Pages - Menu

Pages

Jumat, 02 November 2012

Avalokitesvara (Guanyin) benar-benar adalah Bodhisattva


Hari Wafatnya Kwan se im Po sat imlek 19/9 ( 2 november 2012)

Mantra Ta pei ciu Mustika dari Dewi Kwan Im serta artinya (Bahasa Pali).


1.   Namo Ratna Triayi, Terpujilah Ketiga Mustika (Ratna) Yang Suci
2.   Namo Ariayi, Terpujilah Para Suci-Wan
3.   Avalokitesvara Ariayi, Sang Avalokitesvara Yang Suci
4.   Bodhisattva Bayai, Bodhisattva Yang Perkasa
5.   Mahasatva Bayai, Mahasatva Yang Perkasa
6.   Maha Karunikayai, Beliau Yang Maha Welas Asih
7.   Aum, Dengan Hikmad
8.   Satpravar Ariayi, Sang Buddha, Junjungan Guru
9.   Sutranatrasa, Penggubah Sutra Pitaka Nan Ampuh
10. Namo Siri Dharma Ariayi, Pujilah Sang Dharma Suci Yang Membahagiakan
11. Avalokitesvara Rindha Biya, Pujilah Avalokitesvara Yang Bersemayam tekun
12. Namo Narakundhi, Pujilah Beliau nan Ber-iman Bijak dan Kasih
13. Hiri Maha Ratna Sammi, Beliau nan Memancarkan Sinar Agung
14. Sarva Adhadhu Subhiyai, Tidak ada kaya-raya, bebas kemiskinan-bersih-suci tanpa penderitaan
15. Asikin, Dharma nan Tiada taranya
16. Sattva Sattha Namava Sattha Nama Bhaga, Para Makhluk agung nan Bebas tanpa bekas
17. Marva Trata, Para Dewa dan Suci-wan
18. Sidharta Trata, Beliau yang telah menyelesaikan tugas Sucinya
19. Aum Avalokes, Dengan Khidmat MemandangNya
20. Lokati, Dengan penuh kewelas-asihan
21. Kaloti, Dengan penuh Nasehat serta penuh Ajaran
22. Iseri, Dengan penuh Hati terbuka
23. Maha Bodhisattva, Makhluk-agung nan Maha mengerti
24. Sattva Sattva, Makhluk-makhluk nan Bebas segalanya
25. Mara Mara, Yang Maha Kuasa
26. Mahes Mahes Rudrajin, Para makhluk-agung bersemayam diatas Seroja
27. Guru Guru Karma, Sang Guru Junjungan yang bijaksana
28. Turu Turu Varjayati, Beliau yang berhati seroja putih bersih tak ternodakan
29. Maha Varjayati, Nan berdasarkan Dharma Agung
30. Dhara Dhara, Pembawa Labu-kering serta sanggup memberikan segalanya
31. Trini, Beliau Nan Gagah Perkasa
32. Sarva Raya, MataNya yang bersinar menembusi segalanya
33. Chara Chara, Tindak-tandukNya nan Tak tercatatkan
34. Nama Varmara, Beliau nan Ter-Sakti
35. Mukti, Beliau Yang bersemayam di-Istana Kebebasan
36. Trihes Ihes, Beliau Penunjuk sang Ajaran
37. Sarma Sarma, Beliau Yang Penuh Kecerdasan Akal Agung
38. Arasham Buddha Rasari, Lord Buddha Pemutar Sang Cakra
39. Varsa Varsam, Telah berjuta-juta tahun lamanya
40. Buddha Rasari, Sang Buddha selalu memutar Sang Cakra
41. Huru Huru Mira, Melaksanakan khotbah Penerangan
42. Huru Huru Hesri, Adakalanya Beliau Berkhotbah tanpa suara
43. Sara Sara, BatinNya Teguh Tak Tergoyahkan
44. Seri Seri, Dengan Perkasa Mempertahankan TujuanNya
45. Seru Seru, Dengan Tekun menikmati Hasil KebahagiaanNya
46. Bodhiya Bodhiya, Dengan Penuh Kecerdasan-akal Murni
47. Buddhaya Buddhaya, Beliau Yang Maha Tahu, Yang Maha Mengerti
48. Maitreya, Sinar Maitreya-Nya Yang Maha Pengasih
49. Narakundi, Yang Penuh Keteguhan Tekad
50. Trisitnina, Beliau, Penakluk Seluruh Dharma
51. Baddjamana, NamaNya Yang Harum
52. Svaha, Sadhu (Semoga tercapai hal itu)
53. Sitdhaya, Pencapaian HasilNya
54. Svaha, Sadhu (Semoga demikian hal itu)
55. Maha Sidhaya, Pencapaian Hasil-Hasil AgungNya
56. Svaha, Sadhu (Semoga demikian hal itu)
57. Sitdha Ariayi, Beliau Yang Suci, Tidak timbul hasil-hasil (karma) Baru
58. Sarva Ariayi, Sang Avalokitesvara Yang Suci
59. Svaha, Sadhu
60. Narakundi, Yang Penuh Keteguhan Tekad
61. Svaha, Sadhu
62. Mara Nara, PikiranNya Yang Maha Agung
63. Svaha, Sadhu
64. Setiara Sangha Amukghaya, Yang Melindungi Para Siswa Kegerbang Kebebasan
65. Svaha, Sadhu
66. Sarva Maha Sitdhaya Ariayi, Sang Avalokitesvara Agung yang tidak Taranya
67. Svaha, Sadhu
68. Chakra Sitdhaya, Pencapai sang Chakra (Buddha Dharma)
69. Svaha, Sadhu
70. Buddha Dharma Sitdhaya, Hasil hasil Buddha Dharma Yang Tiada taranya
71. Svaha, Sadhu
72. Narakundi Bhaga Ariayi, Duhai Dikau nan bersemayam diatas Seroja merah, Tekat teguhNya yang maha suci
73. Svaha, Sadhu
74. Marvarisin Karma Ariayi, Perangai dan Perbuatan (Karma) Nya Agung yang Suci
75. Svaha, Sadhu
76. Namo Ratna Triayi, Pujilah Ketiga Ratna Yang Suci
77. Namo Ariayi, Pujilah Para Suci-wan
78. Avalokitesvara Ariayi, Sang Avalokitesvara Yang Suci
79. Svaha, Sadhu
80. Aum, Dengan khidmat
81. Sidhartha, Pujilah Beliau Penyelesai Tugas
82. Bhandala, Dan Penemu Sang Dharma
83. Bhadeayi, Beliau Pencapai Kebahagiaan Abadi
84. Svaha, Semoga Hal itu tercapai demikian (Sadhu)

Dibaca 7x :
AUM BADJERAH DHARMA KIRIKU
NAMA SAMMATHA BUDDHANAUM
AUM AVAM RAM HAM SVAHA


Izinkan saya untuk membagi artikel mengenai Guanyin. Banyak yang bingung apakah Guanyin (Avalokitesvara) adalah Bodhisattva Buddhis atau Dewi agama Tao. Apalagi banyak juga sumber-sumber berbahasa Indonesia yang mengatakan bahwa Guanyin sebenarnya telah ada pada zaman Tiongkok purba, seperti:

Menurut jindeyuan.org disebutkan mengenai Avalokitesvara Bodhisattava (Guan Yin):

“Jauh sebelum diperkenalkannya agama Buddha pada akhir Dinasti Han (tahun 25 - 228), Koan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutan Pek Ie Tai Su yaitu Dewi berjubah putih yang welas asih. Kemudian Beliau diketahui sebagai perwujudan dari Buddha Avalokitesvara.”

Atau

“Demikianlah seorang Dewi Welas Asih yang Asli Tiongkok 白衣大士 (Pek Ie Tai Su) menyatu dengan Avalokitesvara, jadilah Dewata Buddhis khas Tiongkok, bahkan ciri-ciri ke-India-annya hilang sama sekali.”

Bahkan di beberapa forum diskusi, banyak timbul pandangan bahwa Guanyin berasal dari agama Tao. Daloam buku-buku Widya Karya yang diterbitkan MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) juga disebutkan:
“Agama Buddha (asli) di India pada hakekatnya tak “mengenal”nya, kalaulah ada penyebutan Avalokitesvara Bodhisattva itupun “gelar” yang diberikan pada Guanshiyin dengan nama itu (yang di India disandang oleh seorang Bodhisattva pria).”

Dan:
“Bila Guanshiyin dihubungkan dengan Shenming dari Miao Shan jelas pemujaannya pra-agama Buddha masuk ke Tiongkok, ditambah dengan pemuja penganut Dao (yang dengan Ru memang bergandeng), maka Guan Yin adalah Shan Ming orang Tiongkok (asli).”

Bahkan belakangan ini Ketua Umum MATAKIN (Budi S. Tanuwibowo) mengeluarkan pernyataan, “Kwan Im Po Sat (Bodhisattva Avalokitesvara) tidak jelas kuburannya / makamnya sehingga diragukan keberadaan dan kebenaran-Nya”

Dalam surat permohonan maafnya, Budi S. Tanuwibowo menggunakan istilah “Dewi Kwan Im”, bukan lagi “Kwan Im Po Sat”, dan berkata:
“Mengenai siapa Beliau, ada beberapa versi: apakah seorang Dewi, atau tokoh suci di jaman purba yang hidup ratusan tahun sebelum Nabi Kong Zi. Namun semua itu tidak mengurangi hormat yang tinggi kepada Beliau. Secara spirit Beliau menjadi lambang welas asih yang universal dan melintasi batas-batas agama. Ini menjadi keyakinan saya dan juga keyakinan banyak orang yang mengagumi dan menghormati Beliau.”

Banyaknya pernyataan-pernyataan tersebut menjadikan kebingungan, sehingga banyak orang yang meragukan Guanyin sebagai Bodhisattva Buddhis.

Menanggapi kebingungan tersebut maka saya akan menjawab satu persatu pokok permasalahan mengenai Guan Yin dengan berdasarkan penelitian para sejarawan.

Masuknya Guanyin (Avalokitesvara) ke Tiongkok
Guan Yin (Avalokitesvara Bodhisattva) telah masuk ke Tiongkok pada akhir abad 1 M, pada zaman Dinasti Han. Guan Yin sudah ada di Tiongkok sejak diterjemahkannya Maha Sukhavativyuha yang diterjemahkan Lokaksema dan Kang Sengkai pada abad 2 M serta Sanghavarman pada tahun 252 M. Tahun 266 M dan 270 M, Dharmaraksa menerjemahkan Saddharmapundarika Sutra dan Karandavyuha Sutra yang merupakan dua sutra penting Avalokitesvara. Oleh karena itu, dapat dipastikan Guanyin Pusa adalah Bodhisattva Buddhis dan pemujaannya di Buddhis memang mengawali dan mempelopori segala bentuk pemujaan-Nya di berbagai agama dan kepercayaan di Tiongkok.

Berikut pertanyaan-pertanyaan dan jawaban mengenai Guanyin.

Q:Avalokitesvara di India adalah pria dan Avalokitesvara di Tiongkok adalah wanita dan biasa disebut Guanyin. Guanyin wanita sebenarnya adalah Dewi agama Tao (Baiyi Dashi – Pek Ie Tai Su). Apakah benar demikian?
A: Ternyata tidak. H. Maspero dan Kenneth Chen mengatakan bahwa Baiyi Guanyin adalah Pandaravasini (berjubah putih) dan juga wujud Tionghoa dari Tara Putih (Sitatara), consort dari Avalokitesvara dan merupakan Bodhisattva yang sangat penting dalam tradisi Tibetan. Ketika Pandaravasini pertama kali diperkenalkan ke Tiongkok pada masa Dinasti Tang, menurut pandangan ini, Ia berubah menjadi Dewi Kesuburan karena Pandaravasini termasuk dalam Garbhadhatu (Mandala Rahim). Kata-kata rahim tersebut membuat Beliau juga dijadikan Dewi Pemberi Anak oleh masyarakat Tiongkok, yang dikenal dengan nama Songzi Guanyin.

Namun akhir-akhir ini Rolf A Stein tidak setuju bahwa Pandaravasini dihubungkan dengan Tara Putih. Argumennya terdiri dari 2 poin: Baiyi Guanyin pertama kali diperkenalkan melalui teks Dharani Tantrik yang diterjemahkan pada abad ke-6 M daripada 8 M seperti yang disebutkan Maspero. Oleh karena itu, Baiyi Guanyin telah diperkenalkan lebih awal, sehingga tidak dibawa dari Tibet. Seperti dalam teks-teks Tantra yang membutuhkan visualisasi, perwujudan Baiyi Guanyin digambarakan dengan jelas dalam teks yang berasal dari abad ke-6 M tersebut. Wujud Baiyi Guanyin dalam teks tersebut, tanpa menyebutkan gender, adalah memakai jubah putih dan duduk di atas teratai dengan memegang teratai (bukan dahan willow) dan tangan lainnya memegang vas. Rambut-Nya disanggul ke atas. Teks Tantrik ini diduga yang menjadi basis dari perwujudan Baiyi Guanyin. Teks-teks lainnya berkenaan dengan lukisan Baiyi Guanyin telah ada pada zaman Dinasti Song dan Tang, namun bentuknya yang benar-benar lengkap tidak disebutkan, oleh karena itu tidak diketahui sejauh mana perwujudan Baiyi Guanyin dalam sutra tersebut diikuti.

Argumen Stein yang kedua dan sangat penting adalah teks Tantra yang diterjemahkan pada masa Dinasti Tang yang berkenaan dengan Buddha wanita (Fomu), di mana Pandaravasini (Baiyi) ditampilkan bersama dengan Tara. Namun berbeda dengan yang belakangan. Baiyi (Pandaravasini) adalah Ibu dari keluarga Lotus yang kepalanya adalah Avalokitesvara. Ia diberi nama “Kediaman Putih” (Baichu) karena Ia tinggal di teratai yang putih suci. Baiyi berbeda dengan “Ia Yang Bertubuh Putih” (Baishen), sebuah figure yang bersama-sama Tara, mengelilingi Amoghaphasa Avalokitesvara yang duduk di Gunung Potalaka. Di beberapa teks, Baiyi digambarakan duduk di atas teratai dengan memegang lasso di tangan kiri-Nya dan Prajnaparamita Sutra di tangan kanan-Nya yang diangkat, yang sanagt berbeda dengan pendeskripsian Baiyi yang lebih awal (memegang teratai dan vas). Dan membuat segalanya bertambah kompleks, dalam Mandala Rahim, “Kediaman Putih”, “Tubuh Putih’ dan “Tubuh Putih Maha Terang” (Daming Baishen) yang berada di pelataran Guanyin, semuang berjubah putih dan dapat disebut Baiyi. Putih adalah symbol dari pikiran yang tercerahkan, yang ‘melahirkan’ semua Buddha dan Bodhisattva. Oleh karena itu para Bodhisattva wanita yang berada dalam pelataran Guanyin kebanyakan berjubah putih, karena mereka adalah Ibu dari Buddha dan Bodhisattva.

Jadi jelas bahwa Baiyi Guanyin adalah Pandaravasini, prajnanya (aspek kebijaksanaan feminin) Amitabha. Awalnya, dia muncul dalam Garbhadhatu Mandala dengan jubah putih, duduk di atas teratai dan me-megang teratai kuncup ber-warna putih di tangan kirinya. Menurut Mahavairocana Sutra bab ke-5 dan 10, Pandaravasini itu berwarna putih (kadang-kadang merah muda) karena diaberdiam dalam Pikiran yang Cerah dan berdiam di atas teratai. Pandaravasini muncul dalam berbagai Sutra. Pandaravasini kemudian menjadi sumber dan pemimpin dari bagian Avalokitesvara dalam Mandala Garbhadhatu (Rahim) dan dipanggil dengan nama Guanyinmu (Ibu Avalokitesvara) sebagai bentuk aslinya.

Mahavairocana diterjemahkan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa pada tahun 724 M oleh Subhakarasimha. Bahkan mungkin teks Sansekerta Mahavairocana Sutra telah ada di Tiongkok sejak tahun 674 M yang dibawa oleh Wu Xing. Pada tahun 812 M, Silendrabodhi dan PalTseg menerjemahkan Mahavairocana Sutra dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tibet.

Ada teks yang disebut Baiyi Guanyin Jing atau Zhou (Sutra atau Mantra Pandaravasini Avalokitesvara). Sutra-sutra tersebut sangat pendek namun mencakup suatu mantra. Pelafalan dan pengingatan Sutra ini dianggap sangat manjur. Salah satu yang paling terkenal bernama Baiyi Guanyin (Dashi) Shenzhou (Mantra dari Pandaravasini Avalokitesvara atau Makhluk Agung). Sutra tersebut sudah digunakan sejak abad 11 M dan masih banyak dicetak dan disebarkan gratis pada zaman sekarang. Teks terkenal yang lain, yaitu Guanyin Shiju Jing (Sutra Guanyin 10 Kalimat), terkadang digabungkan dengan Baiyi Guanyin Shenzhou dan disebut sebagai Guanyin Mengshou (ditransmisikan melalui mimpi) Jing, Guanyin Baosheng (pelindung kehidupan) jing atau Guanyin Jiusheng (Menyelamatkan kehidupan) Jing. Teks-teks tersebut juga berasal; dari abad 11 M. kedua teks tersebut diduga ditansmisikan Baiyi Guanyin terhadap umatnya. Pelafalan sutra tersebut diyakini dapat membebaskan umat dari penderitaan, namun tidak spesifik pada pemberian anak.

Berkah pemberian anak, ada pada teks lain, dan memiliki berbagai macam nama, namun secara lebih meluas adalah Baiyi Dashi (atau Guanyin) Wu Yinxin Tuoluoni Jing (Pancamudra Dharani Pandaravasini Avalokitesvara Sutra). 35 kopi sutra ini terdapat dalam koleksi buku langka Perpustakaan Chinese Buddhist Cultural Artifacts, terletak di Vihara Fayuan di Beijing. Sutra tersebut dicetak sejak zaman Dinasti Ming, dengan yang paling awal tahun 1428 M dan mayoritas pada masa periode Wanli, sekitar 1600. Seperti teks-teks lainnya, teks ini juga dicetak dan disebarkan secara gratis oleh umat yang memohon mukjizat ataupun mereka yang ingin menyebarkan ajaran Guanyin. Jumlah yang disebarkan tergantung keadaan ekonomi sang penyumbang. Biasanya juga disertai kejadian-kejadian mukjizat yang dialami. Namun teks ini juga penting bagi para sejarawan.

Jadi jelas bahwa Guanyin Berjubah Putih (Baiyi Guanyin) adalah sepenuhnya bersifat Buddhis dan dari agama Buddha. Baiyi Guanyin (Pandaravasini) pada abad ke-6 M digambarkan tanpa menyebutkan gender. Penampakan Baiyi Guanyin di Tiongkok sendiri juga dimulai sekitar abad ke-6 M.

Akhirnya dalam Mahavairocana Sutra yang diterjemahkan pada abad ke-8 M dengan jelas disebutkan bahwa Pandaravasini adalah “Ibu” Avalokitesvara. Tentu “Ibu” berarti menunjukkan bahwa Pandaravasini adalah seorang Bodhisattva wanita. Kata “Pandaravasini” sendiri berarti “Yang Berbaju Putih”. 
Q: Istilah “Guanyin” berasal dari mana? Bagaimana dengan Cihang Dashi?
A: Banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa Cihang Dashi adalah kisah yang sangat tua. Demikianlah kisah Cihang Dashi / Cihang Zhenren:

Ci Hang Dao Ren adalah Pendeta Penyelamat Pelayaran yang hidup pada masa Dinasti Yin-Shang dan salah satu dari 12 murid Yuan Shi Tian Zun, begitulah menurut kitab Fengshen Yanyi. Di novel Fengshen diceritakan bahwa Ci Hang Dao Ren membantu pihak Wu Wang dan Jiang Zi Ya dalam menumbangkan Kaisar jahat bernama Zhou Wang. Ci Hang Zhen Ren digambarkan duduk di atas singa emas berkepala sembilan. hari rayanya ada tiga. yang pertama tanggal 19 bulan 2 Lunar (Ia berdoa agar para makhluk yg telah meninggal terbebas dari neraka dan berkah bagi yang masih hidup), tanggal 19 bulan 6 Lunar (Ia mengalahkan Ningbo Xianzi) dan tanggal 19 bulan 9 Lunar di mana Cihang mencapai keabadian (pencerahan).

Karena latar belakang kisah Cihang adalah Dinasti Yin-Shang yaitu ribuan tahun SM (Sebelum Masehi), maka banyak orang yang menganggap bahwa Ci Hang Da Shi telah ada sedari dulu di Tiongkok sebelum masuknya Guanyin ke Tiongkok. Dan Ci Hang Da Shi oleh banyak orang sering dianggap sebagai cikal bakal Guanyin wanita.

Namun apa benar kisah Cihang Dashi setua itu? Apabila dilihat lagi, maka jelas bahwa kisah Cihang Dashi sangatlah tidak tua. Kisah Cihang Dashi baru muncul pada kitab Li Dai Shen Xian Tong Jian yang berasal dari Dinasti Ming (1368-1644 AD). Kalau memang kisah Cihang Dashi sudah sangat tua, mengapa kisah Cihang tidak diketemukan dalam Shen Xian Zhuan karya Ge Hong (283-343 AD)? Kisah Cihang Dashi juga ada dalam novel Fengshen Yanyi yang juga berasal dari Dinasti Ming. Maka dari itu dapat dipastikan bahwa kisah Cihang Dashi baru muncul pada masa Dinasti Ming. Bahkan kisah Cihang Dashi dalam Li Dai Shen Xian Tong Jianpun diragukan keakuratan sejarahnya.

Kisah Cihang Dashi juga muncul SETELAH / SESUDAH wujud wanita Guanyin menjadi terkenal di Tiongkok. Jadi TIDAK MUNGKIN bagi Cihang Dashi untuk MEMPENGARUHI Guanyin sehingga berwujud wanita. Bahkan kisah Miao Shan lebih awal daripada kisah Cihang Dashi.

Terjemahan ‘Guan Yin (觀音)”, “Ia yang mendengar suara” dunia, adalah subjek kontroversi yang panjang. Xuan Zang (602-604) mengetakan terjemahan tersebut keliru dan selama penerjemahan yang dilakukannya, Beliau menggunakan Guan Zi Zai (觀自在) dari Sansekerta Avalokitesvara (Avalokita-Isvara), “Tuan yang Melihat”. Cheng Kuan (738-839) menulis dalma komentarnya, ia menunjukkan bahwa dalam naskah original Sansekertanya sendiri terdapat dua nama yang berbeda, yang dilihat dari manuskrip tua yang ditemukan tahun 1927 di Sinkiang, Xinjiang, Tiongkok yang berasal dari abad ke-5 M. Di manuskrip tua tersebut nama Avalokitasvara (Guanyin) muncul sebanyak 5 kali, sehingga akhirnya Mironov menyimpulkan bahwa kata “Avalokitasvara” adalah bentuk aslinya namun akhirnya diganti dengan Avalokitesvara. Profesor Murray B Emeneau pun juga mengatakan bahwa “Avalokitasvara” berate “Ia Yang Mendengar Suara”. Bahkan murid Xuan zang yang terkenal yaitu Guizhi (窺基 632-82 M), menggunakan lagi kata “Guanyin” dalam menerjemahkan Prajnaparamita Hrdaya Sutra.

Namun Xuanzang bukanlah yang pertama kali menerjemahkan dengan kata “Guan Zi Zai”. Semua penerjemah sebelum Xuanzang menggunakan kata “Guanyin”. Kumarajiva (344-413 M), yang dikritik oleh Xuanzang karena menggunakan kata “Guanyin” dalam menerjemahkan Saddharmapundarika Sutra dan Prajnaparamitahrdaya Sutra, ternyata Beliau (Kumarajiva) juga telah mengatakan bahwa “Guanshiyin” (觀世音) juga disebut Guanzizai (觀自在).

”Shi” dalam “Guanshiyin” sempat dihilangkan sehingga menjadi “Guanyin”. Hal ini karena pelarangan penggunaan nama (tabu) dengan menggunakan huruf “Shi” 世. Hal tersebut disebabkan karena Huruf “Shi” ada dalam  nama Li shimin 李世民 (nama Kaisar Taizong), sehingga tabu untuk dipergunakan. Namun akhirnya Kaisar Tang Gaozong membolehkan kembali penggunaan “Shi” untuk “Guanshiyin”.

Faktanya, kata terjemahan “Guanyin” muncul seawal-awalnya pada tahun 185 M yaitu pada terjemahan Sutra Perfect Splendor Samadhi  (成具光明定義經) oleh Zhiyao (支曜). Terjemahan “Guanshiyin” muncul paling awal pada terjemahan liturgi kebaktian yang diterjamahkan pada masa Dinasti Han Akhir (25-220 M).

Oleh karena itulah “Guanshiyin” adalah terjemahan dari bahasa Sansekerta Avalokitesvara dan nama tersebut berasal dari agama Buddha.


Q: Baiyi dashi adalah Dewi Taois. Apakah begitu?
A: Lagipula istilah Guanyin Dashi atau Baiyi Dashi sebenarnya adalah terjemahan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa. “Guanyin Dashi” berarti “Avalokitesvara Mahasattva” dan “Baiyi Dashi” (Pek Ie Tai Su) berarti “Pandaravasini Mahasattva. “Dashi” (大士) adalah terjemahan bahasa Tionghoa dari Sansekerta “Mahasattva” (Makhluk Agung). Jadi istilah “Guanyin Dashi” dan “Baiyi Dashi” sebenarnya adalah sebutan yang bersifat Buddhis.

Q: Dikatakan bahwa cabang pohon Yang-liu (Willow) yang dibawa Guan Yin adalah pengaruh Taoisme. Kaum Taoist punya kebiasaan menggunakan dahan Yang-liu untuk memercikkan air dalam upacara mengusir roh – roh jahat, dan menyembuhkan penyakit. Apakah benar bahwa dahan willow adalah pengaruh Taois?

A: Ternyata tidak. Dalam Dharani Sutra of Invoking Bodhisattva Guanshiyin to Subdue and Eliminate Harmful Poison (Qing Guanshiyin Pusa Fudu Tuoluoni Jing) yang diterjemahkan oleh Zhunanti dari Dinasti Jin Timur (317-420 M). Sutra ini menjadi perhatian oleh pendiri Tiantai Zhiyi dan master-master Tiantai lainnya dari Dinasti Song. Sutra ini dibuka dengan utusan kerajaan Vaisali yang datang kepada Sang Buddha dan meminta pertolongan atas musibah penyakit menular yang menimpa masyarakat Vaisali yang diakibatkan oleh Yaksha. Sang Buddha kemudian menuruh mereka untuk menghormat pada Avalokitesvara dengan mempersembahkan dahan willow dan air suci (amrta) yang dapat mensucikan dan menyembuhkan. Avalokitesvara kemudian muncul di depan Sang Buddha dan melafalkan sebuah Dharani. Ketika seseorang melafalkan nama Avalokitesvara tiga kali dan Dharani-nya, maka seseorang akan terbebas dari segala mara bahaya. Dharani tersebut juga dapat mengunci mulut berbagai binatang buas dan iblis sehingga mererka tidal lagi berbahaya. Selain itu Dharani tersebut dapat menyelamatkan seseorang dari kebakaran (hujan yang diturunkan oleh raja naga akan memadamkan api), menyelamatkan seseorang dari kelaparan dan hukuman mati serta dari para pencuri dan racun. Bagi para perempuan, Dharani tersebut dapat membantu ketika seseorang kesulitan melahirkan. Ketika seseorang dengan tulus melafalkan Dharani tersebut, maka ia akan terbebas dari segala karma buruknya dan tidak akan terjatuh ke dalam 4 alam apaya.
Jadi jelas bahwa botol amrta dan dahan willow yang dipegang oleh Avalokitesvara adalah murni Buddhis.


Q: Guanyin wanita berasal dari Dewi-dewi Taois seperti Bixia Yuanjun, Mazu dan Wusheng Laomu. Benarkah demikian?

A: Pemujaan Bixia Yuanjun sendiri baru muncul pada tahun 1008 M (Culture & State in Chinese History: Conventions, Accommodations, and Critiques), demikian  juga Mazu yang lahir pada tahun 960 M, kisahnya baru ditulis pada masa Dinasti Ming (1368-1644 M) yaitu dalam kitab Tianfei Xiansheng lu. Wusheng Laomu muncul pada masa Dinasti Ming yaitu dalam tulisan Luo Qing, orang Shandong yang hidup pada tahun 1443-1527 M serta sebuah teks yang muncul pada tahun 1212 M (Heterodoxy in Late Imperial China). Oleh orang-rang pada Dinasti Ming, Wusheng Laomu dianggap sebagai ibu dari Guanyin dan Xi Wangmu. (Carnival in China: A Reading of the Xingshi)
Sedangkan Guanyin dalam wujud wanita telah muncul di Tiongkok sejak diterjemahkannya Mahavairocana Sutra pada tahun 724 M, sekitar 300 tahun sebelum munculnya pemujaan terhadap Bixia Yuanjun, Mazu maupun Xi Wangmu. Dalam Mahavairocana Sutra disebutkan mengenai Pandaravasini sebagai “Ibu Avalokitesvara”, Tara dan Cundi sebagai “Ibu Wilayah Teratai”. Ketiga Bodhisattva wanita tersebut berada dalam bagian Avalokitesvara (Guanyin) dalam Mandala Garbhadhatu.

 “Wilayah teratai” adalah Dewan Keempat yang terdiri dari 21 bentuk Avalokitesvara dalam Garbhadhatu Mandala. Maka dari itu jelas sekali disebutkan dalam Mahavairocana Sutra bahwa Pandaravasini, Tara dan Cundi adalah perwujudan dari Avalokitesvara (Guanyin) sendiri dalam wujud wanita dan Ibu.

Oleh karena itu tidaklah mungkin bagi Bixia Yuanjun, Mazu maupun Wusheng Laomu untuk dijadikan alasan perubahan gender Guanyin, karena sebenarnya Guanyin dalam wujud wanita telah ada sekitar 300 tahun sebelum kemunculan Dewi-dewi Taois tersebut atau bahkan lebih.

Mengutip dari karya Ven. Piyasilo Mahathera:
“Para pemeluk Tao mencoba lebih jauh dalam menyaingi Buddhadharma dengan menyerap tata cara peribadatan dan metoda meditasi Buddhis. Di abad ke-4 sudah terlihat pengaruh Buddhis yang jelas pada gaya penulisan kitab suci Taois dan pernyataan filosofis dari para guru besarnya. Di lain pihak mereka mendirikan masyarakat pertapa yang disebut kuan sebagai reaksi terhadap sistem Buddhis.
Salah satu perkembangan yang paling menarik adalah adopsi Guanyin lewat pemujaan setempat terhadap dewi Niang-niang. Di zaman dulu, ada dua bentuk dewi tersebut, dewi Cina Utara (Taishan Niangniang) dianggap sebagai pelindung gunung, dan yang selatan (Tianhou Niangniang) adalah pelindung laut.
Guanyin pemberi anak dari Saddharmapundarika Sutra mirip dengan Taishan Niangniang. Guanyin dari Avamtasaka Sutra, yang dikenal sebagai Nanhai Dashi (Guanyin LautSelatan), Cihang Dashi (Guanyin Karuna Batas Lautan), dan Putuo Dashi (Guanyin Pulau Putuo), mirip dengan Tianhou Niangniang. Akhirnya, kedua bentuk Niangniang itu melebur jadi satu dan sekarang ini kita bisa menemukan kuil Niangniang, Guanyin anak diapit oleh Niangniang Cahaya Mata (Yankuang Niangniang) di kanan dan Niangniang Cacar(Douzhen Niangniang) di kiri.”


Ket: Bixia Yuanjun tak lain adalah Taishan Niangniang yang disebutkan oleh Ven. Piyasilo Mahathera. Sedangkan Dewi Samudra Mazu adalah Tianhou Niangniang yang juga disebutkan Ven. Piyasilo Mahathera.

Dari tulisan Ven. Piyasilo Mahathera jelas sekali bahwa Songzi Guanyin (Guanyin pemberi anak) adalah berasal dari Saddharmapundarika Sutra dan Nanhai Guanyin (Guanyin Laut Selatan) berasal dari Avatamsaka Sutra. Taishan dan Tianhou niangniang hanya turut mempengaruhi Guanyin pada masa yang lebih kemudian, namun dasar dari perwujudan Songzi dan Nanhai Guanyin sebenarnya adalah Buddhis.
Q: Miao Shan adalah legenda Taois. Benarkah demikian?

Tidak sepenuhnya benar. Karena sebenarnya legenda Miao Shan yang tertua berasal dari agama Buddha sendiri dan mungkin juga mendapat pengaruh dari agama Tao. Tapi kalau dibilang legenda Miao Shan berasal dari agama Tao, maka saya tidak setuju. Rujukan utama saya dalam menjawab pertanyaan ini adalah buku The Legend of Miaoshan Oleh Glen Dudbridge.
Legenda Miao Shan baru termaktub dalam kitab suci agama Tao pada saat Dinasti Ming (1368-1644 M) yaitu kitab Sou Shen Ji. Memang kitab  Sou Shen Ji disebutkan dikarang oleh Gan Bao pada tahun 320 M, namun Sou Shen Ji diedit lagi pada Dinasti Ming dan jumlahnya menjadi 20 volume. Oleh para sejarawn diduga beberapa kisah dari Sou Shen Ji tidak ditulis sendiri oleh Gan Bao.

Sou Shen Ji yang muncul pada saat Dinasti Ming ada 2 macam yaitu Zengbu Sou Shen Ji dan Sou Shen Da Quan. Sou Shen Da Quan menyebutkan bahwa Miao Shan adalah reinkarnasi dari Shi Shan, anak ketiga dari Grhapati Shi Qin di Jiuling Guzhu.

Dalam versi Soushen Guangji dari Dinasti Yuan yang lebih awal sama sekali tidak ada kisah mengenai Guanyin. Kisah Guanyin hanya dan baru ada dalam Zengbu Sou Shen Ji dan Sou Shen da Quan dari zaman Dinasti Ming. Kisah Guanyin (Miao Shan) dalam Zengbu Soushenji didasarkan pada kisah yang dituturkan oleh Guan Daosheng dan Xiangshan baojuan. Sou Shen Da Quan juga mirip dengan Nan Hai Guanyin Zhuanquan. Boleh dibilang Nan Hai Guanyin Zhuanquan didasarkan atas Sou Shen Da Quan dan Xiangshan Baojuan.

Sedangkan kisah Miao Shan sendiri telah muncul pada masa Dinasti Song. Hal ini bisa dilihat pada inskripsi teks yang menceritakan kisah Miao Shan yang ditulis pada tahun 1100 M di Vihara Xiangshan oleh Jiang Zhiqi. Tahun 1104, Bhiksu dari Vihara Tianzhu bernama Daoyu mendirikan kembali inskripsi tersebut. Pada tahun 1126 M, perdana menteri Cai Jing mengukir isi teks tersebut pada sebuah batu dan menjadi sebuah inskripsi. Jiang Zhiqi mendengar kisah Miao Shan tersebut dari Huaizhou, Bhiksu Kepala dari Vihara Xiangshan.

Selain itu salah satu teks tertua tentang kisah Miao Shan ada dalam Longxing Fojiao Biannian Tonglun yang ditulis oleh Bhiksu Zuxiu pada tahun 1164 M. Adapun kisah yang ditulis dalam kitab Longxing, Xiangshan baojuan serta inskripsi oleh Jiang Zhiqi semuanya berkaitan dengan pendiri aliran Lu(Vinaya) yaitu Dao Xuan.

Pada tahun 1306 M, Dinasti Yuan, Guan Daosheng, istri dari Zhaou Mengfu, menulis Guanshiyin Pusa Zhuanluo, satu lagi biografi Miao Shan. Xiangshan Baojuan (Kitab Pusaka dari Xiangshan) yang ditulis sebelum 1500 M sendiri mengambil dasar cerita Miao Shan dari inskrpsi yang ditulis oleh Jiang Zhiqi dan Longxing Fojiao Biannian Tonglun. Perlu diketahui juga yaitu kisah Miao Shan yang sekarang ini banyak berdasarkan kisah yang ada dalam Xiangshan Baojuan.

Bahkan website Tao terkemuka yaitu Taoism.org.hk pun mengakui bahwa Guanyin berasal dari agama Buddha dan kemudian diadopsi oleh agama Tao untuk memenuhi kebutuhan para umat serta konsep Tridharma yang sudah banyak dianut zaman tersebut. Maka dari itu pandangan yang menyatakan Guanyin berasal dari agama Tao adalah salah kaprah.

Keterkenalan Guanyin di Tiongkok bahkan jauh sebelum wujud wanitanya menjadi terkenal. Wujud wanita Guanyin menjadi terkenal di Tiongkok baru mulai sekitar 1000 M. Sedangkan mukjizat-mukjizat, kisah dan keterkenalan Guanyin telah muncul jauh sebelum masa 1000 M, yaitu:

1.   Pada tahun 519 M ditulis Gaoseng zhuan yang  di dalamnya berisi banyak kisah Guanyin
2.   Pada masa Dinasti Han Akhir (220 M) sampai Dinasti Sui (581 M) banyak sekali mukjizat berkenaan dengan Guanyin
3.   Pada abad ke-5 M ditulis Mingxiangji telah disebutkan mukjizat Guanyin memberikan anak.
4.   Pada tahun 668 M muncul Fayuan Zhulin yang di dalamnya juga banyak kisah-kisah mukjizat Guanyin.

Oleh karena itu dapat dilihat bahwa Guanyin telah terkenal di Tiongkok sebelum wujud wanitanya menjadi terkenal.
Q: Pendamping Guanyin yaitu Shancai dan Longnu berasal dari Jintong dan Yunu, pendamping Yuhuang Dadi. Apakah benar demikian?
A: Mungkin memang ada pengaruh. Namun Shancai sendiri sebanarnya adalah Sudhana dalam Gandavyuha Sutra (Avatamsaka Sutra) dan Longnu adalah Nagini dari Saddharmapundarika Sutra. Jadi Shancai dan Longnu keduanya berasal dari dan ada dalam Tripitaka Buddhis, bukan sekedar cerita Tionghoa saja.

Q:Adakah faktor lain yang mendukung pernyataan bahwa Guanyin adalah murni Buddhis?
Tentu saja ada. Berdasarkan tulisan Yu Chun-fang, sejarawan Guanyin yang terkemuka, disebutkan bahwa warna kuning adalah karakteristik dari agama Tao. Sedangkan warna putih adalah karakteristik dari seorang umat Buddhis awam. Sebagaimana kita tahu, umat Buddhis awan sejak zaman Sang Buddha selalu digambarkan memakai baju putih dan tradisi ini masih berlanjut sampai sekarang di Thailand. Oleh karena itulah, menurut Yu Chun Fang, Guanyin yang Berjubah Putih (Baiyi Guanyin) mengindikasikan bahwa Guanyin tidak berasal dari agama Tao.

Di agama Tao sendiri, menurut kitab Taochiao Lingyen chi yang disusun oleh Tao Kuangting (850-933 M), “orang berbaju kuning” sering muncul dalam mimpi ataupun penglihatan. Hal ini mirip dengan penampakan “orang berbaju putih” dalam agama Buddha, yang tak lain adalah Baiyi Guanyin. Oleh karena itu jelaslah, dengan didukung pernyataan sejarawan, bahwa Baiyi Guanyin BUKAN Dewi agama Tao.

Apalagi warna putih dalam kebudayaan Tionghoa sering diasosiasikan dengan kematian. Sedangkan Guanyin dengan jubah putihnya lebih sering diasosikan dengan kehidupan (Pemberi Anak, dsb).
Q:Apakah berlindung pada Avalokitesvara berarti tidak berlindung pada Buddha, Dharma dan Sangha?
A: Hanyalah umat Buddhis yang diliputi ketidaktahuan yang menyatakan demikian.
Perlindungan pada Buddha, Dharma, Sangha dapat dilihat pada Dharani maupun Mantra dari Avalokitesvara Bodhisattva.

Menurut paham Mahayana dan Vajrayana:
Semuanya pada mulanya berasal dari Adi Buddha (sebutan2 lainnya: Dharmakaya - Dhammakaya - Vajradhara - Samantabhadra - Svayambhu - Nirvana - Mahavairocana). Dari Adi Buddha muncullah Panca Dhyani Buddha (Vairocana, Akshobya, Ratnasambhava, Amitabha dan Amogasiddhi). Dari Amitabha muncullah Dhyani Bodhisattva Padmapani (Avalokitesvara). Avalokitesvara Bodhisattva "memantulkan" diri pada Amitabha Buddha dalam bentuk manusia, yaitu Sakyamuni Buddha.

Jadi, Sakyamuni Buddha = Amitabha Buddha = Avalokitesvara Bodhisattva
Amitabha Buddha dan Avalokitesvara Bodhisattva adalah Sambhogakaya daripada Sakyamuni Buddha (Buddha Gotama). Sedangkan Sakyamuni Buddha adalah Nirmanakaya (Manushi Buddha) dari Amitabha dan Avalokitesvara.

Sakyamuni Buddha adalah pengejawantahan welas asih Sang Bodhisattva Avalokitesvara. Dan Avalokitesvara Bodhisattva adalah simbolisasi dari hati yang welas asih (Metta Karuna) dari Sang Buddha Gotama.

Dalam Arya Ekadasa-mukha Dharani yang diambil dari Sutra Dharani
Tantra Avalokitesvara 11 wajah:

Kutipan sebagian Dharani:
namo ratna trayaya
nama arya jnana sagara, vairocana.....


Dalam kalimat pembuka disebutkan: "Namo ratnatrayaya", yang artinya adalah Terpujilah Tiga Permata (Buddha, Dharma, Sangha). Ekadasamukha adalah salah satu dari 6 wujud utama Avalokitesvara

Dalam Cintamani Cakravartin Dharani juga disebutkan mengenai perlindungan pada Buddha, Dharma, Sangha (Namo ratnatrayaya).

Kutipan sebagian Dharani:
Namo ratna-trayaya
nama aryavalokitesvaraya Bodhisattvaya.....


Cintamanicakra adalah salah satu dari 6 perwujudan utama Avalokitesvara.

Dalam Mantra Maha Karunacitta Dharani:
Namo ratnatrayaya. Namo aryavalokitesvaraya Bodhisattvaya

Dan dalam Nilakantha Dharani:
Namo ratna-trayaya. Nama Aryavalokitesvaraya bodhisattvaya mahasattvaya maha-karunikaya

Keduanya adalah Mantra yang dikenal sebagai Da Bei Cou. Dalam Dharani tersebut juga mengandung perlindungan terhadap 3 Permata - Triratna (Namo Ratnatrayaya). Mantra Maha Karuna Dharani adalah Mantra Sahasrabhujasahasranetra Avalokitesvara (Avalokitesvara 1000 Lengan 1000 Mata), salah satu dari 6 wujud utama Avalokitesvara.

Dalam Mahacundi Dharani:
NAMAH SAPTANAM SAMYAK-SAMMBUDDHA KOTINAM TADYATHA: OM CALE CULI CUNDI SVAHA
Namah Saptanam Samyaksambuddha Kotinam memiliki arti: Terpujilah 7 miliar Samyaksambuddha (Sammasambuddha), menyatakan perlindungan pada Buddha.

Cundi adalah salah satu dari 6 Bentuk Utama Avalokitesvara.

Dalam Gao Wang Guan Shi Yin Jing (Ko Ong Kwan Si Im Keng) - (Taisho Tripitaka 2898) juga disebutkan:
"Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya"

Dalam Guan Shiyin Baosheng Jing:
"Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya"

Dalam Pandaravasini Mahasattva Dharani (Baiyi Dashi Shencou) disebutkan:
"Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya"

Di Mahayana, Amitabha Buddha dan Avalokitesvara banyak dijadikan penghormatan utama. Lantas apakah mereka masih mengakui Buddha Gotama sebagai Guru Utama? Jawabannya adalah YA. Karena Amitabha dan Avalokitesvara adalah Sambhogakaya dari Sakyamuni Buddha. Maka dari itu setiap kebaktian Mahayana selalu diucapkan "Na Mo Ben Shi She Cia Mo Ni Fo" yang artinya "Terpujilah Guru Utama Sakyamuni Buddha".

Lagipula, dalam Mahayana dan Vajrayana, berlindung pada Bodhisattva (seperti Avalokitesvara) juga berarti berlindung pada Sangha. Karena Bodhisattva termasuk dalam Sangha. Sangha di sini adalah Sangha Para Arya (Arya Sangha) atau Sangha yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian seperti Srotapanna, Sakrdagamin, Anagamin, Arahat (Sravaka Buddha), Pratyeka Buddha dan Bodhisattva.

Baik umat Mahayana maupun Vajrayana keduanya juga berlindung pada Triratna Buddha, Dharma, Sangha. Jadi, apakah mereka yang menghormati Guanyin berlindung pada Triratna? Jawabannya adalah YA.

Terakhir dalam a Popular Dictionary of Buddhism, Christmas Humphreys menyebutkan:

Adi Buddha adalah Buddha primordial dalam agama Buddha Tibet. Ia adalah asal usul dari Batin Universal yang ada dengan sendirinya dan yang tak berasal muasal. Kekuatan kreatifnya dilambangkan dalam bentuk lima Dhyani Buddha, aspek-aspek aktif dari Dhyani Buddha ini lalu dipersonifikasikan dengan Dhyani Bodhisattva, para Dhyani Bodhisattva ini pun pada gilirannya diwakili di dunia ini oleh para Manushi Buddha atau Buddha Manusia yang berasal dari tujuh akar bangsa kemanusiaan. Ada terdapat sebanyak tujuh Dhyani Buddha, namun hanya lima nama Dhyani Buddha yang biasanya disebutkan. Avalokitesvara adalah Dhyani Bodhisattva yang bekerja pada kalpa sekarang ini dan Buddha Gautama adalah bayangan refleks duniawi dari Avalokitesvara tersebut. 
Q:Guanyin Wanita berasal dari agama Tao. Benarkah demikian?
Pernyataan bahwa Guanyin wanita hanya ada di Tiongkok sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Kenapa? Karena di INDIA sendiri TELAH ADA wujud WANITA dari GUAN YIN (Avalokitesvara). Contoh yang paling mudah adalah Pandaravasini Avalokitesvara yang barusan kita bahas. Berikut adalah perwujudan-perwujudan wanita dari Avalokitesvara Bodhisattva selain Pandaravasini yang berasal dari India:

1. Svetabhagavati Avalokitesvara
Tubuh Svetabhagavati berwarna putih dan mirip dengan Pandaravasini Avalokitesvara. Ia terlahir dari kesucian Samadhi Maha Melihat dari Mahavairochana Buddha. Tubuhnya berwarna kuning pucat, memegang teratai setengah mekar di tanagn kiri dan lengan kanan-Nya bersandar pada lutut yang diangkat. Ia menyimbolkan kemampuan untuk mengubah semua makhluk hidup Ke Inti Kesucian. Mantra-Nya adalah “Om mahapadme shvetange huru huru svaha”.

2. Parnashavari Avalokitesvara
Parnashavari duduk dengan posisi lotus di atas batu dengan kedua tangan-Nya dilipat di depan. Ia memberikan umur panjang, kesembuhan dan melindungi perumah tangga. Di Garbhakosha Mandala Ia digambarkan memegang lasso dan tongkat. Ia mempunyai kekuatan yang maha besar untuk melindungi makhluk yang melafalkan nama-Nya, menjauhkan para makhluk dari segala macam bencana. Melafal mantra-Nya sekali saja akan dapat melindungi diri sendiri, duakali dapat melindungi pasangan atau teman kita, tiga kali dapat melindungi keluarga kita, empat kali dapat melindungi suku kita dan lima kali dapat melindungi negara. Mantra-Nya yaitu Om Parnashavari Hum Phat. Parnashavari dalam Vajrayana adalah emanasi Avalokitesvara dan perwujudan wanita dari energi penyembuhan Buddha. Mantranya terkenal keefektifannya dalam menyembuhkan berbagai penyakit menular, kronis, epidemik dan keracunan. Parnashavari memakai baju dan ornamen yang terbuat dari daun-daun obat-obatan, bertubuh kuning, mempunyai tiga wajah dan enam tangan memegang vajra emas, lasso, kapak vajra, daun segar, panah dan busur dengan posisi duduk berlutut. Ia mempunyai tiga mata di muka tengah dan muka lainnya berwarna merah dan putih. Parnashavari sebenarnya berasal dari seorang dewi hutan yang diasosiasikan dengan suku Shavari di India kuno dan praktek penyembuhan. Dalam Tantra, Parnashavari termasuk dalam kelas Kriya Tantra.

3. Bhrikuti Avalokitesvara
Ia adalah Bodhisattva wanita bermata tiga dan bertangan empat membawa tasbih, teratai, dan botol Amrita. Tangan terakhir membentuk Mudra Pengabul Harapan. Ia lahir dari kerut dahi Avalokitesvara dan berwujud murka yang beryujuan untuk menghilangkan keegoan dalam diri makhluk hidup. Mantra-Nya adalah “Namah samanta buddhanam sarvabhayatrasani hum sphotaya svaha”.

4. Cundi Avalokitesvara
Cundi Avalokitesvara pertama kali dibahas di KarandaVyuha (Dacheng Zhuangyan Baowang Jing). Di sana tertulis mantranya: ‘Om cale cule cunde svaha’. Dalam bentuk ini, dia juga dikenal, seperti halnya Prajnaparamita, sebagai ibu dari 700.000 Buddha di tiga alam(Kotisri atau Saptakoti Buddhamatri Cundidevì).
Aspek keibuan inilah yang menarik umat Buddha di Asia Timur. Bentuknya yang paling dikenal adalah dengan satu wajah, tiga mata, dan delapan belas lengan. Di Jepang,dia jarang sekali dipatungkan, tetapi lebih dikenal denganlukisan mistisnya. Dalam Garbhakosa Mandala, diadigambarkan dalam wilayah kedua (sarvajna pariþad, ‘Dewan yang Maha Mengetahui’) dengan delapan atau delapan belas
lengan, dan merupakan ‘Ibu Wilayah Teratai’ (yaitu, Dewan keempat yang terdiri atas 21 bentuk Avalokitesvara). Dua tangan utamanya di depan dada membentuk mudra teratai (padma atau uttarabodhi mudra): jari manis dan jarikelingking terangkap bersama dengan jari tengah tegak lurusdan saling menyentuh. Dua tangan atas memegang pedangdan pataka, sementara dua tangan teratas memegang bulatanmatahari dan bulan (melambangkan keabadian).
Cundi Bodhisattva tercantum dalam kitab Maha-cundi dharani Sutra. Cundi Bodhisattva adalah bodhisattva yang berkaitan dengan kebijaksanaan, umur panjang, pemberian keturunan, hujan dan kerukunan suami istri. Cundi memakai jubah putih,  mahkota dengan patung Buddha serta banyak ornament-ornamen dan permata. Tubuh Cundi berwarna kuning dan mempunyai tiga mata serta delapan belas tangan. Delapan belas tangan tersebut menyimbolkan delapan belas kualitas seorang Buddha. Dua tangan poko membentuk mudra  “Akar/Dasar” dan tangan-tangan lainnya memegang panji pengabul harapan, teratai, vas inisiasi, lasso, roda beruas delapan, kerang atau sutra kebijaksanaan, vas pengabul harapan, peti kebijaksanaan, hiasan kepala, vajra, kail, kapak, buah surgawi, tasbih, pedang kebijaksanaan dan mudra “Tanpa Rasa Takut”.  Cundi mempunyai pengikut dua raja Naga yang bernama Nanda dan Upananda. Cundi merupakan perwujudan Avalokitesvara ketika Ia menyelamatkan para makhluk di alam para dewa (svarga).
Dan akhirnya perwujudan wanita Avalokitesvara yang paling fenomenal yaitu:

5. Tara Bodhisattva
Tara dalam tradisi Vajrayana pemegang aktivitas para Buddha serta Ibu dari para Buddha. Tara berkembang dari dewi Hindu yang bernama Tara dan kemudian diadopsi oleh agama Buddha dan menjadi bodhisattva dengan riwayat yang berbeda dengan dewi Tara dalam agama Hindu. Tara muncul dalam agama Buddha sejak abad ke-5 M. Tara dalah pasangan wanita dari Amogasiddhi Buddha dan memegang elemen udara. Ia berasal dari keluarga Karma. Ia mengubah kecemburuan dan iri hati menjadi kebijaksanaan yang tertinggi. Dalam Adhvayavajrasamgraha, Ia disebutkan berasal dari simbol Sansekerta ‘Tam’ yang berwarna hijau keemasan. Wujudnya bermacam, ada yang dua tangan, enam ataupun delapan.

Tara dikelompokkan menjadi 21 Tara namun secara lebih umum digambarkan ada 2 macam Tara yaitu Tara Hijau (Syamatara/Drolma) dan Tara Putih(Sitatara/Drolkar). Tara Hijau berada pada Tanah Suci Buddha yang bernama Yulokod, di mana di tanah suci tersebut banyak sekali bodhisattva wanita. Warna tubuhnya hijau dengan tangan kanannya membentuk mudra kemurahan hati dan tangan kirinya memegang bunga lotus biru yang mekar dari telinga kirinya. Ia memakai mahkota lima Buddha dan memakai semua ornamen bodhisattva, duduk di atas teratai Lalita. Diceritakan Avalokitesvara Bodhisattva menangis ketika melihat penderitaan di dunia disebabkan oleh kasih-Nya yang sangat besar dan air matanya berubah menjadi bunga teratai dan kemudian dari teratai tersebut muncul Tara Hijau dan Tara Putih. Perawakannya adalah seorang gadis muda yang berumur 16 tahun dan sangat cantik. Ia diberi gelar sebagai penolong yang tercepat karena kesigapannya dalam menolong orang-orang yang menderita. Bodhisattva Tara juga dikenal atas ikrarnya yang agung yaitu mencapai tingkatan KeBuddhaan dalam wujud seorang wanita. Tara kemudian lahir di Tanah Suci Buddha Amogasiddhi di mana ia berikrar untuk selalu melindungi makhluk hidup di sepuluh penjuru dunia tang tak terbatas. Tara sering juga digambarkan sebagai pasangan wanita dengan Avalokitesvara. Rakyat Tibet menganggap mereka sebagai bapak-ibu pelindung mereka yang selalu menaungi dengan penuh cinta kasih. Praktek Tara Hijau dapat melenyapkan rintangan karama serta berbagai malapetaka. Banyak dari para Yogi dan Guru Buddhis yang mengalami kemujizatan Tara Hijau.

Tara Putih sering diasosiasikan dengan kebijaksanaan dan kebijaksanaan. Tara Putih digambarkan seputih bulan di musim gugur dalam posisi teratai penuh dan mempunyai tujuh mata, dua mata ditambah dengan mata ketiga di dahi dan empat mata masing-masing di telapak tangan dan kaki yang menunjukkan bahwa Ia melihat dan mengetahui semua penderitaan di alam semesta. Rambutnya berwarna hitam kebiruan. Di kepala-Nya terdapat gambar Amitabha Buddha dan tangan kanannya membentuk varada-mudra. Tangan kirinya berada di posisi hati memegang setangkai bunga teratai yang mekar. Tara Putih disebut-sebut memanifestasikan dirinya menjadi putri dari Tiongkok yang bernama Wencheng yang menikah dengan Raja Tibet Songtsen Gampo. Cintamanichakra Tara adalah wujud Pelindung dari Tara Putih.

Adapun perwujudan Tara yang lain, yaitu sebagai Bhrikuti Tara yang tercantum dalam teks Hevajra Tantra dan Arya Manjushrimulakalpa bersama dengan Arya Tara dan bodhisattva wanita lainnya. Pada saat berwujud biru, Ia mempunyai tiga kepala dan enam tangan. Pada saat berwujud kuning, Ia mempunyai satu wajah dengan tiga mata dengan alis yang tebal dan empat tangan. Keempat tangannya memegang tasbih, trisula, kalasa dan membentuk varada-mudra. Taranatha dari India menceritakan kunjungan seorang upasaka bernama Santivarman dari Pundravardhana ke bukit Potala, bodhimandala dari Avalokitesvara. Dikatakan bahwa Santivarman berdoa kepada Bhrikuti tara agar ia dapat menyebrangi lautan dan seketika muncul seorang gadis dengan sebuah rakit yang kemudian membawanya menyebrangi lautan. Saat medaki bukit Potala, Santivarman melihat gambar Bhrikuti Tara. Bhrikuti Tara mewujudkan diri-Nya sebagai putri dari Nepal yang menikah dengan raja Tibet, Songtsen Gampo.

Tara dan Guanyin Berjubah Putih
Bahkan dalam Baiyi Dashi (atau Guanyin) Wu Yinxin Tuoluoni Jing (Pancamudra Dharani Pandaravasini Avalokitesvara Sutra), Dharani Lima Mudra Guanyin Berjubah Putih terdapat mantra bagi Tara Bodhisattva. Oleh karena itulah erat hubungannya antara Baiyi Guanyin yang berwujud seorang wanita dengan Tara Bodhisattva, Bodhisattva wanita yang paling terkenal dalam dunia Buddhis, khususnya Vajrayana.

Berikut kutipan-kutipan dari Sutra Mahavairocana Tantra/Sutra:

To the north of the Lord,
There is the heroic Avalokitesvara
He should be drawn
Seated upon a white lotus,
And he is white himself

Like a conch, jasmine and or the moon
His face is smiling and
On his head there is Amitabha.

On his right there is The Goddess
Known as the great Tara
She is virtuous and removes fear
Light green in colour, with vartious forms
She has the proportions of a young woman
In her clasped hands she also holds a blue lotus
She is encircled with rays of light
And is wearing garments of white.

To his left the Goddess Bhrkuti
Should be drawn
She holds a rosary in her hand
Has three eyes and plaited locks of hair
The colour of her body is white
And she is encircled with
Rays of white, yellow and red light.

……….

Nearby to Tara,
The wise one should draw
Pandaravasini
She has braided locks and wears white
In her hand she holds a lotus


Dalam Mahavairocana Sutra jelas disebutkan bahwa Tara, wujud wanita Guanyin, berjubah putih.

Dalam teks Dharani Pancamudra Guanyin Berjubah Putih juga disebutkan mantra dari Tara.

Di dalam Mahavairocana Sutra juga disebutkan bahwa Pandaravasini berada dekat dengan Tara, menyimbolkan ada hubungan antar keduanya. Pandaravasini juga digambarkan berjubah putih.

Walaupun naskah Mahavairocana versi Sansekerta sudah tidak ada, namun para sejarawan sebagian besar setuju bahwa Mahavairocana Sutra adalah teks asli dari India. Hal yang menguatkan pernyataan ini adalah, diterjemahkannya juga Mahavairocana Sutra ke dalam bahasa Tibet oleh dPal brTsegs dari bahasa Sansekerta dan komentarnya dibuat oleh Buddhaguhya. Jadi Mahavairocana Sutra tidak hanya diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa saja, namun juga ke bahasa Tibet dari naskah asli Sansekerta.

Terjemahan Stephen Hodge berasal dari versi Tibetan dan di dalamnya disebutkan mengenai Tara dan Pandaravasini Yang Berjubah Putih sebagai perwujudan dari Avalokitesvara. Dari sini jelas bahwa Pandaravasini maupun Tara BUKANLAH pengaruh dari kebudayaan Han dan agama asli Tiongkok.

Hal kedua yang patut diketahui bahwa Tara dan Pandaravasini adalah asal muasal dari Guanyin Berjubah Putih. Jadi, Tara = Pandaravasini = Baiyi Guanyin = Baiyi Dashi = Avalokitesvara Berjubah Putih.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa “Guanyin Buddhis” berwajah keibuan sedangkan “Guanyin dewi Tiongkok” berwajah perempuan muda. Dan inilah yang membedakan keduanya. Namun ketika kita melihat Tara, jelas sekali bahwa pendapat tersebut sangat tidak masuk akal. Kenapa? Karena Tara adalah salah satu perwujudan Guanyin, di mana perawakannya masih muda (16 tahun). Dan Tara ini juga ada di India dan Nepal. Jadi jelas bahwa Guanyin yang berwajah perempuan muda adalah bercirikan Buddhis. Mahavairocana Sutra juga menyebutkan Tara sebagai perempuan muda dan berjubah putih.

Dan kalau masih meragukan keotentikan Tara maupun Pandaravasini, silahkan pergi ke Nepal dan India, tempat kelahiran Pangeran Siddharta sendiri, untuk melihat dan membuktikan apakah Tara dan Pandaravasini benar-benar ada. Dari sana akan membuka mata semuanya bahwa Baiyi Guanyin atau Tara itu berasal dari India dan ada di Buddhis India.

Kutipan tambahan dari A Dictionary of Chinese Buddhist Terms

1. 八大觀音 The eight Shingon representations of Guanyin (Avalokiteśvara): as one of the above 八大明王, as the white-robed one (Pandaravasini), as a rākshasī, as with four faces, as with a horse's head, as Mahāsthāmaprāpta 大勢至, and as Tārā 陀羅.
2. 觀世音母 (Guanshiyin Mu - Mother Avalokiteśvara) Tara, the śakti, or female energy of the masculine Avalokiteśvara

Maka dari itulah jelas sudahlah keraguan apakah Guanyin Berjubah Putih berasal dari agama Buddha atau dari zaman Tiongkok kuno (Tao). Dan jawabannya: AGAMA BUDDHA.

Beberapa saat lalu bro cetera zhang bertanya lewat massage pada saya tentang sumber. Berikut ini sumber-sumber rujukan saya:

The Legend of Miaoshan Oleh Glen Dudbridge
Latter Days of the Law: Images of Chinese Buddhism oleh Marsha Smith Weidner
Avalokitesvara oleh Ven. Piyasilo
Guan Yin oleh Teoh Eng Soon
Miracle Tales and the Domestication of Kuanyin oleh Yu Chunfang
Maha-vairocana-abhisambodhi Tantra oleh Stephen Hodge
A Dictionary of Chinese Buddhist Terms
Yahoo Groups! Budaya Tionghua
Forum Buddhis Online E-Sangha
KESIMPULAN:
Guanyin (Avalokitesvara) adalah sepenuhnya Bodhisattva Buddhis. Klaim yang mengatakan bahwa Guanyin adalah dewi agama Tao sama sekali tidak benar, sama seperti kasus Guanyin yang katanya dipengaruhi Bunda Maria! Maka jelas sekarang bahwa Avalokitesvara Wanita tidak hanya ada di Tiongkok, namun juga ada di India, tanah asal di mana agama Buddha muncul. Demikian juga tak diragukan lagi bahwa Guanshiyin pusa adalah Bodhisattva yang berasal dari agama Buddha dan ada dasarnya dalam Tripitaka.

Master Tanah Suci Shih-Hsien (實賢 1685-1733 M) mengatakan dalam tulisannya (觀音大士像讚) tentang Guanyin:

Dharmakaya dari Mahasattva bukanlah pria maupun wanita (大士法身 非男非女)
Bahkan tubuh bukanlah sebuah tubuh, maka atribut apa yang dapat diberikan (pada tubuh)? (身尚非身, 復何所倚).
Aku memberitahukan pada semua umat Buddhis, janganlah terikat pada bentuk (普告佛子: 不應取相)
Bodhisattva tak lain adalah engkau sendiri, Ia dan engkau tidaklah terpisah (菩薩是汝, 自他不二).
Apabila engkau dapat menyadari sifat dasar ke-Buddhaan ini dalam dirimu, maka itu benar-benar tak terbayangkan! (能如是觀 真不思議)

Master Chan (Zen) Fanchi berkata: “Janganlah mencari diluar, namun bangkitkanlah sifat dasar ke-Buddhaan dalam dirimu, Guanyin (Avalokitesvara) adalah dirimu dan dirimu adalah Guanyin.” (頓明自性, 不向外尋. 觀音即汝, 汝即觀音).

 _/\_
The Siddha Wanderer

Follow members gave a thank to your post:

2 komentar:

  1. wow.. hebat dan luar biasa. informasi byk dan sumbernya jg byk. salut

    BalasHapus
  2. luar biasa,, menambah wawasan saya,tq

    BalasHapus