1. Aliran Tantrayana, Mantrayana dan Vajrayana
Secara umum ajaran Buddha terbagi dalam tiga aliran:
§ Theravada/hinayana pencapaian tertinggi seorang Arahat.
§ Mahayana pencapaian tertingginya menjadi seorang Bodhisatva.
§ Tantrayana/vajrayana pencapaian tertingginya adalah menjadi seorang Buddha.
Vajrayana alias Tantrayana alias Mantrayana adalah sebuah sub sekte daripada Mahayana. Boleh dibilang, Tantrayana adalah aspek esoterik dari Buddhism, khususnya Mahayana.
Yang mana seharusnya merupakan tahap akhir dalam perjalanan spiritual
seorang Buddhist setelah sebelumnya menapaki Staviravada (Theravada),
lalu kepada Mahayana tradisi Sutra, lalu berlanjut kepada Mahayana
tradisi Tantra (Vajrayana).
1. Aliran Tantrayana, Mantrayana dan Vajrayana
a. Aliran Tantrayana
Ajaran
Tantrayana yang mulai diperkenalkan secara luas oleh Buddha
Padmasambava yang terlahir dari sebuah teratai tidak mempunyai orang tua
kandung, langsung terlahir dalam sebuah teratai dengan berwujud seorang
bocah yang telah berusia delapan tahun. Dari kelahirannya yang sangat
mukjizat dan rahasia (disebuah pulau yang tidak berpenghuni manusia) ini
saja sudah tercermin dari ajarannya.[1]
Padmasambava
muncul di zaman kegelapan untuk menyelamatkan mahluk hidup seperti
rembulan welas asih di atas danau keyakinan para pengikutnya.
Ajaran
Padamasambava di zaman ini juga terpecah menjadi empat aliran yang
berdiri sendiri di Tibet, menjadi aliran Nyingmapa, aliran Gelugpa,
aliran Kagyud, Aliran Sakyapa dan satu lagi tantra timur di Jepang Zhong
ci pai. Memasuki zaman kegelapan ini Ajaran Buddha Padmasambava sejati
dipersatukan kembali dan (diperkenalkan kembali). Dirintis oleh Buddha
Lien Sen yang mendirikan aliran Chen Fo Chung (CFC/TBSN). Dengan lebih
sempurna memperjelas ajaran-ajaran yang lebih terperinci yang dimulai
dari tingkatan orang biasa sehingga mencapai kebuddhaan dalam tubuh yang
ini dan kehidupan ini.
Ajaran
ini telah dibuktikan dan dilaksanakan sendiri oleh Master Lu Sheng Yen
sehingga mencapai keBuddhaan (Buddha Lien Shen/Padmakumara). Dan
memberikan jaminan kepada setiap orang akan mencapai kebuddhaan bila
melaksanakan ajarannya dengan baik.[2]
Padmasambava
mengajarkan instruksi/mudra yang mendalam berikut mantera rahasianya
yang dapat mencapai kebuddhaan dalam tubuh dengan kehidupan.
Tantra
itu mewakili di antara sekte-sekte Mahayana, panca indera mengenai
semangat, secara tradisi ditegaskan sebagai terdiri dari perawatan dan
hasil dari yang bermanfaat, dan menghapuskan serta gangguan dari yang
tidak bermanfaat, keadaan mengenai pikiran. Dengan keadaan bermanfaat
dari Jhana, atau Dhyana, pikiran yang terutama dimaksudkan. Maka dari
itu kepentingan yang didominasi Tantra bukanlah teori tetapi praktek.
Tantra,
walaupun secara jelas menggabungkan doktrin dari sekte-sekte yang lebih
dahulu, berbeda secara radikal dari mereka semuanya di dalam mengenai
bukan dengan perluasan teori yang lebih lanjut dari doktrin-doktrin ini,
tapi dengan penerapan metode menuju pada realisasi realitas dari mana
mereka adanya namun simbol konseptual. Jadi Tantra memiliki sebegitu
banyak pada bidang menguasai doktrin sebagaimana pada bidang menguasai
metode. Tradisi-tradisi Buddhist yang ada diterima sebgaimana adanya,
asalkan bukan sebagai suatu titik awal untuk tindakan. Lebih daripada
setiap sekte lainnya, Tantra mewakili segi latihan mengenai Buddhism,
dan karena alasan ini, jadi Dr. Herbest V. Guenter sangat menekankan,[3]
‘Itulah di dalam Tantra bahwa Buddhism menemukan kemekaran dan peremajaan lagi yang konstan’.
Tetapi
walaupun Tantra berarti tindakan, dan karenanya untuk kekuatan di dalam
semua modenya, itu tidak berarti tindakan secara umum, yang akan lebih
baik dimiliki hanya aktivitas, tapi terutama untuk ritual atau perbuatan
sakral. Di dalam prinsip ringan yang fundamental ini, dasar ‘kebenaran
bagi eksistensi’ lebih dari penekanan Tantra dengan ciri-cirinya secara
jelas diperlihatkan.
Pentingnya
aspek dan tradisi yang permulaan di mana memberikan dasar teori yang
paling dekat mengenai kesakramenan Tantra; dikarenakan, sebagaiman Conze
mengamati secara dekat;
‘jikalau
Tantra mengharapkan keselamatan dari perbuatan suci, itu haruslah
mempunyai suatu konsepsi mengenai Alam Semesta yang menurut perbuatan
seperti itu dapatlah pada pengangkatan pembebasan’.
Jikalau
realitas transendental menunjukkan Aksobhya, misalnya, sungguh-sungguh
ada, itu haruslah memungkinkan untuk menempatkan Dia pada suatu tempat
yang penting di dalam setiap bentuk mengenai kehidupan fenomena dan
aktivitas. Bukanlah itu, walaupun dikatakan Bulan itu dipantulkan sebuah
kolam air, tidak dipantulkan dalam keseluruhan kolam itu, tapi hanya
dalam satu bagian penting darinya. Untuk mengetahui bahwa Akshobhya
dipantulkan dalam dunia fenomena tidaklah cukup. Dunia itu terdiri dari
lima skandha. Salah satu dari mereka itu haruslah pentulan aksobhya.
Karena pengertian harfiah dari Aksobhya adalah ‘Yang Tenang Sekali’.
Tantra mengenali Aksobhya dengar Vijnanaskandha atau kumpulan dari
kesadaran. Pada prinsip ini Tantra membangun sistem dalam Buddha,
Bodhisattva dan Dewa yang tidak terhitung semua mewakili baik aspek yang
berbeda mengenai Realitas atau tingkatan yang berbeda mengenai Jalan
Transendental, dihubungkan tidak hanya dengan suatu kumpulan (skandha)
dari milik mereka, tapi juga dengan suatu kumpulan yang penting ‘mantra,
mudra, unsur (elemen), arah, hewan, warna, indera-perasaan, bagian dari
tubuh dan sebagainya.[4]
Tantra
adalah lebih sulit untuk memberikan suatu penjelasan daripada sekte
lainnya dalam Buddhisme. Alasannya ialah kedua-duanya mengenai ajaran
bagi internal dan eksternal. Untuk memulai dengan Tantra ialah bukan
dengan penyamarataan teori tapi dengan latihan yang teratur dan
mendalam, karena mengenai suatu tingkat yang lebih tinggi bukanlah
eksoterik melainkan esoterik, yang selama berabad-abad dijaga secara
bersama-sama dengan cara tradisi lisan dan dengan hati-hati melindungi
dari keinginan-keinginan yang kotor.[5]
Materi
untuk menulis sejarah gerakan esoterik kenyataannya akan sangat
sedikit, jikalau bukan semuanya tidak ada. Bahkan ketika catatan sastra
dari sekte-sekte permulaan, pada umumnya semua yang dapat diperoleh
adalah sedikit pengalaman yang terisolir. Lagipula, karena bahasa Tantra
acapkali secara simnbolis bahkan dari judulnya, naskah Tantra selama
ini tidaklah dipublikasikan, jadi siapa saja yang kebetulan membacanya
dengan ketiadaan tradisi lisan membantu terbebas dari kesulitan.
Inilah sebuah jalinan mata rantai yang kokoh yang saling mendukung yang membawa kepada hasil di dalam praktek-praktek Tantra.
Pada jaman sekarang, Tantrayana lebih dikenal berasal dari Tibet.
Sehingga orang awam berpendapat bahwa Tantrayana adalah agama Buddha Tibet,dan bersumber dari kepercayaan dan "rekayasa/ciptaan" bangsa Tibet.
Sehingga orang awam berpendapat bahwa Tantrayana adalah agama Buddha Tibet,dan bersumber dari kepercayaan dan "rekayasa/ciptaan" bangsa Tibet.
Hal ini tidaklah mengherankan,karena hanya di Tibet, Bhutan, Nepal, Ladakh, India dan Mongolialah Tantra tetap eksis dan bertahan sampai sekarang,terutama sekali di Tibet.
Identitas Tantrayana di Tibet
Identitas mazhab Tantrayana di Tibet dapat diuraikan sebagai berikut :
a. matra atau ukuran yang dikenal sebagai silsilah turun-temurun (lineage). Silsilah
turunan utama tersebut meliputi para Guru yang diawali dengan Sang
Buddha, para acharya yang berasal dari India sampai dengan guru dari
Tibet pada masa-masa sekarang ini, yang telah memberikan / menurunkan
ajaran Tantrayana baik secara metode lisan maupun tulisan menurut
tradisi turun-temurun.
b. Faktor
yang lain adalah kelompok ajaran secara lisan dan tulisan yang
dihasilkan oleh para anggota daripada silsilah turun temurun (lineage)
tersebut, termasuk uraian, karangan, komentar, tafsiran, ulasan,
tekstual yang mengandung unsur ritual dan sebagainya.
c. Sekte
sekte dikenal pula dengan cara latihan masing-masing yang khas dan
unik. Misalnya sekte Kar-gyu-pa menitik beratkan meditasi, yang umumnya
disebut tradisi meditasi atau samadhi. Sedangkan sekte Kah-dam-pa
ataupun sekte Ge-lup-pa dikenal memiliki tradisi disiplin intelektual.
d. Faktor
lain yang menonjol dan menarik perhatian adalah gabungan biara/
monastery tempat para Lama/Bhiksu yang berfungsi sebagai tempat belajar
serta tempat latihan religi. Biasanya suatu biara merupakan markas besar
yang resmi bagi satu sekte sambil dijadikan sebagai suatu contoh atau
model bagi yang lainnya. Setiap sekte besar memiliki banyak biara.
Sedang sekte yang kecil hanya memiliki satu atau dua biara saja.
e. Setiap sekte juga dikenali dengan memimpin spiritual yang berkedudukan tinggi, biasanya disebut "Tulku".
Sekte-sekte Tantrayana yang utama di Tibet
Sekte-sekte Tantrayana yang utama di Tibet adalah:
1. Sekte nim-ma-pa (sekte jubah merah/ancient red sect):
Anggota
sekte ini selalu memakai jubah dan topi merah. Mereka merupakan
keturunan dari garis silsilah (lineage) dari maha guru Padma sambhava.
Mereka
menjalankan ajaran esoteric (ajaran rahasia). Ajaran dan interpretasi
sekte ini merupakan penggabungan dari Buddha Dharma dan Bon-pa. Dan di dalam prakteknya mereka tidak hanya merupakan jalan pikiran yang rasional, namun juga memerlukan inspirasi guna menguasai:
- Dasar permulaan ajaran di transfer langsung dari para acarya India
- Mempertahankan tradisi teks-teks kuno yang disimpan / dipendam dalam bumi (tanah) seperti Kitab Bardo Thodol.
2. Sekte Kah-dam-pa
Sekte
ini dipelopori oleh Atissa Srinyana Dipankara pada tahun 1042 masehi.
Atissa pada tahun 1012 pernah mengunjungi Sriwijaya dan berguru pada
Maha Acarya Dharmapala selama duabelas tahun, Atissa kembali ke Tibet
pada tahun 1042. Beliau wafat tigabelas tahun, kemudian perkembangannya
dikemudian hari sekte ini bergabung denga Ge-lug-pa.
3. Sekte Ge-lug-pa (Sekte jubah kuning)
Anggota
sekte ini mengenakan jubah berwarna kuning. Sekte ini merupakan
pembaharuan dari sekte Kah-dam-pa dan dipelopori oleh Tzong-ka-pa pada
abad XV.
4. Sekte Kar-gyu-pa
Sekte
ini didirikan oleh Lama Marpa pada abad XI. Garis silsilah (lineage)
sekte ini diawali dengan Buddha Vajradhara (symbol Penerangan Agung).
Para siswa sekte ini dalam pelaksanaan latihan religi dan upacara
ritualnya wajib memandang gurunya sebagai Vajradhara, supaya dapat lebih
mendekatkan diri pada Sang Buddha, sambil menjamin keberhasilan
hubungan erat antara guru dan murid. Salah seorang siswa Marpa yang
terkenal adalah Milarepa, yang juga dikenal sebagai filsuf dan penyair
terkenal dari Tibet.
b. Aliran Mantrayana
Bahwa
Mahayana lambat laun menujun ke arah jalan kelepasan yang lain daripada
yang ditawarkan oleh Buddha semula. Maka dengan jelas orang mulai
merumuskan berbagai jalan kelepasan, seperti yang diperkembangkan juga
oleh agama Hindu.[6]
Mahayana
terdiri dari dua kendaraan, Paramitayana dan Mantrayana. Paramitayana
adalah "Penyebab kendaraan" di mana tidak ada meditasi pada diri sendiri
sehubungan dengan empat kemurnian lengkap tempat tinggal, properti
tubuh, dan kegiatan, wakil dari istana Buddha, kekayaan tubuh, dan
perbuatan. Mantrayana adalah "Pengaruh kendaraan," di mana ada meditasi
pada diri sendiri sebagai representasi fisik dari empat kemurnian
lengkap. Dalam Mantrayana, karenanya, seseorang bermeditasi pada diri
sendiri sebagai sebuah rumah besar ilahi, rombongan ilahi, alat ritual
ilahi, dan perbuatan ilahi memurnikan kosmos dan penduduknya dengan cara
yang sama sebagai seorang Buddha. [7]
Di
dalam abad ketujuh timbul lagi suatu jalan yang ketiga yang disebut
Mantrayana atau jalan dengan kalimat-kalimat yang memounyai daya gaib
(mantra). Nama-nama lainnya yang dipakai ialah Tantrisme, karena
pandangan-pandangan mengenai jalan ini dicantumkan dalam Tantra-tantra;
dan Vajrayana atau jalan intan, perjalanan intan, ialah yang keras dan
tak terbinasakan, yaitu kenyataan yang tertinggi.[8]
Menurut
namanya, maka aliran ini mencari alat gaib teristimewa di dalam mantra,
kalimat yang berkekuatan gaib. Tetapi selanjutnya, gambaran-gambaran
(mandala) dan perbuatan-perbuatan upacara keagamaan, di mana sikap
tangan (mudra) sangat penting memainkan peranan juga. Juga pertarakan
dan yoga di sini mendapat tempat pula, seperti pendapat yang kita jumpai
di dalam zaman yang jauh lebih tua lagi di dalam agama Buddha, bahwa
manusia yang mebuat kemajuan-kemajuan di jalan yang menuju kepada
pengertian yang mendalam, mendapat kekuatan-kekuatan yang istimewa pula.
Shadaka,
ialah orang yang menjalankan perbuatan-perbuatan magis, atau sebenarnya
orang yang berusaha ke arah tujuannya, menghubungkan dirinya sendiri
dengan alat-alat magis (mantra, mudra) ke dalam keseluruhan
tenaga-tenaga kosmis dan mengekang serta menguasainya.
Hal
ini berarti bahwa dalam setiap usaha untuk membentuk suatu Mandala
haruslah memiliki suatu nilai praktis yang mempengaruhi prilaku
perseorangan (carya). Mantrayana ini juga memiliki sikap yang tegar
menentang segala bentuk khayalan dan menumbuhkan bodhi sebagai lawan
dari nirodha. Kesemua hal ini, dilaksanakan untuk mencapai langkah
terakhir yakni guru yoga sebagai sarana kekuatan untuk mengatasi diri
seseorang.
Dalam
pengertian yang dalam dapat dikatakan, bahwa guru yoga adalah kenyataan
itu sendiri yang dapat kita saksikan dan berada dimana-mana. Namun
tanpa bimbingan seorang guru (manusia) yang telah mempraktekkan yoga dan
mampu membimbing siswanya dalam menempuh halangan-halangan yang sulit.
Istilah
Mantrayana kelihatannya telah menerima aslinya pada keperluan khusus
bahwa cabang Mahayana yang menganjurkan pembacaan ulang mengenai mantra
sebagai usaha prinsip mengenai paramita. Menurut Shashi Bhusan Dasgupta:
‘Mantrayana adalah sekte dari Mahayana’, kelihatannya adalah tingkat
perkenalan mengenai Buddhisme Tantra dari semua cabang mengenai
Vajrayana, Kalacakrayana, Sahajayana, dan seterusnya yang timbul
dikemudian hari.
Meskipun
demikian, sebagai keadaan hal yang sebenarnya dengan cabang-cabang
Tantra Cina dan Jepang, istilah Mantrayana berlanjut di dalam penggunaan
sebagai suatu petunjuk kolektif tidak hanya untuk memperkenalkan tapi
juga untuk tingkat lebih lanjut dari gerakan Tantra, dan seperti itu
dari satu waktu dipakai sampai dengan sekarang.
c. Aliran Vajrayana
Berasal
dari kosa kata Sanskrit "Vajra" yang berarti berlian dalam aspek
kekuatannya, atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya.
Serta dari kata "yana" yang berarti wahana/kereta. Menurut Wang Shifu,
Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri berarti "Tenun"
dalam bahasa Sansekerta, merujuk kepada prakteknya yang bertahap namun
pasti.
Vajrayana atau kadang ditulis Vajrayana, adalah suatu ajaran Buddha yang di Indonesia
lebih sering dikenal dengan nama Tantra atau Tantrayana. Namun banyak
juga istilah lain yang digunakan, seperti misalnya: mantrayana, ajaran
mantra rahasia, ajaran Buddha eksoterik. Vajrayana adalah merupakan
ajaran yang berkembang dari ajaran Buddha Mahayana,
dan berbeda dalam hal praktek, bukan dalam hal filosofi. Dalam ajaran
Vajrayana, latihan meditasi sering dibarengi dengan visualisasi.[9]
Adapun
tujuan akhir daripada Vajrayana, ialah mencapai kesempurnaan dalam
pencerahan dengan tubuh fisik kita saat ini,di kehidupan ini juga, tanpa
harus menunggu hingga kalpa-kalpa yang tak terhitung. Oleh karena
tujuan akhir inilah, di dalam Vajrayana ditemui metode-metode esoterik
yang dengan cepat bisa membawa kita kesana.
Ajaran Vajrayana secara umum di berbagai negara lebih dikenal sebagai ajaran agama Buddha Tibet, yang merupakan bagian dari Mahayana
dan diajarkan langsung oleh Buddha Sakyamuni yang amat cocok untuk di
praktikkan oleh umat perumah tangga, umat yang hidup sendiri (tidak
menikah), ataupun umat yang memutuskan untuk hidup sebagai bhiksu di
vihara Vajrayana.
Menurut
catatan, banyak sekali praktisi tinggi Vajrayana yang memiliki
kemampuan (siddhi) yang luar biasa, misalnya: menghidupkan kembali ikan
yang telah dimakan (Tilopa), terbang di angkasa (Milarepa), membalikkan
arus sungai gangga (Biwarpa), menahan matahari selama beberapa hari
(Virupa), mencapai tubuh pelangi (tubuh hilang tanpa bekas, hanya
meninggalkan kuku dan rambut sebagai bukti), berlari melebihi kecepatan
kuda, merubah batu jadi emas atau air jadi anggur, memindahkan kesadaran
seseorang ke alam suci Sukavati (yang dikenal dengan istilah phowa),
dapat meramalkan secara tepat waktu serta tempat kematian &
kalahirannya kembali (H.H. Karmapa), lidah dan jantung yang tidak
terbakar ketika di kremasi, terdapat banyaknya relik dari sisa kremasi,
dll. Di dalam Vajrayana, semua hasil yang kita peroleh dari latihan
kita, haruslah kita simpan serapi mungkin, bukan untuk di ceritakan pada
orang lain. Sebagai pengecualian, kita boleh mendiskusikan hal tersebut
dengan Guru kita, jika memang ada hal yang kurang kita mengerti.
Tantra Tibet, juga dikenal sebagai Vajrayana, mengacu pada ajaran inti dari kedua Mahayana dan Hinayana, dua sekolah agama Buddha. Buddhisme
Mahayana menekankan bahwa bantuan para dewa dan Bodhisattva dapat
memberikan kepada masyarakat untuk membantu mereka melarikan diri
samsara, siklus terus-menerus kematian dan kelahiran kembali. Doktrin
Mahayana mengajarkan tidak mementingkan diri, tahap Bodhisattva,
kesempurnaan dan doa untuk mencapai keselarasan sempurna demi semua
makhluk. Hinayana, kadang-kadang disebut "jalan kecil," menekankan
emansipasi pribadi bukannya prihatin dengan beban orang lain. Sementara
mereka yang praktek Hinayana awalnya tidak melakukannya dengan maksud
memperoleh Kebuddhaan, akhirnya jalan ini terlalu dapat menyebabkan
Mahayana dan pencerahan.
Dalam
ajaran Buddha Tibet ini dikenal dengan beberapa sekte. Sekte besar
antara lain Nyimapa (merah), Sakyapa (kembang), Kagyudpa (putih), dan
Gelugpa (kuning). Sedangkan sekte kecil, antara lain Shijepa, Zhibyepa,
Chonangpa, Shalupa, dan Bonpa (hitam).
Dalam ajaran Vajrayana, sekte menjadi penting karena merupakan sebuah identitas. Ini adalah sekilas informasi tentang sekte-sekte besar yang mempunyai tradisi ciri khasnya masing-masing :
- Gelug
(sekte Gelugpa): pendirinya adalah Tsongkhapa (1357-1419) lebih
menekankan kepada disiplin intelektual, karenanya para Bhiksu dari Gelug
amatlah pandai dalam pembahasan Metafisika, filsafat, dll. Pusaka ajaran yang terkenal dari tradisi ini adalah Krama Marga alias Lam Rim (Jalan dan Tahap).
Tradisi ini didirikan oleh Je Tsongkhapa, dengan Kadampa sebagai
pendahulu Gelug, yang mana Kadampa ini didirikan oleh seorang Maha Guru
India, yaitu Atisha Dipamkara.
- Sakya
(sekte Skayapa): Kunchong Gyalpo (1034-1102) terkenal dengan
naskah-naskah autentiknya, pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Lam
Dray (Jalan dan Hasil). Tradisi ini berawal dari Sakya Shri Bhadra dari
India, yang merupakan pemegang tahta terakhir dari Institut Buddhist
Nalanda yang mengungsi ke Tibet pada saat invasi dari Moch.Bhaktiar
Khalji, juga oleh beberapa Lotsava agung yg disebutkan oleh Vince
Delusion sebelumnya.
- Kagyu
(sekte Kagyudpa): (Dagpo Kagyud) didirikan oleh Gampopa (1079-1133).
terkenal sebagai tradisi Meditatif, lebih menekankan kepada
metode-metode Yoga-nya. Pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Maha
Mudra, yang meliputi Enam Yoga Naropa (tib.Naro Cho Drug ;
skt.Saddharmopadesa), serta metode-metode esoterik lain yang
menyertainya dari awal sampai akhir, juga pendidikan Shedras selama 12
tahun yang diikuti dengan retreat Maha Mudra di dalam ruang tertutup
selama 3 tahun 3 bulan 3 hari merupakan ke-khas-an tersendiri dalam
tradisi Kagyu. [10]
- Nyingma (sekte Nyingmapa): Dikenal sebagai tradisi non-Monastic.
Terkenal dengan pusaka Terma nya,serta ajaran-ajaran esoterik langka di
masa lampau. Ciri khas utama ajaran dari tradisi ini adalah Dzogchen
(Maha Sandhi). Tradisi ini berawal dari Vajra Guru Padmasambhava (Lian
Hua Sheng Da Shi) lebih kurang 700 M.[11]
2. Ritual dan Praktek
a. Tantrayana
Jalan Tantra berusaha untuk mengubah nafsu manusia dasar keinginan dan kemalasan dalam pertumbuhan rohani dan pembangunan. Jadi,
bukannya menyangkal primal seksual dan sensual mendesak seperti dalam
agama Buddha tradisional, praktek Tantra menerima ini mendesak kehidupan
sebagai suci energi kekuatan, yang dimurnikan dan berubah menjadi
kekuatan sehat dan sehat menghubungkan individu dengan kesadaran
spiritual yang lebih tinggi. Untuk
menjadi sukses dengan kerja Tantra, seseorang harus memiliki
keterampilan dalam kontrol diri dan penerimaan diri dan orang lain.
Tindakan
atau perbuatan itu ada 3 macam, yakni: tubuh, vokal, dan mental.
Pikiran atau perbuatan mental, darimana pikiran yang dikonsentrasikan
ialah keserbaragaman yang paling manjur, menentukan ucapan dan tindakan
yang mempengaruhi pikiran. Perbuatan sakral dari Tantra bertujuan
menghasilkan suatu transformasi mengenai kesadaran dengan usaha dari
(secara spiritual) suara dan gerakan yang sangat mempunyai arti secara
spiritual.
Dengan
suara yang sangat mempunyai arti secara spiritual dengan berbagai
‘dharani atau mantra’ yang disebabkan oleh akibat yang sangat besar
pengulangan yang konstan ada pada pikiran, menduduki di dalam Buddism
Tantra suatu posisi yang sangat penting. Gerakan yang sangat mempunyai
arti itu secara spiritual mencakup semuanya yang diperbuat oleh sebagian
tubuh, seperti mudra yang dilakukan oleh tangan, dan yang
diperbuat mengenai sembah dan tari. Karena ritual dan perbuatan sakral
dapat dibentuk hanya dengan tubuh. Tantra jauh dari menurunkan tubuh
menyambutnya sebagai kapal keselamatan dan memujanya dengan suatu
ekstent yang tidak terdengar dari dalam setiap bentuk lain Buddism.
Lebih dari itu, tidak hanya bagian tubuh dari alam semesta material,
tapi banyak obyek material dikerjakan untuk tujuan sakramen; karena itu
Tantra menganggap dunia itu juga bukan sebagai suatu rintangan tapi
sebagai suatu bantuan Penerangan, memuliakannya sebagai gambar hidup
dari keselamatan dan wahyu dari Yang Absolut. Sebagai ganti mengorbankan
dunia itu seseorang harus hidup di dalamnya, di dalam suatu jalan
seperti itu bahwa kehidupan dunia sendirinya diubah ke dalam kehidupan
transendental.
Menurut
pandangan Tantra, menanamkan tubuh itu dengan kesucian adalah
kemungkinan dari tindakan manusia pada pikiran bukan hanya oleh gerakan
anggota tubuh tapi dengan memainkan pernafasan dan air mani, semuanya
dihubungkan secara intim bahwa dengan mengendalikan setiap salah satu
dari semua itu dan sisanya yang dua itu dikendalikan secara otomatis.
Lagi, dihubungkan tidak sebanyak dengan perumusan filsafat yang luas
daripada dengan notulen yang mendetail mengenai latihan spiritual,
aspek-aspek tertentu yang terlalu kompleks, sulit, dan sedikit untuk
disetujui dengan tulisan. Tantra tentu saja sangat menegaskan perlunya
menerima inisiasi atau upacara dan petunjuk dari sorang guru spiritual
yang ahli.[12]
b. Mantrayana
Pokok-pokok ajaran Mantrayana dapat ditemui pada karya karya padma-dkarpo dari Tibet. Menurut
beliau, tujuan dari Mantrayana adalah sama seperti apa yang dituju oleh
aliran-aliran lainnya dalam agama Buddha, yakni kemanunggalan manusia
dengan penerangan sempurna atau kesempurnaan secara spiritual.
Langkah
pertama untuk mencapai tujuan tersebut menurut konsepsi Mantrayana
adalah mengambil perlindungan serta mempersiapkan diri dengan berpedoman
pada Bodhicitta, yang berarti fondasi dari segala macam kebaikan,
sumber dari segala usaha kebahagiaan dan sumber dari kesucian.
Bodhicitta biasanya terbagi menjadi dua bagian, yakni :
1. Bodhi pranidhi citta : Tingkat persiapan untuk pencapaian kebuddhaan.
2. Bodhi prasthana citta :Tingkat pelaksanaan sesungguhnya dalam usaha menuju cita-cita.
Bodhicitta adalah sebagai suatu sarana bagi setiap umat Buddha untuk mencapai tujuannya. Perlindungan
tersebut meliputi perlindungan pada Sang Triratna. Dalam hal ini,
Mantrayana memandang Sang Triratna bukanlah hanya sekedar pengertian
harfiah, melainkan sebagai kekuatan spiritual yang disimbolkan oleh
Triratna tersebut.
Sikap
perlindungan yang demikian itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan
keteguhan hati. Keteguhan hati ini berfungsi untuk menguak tabir
rahasia untuk mencapai penerangan sempurna. Dan selanjutnya akan
menumbuhkan perubahan sikap, membawa si siswa untuk mulai melihat
keadaan sesungguhnya tentang 'diri' dan alam sekitarnya.
Tahapan
selanjutnya yang harus dilaksanakan adalah memperkuat dan memajukan
sikap baru yang diperoleh dari meditasi dengan membaca mantra
berulang-ulang. Mantra adalah kata dalam bahasa sanskerta yang berarti
pesona. Mantra adalah satu suku kata yang berfungsi sebagai 'suatu
pelindung pikiran' yang mengandung kekuatan magis dan melambangkan
Triratna (Buddha-Dharma-Sangha) ataupun makhluk-makhluk agung lainnya.
Mantra juga merupakan formula untuk memelihara agar pikiran tetap
terkonsentrasi, tidak melayang-layang tak menentu.
Langkah
berikutnya adalah mempersembahkan suatu Mandala (gambar-gambar indah
yang mengandung arti filosofis) sebagai sarana untuk menyempurnakan
pengetahuan pengetahuan yang telah dicapainya. Setiap langkah dalam
mempersiapkan Mandala ini haruslah selalu berhubungan dengan Sad
Paramita (enam perbuatan yang luhur) maupun Catur Paramita (Brahma
Vihara=empat keadaan batin yang luhur). Sad Paramita terdiri dari :
1. Dana Paramita: Perbuatan luhur tentang amal secara materi maupun spiritual.
2. Sila Paramita: Perbuatan luhur tentang kehidupan bersusila.
3. Kshanti Paramita: Perbuatan luhur yang dapat menahan segala macam penderitaan.
4. Virya Paramita: Perbuatan luhur mengenai keuletan dan ketabahan.
5. Dhyana Paramita: Perbuatan luhur mengenai pemusatan pikiran (samadhi/meditasi).
6. Prajna Paramita: Perbuatan luhur mengenai kebijaksanaan.
Catur Paramita atau Brahma Vihara (empat keadaan batin yang luhur) terdiri dari :
1. Metta: Cinta kasih universal.
2. Karuna: Welas asih, kasih sayang, belas kasihan universal.
3. Mudita: Rasa simpati universal, rasa bahagia atas kebahagiaan makhluk lain.
4. Upekha: Keseimbangan batin yang tak tergoyahkan.
c. Vajrayana
Dalam
Wajrayana, terdapat banyak sekali metoda dalam berlatih. Memang banyak
sekali praktisi Wajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal
ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil
samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan.
Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat
kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering
kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam mencapai tujuan
utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa kemampuan
(siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita, yang
sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu
yang harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang
berpandangan salah, mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki
oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi
karena adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.
Praktek Vajrayana tidak terlepas dari penjapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra rahasia.
Ajaran
Wajrayana sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan
Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin
merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan
pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia
menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang akan
ia peroleh.
Sang
Buddha sering berpesan kepada murid-muridNya, bahwa mereka tidak boleh
memperlihatkan kemampuan (siddhi) mereka, tanpa suatu tujuan yang mulia.
Demikian pula, Para praktisi tinggi Wajrayana tidak pernah menunjukkan
kemampuan mereka hanya demi ego, demi ketenaran, demi kebanggaan,
ataupun demi materi. Para praktisi tinggi ini biasanya menunjukkan
kemampuan pada murid-murid dekat, ataupun pada orang tertentu yang
memiliki hubungan karma dengannya, demi Dharma yang mulia, misalnya
untuk menghapus selubung kebodohan, ketidak tahuan, kekotoran batin,
ataupun karena kurangnya devosi dalam diri murid tersebut.
Mazhab
Tantrayana yang berkembang di Tibet sekarang ini pada umumnya adalah
Vajrayana, mengenai Vajrayana di Tibet, Guru Rinpoche Padma Sambhava
memberikan instruksi yang mencakup enam cara untuk mencapai pembebasan
melalui proses pemakaian yang melibatkan Panca Skandha. Ke enam cara
tersebut:[13]
§ Pembebasan melalui proses pemakaian
§ Pembebasan melalui proses pendengaran
§ Pembebasan melalui proses ingatan
§ Pembebasan melalui proses penglihatan
§ Pembebasan melalui proses Pengecapan
§ Pembebasan melalui proses sentuhan.
Panca
Skandha adalah suatu konsep dalam agama Buddha yang menyatakan bahwa
manusia adalah merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik dan
mental yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang disebut lima
kelompok kegemaran, terdiri atas:
1. Rupaskandha/Rupakkhanda (kegemaran kepada bentuk)
2. Vedanaskandha/Vedanakkandha (kegemaran kepada perasaan)
3. Samjnaskhandha/Sannakkhandha (kegemaran kepada pencerapan)
4. Samskaraskhandha/Sankharakkhandha(kegemaran kepada bentuk-bentuk pikiran)
5. Vijnanaskhandha/Vinnanakkhandha (kegemaran kepada kesadaran).
Vajrayana
memandang alam kosmos (alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai
pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh
Buddha), maka didalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan berada
dimana-mana. Oleh karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang
memiliki enam elemen, yakni : tanah, air, api, angin, angkasa dan
kesadaran. Dalam rangkaian yang tersusun sebagai sistim, Vajrayana
selain memiliki pandangan filosofis di atas, juga memiliki puja bakti
ritual maupun sistim meditasi khusus yang disebut Sadhana yaitu meditasi
dengan cara memvisualisasikan dengan mata batin, menyatukan mudra,
dharani (mantra) dan mandala.
Salah satu bukti nyata yang bisa kita lihat adalah peninggalan Tantra di Indonesia:
· Candi
Borobudur,apabila kita melihatnya tegak lurus dari atas langit,akan
terlihat bahwa mahakarya ini membentuk sebuah Mandala (diagram mistik
yang hampir selalu digunakan dalam praktek Tantra). Candi ini merupakan
sebuah Vajradhatu Mandala.
· Candi
Kalasan/ Candi Tara, merupakan sebuah Candi yang didedikasikan untuk
penghormatan kepada Arya Tara, suatu deity populer dalam Mahayana
Tantra.
· Candi
Plaosan yang menurut saya pribadi merupakan tempat khusus untuk
praktek-praktek peningkatan kemakmuran,karena disana pada jaman dahulu
merupakan tempat pemujaan Arya Jambhala, seorang Bodhisattva level Bhumi
ke-8 yang selalu diidentikkan sebagai penganugerah kemakmuran.
· Candi
Biaro Bahal II di Sumatra, merupakan candi khusus untuk praktek-praktek
Yoga Tantra Tertinggi,karena disana dijumpai arca Heruka, deity khusus
yang hanya dilatih oleh para Highest Practitioner.[14]
Daftar Pustaka:
§ Suwarto. T. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995
§ Honig, J.R. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia. Jakarta: 1997
§ http://www.indoforum.org/t96087/#ixzz1pAJ4Xz6S
§ http.vajrayana.wikipedia.com
[2] http://www.indoforum.org/t96087/#ixzz1pAJ4Xz6
[4] Suwarto. T, Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995 hal.444
[8] Ibid. hal.237
[9]http.wikipedia.vajrayana.com
[10] http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
[11] http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
[12] Ibid hal.440
[13]http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[14] http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar