang dilakukannya tidaklah dapat seluruhnya dimenangkan olehnya. Oleh sebab itu, sang raja harus cukup puas dengan rampasan patung-patung dan relik-relik suci yang jauh lebih sedikit jumlahnya.
Setelah itu, Raja Anawrahta melirikkan matanya yang saleh, namun yang suka berperang itu, ke Nanchao dimana Relik Gigi itu dipuja. Raja Nanchao berupaya untuk mencegah terjadinya malapetaka tersebut; dan, dengan tak diduga-duga, memperlihatkan kekuatan militernya dan menyuap raja Anawrahta dengan sebuah patung Buddha dari batu giok yang memang masih ada kaitannya dengan relik tersebut.
Semua kampanye-kampanye Anawarhta ditentang secara militer; dan, pastilah ia telah menyebabkan banyak sekali pertumpahan darah kendatipun jumlah korban tak pernah sama sekali dicatat dalam catatan-catatan kuno. Para pemuka agama yang mencatat peristiwa-peristiwa tersebut hanya tertarik dengan berapa banyak jumlah para biku yang diberi dana makanan oleh Anawarhta dan berapa jumlah wihara yang dibangun oleh Anawarhta, bukan berapa banyak orang yang telah dibunuhnya.
Walaupun demikian, peperangan-peperangan tersebut dapatlah dengan jelas disebut sebagai perang agama. Shin Arahan barangkali banyak menyemangati agresi raja tersebut walaupun tidak pernah ada catatan mengenai hal ini; pada pihak lain, tidak pula ada catatan bahwa Shin Arahan pernah berupaya untuk menarik dukungannya dari menghasut raja untuk berperang ataupun menasehatinya untuk menahan diri.
            Sekarang, marilah kita melihat barangkali tokoh yang paling dikenal dan dipuja dari sejarah Sri Lanka; yakni, Dutthagamini. Kisah Dutthagamini dituliskan dalam Mahavamsa, sejarah resmi Therawada di Sri Lanka. Selama tujuh puluh enam tahun, sederetan pemimpin Tamil yang non-Buddhis telah memerintah Sri Lanka. Tetapi, pada tahun 101 SM, Pangeran Dutthagamini memulai kampanyenya untuk menggulingkan pemimpin Tamil dan menjadikan dirinya raja.
Dari awal sekali, Dutthagamini dan pendukungnya telah melihat perjuangan mereka sebagai sebuah perang suci yang memang dimaksudkan untuk ‘membawakan kemuliaan bagi agama.’ Para biku menemani para tentera ke medan perang karena ‘kehadiran biku-biku merupakan sebuah berkah dan perlindungan bagi kami.’ Para biku dianjurkan untuk meletakkan jubah dan ikut berperang dan beberapa di antara mereka yang hampir arahat pun turut melakukannya. Dutthagamini menaruh sebuah relik Buddha di pedangnya dan mengklaim bahwa perjuangannya bukanlah untuk dirinya sendiri tetapi untuk kebaikan siar agama.
Walaupun demikian, setelah peperangan usai, Dutthagamani mulai merasa gelisah melihat begitu banyaknya pertumpahan darah yang dilakukannya sendiri; karena, setidak-tidaknya ia mengenal Dharma.[‡‡‡‡‡] Namun, delapan orang arahat meyakinkannya bahwa ia hanya melakukan karma buruk yang tidak seberapa karena ia hanya membunuh hewan dan kaum kafir yang tak lebih daripada hewan.[§§§§§] Sekali lagi, dengan menerapkan standar apapun, perjuangan Dutthagamani tetap memenuhi syarat sebagai sebuah perang agama.
Kisah-kisah Anawarhta dan Dutthagamini sangatlah termasyur di negara mereka masing-masing; dan, kedua raja tersebut dilihat sebagai pahlawan bangsa dan agama yang besar. Saya pernah melihat lukisan-lukisan dinding di Burma yang menggambarkan gajah-gajah Anawarhta yang membawa Tipitaka dan hasil-hasil jarahan lainnya ke Pagan. Hampir semua orang Sinhala mengetahui kisah-kisah perbuatan Dutthagamani yang luar biasa. Di sebelah patung Buddha di Ruvanvalisaya, wihara paling suci di Sri Lanka, terdapat sebuah patung Dutthagamani yang tengah membelalakkan matanya pada raja Tamil yang ada di sebelahnya lagi.  Pada langit-langit wihara dalam gua yang terkenal di Dambulla terdapat sebuah lukisan Dutthagamani sedang menembakkan panahnya bersama dengan raja Tamil yang sedang sekarat karena anak panah tersebut bersarang jauh mengenai jantungnya.
Setelah mengatakan semua ini, penting pula ditekankan disini bahwa tradisi Therawada, seperti bentuk-bentuk agama Buddha yang lain, secara umum mempunyai efek yang melembutkan dan membudayakan pada orang-orang; dan, perang-perang yang dilakukan atas namanya menjadi semakin tidak penting disamping perang-perang atas nama agama Kristen ataupun Islam. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa banyak darah telah diteteskan atas nama Therawada. Demikian juga, ada sama banyaknya—bahkan, kemungkinan lebih banyak lagi—kepercayaan buta, sifat ikut-ikutan yang tanpa pemikiran, sifat beragama yang acuh tak acuh, dan ketakrasionalan yang terdapat dalam Therawada bila dibandingkan dengan yang terdapat dalam banyak agama lainnya.
            Mitos yang paling besar yang dihidupkan terus-menerus oleh Therawada, sementara itu, adalah bahwa para biku adalah sebuah kelompok ras yang terpisah, sebuah keturunan mahluk manusia yang unik, sebuah kelas manusia khusus yang begitu berbeda dari semua orang; dan, oleh sebab itu, para biku haruslah diperlakukan dengan rasa hormat yang luar biasa. Maka, ketika seorang biku berjalan memasuki sebuah ruangan, orang-orang mulai berbisik seolah-olah suara manusia biasa dapat merusak telinga para bhikku itu. Ketika orang-orang menyendokkan makanan ke dalam mangkuk Pindapata, mereka melakukannya dengan begitu berhati-hati seakan-akan seperti seorang dokter yang sedang melakukan sebuah operasi medis yang sangat sulit. 
Ketika saya mengunjungi kelompok-kelompok penganut tradisi Therawada di Barat yang telah sebelumnya mempunyai seorang biku dari Thailand atau Burma (sebelum kedatangan saya), kata yang lebih sering saya dengar daripada kata lainnya adalah ‘maaf.’ Saya bertanya apakah saya boleh mendapatkan segelas air dan seseorang serta merta mengatakan ‘maaf bhante’ dan setelah itu bergegas untuk mengambilkannya. Saya berjalan ke arah pintu dan bila ada orang yang juga sedang berjalan melalui pintu tersebut dari arah yang berbeda, maka ia akan mengatakan ‘maaf’ dan, lalu, mundur, serta membiarkan saya untuk lewat terlebih dahulu.
Berbeda dengan para penganut Therawada, Buddha sendiri tidaklah pernah memberikan gambaran yang muluk-muluk tentang manusia yang belum tercerahkan, termasuk juga di dalamnya para biku. Dalam Dhammapada ayat 307, Buddha mengatakan,’Ada banyak orang yang jahat namun berpakaian jubah kuning.’ Tetapi, bila anda mengatakan hal tersebut di sebuah negara Therawada atau, bahkan, menyiratkan bahwa kebanyakan biku tidaklah berbeda dengan orang-orang biasa, maka anda akan menimbulkan keterkejutan yang luar biasa, kemarahan dan, bahkan, akan dituduh tidak memiliki kesalehan.
            Selama lebih dua tahun, Michael Mendelson membaca surat kabar-surat kabar yang diterbitkan di Rangoon secara teliti untuk memperoleh laporan-laporan tentang para biku yang terlibat dengan perbuatan yang tak senonoh. Berikut ini adalah hasil penemuannya.
‘Ada dua kasus yang dilaporkan mengenai para biku yang ditangkap akibat mengedarkan opium; dua orang biku lagi tersangkut kasus pencurian dan bersembunyi di dalam Sanggha, setelah menyalahgunakan uang dalam jumlah banyak; seorang bikulagi tersangkut kasus penculikan; ada juga sebuah kasus yang melibatkan dua orang biku yang berupaya secara sengaja untuk menyelundupkan barang dan valuta asing ke India, ketika mereka sedang melakukan perjalanan ziarah; ada sebuah laporan tentang seorang biku yang membawa perlengkapan medis untuk diberikan kepada para pemberontak; dan, ada sebuah contoh tentang seorang laki-laki kepercayaan seorang biku yang menipu seorang kepala sekolah perempuan dengan mengambil cincinnya yang berharga… Ada juga laporan-laporan mengenai tiga orang biku lain yang terlibat hubungan gelap dengan perempuan, satu di antaranya berakhir dengan tuntutan bahwa sang biku pelaku tersebut adalah ayah dari bayi yang dilahirkan, yang lain berakhir dengan sang biku menyerang seorang anak laki-laki dan temannya yang telah bergosip tentang hubungan gelapnya dengan seorang gadis yang masih muda, dan laporan ketiga berkaitan dengan istri seorang tukang beca yang berselingkuh dengan seorang biku. Karena ‘berpelukan dan berciuman di dalam sebuah gerbong kereta api’, seorang biku dan seorang gadis dipenjarakan selama tiga bulan. Terakhir, saya membaca tentang seorang biku yang mencederai kepala wiharanya sendiri karena kepala wihara tersebut telah mengancamnya untuk mengawini adik perempuannya. Kekerasan di antara sesama biku juga kadang-kadang diberitakan. Tiga kasus dilaporkan tentang para biku atau anagarika yang menyerang satu sama lain di wihara yang sama, yang seringkali juga disertai dengan provokasi kecil; satu di antaranya karena olok-olokan di sekolah, yang kedua karena perkelahian memperebutkan sebuah buku, dan yang terakhir karena ditemukannya sebuah catatan yang  isinya bernada menghina, ketika sedang berlangsung ujian mata pelajaran bahasa Pali. Insiden kekerasan dalam jumlah yang sama juga menyebabkan kematian seseorang di dalam wihara; dalam salah satu insiden, seorang anagarika, akibat dihukum ringan oleh biku kepala, lalu membunuh biku kepala tersebut dengan sebuah belati; dalam kasus yang lain, seorang biku ditemukan tak bernyawa lagi di sebuah kolam renang yang dipenuhi darah dan koleganya dicari-cari; dalam kasus ketiga, seorang pimpinan wihara yang telah menjadi biku selama dua puluh delapan tahun di dalam Sanggha menyerahkan diri kepada seorang kepada desa setelah mengamuk di wiharanya dan membunuh seorang biku serta mencederai seorang teman…Di samping itu, ada dua kasus bunuh diri yang juga dilaporkan, satu di antaranya berkaitan dengan konflik dan siksaan batin, yang lain berkaitan dengan seorang sayadaw berusia tujuh puluh enam tahun yang mengira bahwa sudah tiba waktunya untuk meninggalkan dunia ini; dan, sebuah laporan juga diberitakan tentang seorang biku yang diopname di rumah sakit akibat rasa sakit di perutnya yang akut, yang tampak sebagai akibat dari kemarahannya kepada kelima orang anaknya yang telah ia tinggalkan ketika ia memasuki Sanggha.’
            Mendelson juga menemukan berbagai laporan tentang perkelahian antara para biku di dalam wihara yang sama dan antara para biku dari wihara yang berbeda. Pada tahun 1960-an, para biku dari Burma diakui lebih suka berkelahi dan tak berdisiplin dibandingkan dengan para biku di negara-negara Therawada lainnya, namun insiden-insiden seperti ini cukup sering dilaporkan di surat kabar-surat kabar di negara-negara tersebut juga.
Walaupun demikian, tentu saja salah bila kita mempercayai bahwa semua biku atau kebanyakan biku adalah preman atau penjahat. Namun, adalah salah juga bila kita percaya bahwa kebanyakan biku atau, bahkan, banyak biku telah menjadi orang suci; atau, bahwa wihara-wihara adalah tempat-tempat yang sangat suci sekali. Namun, karena demikian banyak biku telah ditahbiskan karena alasan kemiskinan, adat kebiasaan atau harapan masyarakat (dan bukan disebabkan oleh keyakinannya sendiri)—karena mereka dimanjakan—karena mereka selalu saja jadi pusat perhatian—dan, karena begitu besar rasa hormat yang diberikan orang terhadap jubah biku tersebut—maka semua itu berarti bahwa para biku sangat tidak mungkin dapat dihukum ataupun ditegur. Tetapi, cukup mengejutkan juga bahwa tingkat kelakuan buruk mereka ternyata tidak tinggi.
Kenyataannya adalah bahwa kebanyakan biku adalah benar-benar manusia biasa dan kebanyakan wihara adalah juga tempat-tempat biasa yang dihuni oleh manusia biasa. Walaupun demikian, salah satu ajaran inti dari Therawada dan merupakan suatu ajaran yang ingin sekali dikembangkan oleh para biku adalah bahwa Sanggha merupakan ‘sebuah lahan untuk melakukan kebajikan yang tiada bandingannya di dunia ini’; dan,  para biku haruslah diperlakukan seakan-akan mereka adalah mahluk yang sudah hampir-hampir setengah ilahi. Barangkali pada zaman Buddha, keadaannya mungkin seperti itu; tetapi, dewasa ini tentu tidaklah demikian lagi dan selama berabad-abad yang telah lampau pun keadaannya tidak lagi demikian.
Sekterianisme dan etnosentrisitas 
Di semua negara-negara Therawada, Sanggha terbelah menjadi beberapa sekte—dua di Thailand, tiga di Sri Lanka dan lebih dari dua belas di Burma. Di Sri Lanka, sekte Siam dan Amarapura Nikaya juga terpecah lagi menjadi yang disebut dengan cabang-cabang. Setiap sekte atau cabang ini memiliki seorang kepala yang mempunyai otoritas dan hak atas para biku yang berada di bawahnya, walaupun dalam kenyataannya mereka hanya mempunyai sedikit sekali pengaruh. Sanggharaja Burma dan Thailand mempunyai sejumlah kekuasaan yang diberikan kepada mereka oleh pemerintah, tetapi mereka jarang sekali mempergunakannya kecuali bila mereka diminta oleh pihak yang berkuasa. Maha Nayaka Sri Lanka tidak lebih dari tokoh-tokoh yang tidak mempunyai hak jurisdiksi di luar wihara-wihara mereka sendiri.
Jadi, dalam kenyataannya, tidak ada atau tidak pernah ada lagi sebuah Maha Sanggha selama berabad-abad lamanya. Setiap wihara merupakan sebuah badan otonom yang mengatur dirinya sendiri-sendiri. Independensi ini bisa merupakan suatu kekuatan; tetapi, kelemahannya tentu jauh lebih banyak lagi. Keadaan ini akan mempersulit untuk dilakukannya pembaharuan-pembaharuan, untuk menegakkan disiplin, untuk mengoreksi atau membubarkan praktisi-praktisi klenik, atau untuk menggalang kesatuan aksi dalam megambil tindakan tentang permasalahan apapun. Bila kepala wihara tulus dan bijaksana, wiharanya mungkin akan baik; tetapi, bila ia tidak, maka wiharanya tidak akan baik dan tak ada yang dapat dilakukan siapapun tentang hal itu.
Seperti telah dikatakan sebelumnya, faktor utama yang mengatur para biku dan wihara bukanlah Dharma atau bahkan bukan Winaya, melainkan tradisi yang telah lama ada; dan, tradisi-tradisi ini biasanya lebih disebabkan oleh praktek-praktek feodalisme dan nilai-nilai monarkisme daripada oleh apapun yang diajarkan oleh Buddha.
Tidak ada lagi kekompakan di antara sesama penganut Therawada di negara-negara yang berbeda dan, demikian juga, di antara sesama mereka sendiri. Yang lebih sering tampak dengan jelas adalah ekspresi-ekspresi populer dan eksternal tentang tradisi Therawada saja ketimbang persamaan-persamaan di antara mereka. Yang dapat ditambahkan pula disini adalah semangat nasionalisme dan etnosentrisitas yang tinggi di antara orang Sri Lanka, Burma dan, terutama, Thailand. Mereka hampir-hampir tidak mengakui diri mereka masing-masing sebagai pemeluk agama yang sama.
Ketika Raja Chulalankhorn dari Thailand mengunjungi Pagoda Shwedagon di Burma pada tahun 1870, ia melangkah masuk dengan memakai sepatu. Benar, bahwa Shwedagon adalah sebuah wihara Buddhis; tetapi, karena ia bukan salah satu dari ‘wihara kami’, jadi memakai sepatu tidak merupakan masalah. Orang Burma sendiri tampak tidak terlalu kecewa dengan sikap sang raja itu. Bagaimanapun, raja tersebut bukanlah orang Burma. Jadi, ia hampir-hampir tidak memenuhi syarat untuk menjadi seorang Buddhis.
Memang, para biku Barat yang tinggal di Asia dilayani dengan rasa hormat dan keramahtamahan yang tertinggi; tetapi, mereka jarang sekali dianggap sebagai benar-benar biku atau benar-benar Buddhis. Bagi orang Burma, untuk menjadi seorang Buddhis yang ‘sejati’, anda haruslah terlahir menjadi seorang Burma terlebih dahulu. Orang Thailand berfikiran sama; orang Sri Lanka juga, walaupun yang terakhir ini telah sedikit berkurang.
Phra Peter mengatakan, ‘Merupakan sebuah fakta bahwa banyak orang Thailand tidak menganggap saya dengan serius sebagai seorang biku dan saya telah mendengar Phra Farang[******] lainnya mengatakan bahwa mereka telah mengalami ‘penolakan’ yang sama. Walaupun memakai jubah biku yang sama, mencukur rambut dan mengikuti aturan Winaya seperti teman-teman saya orang Thailand, saya masih saja belum benar-benar dianggap sebagai seorang biku…Ketika, kadang-kadang, saya bertanya mengapa saya tidak dianggap dengan serius, saya diberi tahu bahwa, ‘Anda bukan orang Thailand and anda tidak membaca parita.’ Secara lembut saya tunjukkan kepada mereka bahwa Buddha sendiri pun bukanlah orang Thailand, dan—sepanjang yang saya ketahui—Buddha sendiri pun tidak banyak berbicara tentang perlunya ataupun manjurnya membaca parita. Tetapi, ini tampak tidak ada bedanya bagi mereka.’ 
Keadaan yang sama juga terjadi sewaktu para biku Barat tersebut mengunjungi wihara-wihara di negara-negara kelahiran mereka sendiri yang dikepalai oleh biku-biku asal Thailand atau oleh biku-biku Barat yang telah menjalani latihan kebikuan di Thailand. Jauh sebelum mereka mendalami Dharma, para biku Barat itu mengira bahwa mereka harus mengikuti etiket Thailand, melafalkan bahasa Pali dengan aksen Thailand, duduk dengan tata cara Thailand, membungkuk memberi hormat dengan cara Thailand; pendeknya menjadi seorang Thailand yang di-cloning. Orang akan mengira bahwa para biku Barat itu lebih sesuai lagi sikapnya bila mereka memakai bendera Thailand daripada jubah kuning di tempat-tempat tersebut. Tidaklah mengejutkan bahwa ketika seorang manusia Barat ditahbiskan di Thailand, orang tidak mengatakan, ‘Ia telah menjadi biku’. Mereka mengatakan, ‘Ia telah menjadi orang Thailand.’
Baru-baru ini saya menghadiri sebuah upacara yang dilakukan oleh para biku dari Burma dimana sejumlah biku dari Thailand juga hadir. Ketika orang-orang Burma mulai membaca parita, orang-orang Thailand mulai melemparkan senyuman yang dibuat-buat kepada sesamanya. Gaya pembacaan parita dan pelafalan bahasa Pali pada orang Burma memang agak berbeda dibandingkan dengan cara-cara orang Thailand; dan, tentu orang-orang Thailand itu menganggapnya agak lucu.
Bila sebuah wihara Therawada di Barat, yang dijalankan terutama oleh orang-orang Barat, kedatangan seorang biku dari Burma, maka orang-orang Burma akan segera datang dan memberikan dukungannya dengan segala kemurahan hati. Tetapi, bila wihara itu kedatangan seorang biku dari Sri Lanka, maka orang-orang Burma tersebut perlahan-lahan akan menghilang dan orang-orang Sri Lanka yang sebelumnya tak pernah datang akan segera berdatangan dalam jumlah besar.
Para penganut tradisi Therawada Asia di Barat lebih suka dengan seorang biku yang berasal dari negara mereka sendiri walaupun ia tidak melakukan apapun ketimbang seorang biku dari negara lain yang adalah guru yang kompeten. Seorang biku asal Sri Lanka di Inggris memberitahu saya sebuah cerita yang amat khas dan lucu tentang sesuatu yang terjadi padanya beberapa tahun yang lalu.
Seorang laki-laki dari Burma baru saja tiba di London. Ia datang ke wihara tersebut dan mengungkapkan keinginannya yang antusias untuk datang ke wihara itu secara teratur ketika ia masih tinggal di kota London, dan kemudian memberikan sumbangan lima puluh pound. Ternyata, pada siang hari itu juga, ia menemukan sebuah wihara Burma di London. Keesokan harinya ia datang ke wihara Sri Lanka tersebut dan meminta kembali uang sumbangannya dan, setelah itu, ia tak pernah datang lagi.   
Penganut Therawada dari berbagai negara yang berbeda memang tidaklah bermusuhan satu sama lain, hanya saja mereka tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di luar lingkungan mereka yang kecil. World Fellowship of Buddhists didirikan pada tahun 1950 untuk mencoba mengoreksi keadaan ini; tetapi, dengan adanya etnosentrisitas dalam agama Buddha tradisional dan ketakpeduliannya secara umum, WFB tersebut tampak belum mencapai hasil apapun.
Christmas Humphreys menggambarkan konferensi-konferensi WFB sebagai terdiri dari orang-orang yang ‘banyak berbicara tentang apa yang harus dilakukan tetapi sedikit sekali tentang siapa yang harus melakukannya dan bagaimana serta kapan hal itu akan dilakukan.’ Upaya untuk menginternasionalkan ajaran Buddha kuno yang telah dilakukan dahulu memberikan jalan bagi timbulnya parokialisme sempit dan, oleh karenanya, solidaritas dan praktek saling dukung-mendukung yang ada antara umat Kristen, Muslim atau Jahudi, misalnya, hampir-hampir tidak terdapat sama sekali di antara para pendukung tradisi Therawada.
Yang kuning dan yang jingga
Bila seorang sosiolog pada tahun 1960 diberi tahu bahwa dalam waktu lima puluh tahun ke depan agama Buddha akan hadir secara signifikan di Barat dan kemudian ia diminta untuk menebak tradisi agama Buddha yang manakah yang akan menjadi paling disukai, saya yakin ia pasti akan memilih agama Buddha tradisi Therawada. Sosiolog tersebut barangkali akan menjelaskan pilihannya bahwa tradisi Therawada tidak terlalu ritualistik, lebih rasional, bahwa teksnya yang utama telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat dan bahwa ajaran-ajaran dalam Therawada lebih cocok dengan nilai-nilai dan ide-ide Barat yang kontemporer. Lebih jauh lagi, ia barangkali akan menunjukkan bahwa negara-negara seperti Sri Lanka dan Burma adalah bekas koloni Inggris dimana bahasa Inggris dipakai secara meluas sehingga memudahkan orang-orang Barat untuk pergi ke negara-negara tersebut untuk belajar; dan, para biku dari negara-negara tersebut pun akan dapat mengajarkan agama Buddha ke Barat dengan mudah. 
Sosiolog yang mengira-ngira tersebut barangkali bisa dibenarkan bila ia mempercayai bahwa ajaran-ajaran dalam Tipitaka yang berbahasa Pali memang seperti itulah keadaannya; tetapi, ia tidak tepat bila berasumsi bahwa tradisi Therawada—karena itu—akan seperti itu juga. Oleh sebab itu, sosiolog tersebut akan sangat meleset tebakannya mengenai tipe agama Buddha yang manakah yang akan menjadi paling populer di  Barat. Karena, ternyata bukan Therawada, melainkan agama Buddha Tibet yang telah diterima secara meluas oleh orang-orang biasa dan juga oleh para akademisi serta oleh banyak tokoh masyarakat di Barat juga.
            Tetapi, kendatipun tipe agama Buddha yang paling terakhir tiba di Barat ini sangat feudal dalam berbagai hal, mengapa agama Buddha Tibet telah menjadi demikian populer? Yang pertama dan barangkali alasan yang paling jelas adalah apa yang dapat disebutkan sebagai faktor Shangri La. Suasana romansa dan misteri yang menyelimuti Tibet membuat segala sesuatu yang berkaitan dengannya menjadi demikian menarik untuk banyak orang. Faktor lain yang berkaitan dengan ini barangkali dapat dikatakan sebagai faktor simpati. Banyak orang yang pengetahuannya luas merasakan sebuah perasaaan simpati yang mendalam atas terjadinya pengungsian orang-orang Tibet; dan, ini menyebabkan munculnya minat orang terhadap kebudayaan dan agamanya.
Tetapi, walaupun hal-hal seperti itu mungkin merupakan daya tarik awal untuk agama Buddha Tibet, tentu saja hal-hal tersebut tidaklah cukup untuk dapat mempertahankan perhatian orang terhadap agama Buddha Tibet untuk waktu yang lama, atau untuk membuat orang-orang Barat berkomitmen menganut agama Buddha Tibet sebagai sebuah falsafah hidup mereka. Faktor-faktor lain juga diperlukan untuk menjelaskan kepopuleran agama Buddha Tibet yang demikian dahsyat itu.
            Walaupun para Lama Tibet mempunyai komitmen yang kuat terhadap spiritualitas, ini tidaklah menghentikan mereka dalam menghargai keindahan. Seperti juga Ch’an dan Zen, agama Buddha Tibet telah menggabungkan kedua-duanya; yakni, dorongan kreatif dan rasa estetika ke dalam praktek spiritual. Sejumlah guru meditasi Tibet adalah juga penyair, pelukis dan pematung.
Seorang penganut agama Buddha Tibet menulis bahwa ‘seni dan meditasi adalah keadaan-keadaan pikiran manusia yang kreatif. Kedua-duanya dihidupkan oleh sumber yang sama; tetapi, mungkin kelihatannya mereka bergerak ke arah yang berbeda—seni ke arah kesan inderawi, sedangkan meditasi ke arah mengatasi bentuk-bentuk dan kesan-kesan inderawi.’ Namun, perbedaan tersebut hanya berhubungan dengan hal-hal yang kebetulan saja, bukan dengan hal-hal yang esensial.’
Kebudayaan-kebudayaan Therawada telah menghasilkan karya-karya besar, tetapi para cendekiawan Therawada dan guru-guru meditasi telah lama menganggap bahwa semua seni lukis—itu pun kalau mereka telah memikirkannya—tak lebih dari semacam bujuk rayu untuk memenuhi kebutuhan populer ketimbang ekspresi dari spiritualitas, atau sebuah wahana untuk membangunkan spiritualitas dan menjaganya. Berdasarkan komenteri-komenteri itu, adalah merupakan sebuah penghinaan bila seorang biku menyentuh alat musik.
Dambadeni Katikavata, yang ditulis setelah terjadinya reformasi di tubuh Sanggha pada abad ke-13, memberi tahu para biku bahwa seni sastra dan seni visual adalah ‘cabang-cabang pengetahuan yang hina’ yang seharusnya dihindari.
Posisi Therawada terhadap kesenian dapatlah dicontohkan dengan sebuah kisah Cittagutta yang terkenal dari Visuddhimagga. Suatu hari dua orang biku muda datang mengunjungi Cittagutta di sebuah gua dimana ia telah tinggal selama enam puluh tahun. Salah satu dari biku tersebut kebetulan melihat lukisan-lukisan cantik yang ada di atap gua tersebut dan mengatakan hal ini kepada Cittagutta. Biku tua yang sudah keriput ini mengatakan bahwa, walaupun ia telah tinggal di dalam gua demikian lama, ia belum pernah melirikkan matanya untuk melihat lukisan-lukisan tersebut dan sesungguhnya ia pun tidak mengetahui bahwa lukisan-lukisan itu memang ada disana. Alasan satu-satunya mengapa ia tahu ada sebuah pohon yang berbunga di mulut gua adalah karena setahun sekali ia melihat kelopak-kelopak bunga yang jatuh di tanah.
Dalam bukunya Refinement of the Arts, David Hume bercerita tentang seorang pendeta Kristen ‘yang  karena jendela kamar penjaranya terbuka ke arah sebuah pemandangan yang menakjubkan, lalu ia membuat sebuah perjanjian dengan matanya sendiri agar kedua matanya tidak pernah akan melirik ke arah pemandangan tersebut lagi.’ Inilah hal yang dilakukan oleh para biku Therawada yang berlatih dengan keras bahkan hingga dewasa ini.
Therawada melihat seseorang yang batinnya telah tercerahkan itu sebagai telah mati terhadap keindahan, bahkan mati terhadap setiap perasaan manusia. Buddha pernah mendengar dan menikmati permainan Sitar oleh Pancasikha (D.II, 267); tetapi, seorang biku Therawada tidak akan pernah melakukan hal tersebut, setidak-tidaknya di depan umum. Ia mungkin saja tidak akan ketahuan menulis puisi, apalagi puisi tentang usia tua, kematian atau cacing-cacing yang memenuhi bangkai usus besar; tetapi, sungguh tak mungkin terlintas dalam pikiran kita jika ada biku yang melukis, merangkai bunga atau menghadiri sebuah pameran seni, sebuah pementasan drama Shakespeare atau sebuah konser.
Pengembangan dan apresiasi seni dalam agama Buddha Tibet menjadikannya sebuah daya tarik yang pasti bagi banyak orang; sedangkan, Therawada tidak dapat menawarkan apapun dalam bidang tersebut kecuali pandangannya yang simplistik bahwa keindahan hanya akan menyebabkan kemelekatan.
Umat Buddhis Tibet bisa menjadi sangat sekterian, terkadang bahkan lebih sekterian daripada penganut Therawada; namun, di dalam setiap sekte masing-masing terdapat tingkat persatuan dan kesatuan yang tinggi. Setiap sekte mempunyai pimpinan dan guru-gurunya masing-masing yang dihormati dan yang memutuskan kebijakan secara keseluruhan.  Pusat-pusat agama Buddha Tibet yang lebih kuat yang terdapat di sebuah negara tertentu akan membantu pusat-pusat agama Buddha Tibet yang lebih lemah di negara-negara lain. Mereka berbagi guru, bekerja sama dalam proyek-proyek amal, dll.
Yayasan Pelestarian Tradisi Mahayana, sebagai contoh, mempunyai lebih dari delapan puluh cabang di seluruh dunia. Ia menjalankan berbagai  program layanan sosial termasuk di dalamnya sekolah-sekolah, sebuah proyek penjara, klinik, tempat-tempat penampungan; dan, yayasan tersebut mempunyai sebuah perusahaan penerbitan sendiri yang sangat berhasil. Beberapa wihara yang berafiliasi dengan Yayasan tersebut mendidik dan melatih para biksu dan biksuni yang kemudian akan dikirim ke berbagai pusat agama Buddha Tibet. Mereka ini pada gilirannya akan membantu wihara-wihara tersebut. Para anggota atau teman mereka di seluruh dunia—dan, jumlahnya puluhan ribu—senantiasa dikabari tentang kegiatan-kegiatan Yayasan melalui majalahnya yang diterbitkan dalam berbagai bahasa.
Sikap ajaran Therawada bahwa ‘setiap orang hanya untuk dirinya sendiri' membuat upaya-upaya terpadu semacam ini menjadi sangat sulit untuk dilakukan dan, oleh sebab itu, menjadi alasan mengapa kebanyakan pusat-pusat Therawada dan kelompok-kelompok Therawada di Barat tetap saja kecil dan terisolasi. Akan halnya pusat-pusat agama Buddha yang berdasarkan etnis di Barat (misalnya pusat-pusat agama Buddha dengan para biku Asia yang hanya melayani ekspatriat-ekspatriat orang Asia), mereka biasanya tidak sanggup bekerja sama satu dengan yang lainnya dikarenakan kecemburuan pribadi, persaingan nikaya dan, dalam hal wihara-wihara Sri Lanka, juga dikarenakan antagonisme antar kasta.
             Hal lain yang membuat agama Buddha Tibet lebih menarik bagi orang-orang Barat bila dibandingkan dengan agama Buddha Therawada adalah bahwa ia mempunyai tradisi kontemplatif (meditasi) yang lebih kaya; dan, kebanyakan para biksu Tibet pun sangat berpengalamanan dalam meditasi.
Saya sependapat dengan Biku Bodhi yang mengatakan bahwa, ‘Alasan-alasan utama mengapa (Zen dan agama Buddha Tibet) memperoleh popularitas jauh di atas Therawada adalah, saya percaya, karena di dalam kelompok mereka silsilah meditasi telah dijaga agar lebih hidup dibandingkan dengan yang ada pada Therawada mainstream. Jarang sekali para biku Therawada di negara-negara Barat memperlihatkan tingkat vitalitas spiritual yang sama seperti yang diperlihatkan oleh para guru meditasi Mahayana dan Vajrayana.
Kebanyakan biku Therawada mengetahui sedikit sekali atau tidak sama sekali tentang meditasi di luar pemahaman teori; dan, ada pula yang bahkan tidak tahu tentang teori sama sekali. Pendapat bahwa di dalam ratusan wihara ada terdapat ribuan biku yang bermeditasi secara rajin setiap hari barangkali adalah sebuah ilusi paling besar yang dimiliki orang Barat mengenai tradisi Therawada di Asia.
Bila dikaitkan dengan negara Sri Lanka, barangkali ada juga benarnya bila dikatakan bahwa di sana telah terdapat sebuah kultur yang secara jelas menolak praktek meditasi; dan, kebanyakan yang menolak itu justru terdapat di dalam Sanggha. Hanya ada beberapa orang biku saja yang masih bermeditasi; sehingga, bila seorang biku melakukan meditasi, maka ia langsung saja kelihatan tidak menyerupai mayoritas biku lainnya.
Dengan bermeditasi secara terus-menerus, seorang biku tentu mengingatkan para biku yang lain bahwa mereka tidak bermeditasi sebagaimana seharusnya; dan, tentu saja, para biku yang lain itu pun akan merasa tersinggung oleh karenanya. Akibatnya, yang bermeditasi akan segera menjadi sasaran ejekan halus dan komentar berupa sindiran. Bila secara kebetulan sikat giginya tertinggal di kamar mandi, maka biku yang lain akan segera mengatakan dengan diiringi senyuman dengan rasa puas, ‘Ah! Tidak berkesadaran hari ini ya.’ Para biku tersebut akan jarang sekali melewatkan kesempatan bila mereka dapat merendahkannya atau mengolok-oloknya.
Keadaan bisa jadi lebih parah lagi karena biku yang melaksanakan meditasi tersebut akan segera menarik simpati dari umat awam; dan, umat awam tersebut akan datang ke wihara untuk meminta bertemu dengan biku tersebut, sembari membawa hadiah-hadiah untuknya dan memuji-muji biku tersebut. Tak lama setelah itupun, para biku yang lain akan merasa cemburu dan mulai membuat hidup biku yang bermeditasi tersebut benar-benar tidak menyenangkan.
Akhirnya, biku yang bermeditasi tersebut pun akan segera pergi meninggalkan tempat tersebut untuk tinggal di sebuah arannya, salah satu pusat latihan meditasi di hutan yang memang dimaksudkan untuk para biku seperti itu; atau, yang lebih sering terjadi lagi, biku itu pun akan berhenti bermeditasi.  
            Kendatipun jarang terlihat tidak menghargai praktek meditasi, setidak-tidaknya di depan umat awam, para biku Sri Lanka sebenarnya percaya bahwa meditasi lebih cocok kiranya untuk orang-orang yang sederhana, untuk para perempuan dan orang tua saja; dan, bukti-bukti memperlihatkan bahwa sikap tersebut memang telah bertahan selama berabad-abad.
Walpola Rahula menulis, ‘Bukti-bukti yang dapat dijumpai dalam komenteri-komenteri itu memperlihatkan bahwa hampir semua biku yang mampu dan cerdas lebih menerapkan grantha-dhura (studi; sedangkan, biku-biku tua yang kecerdasan dan fisiknya lemah, terutama lagi mereka-mereka yang memasuki Sanggha pada usia tua, lebih mengabdikan diri mereka pada praktek vipassana-dhura (meditasi).
Antropolog Martin Southwold menemukan bahwa, di antara umat awam Sri Lanka yang berhasil diwawancarainya, ada yang beranggapan bahwa meditasi hanyalah sebuah perkataan yang halus untuk tidur; dan, banyak ‘umat Buddhis di kampong-kampung, terutama laki-laki, dan termasuk juga beberapa pemuka agama, yang mencemoohkan meditasi.’
Saya mengenal setidak-tidaknya beberapa orang biku di Sri Lanka yang melihat meditasi lebih-lebih sebagai hukuman ketimbang memiliki arti spiritual. Di sebuah wihara dimana saya dulunya, kepala wiharanya akan menghukum para biku muda bila mereka salah dalam berkelakuan. Hukumannya adalah dengan membuat para biku muda itu ‘melakukan meditasi.’ Ia akan memaksa mereka untuk duduk dengan postur meditasi selama satu atau dua jam, tanpa bergerak sedikitpun.
Tidak sedikit para biku Sri Lanka yang membeberkan rahasia mereka kepada saya mengenai betapa malu dan gelisahnya mereka ketika pertama kali menginjakkan kaki ke Barat dan langsung diminta untuk mengajarkan meditasi. Beberapa di antara mereka ada yang mempelajarinya sambil jalan; namun, kebanyakan dari mereka hanya nekad saja, atau mereka menghindari topik tersebut dan hanya memusatkan perhatian pada menjelaskan pokok-pokok ajaran agama Buddha saja.
Meditasi tampaknya lebih umum dilakukan di Burma daripada di Sri Lanka. Beberapa biku dari Burma yang datang ke Barat memang memiliki pengalaman bermeditasi. Namun, setelah mengatakan ini dan mengakui ketulusan hati mereka, saya tetap memperoleh bayangan dalam pikiran saya bahwa pendekatan mereka terhadap meditasi masih saja jauh lebih kering, lebih impersonal, lebih tanpa perasaan bahagia, dan kurang ‘melibatkan sejumlah besar orang’ dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan terhadap meditasi lainnya.
Sutta-sutta Pali mengajarkan meditasi sebagai sebuah upaya eksperiensial dan eksperimental. Namun, para penganut Therawada tidaklah mendekati sutta-sutta Pali dalam semangat tersebut; mereka pun tidak memakai sutta-sutta itu sebagai panduan untuk latihan meditasi yang lebih jauh lagi. Sebaliknya, para penganut Therawada tersebut melihatnya sebagai kata terakhir dan kata satu-satunya tentang meditasi tersebut.
Yang lebih parah lagi adalah manakala semua sutta, termasuk sutta-sutta tentang meditasi, melulu ditafsirkan sesuai dengan Abhidharma dan komenteri-komenteri yang kiranya sangat kuat dalam semantik (arti kata) dan yang juga banyak melakukan pembedaan-pembedaan yang tak berarti—tetapi, sangat lemah wawasan-wawasan psikologisnya. Biasanya, meditasi hanya difahami dalam parameter kategori-kategori yang memang telah diberi nomor secara pasti.
Oleh sebab itu, maka mereka mengatakan ada terdapat sebanyak Lima Halangan dalam bermeditasi, bukan empat atau enam; dan, jumlahnya pun senantiasa lima. Bila seseorang mempunyai masalah dengan kammacchanda, maka ia hanya akan melakukan A, B, atau C—seperti dirinci di dalam komenteri-komenteri itu; dan, bila ini tidak berhasil juga, maka orang tersebut haruslah mencoba lebih keras lagi hingga ia berhasil.
Sikap yang letter lijk ini juga berarti bahwa meditasi Therawada biasanya sangat didasarkan pada teknik-teknik. Yang harus dilakukan seseorang adalah menemukan teknik yang benar atau ‘murni’ dan, lalu, bergantung padanya hingga ia memperoleh hasil. Teknik yang sama diajarkan kepada semua orang tanpa mempertimbangkan keadaan psikologis mereka masing-masing, tanpa mempedulikan pengalaman mereka sebelumnya atau persoalan-persoalan yang dimilikinya dengan teknik tersebut. Jadi, andalah yang harus berubah untuk menyesuaikan diri dengan teknik dan bukan sebaliknya.
Pengamatan yang dilakukan Buddha secara akal sehat bahwa pancaindera (faculties) setiap individu berbeda (M.II,455) dan fakta bahwa Guru Junjungan mengusulkan sejumlah teknik adalah sebuah ide yang terlalu subtil untuk difahami sebagian besar guru meditasi tersebut. Di luar rumusan-rumusan, daftar-daftar, langkah-langkah dan tahapan-tahapan yang telah ada itu, para guru meditasi sungguh tak banyak dapat mengatakan apapun lagi.
Saya bertemu seseorang yang telah mengikuti kursus meditasi sebanyak enam belas kali dengan bimbingan seorang guru meditasi umat awam; dan, ia telah mengalami masalah yang sangat menyedihkan setiap kali mengikuti kursus latihan meditasi. Setiap kali ia pergi berkonsultasi dengan guru meditasi mengenai kesulitan-kesulitannya, ia senantiasa diberikan jawaban dengan kata-kata yang sama persis, ‘itu hanya samkharas yang muncul. Kembalilah dan lanjutkan bermeditasi.’ Menurut informan saya tersebut, tidak ada lagi nasehat ataupun penjelasan lain yang diberikan.
Guru-guru Therawada dari Asia sangat segan sekali mengatakan apapun yang berada di luar teks atau menyimpang dari penjelasan atau teknik yang standar. Seorang teman saya pernah memberitahu saja bahwa ketika mendiskusikan piti dengan gurunya, seorang guru meditasi Burma yang terkenal, ia mengatakan bahwa ia pernah sekali mengalami kebahagiaan luar biasa ketika melihat matahari terbenam. Guru tersebut kelihatannya bingung sekejap dan lalu mengatakan, ‘itu tidak mungkin.’ Maksudnya adalah bahwa hal seperti itu tidak pernah disebutkan dalam Visuddhimagga dan oleh sebab itu tidak mungkin dapat terjadi.
Saya tidak mengatakan disini bahwa penafsiran letter lijk semacam ini atau kurangnya wawasan psikologis seperti itu terjadi di semua tempat; tetapi, demikianlah norma yang diikuti oleh kebanyakan orang.
Antara tahun 1966 dan 1970, sebuah debat yang terkenal diadakan dan dimuat melalui halaman-halaman majalah World Buddhism antara Biku Kheminda dari Sri Lanka dan Nanuttara Sayadaw dari Burma mengenai kebaikan-kebaikan dari teknik meditasi Mahasi.[††††††]* Pelaku utama debat tersebut mengutip dari sutta-sutta, Abhidamma, komenteri-komenteri, sub komenteri-sub komenteri, tetapi tidak sekalipun selama debat berlangsung mereka pernah merujuk kepada pengalaman meditasi mereka sendiri.
Walaupun ini sangat mengagetkan, tetapi hal ini ternyata sejalan dengan pemahaman meditasi yang lazim di lingkungan Therawada. Meditasi adalah semata-mata menemukan kembali di dalam diri seseorang sebuah duplikat dari apa yang dikatakan dalam teks atau, lebih tepat lagi, penafsiran komentarial terhadap apa yang dikatakan teks. Meditasi bukanlah mengenai pemahaman atas pengalaman kita sendiri.
Dalam catatan Rod Bucknell mengenai bagaimana ia menerima ajaran dalam Vipassana, ia mengatakan,  ‘Saya diajarkan bagaimana agar memiliki pengalaman-pengalaman, bukan bagaimana mengamati dan memahami pengalaman-pengalaman tersebut.’ (Kata-kata yang dicetak miring seperti dalam teks asli)
Pengalaman saya sendiri mengajarkan bahwa guru-guru meditasi Therawada yang lebih baik memang cukup kompeten dalam memberikan instruksi meditasi pada tingkat dasar dan menengah; tetapi, bila sudah bersentuhan dengan masalah-masalah psikologis yang lebih spesifik atau aspek-aspek yang lebih halus, mereka biasanya tidak dapat mengatakan banyak hal yang membantu. Namun, ada pengecualian-pengecualian terhadap semua hal yang dikatakan di atas. Guru-guru meditasi seperti Ajahn Chah dan beberapa muridnya, guru-guru meditasi dari Insight Meditation Society,  Ashin Tejaniya dan almarhum  Godwin  Samararatna adalah pengecualian-pengecualian yang segera teringat oleh saya.
            Bila bukti lain diperlukan untuk memperlihatkan kekayaan tradisi kontemplatif Tibet dan betapa miskinnya hal tersebut dalam tradisi Therawada, seseorang dapat melihatnya pada teks spiritual yang dihasilkan oleh masing-masing tradisi.
Sri Lanka telah menjadi sebuah negara Buddhis selama dua ribu dua ratus tahun dan masih belum menghasilkan teks-teks penuntun meditasi atau teks-teks yang memuat petunjuk praktis tentang meditasi sebelum abad ke-20. Hal yang sama terjadi juga dengan Burma, Thailand, Cambodia dan Laos. Ini sungguh mengejutkan terutama bila kita memikirkan implikasinya.
Visuddhimagga kadang-kadang dianggap sebagai sebuah teks petunjuk meditasi; tetapi, ia jelas-jelas bukan dan tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi sebuah petunjuk meditasi. Menurut Mahavamsa, adalah Buddhaghosa yang menulis Visuddhimagga untuk memperlihatkan keortodoksan dirinya, bukan untuk membimbing orang yang bermeditasi. Vimutthimagga sementara itu adalah sebuah petunjuk praktis yang didasarkan pada sumber-sumber Pali dan kemungkinan ditulis di Sri Lanka, walaupun ini tak dapat dipastikan. Tetapi, bahkan para cendekiawan yang menganggap Vimutthimagga sebagai sebuah karya yang dihasilkan di Sri Lanka juga sependapat bahwa kitab ini bukanlah karya dari para penganut tradisi Therawada, tetapi kemungkinan hasil karya kelompok Abhayagirivasin.
Agama Buddha belum benar-benar mapan di Tibet sebelum abad ke-11; namun, setelah itu ia telah menghasilkan begitu banyak teks tentang meditasi. Beberapa di antara teks-teks ini bukan saja telah ditulis dengan indah sekali, tetapi juga sangat praktis dan tak jarang menunjukkan wawasan-wawasan psikologis dan spiritual yang mendalam sekali. Oleh sebab itu, cukup banyak guru meditasi Tibet yang sanggup menawarkan sebuah kekayaan variasi teknik meditasi, yang mampu menjelaskan ceramah-ceramah mereka dengan antidote dan kisah-kisah yang menarik mengenai para guru meditasi di masa lalu dan mampu berbicara dengan penuh percaya diri mengenai aspek-aspek praktek meditasi yang lebih tinggi. Keterbukaan dan fleksibilitas mereka secara umum juga berarti bahwa mereka cukup menerima beberapa kebijaksanaan dari ilmu psikologi kontemporer karena ilmu ini dapat membantu mereka untuk menghadirkan meditasi dalam kategori-kategori yang mudah dikenali oleh orang-orang Barat.
            Dengan membanding-bandingkan guru-guru meditasi tersebut, barulah kita dapat melihat perbedaan-perbedaan antara agama Buddha Tibet dan agama Buddha Therawada dengan jelas sekali. Rata-rata Lama Tibet sangatlah ramah, sangat menerima apa adanya dan mempunyai rasa humor yang baik. Contoh terbaik dari mereka ini adalah pemimpin besar orang Tibet, Yang Mulia Dalai Lama. Walaupun menjabat sebagai mantan kepala negara, seorang biksu senior, seorang cendekiawan yang berpengetahuan amat luas dan sekalian pemegang Hadiah Nobel, Dalai Lama hanya mengatakan bahwa dirinya adalah ‘Cuma seorang biksu yang sederhana’ dan benar-benar berkelakuan seperti seorang biksu yang sederhana. Kesan umum yang diberikannya adalah sebagai seorang laki-laki yang rendah hati dan hal itu tentu tak dibuat-buat; dan, beliau tentu saja bukan biksu Tibet satu-satunya yang seperti itu.
Prilaku seperti itu bersumber dari sebuah pandangan yang dianut oleh tradisi Mahayana dan kebudayaan Barat; dan, hal itu ternyata telah sangat menguntungkan persebaran agama Buddha Tibet di negara-negara Barat. Dalam kedua kebudayaan tersebut, seseorang yang demikian tinggi statusnya namun mau merendahkan dirinya sangatlah dihargai; dan, prilaku seperti itu bahkan memperlihatkan kualitas spiritual yang maha penting--sebagaimana hal ini biasanya terjadi.
Negara-negara Barat menerima ide-ide seperti itu dari doktrin Kristen bahwa kendatipun Jesus adalah juru selamat manusia, ia adalah juga seorang pelayan yang rendah hati. Orang-orang Tibet mendapatkan itu dari ajaran tentang Cita-cita Bodhisatwa; yakni, konsep mengenai pentingnya mengesampingkan kepentingan-kepentingan diri sendiri demi kebaikan orang lain.
Dalam tradisi Therawada, sebaliknya, kebajikan spiritual tak mungkin dapat dipisahkan dari status sosial dan formalitas. Seseorang yang superior (baik secara spiritual atau sebaliknya) haruslah berprilaku dengan sebuah gaya yang superior. Ia harus senantiasa memiliki ekspresi yang menunjukkan kekurangacuhan yang angkuh pada wajahnya; ia harus senantiasa didahulukan; ia harus selalu duduk di tempat yang terhormat; dan, ia harus selalu memberikan kesan bahwa semua ini tak lebih tak kurang adalah haknya.
Meminta orang lain untuk tidak terlalu mementingkan formalitas-formalitas, meminta orang lain untuk membalas setiap sapaan, untuk memeluk seorang anak kecil atau untuk melakukan hal-hal yang baik namun sedikit kurang mementingkan diri sendiri—seperti yang dilakukan oleh Dalai Lama—seolah-olah membuktikan bahwa biku itu rendah dan tak layak untuk dihormati. Oleh karena itu, para biku Therawada biasanya kaku dan seperti menjauhkan diri; dan, oleh sebab itu, banyak orang Barat lalu menganggapnya sebagai tanda penolakan.
            Beberapa waktu yang lalu saya tinggal bersama seorang guru meditasi yang terkenal di Burma. Setelah tiba, saya pergi ke kamar suite-nya untuk memberi hormat dan mendapatkannya sedang duduk di atas singgasanahnya yang terbuat dari kayu jati yang mengkilap; dan, ia dikelilingi oleh sebuah rombongan besar umat awam, terutama ibu-ibu kaya. Keadaannya seperti memasuki istana seorang raja kecil.
Kami mempunyai hubungan yang baik satu sama lain dan saya tertarik untuk membicarakannya dengannya; tetapi, ia sangat tidak komunikatif dan ia hampir-hampir saja tidak mengenali saya disana. Setelah saya bertanya dengan sopan mengenai kesehatannya dan lain-lain, dan mendapatkan beberapa kali suara mendehem, saya menjadi terdiam dengan cara yang canggung dan, akhirnya, dibimbing keluar oleh seorang pelayan yang membawa saya ke kamar saya yang telah disediakan.
Menjelang magrib, saya kebetulan melihat sang guru di taman dan saya memutuskan untuk menemuinya demi menjalin hubungan kami kembali. Ia menyapa saya dengan hangat, menanyai saya tentang apa yang telah saya kerjakan akhir-akhir ini dan kami berdiskusi dengan cukup menarik tentang hal yang ingin saya diskusikan dengannya. Tetapi, mengapa ia berubah secara nyata sekali?
Karena, di depan umum, ia, seperti juga para biku Therawada lainnya, haruslah memperlihatkan wajah seseorang yang menyerupai Arahat—yakni, terkontrol, tidak mengumbar senyuman dan tampak tak peduli—bila tidak, ia tidak akan diperlakukan dengan serius. Hanya ketika, dengan kata lain, ia sedang ‘tidak pada jam kerja’ barulah ia dapat merasa rileks dan benar-benar menjadi dirinya sendiri.
Psikologi Therawada yang naïf menyamakan ketakmelekatan dengan tatapan mata yang kosong—namun, tidak pernah dengan sebuah senyuman. Bukanlah rasa percaya diri yang tidak rileks itu yang menunjukkan kebajikan, melainkan ketidakluwesan orang yang bersangkutan terhadap aturan-aturan yang kecil-kecil. Bukti akan adanya kemajuan dalam bermeditasi bukanlah manakala sensitivitas dan keterbukaan menjadi lebih tinggi, melainkan bila terjadi sebuah penarikan diri yang tidak nyaman. Inilah yang diyakini oleh penganut Therawada sebagai prilaku seorang arahat; dan, ini pula yang ingin ditiru; atau, setidak-tidaknya seperti itulah mereka berharap untuk tampil di hadapan para umat awam mereka.
Kontrol dan penekanan diri yang disertai dengan ketegangan akibat terus-terusan berpura-pura menjadi bukan diri mereka yang sebenarnya, telah merampas para biku Therawada tersebut dari rasa kemanusiaan dan kehangatan mereka—sesuatu yang kiranya membuat para biksu Tibet manjadi begitu menarik.
Seorang warga Amerika yang saya kenal yang mempraktekkan Vipassana selama bertahun-tahun sebelum akhirnya menjadi penganut agama Buddha Tibet mengatakan kepada saya suatu ketika sebagai berikut, ‘Duduk di dekat seorang rimpoche adalah seperti duduk di atas permadani yang nyaman di sebelah api unggun yang hangat. Duduk di dekat seorang guru meditasi Therawada adalah seperti duduk di dalam sebuah kulkas sambil memakai korset yang ketat.’ Ini tentu saja tidak selalu benar, tetapi intinya cukup jelas.
Sebuah kasus diare
Sangatlah jelas dari sutta-sutta bahwa aspek kepribadian Buddha yang paling kelihatan jelas adalah kehangatan dan welas asihnya. Welas asih tersebut bukanlah sesuatu yang dimiliki Buddha semata-mata untuk orang lain atau sesuatu yang dirasakan orang lain bila mereka ada bersama-sama dengan Buddha. Welas asih itu juga merupakan alasan di belakang kebanyakan hal yang dikatakan maupun dilakukan oleh-Nya.
Buddha mengunjungi dan menghibur orang sakit ‘karena welas asih’ (A.III, 378); Ia mengajarkan Dharma ‘karena welas asih’ (A.III, 167). Suatu ketika, Buddha memasuki hutan untuk mencari seorang pembunuh berantai; karena, Ia mengasihi calon-calon korban dari pembunuh tersebut dan, sekaligus, Buddha mengasihi pembunuh itu juga.
Welas asih Buddha tampak menembus batas-batas waktu. Buddha kadang-kadang digambarkan melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu ‘karena welas asih-Nya untuk generasi-generasi yang akan datang’ (M.I,23).  Sekali waktu, Buddha mengatakan bahwa alasan bagi keberadaan-Nya adalah semata-mata ‘untuk kebaikan orang banyak, untuk kebahagiaan orang banyak, karena welas asih-Nya bagi dunia, untuk kesejahteraan, kebaikan dan kebahagiaan para dewa dan manusia’ (A.II,146). 
            Kisah tentang Buddha dan seorang biku yang sedang sakit adalah bukti yang lebih meyakinkan lagi bahwa kebaikan dan welas asih Buddha bukanlah semata-mata perasaan, tetapi juga sebuah kekuatan yang aktif yang mengekspresikan dirinya dalam prilaku yang dapat menyebabkan perubahan positif dalam kehidupan orang-orang tersebut.
Pada suatu saat, seorang biku tertentu sedang menderita diare dan ia berbaring persis di atas kotorannya sendiri. Guru Junjungan dan Ananda sedang mengunjungi tempat kediaman tersebut, mereka menghampiri tempat dimana biku tersebut berbaring dan Guru Junjungan menanyainya, ‘Biku, apa yang terjadi padamu?’ ‘Saya menderita diare.’ ‘Tidak adakah orang yang merawatmu?’ ‘Tidak ada, Guru Junjungan.’ ‘Lalu mengapa para biku yang lain juga tidak merawatmu?’ ‘Karena saya tidak lagi berguna bagi mereka, Guru Junjungan.’ Kemudian Buddha mengatakan kepada Ananda, ‘Pergi dan ambillah air dan kita akan memandikan biku ini.’ Maka Anda membawa air dan Guru Junjungan menyiramkannya; sedangkan, Ananda membasuh sekujur tubuhnya. Kemudian dengan mengangkat kepala dan kakinya, Buddha dan Ananda bersama-sama mengangkat dan membaringkannya ke atas tempat tidur. Setelah itu, Guru Junjungan memanggil para biku lainnya dan menanyai mereka, ‘Mengapa engkau, para biku, tidak merawat biku yang sakit ini?’ ‘Karena ia tidak lagi berguna bagi kami, Guru Junjungan.’ Buddha lalu mengatakan, ‘Para biku, engkau tidak mempunyai ibu dan bapak untuk merawatmu. Bila engkau tidak saling merawat, siapa lagi yang akan merawatmu? Dia yang ingin merawatKu, biarlah ia merawat orang yang sedang sakit.’ (Vin.IV,301). 
            Kejadian dalam kehidupan Buddha tersebut cukup dikenal, setidak-tidaknya dewasa ini. Tetapi, kalau kita melihat teks-teks yang dihasilkan dalam kebudayaan-kebudayaan Therawada selama lebih dua ribu tahun—misalnya, puisi, biografi-biografi Buddha, kumpulan-kumpulan kisah, kisah-kisah orang suci, penuntun-penuntun kehidupan kewiharaan, karya-karya kosmologi, dll—saya hanya mendapat satu teks saja yang merujuk kepada hal tersebut.
Saya sangat mengetahui lukisan dinding dan seni pahatan yang berasal dari Thailand, Burma dan Sri Lanka yang menggambarkan kehidupan Buddha; tetapi, saya tidak pernah melihat kejadian di atas tersebut digambarkan disana. Karya biografi Buddha oleh Mingun Sayadaw yang monumental itu yang tebalnya mencapai dua ribu tujuh ratus halaman memuat hampir setiap kejadian dalam kehidupan Buddha yang dapat dipikirkan, tetapi tidak tentang hal yang satu itu. 
Satu-satunya teks dalam kaitannya dengan bidang sastra, seni pahat dan lukisan tradisional di negara-negara Therawada dimana kisah welas asih Buddha itu dimunculkan adalah Saddhammopayana—sebuah sajak abad ke-10 dari Sri Lanka. Syair-syairnya yang ke-557 sampai 560 memuji-muji welas asih Buddha dalam merawat biku yang sakit itu dan menghimbau agar para pembacanya mengikuti contoh yang Buddha berikan.
Sajak tersebut bahkan berbicara tentang memberikan perlindungan bagi yang membutuhkan pertolongan (syair 307) dan tidak hanya membantu para biku saja; dan, memberi pertolongan kepada orang lain hendaknya semata-mata dikarenakan oleh kebahagiaan memberi semata-mata (syair 324), bukan karena pandangan Therawada yang mengajarkan agar kita memberi untuk mendapatkan pahala karma baik.
Kata-kata kebaikan yang menyentuh hati dan praktis ini membuat Saddhammopayana hampir-hampir unik dalam perkembangan teks-teks dari negara-negara Therawada.[‡‡‡‡‡‡] Pastilah ada penjelasan mengenai keganjilan ini dan kita tidak perlu mencari terlalu jauh untuk mendapatkannya.
Menurut para pakar, Saddhammopayana  ditulis oleh seorang biku dari sekte Abhayagirivasin, sebuah sekte yang diejek oleh kalangan Therawada sebagai kelompok yang menyimpang dan dikeluarkan dari Therawada karena mereka adalah pengikut Mahayana. Jadi, kendatipun Saddhammopayana mengambil bahannya dari Tipitaka Pali, ia bukanlah karya dalam tradisi Therawada.
Tetapi, mengapa kisah luar biasa mengenai Buddha dan biku yang sakit itu—begitu manusiawi, begitu memperlihatkan cinta kasih dan welas asih, begitu sempurna untuk dijadikan sebuah contoh untuk diikuti—tidak menarik sedikitpun perhatian tradisi Therawada?
Anathapindika dan Asoka
Umat awam terpenting yang menjadi murid Buddha adalah seorang bankir dan saudagar kaya dari Savatthi bernama Sudatta. Walaupun Sudatta adalah nama aslinya, ia biasa dipanggil dengan Anathapindika—sebuah nama julukan yang artinya ‘pemberi makan orang-orang miskin.’ Ia dipanggil demikian karena bantuan materi yang diberikannya dengan sangat murah hati kepada orang-orang miskin dan gelandangan di Savatthi; dan, agaknya ia telah banyak berbuat untuk mereka itu, lebih dari yang biasa dilakukan orang lain, karena bila tidak demikian adanya tentulah ia tidak akan mendapatkan panggilan seperti itu. Tentu saja Anathapindika juga sangat bermurah hati kepada Sanggha.
Komenteri-komenteri Therawada acapkali menyinggung dan memuji-muji pemberian-pemberiannya kepada para biku yang diduga sebanyak seratus delapan puluh juta dalam hitungan emas; tetapi, kisah-kisah mengenai bantuan yang diberikannya kepada orang-orang miskin tidak dicatat dimanapun dalam komenteri-komenteri itu.
Para penganut tradisi Therawada zaman dahulu tampaknya telah memangkas biografi Anathapindika sehingga mengubahnya dari seorang umat awam yang mempunyai kesadaran sosial yang tinggi menjadi seorang penganut Therawada yang baik yang kepedulian utamanya adalah menghambur-hamburkan kekayaannya untuk Sanggha.  
Bila Anathapindika adalah umat awam Therawada yang sangat khas; maka, Asoka adalah seorang raja penganut tradisi Therawada yang khas. Tetapi, pernyataan ini perlu diberi penjelasan karena ternyata ada dua orang raja yang bernama Asoka; yakni, Asoka dalam sejarah dan Asoka dalam tradisi Therawada.
Raja Asoka dalam sejarah itu sekarang ini cukup dikenal baik oleh siapapun yang mengenal sejarah agama Buddha ataupun sejarah India. Karena sangat dikejutkan oleh penderitaan yang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakannya yang ekspansionistis, akhirnya ia meninggalkan peperangan dan mencoba memerintah kerajaannya dengan prinsip-prinsip agama Buddha. Raja Asoka membangun rumah sakit, mendanai penelitian tumbuh-tumbuhan untuk kepentingan medis, membangun cagar-cagar alam, menganjurkan toleransi beragama dan memanusiawikan sistim pemerintahan dan sistim peradilan. Tetapi, Asoka dalam sejarah tersebut, yakni Asoka yang sesungguhnya, tidaklah diketahui sampai prasasti-prasastinya yang demikian banyak itu dapat dimaknai dan diterjemahkan pada abad ke-19. 
Sebelum itu, Raja Asoka yang dikenal oleh para penganut tradisi Therawada adalah Asoka yang dikenal dalam tradisi yang kehidupan dan perbuatan-perbuatannya dikisahkan dalam Mahavamsa, Dipavamsa, Samantapasadika dan beberapa karya lainnya. Dan betapa berbedanya Raja Asoka ini! Secara mengejutkan, kitab-kitab Therawada tidak menyebutkan sama sekali proyek kesejahteraannya, kepeduliannya kepada rakyatnya sebagai seorang kepala pemerintahan, visinya untuk terciptanya sebuah masyarakat spiritual atau, bahkan, tentang perpindahannya ke agama Buddha yang cukup dramatis itu.
Asoka tersebut, sesuai dengan tradisi, digambarkan sebagai seorang penganut tradisi Therawada awam; yakni, seseorang yang menghabiskan waktunya menemani para biku dan yang menghambur-hamburkan kekayaannya untuk para biku. Mahavamsa mengatakan, ‘Asoka memberi dana makanan kepada 60,000 biku secara teratur di dalam istananya. Ia mempersiapkan makanan-makanan yang amat mahal, baik yang keras maupun yang lunak; menghiasi kotanya, mengundang para biku ke istananya, mempersembahkan dana makanan kepada mereka, dan menghadiahkan mereka dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya.’ Setelah itu, kita diberi tahu bahwa ia memberikan 9.000.000.000 uang kontan untuk membangun wihara-wihara, stupa-stupa dan memberi dana makanan kepada lebih banyak lagi anggota Sanggha.
Tetapi, tidak disebutkan sama sekali perbuataan baik yang dilakukannya kepada siapapun, selain kepada para biku. Sekali lagi, di tangan para penyunting teks-teks Therawada, seorang manusia luar biasa yang benar-benar peduli dengan kesejahteraan spiritual, moral dan material umat manusia direvisi dan disunting menjadi seorang manusia yang tidak melakukan apapun terhadap siapapun, kecuali kepada para biku. Kenyataan ini telah menjadi norma sepanjang sejarah Therawada. Segala kebajikan sosial dibajak dan dibelokkan ke arah kepentingan Sanggha.  
Hamba-hamba Sanggha
Formalisme Winaya dan pemusatan perhatian pada Sanggha telah berpengaruh demikian besar dalam memperlambat welas asih sosial dan, sebagai akibatnya, turut memperlambat reformasi sosial di negara-negara Therawada. Praktek perbudakan adalah sebuah contoh yang terbaik untuk hal ini.
Buddha mengatakan bahwa pembelian dan penjualan manusia adalah cara bermata pencaharian yang salah (A.III, 207). Para biku pun dilarang untuk menerima pemberian berupa budak-budak (D.I, 5). Penolakan terhadap perbudakan ini berlanjut sekurang-kurangnya hingga saat penyusunan Winaya yang juga melarang para biku mempunyai budak.
Namun, kita juga mengetahui melalui sejarah bahwa Sanggha adalah institusi yang memiliki budak-budak selama berabad-abad lamanya. Prasasti Galapata yang terkenal dari Sri Lanka abad ke-12 menyinggung pemberian sebanyak sembilan puluh orang budak kepada sebuah wihara sehingga mereka dapat ‘melayani para majikan mereka.’
Mudahnya mengakal-akali aturan-aturan yang tidak menyenangkan, seperti aturan yang melarang perbudakan, adalah layaknya permainan anak kecil bagi para penganut tradisi Therawada. Dalam komenteri untuk Majjhima Nikaya Buddhaghosa menjelaskan secara tepat bagaimana melakukannya.
Bila seseorang datang ke wihara untuk menawarkan anda seorang budak, anggap saja budak tersebut adalah ‘seorang pembantu’ dan katakanlah ‘saya menerima pembantu ini.’ Ini adalah sebuah contoh dari strategi ‘menyulap definisi-definisi’ sebagaimana juga disarankan oleh Biku Thanissaro.
Pada sebuah masa dalam sejarah Sri Lanka, membebaskan para budak memang dianggap sebuah kebajikan—sesuatu yang barangkali sudah seharusnya memang demikian. Ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh sepanjang sejarah Therawada dimana, setidak-tidak secara periodik, sejumlah biku dan umat awam pernah secara bersungguh-sungguh mencoba mempraktekkan roh ajaran Dharma dan mempraktekkannya dalam ranah sosial.
Namun, cukup menyedihkan pula bahwa kejadian tersebut juga merupakan sebuah contoh bagaimana upaya-upaya seperti itu akhirnya akan menemui nasib mereka. Permintaan para biku agar diberikan perhatian dan dimanjakan, ditambah lagi dengan kotbah-kotbah mereka yang terus-menerus mengajarkan perbuatan kebajikan dengan banyak-banyak memberi kepada para biku, memiliki makna bahwa pada abad ke-5 M, praktek manusiawi tersebut di atas telah mengalami kemunduran; sehingga, ia merosot menjadi sebuah permainan semata-mata..  
            Kejadiannya barangkali seperti ini. Seorang laki-laki yang kaya akan menawarkan istri-istri atau anak-anak mereka kepada para biku sebagai ‘budak.’ Mereka akan berada di wihara sepanjang hari untuk melayani para biku dan kemudian pada malam hari laki-laki itu akan membayar para biku untuk membebaskan mereka. Para istri dan anak-anak tersebut akan mendapatkan pahala dengan melayani para biku, laki-laki itu pun akan memperoleh pahala karena menawarkan dan sekaligus membebaskan ‘para budak’ tadi; dan, wihara mendapatkan uang tebusannya. Barangkali pihak satu-satunya yang tidak bahagia dalam hal ini adalah para budak sungguhan di sana karena mereka harus membersihkan segala sesuatunya setelah permainan-permainan ini usai. 
Selama dua ratus tahun, hal seperti ini menjadi semacam mode; dan, catatan-catatan sejarah memperlihatkan bahwa wihara-wihara tersebut mendapatkan penghasilan yang baik dari keadaan itu. Sementara itu, dorongan untuk benar-benar membebaskan para budak sungguhan menjadi pudar perlahan-lahan.
Di wihara-wihara di Sri Lanka, Laos dan Cambodia, budak-budak dan perbudakaan masih dapat dijumpai hingga akhirnya dihapuskan oleh para penjajah pada abad ke-19.  Hal yang sama juga terjadi di Burma dimana yang disebut dengan ‘budak-budak pagoda’ sangatlah banyak dan mereka membentuk sebuah masyarakat kelas bawah berdasarkan keturunan.
Raja Chulalankhorn menghapuskan perbudakan pada akhir abad ke-19, bukan karena hal tersebut tidak sesuai dengan roh ajaran Dharma ataupun sebagai menjawab petunjuk dari Sanggha, melainkan karena adanya tekanan dari misionaris Kristen dan kekuatan-kekuatan Barat.[§§§§§§]
Sebagaimana juga terhadap banyak masalah sosial yang lain, para biku jarang sekali angkat bicara, dengan menggunakan pengaruh mereka yang cukup besar ataupun karena rasa simpati, dan memprotes kekejaman-kekejaman terhadap mereka-mereka yang tak beruntung.  Para apologis Therawada akan mengatakan bahwa para biku memang tidaklah dimaksudkan untuk terlibat dalam masalah-masalah sosial. Namun, seperti diperlihatkan oleh sejarah, para biku ternyata cukup bersedia melibatkan diri dalam hal perbudakan sepanjang hal tersebut sesuai dengan keinginan mereka—kendatipun  perbudakan sangat bertentangan dengan semangat ajaran Dharma dan perintah-perintah yang secara spesifik diberikan oleh Buddha. Masih banyak contoh-contoh yang sejenis mengenai hal ini yang dapat diberikan.
Sarvodaya
Pada tahun 1970-an dan 1980-an, sebuah organisasi bernama Sarvodaya menjadi begitu dikenal di Sri Lanka; dan, organisasi ini banyak menarik perhatian negara-negara Barat. Diduga berdasarkan ajaran-ajaran pokok dalam tradisi Therawada dan ajaran Gandhi, organisasi ini menjalankan program-program pembangunan di daerah-daerah terpencil di seluruh Sri Lanka.
Pendiri organisasi tersebut, A. R. Aryaratna, mengambil istilah-istilah Pali dan menciptakan istilah-istilah baru seperti shramadana ‘berdana kerja’ dalam upayanya untuk memberikan sentuhan Therawada kepada konsep-konsepnya. Banyak buku dan artikel telah ditulis untuk menggambarkan Sarvodaya sebagai model pembangunan lokal dan otentik yang berasal dari tradisi Therawada ketimbang sesuatu yang berasal dari konsep-konsep Barat.
Namun, kenyataannya sungguh berbeda. Salah satu tujuan didirikannya Sarvodaya adalah untuk melibatkan para biku dalam pembangunan di pedesaan. Hal ini mendapat sambutan yang tidak terlalu meriah. Akhirnya, dengan sebuah biaya besar sebuah Institut Pelatihan Sarvodaya pun didirikan untuk memainkan peranan tersebut; tetapi, segera ia pun menghadapi masalah dalam merekrut atau, bahkan, dalam mempertahankan atau memotivasi beberapa biku yang memang mendukung; dan, akhirnya institut itupun ditutup.
Gombrich dan Obeyesekere memberikan alasan-alasan mengapa terjadi kegagalan tersebut. Banyak biku hanyalah menunggu waktu hingga mereka menyelesaikan pendidikan mereka sebelum mereka lepas jubah; mereka tidak tertarik untuk menjadi biku dengan komitmen jangka panjang; beberapa di antara mereka pun tidak cocok untuk pekerjaan sosial; biku-biku yang lain juga sangat menyadari betul ketaksetujuan masyarakat bila para biku melakukan kerja sosial.[*******]
Saya setuju dengan penilaian ini, tetapi saya kira ini belumlah kisah seluruhnya. Karena, bagaimanapun juga, Sarvodaya tidak saja gagal dalam membangkitkan welas asih sosial dari kalangan para biku dengan sebuah cara yang lebih fokus dan berkelanjutan; ia pun gagal dalam menumbuhkan semangat welas asih tersebut di kalangan umat awam.
Dalam catatan Joanna Macy yang bersemangat dan sedikit terlalu ideal tentang Sarvodaya, ia mengklaim bahwa para biku dikenal telah melakukan pekerjaan fisik yang keras. Namun, menurut saya, ini sangatlah tidak mungkin. Dalam beberapa kesempatan saya berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan Sarvodaya, para biku lainnya melakukan tak lebih dari memberikan ceramah-ceramah pendek untuk membangkitkan semangat dan sambil memberikan saran-saran.
Untuk pekerjaan utamanya, hal tersebut tampaknya bersifat lebih simbolik ketimbang terencana dengan baik, sehingga proyek tersebut tidak mendatangkan perbedaan-perbedaan yang permanen bagi pedesaan; dan, bahkan, proyek ini pun acapkali terinterupsi ketika keperluan-keperluan para biku itu harus dilayani—‘Apakah   Bhante ingin segelas air?’, ‘Duduklah disini Bhante supaya jubah Bhante jangan sampai kotor’, ‘Bhante, sudah waktunya untuk menerima dana.’
Pada akhir tahun 1980-an, setelah para donatur dari negara-negara Barat memutuskan untuk menarik kembali dukungan dana mereka untuk Sarvodaya—sehingga ia tak lagi sanggup menggaji para pekerja tetapnya—organisasi tersebut segera menjadi tidak aktif lagi; dan, sejauh yang saya ketahui, organisasi tersebut masih tetap demikian adanya hingga saat ini.
Walaupun merupakan sebuah tragedi, saya kira, kenyataan ini tak terhindarkan. Tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Sarvodaya tidak memiliki dasar dalam doktrin Therawada. Mereka tidak memiliki pelopor dalam sejarah Therawada dan, oleh sebab itu, mereka tidak pernah menyentuh hingga ke kedalaman hati dan pikiran dari para biku dan para umat awam. Segera setelah para pekerja yang diberi gaji itu pergi, proyek-proyek Sarvodaya pun berhenti.
Kita harus memberikan penghargaan yang tertinggi untuk usaha-usaha Ariyaratna yang keras dan bersungguh-sungguh untuk membuat tradisi Therawada menjadi lebih relevan secara sosial; dan, bila ia berada di sebuah negara Mahayana, proyek tersebut tentu telah akan berhasil. Namun, visi beliau sangatlah berbeda dengan segala sesuatu yang berbau Therawada sehingga visinya tersebut tidak pernah memiliki kesempatan untuk berhasil. Memang, Sarvodaya bukanlah ikhtiar satu-satunya apalagi yang pertama yang telah memudar di bawah tangan ortodoksi Therawada dan ketakberdayaan kebikuannya. 
Mahabodhi Society didirikan dengan kedua-duanya agenda misionaris Buddhis dan pelayanan sosial pada tahun 1893 oleh Anagarika Dharmapala—seorang biku yang mendapat pengaruh Barat dan agama Kristen. Dibiayai dengan kemurahan hati seorang patron berkebangsaan Amerika,[†††††††] perkumpulan ini sanggup mendirikan toko-toko obat, panti-panti asuhan, sekolah-sekolah kejuruan dan industrial, serta sebuah seminari.
Namun, Dharmapala senantiasa menghadapi kesulitan dalam mencari para biku yang berdedikasi untuk menjalankan semua itu; dan, pada tahun 1940-an, sebagian besar dari proyek sosial dan pendidikannya telah menciut. Dewasa ini, disamping mengenang prestasi-prestasi yang pernah dicapainya pada masa lalu—dan, disamping memberikan akomodasi untuk para peziarah Sri Lanka ketika mereka berada di India serta turut memperjuangkan kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan—Mahabodhi Society tidak lagi melakukan apapun.
Gerakan Gramasamvaradhana di Sri Lanka pada tahun 1930-an juga memiliki kisah yang sama. Keberhasilannya pada awalnya itu berkaitan semata-mata dengan adanya beberapa orang biku yang luar biasa; tetapi, setelah itu gerakan tersebutpun segera menggelepar.
Bahkan ketika diberi bantuan dan dukungan oleh negara, para biku Therawada itu tampaknya tak mampu mempertahankan ketertarikan dan komitmennya. Pada tahun 1960-an, pemerintah Thailand melancarkan program Thammacharik dengan tujuan untuk mengintegrasikan suku-suku yang bermukim di dearah-daerah perbukitan ke dalam masyarakat mainstream. Para biku diberikan pelatihan dan sumber daya yang diperlukan untuk bekerja di daerah-daerah terpencil dengan mengajarkan agama Buddha.
Laporan-laporan mengenai perkembangan dari program tersebut sangat menarik untuk dibaca. Pandangan para biku mengenai bagaimana membabarkan Dharma, seperti dapat dibayangkan, terdiri dari instruksi mengenai bagaimana mereka seharusnya membungkukkan badan kepada para biku secara benar, bagaimana memberikan persembahan makanan dengan benar dan bagaimana membacakan Metta Sutta untuk para biku.
Para biku tersebut tidaklah mempelajari bahasa suku-suku tersebut, mereka tidak tertarik untuk memiliki komitmen jangka panjang, mereka menghindari kerja keras dan ketaknyamanan, mereka tidak bersedia mengkompromikan aturan-aturan mereka dan para penduduk lokal diharapkan untuk mengubah norma-norma mereka agar sesuai dengan para biku, dan bukan sebaliknya.
Sepanjang menyangkut siar agama Buddha, program Thammacharik tersebut telah gagal dan akhirnya ia pun ditelantarkan begitu saja. Namun, para misionaris Kristen segera bergerak masuk dengan mendirikan sekolah-sekolah, pelayanan kesehatan dasar dan program-program latihan pertanian dan lain-lain. Dewasa ini sejumlah besar suku-suku yang menghuni daerah perbukitan itu telah masuk agama Kristen.
Memang benar bahwa akhir-akhir ini telah ada semakin banyak biku dan umat awam yang mulai memperlihatkan welas asih mereka melalui karya-karya mereka yang baik. Tentu, ini adalah sebuah pertanda yang membesarkan hati; tetapi, kenyataan ini masih dalam tahap permulaan dan masih melibatkan demikian sedikit orang. Bila anda mengatakan hal ini kepada para penganut tradisi Therawada dari negara-negara Barat, maka mereka akan menyebutkan nama-nama penganut dan organisasi-organisasi Therawada yang terkenal yang telah melakukan sesuatu untuk orang banyak. Namun, ikhtiar-ikhtiar itu begitu dikenal luas persisnya memang karena usaha-usaha mereka itu sangat luar biasa sekali.
Dua Orang Pelacur
Suatu ketika saya tinggal di sebuah Buddhist center Sri Lanka di negara Barat. Suatu hari, karena mendengar bunyi bel, saya pergi membuka pintu dan mempersilakan dua orang perempuan yang berdiri di pintu untuk masuk. Segera setelah mereka masuk, dengan melihat cara mereka berpakaian atau ber-make up, saya menyadari bahwa barangkali mereka adalah pelacur.
Saya merasa sedikit gelisah; tetapi, mereka sudah berada di dalam. Jadi, saya mempersilakan mereka duduk di ruang tamu. Mereka bercerita kepada saya tentang diri mereka; dan, begitu mereka mulai bercerita, saya mulai merasa sedikit malu dengan reaksi saya tadi terhadap mereka. Kedua perempuan ini terpaksa memasuki dunia prostitusi karena telah kecanduan heroin; dan, sekarang, setelah lebih sepuluh tahun berada di jalanan, mereka akhirnya berjuang untuk membebaskan diri mereka dari cengkeraman heroin.
Salah satunya segera akan masuk program rehabilitasi untuk para pengguna obat terlarang; yang lain sedang dalam daftar tunggu untuk masuk ke program yang sama. Mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka berharap agama Buddha dapat membantu mereka untuk mengembalikan harga diri dan kebebasan mereka; dan, mereka ingin mengetahui sesuatu tentang Dharma.
Saya memberikan mereka perhatian penuh, menjawab pertanyaan mereka, mencoba memberikan mereka dukungan dan memberi tahu mereka bahwa mereka boleh datang kapan saja untuk menemui saya; dan, bahwa saya akan senang sekali mengunjungi mereka di pusat rehabilitasi nantinya.
Setelah berlangsung pembicaraan kami setengah jalan, bel berbunyi dan saya beranjak untuk membukakan pintu. Rupanya tiga orang perempuan tua asal Sri Lanka yang telah datang membawakan saya dana mereka. Seperti biasa, mereka tersenyum dan membungkuk memberi hormat sebelum mereka melihat tamu-tamu saya. Mereka tak dapat menyembunyikan ketaksetujuan mereka.
Berada sendirian dengan perempuan saja sudah tak pantas, tetapi ini!? Semua penganut Therawada tentu akan bereaksi seperti ini. Mereka tidak dapat membayangkan bahwa seorang biku bisa saja memberikan konseling kepada orang yang tengah putus asa atau mendiskusikan Dharma dengan seseorang yang kebetulan baru saja mampir. Sungguh tak terpikirkan oleh mereka bahwa ada kemungkinan seorang biku tetap memiliki integritas dan prinsip—kendatipun ia tidak diawasi dengan ketat.
Sebelum kedua orang perempuan tadi pergi, saya memberikan mereka dupa dan beberapa buku mengenai agama Buddha; dan, salah seorang dari mereka mulai menangis. Sebenarnya, ia menangis tersedu-sedu. Sambil menangis, ia memberi tahu saya bahwa sebelum ia dan temannya membunyikan bel di pintu, mereka sangat ragu karena tidak mengetahui sambutan seperti apa yang akan mereka terima.
Ia berterima kasih pada saya dan mengatakan betapa tersentuhnya ia karena pemberian saya yang baik hati. ‘Orang-orang biasanya tidak suka berhubungan dengan kami,’ katanya. Saya senang karena telah dapat melakukan setidak-tidaknya sesuatu untuk dua perempuan malang tersebut; tetapi, saya sadar saya pun berada dalam masalah karena kedatangan mereka itu.
Malam harinya dua orang umat awam Sri Lanka yang juga anggota panitia dari perkumpulan tersebut datang menjumpai saya untuk membicarakan insiden tersebut. Mereka menerima penjelasan saya, tetapi memberi tahu saya bahwa dengan alasan apapun saya tidaklah boleh mengundang seorang perempuan untuk masuk ke Buddhist Center tersebut kecuali bila ada orang lain juga. Orang akan ‘mendapatkan pandangan yang salah,’ ‘kelihatannya tidak baik.’ Disamping itu, ‘Bhante tidak seharusnya membantu orang lain, Bhante seharusnya hanya mengikuti Winaya.’  Memang, walaupun menyedihkan, mereka juga benar.
Bagi seorang biku Therawada, menyenangkan pikirannya sendiri yang picik, senantiasa tampak baik dari luar, dan mengikuti aturan-aturan yang kecil-kecil haruslah diutamakan lebih daripada memberikan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak bagi mereka yang benar-benar sedang mengalami kesusahan. Saya tak pernah lagi melihat kedua pelacur tersebut, walaupun kadang-kadang saya masih memikirkan mereka. Harapan saya satu-satunya adalah, bila mereka masih terus berkeinginan mempelajari Dharma, agar mereka pergi ke sebuah perkumpulan agama Buddha Tibet atau Zen dimana sekurang-kurangnya mereka mungkin mendapatkan simpati maupun dukungan.. 
Orang Samaria yang baik hati dan penganut Therawada yang baik
Seorang laki-laki bertanya kepada Jesus apa yang harus ia lakukan agar dapat diselamatkan; dan, Jesus bertanya kepadanya apakah yang diajarkan kitab suci tentang hal itu. Laki-laki tersebut mengutip dua ayat dari Alkitab ‘Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap pikiranmu’ dan ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.’ Jesus setuju dengan ini dan kemudian laki-laki tersebut mengajukan pertanyaan lain ‘Siapa sebenarnya sesamamu itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Jesus menceritakan kisah Orang Samaria yang baik hati.
Suatu ketika seorang laki-laki sedang mengadakan perjalanan dari Jerusalem ke Jericho ketika sejumlah perampok menyerangnya, melucuti semua miliknya dan memukulinya hingga ia setengah hidup. Kebetulan sekali seorang pendeta sedang mengadakan perjalanan pada jurusan yang sama dan, ketika dilihatnya laki-laki itu, pendeta itupun menghampirinya di tepi jalan yang lain. Lalu seorang Levite juga datang, mendekat dan melihat laki-laki tersebut, dan kemudian berjalan pergi ke seberang jalan. Tetapi, seorang Samaria yang berada di jalan yang sama menghampiri laki-laki tersebut dan ketika dilihatnya laki-laki tersebut maka hatinya pun dipenuhi rasa kasihan. Orang Samaria tersebut mendekati laki-laki itu, menuangkan minyak dan anggur di bekas lukanya dan membungkusnya dengan kain perban; lalu ia mengangkat laki-laki tersebut ke atas keledai miliknya sendiri dan membawanya ke sebuah  tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan hatinya ia mengeluarkan dua keeping perak dan memberikannya kepada pemilik rumah penginapan tersebut. ‘Tolong jagalah ia, ‘katanya kepada pemilik rumah penginapan tersebut, ‘dan ketika saya kembali nanti saya akan membayar semua uang yang engkau belanjakan untuk laki-laki tersebut.’ Jesus lalu menanyai laki-laki itu tadi siapakah di antara ketiga orang dalam kisah tersebut yang bertindak seperti seorang tetangga terhadap laki-laki malang yang diserang oleh kawanan perampok tersebut. ‘Orang yang telah bersikap baik terhadap laki-laki tersebut.’ Jawab laki-laki itu. Jesus mengatakan, ‘Kalau begitu pergilah dan lakukanlah seperti ini juga.’
            Perumpamaan Jesus ini dan kata-katanya bahwa ‘Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari Saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku’ (Matius 25: 34-40) telah mempunyai dampak yang mendalam dan positif pada agama Kristen.
Kisah Buddha merawat seorang biku yang sakit dan nasihatnya bahwa ‘Barang siapa yang ingin merawat Aku, biarlah ia merawat orang-orang sakit,’ amat mirip dengan kata-kata Jesus, tetapi hal ini tidak memiliki pengaruh yang sama pada pemikiran dan praktek dalam Therawada. Nasihat Buddha tersebut seperti sebuah simfoni yang dimainkan untuk orang tuli.
Versi Therawada tentang perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati itu barangkali seperti ini. Suatu ketika ada seorang laki-laki yang tengah melakukan perjalanan dari Bangkok ke Ayudhya ketika sejumlah perampok menyerangnya, melucuti semua harta miliknya dan memukulinya hingga ia setengah hidup. Kebetulan sekali seorang biku lewat, melihat laki-laki tersebut dan berfikir ‘Sebaiknya saya tidak melakukan apapun juga karena saya bisa saja melanggar Winaya dan, disamping itu, kalau saya tidak buru-buru nanti saya akan terlambat untuk acara dana’; dan, ia pun melanjutkan perjalanannya kembali. Setelah itu seseorang yang menjalankan meditasi lewat, melihat laki-laki tersebut, lalu mendekatkan kedua tangannya dan mengatakan sambil tersenyum,  ‘Semoga engkau baik dan berbahagia’; dan, ia pun meneruskan perjalanannya dengan kesadaran penuh. Terakhir, seorang perempuan tua yang berbakti lewat, melihat laki-laki malang tersebut dan berfikir, ‘Sekarang kalau saya menolong laki-laki tersebut saya akan mendapatkan pahala karma baik sebesar sepuluh poin; tetapi, kalau saya pergi dan melayani para biku, saya akan mendapatkan pahala sebesar seribu kali lebih’; dan, akhirnya, perempuan tua tersebut pun bergegas pergi ke sebuah wihara terdekat.
            Kadang-kadang saya bertemu para biku muda di Sri Lanka yang benar-benar suka mempraktekkan Metta atau Karuna melalui perbuatan; tetapi, mereka acapkali menemui kesulitan besar. Umat awam selalu saja mengawasi para biku itu untuk memastikan agar mereka mengikuti pola-pola prilaku tradisional; dan, mereka cepat sekali menunjukkan ketaksetujuannya bila para biku tidak melakukannya.
Pandangan bahwa para biku adalah orang-orang yang sangat berharga dan dihormati adalah hambatan terhadap upaya-upaya untuk mempraktekkan Metta dan Karuna tersebut.
Misalnya, bila seorang biku Sri Lanka tampak mencoba membersihkan tubuh seseorang yang tengah sakit; maka, dapat dipastikan akan ada enam orang umat awam yang merasa kaget dan lalu terburu-buru mengatakan, ‘Saya akan lakukan itu untuk Bhante.’ ‘Tidak Bhante. Biarkan saya melakukannya.’ Mereka akan cepat-cepat mengambil sabun dan handuk dari tangan sang biku, mengajaknya untuk duduk di kursi yang nyaman, dan seorang lagi akan membawakan segelas air dan orang lain akan berdiri di samping biku tersebut sambil mengipas-ngipas dan menanyai apakah biku tersebut telah menerima dananya.
Bila ada biku dari Thailand ataupun Burma yang cukup bodoh untuk membersihkan tubuh seseorang yang sedang sakit, ia akan segera dijuluki ‘seorang biku yang buruk’; dan, ia mungkin harus meninggalkan daerah tersebut, bahkan harus lepas jubah. Ide tentang seorang biku yang merawat seorang perempuan yang tengah sakit, bahkan bila perempuan tersebut adalah saudara perempuannya sendiri, atau seorang bayi perempuan atau seorang perempuan tua yang berada dalam keadaan sedarurat apapun, betul-betul tak mungkin terlintas dalam pikiran orang-orang Thailand ataupun Burma.
Ketika terjadinya serangan udara di London, biku terkenal dari Burma U  Thittila yang dikenal selalu saja sedikit tak konvensional, mengenakan helm dan jas hujan tentara; dan, ia membantu menyelamatkan orang-orang yang tinggal di gedung-gedung yang baru saja dibom. Hal ini menyebabkannya banyak dihormati oleh umat Buddhis di Inggris, tetapi dikecam sangat keras di Burma; dan, perlu waktu bertahun-tahun untuk menyembuhkan reputasinya.
Saya bertemu dengannya sebelum ia meninggal dunia dan bertanya padanya tentang insiden tersebut. Ia tertawa kecil dan menjawab, ‘kami orang Burma tidak mengetahui Karuna bila kami tersandung kata itu’ atau kata-kata yang bertujuan sama.I Therawada pastilah merupakan agama satu-satunya di dunia ini dimana sebuah perbuatan kebaikan yang spontan yang dilakukan oleh ulamanya dapat saja dianggap sebagai sebuah pelanggaran.  
            Di Sri Lanka dan Thailand, kerja sosial yang dilakukan para biku sedikit lebih dapat diterima dibandingkan dengan di Burma sepanjang para biku membatasi pekerjaan mereka hanya pada bagian administrasi, penggalangan dana atau mengatur umat awam dan tidak sampai bekerja keras atau mengotori tangan mereka. Walaupun demikian, sang biku akan tetap berjuang keras untuk mendapatkan sokongan dan dukungan dari masyarakat agar bisa melakukan kerja sosial tersebut.
Ketika mengomentari keadaan tersebut di Burma, Spiro mengatakan, ‘Sekelompok biku yang peduli dengan melakukan tindakan-tindakan amal telah membangun panti-panti asuhan di vihara-vihara mereka… Pada tahun 1962, sudah terdapat sebanyak 77 panti asuhan yang tersebar di seluruh Burma dan di wilayah-wilayah Shan dan mereka berafiliasi dengan viara-vihara dengan lebih dari 600 anak-anak laki-laki yatim piatu penghuni panti. Namun, seperti dapat diperkirakan…hanya sedikit minat yang telah ditunjukkan orang terhadap gerakan yang dilakukan ini, baik dari para biku lainnya maupun dari para umat awam. Dukungan finansial untuk kegiatan-kegiatannya, hingga kelompok tersebut diusir dari Burma pada tahun 1962, terutama diberikan oleh Yayasan Asia (di Amerika). Sebenarnya, salah satu dari otak penggerak pekerjaan para biku tersebut, dan juga alasan mengapa perkumpulan ini diadakan, adalah adanya seorang pegawai Burma yang bekerja di sebuah yayasan misionaris Kristen—seorang  umat Buddhis awam yang berpendidikan Barat—yang, setelah terekspos dan terpengaruh oleh pekerjaan misionaris Kristen tersebut, berusaha membuat para biku meniru pola-pola kerja para misionaris Kristen.’          
Yang dikatakan Spiro di atas ini adalah pengamatan yang tajam. Dana-dana yang dipakai untuk kerja sosial di dalam lingkungan Therawada yang ada seringkali berasal dari luar masyarakat tersebut; dan, kerja sosial semacam itu pun biasanya dilakukan oleh orang-orang Barat atau mereka yang telah dipengaruhi oleh agama Kristen, mereka yang meniru kerja sosial Kristen; atau, kerja sosial tersebut dilakukan untuk membalas hal serupa yang dilakukan oleh umat Kristiani.[‡‡‡‡‡‡‡] Tentu saja, ini jauh lebih baik daripada tidak ada yang dilakukan sama sekali; tetapi, ini merupakan bukti bahwa pelaksanaan welas asih tidak benar-benar merupakan bagian dari tradisi Therawada.   
            Namun, semua ini tidaklah berarti bahwa para penganut Therawada tidak baik ataupun murah hati. Kadang-kadang, mereka justru kelihatannya sangat baik dan murah hati. Tetapi, kebaikan dan kemurahan hati mereka untuk orang-orang yang kurang beruntuhg biasanya dilakukan hanya dengan cara sedikit-sedikit dan secara perorangan. Seorang umat awam akan melemparkan beberapa keping uang logam kepada seorang gelandangan; tetapi, ia sendiri sangat jarang sekali ingin melakukan sesuatu tentang keadaan orang-orang gelandangan itu.
Pelayanan yang berkelanjutan dan efektif tampaknya diserahkan hampir seluruhnya kepada Sanggha. Para biku bisa saja sama baiknya; meskipun, Winaya dan harapan-harapan masyarakat mencegah mereka untuk melakukan apapun yang melebihi sekedar merasakan kebaikan tersebut. Komentar Mendelson tentang Burma juga relevan dengan negara-negara Therawada lainnya:
Walaupun ada kegiatan-kegiatan pelayanan sosial sekali-sekali yang biasa dilaksanakan wihara-wihara di Burma, perasaannya adalah bahwa di negara tersebut tugas utama para biku adalah untuk menemukan pencerahan batin; dan, oleh sebab itu, mereka tidak boleh diganggu dengan urusan-urusan keduniawian—sekalipun dengan urusan yang paling dermawan sekalipun. Oleh sebab itu,  tindakan pelayanan sosial biasanya tidak dilakukan sebagaimana selayaknya—atau, tidak dijalankan sesuai dengan teori Buddhis yang manapun juga mengenai hal tersebut—melainkan terlebih-lebih sebagai akibat alamiah dari orang-orang Burma sendiri yang baik dan berfikiran etis.…sudah jelas bagi saya, bahkan sebelum berangkat ke Burma, bahwa keseluruhan hakekat masyarakat Burma dapat diubah bila orang Burma mengubah pandangan mereka sendiri tentang perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dianggap perbuatan baik. Sebagian besar dari ini terdiri dari pemberian kepada Sanggha, terutama pemberian makanan dan juga bangunan-bangunan dan berbagai fasilitas dan keperluan-keperluan mendasar lainnya untuk Sanggha.’
Para penganut Therawada akan mengatakan bahwa saya menilai mereka dengan menggunakan standar agama Kristen dan bahwa para biku memang dimaksudkan untuk menjadi para pertapa, bukan pekerja sosial. Ini memang benar dan saya tidak akan bertengkar mengenai soal ini. Tetapi ada dua asumsi yang salah di belakang pernyataan ini.
Pertama-tama, kenyataannya adalah mayoritas para biku di negara-negara Therawada tidaklah mejalani kehidupan pertapaan. Mereka paling-paling adalah cendekiawan atau spesialis dalam bidang ritual; tetapi, sebaliknya mereka adalah …. Tapi, kita tidak akan kembali ke hal itu lagi! Kedua, anggapan bahwa pekerjaan sosial tidaklah dapat dibandingkan dengan meditasi atau, bahkan, pekerjaan sosial dapat merusak latihan meditasi merupakan anggapan yang tidak valid.
Keterlibatan dalam kehidupan sosial dapat juga menjadi sebuah latihan kontemplasi—ia bisa menjadi latihan untuk melepaskan ego, sebuah cara untuk melihat dan mengecilkan ego, sebuah cara untuk mengembangkan Metta dan Karuna. Ambillah praktek kesadaran sebagai contoh.
Dalam Satipatthana Sutta, Buddha mengatakan, ‘Lebih lanjut, seorang biku adalah seseorang yang melakukan tindakan-tindakannya dengan kesadaran—ketika sedang datang ataupun pergi, ketika sedang melihat ke depan ataupun ke belakang, ketika sedang memberikan lengannya ataupun menarik kembali lengannya, ketika sedang memakai jubah ataupun sedang merawat jubah dan mangkuknya, ketika sedang makan ataupun minum, ketika sedang meneguk ataupun mengecap, ketika sedang buang air besar ataupun kecil, ketika sedang berjalan ataupun berdiri, ketika sedang tertidur ataupun sedang terbangun, ketika sedang berbicara ataupun sedang berdiam diri.’ (M.I,57).
Intinya disini adalah bahwa kegiatan apapun dapat dan seharusnya dilakukan dengan penuh kesadaran. Ketimbang melekat pada aturan-aturan yang steril dan misterius sebagai sebuah cara untuk mengembangkan kesadaran, seperti yang disarankan oleh Biku Thanissaro dan para fundamentalis lainnya, mengapa tidak memanfaatkan kebermanfaatan terhadap orang lain? Bila seseorang dapat makan dengan penuh kesadaran ketika sedang menjalani latihan meditasi, mengapa ia tidak dapat mempersiapkan makanan untuk orang-orang lapar dengan penuh kesadaran?
Lalu, ada lagi sesuatu yang amat disukai dalam tradisi Therawada; yakni, merenungkan jijiknya badan jasad ini. Bila seseorang dapat menjadi tidak melekat dan tenang dengan memikirkan aspek-aspek yang tidak menyenangkan dari tubuh jasad ini, mengapa ia tidak melakukan hal yang sama ketika sedang merawat pasien yang telah mendekati ajal? Sikap Therawada yang pedantik dan konservatif telah memperlambat perkembangan pendekatan-pendekatan yang kreatif untuk spiritualitas.
Dapat ditambahkan disini pula penekanan yang berlebihan pada kepentingan diri sendiri yang narsisistik di dalam Therawada serta pemusatan perhatian pada kebikuannya; dan, kemungkinan-kemungkinan semacam itu yang tak pernah dipikirkan sama sekali sebelumnya.
            Pada tahun 2000, saya menjadi seorang relawan untuk bekerja selama beberapa lama di Rumah Bunda Theresa untuk Kaum Miskin Papa dan Kaum Sekarat di Calcutta. Pengalaman tersebut membuka mata saya.
Hal pertama yang saya perhatikan adalah bahwa walaupun terdapat begitu banyak pekerjaan, kesengsaraan dan tak jarang tekanan-tekanan, banyak suster dan relawan lainnya memiliki kualitas-kualitas yang kita umat Buddhis acapkali mencoba untuk mengembangkan melalui meditasi—yakni, keihlasan, ketakmelekatan, rasa puas diri, demikian juga welas asih dan cinta kasih. Pekerjaan mereka adalah sebuah cara untuk menolong orang lain, sebuah cara untuk mentransformasi diri dan sebuah persembahan untuk Tuhannya mereka. Tampak pada saya bahwa ide inilah yang disarankan dalam Mahaparinibbana Sutta.
Beberapa jam menjelang wafatnya Buddha, Ananda pergi memasuki kamarnya, bersandar di tiang pintu dan lalu menangis karena berfikir bahwa segera ia tidak akan melihat teman dan guru kesayangannya itu lagi. Buddha memperhatikan bahwa pembantunya yang setia itu telah menghilang dan bertanya dimanakah ia; dan, setelah diberitahu, Buddha memintanya untuk datang. Ananda datang sebagaimana diminta dan duduk di samping Buddha.
‘Cukuplah Ananda, jangan lagi menangis, ‘kata Buddha. ‘Bukankah Aku telah katakan padamu bahwa segala sesuatu yang menyenangkan dan disukai adalah bersifat sementara, akan berubah dan bersifat tidak abadi? Telah begitu lama, Ananda, engkau berada di dekat Tathagata, mengekspresikan cinta kasih dengan tubuh, mengeskpresikan cinta kasih dengan ucapan, mengekspresikan cinta kasih dengan pikiran, dengan bermanfaat, dengan menyenangkan, dengan sepenuh hati, dengan tak henti-hentinya. Engkau telah mencapai banyak kebaikan, Ananda. Berjuanglah untuk yang terakhir kali dan dalam waktu singkat engkau akan bebas dari kekotoran batin.’  (D.II,144). 
Namun, apa sebenarnya makna dari frase ‘mengekspresikan cinta kasih dengan tubuh’ (mettena kaya kamena) disini? Sudah barang tentu Buddha menjelaskan bahwa yang dilakukan Ananda selama bertahun-tahun—dalam memberi tanpa mementingkan diri sendiri, dalam membantu orang secara diam-diam, dan dalam memikirkan orang lain dan lebih mementingkan mereka ketimbang diri sendiri—telah menjadikannya demikian dekat dengan pintu gerbang Nirvana. Tentu saja, perbuatan-perbuatan Ananda yang penuh kasih sayang itu adalah praktek meditasinya.
            Hal lain yang juga saya perhatikan ketika bekerja di Rumah untuk Kaum Miskin Papa dan Kaum Sekarat adalah bahwa setiap malam ketika saya kembali ke kamar saya, pikiran saya sebagian besarnya telah dibersihkan dan terbebaskan dari segala halangan, terutama kammacchanda. Walaupun secara fisik saya telah lelah, namun pikiran saya tetap cerah seperti yang saya rasakan setelah melakukan meditasi sendirian dalam waktu yang lama sekali. Hal ini sangat nyata sekali sehingga saya begitu ingin mengetahui apa yang menyebabkan hal tersebut.
Karena seharian saya telah membersihkan kotoran dan luka-luka yang telah mengalami infeksi, maka, saya yakin, saya telah melakukan perenungan tentang jijiknya badan jasad manusia itu. Suatu ketika, selama dua belas bulan, saya melakukan meditasi secara formal, mengunjungi kamar mayat di Rumah Sakit Kandi sekali seminggu dan merasakan bahwa pekerjaan tersebut telah memberikan saya pengalaman ketakmelekatan yang stabil dan sangat mendalam.
Tetapi, ketakmelekatan dan kejernihan yang saya rasakan di Calcutta kiranya berbeda secara kualitatif. Pengalaman tersebut disertai dengan perasaan suka cita dan kehangatan karena saya mengetahui bahwa setidak-tidaknya saya telah membawa sedikit perubahan bagi kehidupan seorang anak manusia seperti kita.
Sering secara logika saya mencoba memaknai paradoks yang demikian jelas antara keadaan tak melekat dan sifat peduli tentang orang lain. Di Calcutta saya tidak memaknainya secara logika, tetapi saya belajar dari pengalaman bahwa kedua hal tersebut dapat terjadi secara bersama-sama. Seorang biksu Barat aliran agama Buddha Tibet yang menjalankan bisnis rumah persinggahan mengatakan kepada saya bahwa ia telah pernah mengalami hal yang sama dengan pengalaman saya.
Disamping itu, hal lain yang saya perhatikan ketika bekerja di Calcutta adalah perbedaan antara gaya hidup para suster itu dengan diri saya. Kendatipun ‘secara teknis’ hanya boleh memiliki sedikit saja harta milik, saya—seperti juga para biku Therawada lainnya—sebenarnya memiliki dan menggunakan cukup banyak barang. Para suster yang dipanggil Little Sisters of Charity itu benar-benar tak memiliki apapun kecuali dua buah pakaian sari dan sebuah ember. Mereka menghabiskan seluruh hidup mereka untuk memberi, sedangkan kami para biku Therawada menghabiskan kebanyakan waktu kami dengan menerima. Oleh sebab itu, saya kira kamilah yang sebenarnya lebih miskin dikarenakan oleh hal tersebut.
Cheng Yen dan Tzu Chi
Pada tahun 1966, seorang biksuni asal Taiwan bernama Cheng Yen menyaksikan seorang perempuan yang sedang sakit parah tetapi ditolak oleh sebuah rumah sakit karena ia terlalu miskin untuk membayar biaya pengobatan. Seorang penganut Therawada tentu akan melihat ini sebagai sebuah peringatan dalam upayanya berjuang keluar dari samsara secepat mungkin. Sejalan dengan latar belakang Mahayananya, Cheng Yen memutuskan untuk melakukan apa yang dapat dilakukannya sehingga hal yang sangat buruk seperti itu tidak akan terulang lagi. Karena itulah, Perkumpulan Tzu Chi pun didirikan.
Dewasa ini Tzu Chi memiliki lebih dari seratus cabang di seluruh dunia. Mereka mempunyai sebuah unit yang besar dan efektif untuk merespon terhadap bencana-bencana yang terjadi di seantero dunia; dan, proyek daur ulang mereka merupakan model satu-satunya yang dikenal di dunia. Tidaklah mengherankan bahwa Biksuhi Cheng Yen dan karyanya telah memberikan inspirasi bagi ratusan ribu orang dan telah membantu menghidupkan kembali agama Buddha di Taiwan.
Pada tahun 1995, saya memperoleh kesempatan langka bertemu dengan Bhisuni Cheng Yen sendiri. Setelah mengunjungi rumah sakitnya yang sangat mengesankan di Hualien dan beberapa cabang Tzu Chi serta setelah mengetahui pekerjaan beliau yang begitu banyaknya, saya mengira akan bertemu dengan seorang perempuan dinamis yang kelihatannya sibuk sekali, yang gerak geriknya sangat cepat dan tidak punya banyak waktu untuk berbicara. Alangkah mengejutkan saya ketika itu tatkala saya diperkenalkan dengan seorang biksuni yang tersenyum lembut yang benar-benar kelihatannya seperti seekor burung kecil yang lemah.
Beliau adalah salah seorang yang begitu damai yang pernah saya jumpai. Gerakan-gerakan tubuhnya demikian tenang dan berkesadaran. Beliau memberikan perhatian penuh ketika kami berbicara dan beliau secara positif memancarkan kehangatan welas asih. Dan, tentu saja kewelas-asihannya itu bukan saja telah mengubah diriny; ia telah mengubah kehidupan ribuan orang juga. Beliau adalah bukti yang hidup bahwa kepedulian sosial tidak musti menjadi sebuah hambatan dalam praktek meditasi ataupun dalam perkembangan spiritual.
            Saya mengenal Hinatiyana Dharmaloka secara dekat tiga tahun sebelum kematiannya di tahun 1981; dan, beliau barangkali adalah biku yang paling maju tingkat pencapaian spiritualnya di Sri Lanka. Lembut, bijaksana dan tanpa keakuan, beliau adalah contoh yang amat jarang untuk seorang  Mettacetovimutthi.  Tampaknya, jauh dari menghambat dirinya, karyanya di Gramasamvaradhana Movement pada tahun 1930-an dan keterlibatan sosialnya telah menjadi sebuah fondasi bagi pencapaian-pencapaian spiritualnya yang sangat jelas di kemudian hari.
Tetapi, kebanyakan penganut tradisi Therawada justru tidak memperoleh itu. Mereka hanya berfikir bahwa meditasi adalah duduk dengan kaki yang dilipat, bahwa cinta kasih adalah sebuah latihan pikiran yang dilakukan semata-mata untuk kebaikan diri sendiri dan bahwa kemurahan hati semata-mata adalah memberikan sesuatu untuk para biku.
Hilangnya Cinta Kasih
Buku H.B.Aronson berjudul Love and Sympathy in Therawada Buddhism  menghimpun hampir setiap referensi mengenai cinta kasih, welas asih, rasa kasihan, simpati, empati dan kebaikan dalam Tipitaka Pali dan komenteri-komenterinya. Buku ini juga merupakan hasil dari sebuah riset yang teliti dan menyeluruh dan, oleh sebab itu, ia menarik untuk dibaca.
Buku ini memperlihatkan secara tanpa sengaja betapa kurangnya pemahaman tentang cinta kasih di dalam tradisi Therawada. Marilah kita melihat temuan-temuan Aronson sekarang.
Salah satu diskursus Buddha yang lebih signifikan tentang cinta kasih, yang implikasi-implikasinya penting bagi ekspresi cinta kasih secara praktis, adalah Desaka Sutta.[§§§§§§§]*  Dalam Sutta ini, Buddha mengatakan, ‘Para biku, mereka yang melindungi diri sendiri, juga melindungi orang lain; dan, mereka yang melindungi orang lain, juga melindungi diri sendiri. Tetapi, bagaimanakah mereka yang melindungi diri sendiri juga melindungi orang lain? Dengan mengulangi dan terus-menerus mempraktekkan meditasi. Dan, bagaimana pula mereka yang melindungi orang lain, juga melindungi diri sendiri? Dengan kesabaran, dengan tidak mencelakai orang lain, dengan cinta kasih dan dengan memberikan perhatian yang melindungi.’ (S.V,169). 
Bila ada ucapan Buddha yang lebih bermakna untuk diuraikan lebih jauh lagi dan yang lebih mengisyaratkan agar implikasi-implikasinya dieksplorasi dan diterapkan secara lebih mendalam lagi, maka sudah barang tentu inilah ucapan Buddha itu. Namun, dalam komenterinya mengenai sutta itu, Buddhaghosa mengatakan bahwa melindungi orang lain hanyalah berkaitan dengan pencapaian ketiga jhana pertama untuk diri kita sendiri; dan, beliau tidak mengatakan apapun lagi tentang hal tersebut.
            Seperti kita lihat di atas, dalam Mahaparinibbana Sutta, Buddha memuji-muji Ananda karena mempraktekkan ‘cinta kasih dengan tubuh.’ Lagi-lagi, kita dapat belajar dengan melihat bagaimana Buddhaghosa memaknai frase tersebut. Berikut ini adalah definisi Buddhaghosa tentang perbuatan yang diliputi oleh cinta kasih seperti diterjemahkan oleh Aronson:  
Aktivitas-aktivitas fisik yang penuh cinta kasih adalah perbuatan-perbuatan fisik yang dilakukan dengan sebuah pikiran yang dipenuhi cinta kasih…Ini disyaratkan kepada para biku untuk dilakukan; tetapi, umat awam juga boleh mempraktekkannya. Ketika para biku, termotivasi oleh sebuah pikiran yang dipenuhi cinta kasih, menjaga tingkah lakunya, ini dapat dikatakan aktivitas fisik mereka yang dipenuhi cinta kasih. Bila para perumahtangga pergi ke tempat penyimpanan relik atau ke pohon Bodhi untuk tujuan penghormatan, pergi menyampaikan sebuah undangan kepada para biku, pergi menjumpai para biku ketika para biku memasuki sebuah desa untuk pindapatta, mengambilkan mangkuk untuk mereka, menunjukkan tempat duduk untuk mereka, atau menemani mereka dan lain sebagainya, semua aktivitas ini dapat dinamakan aktivitas-aktivitas fisik yang dipenuhi dengan cinta kasih.’
Jadi kita lihat disini bahwa satu-satunya cara yang diusulkan oleh Buddhaghosa bagi umat awam untuk mempraktekkan cinta kasih dengan tubuh adalah dengan cara menyembah sebuah tulang peninggalan yang sudah tua atau menyembah sebuah pohon dan, tentu saja, dengan melayani para biku. Sedangkan untuk para biku sendiri, cara terbaik untuk mempraktekkan cinta kasih dengan tubuh adalah dengan mengikuti Winaya secara amat teliti.
Selama dua ribu tahun, orang telah membaca ucapan-ucapan Buddha, merenunginya, menganalisanya dan menguraikan maknanya; namun, inilah yang terbaik yang dapat dipersembahkan oleh tradisi Therawada. Sungguh sebuah gambaran yang sangat menyedihkan; dan, ini dapat menjelaskan secara panjang lebar mengapa cinta kasih dan welas asih yang sesungguh-sungguhnya memang bukanlah karakteristik dari tradisi Therawada. 
            Hingga kira-kira pertengahan buku tersebut (hal. 64), Aronson memperhatikan bahwa, walaupun acapkali kata-kata seperti cinta kasih dan welas asih dipakai dalam bahan-bahan yang dipelajarinya, tidak ada disebutkan sedikit pun tentang upaya-upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan apapun juga yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai  perbuatan yang dipenuhi kebaikan dan cinta kasih.
Ketika berusaha menjelaskan kekosongan tersebut, Aronso mengatakan, ‘...dapatlah diasumsikan bahwa mengembangkan sikap-sikap ini (yaitu brahma wihara) dapat memberikan pengaruh pada sikap dan skop kegiatan persaudaraan yang nyata dari seorang praktisi meditasi. Seorang praktisi meditasi yang tengah mengembangkan cinta kasih dan welas asih universal yang terpusat akan benar-benar tersentuh untuk menolong semua orang, tanpa kecuali.’
Tetapi, apakah hal ini dapat diasumsikan demikian?  Komenteri-komenteri itu tentu saja tidak berasumsi seperti itu. Dalam ribuan halaman di dalamnya, komenteri-komenteri itu sedikitpun tidak menyinggung hal tersebut sama sekali; bahkan, menyiratkannya pun tidak. Ada  definisi-definisi teknis tentang Metta dan Karuna yang berpanjang-panjang; ada pembicaraan-pembicaraan yang kompleks tentang pada tingkat absorpsi seperti apa mereka semestinya untuk dapat memberikan akses dan instruksi-instruksi secara mendetil mengenai bagaimana mempraktekkan Metta sebagai sebuah aktivitas meditasi yang formal. Ada referensi-referensi yang banyak mengenai bagaimana melayani para biku, memberi dana makanan kepada biku dan memuja mereka serta kisah-kisah tentang para umat yang menjual anak-anak mereka ke perbudakan supaya mereka dapat menyanggupi pemberian-pemberian untuk para biku.
Namun, Aronson tidak dapat menemukan dalam komenteri-komenteri Therawada—yang jumlahnya empat ribu halaman itu—referensi apapun tentang perlunya bersifat ramah tamah kepada orang asing, memberi makan orang lapar, melindungi para janda dan yatim piatu, menjaga orang sakit, menghibur orang yang sedang berkabung atau hal-hal sejenis lainnya. Hal-hal ini lazim disebutkan sebagai contoh-contoh dari cinta kasih dan welas asih atau sebagai akibat dari mempraktekkan cinta kasih dan welas asih.
            Tetapi, semua ini berasal dari abad ke-5 M. Mungkin praktek dan teori dalam tradisi Therawada telah sedikit bergerak maju sejak saat itu. Jadi, marilah kita melihat Brahmavihara Dhamma, sebuah eksposisi modern mengenai cinta kasih dan welas asih yang ditulis oleh Mahasi Sayadaw. Mahasi mungkin adalah master Therawada yang paling terkenal dan paling berpengaruh dari abad sebelumnya.
Tidak ada di mana pun juga di dalam risalah tersebut dikatakan oleh Mahasi Sayadaw bahwa bersikap baik dapat membantu seseorang untuk mengembangkan cinta kasih ataupun welas asih. Hanya di dua tempat saja dalam risalah tersebut dimana penulisnya menyinggung bahwa memberikan bantuan praktis kepada orang lain dapatlah merupakan sebuah manifestasi dari cinta kasih dan welas asih. Di tempat yang pertama, ia memuji-muji seorang laki-laki Burma yang dikenalnya yang dahulu sering memberi makan anjing-anjing liar; dan, di tempat kedua, pada halaman 192, ia secara singkat membicarakan perbuatan merawat orang sakit. Ini pun diikuti dengan sebuah paragraf panjang dimana pembaca diperingatkan bahwa membantu orang-orang yang kurang beruntung dapat menyebabkan anda mengkhawatirkan mereka, kekurangan tidur atau bahkan ‘menderita kaku-kaku di tungkai dan lengan.’
Untuk membuat agar pesan tersebut dapat difahami—yakni, bahwa bila seseorang meninggalkan bantalan meditasinya untuk menolong orang lain, maka hal ini dapatlah merugikan kebaikan duniawi dan spiritualnya—Mahasi menceritakan sebuah insiden dramatis yang diambil dari kehidupan nyata. Saya akan mengutipnya sebagai berikut:
Pada suatu saat, seorang dokter dikatakan mengidap penyakit maag karena ia terlalu memperhatikan para pasien yang sakit sehingga ia lupa makan secara teratur. Dokter tersebut akhirnya mati pada usia muda akibat penyakit perutnya tersebut. Disini, Karuna, rasa kasihan dan welas asih ternyata dapat menghalangi kebahagiaan kita sendiri. Hal ini sesungguhnya benar.
Begitulah sifat mementingkan diri sendiri, yang ditandai dengan perhitungan untung-rugi, yang dipandang sebagai welas asih—menurut master Therawada terbesar saat ini.[********]
Ketika mengadakan perjalanan untuk mengajar di Malaysia dan Singapura, saya menemukan enam belas buku tentang Metta Bhavana yang bersirkulasi di dalam komunitas Thravada, baik yang dijual maupun yang diberikan secara cuma-cuma. Namun, tidak ada satu pun dari buku-buku tersebut yang menyinggung Metta lebih dari sekedar memancarkan pikiran-pikiran ataupun harapan-harapan yang baik. Tidak satu pun dari buku tersebut yang mendeskripsikan Metta secara positif sebagai sebuah kekuatan untuk kebaikan, tetapi hanya secara negatif sebagai lawan (antidote) untuk kebencian. Semua buku tersebut menyinggung daftar standar yang biasa yang terdiri dari sebelas keuntungan yang akan diperoleh mereka yang bermeditasi bila melakukan Metta Bhavana; sedangkan, tak satu pun dari buku-buku tersebut yang membicarakan keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh oleh orang lain bila seseorang mempraktekkan cinta kasih terhadap mereka.
Yang terbaik dari semua buku tersebut—karya Venerable Visuddhacara—ditulis dengan penuh pemikiran dan sangat praktis. Di belakang sampul buku tersebut terdapat sebuah kutipan dari Henry Van Dyke yang bunyinya ‘Cinta kasih bukanlah mengambil melainkan memberi.’
Tentu saja, cinta kasih lebih dari sekedar memberikan sesuatu; namun, kebanyakan orang akan setuju bahwa memberi adalah sebuah aspek penting dari cinta kasih. Memberikan waktu, memberikan materi, mengulurkan tangan untuk membantu, memberi semangat, mendengarkan penderitaan orang, dan lain-lain dapatlah merupakan ungkapan-ungkapan dari sebuah hati yang penuh cinta kasih. Namun demikian, selain memancarkan pikiran yang baik,  Visuddhacara lupa menyebutkan di dalam bukunya itu bahwa masih ada jenis pemberian atau sharing (berbagi) yang lain.
Lebih jauh lagi, seperti juga halnya dengan terbitan-terbitan yang lain, buku ini mempunyai sebuah bagian yang membicarakan keuntungan-keuntungan yang anda akan dapatkan dari mempraktekkan Metta, tetapi tidak menyinggung apa keuntungan-keuntungan yang akan didapatkan orang lain bila anda mempraktekkan Metta kepada mereka. 
            Saya akan membicarakan sebuah lagi penerbitan kontemporer untuk menjelaskan bagaimana cinta kasih itu dimengerti di dalam tradisi Therawada; yakni, Majalah Bhavana—organ perkumpulan bernama Bhavana Society di Amerika Serikat. Venerable Henapola Gunaratana, seorang biku Therawada yang terbuka, aktif dan secara spiritual memiliki wawasan luas, memimpin perkumpulan ini. Ven. Gunaratana telah tinggal di Barat selama bertahun-tahun, kebanyakan murid beliau adalah orang-orang Barat dan ia dapat diharapkan mengambil sebuah pendekatan Barat yang lebih kreatif dan modern terhadap Therawada.
Terbitan Musim Gugur 2001 dari Majalah Bhavana dikhususkan untuk tema Metta. Dalam tajuk rencananya, para pembaca diberitahu bahwa semua artikel dalam terbitan tersebut akan berkaitan dengan ‘hubungan antara duduk dan bergerak, antara diri kita dengan semua mahluk hidup.’ Ini kedengarannya sangat menjanjikan. Tetapi, begitu kita mulai membaca, kita akan temukan artikel-artikel dengan judul-judul yang bagus sekali seperti ‘Mengembangkan Hati,’ dan ‘Tarian Cinta dan Kebijaksanaan’; dan, ada banyak ungkapan seperti ‘memeluk orang lain dengan Metta,’ ‘rileks di dalam pancarannya’  dan ‘berdamai dengan kelemahan-kelemahan kita.’  Yang terakhir ini kedengarannya sedikit kurang menjanjikan.
Dalam diskursus Therawada modern tentang Metta, jenis bahasa yang kesannya sentimental secara berlebihan seperti ini acapkali dijadikan sebuah pengganti bagi pedoman dan himbauan yang jelas agar orang melakukan lebih daripada sekedar duduk-duduk saja, agar orang melakukan sesuatu yang praktis untuk mereka-mereka yang sedang membutuhkan, dan agar orang mengekpresikan Metta melalui tindakan-tindakan kebaikan serta mengembangkan Metta dengan mencari dan menolong orang lain. Cukup menyedihkan bahwa kiranya Majalah Bhavana juga melakukan hal demikian itu.
Walaupun telah dijanjikan di dalam tajuk rencana dan pun telah diklaim bahwa ‘Metta bukanlah sesuatu yang kita lakukan dengan duduk di atas bantalan meditasi di suatu tempat, sambil berfikir, berfikir, dan berfikir,’ namun tidak disebutkan dalam keseluruhan majalah edisi tersebut tentang pentingnya melakukan sesuatu yang lain di luar itu.
Pada halaman 16, Venerable Gunaratana mengalamatkan sebuah surat terbuka kepada para pembacanya mengenai isu pemboman teroris akhir-akhir ini di New York. Beliau mengatakan ,‘Kami meminta agar semua teman dan anggota dari masyarakat Buddhis kita agar mengirimkan pikiran-pikiran mereka yang dipenuhi cinta kasih kepada semua orang yang menderita akibat kehilangan teman dan sanak saudara serta kepada semua orang yang menderita, baik secara jasmani maupun rohani.’
Venerable Gunaratana tidak menyarankan agar mereka melakukan apapun juga kecuali itu. Beliau tidak mengusulkan, misalnya, agar anggota masyarakat Buddhis tersebut segera memberikan sumbangan untuk dana amal secara sengaja guna membantu para keluarga korban. Seperti lazimnya norma-norma yang berlaku dalam Therawada, mengirimkan pikiran-pikiran yang baik tatkala sedang duduk bermeditasi di atas bantalan duduk sudahlah cukup.
Teolog Jerman Albert Schweitzer mengatakan bahwa salah satu kelemahan agama Buddha adalah bahwa agama ini mengajarkan hanya apa yang dikatakannya sebagai gedanken mitleid, ‘welas asih yang dipikirkan semata-mata.’ Sepanjang berkaitan dengan Therawada, akan sulit sekali untuk tidak setuju dengan Albert Schweitzer.
Patung Buddha yang Dicetakkan Kembali
Agama Buddha Therawada sedang mengalami krisis dimana-mana. Semua negara Therawada menderita akibat demokrasi yang korup dan tidak stabil, kediktatoran maupun perang saudara. Kebanyakan dari mereka pun sedang menjalani sebuah masa dimana pembangunan semerawut dan perubahan sosial terjadi begitu cepatnya. Orang melirik ke Sanggha untuk memperoleh jawaban dan bimbingan; tetapi, yang mereka dapatkan adalah yang itu-itu juga. Seperti kaum bahmana pada zaman Buddha, Sanggha tersebut tampaknya hanya dapat ‘mengatakan apa yang telah dikatakan dan menyanyikan apa yang telah dinyanyikan.’
Kebanyakan tokoh-tokoh agama Buddha begitu jauh dari realita; sehingga, mereka bahkan tidak mengetahui telah berada di tengah-tengah sebuah krisis. Prof. L.O.Gomez menyimpulkan keadaan tersebut dengan baik sekali sebagai berikut:
‘Lebih sering ketimbang tidak, umat Buddhis modern hidup secara nyaman dalam lindungan rumusan-rumusan solusi siap-pakai yang diturunkan kepada mereka oleh nenek moyang mereka; mereka tidak hanya lupa terhadap posisi agama Buddha yang berbahaya dewasa ini, tetapi juga terhadap persoalan-persoalan yang ditimbulkan dari doktrin agama Buddha sendiri sebagai sebuah agama dunia di abad ini dan terhadap isu-isu yang menghampiri agama Buddha hari ini.’
Permintaan-permintaan untuk segera dilakukan reformasi mulai terdengar; tetapi, solusinya dilihat semata-mata bahwa kita harus kembali mempraktekkan Winaya secara lebih ketat lagi; yakni, dengan mempersiapkan para biku untuk hidup di abad ke-2 Sebelum Masehi daripada untuk hidup di abad ke-21 Masehi. Perubahan yang berarti tak mungkin dapat terjadi.
Dorongan untuk melakukan reformasi biasanya dibangunkan dengan mempertegas kesalahfahaman-kesalahfahaman, mengkritik malpraktek, dan mencari-cari biang kerok; dan, orang-orang di Asia Tenggara mempunyai sebuah antipati kultural yang kuat terhadap ketaksetujuan dan perdebatan yang dilakukan secara terbuka.
Di Sri Lanka, kritik terhadap agama Buddha yang paling didasari niat baik sekali pun akan didiamkan dan dicap sebagai ‘sebuah rencana Kristen untuk menghancurkan agama Buddha.’ Sikap mereka untuk menolak mendengar apapun yang negatif tentang Therawada, terutama lagi mengenai Sanggha, hampir-hampir boleh dikatakan sudah total.   
            Nasib yang dihadapi Mahayana di Korea, Jepang, Singapura, dan, hingga tahap tertentu juga Taiwan—negara-negara yang mengalami proses modernisasi pada tahun 50-an dan 60-an—memperlihatkan kepada kita apa yang akan terjadi terhadap Therawada. Statistik dari negara-negara tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar kecenderungannya untuk berpindah ke sekularisme ataupun pindah ke agama Kristen.
Bila bukti diperlukan untuk menunjukkan betapa Therawada gagal dalam menjawab kebutuhan-kebutuhan emosional dan spiritual dari banyak orang Sri Lanka modern, seseorang cukup melihat betapa semakin populernya pemujaan terhadap Sai Baba dan Kataragama (Dewa Perang Hindu) dalam tiga puluh tahun terakhir ini. Para petani dan rakyat biasa di negara-negara Therawada mungkin masih setia dengan agama mereka, tetapi anak-anak muda, kaum terdidik dan kaum intelektual akan pindah agama bila tidak ada perubahan-perubahan. Proses ini telah terjadi di Sri Lanka dan, hingga taraf tertentu, juga di Thailand; dan, dengan terjadinya modernisasi secara perlahan-lahan, Burma pun akan mengalaminya cepat atau lambat. 
Yang menyedihkan sekali adalah bahwa sebenarnya ajaran-ajaran Buddha dalam Pali Pitaka barangkali lebih mampu dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer ketimbang ajaran-ajaran kuno lainnya. Tetapi, sayangnya, bukan psikologi praktis yang terdapat di dalam Pali Pitaka, bukan pula semangat bertanya (spirit of inquiry), ataupun implikasi-implikasi sosial dari etika ataupun dari pandangan humanistiknya yang diberi penekanan di Asia. Di Asia, tradisi Therawada justru sangat bersungguh-sungguh mengembangkan formalisme yang tak masuk akal, tidak mempedulikan persoalan sosial dan sangat akomodatif terhadap jenis-jenis tahyul yang paling parah sekalipun. 
            Mungkin kelihatannya, dari semua yang telah saya katakan di atas, bahwa barangkali saya setuju agar patung Buddha yang sudah begitu tua itu—dengan segala keretakannya, bagian-bagiannya yang telah hilang dan penyokan-penyokannya—agar dibuang saja ke atas tumpukan barang-barang yang tak diperlukan lagi serta meninggalkannya di sana demikian saja.  Tetapi, mungkin ada alternatif yang lain. Bahan logam yang dijadikan bahan untuk pembuatan patung tersebut mungkin saja telah rusak dan berkarat; namun, ia masih mempunyai nilai yang tak ternilai. Gaya pembuatan patung tersebut barangkali bertentangan dengan selera modern; tetapi, seorang pematung yang ahli dapat membuat sebuah patung yang mempunyai bentuk yang lebih kontemporer dan indah. Patung Buddha tua dari logam tersebut perlu dilebur kembali dan dicetakan kembali dalam sebuah cetakan yang sama sekali baru.
Apa yang akan terjadi terhadap tradisi Therawada di Asia tentu saja merupakan sesuatu yang akan kita lihat bersama; tetapi, sekarang ini tanda-tanda yang ada tidaklah membesarkan hati kita sama sekali. Walaupun menekankan pentingnya perubahan sebagai sebuah konsep, kebanyakan penganut Therawada mempunyai—apa yang dikatakan oleh Henry Olcott sebagai—‘sebuah resistensi pasif yang terbawa sejak lahir terhadap inovasi apapun juga’; dan, ini terutama benar sekali dalam kaitannya dengan Sanggha.
Namun, keadaan di luar negeri tradisional Therawada—Eropah, Amerika, Australia, India dan bagian-bagian lain dari Asia Tenggara—sangatlah berbeda. Tempat-tempat tersebut menawarkan sebuah kemungkinan terjadinya pembaharuan, kemungkinan untuk mengekplorasi Dharma (terlepas dari hal-hal yang telah ditambahkan ke dalamnya selama berabad-abad yang lampau), dan kemungkinan untuk menarik makna dan implikasi yang baru atau apa yang masih dapat dihidupkan kembali.
Sayangnya, dengan beberapa pengecualian, hal tersebut tampaknya belumlah terjadi. Kebanyakan para penganut tradisi Therawada yang baru tersebut, bukannya mengambil ajaran Dharma yang bersifat abadi, mereka malahan hanya mengikuti begitu saja asumsi-asumsi yang dapat lapuk oleh waktu dan bentuk-bentuk yang masih bertahan di negeri-negeri asal Therawada itu.
            Saya kadang-kadang mendengar dari mereka yang mengetahui persis keadaan sebenarnya yang terjadi dalam tradisi Therawada itu bahwa, bila Therawada lenyap di Asia, setidak-tidaknya ia akan bertahan hidup di Barat. Ini mungkin saja merupakan sebuah pemikiran yang melegakan; tetapi, apakah hal tersebut mungkin terjadi?
Salah satu karakteristik kelompok-kelompok Therawada di Barat yang paling kasat mata adalah betapa sedikitnya mereka itu, betapa lambatnya mereka berkembang dan betapa seringnya mereka itu menghilang kekuatannya. Hal ini sangat jelas sekali terutama bila dibandingkan dengan minat yang berkembang di Barat terhadap spiritualitas dari Timur di tengah-tengah masyarakat umum dan keberhasilan Agama Buddha Tibet, Zen, Vedanta dan Yoga.
Kelompok-kelompok Therawada memang masih menarik perhatian banyak orang; tetapi, suasana yang kurang membangkitkan semangat dan kurang ramah yang biasanya mereka pancarkan juga berarti bahwa hanya beberapa orang saja yang akan terdorong untuk tinggal.  Kehadiran seorang biku di sana pun acapkali merupakan sebuah masalah pula. Hal ini menjadi pusat dari perhatian semua orang. Sebagian besar kegiatan dalam kelompok itu kemudian hanya melayani kebutuhan-kebutuhan biku tersebut dan bila diadakan acara pengajaran Dharma, maka itu pasti akan dilakukan oleh biku yang sama juga.
Aura kesaktian dan otoritas yang menyelimuti biku tersebut akan menghambat orang lain untuk maju ke depan dan menjadi pengajar-pengajar Dharma. Bila biku tersebut tidak hadir, maka semangat kelompok tersebut menjadi terhenti seketika; bila ia pergi atau meninggal dunia, maka kelompok itupun akan memudar perlahan-lahan.
Persoalan lainnya adalah terlalu banyak biku Asia yang berada di negara-negara Barat bukan untuk tujuan melakukan siar Dharma. Di antara tujuan-tujuan mereka yang kurang mulia tersebut adalah: untuk mendapatkan PR atau kewarganegaraan, menyelesaikan pendidikan mereka dan kemudian lepas jubah dan—dalam hubungannya dengan para biku yang pergi ke Taiwan, Malaysia dan Singapura—mereka juga berniat  untuk mengumpulkan uang.
Bahkan para biku yang benar-benar ingin mengajarkan Dharma di Barat, mereka terlalu lambat dalam mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk berkomunikasi dengan orang-orang Barat.
            Saya kebetulan bergabung dengan sebuah kelompok Therawada di Australia pada usia tujuh belas tahun. Ketika saya mengunjungi kelompok tersebut lagi sekitar empat belas tahun kemudian, jumlah anggotanya masih tetap saja sama. Mereka semuanya sudah berbeda kecuali tim inti yang kecil; dan, laki-laki yang sebelumnya adalah presiden perkumpulan tersebut pun telah berpindah ke agama Katolik.
Di London saya diundang untuk berbicara selama beberapa minggu pada sebuah kelompok Buddhis yang telah berdiri selama hampir empat puluh tahun. Jumlah terbesar dari mereka yang hadir mendengarkan ceramah-ceramah saya hanyalah sebanyak sebelas orang dan kepada saya diberi tahu bahwa inilah jumlah yang biasa bila ada seorang biku yang ceramah; jumlah yang datang bahkan lebih sedikit lagi kalau yang berceramah adalah seorang umat awam.
Saya tahu di Singapura ada sebuah Buddhist Center yang mendatangkan para biku dari Sri Lanka secara tetap selama kurang lebih dua puluh tahun; tetapi, ia tidak pernah menarik pengunjung lebih dari beberapa orang. Namun, secara kebetulan, mereka akhirnya dapat mendatangkan seorang Lama Tibet; dan, dalam waktu delapan belas bulan saja, tempat tersebut menjadi hidup kembali. Sekarang ini, Buddhist Center tersebut telah menjadi salah satu pusat kegiatan Buddhis yang paling besar dan paling aktif di Singapura.
Wihara-wihara berbau etnis di Barat mungkin sekali mempunyai umat dalam jumlah yang banyak sekali; tetapi, mereka ini biasanya terdiri dari orang-orang Asia yang bekerja di Barat. Kebanyakan aktivitas mereka pun bersifat ritualistik dan pun dilakukan dalam bahasa-bahasa Asia—artinya mereka hanyalah menarik perhatian segelintir orang Barat saja. Segera setelah generasi orang Asia yang kedua dan ketiga menjadi dewasa dan mereka mempunyai harapan-harapan yang khas Barat dan mereka berbicara dalam bahasa-bahasa Barat, mereka pun akan menemukan kenyataan bahwa wihara-wihara etnis tersebut tidak banyak dapat memberikan apapun kepada mereka lagi. Dalam dua generasi ke depan, wihara-wihara itu pun perlahan-lahan akan hilang.
Sebenarnya, para penganut Therawada dari Asia yang berada di negara-negara Barat tidaklah lebih tertarik pada Dharma bila dibandingkan dengan saat-saat ketika mereka masih berada di negara asal mereka masing-masing. Kepedulian mereka yang terutama adalah terhadap etnisitas, tradisi dan untuk menghidupkan kembali kenangan-kenangan tentang negeri mereka.[††††††††]  Memang tidak ada yang salah tentang hal ini. Sebaliknya, hal ini pantas mendapat pujian. Tetapi, kenyataan ini tidak memberikan kontribusi apapun sepanjang menyangkut siar Dharma di luar kalangan mereka sendiri atau bahkan untuk generasi penerus mereka.
            Walaupun demikian, ada terdapat empat organisasi Therawada di luar negeri tradisional Therawada yang telah menarik cukup banyak orang dan, bahkan, memiliki sebuah profil internasional. Barangkali kita dapat belajar daripadanya dengan melihat apa kunci keberhasilan di balik vitalitas mereka yang dapat dikatakan sangat tidak Therawada tersebut.
Organisasi yang paling besar dan paling tersebar di Barat hari ini adalah yang didirikan oleh S. N. Goenka. Walaupun Goenka sejak awal menekankan bahwa apa yang ia ajarkan bukanlah Therawada atau, bahkan, bukan agama Buddha, namun cukup jelas bahwa ajarannya memang agama Buddha dan saya akan memperlakukannya seperti itu pula. Dalam beberapa hal, gerakan ini sangat khas Therawada. Gerakan ini sangatlah sekterian sekali. Meditasinya sangat berorientasi pada teknik dan sangat didasarkan sekali pada Abhidharma.
Goenka menggabungkan berbagai ajaran rakyat tentang superstisi dan konsep-konsep yang pseudo-ilmiah ke dalam prakteknya (teknik-teknik ‘murni’ and lokasi, vibrasi, mengalami setiap atom, dst.). Namun dalam hal-hal lain, gerakan tersebut tidaklah khas. Aktivitas utamanya adalah meditasi. Gerakan tersebut adalah sepenuhnya gerakan umat awam biasa. Ia memiliki aroma siar agama dan terlibat dalam pekerjaan sosial. Goenka sendiri adalah seorang manusia yang sangat menyemangati; dan, ia pun telah mengikutkan dorongan dan ketajaman bisnisnya ke dalam gerakannya itu. Ia pun menaruh perhatikan kepada upaya untuk mendukung dan melatih guru-guru meditasi agar kelak dapat menggantikannya. Faktor-faktor ini, saya kira, berada di belakang keberhasilan gerakan tersebut sejauh ini dan tampaknya akan berlanjut bahkan setelah Goenka hilang dari penglihatan kita.
            Pada tahun 1977, para murid Ajahn Chah yang pertama tiba di Barat; dan, sejak itu, mereka telah mendirikan tiga belas wihara di seluruh dunia dan telah mendapatkan pengikut yang banyak. Di Inggris, misalnya, hampir terdapat empat puluh kelompok meditasi yang berhubungan dengan gerakan ini. Walaupun praktek Winayanya masih fundamentalis, pemusatan perhatiannya masih pada kebikuan dan kemelekatannya yang kuat pada budaya Thailand.
Keberhasilan gerakan Ajahn Chah tersebut betul-betul merupakan semacam kejutan. Keberhasilan tersebut dapat dijelaskan terutama dari jumlah guru-guru inspirasional dan sangat berbakat yang dihasilkan oleh gerakan tersebut sejauh ini. Guru-guru ini sanggup menarik pengikut yang banyak dikarenakan oleh standar etika mereka yang tinggi, komitmen mereka dan cara mereka menyajikan meditasi secara praktis dan memikat.  Kemampuan mereka dalam merasionalisasi praktek Winaya yang fundamentalis itu telah sanggup pula dalam membuat mereka-mereka yang sebelumnya mungkin akan menolak hal-hal seperti itu merasa nyaman.
Bagaimana gerakan tersebut akan terus berjalan dalam jangka panjang tentu akan kita lihat bersama. Bila ia dapat berlanjut dalam memikat calon-calon biku dan dalam menghasilkan guru-guru yang inspirasional, maka gerakan tersebut akan terus berkembang. Bila gerakan tersebut tak sanggup dalam melakukan hal tersebut, ia mungkin harus semakin bergantung pada biku-biku dari Thailand dan akan secara perlahan menurun dan menjadi sebuah organisasi etnis yang melayani kebutuhan-kebutuhan ritual orang-orang Asia yang bekerja di Barat.
Masalah yang secara potensial lebih serius lagi dari gerakan ini adalah bahwa semua wihara Ajahn Chah di Barat benar-benar bergantung pada dana-dana yang terkumpul di Thailand. Bila karena alasan tertentu uang tersebut dihentikan, maka gerakan tersebut kemungkinan tidak akan sanggup lagi bertahan.
            Dua gerakan lainnya di Barat yang sangat menjanjikan dan berdasarkan ajaran Buddha dari Tipitaka Pali adalah  Insight Meditation Society (IMS) di Massachusetts dan Spirit Rock Meditation Center (SRMC) di California. Sejak didirikan pada tahun 1976, IMS telah perlahan-lahan dan secara diam-diam telah bertumbuh. Dewasa ini, ia telah memiliki lebih dari seratus center dan kelompok-kelompok meditasi yang berafiliasi dengannya di Amerika dan Kanada.
Pada tahun 1984, Jack Kornfield, salah seorang pendiri IMS yang mula-mula, memulai Spirit Rock Meditation Center dan kedua kelompok tersebut masih mempunyai hubungan yang akrab satu sama lain. Semua pendiri IMS dan SRMC adalah umat Buddhis laki-laki dan perempuan yang biasa namun yang telah berguru dengan banyak guru di Asia dan mereka membawa apa yang mereka pelajari kembali ke Barat. Baru-baru ini IMS meresmikan Barre Institute of Buddhist Studies dimana mereka-mereka yang mempraktekkan meditasi dapat datang dan mempelajari Psikologi Buddhis dan Filsafat Buddhis dan disiplin spiritual lainnya.
Walaupun kedua grup tersebut mengambil banyak inspirasi dari Tipitaka Pali, mereka juga mengakomodasi tradisi-tradisi yang berhubungan dengan agama Buddha. Tetapi, mereka tidak sekedar menyampaikan retorika Zen, Vajrayana, Krishnamurti dan psikologi kontemporer, mereka menggunakan ajaran-ajaran tersebut dan disiplin-disiplin ilmu tersebut untuk membantu mereka memasukkan pengertian-pengertian yang lebih mendalam ke dalam kategori-kategori Buddhis dan mendekatinya dari perspektif yang berbeda. Hasilnya adalah sebuah pendekatan yang segar, dinamis dan praktis terhadap meditasi dan kehidupan spiritual.
Juga sama pentingnya adalah bahwa IMS dan SRMC mencoba secara kreatif menerapkan nilai-nilai Dharma terhadap kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan kontemporer.  Kode Etik Guru mereka adalah salah satu dari begitu banyak contoh untuk hal ini. Kedua-duanya IMS dan SRMC dijalankan di sekitar sebuah komunitas guru-guru dan proses pengambilan keputusan terhadap segala masalah dilakukan secara terbuka dan transparan dan bukan, sebagaimana yang lazim dilakukan dalam struktur dalam tradisi Therawada, dimana hanya satu orang, biasanya seorang biku, yang mendominasi.
            Dalam mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang sama dalam semua grup di atas, dua hal segera muncul dalam pikiran saya. Yang pertama adalah semua kelompok di atas itu menekankan pentingnya meditasi. Orang-orang Barat terutama tertarik dengan spiritualitas yang praktis dan bukan teoritis; dan, bila spiritualitas disajikan dengan cara yang menyemangati dan berarti, mereka akan terus berdatangan.
Yang kedua, baik kekuatan-kekuatan pendorong di balik semua gerakan tersebut maupun kebanyakan dari keanggotaan mereka tidaklah berasal dari latar belakang Therawada tradisional. Inspirasi di balik gerakan Ajahn Chah tentu saja berkaitan dengan Thailand, namun wihara-wiharanya di Barat seluruhnya dibangun oleh para biku keturunan Barat dan dijalankan oleh mereka maupun pegawai-pegawai yang keturunan Barat pula. Goenka dilahirkan di Burma dan berasal dari keluarga Hindu ortodoks dan seluruh pendiri IMS dan SRMC adalah orang-orang Amerika.
Pengondisian kultural Therawada tampaknya seperti sebuah obat tidur yang mematikan kreativitas dan melemahkan kemampuan orang untuk melakukan apapun kecuali mengulangi pola-pola prilaku lama yang telah dikenal. Mereka yang bebas dari pengondisian semacam itu lebih mungkin mengambil inisiatif, menyesuaikan diri atau mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan baru.
Sebuah faktor yang sama dalam ketiga gerakan di atas yang barangkali sangat signifikan bagi keberhasilan mereka adalah bahwa ketiga gerakan tersebut di atas digerakkan oleh umat Buddhis awam. Fakta bahwa guru-guru awam tidaklah ‘berpakaian jubah biku’ atau meminta dilayani dengan formalitas yang menciptakan batas-batas kiranya memberikan umat awam lainnya rasa percaya diri bahwa mereka pun dapat dan semestinya harus mengetahui dan mempraktekkan Dharma dengan sepenuhnya. Waktu, energi dan sumber-sumber dana yang semestinya terpakai dalam memenuhi kebutuhan para biku dapat diarahkan ke hal-hal yang lebih produktif lagi.  
Buddhayana
Kalau Dharma dalam Tipitaka Pali ingin diterima di Barat, ia harus melepaskan diri dari pengaruh tradisi Therawada yang memperlambat segala sesuatu. Setelah menguraikan bagaimana tradisi Therawada itu sesungguhnya dan mengapa tradisi Therawada seperti itu, saya ingin menawarkan setidak-tidaknya sebuah visi parsial mengenai bagaimana kemungkinan wujud sebuah agama Buddha yang baru itu. Namun sebuah Therawada yang telah direvitalisasi barangkali akan begitu berbeda dengan pendahulunya yang dangkal dan tanpa gairah sehingga akan terasa benar bila ia diberi nama yang lain.
Pemberian nama yang lain juga akan mempertegas sebuah keinginan yang sadar untuk mengembangkan penafsiran-penafsiran baru terhadap Dharma ketimbang sekedar menjiplak ataupun mencoba merasionalisasi penafsiran-penafsiran usang. Sebutan Therawada itu sendiri sebenarnya hanya muncul sekali saja dari Tipitaka Pali dimana, dapat dimengerti, sebutan itu disamakan dengan ‘hanya lip service, hanya repetisi belaka’  (M.I,164). Lalu, dengan nama seperti apakah agama Buddha yang baru tersebut mestinya dikenal?
Buddha memberi tahu para muridnya bahwa ketika orang lain bertanya agama apakah yang mereka praktekkan, mereka seharusnya mengatakan bahwa mereka adalah kaum Sakyaputtas, keturunan atau anak-anak dari keluarga Sakya. Ini adalah nama yang dapat membangkitkan rasa cinta kasih. Tetapi, sayangnya, sebutan itu tidak dipakai dengan baik dalam konteks modern.
Pada kesempatan lain, Buddha menamakan ajaran-ajarannya vibhajjavada,  doktrin analisis, sebuah nama yang mengingatkan kita akan beberapa aspek dari ajaran-ajarannya, tetapi tidak seluruhnya. Para pakar biasanya menjelaskan ajaran-ajaran Buddha dalam Tipitaka Pali sebagai agama Buddha Primitif atau agama Buddha Awal. Sebutan agama Buddha Primitif memberikan gambaran seorang biku yang tidak mengenakan jubah kuning melainkan tidak berpakaian sama sekali; sedangkan, sebutan yang kedua merujuk semata-mata pada dimensi yang bersifat sementara dari Dharma itu.
Navayana, Jalan Baru, lebih baik tetapi tidak seluruhnya benar. Agama Buddha yang direvitalisasi tersebut dalam bayangan saya barangkali bersifat kontemporer dalam banyak hal; tetapi, ia masih terus mengambil inspirasi dan pemupukan dari Buddha sendiri; yakni, dari masa lampau—sehingga dalam satu pengertian agama Buddha yang baru ini tidaklah baru sama sekali.
Sebutan Dharmavada atau Buddhavada  barangkali sedikit terlalu megah.
Untuk tujuan-tujuan di balik renungan-renungan inilah, saya akan memakai istilah  Buddhayana atau Jalan Buddha. Secara deskriptif sebutan tersebut sangatlah akurat. Ia mengikuti sebutan-sebutan yang ada sebelumnya dengan sangat alamiah—yakni, Hinayana, Mahayana dan Tantrayana—dan ia pun mudah sekali diucapkan. Namun, seperti apakah kiranya agama Buddha untuk abad ke-21 ini dan mudah-mudahan untuk abad-abad seterusnya?
            Buddhayana akan dipimpin oleh sebuah mahasabha yang diberi kuasa secara benar dan diakui secara sah, seperti Board of Governors dalam Gereja Methodist, Board of Jewish Deputies atau, barangkali lebih baik lagi, seperti Western Buddhist Ordor (WBO) dan Friends of the Western Buddhist Ordor (FWBO). Mahasabha tersebut adalah sebuah badan hukum yang memiliki semua kekayaan Buddhayana, asset-aset dan mewakili Buddhayana dalam segala hal.
Mahasabha tersebut terdiri dari empat orang anggota—seorang biku, seorang bikuni, seorang guru umat awam laki-laki dan seorang guru umat awam perempuan yang diangkat oleh wihara-wihara setempat, komunitas-komunitas monastik dan kelompok-kelompok lainnya dari mana mereka itu berasal; dan, mereka akan menduduki jabatan tersebut selama sepuluh tahun.
Kepresidenan mahasabha akan bergilir setiap sepuluh tahun sekali—sekali waktu seorang biku menjabat, setelah itu seorang bikuni, kemudian umat awam laki-laki, dst. Pengaturan ini akan menjamin agar semua kebutuhan dan kepentingan semua anggota dari masyarakat Buddhayana itu dapat diperhatikan dan didengarkan; dan, setiap pihak akan memberikan kontribusinya yang khas untuk perkembangan Buddhayana.
            Dalam Buddhayana, istilah Sanggha berarti ‘komunitas spiritual.’ Siapapun juga, baik biku/bikuni maupun umat awam biasa, namun yang benar-benar berkomitmen kepada Dharma akan dianggap sebagai anggota Sanggha. Hal ini sesuai dengan sebuah konsep yang sudah cukup implisit dalam sutta-sutta dimana Buddha mengatakan bahwa seorang biku, bikuni, umat awam laki-laki dan umat awam perempuan yang ‘sempurna dalam kebijaksanaan, berdisiplin, percaya diri, terpelajar, menjunjung tinggi Dharma dan hidup sesuai dengan Dharma’ menerangi Sanggha  (A.II,8). 
Semua biku dan bikuni akan menerima pendidikan penuh dalam agama Buddha, bahasa Pali, sejarah agama Buddha, psikologi dan filsafat sebelum mereka ditahbiskan. Ketika sedang menjalani pendidikan dan latihan, mereka akan diajarkan meditasi dan akan dinilai secara psikologis untuk melihat apakah mereka cocok untuk kehidupan kebikuan atau untuk peranannya sebagai guru. Capaian-capaian akademis akan menjadi penting dalam menseleksi calon-calon, tetapi perkembangan batiniah masing-masing juga sama pentingnya. Disiplin-disiplin fisik seperti hatha yoga  dan tai chi akan merupakan bagian yang integral dari pelatihan tersebut.
Akan terdapat tiga ordo atau nikaya di dalam Sanggha monastik dan Sanggha umat awam—ordo kontemplatif, ordo pastoral dan ordo akademik. Anggota-anggota dalam ordo yang pertama terutama terlibat dalam hidup menyendiri dan pengembangan diri sendiri, tetapi akan diharapkan memberikan kontribusi juga untuk masyarakat—misalnya, dengan mengadakan ritrit-ritrit meditasi dan melakukan pekerjaan-pekerjaan konseling dan resolusi konflik.
Mereka yang masuk dalam ordo pastoral akan menjalankan Buddhist centers lokal dan menerima pelatihan yang sesuai untuk mempersiapkan diri mereka dalam menjalankan peran ini.
Para biku dan bikuni dalam ordo akademik adalah para cendekiawan Buddhayana yang mengajar di universitas-universitas, melakukan penelitian, memberikan pendapat kepada mahasabha dalam kaitannya dengan masalah-masalah doktrinal, memberikan perspektif Buddhis mengenai berbagai-bagai isu bila dibutuhkan, juga bertindak sebagai Dharmaduta baik di dalam maupun di luar negeri.
Para biku dan bikuni yang termasuk dalam dua ordo yang terakhir ini haruslah melakukan meditasi secara rutin dan sekurang-kurangnya selama dua bulan dalam setiap tahunnya harus melakukan ritrit bersama-sama dengan mereka yang termasuk dalam ordo kontemplatif.
            Para biku dan bikuni Buddhayana haruslah benar-benar meninggalkan keduniawian setelah mereka ditahbiskan dengan memberikan semua aset mereka pada Sanggha dan apapun yang mereka dapatkan atau warisi di kemudian hari akan menjadi harta kekayaan Sanggha semata-mata. Winaya akan membimbing semua prilaku dari para anggota monastik. Peraturan-peraturan tertentu tidak akan diberi perhatian, seperti yang dilakukan dalam Therawada—hanya perbedaannya adalah peraturan-peraturan yang mana yang perlu diikuti dan yang mana yang tidak.
Para bikuni dan bikuni Buddhayana akan patuh pada Parajika dan aturan-aturan lainnya yang relevan dengan kehidupan monastik dan kehidupan modern. Akan ada Kode Etik Prilaku untuk menghadapi persoalan-persoalan yang belum disentuh oleh aturan-aturan yang ada; dan, kode etik ini akan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan.  Akan ada sebuah badan yang menerima keluhan-keluhan mengenai pelanggaran disiplin yang serius yang dilakukan oleh anggota monastik. Badan ini memiliki wewenang untuk menyelidiki semua tuduhan, mengusulkan hukuman-hukuman yang setimpal dan, bila memang perlu, juga memberikan rekomendasi agar yang bersangkutan dikeluarkan dari Sanggha.
Semua wihara bertujuan untuk menjadi mandiri. Para biku dan bikuni dari ordo kontemplatif akan menjalankan usaha-usaha dengan menghasilkan produk-produk padat karya yang bermutu tinggi, menjalankan tempat-tempat penginapan dan mengadakan ritrit. Usaha-usaha demikian itu dapat memberikan para anggota monastik kesempatan-kesempatan untuk mempraktekkan hidup berkesadaran dalam kehidupan sehari-hari, memberikan wihara masing-masing sebuah pemasukan uang dan memberikan kontribusi untuk masyarakat. Para biku dan bikuni akan memakai jubah mereka yang khas dan indah, tetapi bila diperlukan mereka dapat juga mengenakan pakaian biasa. Mereka akan memiliki cukup nalar sehat untuk mengetahui bahwa ‘bukan tampilan luaran yang menjadikan seseorang itu biku.’ (Dhp.266). 
            Bahkan, bila para penganut Therawada yang berpandangan luas membicarakan kemungkinan-kemungkinan untuk pendirian sebuah Sanggha bikuni, pertimbangan-pertimbangannya selalu saja akan berkisar antara bagaimana mengakurkan hal tersebut dengan apa yang dikatakan dalam Winaya. Pembicaraan-pembicaraan seperti itu dapat saja berlangsung hingga berabad-abad. Apapun yang dikatakan oleh Buddha atau yang diperkirakan telah dikatakan oleh Buddha, kaum Buddhayana percaya bahwa merupakan sebuah kesalahan bila mereka tidak mengikutkan perempuan dalam kehidupan monastik, bahwa tidaklah sesuai lagi pada abad ke-21 ini untuk meminta para perempuan mengambil posisi kedua di belakang laki-laki dan sangatlah merendahkan sekali memperlakukan mereka seolah-olah kaum perempuan mengidap penyakit menular.
Penganut Buddhayana akan mengambil pedoman, dalam menghadapi hal tersebut ataupun isu-isu lainnya, dari Kalama Sutta di mana Buddha mengatakan,  ‘Janganlah percaya pada sesuatu karena tradisi…janganlah percaya karena kata kitab suci…Tetapi hanya setelah engkau mengetahui sendiri bahwa hal-hal tertentu itu benar, baik, bermanfaat dan, bila diikuti dan dijalankan, akan mendatangkan kebahagiaan dan manfaat, barulah engkau mempercayainya.’ (A.I,188). 
Bila tidak ada juga solusi yang baik terhadap persoalan tersebut, maka para calon bikuni yang pertama akan ditahbiskan oleh para biku dan calon-calon selanjutnya akan mendapatkan dua kali pentahbisan. Bila para perempuan ini tidak diterima sebagai bikuni sesungguhnya oleh para penganut Therawada tradisional, penganut Buddhayana tidak akan terlalu menghiraukan hal tersebut. Dalam Buddhayana, para bikuni dan guru perempuan akan memperoleh penghormatan, pengakuan dan kesempatan sesuai dengan komitmen dan prestasi-prestasinya, sama seperti semua orang lainnya juga. 
            Karena cukup realistis untuk menyadari bahwa monastisisme tidak pernah akan menjadi penting dalam masyarakat Barat, Buddhayana akan mendirikan sebuah ordo yang terdiri dari para guru dari kalangan umat awam—sama seperti pastor-pastor dalam agama Kristen Protestan atau, lebih baik lagi, sama seperti Dharmacariya dan Dharmacariyini yang ada dalam WBO.
Beberapa di antara mereka boleh menikah, sedangkan yang lainnya dapat memilih untuk tetap sendirian. Banyak biku dan bikuni yang memang sebelumnya telah menjadi guru-guru awam sebelum mereka ditahbiskan. Setidak-tidaknya, seorang biku Sri Lanka yang berpandangan jauh dan luas telah mengambil langkah ke arah ini. Venerable Piyananda dari Los Angeles mempunyai sebuah program untuk melatih dan mentahbiskan umat awam yang telah mencapai keberhasilan tertentu; dan, ini bisa dijadikan sebuah model untuk upaya-upaya semacam itu.
Guru-guru awam dapat menjalankan wihara-wihara Buddhis di wilayahnya masing-masing dan dapat membantu para biku atau bikuni dalam melakukannya. Mereka dapat melibatkan diri dalam pekerjaan sosial dan akan menerima gaji dari umat. Guru-guru awam Buddhayana akan dikenal karena upaya-upaya mereka yang dilakukan secara diam-diam dan rendah hati untuk membantu orang lain, terutama pada bidang-bidang yang merupakan pokok-pokok ajaran Dharma yang kuat—pelatihan relaksasi, konseling, perlindungan terhadap hewan, pekerjaan-pekerjaan di tempat penampungan, dll. 
            Sama seperti para warga negara lainnya yang bertanggung jawab, para anggota monastik yang Buddhayana, guru-guru awam dan para umat biasa akan memiliki kecintaan yang mendalam terhadap negara mereka; tetapi, hal ini tidak akan membutakan mata mereka terhadap komitmen mereka yang terutama terhadap Dharma yang menembus sekat-sekat kewarganegaraan, suku bangsa dan budaya.
Karena sangat mengetahui bahwa Buddha memberikan ajaran untuk seluruh umat manusia, para penganut Buddhayana itupun akan melihat diri mereka sebagai warga negara dunia dan bekerja untuk kebaikan semua orang, bukan bekerja untuk ‘orang kami’ dan ‘negara kami’ semata-mata. Sebagai sebuah prinsip yang tak dapat diganggu-gugat, tidak ada seorang Buddhayanis pun, baik anggota monastik maupun umat awam biasa, yang mau terlibat dengan segala bentuk kekerasan. Bila diperintahkan sesuai dengan hukum yang berlaku untuk bergabung dengan angkatan bersenjata pada saat peperangan, mereka harus bersedia memberikan pelayanan sebagai tenaga medis, perawat atau pemegang tandu, tetapi tak pernah akan ikut-ikutan memanggul senjata atau berperang.
Kaum Buddhayana akan secara serius menjalankan kelima sila dan bukan hanya melafalkannya di luar kepala seperti yang acapkali dilakukan di dalam Therawada. Mereka tak pernah akan minum minuman keras atau merokok dan mereka akan memiliki kecendrungan yang kuat terhadap praktek vegetarianisme. Di antara sesama mereka, mereka akan senantiasa bersikap anjali (kedua tangan didekatkan dan kepala sedikit membungkuk ke depan) sebagai sebuah sapaan dan penghormatan yang anggun dan khas Buddhis. Bila diberi sapaan dan penghormatan dengan anjali, para biku dan bikuni akan membalasnya dengan cukup rendah hati dan santun.
            Setelah mengetahui bahwa penafsiran-penafsiran yang ada terhadap Tipitaka Pali hanya memiliki sedikit sekali wawasan yang dapat dipakai untuk mengembangkannya, Buddhayana haruslah cukup percaya diri untuk mencari  sokongan dan contoh-contoh dari sumber-sumber lain. Untuk lebih menghidupkan lagi upaya-upaya demi memahami dan mempraktekkan meditasi, Buddhayana akan berdialog dengan tradisi-tradisi Ch’an, Zen dan Dzogchen, dengan psikologi modern dan juga, barangkali, dengan ajaran-ajaran yang berasal dari orang-orang seperti Vimala Thakar. 
Dialog seperti itu sebenarnya tengah terjadi di Barat, terutama di Amerika Serikat, dan telah mendatangkan hasil. Dialog Kristen-Buddha telah berlangsung selama beberapa dekade; tetapi, itu biasanya merupakan inisiatif dan arahan dari umat Kristiani sendiri. Oleh sebab itu, tidaklah terlalu mengherankan bila merekalah yang akhirnya memperoleh keuntungan paling banyak dari dialog tersebut.
Kendatipun demikian, ada tiga wilayah dimana dialog dengan agama Kristen dapat bermanfaat untuk Buddhayana yang sedang muncul. Yang pertama berkenaan dengan  bagaimana agar kehidupan kebikuan dapat berfungsi dan dapat tetap bertahan dalam kehidupan modern. Ordo-ordo monastik Katolik telah mengalami kemunduran secara dramatis dalam empat puluh tahun terakhir; tetapi, mereka yang masih bertahan dapat menjadi model untuk membantu agar wihara-wihara Buddhayana dapat berfungsi dengan baik.  Sebuah pencampuran antara kepraktisan Katolik dan keunggulan Winaya dapat kiranya menjamin keberlangsungan Sanggha monastik.
Wilayah kedua dimana Buddhayana dapat memetik keuntungan dari input Kristen berkaitan dengan keterlibatan sosial dan praktek welas asih. Apa sebetulnya yang ada dalam ajaran Kristen yang membuat cinta kasih menjadi begitu sentral bagi kehidupan dan prilaku umatnya? Dan, apa pula yang terdapat dalam Therawada yang telah memperlambat welas asih tersebut terjadi? Aspek-aspek dari ajaran Buddha yang manakah yang harus lebih ditekankan atau yang harus dinilai kembali sehingga welas asih yang dicontohkan oleh Buddha dapat sekali lagi menghidupkan dan memotivasi mereka-mereka yang hidup sesuai dengan Dharma? Para guru seperti  Thich Nhat Hanh telah memulai mengeksplorasi isu-isu seperti itu dari perspektif Mahayana; tetapi, tentu lebih banyak lagi yang masih harus dilakukan; dan, banyak yang dapat dipelajari dari Kekristenan.
            Ada lagi satu wilayah dimana Buddhayana dapat diperkaya melalui dialog dengan umat Kristiani. Sikap keras Therawada terhadap segala bentuk keindahan telah menghambat perkembangan segala bentuk musik spiritual ataupun lagu-lagu tradisional di luar bentuk-bentuk yang paling sederhana sekali. Pelafalan parita Thailand kiranya cukup menyenangkan bagi telinga manusia Barat, walaupun bunyinya terlalu sederhana dan ritmenya hanya menawarkan skop yang terbatas untuk pengembangan lebih lanjut. Pembacaan parita Burma dan, khususnya, Sri Lanka hanya kedengarannya sedikit saja lebih baik daripada suara jeritan kucing.  
Musik yang nyaring, lagu dan pembacaan parita dapat memiliki nilai yang dahsyat dalam acara kebaktian komunal. Mereka dapat memberikan ekspresi saddha; dan, mereka pun boleh jadi sudah mendekati meditasi. Kelompok Buddhayana akan mempelajari tradisi Kristiani yang kaya mengenai lagu-lagu gereja dan musik spiritual serta mencoba untuk mengembangkan masing-masing daripadanya yang memang sesuai untuk digunakan bersama-sama dengan gatha Pali dan media lainnya.
            Dalam Buddhayana, penekanan yang besar akan diberikan kepada pendidikan Dharma. Disamping kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan di wihara-wihara lokal (kotbah minggu dan puja, kelas-kelas dan diskusi-diskusi Dharma, meditasi berkelompok, ritrit akhir minggu setiap bulannya, dan sekolah minggu, dll), haruslah diadakan kursus-kursus dari waktu ke waktu mengenai aspek-aspek yang lebih mendalam lagi dari Dharma.
Terjemahan Tipitaka yang akurat dan menarik untuk dibaca haruslah tersedia di setiap wihara. Walaupun demikian, kebanyakan orang akan mengetahui Cula Tipitaka, sebuah kitab yang mengandung koleksi sutta-sutta yang representatif termasuk yang relevan untuk umat awam. Pengulangan-pengulangan di dalam kedua referensi tersebut haruslah diedit dengan hati-hati sekali. Referensi-referensi tersebut seharusnya memiliki sebuah sistim referensi yang rasional dan dapat dengan mudah dipakai serta disertai sebuah indeks yang rinci. Untuk melengkapi semua ini, haruslah disediakan juga Encyclopedia of Dhamma  yang terdiri dari banyak jilid yang secara komprehensif dan otoritatif mencakupi setiap aspek dari agama Buddha.
Kedua-duanya Tipitaka Cula dan Encyclopedia of Dhamma haruslah tersedia di setiap perpustakaan umum di negara yang bersangkutan. Semua ini dan bahan-bahan edukasional yang lain haruslah disediakan oleh perusahan penerbitan yang dimiliki oleh Buddhayana itu sendiri  yang, karena dijalankan oleh anggota monastik, akan sanggup memproduksinya dengan harga yang lebih murah.  
Buddhayana seharusnya memiliki sekurang-kurangnya dua buah seminari—yang pertama untuk pelatihan biku dan guru-guru awam yang laki-laki; dan, yang kedua untuk para bikuni dan guru-guru awam yang perempuan. Pendidikan yang diberikan mestinya liberal, kritis, memiliki cakupan yang luas dan diilhami oleh semangat Dharma. Beberapa yang lulus dari institusi ini akan melanjut ke universitas untuk melakukan studi spesialis sebelum memulai melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Aspek lain dari upaya-upaya di bidang pendidikan adalah menyiarkan Dharma seluas mungkin. Seruan Buddha agar kita semuanya ‘pergi demi kebahagiaan semua mahluk’ akan ditanggapi dengan serius sekali. Kampanye-kampanye yang direncanakan secara rasional untuk mengembangkan Dharma dalam kelompok-kelompok tertentu dan di wilayah-wilayah tertentu akan menjadi sebuah  bagian yang menonjol dari kegiatan Buddhayana. Semua universitas akan memiliki sebuah kapel Buddhayana, seorang pandita (chaplain) dan sebuah kelompok studi—sebagaimana yang terdapat juga dalam banyak lembaga lainnya.
Komunitas Buddhis yang terbelakang, lemah dan yang tak dipedulikan—misalnya, orang-orang Thailand yang berbahasa Melayu di utara Malaysia, orang-orang Dalit di India, orang-orang Tamang dan Newaris di Nepal, orang Chakma di Bangladesh, dll—akan menjadi perhatian utama dari kampanye-kampanye dharmaduta. Beberapa dari orang-orang ini akan dibawa ke negara Barat untuk dilatih, sedangkan kaum Buddhayanis di Barat akan dilatih secara khusus untuk dapat melayani komunitas-komunitas seperti di atas. Bersama-sama mereka akan bekerja untuk kesejahteraan spiritual dan material dari orang-orang tersebut.
Trailoka Bauddha Maha Sanggha Sahayak Gana, cabangan WBO di India, dan Yayasan Tzu  Chi di Taiwan akan menjadi model yang baik sekali untuk proyek semacam itu. Buddhayana akan memberikan perhatian istimewa untuk memajukan siar Dharma di India, bukan karena potensinya yang luar biasa saja, tetapi juga sebagai wujud terima kasih mereka kepada orang India atas pemberian mereka kepada dunia yakni seorang Buddha.  
            Tetapi, bagaimanakah Buddhayana akan membiayai dirinya sendiri dan berbagai usaha dan proyeknya?
Sudah barang tentu kaum Buddhayanis tidak akan memboroskan sumber-sumber dana mereka dengan membangun patung-patung Buddha raksasa, wihara-wihara yang dekorasinya berkilat-kilat namun berlebihan ataupun membiayai pelaksanaan upacara-upacara agama yang mewah. Sesungguhnya kaum Buddhayanis akan dengan pedas sekali mengkritik pemborosan yang demikian memalukan itu. Dengan tidak adanya pemborosan ini, maka dalam komunitas Buddhayana akan ada banyak uang yang tersisa.
Buddhayana akan mencoba merasionalisasi dan memodernisasi karakteristik kemurahan hati tangan-terbuka yang merupakan karakteristik dari tradisi Therawada tradisional itu; dan, ini kiranya akan menjadi sumber pemasukan dana yang baik. Seperti organisasi-organisasi amal yang lainnya, beberapa proyek Buddhayana yang bagus akan memenuhi syarat untuk memperoleh bantuan pemerintah sedangkan yang lain akan mendapatkan kemurahan hati dari masyarakat yang bersimpati.
Usaha-usaha bisnis yang dijalankan oleh beberapa wihara akan menjadi begitu menguntungkan dan sisa keuntungannya, setelah seluruh pengeluarannya dilunasi, akan disimpan ke kas bendahara yang sifatnya terpusat kendatipun segala urusan keuangan akan dikerjakan sepenuhnya oleh umat awam. Demikian juga, bila ada sisa keuntungan pada wihara-wihara lokal, maka uang tersebut akan diserahkan ke kas bendahara yang sama. Kas bendahara ini akan dikelola secara hati-hati sekali; dan, wihara-wihara baik yang kecil maupun yang besar ataupun kelompok-kelompok Buddhis yang membutuhkan dana haruslah menyerahkan proposal terlebih dahulu. Bila proposal disetujui, barulah bantuan keuangan akan diberikan.
            Kaum Buddhayanis memang tidak akan menjadi sebuah minoritas yang besar dalam masyarakat Barat; tetapi, pengaruh mereka akan besar sekali bila dibandingkan dengan jumlah mereka itu. Seperti juga kelompok Quakers dan Jahudi liberal, kaum Buddhayanis akan dihormati karena pandangan mereka yang liberal dan ramah, dikagumi karena pekerjaan amal mereka dan akan menjadi terkenal sebagai para pemimpin yang progresif dan aktif di masyarakat.
Iklan untuk agama Buddha yang paling baik nantinya adalah kehidupan dan contoh-contoh yang diperlihatkan oleh kaum Buddhayanis itu sendiri. Sejumlah besar orang-orang yang berpendidikan tinggi dan berpikiran luas akan melihat Buddhayana sebagai sebuah alternatif yang sangat menarik yang dapat menggantikan dogmatismenya agama Kristen ataupun kekosong-melompongannya sekularisme itu. Jauh dari menjadi semata-mata sebuah daya tarik yang eksotis, Buddhayana akan terintegrasikan secara baik ke dalam masyarakat Barat.
            Apakah  semua ini hanyalah sebuah impian kosong ataukah ia benar-benar dapat menjadi kenyataan? Sesuatu yang telah saya sebut di atas sebagai Buddhayana itu sebenarnya telah dapat dibayangkan dan dapat menjadi kenyataan—walaupun ini tidak akan mengejutkan seseorang yang telah lebih dahulu dipengaruhi oleh tradisi Mahayana dan Vajrayana ketimbang Therawada.
Western Buddhist Ordor dan Friends of the Western Buddhist Ordor didirikan pada tahun 1967; dan, saat ini mereka telah memiliki puluhan cabang dan  ribuan anggota di seluruh negara Barat dan juga di India. Cabang FWBO yang besar dan terus berkembang di India bernama Trilokya Bauddha MahaSanggha Sahayaka Gana.
Ada kelompok Buddhis di Barat yang sepintas lalu tampak sangat mapan, tetapi yang sebenarnya sangat bergantung pada para biku yang berasal dari Asia atau para biku Barat yang menjalani latihan di Asia. Mereka sangat bergantung pada sokongan dana dari Asia atau dari komunitas orang Asia yang bekerja di negara-negara Barat. WBO telah melihat bahaya dari ketergantungan semacam ini dan telah berhasil menyokongi diri sendiri serta mempertahankan kesinambungan dirinya sendiri pula.
Keberhasilan yang jelas dari beberapa kelompok Buddhis berkaitan terutama dengan adanya seorang guru yang karismatik; dan, kelompok-kelompok itu pun segera menjadi tidak aktif lagi manakala guru mereka tersebut wafat, pergi ataupun karena mereka tidak disukai lagi. Memang keberhasilan WBO pada mulanya sangatlah besar ditentukan oleh kepribadian karismatik seorang Sanggharashita, tetapi fokus utamanya selalu saja ada pada Dharma, pada manfaat-manfaat yang dapat diperoleh dari kehidupan spiritual; dan, daya tariknya ada karena ia merupakan bagian dari sebuah komunitas yang dinamis dan yang bertumbuh dengan pesat. 
WBO menjalankan usaha-usaha bisnis mereka yang benar-benar berhasil dan dengan demikian membebaskan diri mereka dari ketergantungan pada sumbangan-sumbangan; dan, ini pada saat yang sama juga memberikan para anggotanya sebuah pekerjaan yang berarti.  
Bila gerakan-gerakan Goenka dan Ajahn Chah terpusat hampir-hampir seluruhnya pada meditasi, maka WBO mengambil sebuah pendekatan yang lebih terpadu dengan menekankan pentingnya meditasi dan juga aspek intelektual, serta dimensi sosial dan ekonomi maupun estetika dari Dharma. Bukan saja hal ini akan memberikan keadilan pada kekayaan dari tradisi Buddhis yang ada, ini juga memberikan sebuah daya tarik yang lebih luas lagi bagi WBO.
Anggota-anggota WBO yang pernah saya jumpai hampir-hampir merupakan umat Buddhis Barat satu-satunya yang tampak memiliki pandangan yang cerdas tentang agama Buddha di Asia dan bukan sebuah pandangan tentang agama Buddha yang biasanya hanya ada di alam mimpi. Saya curiga, jangan-jangan hal ini telah sangat berperan dalam keberhasilan WBO pula. Agaknya pengetahuan tentang apa yang terjadi pada agama Buddha di Asia telah memungkinkan mereka untuk melihat dan lebih mengadopsi apa-apa yang baik dari tradisi Buddhis tersebut dan menolak hal-hal yang tidak baik, ketimbang menelan semuanya dengan bulat-bulat.  
            Para sejarawan sering mengatakan bahwa begitu agama Buddha tersebar, ia pun akan mengalami perubahan supaya, dengan demikian, agama Buddha dapat membuat dirinya relevan dengan budaya-budaya baru yang dijumpainya. Namun, hal ini seolah mengimplikasikan bahwa haruslah ada semacam kebijakan yang disepakati bersama terlebih dahulu, baru setelah itu akan ada keberhasilan, dan bahwa proses penyesuaian dan adaptasi itu merupakan sebuah proses yang disadari betul. Tetapi, kenyataannya sebenarnya tidaklah seperti itu sama sekali.
Perubahan tentu terjadi secara semborono—acapkali secara tidak disengaja dan kadang-kadang malah merugikan agama Buddha itu sendiri. Salah satu contoh mengenai  hal ini, misalnya, berkaitan dengan sistim-sistim kasta yang berlaku di Sri Lanka dan di Lembah Katmandu. Ketika agama Buddha masuk ke dua wilayah tersebut, sistim kasta telah ada di sana, namun bukannya sistim kasta itu yang berubah. Pada kenyataannya, justru agama Buddha yang berubah.
Agama Buddha disini kiranya mengkompromikan ajaran-ajarannya tentang persamaan derajat manusia dan martabat manusia dan, akhirnya, tersedot ke dalam institusi kasta itu. Bahkan hingga dewasa ini pun, Siyam Nikayanya Sri Lanka hanya bersedia mentahbiskan laki-laki yang berasal dari kasta tertinggi; dan, umat Buddhis Newari tidak mengizinkan orang-orang dari kasta yang lain memasuki wihara-wihara mereka.
Kejeniusan Sangharakshita terlihat jelas bukan saja karena ia dapat melihat jauh ke depan sebelum seorang pun dapat memikirkan perlunya mempribumikan agama Buddha di tempatnya yang baru; tetapi, juga karena ia memahami bahwa proses mempribumisasikan agama Buddha itu haruslah dilakukan secara sadar dan disengaja.
Ia mulai dengan mendirikan sebuah gerakan yang memiliki sebuah struktur organisasi dan sebuah penafsiran Dharma yang mengikutsertakan kenyataan-kenyataan yang terdapat dalam masyarakat Barat tanpa mengkompromikan aspek-aspeknya yang bertentangan dengan Dharma. Tidaklah mengherankan bahwa hasilnya pun sangatlah berhasil; dan, semua itu menjadikan Sangharakshita memenuhi persyaratan untuk dianggap sebagai salah satu dari begitu sedikitnya pemikir Buddhis paling orisinil dalam tiga ratus tahun terakhir.
Hasil yang dicapainya pun membuat Sangharakshita memenuhi syarat untuk dianggap sebagai penganut agama Buddha keturunan Barat pertama yang otentik sebagai lawan dari seorang umat Buddhis Barat yang mengadopsi begitu saja agama Buddha yang berasal dari Tibet, Jepang, Burma ataupun Thailand.
Tentu ini tidak dimaksudkan bahwa WBO memiliki semua jawaban; tetapi, bahwa itulah langkah yang penting untuk sampai pada tujuannya yang benar. WBO tentu tidak bebas dari berbagai masalah juga, dan masalah yang paling serius telah disebabkan oleh penafsiran Sangharakshita yang kadang agak meragukan mengenai beberapa aspek dari Dharma. Tetapi WBO telah memperlihatkan dirinya yang sanggup berubah dan, yang lebih penting lagi, sanggup mengkritik dirinya sendiri—sebuah kecanggihan yang sepenuhnya tidak terdapat pada umat Buddhis manapun di Asia.
WBO membuktikan bahwa sebuah proses penyerbukan silang (cross-pollination) dari yang terbaik dalam pemikiran Barat dengan yang terbaik dalam ajaran kebijaksanaan Buddhis purba dapat merevitalisasi Dharma itu. Yang dibutuhkan sekarang ini adalah lebih banyak lagi visioner yang realistis seperti Sangharakshita.   
Kata Penutup
Adalah mudah bagi kita untuk berfikir bahwa, karena Therawada telah memiliki akar yang lama dan mendalam di negara-negara seperti Sri Lanka, , Burma, Thailand, Laos dan Cambodia, tradisi Therawada akan dapat bertahan terus di sana selama-lamanya. Tetapi, ini adalah asumsi yang berbahaya. Kesetiaan-kesetiaan religius dapat dan akan berubah dengan cepat sekali, terutama dalam dunia modern.  
Selama delapan ratus tahun agama Buddha berkembang di Udyana, di sebuah tempat yang sekarang adalah Pakistan utara, dan karena alasan-alasan yang tidak jelas agama Buddha akhirnya menghilang. Ketika musafir Tiongkok Hiuen Tsang mengunjunginya di abad ke-7 (baca: harus dicatat bahwa itu terjadi sebelum masuknya Islam), beliau menulis:
Ada terdapat sebanyak 1400 wihara tua yang sekarang ini secara umum telah hancur dan ditinggalkan orang. Sebelumnya ada terdapat sebanyak 18.000 biku dalam wihara-wihara tersebut, tetapi jumlah tersebut perlahan-lahan menyusut dan sekarang ini hanya tersisa beberapa orang biku saja.
Selama hampir satu millennium, orang Indonesia pada umumnya beragama Buddha atau Hindu; dan, mereka mendirikan monumen-monumen yang dahsyat untuk masing-masing agama mereka itu. Tetapi, dalam waktu yang begitu singkat dan tanpa terjadi penganiyaan yang jelas, agama-agama itu tergantikan oleh Islam.
Dalam kunjungan saya baru-baru ini ke Cambodia, saya begitu kaget melihat sudah begitu banyak gereja evangelis berdiri di sana dan begitu banyak orang tertarik kepadanya.  Hanya tiga puluh tahun yang lalu, hampir-hampir tidak ada seorang penganut agama Kristen pun di negara tersebut; tetapi, dewasa ini orang Kristen merupakan sebuah minoritas yang terus berkembang pesat dan semua indikasi menunjukkan bahwa jumlah mereka akan terus bertambah.
Bila anda melihat para biku Cambodia yang tersenyum, tetapi pasif dan terus-menerus berkiblat ke masa lalu, maka akan sulit sekali bagi anda untuk merasa optimistis mengenai masa depan agama Buddha di negara yang kurang beruntung tersebut. Para penganut Therawada saling mengucapkan selamat pada diri mereka masing-masing bahwa agama Buddha mereka telah mengambil alih Barat, tetapi statistik tidaklah menunjukkan hal tersebut. Lebih banyak orang sebenarnya yang tertarik dengan kelompok-kelompok Yoga dan Vedanta, apalagi dengan agama Buddha Tibet dan Zen.
Yang lebih jelas lagi adalah agama Kristen evangelis berkembang jauh lebih cepat di negara-negara Therawada ketimbang Therawada berkembang di Barat. Dan tentu saja, kaum misionaris Kristen kiranya memiliki motivasi beberapa kali lebih besar; mereka lebih mempunyai persiapan dan mendapat lebih banyak dukungan dana dibandingkan dengan rekan-rekan Buddhis mereka.
Apapun masa depan Therawada di Asia, tradisi tersebut tidak mempunyai masa depan dalam jangka panjang di negara-negara Barat. Umat Buddhis Barat harus mempunyai rasa percaya diri yang cukup untuk berhenti mengakomodasi tradisi Therawada, merasionalisasikannya atau menjiplaknya.  Sekarang ini masyarakat Barat sangatlah reseptif terhadap berbagai macam tradisi agama Buddha; tetapi, tidak ada jaminan bahwa kecenderungan ini akan terus berlanjut. Akan menjadi sebuah tragedi apabila agama Buddha gagal dalam mengambil kesempatan yang sangat jarang namun dahsyat tersebut. Sekaranglah waktunya untuk mengembangkan sebuah agama Buddha baru yang mampu berbicara dengan millennium yang baru pula.
Andhakarena onaddha padipam na gavessatha? (hbs)
APPENDIX  
Tulisan pertama di bawah ini terbit di Maha Bodhi Journal  pada tahun 1931.  Saya menerbitkannya kembali disini karena ia merupakan contoh yang paling awal yang dapat saya temukan mengenai seorang biku keturunan Barat yang telah melihat perlunya dilakukan pembaharuan dalam Sanggha Therawada dan memberikan usulan-usulan, betapapun singkatnya, untuk menunjukkan bagaimana pembaharuan tersebut dapat dilakukan. Kendatipun bahasa penulisnya sedikit janggal dan kedaluwarsa, ketulusan hatinya masih begitu jelas—demikian juga frustasi dan hilangnya kepercayaan dalam dirinya itu.
Artikel ini juga menarik karena ia menunjukkan bahwa segala keanehan dan korupsi yang sangat dikenal Biku Prjanananda masih terus hidup dan berkembang biak dengan baik lebih dari tujuh puluh tahun kemudian. Bila ada yang berubah, maka perubahan itu hanyalah bahwa dunia ini terus berjalan sedangkan Sanggha tidak—sehingga Sanggha semakin jauh tertinggal di belakang.
Sedangkan mengenai Biku Prjanananda, saya tidak dapat mencari tahu lebih banyak lagi tentang dirinya kecuali bahwa ia adalah seseorang yang berkewarganegaraan Inggris. Setelah mengemukakan seruannya yang pendek dan kiranya gagal itu, ia pun menghilang dari sejarah. Seperti orang-orang Barat sebelum dan pun setelah dirinya, ia memasuki Sanggha dengan keyakinan bahwa Sanggha akan membuatnya mampu mencapai tingkat ketinggian spiritual, namun ia mendapatkan dirinya semakin tertekan akibat adanya kepercayaan tahyul abad pertengahan dan formalisme yang tak masuk akal.  
            Artikel kedua ditulis oleh seorang pegawai negeri senior dan pemuka agama Buddha Sri Lanka dengan nama samaran; dan, artikel ini diterbitkan pada peringatan Waisak 1997 dalam  The Buddhist—organ The Young Men’s Buddhist Association.
Bahwa sebuah organisasi konservatif semacam YMBA akhirnya harus menerbitkan tulisan yang keras tak seperti biasanya itu menyiratkan bahwa bahkan mereka pun tak dapat lagi membantah ataupun menyembunyikan krisis yang terjadi pada Sanggha di Sri Lanka itu.
Untuk menghadang berbagai tuduhan terhadap beberapa pengamatan saya mengenai para penganut Therawada di Asia—bahwa semua itu berhubungan dengan sebuah ‘rasa superioritas Barat yang inheren’ atau bahwa saya sesungguhnya adalah seoran agen rahasia yang bekerja untuk Catholic Action—maka saya mereproduksi artikel ini disini demi memperlihatkan apa yang dipikirkan oleh beberapa orang Sri Lanka yang cerdas dan jujur mengenai keadaan tradisi Therawada di negara mereka sendiri.
Untuk membuat artikel ini lebih jelas lagi, saya telah melakukan beberapa perubahan kecil.
REFORMASI TERHADAP SANGGHA
Oleh: Biku Prajnananda
Bila agama Buddha ingin mempertahankan tempat yang merupakan haknya di antara agama-agama lain di dunia dan menjadi sebuah kekuatan yang semakin berkembang untuk kemajuan dan pencerahan, maka keseluruhan pokok masalah yang berkaitan dengan posisi dan kondisi Sanggha harus diselidiki. Para umat Buddhis awam terkemuka dari Burma, Siam, Ceylon dan negara-negara lain telah memandang dengan perasaan was-was keadaan terkini mengenai hal itu dan mengetahui bahwa cepat atau lambat beberapa perubahan pasti harus dilakukan.
Hampir semua orang melihat tanda-tanda pembusukan dalam Sanggha—Sanggha yang telah bertahan selama 2500 tahun—tetapi hari ini ada terdapat kondisi-kondisi baru dan kekuatan-kekuatan baru di dunia ini; dan, bila sesuatu yang radikal tidak dilakukan juga, maka pembusukan tersebut akan bertambah parah lagi sehingga Sanggha itu sendiri pun akan mati, atau menjadi sebuah kata mati, menjadi tempat berlindung orang-orang bodoh dan mereka yang tidak pantas. 
Buddha secara bijaksana telah menurunkan aturan-aturan mengenai penerimaan keanggotaan ke dalam Sanggha—bahwa orang-orang muda itu haruslah memiliki karakter yang baik, berhati mulia, tidak cacat jasmani ataupun menderita suatu penyakit—namun aturan-aturan tersebut secara menyedihkan tidak diindahkan dewasa ini; dan, oleh karenanya, kita mendapati ada orang-orang yang memakai jubah biku tetapi yang tidak memenuhi persyaratan tersebut satu pun.
Kesulitan yang terbesar adalah bahwa umat awam tidaklah cukup terorgnisasi untuk melakukan reformasi-reformasi yang memang amat dibutuhkan tersebut; dan, para biku takut untuk memoderenkan aturan-aturan Winaya tertentu karena takut akan menyinggung perasaan umat Buddhis awam.
            Buddha lagi-lagi memperlihatkan kebijaksanaannya dengan mengakui bahwa banyak dari aturan-aturan tersebut yang tidak akan sesuai dengan segala waktu dan kondisi, dan mengizinkan diadakannya sebuah perubahan bila diperlukan. Hal ini dilakukan dalam Mahayana oleh Tsongkapa dengan hasil yang sangat memuaskan; tetapi, di Hinayana tidak satupun Thera merasa cukup berani atau kuat untuk menyesuaikan aturan-aturan tersebut terhadap keadaan-keadaan modern, yang akibatnya adalah Sanggha sekarang ini terlalu dibebani dengan banyak sekali adat istiadat, tradisi dan praktek-praktek yang telah usang yang pun telah menjadi tidak bermanfaat dan, dalam beberapa kasus, malahan telah menjadi sangat berbahaya.
Tentu saja banyak dari aturan-aturan tersebut yang sangat penting pada zaman dahulu; tetapi, dalam kondisi-kondisi modern, mereka tidak begitu masuk akal lagi. Saya dapat membuat sebuah daftar panjang, beberapa aturan di dalamnya dapat mengundang gelak tawa; dan, ini akan merupakan sebuah penghinaan terhadap kecerdasan Buddha bila kita masih beranggapan bahwa Buddha akan mentolerir atau mendukungnya.
Sebagai contoh, disini di Burma ini, pada siang hari seorang biku boleh meminum air mineral yang dingin tetapi bukan air panas, tidak boleh makan buah-buahan tetapi boleh merokok satu bungkus cerutu, boleh memakan gula berwarna coklat tetapi tak boleh memakan bawang, boleh mengunyah buah pinang tetapi tak boleh makan kelapa. Sepatu haruslah memiliki sebuah strap di antara jari kaki dan tidak boleh menutupi jari kaki—yang terakhir ini bisa menjadi sebuah pelanggaran yang serius. Seorang biku tidak boleh mandi di sebuah danau karena ia mungkin akan jadi berenang, tetapi ia boleh pergi ke bioskop dan melihat adegan-adegan yang merendahkan moral karena tidak ada aturan dalam Winaya yang melarang hal itu. Semua bioskop, pertandingan sepak bola dan perlombaan-perlombaan dibanjiri oleh mereka yang memakai jubah kuning dan tidak ada yang protes; tetapi, seorang samanera kecil yang malang yang makan sebuah mangga pada suatu siang hari yang panas akan dihukum dengan bukan main beratnya.
            Dan lagi, Sanggha tersebut sebenarnya sedang menjadi sebuah hambatan bagi kesehatan dan kebahagiaan orang. Banyak wihara berada dalam kondisi kotor dan tidak sehat sehingga mendatangkan penyakit; dan, banyak laki-laki, perempuan dan anak-anak yang mati muda akibat tinggal begitu dekat dengan wihara-wihara itu. Begitu buruk keadaannya sehingga Red Cross Society menawarkan fasilitas kakus yang bersih untuk para biku supaya penyakit malaria dan demam dapat dikurangi.
Tawaran tersebut ditolak sebagai penghinaan karena ‘bertentangan dengan Winaya.’ Untuk bersikap cukup adil, para biku sebenarnya tak dapat dipersalahkan seluruhnya, mereka hanya mencoba mempraktekkan aturan-aturan yang tidak lagi sesuai dengan keadaan hari ini. Mereka dapat saja bersikapjujur dan melanggarnya, atau bersikap tidak jujur secara moral dan tetap melakukannya sambil memprotes secara diam-diam.
Ketika sedang melakukan perjalanan di India akhir-akhir ini, saya terpaksa melanggar beberapa aturan. Saya harus menyentuh uang untuk membeli tikek kereta api, duduk di kereta api bersama-sama dengan para perempuan, makan pada siang hari karena paginya saya tidak makan apapun, dan ketika berada di rumah sakit saya benar-benar tidur di atas tempat tidur. Tetapi, hati nurani saya tetap jernih, karena saya mementingkan keinginan untuk menjadi Buddha agar dapat menyelamatkan umat manusia dari penderitaan ketimbang mekhawatirkan aturan-aturan tersebut yang hanyalah semata-mata huruf mati dan bukan merupakah roh sebenarnya dari Dharma itu.
Tetapi, cukup. Keadaannya dewasa ini cukup jelas bagi setiap orang yang mengamati. Kiranya memang lebih penting sekarang ini bagi kita untuk memberikan saran-saran guna penyelesaian masalah. Dan, disini saya menulis dengan perasaan telah hilang kepercayaan pada diri saya sendiri karena saya mengetahui bahwa kekolotan Sanggha tidak mungkin dapat digoyahkan dengan mudah; namun, hal ini dapat mendorong sebuah Konferensi Agama Buddha di masa depan untuk mempertimbangkan seluruh permasalahan ini. Oleh sebab itu, saya akan menyampaikan reformasi-reformasi tertentu saja yang dapat nantinya meningkatkan prestise dan pengaruh dari Sanggha itu.
            Pertama-tama, penerimaan keanggotaan baru ke dalam Sanggha. Ini haruslah diatur secara ketat karena ada terlalu banyak biku dewasa ini yang orang-orang—dalam keadaan yang begitu melarat sekarang ini—akan sulit untuk menyokongi mereka. Hanya anak-anak muda dari orang tua baik-baik atau yang bercita-cita spiritual, sehat secara jasmani dan rohani, dan sifatnya tak tercela yang seharusnya ditahbiskan menjadi biku, yang kepadanya diberikan sebuah sertifikat terdaftar yang dapat diperbaharui setiap tahun, mereka inilah yang patut disetujui. Ini akan menjauhkan kita dari orang-orang yang tidak pantas dan, tambahan lagi, dapat memastikan standar yang lebih tinggi untuk para biku itu.
            Kedua, pendidikan. Keadaan kurangnya pendidikan di dalam Sanggha dewasa ini sangatlah mengerikan sekali. Oleh sebab itu, Sanggha tidak menghasilkan para pengkotbah, filsuf dan pemikir yang besar. Akhir-akhir ini di Burma seorang biku dibutuhkan untuk dapat memberikan kotbah dalam Bahasa Inggris. Namun, tak seorang pun biku seperti itu yang dapat dijumpai.
Tanpa pengetahuan tentang bahasa modern, ilmu pengetahuan, sejarah ataupun geografi, bagaimana mungkin Sanggha semacam itu dapat mendapatkan rasa hormat dari umat awam Buddhis yang berpendidikan? Kebanyakan kalangan agama lain dewasa ini memberikan pendidikan kepada para pendeta mereka supaya dapat membuat mereka menjadi berguna dan efisien, tetapi Sanggha tidak melakukan apapun; dan, segala upaya untuk memberikan pendidikan modern tersebut kepada para biku ditentang dengan keras sekali oleh para mahathera.
Ketika terakhir kali saya berada di Burma Utara, saya perhatikan bahwa jumlah misi Kristen telah bermunculan dimana-mana; dan, ketika saya bertanya kepada seseorang yang terkenal, alasan yang ia berikan adalah ‘Misi-misi ini telah membuka sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit dan membantu kita dalam banyak hal. Mereka melakukan pekerjaan Buddha yang mulia dan para biku kita tidak melakukan apapun kecuali tidur dan merokok seharian.’
Kemarahannya sangat besar karena ia adalah seorang pengikut Dharma yang sejati; tetapi, ia melihat bagaimana segala sesuatu dilakukan, dan bila anggota Sanggha tidak lebih berpendidikan ataupun menjadi lebih aktif, maka Sanggha akan segera hilang di tempat-tempat tersebut. Kita membutuhkan para biku berpendidikan yang mau mengorbankan diri mereka sendiri untuk menyuarakan suara auman dari singa Buddha.
            Ketiga, makanan. Aturan-aturan mengenai makanan yang dewasa ini diterapkan oleh Sanggha lebih banyak buruknya ketimbang baiknya. Makanan tersebut menyebabkan memburuknya kesehatan, kerakusan, kebiasaan-kebiasaan buruk, dan ketakjujuran. Izinkan saya menjelaskan apa yang saya saksikan setiap hari.
Seorang biku pergi berPindapata dengan sebuah mangkuk pada pagi hari, lalu mendapatkan daging, ikan, ayam, nasi dll—makanan yang memanaskan darah, tetapi tidak banyak mengandung gizi. Tetapi, ia harus memakani semuanya itu sebelum tengah hari dan seterusnya berpuasa selama delapan belas jam. Jadi, ia akan memasukkan makanan jauh lebih banyak daripada yang biasa dapat dicernahnya dan, karenanya, harus tidur selama beberapa jam setelah itu. Pada sore hari, ia akan merasa lapar dan kemudian harus mengunyah tembakau, daun siri dan gula berwarna coklat, dan menghisap rokok atau cerutu yang banyak sekali.
Kesehatan yang buruk acapkali menjadi akibatnya. Bila anak-anak sekolah diajari bahwa merokok merusak kesehatan, di dalam Sanggha para biku malah dianjurkan melakukannya. Sudah barang tentu banyak ketakjujuran dapat terjadi secara wajar, demikian juga berbagai macam tipu muslihat dan metode untuk makan secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui baik oleh umat awam maupun para biku.
            Sudah tentu Buddha Guru Junjungan tidak akan merestui semua ini. Akan lebih baik lagi bila para biku meminum teh atau memakan buah pada siang hari. Ini dapat saja dianggap sebagai obat dan dapat dilakukan tanpa melanggar Winaya. Di wihara saya, para samanera diizinkan untuk melakukan hal tersebut dan hasilnya sangatlah memuaskan. Mereka belajar menjadi orang-orang yang berguna bagi agama mereka dan negara dan tidak mengembangkan kebiasaan-kebiasaan jelek yang mereka akan dapatkan di wihara-wihara ortodoks.
Bila perut lagi kosong, maka seseorang tidak dapat melakukan banyak hal. Akhir-akhir ini, saya berdebat dengan seorang misionaris Kristen. Sebelum bertemu, ia terlebih dahulu makan sepuasnya, tetapi saya tiba dengan perut lapar karena belum makan apapun selama sembilan jam. Bagaimana mungkin para biku dapat bertahan dalam keadaan seperti itu? Untuk memperbaiki keadaan yang merugikan tersebut, teh dan buah-buahan sudah semestinya diizinkan hingga matahari terbenam.
            Keempat, penghapusan kepercayaan pada tahyul. Agama Buddha yang murni dewasa ini telah berkembang begitu pesat menjadi sebuah kumpulan ajaran yang mengandung ketahyulan yang tentu saja Buddha akan menjadi yang pertama melarangnya. Ketahyulan dapat menghambat perkembangan agama Buddha sendiri karena orang-orang yang telah semakin berpendidikan akan menjauhi ketahyulan. Pemborosan uang untuk membeli lilin yang begitu banyak, lembaran daun emas, membangun pagoda, dll terutama sangat disayangkan, karena uang yang dibelanjakan dapat dipakai dengan lebih bijaksana dan manusiawi.
Beberapa biku bahkan menganjurkan kepercayaan tahyul pada orang-orang bodoh dengan mengajarkan, misalnya, bahwa bila emas ditaruh pada sebuah pagoda maka orang yang memberikannya akan menjadi kaya, bila seorang perempuan memberikan dana makanan pada banyak biku, ia akan dilahirkan menjadi seorang anak laki-laki yang tampan pada kehidupan berikutnya, bila uang diberikan kepada Sanggha, maka yang memberikan akan mendapatkan kebahagiaan hidup di alam Brahmaloka setelah kematian—ajaran-ajaran yang menganjurkan kepada orang lain agar mementingkan diri sendiri; dan, ini benar-benar merupakan kebalikan dari sifat tidak mementingkan diri sendiri yang merupakan dasar yang kuat dari Buddha Dharma.
Begitu banyak adat istiadat, tradisi dan kepercayaan yang salah yang sekarang dihubung-hubungkan dengan agama Buddha sehingga umat awam yang berpendidikan akan tertawa menyaksikannya. Agama kita tentu akan sangat lambat berkembang di negara-negara Barat sebelum kita menghilangkan semua tambahan-tambahan aneh tersebut dan menunjukkannya sebagai agama rasional sebagaimana ia sesungguhnya.
Pendidikan anggota Sanggha yang lebih baik akan menjadi salah satu cara yang paling baik untuk mencapai tujuan tersebut.
            Kelima, persatuan umat Buddhis. Dewasa ini bukan saja tidak ada rasa kesatuan di antara sesama biku yang berasal dari negara yang berbeda, di antara mereka juga terjadi tindak kekerasan. Biku Burma tidak terlalu menghormati rekannya biku dari Sri Lanka; dan, biku dari Sri Lanka tidak memperlakukan biku dari Burma dengan keramah-tamahan yang seharusnya. Para biksu China mengejek keduanya karena mereka memiliki ‘pandangan yang tidak lengkap’ dan bikshu Jepang mempunyai pengetahuan yang demikian sedikit tentang Sanggha di negara-negara lain.
Dan, tragisnya adalah, walaupun semuanya setuju pada hal-hal yang essential—Buddha dan Dharmanya—mereka tidak bersepakat pada adat istiadat, tradisi dan praktek-praktek setiap negara yang kurang penting yang telah muncul dan menghancurkan keharmonisan di antara mereka itu. Di Ceylon dan Burma, sebagai contoh, seorang biku boleh merokok tetapi tidak boleh minum bir; tetapi, di Tibet seorang Lama minum bir lokal sebanyak yang ia suka tetapi tidak pernah merokok—merokok bagi mereka akan menjadi pelanggaran yang serius. Di sebuah negara, seorang biku harus makan sebelum tengah hari.
Tentu saja, Buddha tidak mungkin mengajarkan semua kontradiksi ini; dan, tidak mungkin akan tercipta kesatuan Buddhis yang diinginkan itu bila adat istiadat lokal masih diutamakan dan apabila roh sebenarnya dari ajaran Buddha itu tidak difahami dengan lebih baik. Hanya setelah semua itu dikoreksi, barulah kita akan melihat sebuah Dunia Buddhis yang bersatu.
            Keenam. Menghidupkan kembali meditasi. Bila praktek meditasi Buddhis dari zaman dahulu itu tidak dihidupkan kembali, kita tidak akan memiliki sebuah Sanggha Spiritual. Dewasa ini praktek meditasi bukan saja hampir mati, ia bahkan ditertawakan di beberapa wihara—sebagaimana diketahui dengan baik oleh mereka yang mencobanya. Namun kontrol pikiran dan mengembangkan super-mind adalah dasar dari segala perkembangan spiritual, dan ia jauh lebih superior daripada sekedar pengulangan ayat-ayat kitab suci secara hampa—sayangnya, hanya inilah yang dipelajari oleh semua biku dewasa ini.
Saya pernah bertemu para Yogi di India yang sudah lebih dekat pencapaiannya kepada Iddhis dan Samadhi ketimbang siapapun yang telah saya jumpai di dalam Sanggha; dan, waktu bertahun-tahun yang dipakai oleh seorang biku dalam belajar bahasa Pali dan mengulangi ayat-ayat yang panjang dari Pitaka mungkin jauh lebih baik bila dipakai oleh para biku tersebut untuk berjuang mencapai dan membantu orang lain mencapai Nibbana—ketimbang hanya membicarakannya saja.
Dunia ini memerlukan orang-orang yang dapat berbicara langsung dari pengalamannya sendiri tentang kenyataan dari keadaan-keadaan spiritual itu, dan bukanlah orang-orang yang hanya bisa mengatakan ‘Demikianlah yang aku dengar.’ Praktek meditasi sangatlah penting sekali, jauh lebih penting daripada semua adat istiadat dan aturan-aturan yang banyak memboroskan waktu seorang biku dewasa ini, dan bila ini diikuti, maka Sanggha akan mendapatkan kembali kekuatan spiritualnya yang ia miliki pada zaman dahulu.
            Tetapi saya telah menulis cukup banyak. Apakah agama Buddha mempunyai sebuah pesan untuk dunia kita dewasa ini, sebuah dunia yang tampaknya sedang tenggelam semakin parah ke dalam penderitaan, kemiskinan dan permusuhan sesama saudara?
Saya percaya agama Buddha mempunyai pesan itu, dan pesan itu haruslah datang dari Sanggha. Bila Sanggha tersebut dapat direformasi, dibangunkan dan dispiritualisasi, ia akan memperoleh kembali pengaruhnya yang dahsyat yang pernah dimilikinya di zaman Asoka. Namun, bila tidak, maka kita dapat melihat Sanggha tersebut mati seperti yang telah terjadi pada Sanggha Bikuni. Bila Sanggha mati, maka Dharma akan menghilang.
Bila tidak ada perubahan-perubahan yang terjadi, maka bagi generasi yang akan datang nama Buddha hanya akan menjadi sebuah kata yang diingat dari zaman lampau. Maha Bodhi Society dan para pendukungnya telah mendapatkan ucapan terima kasih dan pujian dari begitu banyak orang; perjuangan untuk mendapatkan Buddha Gaya, rumah-rumah sakit dan sekolah-sekolah, wihara baru di Sarnath, semua itu akan berakibat positif. Tidakkah dukungannya itu sekarang sebaiknya juga diberikan kepada sebuah upaya besar demi reformasi dan demi meninggikan Sanggha sehingga Sanggha dapat kembali menjadi sebuah kekuatan yang riil demi terciptanya perdamaian, kemajuan dan kebahagiaan bagi dunia?
MENGAPA SAYA SEORANG BUDDHIS?
Oleh: Parakrama
Sekitar satu abad yang lalu, jurnal-jurnal agama Buddha di Ceylon di zaman penjajahan dulu, yang begitu terpesona dengan keglamoran orang-orang Eropah yang memeluk agama Buddha, dengan sangat gembira menerbitkan artikel-artikel yang ditulis oleh beberapa orang di antara mereka yang diberi judul-judul seperti ‘Mengapa Saya Menjadi Seorang Buddhis?’ Hari ini, sebagai seorang Sinhala penganut agama Buddha yang lebih tua, saya melihat dengan cemas lingkungan yang begitu mengganggu dimana kita hidup dan saya bertanya pada diri saya sendiri ‘Mengapa Saya Menjadi Seorang Buddhis?’
Saya sering bertanya kepada diri saya seperti itu, bukan karena saya meragukan Buddha Dharma, tetapi karena saya benar-benar gelisah melihat penyimpangan-penyimpangan yang tak pantas yang dilakukan oleh ‘eksponen’ dan ‘praktisi’ agama Buddha Sinhala di Sri Lanka hari ini. Di bawah ini, saudara-saudara pembaca sekalian, adalah sebuah tulisan yang memang sengaja dibuat provokatif agar, saya harap, dapat membuat umat Buddhis Sinhala berfikir keras dan dalam-dalam.  
            Ingatan membawa saya kembali ke masa 25 tahun yang lalu tatkala para pendukung—yang berniat baik memberikan penghormatan pada peringatan ulang tahun yang ke-80 dari seorang biku yang sangat dihormati—mentahbiskan 80 orang anak-anak laki-laki menjadi samanera. Anak-anak ini semuanya adalah anak-anak laki-laki dari orang tua mereka penduduk desa yang miskin dan seluruhnya masih di bawah usia sepuluh tahun.
            Suara jerit tangis yang tak henti-hentinya dari salah seorang anak tersebut, yang membuatnya tidak tidur semalaman hingga pagi harinya, masih terus bergema dalam telinga saya. Insiden ini, bagi saya, merupakan suatu perlambang bahwa ada banyak yang salah dalam Sanggha Sinhala.
            Pertama-tama, tampaknya hampir-hampir tidak ada orang yang benar-benar  dengan ‘sukarela’ meminta untuk mengenakan jubah kebikuan karena mereka benar-benar mengerti dan menganggapnya sebagai semacam pekerjaan. Kebanyakan orang masuk ke dalam Sanggha karena ‘kewajiban.’ Anak-anak desa dipaksa untuk masuk ke Sanggha oleh orang tua mereka yang miskin karena mereka ingin mengurangi sebuah lagi tanggungan mulut untuk disuapi. Disebutkan di dalam Nikaya-nikaya yang lebih tua dan mapan bahwa keturunan-keturunan dari beberapa keluarga tertentu telah memonopoli kedudukan Mahanayaka dan berniat untuk terus mempertahankan daerah kekuasaan mereka yang menguntungkan itu.  
Anak-anak itu seluruhnya adalah anak-anak desa yang sangat kurang pendidikannya, tidak siap menjadi biku dan acapkali tidak mau menjadi biku. Ini adalah kenyataan pahit yang harus kita hadapi; dan, ini pula merupakan akar permasalahan dari terjadinya pembusukan di dalam Sanggha Sinhala.
            Tidaklah mengherankan bahwa anak-anak kecil yang ‘diwajibkan’ menjadi anggota Sanggha tersebut dengan tak disengaja telah direbut dari masa kanak-kanak dan masa muda mereka. Akhirnya, mereka tumbuh dewasa menjadi mahasiswa-mahasiswa berambut gondrong dan urakan yang, ketika sedang menuntut ilmu yang tidak relevan dengan Dharma, berjongkok-jongkok di pinggir-pinggir jalan dan di atap-atap rumah serta berseliweran sambil meneriakkan slogan-slogan dan melambai-lambaikan kepalan tinju mereka. Yang lainnya, setelah menjadi lebih tua dan lebih lihai, memulai karir-karir yang menguntungkan—beberapa di antara karir tersebut masuk dalam daftar di bawah ini:
(1) Dokter-dokter Ayurwedik dan ahli astrologi yang menjalankan usahanya demi uang dan tidak pernah melaksanakan latihan-latihan keagamaan apapun juga. Profesi ini adalah sebuah jalan karir yang sudah tua sekali dan banyak dipilih orang. Sekarang pun, ia semakin dikomersilkan dan diiklankan dengan hebatnya di media massa.
(2) Pegawai-pegawai di instansi pemerintah yang dibayar, utamanya, untuk menjadi guru, yang mengantongi sendiri upah mereka. Beberapa di antara mereka juga sedang berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan administratif lainnya.
(3) Penghuni-penghuni liar di tanah milik negara, di tepi-tepi sungai dan lingkungan kumuh yang tak sehat, yang membangun kamar-kamar untuk disewakan, sering dengan tujuan-tujuan yang jahat. Sebuah tempat seperti itulah yang akhir-akhir ini dihuni oleh seorang teroris Macan Tamil; dan, ia menyimpan amunisi di bawah tanah.
(4) Orang-orang yang menyewakan tempat di wihara-wihara untuk tempat parkir mobil, teksi dan truk. Sebuah truk teroris bermuatan bom baru-baru ini ditemukan di ‘wihara’ seperti itu.’
(5) Guru-guru yang mengadakan kelas-kelas bimbingan ujian yang dibayar untuk persiapan ujian-ujian negara; sedangkan, mereka gagal mengadakan sekolah-sekolah minggu Buddhis untuk anak-anak.
(6) Orang-orang yang mendirikan organisasi-organisasi Front Nasional (yang berpura-pura religius) untuk menyedot uang dalam jumlah besar dari orang-orang Jepang dan Korea yang kaya yang suka berfoto bersama dan bergaul rapat dengan VIP Sri Lanka yang dapat diatur untuk mereka oleh para biku.
(7) Para perampok wihara yang menjarah relik-relik, artefak-artefak kuno dan buku-buku dari daun lontar untuk dijual kepada para penadah barang antik.
(8) Pejabat-pejabat serikat buruh, organisasi-organisasi politik dan non-agama yang mengontrol dana yang besar dan bergelimangan publisitas.
(9) Para biku yang bertindak sebagai pendeta-pendeta Sai Baba, ‘manusia dewa’ dari India Selatan, dan yang memprostitusikan wihara mereka dan memberikan ibu-ibu Sinhala yang kaya raya sebuah agama Buddha yang palsu demi praktek berhala mereka yang primitif. Baru-baru ini sebuah ‘perjalanan suci’ mengunjungi Sai Baba diadakan untuk menjalankan kelima Sila dalam Pancasila Buddhis pada hari Waisak dan di ‘Kaki Teratai-Nya!’ Perlukah lebih banyak lagi dikatakan mengenai ibu-ibu ‘beragama Buddha’ tersebut yang memberikan hormat seperti itu atau tentang ‘biku-biku’ yang menjadi calo untuk mereka itu? 
(10) Para pemahat, pelukis dan penulis lagu yang mengadakan eksibisi di depan umum dan mengumumkan karya-karya ‘artistik’ mereka di pasar komersil.
            Daftar yang menyedihkan ini adalah sebuah ilustrasi dan ia belumlah mencakup keseluruhannya. Contoh-contoh yang lain masih banyak sekali.
            Kami umat Buddhis Sinhala harus menghadapi kenyataan bahwa kebanyakan biku mempermalukan Sanggha; dan, umat awam yang mengetahui itu cenderung menutup sebelah mata terhadap perbuatan-perbuatan para biku yang salah. Terlampau sedikit biku yang benar-benar menjalankan Winaya atau mempelajari Dharma secara mendalam dan melakukan meditasi secara berarti.
Kita semua tahu bahwa acapkali kotbah-kotbah hanyalah bersifat hafalan dan kualitasnya benar-benar parah. Tidak ada pemikiran, komentar ataupun penafsiran yang orisinil dalam diskusi maupun dalam tulisan. Penekanannya di banyak wihara hanyalah pada ritual dan hari besar keagamaan yang ditujukan semata-mata untuk menggalang dana untuk pembangunan lebih banyak lagi bangunan; dan, semua itu disiarkan dengan keras melalui alat-alat pembesar suara.
Semua omong kosong ini melibatkan wihara-wihara dalam sebuah pemburuan para pelanggan yang tak henti-hentinya. Ada sebuah usaha yang terus menerus untuk mencari orang-orang kaya dan para pendukung yang secara sosial-politik adalah orang terkemuka yang bila mereka terhubungkan dengan wihara, maka wihara tersebut akan semakin memperoleh kemuliaannya dan para pendukungnya akan memperoleh lebih banyak ‘pahala.’
Ada sebuah ketakpedulian yang tragis terhadap kebutuhan-kebutuhan religius anggota masyarakat dimana wihara tersebut berada; sedangkan, para pendukung berupa orang terkemuka terus dicari kemana-mana. Ini merupakan sebuah kontras yang jelas sangat menyedihkan bila dibandingkan dengan gereja-gereja Kristen yang dengan tekun melayani masing-masing jemaatnya.
Tim-tim manajemen wihara kita hanyalah merupakan organisasi-organisasi yang jinak yang hanya memikirkan bagaimana memperjuangkan lebih banyak lagi kemuliaan untuk wihara mereka. Sedikitpun mereka tidak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan spiritual dari masyarakat Buddhis yang ada di sekitarnya.
            Ada lagi ciri-ciri tragikomedi lainnya yaitu kehausan Sanggha Sinhala untuk ‘dihormati.’ Setiap sudut dan celah menyombongkan seorang Mahanayaka atau Anunayaka yang gemar untuk difoto atau disiarkan dalam televisi karena menerima lencana jabatannya dari seorang politisi yang integritasnya diragukan dan ketenarannya pun sementara. Fenomena yang lainnya adalah bahwa para biku Sinhala ekspatriat yang di ‘lantik’ dengan publisitas yang hebat sebagai Mahanayaka dari sebuah negara non-Buddhis yang letaknya jauh sekali. Kesombongan mereka itu sangatlah tragikomedi dan itu melambangkan kemerosotan dari nilai-nilai Buddhis Sinhala yang sederhana.
Kami umat Buddhis Sinhala hampir selalu mengabaikan isu kasta yang terletak pada akar permasalahan dari kemerosotan Sanggha Sinhala itu. Hal ini merupakan sebuah lelucon yang tragis sekali karena tidak ada organisasi apapun di Sri Lanka yang dikuasai oleh sistim kasta seperti Sanggha Sinhala. Setiap kasta menyombongkan Nikaya atau sub-Nikayanya masing-masing. Tidak ada seorangpun dari sebuah ‘kasta’ luar yang dapat menyusup ke dalam hirarki tersebut. Mereka acapkali diberikan gelar-gelar tak bernilai yang mentereng dan yang tidak memiliki kewenangan apapun.
Namun, mereka menutup sebelah mata terhadap orang kulit putih yang mereka terima dengan tangan terbuka dalam setiap Nikaya. Sangatlah menyakitkan hati melihat ‘Mahanayaka’ kita menerima kemuliaan yang sementara itu ketika mereka diminta oleh para  VIP yang akan segera menduduki jabatan baru untuk memberikan ‘pemberkahan.’
Akibat-akibat yang tragis dari proliferasi Nikaya-nikaya yang disusupi sistim kasta tersebut adalah hilangnya disiplin atau ketidaksiapan total untuk menerapkan disiplin terhadap biku-biku yang menyimpang dari Nikaya-nikaya yang mentahbiskan mereka. Surat-surat kabar mencengangkan kita dengan laporan-laporan mengenai para ‘biku’ yang terbukti bersalah karena melakukan penyerangan, pemerkosaan, pembunuhan, penipuan finansial dan mabuk-mabukan.
Tidak ada satu pun dari para pelaku pelanggaran ini yang telah mendapatkan hukuman berupa pelepasan jubah oleh diri mereka sendiri sebelum nama baik mereka dipulihkan. Banyak yang tanpa rasa malu masuk penjara dengan memakai jubah biku. Tragisnya lagi, tidak ada sebuah organisasi Sanggha pun yang pernah menerapkan wewenang yang memang ada padanya untuk melepaskan jubah seorang biku yang telah melakukan penyelewengan.  
            Politik telah menjadi kutukan dalam Sanggha Sinhala. Para anggota Sanggha muncul di podium-podium politik dan tempat-tempat lain dimana, di belakang penyamaran untuk ‘menyelamatkan agama Buddha’, mereka terlibat dalam komunalisme yang paling jahat. Bagi kebanyakan mereka, agama Buddha berada jauh sekali di belakang ke-Sinhala-an mereka. Para ‘biku’ secara hiruk-pikuk menyokongi berbagai partai politik—masing-masing mengklaim melindungi suku Sinhala lebih baik daripada lawan-lawannya. Seruan Buddha untuk menunjukkan cinta kasih kepada semua mahluk tampak tidak menjangkau orang-orang non-Sinhala di Sri Lanka—kalau kita mendengar para ‘biku aktivis’ kita.
            Hari ini para pemuda Buddhis kita terhanyutkan tanpa kemudi ke dalam abad ke-21 tanpa bimbingan yang cerdas dari Sanggha. Kita sungguh-sungguh membutuhkan sebuah kelompok biku yang berpendidikan dan terlatih dalam pemikiran modern agar mereka dapat memberikan bimbingan Buddhis kepada para kawula muda yang dewasa ini yang dilanda beribu-ribu godaan kehidupan modern. Itulah yang kita butuhkan—bukan wihara-wihara yang lebih besar, lebih mewah dan lebih berisik.
Inilah tantangan utama yang harus dihadapi oleh Sanggha Sinhala. Janganlah kita menipu diri sendiri karena visibilitas yang tinggi dari sekolah-sekolah minggu yang dipadati oleh anak-anak laki-laki dan perempuan yang berpakaian putih-putih. Mereka itu adalah korban tak berdosa dari para guru yang kurang persiapan dan tak bersemangat yang hanya mengulang-ulang bahasa klise yang baik-baik dan menjejali semua itu kepada mereka untuk kompetisi ujian-ujian akademik tentang Dharma.
Kita harus ingat bahwa para pemberontak pada tahun 1971 tersebut juga mengaku, ketika diinterogasi, bahwa mereka semuanya pergi ke sekolah-sekolah minggu yang sama! Ini adalah sebuah bukti yang jelas untuk kegagalan sistim pendidikan keagamaan seperti itu yang kiranya tak pernah punya dampak apapun pada pembangunan yang berjalan dengan susah payah dan tanpa menghiraukan apapun.
            Sebuah omelan terakhir terhadap organisasi Buddhis terkemuka kita yang telah mengeras menjadi tempat-tempat singgah untuk para pensiunan lansia. Tidak ada umat Buddhis muda yang memperlihatkan minat untuk mengambil kedudukan-kedudukan yang sudah beku itu. Beberapa dekade yang lalu, memang ada organisasi yang aktif dan efektif seperti yang dipimpin oleh Anagarika Dharmapala, Baron Jayatillala dan G. P. Malalasekera pada masa muda mereka dahulu.
Kita membutuhkan semua cendekiawan Buddhis muda yang dapat kita peroleh untuk memimpin masyarakat sekali lagi dan berjuang mengembalikan Sanggha yang telah merosot itu kepada wujudnya yang suci semula. Tetapi apakah organisasi-organisasi ini dan panitia-panitia Sanggha yang sayangnya sangat terbatas itu berfikiran cukup terbuka?
Bila mereka tidak mereformasi diri supaya menarik perhatian para kawula muda untuk bergabung dengan barisan mereka, saya meramalkan bahwa Buddha Dharma akan segera menghilang dari kalangan orang-orang Sinhala—walaupun pada saat yang sama wihara-wihara yang lebih besar dan kaya masih akan bermunculan dan alat pengeras suara meraungkan kotbah-kotbah usang untuk didengarkan oleh ibu-ibu tua yang sedang mengantuk.  
            Sebagai kesimpulan, izinkanlah saya mencoba menjawab pertanyaan di awal tulisan ini—‘Mengapa Saya Menjadi Seorang Buddhis?’ Jawabannya adalah karena saya meyakini kebenaran Buddha Dharma; dan, sebagai orang Sinhala, saya terkait dengan agama Buddha dan leluhur kami yang pertama sekali memeluk agama Buddha lebih 2300 tahun yang lalu. Harapan saya yang sungguh-sungguh adalah agar kita akan menjauhkan diri kita dari segala sampah yang melekat pada praktek agama Buddha di Sri Lanka dan agar supaya Dharma yang murni itu dapat mengantarkan negara kita ke milenia yang akan datang. (hbs)
Sepilihan Kepustakaan
Ariyesako, Biku, The Biku’s Rules, A Guide for Laypeople, 1998.
Aung San Suu Kyi, Freedom from Fear, 199.1
Bodhi, Biku, The Necessity  of Promoting Buddhism in  Europe, 2000.
--------------, Transendential Dependant Arising, 1980.
 Blackburn, Ann, M. Buddhist Learning and textural Practice in Eighteenth-Century
         Lankan Monastik Culture, 2001.
Breiter, Paul. Venerable Father – A Life With Ahjahn Chah, 1993.
Bucknell, R, and Kang, C. The Meditative Way, 1997.
Bunnang, J. Buddhist Monks, Buddhist Laymen, 1973. 
-------------,  Epigraphia Zeylanica, 1904-in progress, Vol. I,II,III,IV,V.
Geiger.W, Mahavamsa, London, 1912.
Gombrich, Richard, Precept and Practice, 1971. 
Gombrich, R and Obeyesekere, G, Buddhism Transformed, 1988.
Gomez, Luis O, ‘Karunabhavana; Notes on the Meaning of Buddhist Compassion’,   The 
Tibet Journal, Vol III, No 2, 1978.
Gunawardana.R.A.L.H, Robe and Plough – Monastikism and Economic Interest in Early
Medieval Sri Lanka, 1979.
Harrison, Eric, The Naked Buddha, 1999.
Hinuber, v. Oskar. A Handbook of Pali Literature, 1996.
Ishii,Yoneo, Sanggha, State and Society-A Community Study  of  Thailand, 1986.
Jackson, P.  A, Buddhism, Legitimization and Conflict, 1989.
Kabilsingh, Chatsumarn, Thailand Women in Buddhism, 1991.
Kantowaky, Detlef, Saravodaya – The Other Development, 1980.
Keown, Damien, ‘Morality in the Visuddhimagga’, The Journal of International
Association of Buddhist Studies, Vol.6, 1980.
Khantipalo, Biku, Lay Buddhist Practice, 1982.
Ling,  T, O, Buddhism, Imperialism and War, 1979.  
Maguham, W. Somerset,  A Gentleman in the Parlor, 1930.
Mahasi Sayadaw, Dharmacakkappavattana Sutta, 1981.
 -------------------, Brahmawihara Dharma, 1989.
Mendelson,E.M, Sanggha and State in Burma, 1975.
Nanamoli, Biku, The Path of Purification, 1956.
Nyanananda, Concept and Reality, 1971.  
Nyanaponika, Protection  Through Satipatthana, 1967.
Pannapadipo, Phra Peter, Phra Farang: An English  Monk in Thailand, 1997.
Rahula,Walpola, History of Buddhism in Ceylon, 1956.
Seniviratne.H.L.The Work of Kings-The New Buddhism in Sri Lanka, 1999.
Southwold, Martin, ‘True Buddhism and Village Buddhism in Sri Lanka’, in Religious
Organization and Religious Experience, Davis, J (ed) 1982.
Suksamran, Somboon, Buddhism and Politics in Thailand, 1982. 
Tambiah, S. J. Buddhism and the Spirit Cults in North-east Thailand, 1970. 
Thanissaro Biku, The Buddhist Monks Code, 1994.
Wirz, Paul, Exorcism and the Art of Healing in Ceylon, 1954.
Buku-buku lainnya oleh S. Dhammika
Praised by the Wise, 1987
Good Question Good Answer, 1987. (tersedia dalam bahasa Arab, Assam, Burma, Bahasa Hindi, Indonesia, Bahasa Malaysia, Cambodian, Chinese, Hindi, Kannada, Ladakhi, Newari, Sinhala, Spanish, Tamang, Tamil and Vietnamese)
Gemstones of the Good Dharma, 1987. (tersedia dalam Bahasa Malaysia, Hindi dan Newari)
Encounters with Buddhism, 1989. (tersedia dalam Bahasa Indonesia dan Sinhala)
Matreceta’s Hymn to the Buddha, 1989.
Buddha Vacana-Daily Readings from the Sacred Literature of Buddhism,1989. (tersedia dalam Bahasa Indonesia, Belanda, Mandarin dan Tamil)
All About Buddhism-A Modern Introduction to an Ancient Spiritual Tradition, 1990.  (tersedia dalam Bahasa Indonesia dan Sinhala)
Middle Land Middle Way-A Pilgrim’s Guide to the Buddha’s India, 1991. (tersedia dalam bahasa Burma, Korea,  Sinhala dan Tibet)
The Sayings of the Buddha, 1991.
The Buddha and His Disciples, 1992. (tersedia dalam bahasa Sinhala)
The Edicts of King Asoka, 1993.
How to Protect Yourself from Cults, 1993.
Navel of the Earth-The History and Significance of Bodh Gaya, 1996. (tersedia dalam bahasa Burma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar