Hari Wafatnya Kwan se im Po sat imlek 19/9 ( 2 november 2012)
Mantra Ta pei ciu Mustika dari Dewi Kwan Im serta artinya (Bahasa Pali).
1. Namo Ratna Triayi, Terpujilah Ketiga Mustika (Ratna) Yang Suci
2. Namo Ariayi, Terpujilah Para Suci-Wan
3. Avalokitesvara Ariayi, Sang Avalokitesvara Yang Suci
4. Bodhisattva Bayai, Bodhisattva Yang Perkasa
5. Mahasatva Bayai, Mahasatva Yang Perkasa
6. Maha Karunikayai, Beliau Yang Maha Welas Asih
7. Aum, Dengan Hikmad
8. Satpravar Ariayi, Sang Buddha, Junjungan Guru
9. Sutranatrasa, Penggubah Sutra Pitaka Nan Ampuh
10. Namo Siri Dharma Ariayi, Pujilah Sang Dharma Suci Yang Membahagiakan
11. Avalokitesvara Rindha Biya, Pujilah Avalokitesvara Yang Bersemayam tekun
12. Namo Narakundhi, Pujilah Beliau nan Ber-iman Bijak dan Kasih
13. Hiri Maha Ratna Sammi, Beliau nan Memancarkan Sinar Agung
14. Sarva Adhadhu Subhiyai, Tidak ada kaya-raya, bebas kemiskinan-bersih-suci tanpa penderitaan
15. Asikin, Dharma nan Tiada taranya
16. Sattva Sattha Namava Sattha Nama Bhaga, Para Makhluk agung nan Bebas tanpa bekas
17. Marva Trata, Para Dewa dan Suci-wan
18. Sidharta Trata, Beliau yang telah menyelesaikan tugas Sucinya
19. Aum Avalokes, Dengan Khidmat MemandangNya
20. Lokati, Dengan penuh kewelas-asihan
21. Kaloti, Dengan penuh Nasehat serta penuh Ajaran
22. Iseri, Dengan penuh Hati terbuka
23. Maha Bodhisattva, Makhluk-agung nan Maha mengerti
24. Sattva Sattva, Makhluk-makhluk nan Bebas segalanya
25. Mara Mara, Yang Maha Kuasa
26. Mahes Mahes Rudrajin, Para makhluk-agung bersemayam diatas Seroja
27. Guru Guru Karma, Sang Guru Junjungan yang bijaksana
28. Turu Turu Varjayati, Beliau yang berhati seroja putih bersih tak ternodakan
29. Maha Varjayati, Nan berdasarkan Dharma Agung
30. Dhara Dhara, Pembawa Labu-kering serta sanggup memberikan segalanya
31. Trini, Beliau Nan Gagah Perkasa
32. Sarva Raya, MataNya yang bersinar menembusi segalanya
33. Chara Chara, Tindak-tandukNya nan Tak tercatatkan
34. Nama Varmara, Beliau nan Ter-Sakti
35. Mukti, Beliau Yang bersemayam di-Istana Kebebasan
36. Trihes Ihes, Beliau Penunjuk sang Ajaran
37. Sarma Sarma, Beliau Yang Penuh Kecerdasan Akal Agung
38. Arasham Buddha Rasari, Lord Buddha Pemutar Sang Cakra
39. Varsa Varsam, Telah berjuta-juta tahun lamanya
40. Buddha Rasari, Sang Buddha selalu memutar Sang Cakra
41. Huru Huru Mira, Melaksanakan khotbah Penerangan
42. Huru Huru Hesri, Adakalanya Beliau Berkhotbah tanpa suara
43. Sara Sara, BatinNya Teguh Tak Tergoyahkan
44. Seri Seri, Dengan Perkasa Mempertahankan TujuanNya
45. Seru Seru, Dengan Tekun menikmati Hasil KebahagiaanNya
46. Bodhiya Bodhiya, Dengan Penuh Kecerdasan-akal Murni
47. Buddhaya Buddhaya, Beliau Yang Maha Tahu, Yang Maha Mengerti
48. Maitreya, Sinar Maitreya-Nya Yang Maha Pengasih
49. Narakundi, Yang Penuh Keteguhan Tekad
50. Trisitnina, Beliau, Penakluk Seluruh Dharma
51. Baddjamana, NamaNya Yang Harum
52. Svaha, Sadhu (Semoga tercapai hal itu)
53. Sitdhaya, Pencapaian HasilNya
54. Svaha, Sadhu (Semoga demikian hal itu)
55. Maha Sidhaya, Pencapaian Hasil-Hasil AgungNya
56. Svaha, Sadhu (Semoga demikian hal itu)
57. Sitdha Ariayi, Beliau Yang Suci, Tidak timbul hasil-hasil (karma) Baru
58. Sarva Ariayi, Sang Avalokitesvara Yang Suci
59. Svaha, Sadhu
60. Narakundi, Yang Penuh Keteguhan Tekad
61. Svaha, Sadhu
62. Mara Nara, PikiranNya Yang Maha Agung
63. Svaha, Sadhu
64. Setiara Sangha Amukghaya, Yang Melindungi Para Siswa Kegerbang Kebebasan
65. Svaha, Sadhu
66. Sarva Maha Sitdhaya Ariayi, Sang Avalokitesvara Agung yang tidak Taranya
67. Svaha, Sadhu
68. Chakra Sitdhaya, Pencapai sang Chakra (Buddha Dharma)
69. Svaha, Sadhu
70. Buddha Dharma Sitdhaya, Hasil hasil Buddha Dharma Yang Tiada taranya
71. Svaha, Sadhu
72. Narakundi Bhaga Ariayi, Duhai Dikau nan bersemayam diatas Seroja merah, Tekat teguhNya yang maha suci
73. Svaha, Sadhu
74. Marvarisin Karma Ariayi, Perangai dan Perbuatan (Karma) Nya Agung yang Suci
75. Svaha, Sadhu
76. Namo Ratna Triayi, Pujilah Ketiga Ratna Yang Suci
77. Namo Ariayi, Pujilah Para Suci-wan
78. Avalokitesvara Ariayi, Sang Avalokitesvara Yang Suci
79. Svaha, Sadhu
80. Aum, Dengan khidmat
81. Sidhartha, Pujilah Beliau Penyelesai Tugas
82. Bhandala, Dan Penemu Sang Dharma
83. Bhadeayi, Beliau Pencapai Kebahagiaan Abadi
84. Svaha, Semoga Hal itu tercapai demikian (Sadhu)
Dibaca 7x :
AUM BADJERAH DHARMA KIRIKU
NAMA SAMMATHA BUDDHANAUM
AUM AVAM RAM HAM SVAHA
Izinkan saya untuk membagi
artikel mengenai Guanyin. Banyak yang bingung apakah Guanyin
(Avalokitesvara) adalah Bodhisattva Buddhis atau Dewi agama Tao. Apalagi
banyak juga sumber-sumber berbahasa Indonesia yang mengatakan bahwa
Guanyin sebenarnya telah ada pada zaman Tiongkok purba, seperti:
Menurut jindeyuan.org disebutkan mengenai Avalokitesvara Bodhisattava (Guan Yin):
“Jauh sebelum diperkenalkannya agama Buddha pada akhir Dinasti Han (tahun 25 - 228), Koan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutan Pek Ie Tai Su yaitu Dewi berjubah putih yang welas asih. Kemudian Beliau diketahui sebagai perwujudan dari Buddha Avalokitesvara.”
Atau
“Demikianlah seorang Dewi Welas Asih yang Asli Tiongkok 白衣大士 (Pek Ie Tai Su) menyatu dengan Avalokitesvara, jadilah Dewata Buddhis khas Tiongkok, bahkan ciri-ciri ke-India-annya hilang sama sekali.”
Bahkan di beberapa forum diskusi, banyak timbul pandangan bahwa Guanyin berasal dari agama Tao. Daloam buku-buku Widya Karya yang diterbitkan MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) juga disebutkan:
“Agama Buddha (asli) di India pada hakekatnya tak “mengenal”nya, kalaulah ada penyebutan Avalokitesvara Bodhisattva itupun “gelar” yang diberikan pada Guanshiyin dengan nama itu (yang di India disandang oleh seorang Bodhisattva pria).”
Dan:
“Bila Guanshiyin dihubungkan dengan Shenming dari Miao Shan jelas pemujaannya pra-agama Buddha masuk ke Tiongkok, ditambah dengan pemuja penganut Dao (yang dengan Ru memang bergandeng), maka Guan Yin adalah Shan Ming orang Tiongkok (asli).”
Bahkan belakangan ini Ketua Umum MATAKIN (Budi S. Tanuwibowo) mengeluarkan pernyataan, “Kwan Im Po Sat (Bodhisattva Avalokitesvara) tidak jelas kuburannya / makamnya sehingga diragukan keberadaan dan kebenaran-Nya”
Dalam surat permohonan maafnya, Budi S. Tanuwibowo menggunakan istilah “Dewi Kwan Im”, bukan lagi “Kwan Im Po Sat”, dan berkata:
“Mengenai siapa Beliau, ada beberapa versi: apakah seorang Dewi, atau tokoh suci di jaman purba yang hidup ratusan tahun sebelum Nabi Kong Zi. Namun semua itu tidak mengurangi hormat yang tinggi kepada Beliau. Secara spirit Beliau menjadi lambang welas asih yang universal dan melintasi batas-batas agama. Ini menjadi keyakinan saya dan juga keyakinan banyak orang yang mengagumi dan menghormati Beliau.”
Banyaknya pernyataan-pernyataan tersebut menjadikan kebingungan, sehingga banyak orang yang meragukan Guanyin sebagai Bodhisattva Buddhis.
Menanggapi kebingungan tersebut maka saya akan menjawab satu persatu pokok permasalahan mengenai Guan Yin dengan berdasarkan penelitian para sejarawan.
Menurut jindeyuan.org disebutkan mengenai Avalokitesvara Bodhisattava (Guan Yin):
“Jauh sebelum diperkenalkannya agama Buddha pada akhir Dinasti Han (tahun 25 - 228), Koan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutan Pek Ie Tai Su yaitu Dewi berjubah putih yang welas asih. Kemudian Beliau diketahui sebagai perwujudan dari Buddha Avalokitesvara.”
Atau
“Demikianlah seorang Dewi Welas Asih yang Asli Tiongkok 白衣大士 (Pek Ie Tai Su) menyatu dengan Avalokitesvara, jadilah Dewata Buddhis khas Tiongkok, bahkan ciri-ciri ke-India-annya hilang sama sekali.”
Bahkan di beberapa forum diskusi, banyak timbul pandangan bahwa Guanyin berasal dari agama Tao. Daloam buku-buku Widya Karya yang diterbitkan MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) juga disebutkan:
“Agama Buddha (asli) di India pada hakekatnya tak “mengenal”nya, kalaulah ada penyebutan Avalokitesvara Bodhisattva itupun “gelar” yang diberikan pada Guanshiyin dengan nama itu (yang di India disandang oleh seorang Bodhisattva pria).”
Dan:
“Bila Guanshiyin dihubungkan dengan Shenming dari Miao Shan jelas pemujaannya pra-agama Buddha masuk ke Tiongkok, ditambah dengan pemuja penganut Dao (yang dengan Ru memang bergandeng), maka Guan Yin adalah Shan Ming orang Tiongkok (asli).”
Bahkan belakangan ini Ketua Umum MATAKIN (Budi S. Tanuwibowo) mengeluarkan pernyataan, “Kwan Im Po Sat (Bodhisattva Avalokitesvara) tidak jelas kuburannya / makamnya sehingga diragukan keberadaan dan kebenaran-Nya”
Dalam surat permohonan maafnya, Budi S. Tanuwibowo menggunakan istilah “Dewi Kwan Im”, bukan lagi “Kwan Im Po Sat”, dan berkata:
“Mengenai siapa Beliau, ada beberapa versi: apakah seorang Dewi, atau tokoh suci di jaman purba yang hidup ratusan tahun sebelum Nabi Kong Zi. Namun semua itu tidak mengurangi hormat yang tinggi kepada Beliau. Secara spirit Beliau menjadi lambang welas asih yang universal dan melintasi batas-batas agama. Ini menjadi keyakinan saya dan juga keyakinan banyak orang yang mengagumi dan menghormati Beliau.”
Banyaknya pernyataan-pernyataan tersebut menjadikan kebingungan, sehingga banyak orang yang meragukan Guanyin sebagai Bodhisattva Buddhis.
Menanggapi kebingungan tersebut maka saya akan menjawab satu persatu pokok permasalahan mengenai Guan Yin dengan berdasarkan penelitian para sejarawan.
Masuknya Guanyin (Avalokitesvara) ke Tiongkok
Guan Yin (Avalokitesvara Bodhisattva) telah masuk ke Tiongkok pada akhir abad 1 M, pada zaman Dinasti Han. Guan Yin sudah ada di Tiongkok sejak diterjemahkannya Maha Sukhavativyuha yang diterjemahkan Lokaksema dan Kang Sengkai pada abad 2 M serta Sanghavarman pada tahun 252 M. Tahun 266 M dan 270 M, Dharmaraksa menerjemahkan Saddharmapundarika Sutra dan Karandavyuha Sutra yang merupakan dua sutra penting Avalokitesvara. Oleh karena itu, dapat dipastikan Guanyin Pusa adalah Bodhisattva Buddhis dan pemujaannya di Buddhis memang mengawali dan mempelopori segala bentuk pemujaan-Nya di berbagai agama dan kepercayaan di Tiongkok.
Berikut pertanyaan-pertanyaan dan jawaban mengenai Guanyin.
Q:Avalokitesvara di India adalah pria dan Avalokitesvara di Tiongkok adalah wanita dan biasa disebut Guanyin. Guanyin wanita sebenarnya adalah Dewi agama Tao (Baiyi Dashi – Pek Ie Tai Su). Apakah benar demikian?
A: Ternyata tidak. H. Maspero dan Kenneth Chen mengatakan bahwa Baiyi Guanyin adalah Pandaravasini (berjubah putih) dan juga wujud Tionghoa dari Tara Putih (Sitatara), consort dari Avalokitesvara dan merupakan Bodhisattva yang sangat penting dalam tradisi Tibetan. Ketika Pandaravasini pertama kali diperkenalkan ke Tiongkok pada masa Dinasti Tang, menurut pandangan ini, Ia berubah menjadi Dewi Kesuburan karena Pandaravasini termasuk dalam Garbhadhatu (Mandala Rahim). Kata-kata rahim tersebut membuat Beliau juga dijadikan Dewi Pemberi Anak oleh masyarakat Tiongkok, yang dikenal dengan nama Songzi Guanyin.
Namun akhir-akhir ini Rolf A Stein tidak setuju bahwa Pandaravasini dihubungkan dengan Tara Putih. Argumennya terdiri dari 2 poin: Baiyi Guanyin pertama kali diperkenalkan melalui teks Dharani Tantrik yang diterjemahkan pada abad ke-6 M daripada 8 M seperti yang disebutkan Maspero. Oleh karena itu, Baiyi Guanyin telah diperkenalkan lebih awal, sehingga tidak dibawa dari Tibet. Seperti dalam teks-teks Tantra yang membutuhkan visualisasi, perwujudan Baiyi Guanyin digambarakan dengan jelas dalam teks yang berasal dari abad ke-6 M tersebut. Wujud Baiyi Guanyin dalam teks tersebut, tanpa menyebutkan gender, adalah memakai jubah putih dan duduk di atas teratai dengan memegang teratai (bukan dahan willow) dan tangan lainnya memegang vas. Rambut-Nya disanggul ke atas. Teks Tantrik ini diduga yang menjadi basis dari perwujudan Baiyi Guanyin. Teks-teks lainnya berkenaan dengan lukisan Baiyi Guanyin telah ada pada zaman Dinasti Song dan Tang, namun bentuknya yang benar-benar lengkap tidak disebutkan, oleh karena itu tidak diketahui sejauh mana perwujudan Baiyi Guanyin dalam sutra tersebut diikuti.
Argumen Stein yang kedua dan sangat penting adalah teks Tantra yang diterjemahkan pada masa Dinasti Tang yang berkenaan dengan Buddha wanita (Fomu), di mana Pandaravasini (Baiyi) ditampilkan bersama dengan Tara. Namun berbeda dengan yang belakangan. Baiyi (Pandaravasini) adalah Ibu dari keluarga Lotus yang kepalanya adalah Avalokitesvara. Ia diberi nama “Kediaman Putih” (Baichu) karena Ia tinggal di teratai yang putih suci. Baiyi berbeda dengan “Ia Yang Bertubuh Putih” (Baishen), sebuah figure yang bersama-sama Tara, mengelilingi Amoghaphasa Avalokitesvara yang duduk di Gunung Potalaka. Di beberapa teks, Baiyi digambarakan duduk di atas teratai dengan memegang lasso di tangan kiri-Nya dan Prajnaparamita Sutra di tangan kanan-Nya yang diangkat, yang sanagt berbeda dengan pendeskripsian Baiyi yang lebih awal (memegang teratai dan vas). Dan membuat segalanya bertambah kompleks, dalam Mandala Rahim, “Kediaman Putih”, “Tubuh Putih’ dan “Tubuh Putih Maha Terang” (Daming Baishen) yang berada di pelataran Guanyin, semuang berjubah putih dan dapat disebut Baiyi. Putih adalah symbol dari pikiran yang tercerahkan, yang ‘melahirkan’ semua Buddha dan Bodhisattva. Oleh karena itu para Bodhisattva wanita yang berada dalam pelataran Guanyin kebanyakan berjubah putih, karena mereka adalah Ibu dari Buddha dan Bodhisattva.
Jadi jelas bahwa Baiyi Guanyin adalah Pandaravasini, prajnanya (aspek kebijaksanaan feminin) Amitabha. Awalnya, dia muncul dalam Garbhadhatu Mandala dengan jubah putih, duduk di atas teratai dan me-megang teratai kuncup ber-warna putih di tangan kirinya. Menurut Mahavairocana Sutra bab ke-5 dan 10, Pandaravasini itu berwarna putih (kadang-kadang merah muda) karena diaberdiam dalam Pikiran yang Cerah dan berdiam di atas teratai. Pandaravasini muncul dalam berbagai Sutra. Pandaravasini kemudian menjadi sumber dan pemimpin dari bagian Avalokitesvara dalam Mandala Garbhadhatu (Rahim) dan dipanggil dengan nama Guanyinmu (Ibu Avalokitesvara) sebagai bentuk aslinya.
Mahavairocana diterjemahkan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa pada tahun 724 M oleh Subhakarasimha. Bahkan mungkin teks Sansekerta Mahavairocana Sutra telah ada di Tiongkok sejak tahun 674 M yang dibawa oleh Wu Xing. Pada tahun 812 M, Silendrabodhi dan PalTseg menerjemahkan Mahavairocana Sutra dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tibet.
Ada teks yang disebut Baiyi Guanyin Jing atau Zhou (Sutra atau Mantra Pandaravasini Avalokitesvara). Sutra-sutra tersebut sangat pendek namun mencakup suatu mantra. Pelafalan dan pengingatan Sutra ini dianggap sangat manjur. Salah satu yang paling terkenal bernama Baiyi Guanyin (Dashi) Shenzhou (Mantra dari Pandaravasini Avalokitesvara atau Makhluk Agung). Sutra tersebut sudah digunakan sejak abad 11 M dan masih banyak dicetak dan disebarkan gratis pada zaman sekarang. Teks terkenal yang lain, yaitu Guanyin Shiju Jing (Sutra Guanyin 10 Kalimat), terkadang digabungkan dengan Baiyi Guanyin Shenzhou dan disebut sebagai Guanyin Mengshou (ditransmisikan melalui mimpi) Jing, Guanyin Baosheng (pelindung kehidupan) jing atau Guanyin Jiusheng (Menyelamatkan kehidupan) Jing. Teks-teks tersebut juga berasal; dari abad 11 M. kedua teks tersebut diduga ditansmisikan Baiyi Guanyin terhadap umatnya. Pelafalan sutra tersebut diyakini dapat membebaskan umat dari penderitaan, namun tidak spesifik pada pemberian anak.
Berkah pemberian anak, ada pada teks lain, dan memiliki berbagai macam nama, namun secara lebih meluas adalah Baiyi Dashi (atau Guanyin) Wu Yinxin Tuoluoni Jing (Pancamudra Dharani Pandaravasini Avalokitesvara Sutra). 35 kopi sutra ini terdapat dalam koleksi buku langka Perpustakaan Chinese Buddhist Cultural Artifacts, terletak di Vihara Fayuan di Beijing. Sutra tersebut dicetak sejak zaman Dinasti Ming, dengan yang paling awal tahun 1428 M dan mayoritas pada masa periode Wanli, sekitar 1600. Seperti teks-teks lainnya, teks ini juga dicetak dan disebarkan secara gratis oleh umat yang memohon mukjizat ataupun mereka yang ingin menyebarkan ajaran Guanyin. Jumlah yang disebarkan tergantung keadaan ekonomi sang penyumbang. Biasanya juga disertai kejadian-kejadian mukjizat yang dialami. Namun teks ini juga penting bagi para sejarawan.
Jadi jelas bahwa Guanyin Berjubah Putih (Baiyi Guanyin) adalah sepenuhnya bersifat Buddhis dan dari agama Buddha. Baiyi Guanyin (Pandaravasini) pada abad ke-6 M digambarkan tanpa menyebutkan gender. Penampakan Baiyi Guanyin di Tiongkok sendiri juga dimulai sekitar abad ke-6 M.
Akhirnya dalam Mahavairocana Sutra yang diterjemahkan pada abad ke-8 M dengan jelas disebutkan bahwa Pandaravasini adalah “Ibu” Avalokitesvara. Tentu “Ibu” berarti menunjukkan bahwa Pandaravasini adalah seorang Bodhisattva wanita. Kata “Pandaravasini” sendiri berarti “Yang Berbaju Putih”.
Guan Yin (Avalokitesvara Bodhisattva) telah masuk ke Tiongkok pada akhir abad 1 M, pada zaman Dinasti Han. Guan Yin sudah ada di Tiongkok sejak diterjemahkannya Maha Sukhavativyuha yang diterjemahkan Lokaksema dan Kang Sengkai pada abad 2 M serta Sanghavarman pada tahun 252 M. Tahun 266 M dan 270 M, Dharmaraksa menerjemahkan Saddharmapundarika Sutra dan Karandavyuha Sutra yang merupakan dua sutra penting Avalokitesvara. Oleh karena itu, dapat dipastikan Guanyin Pusa adalah Bodhisattva Buddhis dan pemujaannya di Buddhis memang mengawali dan mempelopori segala bentuk pemujaan-Nya di berbagai agama dan kepercayaan di Tiongkok.
Berikut pertanyaan-pertanyaan dan jawaban mengenai Guanyin.
Q:Avalokitesvara di India adalah pria dan Avalokitesvara di Tiongkok adalah wanita dan biasa disebut Guanyin. Guanyin wanita sebenarnya adalah Dewi agama Tao (Baiyi Dashi – Pek Ie Tai Su). Apakah benar demikian?
A: Ternyata tidak. H. Maspero dan Kenneth Chen mengatakan bahwa Baiyi Guanyin adalah Pandaravasini (berjubah putih) dan juga wujud Tionghoa dari Tara Putih (Sitatara), consort dari Avalokitesvara dan merupakan Bodhisattva yang sangat penting dalam tradisi Tibetan. Ketika Pandaravasini pertama kali diperkenalkan ke Tiongkok pada masa Dinasti Tang, menurut pandangan ini, Ia berubah menjadi Dewi Kesuburan karena Pandaravasini termasuk dalam Garbhadhatu (Mandala Rahim). Kata-kata rahim tersebut membuat Beliau juga dijadikan Dewi Pemberi Anak oleh masyarakat Tiongkok, yang dikenal dengan nama Songzi Guanyin.
Namun akhir-akhir ini Rolf A Stein tidak setuju bahwa Pandaravasini dihubungkan dengan Tara Putih. Argumennya terdiri dari 2 poin: Baiyi Guanyin pertama kali diperkenalkan melalui teks Dharani Tantrik yang diterjemahkan pada abad ke-6 M daripada 8 M seperti yang disebutkan Maspero. Oleh karena itu, Baiyi Guanyin telah diperkenalkan lebih awal, sehingga tidak dibawa dari Tibet. Seperti dalam teks-teks Tantra yang membutuhkan visualisasi, perwujudan Baiyi Guanyin digambarakan dengan jelas dalam teks yang berasal dari abad ke-6 M tersebut. Wujud Baiyi Guanyin dalam teks tersebut, tanpa menyebutkan gender, adalah memakai jubah putih dan duduk di atas teratai dengan memegang teratai (bukan dahan willow) dan tangan lainnya memegang vas. Rambut-Nya disanggul ke atas. Teks Tantrik ini diduga yang menjadi basis dari perwujudan Baiyi Guanyin. Teks-teks lainnya berkenaan dengan lukisan Baiyi Guanyin telah ada pada zaman Dinasti Song dan Tang, namun bentuknya yang benar-benar lengkap tidak disebutkan, oleh karena itu tidak diketahui sejauh mana perwujudan Baiyi Guanyin dalam sutra tersebut diikuti.
Argumen Stein yang kedua dan sangat penting adalah teks Tantra yang diterjemahkan pada masa Dinasti Tang yang berkenaan dengan Buddha wanita (Fomu), di mana Pandaravasini (Baiyi) ditampilkan bersama dengan Tara. Namun berbeda dengan yang belakangan. Baiyi (Pandaravasini) adalah Ibu dari keluarga Lotus yang kepalanya adalah Avalokitesvara. Ia diberi nama “Kediaman Putih” (Baichu) karena Ia tinggal di teratai yang putih suci. Baiyi berbeda dengan “Ia Yang Bertubuh Putih” (Baishen), sebuah figure yang bersama-sama Tara, mengelilingi Amoghaphasa Avalokitesvara yang duduk di Gunung Potalaka. Di beberapa teks, Baiyi digambarakan duduk di atas teratai dengan memegang lasso di tangan kiri-Nya dan Prajnaparamita Sutra di tangan kanan-Nya yang diangkat, yang sanagt berbeda dengan pendeskripsian Baiyi yang lebih awal (memegang teratai dan vas). Dan membuat segalanya bertambah kompleks, dalam Mandala Rahim, “Kediaman Putih”, “Tubuh Putih’ dan “Tubuh Putih Maha Terang” (Daming Baishen) yang berada di pelataran Guanyin, semuang berjubah putih dan dapat disebut Baiyi. Putih adalah symbol dari pikiran yang tercerahkan, yang ‘melahirkan’ semua Buddha dan Bodhisattva. Oleh karena itu para Bodhisattva wanita yang berada dalam pelataran Guanyin kebanyakan berjubah putih, karena mereka adalah Ibu dari Buddha dan Bodhisattva.
Jadi jelas bahwa Baiyi Guanyin adalah Pandaravasini, prajnanya (aspek kebijaksanaan feminin) Amitabha. Awalnya, dia muncul dalam Garbhadhatu Mandala dengan jubah putih, duduk di atas teratai dan me-megang teratai kuncup ber-warna putih di tangan kirinya. Menurut Mahavairocana Sutra bab ke-5 dan 10, Pandaravasini itu berwarna putih (kadang-kadang merah muda) karena diaberdiam dalam Pikiran yang Cerah dan berdiam di atas teratai. Pandaravasini muncul dalam berbagai Sutra. Pandaravasini kemudian menjadi sumber dan pemimpin dari bagian Avalokitesvara dalam Mandala Garbhadhatu (Rahim) dan dipanggil dengan nama Guanyinmu (Ibu Avalokitesvara) sebagai bentuk aslinya.
Mahavairocana diterjemahkan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa pada tahun 724 M oleh Subhakarasimha. Bahkan mungkin teks Sansekerta Mahavairocana Sutra telah ada di Tiongkok sejak tahun 674 M yang dibawa oleh Wu Xing. Pada tahun 812 M, Silendrabodhi dan PalTseg menerjemahkan Mahavairocana Sutra dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tibet.
Ada teks yang disebut Baiyi Guanyin Jing atau Zhou (Sutra atau Mantra Pandaravasini Avalokitesvara). Sutra-sutra tersebut sangat pendek namun mencakup suatu mantra. Pelafalan dan pengingatan Sutra ini dianggap sangat manjur. Salah satu yang paling terkenal bernama Baiyi Guanyin (Dashi) Shenzhou (Mantra dari Pandaravasini Avalokitesvara atau Makhluk Agung). Sutra tersebut sudah digunakan sejak abad 11 M dan masih banyak dicetak dan disebarkan gratis pada zaman sekarang. Teks terkenal yang lain, yaitu Guanyin Shiju Jing (Sutra Guanyin 10 Kalimat), terkadang digabungkan dengan Baiyi Guanyin Shenzhou dan disebut sebagai Guanyin Mengshou (ditransmisikan melalui mimpi) Jing, Guanyin Baosheng (pelindung kehidupan) jing atau Guanyin Jiusheng (Menyelamatkan kehidupan) Jing. Teks-teks tersebut juga berasal; dari abad 11 M. kedua teks tersebut diduga ditansmisikan Baiyi Guanyin terhadap umatnya. Pelafalan sutra tersebut diyakini dapat membebaskan umat dari penderitaan, namun tidak spesifik pada pemberian anak.
Berkah pemberian anak, ada pada teks lain, dan memiliki berbagai macam nama, namun secara lebih meluas adalah Baiyi Dashi (atau Guanyin) Wu Yinxin Tuoluoni Jing (Pancamudra Dharani Pandaravasini Avalokitesvara Sutra). 35 kopi sutra ini terdapat dalam koleksi buku langka Perpustakaan Chinese Buddhist Cultural Artifacts, terletak di Vihara Fayuan di Beijing. Sutra tersebut dicetak sejak zaman Dinasti Ming, dengan yang paling awal tahun 1428 M dan mayoritas pada masa periode Wanli, sekitar 1600. Seperti teks-teks lainnya, teks ini juga dicetak dan disebarkan secara gratis oleh umat yang memohon mukjizat ataupun mereka yang ingin menyebarkan ajaran Guanyin. Jumlah yang disebarkan tergantung keadaan ekonomi sang penyumbang. Biasanya juga disertai kejadian-kejadian mukjizat yang dialami. Namun teks ini juga penting bagi para sejarawan.
Jadi jelas bahwa Guanyin Berjubah Putih (Baiyi Guanyin) adalah sepenuhnya bersifat Buddhis dan dari agama Buddha. Baiyi Guanyin (Pandaravasini) pada abad ke-6 M digambarkan tanpa menyebutkan gender. Penampakan Baiyi Guanyin di Tiongkok sendiri juga dimulai sekitar abad ke-6 M.
Akhirnya dalam Mahavairocana Sutra yang diterjemahkan pada abad ke-8 M dengan jelas disebutkan bahwa Pandaravasini adalah “Ibu” Avalokitesvara. Tentu “Ibu” berarti menunjukkan bahwa Pandaravasini adalah seorang Bodhisattva wanita. Kata “Pandaravasini” sendiri berarti “Yang Berbaju Putih”.
Q: Istilah “Guanyin” berasal dari mana? Bagaimana dengan Cihang Dashi?
A: Banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa Cihang Dashi adalah kisah yang sangat tua. Demikianlah kisah Cihang Dashi / Cihang Zhenren:
Ci Hang Dao Ren adalah Pendeta Penyelamat Pelayaran yang hidup pada masa Dinasti Yin-Shang dan salah satu dari 12 murid Yuan Shi Tian Zun, begitulah menurut kitab Fengshen Yanyi. Di novel Fengshen diceritakan bahwa Ci Hang Dao Ren membantu pihak Wu Wang dan Jiang Zi Ya dalam menumbangkan Kaisar jahat bernama Zhou Wang. Ci Hang Zhen Ren digambarkan duduk di atas singa emas berkepala sembilan. hari rayanya ada tiga. yang pertama tanggal 19 bulan 2 Lunar (Ia berdoa agar para makhluk yg telah meninggal terbebas dari neraka dan berkah bagi yang masih hidup), tanggal 19 bulan 6 Lunar (Ia mengalahkan Ningbo Xianzi) dan tanggal 19 bulan 9 Lunar di mana Cihang mencapai keabadian (pencerahan).
Karena latar belakang kisah Cihang adalah Dinasti Yin-Shang yaitu ribuan tahun SM (Sebelum Masehi), maka banyak orang yang menganggap bahwa Ci Hang Da Shi telah ada sedari dulu di Tiongkok sebelum masuknya Guanyin ke Tiongkok. Dan Ci Hang Da Shi oleh banyak orang sering dianggap sebagai cikal bakal Guanyin wanita.
Namun apa benar kisah Cihang Dashi setua itu? Apabila dilihat lagi, maka jelas bahwa kisah Cihang Dashi sangatlah tidak tua. Kisah Cihang Dashi baru muncul pada kitab Li Dai Shen Xian Tong Jian yang berasal dari Dinasti Ming (1368-1644 AD). Kalau memang kisah Cihang Dashi sudah sangat tua, mengapa kisah Cihang tidak diketemukan dalam Shen Xian Zhuan karya Ge Hong (283-343 AD)? Kisah Cihang Dashi juga ada dalam novel Fengshen Yanyi yang juga berasal dari Dinasti Ming. Maka dari itu dapat dipastikan bahwa kisah Cihang Dashi baru muncul pada masa Dinasti Ming. Bahkan kisah Cihang Dashi dalam Li Dai Shen Xian Tong Jianpun diragukan keakuratan sejarahnya.
Kisah Cihang Dashi juga muncul SETELAH / SESUDAH wujud wanita Guanyin menjadi terkenal di Tiongkok. Jadi TIDAK MUNGKIN bagi Cihang Dashi untuk MEMPENGARUHI Guanyin sehingga berwujud wanita. Bahkan kisah Miao Shan lebih awal daripada kisah Cihang Dashi.
Terjemahan ‘Guan Yin (觀音)”, “Ia yang mendengar suara” dunia, adalah subjek kontroversi yang panjang. Xuan Zang (602-604) mengetakan terjemahan tersebut keliru dan selama penerjemahan yang dilakukannya, Beliau menggunakan Guan Zi Zai (觀自在) dari Sansekerta Avalokitesvara (Avalokita-Isvara), “Tuan yang Melihat”. Cheng Kuan (738-839) menulis dalma komentarnya, ia menunjukkan bahwa dalam naskah original Sansekertanya sendiri terdapat dua nama yang berbeda, yang dilihat dari manuskrip tua yang ditemukan tahun 1927 di Sinkiang, Xinjiang, Tiongkok yang berasal dari abad ke-5 M. Di manuskrip tua tersebut nama Avalokitasvara (Guanyin) muncul sebanyak 5 kali, sehingga akhirnya Mironov menyimpulkan bahwa kata “Avalokitasvara” adalah bentuk aslinya namun akhirnya diganti dengan Avalokitesvara. Profesor Murray B Emeneau pun juga mengatakan bahwa “Avalokitasvara” berate “Ia Yang Mendengar Suara”. Bahkan murid Xuan zang yang terkenal yaitu Guizhi (窺基 632-82 M), menggunakan lagi kata “Guanyin” dalam menerjemahkan Prajnaparamita Hrdaya Sutra.
Namun Xuanzang bukanlah yang pertama kali menerjemahkan dengan kata “Guan Zi Zai”. Semua penerjemah sebelum Xuanzang menggunakan kata “Guanyin”. Kumarajiva (344-413 M), yang dikritik oleh Xuanzang karena menggunakan kata “Guanyin” dalam menerjemahkan Saddharmapundarika Sutra dan Prajnaparamitahrdaya Sutra, ternyata Beliau (Kumarajiva) juga telah mengatakan bahwa “Guanshiyin” (觀世音) juga disebut Guanzizai (觀自在).
”Shi” dalam “Guanshiyin” sempat dihilangkan sehingga menjadi “Guanyin”. Hal ini karena pelarangan penggunaan nama (tabu) dengan menggunakan huruf “Shi” 世. Hal tersebut disebabkan karena Huruf “Shi” ada dalam nama Li shimin 李世民 (nama Kaisar Taizong), sehingga tabu untuk dipergunakan. Namun akhirnya Kaisar Tang Gaozong membolehkan kembali penggunaan “Shi” untuk “Guanshiyin”.
Faktanya, kata terjemahan “Guanyin” muncul seawal-awalnya pada tahun 185 M yaitu pada terjemahan Sutra Perfect Splendor Samadhi (成具光明定義經) oleh Zhiyao (支曜). Terjemahan “Guanshiyin” muncul paling awal pada terjemahan liturgi kebaktian yang diterjamahkan pada masa Dinasti Han Akhir (25-220 M).
Oleh karena itulah “Guanshiyin” adalah terjemahan dari bahasa Sansekerta Avalokitesvara dan nama tersebut berasal dari agama Buddha.
A: Banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa Cihang Dashi adalah kisah yang sangat tua. Demikianlah kisah Cihang Dashi / Cihang Zhenren:
Ci Hang Dao Ren adalah Pendeta Penyelamat Pelayaran yang hidup pada masa Dinasti Yin-Shang dan salah satu dari 12 murid Yuan Shi Tian Zun, begitulah menurut kitab Fengshen Yanyi. Di novel Fengshen diceritakan bahwa Ci Hang Dao Ren membantu pihak Wu Wang dan Jiang Zi Ya dalam menumbangkan Kaisar jahat bernama Zhou Wang. Ci Hang Zhen Ren digambarkan duduk di atas singa emas berkepala sembilan. hari rayanya ada tiga. yang pertama tanggal 19 bulan 2 Lunar (Ia berdoa agar para makhluk yg telah meninggal terbebas dari neraka dan berkah bagi yang masih hidup), tanggal 19 bulan 6 Lunar (Ia mengalahkan Ningbo Xianzi) dan tanggal 19 bulan 9 Lunar di mana Cihang mencapai keabadian (pencerahan).
Karena latar belakang kisah Cihang adalah Dinasti Yin-Shang yaitu ribuan tahun SM (Sebelum Masehi), maka banyak orang yang menganggap bahwa Ci Hang Da Shi telah ada sedari dulu di Tiongkok sebelum masuknya Guanyin ke Tiongkok. Dan Ci Hang Da Shi oleh banyak orang sering dianggap sebagai cikal bakal Guanyin wanita.
Namun apa benar kisah Cihang Dashi setua itu? Apabila dilihat lagi, maka jelas bahwa kisah Cihang Dashi sangatlah tidak tua. Kisah Cihang Dashi baru muncul pada kitab Li Dai Shen Xian Tong Jian yang berasal dari Dinasti Ming (1368-1644 AD). Kalau memang kisah Cihang Dashi sudah sangat tua, mengapa kisah Cihang tidak diketemukan dalam Shen Xian Zhuan karya Ge Hong (283-343 AD)? Kisah Cihang Dashi juga ada dalam novel Fengshen Yanyi yang juga berasal dari Dinasti Ming. Maka dari itu dapat dipastikan bahwa kisah Cihang Dashi baru muncul pada masa Dinasti Ming. Bahkan kisah Cihang Dashi dalam Li Dai Shen Xian Tong Jianpun diragukan keakuratan sejarahnya.
Kisah Cihang Dashi juga muncul SETELAH / SESUDAH wujud wanita Guanyin menjadi terkenal di Tiongkok. Jadi TIDAK MUNGKIN bagi Cihang Dashi untuk MEMPENGARUHI Guanyin sehingga berwujud wanita. Bahkan kisah Miao Shan lebih awal daripada kisah Cihang Dashi.
Terjemahan ‘Guan Yin (觀音)”, “Ia yang mendengar suara” dunia, adalah subjek kontroversi yang panjang. Xuan Zang (602-604) mengetakan terjemahan tersebut keliru dan selama penerjemahan yang dilakukannya, Beliau menggunakan Guan Zi Zai (觀自在) dari Sansekerta Avalokitesvara (Avalokita-Isvara), “Tuan yang Melihat”. Cheng Kuan (738-839) menulis dalma komentarnya, ia menunjukkan bahwa dalam naskah original Sansekertanya sendiri terdapat dua nama yang berbeda, yang dilihat dari manuskrip tua yang ditemukan tahun 1927 di Sinkiang, Xinjiang, Tiongkok yang berasal dari abad ke-5 M. Di manuskrip tua tersebut nama Avalokitasvara (Guanyin) muncul sebanyak 5 kali, sehingga akhirnya Mironov menyimpulkan bahwa kata “Avalokitasvara” adalah bentuk aslinya namun akhirnya diganti dengan Avalokitesvara. Profesor Murray B Emeneau pun juga mengatakan bahwa “Avalokitasvara” berate “Ia Yang Mendengar Suara”. Bahkan murid Xuan zang yang terkenal yaitu Guizhi (窺基 632-82 M), menggunakan lagi kata “Guanyin” dalam menerjemahkan Prajnaparamita Hrdaya Sutra.
Namun Xuanzang bukanlah yang pertama kali menerjemahkan dengan kata “Guan Zi Zai”. Semua penerjemah sebelum Xuanzang menggunakan kata “Guanyin”. Kumarajiva (344-413 M), yang dikritik oleh Xuanzang karena menggunakan kata “Guanyin” dalam menerjemahkan Saddharmapundarika Sutra dan Prajnaparamitahrdaya Sutra, ternyata Beliau (Kumarajiva) juga telah mengatakan bahwa “Guanshiyin” (觀世音) juga disebut Guanzizai (觀自在).
”Shi” dalam “Guanshiyin” sempat dihilangkan sehingga menjadi “Guanyin”. Hal ini karena pelarangan penggunaan nama (tabu) dengan menggunakan huruf “Shi” 世. Hal tersebut disebabkan karena Huruf “Shi” ada dalam nama Li shimin 李世民 (nama Kaisar Taizong), sehingga tabu untuk dipergunakan. Namun akhirnya Kaisar Tang Gaozong membolehkan kembali penggunaan “Shi” untuk “Guanshiyin”.
Faktanya, kata terjemahan “Guanyin” muncul seawal-awalnya pada tahun 185 M yaitu pada terjemahan Sutra Perfect Splendor Samadhi (成具光明定義經) oleh Zhiyao (支曜). Terjemahan “Guanshiyin” muncul paling awal pada terjemahan liturgi kebaktian yang diterjamahkan pada masa Dinasti Han Akhir (25-220 M).
Oleh karena itulah “Guanshiyin” adalah terjemahan dari bahasa Sansekerta Avalokitesvara dan nama tersebut berasal dari agama Buddha.
KESIMPULAN:
Guanyin (Avalokitesvara) adalah sepenuhnya Bodhisattva Buddhis. Klaim yang mengatakan bahwa Guanyin adalah dewi agama Tao sama sekali tidak benar, sama seperti kasus Guanyin yang katanya dipengaruhi Bunda Maria! Maka jelas sekarang bahwa Avalokitesvara Wanita tidak hanya ada di Tiongkok, namun juga ada di India, tanah asal di mana agama Buddha muncul. Demikian juga tak diragukan lagi bahwa Guanshiyin pusa adalah Bodhisattva yang berasal dari agama Buddha dan ada dasarnya dalam Tripitaka.
Master Tanah Suci Shih-Hsien (實賢 1685-1733 M) mengatakan dalam tulisannya (觀音大士像讚) tentang Guanyin:
Dharmakaya dari Mahasattva bukanlah pria maupun wanita (大士法身 非男非女)
Bahkan tubuh bukanlah sebuah tubuh, maka atribut apa yang dapat diberikan (pada tubuh)? (身尚非身, 復何所倚).
Aku memberitahukan pada semua umat Buddhis, janganlah terikat pada bentuk (普告佛子: 不應取相)
Bodhisattva tak lain adalah engkau sendiri, Ia dan engkau tidaklah terpisah (菩薩是汝, 自他不二).
Apabila engkau dapat menyadari sifat dasar ke-Buddhaan ini dalam dirimu, maka itu benar-benar tak terbayangkan! (能如是觀 真不思議)
Master Chan (Zen) Fanchi berkata: “Janganlah mencari diluar, namun bangkitkanlah sifat dasar ke-Buddhaan dalam dirimu, Guanyin (Avalokitesvara) adalah dirimu dan dirimu adalah Guanyin.” (頓明自性, 不向外尋. 觀音即汝, 汝即觀音).
The Siddha Wanderer
Guanyin (Avalokitesvara) adalah sepenuhnya Bodhisattva Buddhis. Klaim yang mengatakan bahwa Guanyin adalah dewi agama Tao sama sekali tidak benar, sama seperti kasus Guanyin yang katanya dipengaruhi Bunda Maria! Maka jelas sekarang bahwa Avalokitesvara Wanita tidak hanya ada di Tiongkok, namun juga ada di India, tanah asal di mana agama Buddha muncul. Demikian juga tak diragukan lagi bahwa Guanshiyin pusa adalah Bodhisattva yang berasal dari agama Buddha dan ada dasarnya dalam Tripitaka.
Master Tanah Suci Shih-Hsien (實賢 1685-1733 M) mengatakan dalam tulisannya (觀音大士像讚) tentang Guanyin:
Dharmakaya dari Mahasattva bukanlah pria maupun wanita (大士法身 非男非女)
Bahkan tubuh bukanlah sebuah tubuh, maka atribut apa yang dapat diberikan (pada tubuh)? (身尚非身, 復何所倚).
Aku memberitahukan pada semua umat Buddhis, janganlah terikat pada bentuk (普告佛子: 不應取相)
Bodhisattva tak lain adalah engkau sendiri, Ia dan engkau tidaklah terpisah (菩薩是汝, 自他不二).
Apabila engkau dapat menyadari sifat dasar ke-Buddhaan ini dalam dirimu, maka itu benar-benar tak terbayangkan! (能如是觀 真不思議)
Master Chan (Zen) Fanchi berkata: “Janganlah mencari diluar, namun bangkitkanlah sifat dasar ke-Buddhaan dalam dirimu, Guanyin (Avalokitesvara) adalah dirimu dan dirimu adalah Guanyin.” (頓明自性, 不向外尋. 觀音即汝, 汝即觀音).
The Siddha Wanderer
Follow members gave a thank to your post:
wow.. hebat dan luar biasa. informasi byk dan sumbernya jg byk. salut
BalasHapusluar biasa,, menambah wawasan saya,tq
BalasHapus