Asal Mula Tentang Kathina/Berdana di Hari Kathina
Dalam agama Buddha ada beberapa hari penting yang diperingati di antaranya : Hari Magha Puja, Hari Waisak, Hari Asadha dan Hari Kathina. Dalam memperingati hari-hari tersebut, selain melaksanakan puja bakti, umat mengisinya pula dengan mempraktekkan kebajikan melalui berdana kepada bhikkhu dan samanera.
Di antara hari-hari penting tersebut, peringatan hari kathina yang merupakan upacara khusus pemberian dana, bagi para umat kepada bhikkhu sangha. Masa kathina berlangsung satu bulan setelah para bhikkhu menyelesaikan massa vassa selama tiga bulan. Dalam masa vassa tersebut para bhikkhu melaksanakan tekadnya untuk berdiam di suatu vihara, dan membabarkan Dhamma. Selama tiga bulan dalam massa vassa, para Bhikkhu tidak boleh pergi kemana-mana kecuali ada keperluan yang penting itu pun dibatasi paling lama meninggalkan vihara tempat bervassa selama tujuh malam.
Umat Buddha walaupun mereka berada dimana saja, meski hidupnya dalam keadaan ekonomi lemah, sebaiknya berusaha untuk ikut berdana di hari kathina, dana dapat berbentuk barang atau uang, meskipun nilainya kecil asal disertai dengan keyakinan. Berarti benih-benih kebaikan telah ditanam.
Hari kathina mempunyai makan khusus dan hari kathina ini saat yang ditunggu-tunggu baik oleh para bhikkhu maupun umat Buddha, yaitu saat kesempatan yang hanya satu tahun sekali dalam mempersembahkan civara/jubah dan barang-barang kebutuhan sangha.
Sebagian umat Buddha dengan jumlah yang tidak sedikit, belum mengetahui asal mula terjadinya hari kathina, maka pada kesempatan ini ada baiknya penulis menguraikan cerita singkat tentang hari kathina, agar mereka yang belum mengerti marilah kita bersama memperingati dan ikut berpartisipasi membantu para anggota sangha.
Sudah menjadi tradisi bagi para bhikkhu/samanera bila sudah sampai musim hujan, harus tinggal di salah satu tempat/ vihara (tidak boleh tinggal di hutan/ dibawah pohon yang tidak ada atapnya) selama tiga bulan untuk bervassa. Masa vassa ini dimulai sejak jaman Sang Buddha.
Masa vassa kaitannya dengan Hari Kathina :
Suatu ketika Sang Baghava bersemayam di Vihara Jetavanaram, di kota Savathi, yang dipersembahkan oleh Anathapindika. Waktu itu ada para bhikkhu dari kota kota Patheyya yang jumlahnya tiga puluh orang bertekad melatih diri dalam meditasi untuk membersihkan kilesa (kekotoran batin) diperbatasan hutan Patheyya dengan cara yang disebut ?Dhutangga Bhikkhu?.
Setelah para bhikkhu mendengar, bahwa Sang Buddha berada di Vihara Jetavanaram, di kota Savathi. Serentak ketigapuluh bhikkhu tersebut meninggalkan hutan di kota Patheya menuju ke kota Savathi untuk menemui Sang Guru Agung Buddha Gotama dan ingin bervassa di Savathi bersama Sang Buddha.
Tetapi sayang di tengah perjalanan sudah mulai musim hujan, hal ini berarti sudah dimulainya masa vassa, jadi terpaksa rombongan para bhikkhu tersebut menghentikan perjalanannya dan bervassa di kota Saketta, yang jaraknya tinggal enam Yojana (Satu Yojana = 16 KM) dari kota Savathi.
Masa vassa sudah berakhir dan para bhikkhu sudah melaksanakan upacara ?Pavarana? (mengakui segala kesalahan/ pelanggaran vinaya dan mohon maaf dengan kelakuan yang tidak sopan, dan bertekad agar praktek Dhamma Vinaya bisa diteruskan dengan murni).
Namun hujan masih turun terus-menerus dan jalanan masih tergenang air dan berlumpur, tapi para bhikkhu tetap meneruskan perjalanannya ke Savathi karena keinginannya untuk bertemu dengan Sang Buddha begitu besar. Para bhikkhu yang berjumlah tiga puluh tersebut akhirnya sampai juga ke Vihara Jetavanaram, langsung menemui Sang Buddha dan bernamaskara lalu duduk ditempat yang sesuai.
Dengan cinta kasih dan kasih sayang Sang Buddha kepada para bhikkhu, Beliau bertanya : ?Bagaimanakah keadaanmu sehingga bisa tahan dalam perjuangan, dan masih memiliki kerukunan dalam Sangha serta tidak ada pertentangan satu sama lain ? Dalam bervassa apakah mendapat kebahagiaan dan bagaimana tentang makan disana apakah mencukupi ??
Para bhikkhu menjawab : ?Yang Mulia Sang Baghava, kami masih bisa bertahan, hidup rukun dan bahagia dalam vassa melaksanakan dhamma vinaya dengan baik dan tidak mendapat kesulitan dengan makanan/pindapata?
Selanjutnya Sang Buddha membabarkan Dhamma kepada para siswanya yang kemudian membawa kegembiraan dan semangat, rukun dalam persamuan Sangha demi mencapai kesucian.
Sang Buddha melihat para bhikkhu yang jubahnya sudah rusak berat, lalu Sang Buddha mengijinkan untuk membuat jubah baru sebagai pengganti jubah yang sudah rusak. Setelah Sang Buddha mengijinkan untuk membuat jubah, berarti membuka kesempatan bagi umat untuk berdana kain jubah dan kebutuhan sehari-hari para bhikkhu. Sejak peristiwa itulah dimulainya Kathina Dana. (catatan cerita asal mula Hari Kathina yang telah diuraikan di atas diambil dari Kitab Suci Vinaya Pitaka Jilid 5, Maha Vagga, Kathina Khandhaka).
Sebenarnya pada jaman Sang Buddha, para bhikkhu memakai jubah pamsukula civara dan memiliki jubah hanya satu stel. Yang dimaksud pamsukula civara adalah kain bekas pembungkus mayat yang telah dibuang orang di dalam hutan atau di kuburan.
Kebiasaan di India dulu, orang yang meninggal, baik yang miskin maupun yang kaya langsung dibungkus kain dan dibuang ke hutan, lalu para bhikkhu mengambil kainnya dan dicuci kemudian dicelup dengan getah pohon yang berwarna kuning (misalnya pohon nangka), lalu dijahit dibuat jubah.
Kemungkinan di jaman itu kain sulit dicari dan mutunya tidak baik, hanya bisa dipakai paling lama satu tahun karena telah mengalami kerusakan, lalu pada masa kathina tersebut baru kemudian mendapat jubah pengganti.
Sang Buddha memberi ketentuan hari kathina di akhir masa vassa, satu alasannya lagi karena setelah masa vassa cuaca di negara India, Nepal, Myanmar, Thailand, Srilangka mulai musim dingin.
Juga Sang Buddha membuat peraturan agar para bhikkhu memiliki kain sangghati, alasannya ialah untuk melindungi/menutup badan di kala musim dingin, sebab para bhikkhu jaman dulu kebanyakan memiliki satu jubah dan tinggalnya di hutan.
Para umat Buddha di jaman Sang Buddha, bila melihat para bhikkhu yang jubahnya sudah rusak, mereka dengan keyakinan dan belas-kasih mencarikan kain untuk dipersembahkan kepada Sangha, kemudian para bhikkhu membuat civara/ jubah bersama-sama.
Inilah cerita asal mula terjadinya hari kathina yang ditentukan oleh Sang Buddha sendiri.
Inti sari dari hari kathina pada jaman Sang Buddha di kala beliau masih hidup, adalah persembahan kain jubah kepada bhikkhu Sangha dan samanera, tetapi di jaman sekarang ini persembahan dana kathina tidak terbatas hanya pada kain jubah saja, masih banyak lagi persembahan dana kathina berupa barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari untuk para bhikkhu, misalnya : payung, sabun, pasta gigi, sikat gigi, jarum, benang, bowl, sandal, selimut, obat-obatan dan lain-lain. Juga tidak terkecuali uang untuk kemudahan dalam perjalanan dan untuk pembangunan vihara, ini disebut ?parivara kathina?. Kain yang bisa dipersembahkan menjadi dana kathina ialah kain yang bisa dibuat paling sedikit satu jubah luar atau sarung maupun sangghati. Kain yang sudah lama/agak lama, kain pamsukula (kain bekas pembungkus mayat asal masih bisa dibuat jubah) boleh dipersembahkan sebagai dana kain kathina.
Apabila umat ingin berdana kathina di vihara-vihara besar, di Thailand kira-kira satu atau dua bulan di muka harus melapor dulu kepada bhikkhu ketua vihara/ ketua panitia yang mengurus upacara hari kathina, alasannya karena yang mau berdana kathina di vihara-vihara yang terkenal biasanya sangat banyak hingga akhirnya diadakan pengurus untuk mengatur jalannya upacara hari kathina agar bisa berjalan dengan tertib dan rapi.
Di jaman sekarang ini kain jubah maupun jubah yang sudah jadi dan dipersembahkan dalam upacara hari kathina atau hari-hari biasa sudah bisa mencukupi untuk 10 atau 20 orang bhikkhu.
Sebenarnya kain kathina ini menjadi milik Sangha, bukan milik pribadi bhikkhu masing-masing, namun diatur pembagiannya. Kalau kain tersebut tidak cukup untuk semua bhikkhu, cara membaginya adalah dengan melihat siapa yang lebih tua kebhikkhuannya dan yang paling membutuhkan, hal ini dapat dilihat dengan berbagai faktor sebagai berikut :
1.
Bhikkhu yang jubahnya sudah lama sekali.
2.
Kalau jumlah bhikkhunya banyak sedangkan kainnya tidak mencukupi, maka cara mengaturnya dengan melihat bhikkhu yang sudah tua dalam sila kebhikkhuannya.
3.
Kalau bhikkhu yang lebih tua tersebut tidak mampu membuat/ tidak mau, dapat diberikan kepada bhikkhu yang lainnya, tapi biasanya/ kebanyakan diberikan kepada bhikkhu mahathera.
Seorang bhikkhu yang biasa hidup di hutan-hutan, goa, di bawah pohon, bila sudah mendapatkan jubah pengganti yang sudah rusak, maka mereka tidak khawatir lagi untuk menghadapi hawa dingin, sehingga dapat dengan tenang melanjutkan latihannya, untuk membersihkan kilesa (kekotoran batin) dengan tujuan akhir mencapai kebahagiaan tertinggi/Nibbana.
Sesungguhnya kehidupan para bhikkhu dalam memenuhi kebutuhan pokoknya sangat tergantung dari umat. Bila bhikkhu tersebut jauh dari sanak keluarganya, maka tergantung dari umat yang Pavarana (menjanjikan kesediaan untuk memberikan bantuan), karena bhikkhu tidak boleh meminta, kecuali bila sedang sakit.
Karenanya umat Buddha perlu mengetahui kebutuhan-kebutuhan para bhikkhu dan samanera , maksudnya agar kehidupan bhikkhu bisa terus berjalan dengan baik dan lancar.
Semoga uraian ini bermanfaat bagi saudara-saudara sekalian dan menumbuhkan pengertian yang benar dalam dhamma. Dengan demikian maka Buddha Dhamma akan terus berkembang dan maju hingga kita semua bisa mencapai tujuan tertinggi kebahagian Nibbana.
Oleh : Phra Wongsin Labhiko Mahathera
Pages - Menu
▼
Pages
▼
Tidak ada komentar:
Posting Komentar