Pages - Menu

Pages

Kamis, 29 November 2012

DEVADATTA


Suatu ketika kedua murid utama Sang Buddha: Yang Ariya Sariputta dan Yang Ariya Maha Moggallana, pergi dari Savatthi menuju Rajagaha. Di sana, orang-orang Rajagaha mengundang mereka, bersama seribu pengikut mereka, untuk menerima makan pagi.

Pada kesempatan itu seseorang menyerahkan selembar kain, seharga seratus ribu, kepada penyelenggara upacara untuk didanakan. Dia mengharapkan mereka mengatur dan menggunakan pemberiannya untuk upacara itu. Kalau masih terdapat kelebihan, diberikan kepada siapa saja dari para bhikkhu yang dianggap layak. Hal itu juga terjadi jika tidak terdapat kekurangan maka kain tersebut akan diberikan pada salah satu dari para Thera. Karena kedua murid utama mengunjungi Rajagaha hanya pada saat-saat tertentu, maka kain itu akan diberikan pada Devadatta, yang tinggal menetap di Rajagaha.

Devadatta segera membuat kain itu menjadi jubah-jubah dan dengan bangga ia memakainya. Kemudian seorang bhikkhu yang dapat dipercaya dari Rajagaha datang ke Savatthi memberi hormat kepada Sang Buddha, dan menceritakan kepada-Nya tentang Devadatta dan jubah yang terbuat dari kain seharga seratus ribu.

Sang Buddha berkata bahwa kejadian itu bukan yang pertama kali, Devadatta telah memakai jubah-jubah yang tidak patut diterimanya. Sang Buddha kemudian menghubungkannya dengan kisah berikut ini.

Devadatta pernah menjadi pemburu gajah pada salah satu kehidupannya yang lampau. Pada waktu itu, dalam hutan tertentu, terdapat sekelompok besar gajah. Suatu hari, sang pemburu memperhatikan gajah-gajah ini berlutut kepada Paccekabuddha. Setelah mengamatinya, sang pemburu mencuri bagian paling atas dari jubah kuning, lalu menutupi badannya dan memegangnya. Kemudian dengan memegang tombak pada tangannya, dia menunggu gajah-gajah pada jalur yang biasa dilewati.

Gajah-gajah datang dan menganggapnya seorang Paccekabuddha, gajah-gajah itu berlutut dengan membungkukkan badan untuk memberi hormat. Mereka dengan mudah menjadi mangsa bagi sang pemburu. Ia bunuh gajah-gajah pada barisan terakhir satu persatu setiap harinya, dan hal itu dilakukannya hingga berhari-hari.

Sang Bodhisatta (Calon Buddha) adalah pemimpin dari kawanan gajah itu, saat mengetahui kekurangan jumlah pengikutnya, dia memutuskan untuk menyelidiki dan mengikuti kawanannya pada akhir dari barisan. Dia telah berjaga-jaga dan oleh karena itu dapat menghindari tombak. Dia menangkap sang pemburu dengan belalainya dan melemparkan pemburu itu ke tanah. Melihat jubah kuning, dia berhenti dan menyelamatkan hidup sang pemburu.

Sang pemburu tidak berhasil membunuh dengan menggunakan tipuan jubah kuning dan perilaku seperti itu adalah perbuatan buruk. Sang pemburu jelas tidak berhak memakai jubah kuning.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 9 dan 10 berikut ini:

Barang siapa belum bebas dari kekotoran-kekotoran batin, yang tidak memiliki pengendalian diri serta tidak mengerti kebenaran, sesungguhnya tidak patut ia mengenakan jubah kuning.
Tetapi, ia yang telah dapat membuang kekotoran-kekotoran batin, teguh dalam kesusilaan, memiliki pengendalian diri serta mengerti kebanaran, maka sesungguhnya ia patut mengenakan jubah kuning.
Banyak para bhikkhu berhasil mencapai tingkat kesucian sotapati, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
 
Suatu saat Devadatta menetap bersama Sang Buddha di Kosambi. Selama tinggal di sana ia menyadari bahwa Sang Buddha menerima banyak perhatian dan penghormatan maupun pemberian. Dia merasa iri hati terhadap Sang Buddha dan bercita-cita untuk memimpin Sangha yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu.

Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang memberikan khotbah di Vihara Veluvana di dekat Rajagaha, dia mendekati Sang Buddha dan dengan alasan bahwa Sang Buddha sudah semakin tua, dia sangat berharap Sangha akan dipercayakan kepada pengawasannya.

Sang Buddha menolak usulnya serta menegur, bahwa dia telah menelan air ludah orang lain. Sang Buddha kemudian meminta Sangha melaksanakan rencana melakukan pengumuman (pakasaniya kamma) sehubungan dengan kelakuan Devadatta.

Devadatta merasa tersinggung serta bersumpah membalas dendam dan menantang Sang Buddha. Tiga kali, dia mencoba untuk membunuh Sang Buddha.

Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang memberikan khotbah di Vihara Veluvana di dekat Rajagaha, dia mendekati Sang Buddha dan dengan alasan bahwa Sang Buddha sudah semakin tua, dia sangat berharap Sangha akan dipercayakan kepada pengawasannya.

Sang Buddha menolak usulnya serta menegur, bahwa dia telah menelan air ludah orang lain. Sang Buddha kemudian meminta Sangha melaksanakan rencana melakukan pengumuman (pakasaniya kamma) sehubungan dengan kelakuan Devadatta.

Devadatta merasa tersinggung serta bersumpah membalas dendam dan menantang Sang Buddha. Tiga kali, dia mencoba untuk membunuh Sang Buddha.

Pertama, dengan menggunakan beberapa pemanah sewaan. Kedua, dengan memanjat ke atas bukit Gijjhakuta dan menjatuhkan sebuah batu besar kepada Sang Buddha; dan ketiga, dengan memabukkan Gajah Nalagiri untuk menyerang Sang Buddha.

Pemanah sewaan kembali setelah mencapai tingkat kesucian sotapatti, tanpa menyakiti Sang Buddha.


Batu besar yang didorong jatuh oleh Devadatta melukai sedikit jari kaki Sang Buddha, dan ketika Gajah Nalagiri lari menuju Sang Buddha, ia dibuat jinak oleh Sang Buddha.

Dengan demikian Devadatta gagal untuk membunuh Sang Buddha. Dia mencoba siasat lainnya, mencoba memecah belah Sangha dengan cara membawa pergi beberapa bhikkhu baru, menyingkir bersamanya ke Gayasisa.

Bagaimanapun juga, banyak di antara mereka telah dibawa pulang kembali oleh Sariputta Thera dan Maha Moggallana Thera.
Kemudian, Devadatta jatuh sakit. Setelah menderita sakit selama sembilan bulan, dia meminta murid-muridnya untuk membawanya menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana.

Ketika Devadatta dan rombongannya mencapai kolam di dekat Vihara Jetavana, para pengangkutnya meletakkan tandu tempat berbaringnya di tepi kolam, dan mereka pergi mandi. Devadatta bangun dari tempat berbaringnya, dan menaruhkan kedua kakinya di tanah.

Pada saat itu juga kakinya masuk ke dalam bumi, dan sedikit demi sedikit dia ditelan bumi. Devadatta tidak memiliki kesempatan untuk melihat Sang Buddha karena perbuatan jahat yang telah dia lakukan terhadap Sang Buddha. Setelah kematiannya, dia terlahir di Neraka Avici (Avici Niraya), tempat yang penuh dengan penyiksaan terus-menerus.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 17 berikut:

Di dunia ini ia menderita, di dunia sana ia menderita; pelaku kejahatan menderita di kedua dunia itu. Ia meratap ketika berpikir, “Aku telah berbuat jahat”, dan ia akan lebih menderita lagi ketika berada di alam sengsara.
 
Delapan tahun sebelum Sang Buddha sendiri mencapai Parinibbana. Ketika itulah Devadatta dengan paksa ingin mengambil-alih pimpinan Sangha dari Sang Buddha. Kisahnya adalah sebagai berikut :

Devadatta adalah anak dari Pangeran Suppabuddha dan Amita, adik dari Raja Suddhodana. Saudara perempuannya bernama Yasodhara atau Bhaddakaccana dan menikah dengan Pangeran Siddhattha, yang kemudian menjadi Buddha.

Devadatta adalah anak dari Pangeran Suppabuddha dan Amita, adik dari Raja Suddhodana. Saudara perempuannya bernama Yasodhara atau Bhaddakaccana dan menikah dengan Pangeran Siddhattha, yang kemudian menjadi Buddha.

Devadatta ditahbiskan menjadi bhikkhu bersama-sama dengan Ananda, Bhagu, Kimbila, Bhaddiya, Anuruddha dan Upali di Anupiya, sewaktu Sang Buddha dalam perjalanan dari Kapilavatthu menuju Rajagaha, pada tahun ketiga setelah memperoleh Penerangan Agung.

Pada vassa berikutnya, Devadatta berhasil memperoleh Puthujjanika-iddhi, yaitu kekuatan gaib tertinggi yang dapat dicapai oleh orang yang belum mencapai tingkat kesucian. Untuk beberapa waktu lamanya, Devadatta mendapat tempat terhormat dalam Sangha, bahkan Sang Buddha sendiri pernah memujinya sebagai orang yang mempunyai kekuatan gaib yang tinggi.

Tetapi di kemudian hari, Devadatta mempunyai maksud yang tidak baik terhadap Sang Buddha karena ia merasa iri atas kemasyhuran Sang Buddha.

Pertama, ia mencoba untuk mempengaruhi Pangeran Ajatasattu. Ia bersalin rupa menjadi anak kecil dengan memakai kalung dari beberapa ekor ular. Tiba-tiba ia jatuh diatas pangkuan Ajatasattu, sehingga membuat Ajatasattu ketakutan. Kemudian anak kecil itu lenyap dan Devadatta berdiri di depan Ajatasattu. Peristiwa tersebut memberi kesan yang dalam sekali di hati Ajatasattu, sehingga Beliau sangat menghormat pada Devadatta.

Tiap pagi dan petang hari, Ajatasattu mengunjungi Devadatta dengan diiringi lima ratus kereta, di samping memberikan lima ratus piring makanan setiap hari. Kejadian ini menggembirakan sekali hati Devadatta, sehingga timbul niat jahatnya untuk mengambil alih kedudukan Sang Buddha sebagai Ketua Sangha.

Seorang murid Mogallana, yang bertumimbal lahir sebagai Manomayakayikadeva, mengetahui niat jahat Devadatta tersebut dan memberitahukan kepada Moggallana. Moggallana menceritakan hal tersebut kepada Sang Buddha, tetapi Sang Buddha menjawab bahwa persoalan itu tidak perlu dibicarakan sekarang, karena kelak sebelum waktunya, Devadatta akan membocorkannya sendiri.

Tidak lama kemudian, di hadapan pertemuan para bhikkhu, Devadatta mohon kepada Sang Buddha agar Sang Buddha menunjuknya sebagai Ketua Sangha, berhubung Sang Buddha sekarang sudah lanjut usianya. Atas permohonan itu Sang Buddha menjawab, “Aku tidak akan mengalihkan Pimpinan Sangha kepada Sariputta atau Moggallana, maka mustahil Aku akan mengalihkannya kepada engkau, seorang yang hina-dina.”

Pada waktu itulah Ajatasattu dihasut oleh Devadatta untuk membunuh ayahnya, sedangkan ia sendiri akan membunuh Sang Buddha.

Ajatasattu menyetujui dan memerintahkan beberapa orang pemanah istana untuk membantu Devadatta membunuh Sang Buddha. Para pemanah istana tersebut ditempatkan di berbagai tempat dan diatur sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada seorang pun yang masih hidup untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.


Tetapi, saat Sang Buddha mendekati pemanah pertama yang harus membunuhnya, pemanah tersebut demikian terpesona dengan keagungan Sang Buddha, sehingga seluruh badannya menjadi kaku. Sang Buddha menegurnya dengan kata-kata yang ramah tamah, sehingga pemanah tersebut membuang panahnya dan mengaku kepada Sang Buddha, apa yang sebenarnya menjadi tugasnya.

Sang Buddha memberikan uraian Dhamma kepada orang tersebut dan kemudian menyuruhnya pulang dengan mengambil jalan tertentu. Kawan-kawannya yang letih menunggu, kemudian satu per satu meninggalkan tempat penjagaannya.

Mereka semua datang ke tempat Sang Buddha, karena tertarik oleh kekuatan gaib dari Sang Buddha. Sewaktu mereka sudah berkumpul, Sang Buddha lalu memberikan uraian Dhamma kepada para pemanah tersebut. Pamanah yang pertama pergi melapor kepada Devadatta dan mengatakan bahwa ia tidak sanggup membunuh Sang Buddha, karena Sang Buddha mempunyai kekuatan gaib yang luar biasa tingginya.


Devadatta lalu mengambil keputusan untuk membunuh sendiri Sang Buddha. Suatu hari, sewaktu Sang Buddha sedang berjalan di lereng Gunung Gijjhakuta, ia mendorong sebuah batu besar yang dimaksudkan untuk menimpa mati Sang Buddha. Tiba-tiba dua tonggak besar muncul dari dalam tanah untuk menahan jatuhnya batu tersebut.

Meskipun demikian, pecahan batu tersebut masih dapat melukai kaki Sang Buddha. Sang Buddha kemudian diusungkan ke Ambavana, yaitu tempat tabib Jivaka untuk mendapat pengobatan seperlunya. Setelah kejadian ini, siang dan malam para murid-Nya menjaga tempat tinggal Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menerangkan bahwa hal tersebut tidak perlu, berhubung tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu membunuh seorang Buddha.

Setelah usahanya kembali gagal, Devadatta lalu membujuk seorang pawang gajah untuk melepaskan seekor gajah (yang terlebih dahulu dibuat mabuk dengan memberinya minuman arak) di jalan yang akan dilalui Sang Buddha. Gajah itu besar dan buas dan terkenal dengan nama Nalagiri.

Dengan cepat berita ini tersiar dan Sang Buddha pun diberitahu. Namun Sang Buddha menolak untuk membatalkan perjalanan-Nya. Sewaktu gajah mabuk tersebut dilepas dan memburu ke arah Sang Buddha, Ananda lari ke depan dan menempatkan dirinya antara Sang Buddha dan gajah dengan maksud untuk melindungi dan menjadi tameng dari Guru Junjungannya, meskipun terlebih dahulu telah dipesan dan diperingati dengan keras oleh Sang Buddha untuk tidak berbuat apa-apa.

Hanya dengan menggunakan “iddhi”, yaitu dengan membuat bumi mengerut, Sang Buddha berhasil berada di depan Ananda dan dengan pancaran cinta kasih dapat menjinakkan kembali gajah tersebut.
< Setelah ketiga usahanya gagal semua, Devadatta kemudian berusaha untuk memecah belah Sangha. Ia minta kepada Sang Buddha untuk menyetujui bahwa semua bhikkhu harus mentaati peraturan seperti di bawah ini :

1. Semua bhikkhu harus tinggal di hutan.
2. Semua bhikkhu tidak boleh menerima undangan makan di rumah umat, tetapi mereka hanya boleh makan makanan yang diperoleh dengan jalan minta-minta.
3. Semua bhikkhu harus memakai jubah dari kain bekas pembungkus mayat dan tidak boleh menerima persembahan jubah dari umat.
4. Di hutan, semua bhikkhu harus tidur di bawah pohon dan tidak boleh tidur di dalam rumah.
5. Semua bhikkhu dilarang keras makan daging dan ikan.

Sang Buddha menjawab bahwa para bhikkhu yang ingin mengikuti peraturan tersebut boleh melakukannya, kecuali “tidur di bawah pohon” selama musim hujan. Tetapi Beliau menolak untuk membuat peraturan ini berlaku bagi semua bhikkhu.


Penolakan ini membuat Devadatta gembira karena sekarang ia mempunyai alasan untuk menyebarluaskan berita bahwa Sang Buddha dan murid-murid-Nya masih terlalu terikat kepada kemewahan dan kehidupan yang serba cukup. Meskipun sudah diperingati oleh Sang Buddha tentang akibat yang menyedihkan untuk orang yang memecah belah Sangha, namun Devadatta memberitahukan Ananda bahwa ia akan mengadakan pertemuan Uposatha tersendiri tanpa dihadiri oleh Sang Buddha. Devadatta berhasil membujuk lima ratus orang bhikkhu yang baru ditahbiskan untuk menyertainya pergi ke Gayasisa.

Di antaranya terdapat bhikkhuni Thullananda yang terus-menerus memuji Devadatta dan seorang dari suku Sakya bernama Dandapani.
Sang Buddha kemudian memerintahkan Sariputta dan Moggallana pergi ke Gayasisa untuk bicara dengan para bhikkhu yang terkena bujukan.

Ketika Sariputta dan Moggallana tiba di Gayasisa, mereka diterima dengan gembira oleh Devadatta, sebab Devadatta mengira bahwa Sariputta dan Moggallana berdua juga ingin bergabung dengannya.

Malam itu Devadatta berkhotbah sampai larut malam. Waktu merasa sudah letih sekali, Devadatta minta Sariputta untuk meneruskan khotbahnya, sedangkan ia sendiri pergi tidur. Sariputta berkhotbah di depan para bhikkhu dan menerangkan bahwa Devadatta sekarang sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Sang Buddha.

Pada akhir khotbahnya, lima ratus orang bhikkhu tersebut bersedia kembali kepada Sang Buddha dan meninggalkan Devadatta bersama-sama Sariputta dan Moggallana.
Pengikut Devadatta yang setia, Kokalika, membangunkan Devadatta dari tidurnya dan menceritakan apa yang telah terjadi.
Mendengar berita tersebut, Devadatta muntah darah dan kemudian sakit keras selama sembilan bulan.


Sewaktu Devadatta mengetahui bahwa ia tidak lama lagi dapat hidup di dunia ini, ia minta murid-muridnya membawa ia menghadap Sang Buddha.

Keitka berita itu disampaikan kepada Sang Budda, Beliau mengatakan bahwa hal itu tidaklah mungkin dalam kehidupan ini.

Devadatta dibawa dengan sebuah usungan. Waktu tiba di dekat Jetavana, ia minta rombongannya berhenti sebentar karena ia ingin membersihkan badan terlebih dahulu di sebuah telaga yang terdapat di pinggir jalan.

Sewaktu turun dari usungan dan kakinya menyentuh tanah, tanah itu membuka dan ia terjerumus masuk ke dalam tanah. Ketika ia hampir hilang masuk ke dalam tanah, ia masih sempat menyatakan bahwa ia hanya mencari perlindungan kepada Sang Buddha.
Ia masuk ke neraka Avici dan akan berada di alam tersebut selama seratus ribu kappa untuk kemudian lahir kembali ke dunia dan menjadi seorang Pacceka Buddha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar