Bersatu dalam Rajutan Tantra
Prof. I Ketut Widnya PhD. [Rektor IHDN Gde Pudja – Mataram]
Kesamaan-kesamaan
dalam ajaran Tantra telah menyatukan Hindu (Siwaisme) dan Buddhisme,
menjadi satu mazab keagamaan tunggal: Sivabuddha. Dalam teks sastra Jawa
Kuno kenyataan itu berpuncak dalam sebutan “ya Buddha ya Siva”, yang
berarti: tidak ada perbedaan apakah Anda seorang penganut Siva atau
Buddha.
Bersatu dalam Rajutan Tantra
Prof. I Ketut Widnya PhD. [Rektor IHDN Gde Pudja – Mataram]
Kesamaan-kesamaan
dalam ajaran Tantra telah menyatukan Hindu (Siwaisme) dan Buddhisme,
menjadi satu mazab keagamaan tunggal: Sivabuddha. Dalam teks sastra Jawa
Kuno kenyataan itu berpuncak dalam sebutan “ya Buddha ya Siva”, yang
berarti: tidak ada perbedaan apakah Anda seorang penganut Siva atau
Buddha.
Sebagian besar sarjana menerima Tantrayana merupakan
faktor utama yang memberi ruang terjadinya fusi antara Sivaisme dan
Buddhisme, sehingga menjadi suatu mazab keagamaan yang berdiri sendiri
di Indonesia. Bahkan Moens secara khusus melukiskan bahwa Tantrayana,
khususnya Kalacakratantra, bertanggung jawab atas penyatuan mazab
Siva-Buddha di Indonesia. Dr. N.J. Krom juga berpendapat. penyatuan
antara Sivaisme dan Buddhisme di Indonesia dimungkinkan karena pengaruh
Tantrayana atas kedua sistem keagamaan tersebut. Zoetmulder menerima
pendapat Krom tentang pengaruh Tantrayana dan menamakan fenomena ini
dengan nama: “tantirme-bhairavabouddhique”, yang ditandai dengan
pelaksanaan upacara inisiasi di pekuburan dan disertai dengan minum
darah, alcohol, dan hubungan seks.
Tantra itu suatu kombinasi unik
antara mantra, upacara, dan pemujaan secara total. Ia adalah agama dan
juga filosofi, yang berkembang baik dalam Hinduisme maupun Buddhisme.
Definisi Tantra dijelaskan dalam kalimat ini: “shasanat tarayet yastu
sah shastrah parikirt-titah, yang berarti, “yang menyediakan petunjuk
sangat jelas (clear-cut guidelines) dan oleh karena itu menuntun ke
jalan pembebasan spiritual pengikutnya, disebut sastra.” Akar kata trae
diikuti sufiks da menjadi tra, yang berarti ‘yang membebaskan’. Kita
melihat penggunaan yang sama akar kata tra dalam kata mantra. Definisi
mantra adalah: “mananat tarayet yastu sah mantrah parikirt-titah” yang
berarti:
“Suatu proses yang, ketika diulang-ulang terus menerus dalam pikiran, membawa pembebasan, disebut mantra.”
Beberapa sarjana mencoba membagi Tantra menjadi dua bagian utama, yaitu:
“jalan
kanan” dan “jalan kiri.” Bernet Kemper dalam bukunya, Monumental Bali,
Introduction to Balinese Archaeology & Guide to the Monuments,
terbitan tahun 1991, halaman 53, berpendapat, Tantra “jalan kanan”
(menghindari praktik ekstrem, mencari-cari pengertian yang mendalam, dan
pembebasan melalui asketisme) harus dibedakan dari “jalan kiri” (black
magic dan ilmu sihir). Ia menegaskan, di “jalan kanan”, bhakti atau
penyerahan diri memegang peranan sangat penting; dan lebih daripada itu,
bhakti cenderung menolak dunia material. Sedangkan “jalan kiri”
mempunyai kecenderungan sangat berbeda. Ia berusaha keras menguasai
aspek-aspek kehidupan yang mengganggu dan mengerikan, seperti kematian
dan penyakit. Untuk mengatasi hal tersebut, eksistensi kekuatan
keraksasaan (demonic) “jalan kiri” membuat kontak langsung di
tempat-tempat yang mengerikan, seperti di pekuburan.
Pandangan
kalangan akademis ini sangat berbeda dengan pandangan praktisi Tantra.
Para praktisi Tantra pada umumnya menolak pembagian Tantra atas Tantra
positif dan negatif. Mereka menekankan pada metode untuk
mentransformasikan keinginan.
Lama Thubten Yeshe, seorang praktisi
Tantra Tibet, mengatakan, Tantra menggunakan pendekatan yang berbeda.
Meskipun Tantra mengakui bahwa khayalan, seperti keterikatan kepada
keinginan, adalah sumber penderitaan dan oleh karena itu harus diatasi,
namun Tantra juga mengajarkan keahlian untuk menggunakan energi khayalan
tersebut untuk memperdalam kesadaran kita sehingga menghasilkan
kemajuan spiritual. Seperti halnya mereka yang dengan keahliannya mampu
mengangkat racun tumbuh-tumbuhan dan menjadikannya obat mujarab, seperti
itu pula seorang yang ahli dan terlatih dalam praktik Tantra, mampu
memanipulasi energi keinginan, bahkan kemarahan, menjadi mapan. Ini
sungguh-sungguh sangat mungkin dilakukan.
Dalam pengertian
tertentu, Tantra merupakan suatu teknik mempercepat pencapaian tujuan
agama atau realisasi sang Diri dengan menggunakan berbagai medium,
seperti mantra, yantra, mudra, mandala, pemujaan terhadap berbagai dewa
dan dewi, termasuk pemujaan kepada makhluk setengah dewa dan
makhluk-makhluk lain, meditasi, dan berbagai cara pemujaan, serta
praktik yoga yang kadang-kadang dihubungkan dengan hubungan seksual.
Elemen-elemen tersebut terdapat dalam Tantra Hindu maupun Buddha.
Kesamaan teologi ini menjadi faktor penting yang memungkinkan Tantra
menjadi salah satu medium penyatuan antara Sivaisme dan Buddhisme di
Indonesia.
Hubungan seks dalam Tantra, seperti diperkirakan oleh
Dasgupta, merupakan penyimpangan konsep awal Tantra. Konsep awal Tantra
meliputi elemen-elemen seperti yang disebutkan tadi, yakni: mantra;
yantra, mudra, dan yoga. Penyimpangan tersebut terjadi karena penggunaan
“alat-alat praktis” (practical means) dalam Tantra Buddha yang
berdasarkan prinsip-prinsip Mahayana dimaksudkan untuk merealisasikan
tujuan tertinggi. Dengan kata lain, tujuan tertinggi, baik Tantra Hindu
maupun Buddha, adalah tercapainya keadaan sempurna dengan penyatuan
antara dua praktik (prajna dan upaya) serta merealisasikan sifat
non-dual Realitas Tertinggi.
H.B. Sarkar dalam buku Literary
Heritage of South East Asia yang terbit tahun 1980, halaman 71,
menyatakan, hubungan seksual dalam Tantra lebih diarahkan untuk
mengontrol kekuatan alam, bukan untuk mencapai pembebasan. Ia
mengatakan, secara umum, tradisi Indonesia membagi tujuan hidup manusia
menjadi dua: pragmatis dan idealistis. Mengontrol kekuatan alam
merupakan salah satu tujuan pragmatis. Hal ini biasanya dilakukan oleh
raja yang mempraktikkan sistem Kalacakrayana dalam usaha melindungi
rakyatnya, memberikan keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian.
Di
Indonesia dikenal tiga jenis Tantra, yaitu: Bhairava Heruka di Padang
Lawas, Sumatra Barat; Bhairava Kalacakra yang dipraktikkan oleh Raja
Krtanegara dari Singasari dan Adityavarman dari Sumatra yang sezaman
dengan Gajahmda di Majapahit; dan Bhairava Bhima di Bali. Arca Bhairava
Bima terdapat di Pura Edan, Bedulu, Gianyar, Bali.
Menurut
Prasasti Palembang (684 M), Tantrayana masuk ke Indonesia melalui
Kerajaan Srivijaya di Sumatra pada abad ke-7. Kalacakratantra memegang
peranan penting dalam penyatuan Sivaisme dan Buddbisme, karena dalam
Tantra ini, Siva dan Buddha dipersatukan
menjadi Sivabuddha. Konsep
Ardhanarisvari memegang peranan yang sangat penting dalam
Kalacakratantra. Kalacakratantra mencoba menjelaskan penciptaan dan
kekuatan alam dengan penyatuan Dewi Kali yang mengerilcan,.tidak hanya
dengan Dhyani Buddha, melainkan juga dengan Adi Buddha sendiri.
Kalacakratantra mempunyai berbagai nama dalam sekte Tantra yang lain,
seperti Hewajra, Kalacakra, Acala, Cakra Sambara, Vajrabairava, Yamari,
Candamaharosana, dan variasi bentuk Heruka.
Dalam Tantrayana,
ritual merupakan elemen utama buat merealisasikan Kebenaran Tertinggi.
John Woodroffe mengatakan, ritual merupakan seni keagamaan. Seni adalah
bentuk luar materi sebagai ekspresi ide-ide yang berdasarkan intelektual
dan dirasakan secara emosional. Seni ritual berhubungan dengan ekspresi
ide-ide dan perasaan tersebut yang secara khusus disebut religius. ini
adalah suatu cara, dengan mana kebenaran religius ditampilkan, dan dapat
dimengerti dalam bentuk material dan symbol-simbol oleh pikiran. Ini
berhubungan dengan semua manifestasi alam dalam wujud keindahan, di
mana, untuk beberapa alasan, Tuhan memperlihatkan Diri Beliau Sendiri.
Tetapi ritual tidak terbatas hanya untuk tujuan itu semata-mata.
Artinya, dengan seni religius sebagai alat, pikiran ditransformasikan
dan disucikan.
Mazab Siva-Buddha dengan pengaruh khusus
Kalacakratantra dapat dilihat pada tinggalan-tinggalan arkeologi,
seperti di Candi Jawi. Prapanca dalam Nagarakrtagama canto 56, stanzas 1
and 2, melukiskan monumen ini dengan sangat indah. Bagian bawah candi,
yaitu bagian dasar dan badan candi, adalah Sivaistis, sedangkan bagian
atas atau atap adalah Buddhistis, karena dalam ruang terdapat area Siva
dan di atasnya, di langit-langit, terdapat arca Aksobhya. Inilah
alasannya mengapa Candi Jawi menjadi sangat tinggi, dan oleh karena itu
disebut sebuah Kirtti.
Dalam Tantra Hindu prinsip metafisik Siva
sakti dimanifestasikan di dunia material ini dalam wujud laki-laki dan
perempuan. Demikian pula halnya dalam Tantra Buddha pola sama diikuti,
di mana prinsip-prinsip metafisik Prajna dan Upaya dimanifestasikan
dalam wujud perempuan dan laki-laki. Tujuan tertinggi kedua mazab Tantra
ini adalah penyatuan sempurna, yaitu penyatuan antara dua aspek dan
realitas dan realisasi dan sifat-sifat non-dual roh dan non roh.
Secara
fundamental, sebagaimana dipaparkan S.B. Dasgupta, prinsip-prinsip
Tantra sama di mana-mana. Perbedaan-perbedaan kecil, yang barangkali
ada, hanyalah perbedaan pada nada dan warna. Dalam Tantra Hindu, nada
dan warna diisi oleh ide-ide filsafat, agama dan praktik-praktik agama
Hindu. Sedangkan Tantra Buddha diisi oleh ajaran-ajaran agama Buddha.
Sehubungan
dengan Tantra Hindu dan Buddha ini, H.B. Sarkar mengatakan, mistik yang
lebih ma dan ritual dengan praktik-praktik shamanisme diperlakukan
serta dimodifikasi dengan perhiasanperhiasaan baru dan pemujaan yang
didominasi oleh mantra, mudra, abhiseka, dan sebagainya. Di sini, baik
Tantra Buddha maupun Tantra Hindu sebagian besar menggunakan
simbol-simbol luar dan polayang sama dalam penyelenggaraan ritual, namun
secara keseluruhan isi dan objek kedua Tantra ini berbeda. Sebab, para
sadhaka Buddha - melalui praktik Tantra menginginkan pembebasan dan
ikatan dunia material dan tenggelam ke dalam kebahagiaan abadi,
sedangkan Tantra Siva ingin mengontrol dunia material.
Dengan
kenyâtaan-kenyataan tersebut tidak mengherankan kalau Sivaisme dan
Buddhisme bisa mencapai penyatuan begitu mendalam melalui medium ajaran
Kalacakratantra. Alasan atas kuatnya penyatuan tersebut juga dapat
ditelusuni melalui fakta sejarah bahwa awal mula kehadiran
Kalacakratantra di antara pemeluk Hindu dan Buddha berawal dari
perlawanan terhadap pengaruh kekuasaan Islam. Biswanath Banerjee
mengatakan, penyaman dewa-dewi Hindu mencapai puncaknya pada waktu
berkernbangnya sistem Kalacakra.
Faktor utama yang mendorong
berkembangnya kecenderungan berkompromi antara Buddhisme dengan berbagai
sekte dalam agama Hindu, dapat dilacak keberadaaannya dan kehadiran
agama dan kebudayaan Islam. Ini dapat dipelajari dan teks-teks Kalacakra
yang memuat bahwa Buddhisme sedang mengalami masalah sosial atas
sergapan infiltrasi kebudayaan Smitik. Untuk melakukan perlawanan atas
berkembangnya pengaruh kebudayaan asing tersebut, mereka melakukan
ketjasama dengan umat Hindu. Maksud memperkenalkan sistem Kalacakra
adalah untuk melindungi umat Buddha dan Hindu dan konversi (pengalihan
agama) ke agama Islam.
Dengan maksud unmk menghentikan kerusakan
akibat kebudayaan asing, para pemimpin agama Buddha melakukan
inter-marriage dan inter-dining antara keluarga Buddha dan Hindu; dan
agar mereka tertarik untuk berlindung di bawah panji satu Tuhan
Kalacakra, yang diterima di antara mereka sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Adalah sangat mungkin dalam keadaan darurat perang untuk menyatukan
berbagai kelompok religius dan berjuang di bawah kepemimpinan Tuhan
Kalacakra untuk melawan penganuh asing. Perkembangan mazab ini dengan
penyatuan dewa-dewa Hindu yang begitu kuat dalam Kalacakra menyebabkan
terjadinya fusi kebudayaan dan mereka akhirnya bersatu menghadapi bahaya
yang mengancam dari infiltrasi Islam.
Selanjutnya dicoba
melakukan penyatuan di antara semua pengikut Brahma, Visnu, Siva, dan
termasuk orang-orang suci mereka dalam satu keluarga Vajrakula, dengan
empat inisiasi utama dalam Kalacakna, yaitu menghilangkan semua
perbedaan dalam ras, kelas, syahadat, dan tradisi.
Selain karena
pendekatan sejarah dan teologi, banyak juga yang melihat penyatuan
Siva-Buddha karena persamaan filosôfi. Ida Bagus Made Mantra mengatakan,
persamaan fundamental dalam teori manifestasi antara Sivaisme
(khususnya Siva Siddhanta), dan Buddha Mahayana bertanggung jawab atas
berkembangnya mazab Siva-Buddha. Ia memberi uraian yang panjang untuk
mendukung pernyataan ini.
Dalam filsafat Siva Siddhanta tendapat
tiga tattva (realitas): Siva-tatva, Sadasiva-tattva, dan Mahesatattva.
Ketiga tattwa tersebut berturut-turut memiliki sifat-sifat sebagai
berikut: Niskala, Sakala-niskala, dan Sakala. Ketiga tattva Saiva
Siddhanta itu berkaitan dengan empat Kaya dan filsafat Buddha Mahayana.
Keempat kaya itu adalah: Svabhava-kaya, Dharma-kaya, Sambhoga-kaya, dan
Nirmaya-kaya.
Niskala artinya tanpa bentuk, dan aspek ini
merupakan ciri Siva-tatva. Siva dalam posisi tertinggi adalah tanpa
bentuk atau tanpa atribut atau dalam suatu keadaan entitas tanpa bentuk
yang tak dapat dibedakan (undifferentiated formless entity). Dalam
kedudukan ini semua bentuk-bentuk yang diciptakan dari corporealitas
menyatukan badan mereka dalam penyebab awal (Primeval Cause). Keadaan
ini merupakan keadaan damai yang tidak dapat dimengenti. Dalam kedudukan
ini pula Realitas Tertinggi dipahami tanpa awal dan akhir, meresap ke
dalam seluruh Alam Semesta, talc terpisahkan, dan tidak dapat
dibandingkan. Inilah keadaan yang dipahami sebagai keadaan Niskala.
Svabhavaka-kya
aclalah kesadaran murni, bersih dari semua semua kekotoran subjektif
dan obyektif, pasif, tanpa aktivitas, meliputi alam semesta, penyatuan
kosmis dan kebijaksanaan yang tak terbatas dari kebajikan, memiliki
kasih sayang universal, prinsip-prinsip dalam (inner principle) dari
semua Dharma. Sifat-sifat tersebut adalah sifat svabhavaka-kaya yang
diidentifikasikan dengan Buddha.
Keempat kaya tersebut
diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, Svabhavaka-kaya
dan Dharma-kaya, yang bersifat kesucian sempurna, pasif di dalam
pninsip-pninsipnya. Kelompok kedua, muncul di dunia ini untuk
dipertunjukkan. Di sini perlu digarisbawahi: Svabhavaka-kaya kadangkala
tidak dijelaskan, dan oleh karena itu, hanya Dharma-kaya mewakili
prinsip murni dan pasif.
Mazab Shinghong dan Buddha Mahayana di
Jepang juga mempunyai teori manifestasi penyatuan alam (manifestation of
the cosmic unity) yang kurang lebih memiliki persamaan dengan Siva
Siddhanta. Menurut mazab ini, Tathagata Mahavainocana atau Dahrmakaya
mempunyai dua perwujudan, yaitu Garba-dhatu (matrix element), dan
Vajra-dhatu (thunder element). Garba-dhatu memiliki karakter: (a)
meditasi Agung; (b) kebijaksanaan; (c) kasih sayang, dan masing-masing
dari ketiganya diatributkan kepada Buddha, Vajra, dan Padma. Buddha
bersesuaian dengan Tathagata Mahavairocana yang menandakan pengetahuan
sempurna; Vajra bersesuaian dengan Vajra-sattva menandakan suatu
kebijaksanaan, pasti dalam sifatsifatnya, dan menghancurkan semua
penderitaan; dan Padma bersesuaian dengan Avalokitasvana, menandakan
pemikiran murni dari bagian dalam makhluk hidup.
Dhatu kedua,
Vajra-dhatu (elemen halilintar), mempunyai lima aspek, tiga di antaranya
termasuk tiga kelas sebagaimana dijelaskan dalam Garba-dhatu, dan dua
lainnya adalah Ratnanubhava dan Karmanubhava. Sifat-sifat Ratnanubhava
mengungkapkan kebenaran dan pembebasan sempurna dari Buddha tanpa
pembatasan; dan Karmanubhava yang kelima memperlihatkan pemenuhan dari
seluruh kegiatan.
Dalam perbandingan sistem kosmologi antara
filsafat Buddha Mahayana dan Saiva-Siddhanta, Ida Bagus Made Mantra
mengatakan, keduanya mempunyai basis yang sama. Ini terlihat dari
tritunggal Saiva-Siddhanta, seperti Paramasiva, Sadasiva, dan
Sadasiva-Mahesvara dengan bentuknya dalam Niskala dan Niskala-sakala
yang paralel dengan tritunggal Buddha, yakni: Buddha Vajrasattva dan
Avalokitesvara dengan bentuk mereka berturut-turut sebagai Dharmakaya,
Sambogakaya, dan Nirmana-kaya.
Dalam Buddha Mahayana, keadaan
tertinggi adalah Boddhi Citta atau pikiran yang tercerahkan. Boddhi
Citta ini mempunyai dua elemen yang terdiri atas Sanyata, pencerahan
sempurna dari sifat-sifat kesunyataan; Karuna, kasih sayang universal
untuk semua makhluk hidup. Penggabungan menjadi satu dari kedua elemen
tersebut (Sanyata dan Karuna) dikenal sebagai Advaya.
Dalam ajaran
Vajrayana, realisasi kedua elemen tersebut sangat penting. Dikatakan
bahwa dalam keadaan Sanyata adalah berdasarkan pada realisasi bahwa
semua benda adalah fana, tanpa roh (transitory, non-ego). Mereka seperti
khayalan dalam mimpi, dan tidak nyata. Sanyata diberkati dengan
kesucian, tanpa eksistensi, tidak terlahirkan, dan kosong. Sedangkan
Karuna, yang mewakili kasih sayang Semesta, dimaksudkan untuk
menyebarkan pengetahuan yang benar kepada umat manusia. Keinginan
menyebabkan manusia diikat oleh kebodohan, dan tidak bisa merealisasikan
hukum tumimbal lahir karena tekanan kegiatan mereka. Kasih sayang
menyiratkan terhilangkannya ikatan, dan menuntun mereka kepada kehidupan
yang percaya dengan hukum saling ketergantungan (Pratatya-samutpada).
Sebagaimana
dijelaskan tadi, penggabungan kedua elemen tersebut dinamakan advaya
ini seperti bercampurnya garam dalam air, yang hasilnya berupa
penghilangan dualitas sehingga memunculkan non dualitas. Belakangan,
dalam mazab Vajrayana, ide tersebut diganti dengan Adi Buddha dan
Prajna. Jadi, kedua area ini mewakili Sunyata dan Karuna. Hubungan di
antara kedua area tersebut dilukiskan dalam beberapa teks sebagai
conjugal love (shajam prema) yang bersifat alami. Yuganaddha (conjugal
relation) kemudian dinamakan advaya, yang tidak lain daripada
Boddhi-citta dan Dharma-kaya.
Konsep sakti dalam agama Buddha juga
paralel dengan sakti dalam Sivaisme. Konsep Yubyam dalam Buddha
diwakili oleh Siva dan saktiNya, Parvati. Secara teknis, bentuk ini
disebut Ardhanarisvara-murti. Di sini Siva Sendiri adalah murni dan
Sakti-Nya aktif, suatu kekuatan dinamis untuk membebaskan roh-roh yang
terikat dari karma mereka.
Uraian-uraian tadi menunjukkan dengan
jelas: kesamaan-kesamaan dalam ajaran Tantra telah menyatukan kedua
agama tersebut, Hindu (Siwaisme) dan Buddhisme, menjadi satu mazab
keagamaan yang tunggal, Sivabuddha. Dalam teks sastra Jawa Kuno
kenyataan ini berpuncak dalam sebutan “ya Buddha ya Siva”, yang artinya
tidak ada perbedaan apakah Anda seorang penganut Siva atau Buddha. [I
Ketut Widnya – SARAD 119 Maret 2010].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar