"Sekilas Sejarah Ksitigarbha Bodhisattva Mahasattva"
Ksitigarbha (Sanskerta: क्षितिगर्भ Kṣitigarbha) dikenal dalam Buddhisme di Asia Timur sebagai seorang Bodhisattva Mahasattva, biasanya merupakan seorang Bhikkhu. Namanya dapat diartikan sebagai "Bendahara Bumi", "Simpanan Bumi", "Rahim Bumi" atau " Bumi Yang Tenang". Ksitigarbha terkenal dengan sumpahnya guna mengambil alih tanggung jawab atas perintah kepada seluruh mahluk di enam dunia, pada masa antara kematian Buddha Gautama (Sakyamuni) dan kebangkitan Buddha Maitreya, juga akan sumpahnya untuk tidak mencapai pencerahan hingga seluruh neraka menjadi kosong. Oleh karena itu ia seringkali dianggap sebagai Bodhisattva akan mahluk-mahluk neraka. Biasanya ia digambarkan sebagai seorang bhiksu dengan lingkaran cahaya mengelilingi kepalanya yang tercukur bersih, ia membawa tongkat untuk membuka paksa gerbang neraka dan permata pengabul permohonan untuk menerangi kegelapan.
Ksitigarbha adalah salah satu dari 4 bodhisattva utama dalam Buddhisme Mahayana di Asia Timur. 3 bodhisattva lainnya adalah Samantabhadra, Manjusri, dan Avalokitesvara Bodhisattva.
Dalam beberapa gua di Dunhuang dan longmen sebelum era Dinasti Tang, Ia digambarkan dalam bentuk Bodhisattva yang terbaik dan terindah. Setelah Dinasti Tang, penggambarannya meningkat menjadi seorang bhikkhu, membawa tasbih dan sebuah tongkat.
Dizang, diucapkan sebagai Dayuan Dizang Pusa dalam bahasa Mandarin, Daigan Jizō Bosatsu dalam bahasa Jepang, Chijang Posal dalam bahasa Korea.
Ini adalah sebuah acuan akan janjinya, yang tercatat di dalam beberapa sutra, bertanggungjawab untuk mengajar semua makhluk di enam alam, pada masa antara parinirvana Buddha Gautama dan kelahiran Buddha Maitreya. Karena peran penting ini, tempat suci Ksitigarbha sering kali memiliki peran utama dalam vihara-vihara Mahayana ketimuran.
Di China
Gunung Jiuhua di Anhui dianggap sebagai tempat Ksitigarbha. Merupakan salah satu dari empat gunung besar umat Buddha di China, dan ditempati lebih dari 300 vihara. Sekarang ini, 95 vihara dari 300 vihara tersebut terbuka untuk umum. Pegunungan ini merupakan tempat tujuan yang terkenal bagi para peziarah yang memberikan persembahan kepada Ksitigarbha.
Diantara para Bodhisattva yang dipuja oleh kaum Mahayana, Ksitigarbha Bodhisattva satu-satunya yang terlihat dalam wujud sebagai seorang bhiksu lengkap dengan jubahnya. Menurut pandangan orang Tionghoa, beliau dikatakan sebagai seorang Bodhisattva yang penuh dengan maitri karuna dan bercita-cita untuk membantu mereka yang terlahir di alam yang menderita agar dapat meringankan karma-karma buruk mereka. Sering juga ia dikaitkan dengan sepuluh raja akhirat (she tien yan wang).
Kesepuluh raja akhirat itu adalah bawahanya langsung, sebab itu ia diberi gelar you ming jiao chu atau pemuka agama diakhirat. Ia menjadi pelindung para arwah, membimbing mereka agar insaf dari perbuatannya yang sudah-sudah, dan tidak akan mengulangi perbuatan tercela itu lagi, agar bisa terbebas dari karma buruk pada penitisan yang akan datang. Di kalangan rakyat, banyak beredar kisah-kisah yang ada hubungannya dengan Di Zang Wang. Diantara kisah-kisah itu ada banyak juga yang menyamakan Di Zang Wang dengan Mu Lien. Kisah Mu Lien banyak mengharukan orang, tentang bagaimana ia menolong ibunya dari siksaan di neraka. Mu lien oleh sementara orang dianggap sebagai ti cang wang. Sesungguhnya kalau kita meneliti kitab-kitab suci, mu lien adalah murid Buddha dan masuk jalur ah luo han atau arahat dan bukannya Di Zang Wang yang berada dalam tingkatan Bodhisattva.
Tentang Di Zang Wang, dalam kitab Suci tercatat sebagai berikut, ketika Buddha Sakyamuni telah menyelesaikan tugasnya dan masuk nirvana 1500 tahun kemudian ia menitis kembali ke dunia di Korea, sebagai seorang pangeran dari keluarga raja negeri Sinlo. Namanya, Jin Qiao Jue (金喬覺) (Kim Kiauw Kak-Hokkian). Sebab itu setelah orang tahu bahwa ia adalah penitisan Buddha, maka mereka memanggilnya Jin Di Zang. Konon wataknya sederhana, tidak kemeruk pangkat dan kemewahan, tapi sangat berbudi, welas asih. Ia sangat gemar mendalami ajaran Kong-Zi dan Buddha. Pada masa pemerintahan kaisar tang Gao Cong, tahun Yong Yong We keempat (arti harafiahnya pandai mendengar) belajar menyeberangi lautan, kemudian sampai dipegunungan Jiu Hua San di propinsi An Hui. Gunung Jiu Hua Shan sebenarnya adalah miliki Meng Kung. Meng Kung ini sangat berbudi, suka menolong orang-orang yang tertimpa kemalangan. Ia berjanji untuk menyediakan makanan vegetarian untuk 100 orang Bhiksu.
Tapi, tiap kali ia hanya dapat mengumpulkan 99 orang, tidak pernah berhasil memenuhi jumlah yang diinginkannya. Oleh karena itu, kali ini ia pergi sendiri ke gunung untuk mencari pendeta yang ke seratus. Ketika ia melihat Jin Qiao Jue sedang bersemedi disebuah gubuk, ia segera menghampirinya dan mengundangnya datang ke rumah untuk bersantap-santap bersama. Jin Qiao Jue yang melihat Meng Kung kelihatannya ada karma dengannya, lalu mengabulkan undangannya, tapi dengan mengajukan satu permintaan. Permintaannya tidak banyak, ia hanya menginginkan sebidang tanah di Jiu Hua Shan itu, seluas baju Kasaya/Jivara/Jubah, melihat permintaan yang hanya sepele itu Meng Kung langsung menyetujuinya.
Tapi keanehan lalu terjadi. Ternyata ketika Jin Qiao menebarkan baju Kasaya ke udara, seketika itu juga, jubah kasa itu berubah menjadi sangat besar sekali sehingga menutupi seluruh pegunungan itu. Begitulah Meng Kung lalu menyerahkan Jiu Hua Shan kepada Jin Qiao Jue yang digunakan untuk mendirikan tempat ibadah dan mengajarkan Dharma. Meng Kung bahkan menyuruh anak laki-lakinya ikut menemani Jin Qiao Jue menjadi Bhiksu. Putra Meng Kung ini kemudian disebut Tao Ming He Sang (To Beng Hwee Shio-Hokkian). Selanjutnya Meng Kung pun meninggalkan semua kehidupannya yang penuh kemewahan ikut menjadi pengikut Jin Qiao Jue dan mengangkat Tao Ming He Sang dan Meng Kung. Jin Qiao Jue Di Zang Phu Sa bertapa di gunung Jiu Hua Shan selama 75 tahun lamanya, dengan ditemani oleh anjingnya yang setia.
Pada usia 99 tahun beliau meninggal tepat pada tanggal 30 bulan 7 menurut penanggalan Imlek. Ada juga yang mengatakan bahwa pada waktu itu Di Zang telah berusia lanjut. Seorang cendikiawan kenamaan yang bernama Zhu ge Jie bersama temannya sedang bertamasya ke gunung untuk mencari udara segar. Sampai di atas, Qing Qi Yan melihat Di Zhang Wang sedang bersamadi dengan tekun, makannya hanya nasi putih yang dimasak encer diatas tungku dari tanah. Diam-diam timbul rasa hormatnya ia lalu mendirikan kuil diatas gunung Jiu Hua Shan. Sejak itu para Bhiksu dari berbagai tempat mendatangi Di Zhang Wang untuk menerima ajarannya. Jin Qiao Jue meninggal pada tahun pemerintahan Kaisar Xuan Cong dari dinasti Tang (728 M) tanggal 30 bulan 7 Imlek.
Inilah sebabnya mengapa setiap jatuh tanggal tersebut masyarakat banyak membakar hio/dupa yang disebut Di Zang Xiang atau dupa Di Zang. Jenasah Jin Qiao Jue ditempatkan pada sebuah batu kecil, sampai pada suatu ketika jenasah hendak dikeluarkan, terjadi keajaiban, dimana jenasah tersebut masih dalam keadaan baik dan tidak membusuk, wajahnya hanya seperti orang tidur. Pada masa pemerintahan kaisar Xiao Cong, para penganutnya membangun sebuah pagoda di Nan-Tai (salah satu puncak di Jiu Hua Shan) dan menempatkan abunya disitu. Tatkala pagoda itu sudah selesai dibangun dan abu telah ditempatkan, ternyata pagoda itu telah mengeluarkan sinar yang gilang gemilang, sehingga mengherankan orang yang ada di situ. Tempat itu kemudian diubah namanya menjadi Shen Kuang Ling yang berarti bukit Cahaya Dewa. Sejak itu Jiu Hua Shan menjadi salah satu gunung suci umat Buddha Mahayana.
Di Jepang
Di Jepang, Ksitigarbha, dikenal dengan nama Jizō, atau Ojizō-sama. Ia juga dihormati sebagai salah satu dari seluruh dewa dewi orang Jepang. Patungnya terletak di daerah yang mudah terlihat, terutama di pinggir jalan dan di kuburan. Menurut adat istiadat, ia terlihat sebagai wali anak-anak, terutama anak-anak yang meninggal mendahului orangtuanya. Sejak tahun 1980, ia dipuja sebagai pelindung jiwa mizuko, jiwa yang mati sewaktu dilahirkan, keguguran atau aborsi janin, dalam ritual mizuko kuyō (水子供養). Dalam dongeng masyarakat Jepang, dikatakan bahwa jiwa para anak-anak yang meninggal mendahului orangtuanya tidak dapat menyeberangi Sungai Sanzu mistis seorang diri kehidupan berikutnya karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengumpulkan perbuatan baik yang cukup banyak karena mereka telah membuat orangtuanya menderita diyakini bahwa Jizō menyelamatkan jiwa-jiwa mereka dari menjadi batu abadi di tepi sungai sebagai penebusan dosa mereka, dengan menyembunyikan mereka dari para roh jahat dalam jubahnya, dan membiarkan mereka mendengarkan mantra-mantra suci.
Kadang kala, patung Jizō diletakkan oleh masyarakat disertai oleh bebatuan dan kerikil-kerikil kecil, dengan harapan agar dapat mempersingkat waktu penderitaan anak-anak di dunia bawah (tindakan tersebut berasal dari tradisi membangun stupa sebagai tindakan membuat kebajikan). Kadang-kadang, patung tersebut terlihat memakai pakaian anak-anak atau oto, atau dengan mainan, yang diletakkan disana sebagai tanda kedukaan para orangtua agar membantu anak mereka yang telah meninggal dan berharap agar Jizō secara khusus melindungi mereka. Kadangkala, persembahan diberikan oleh para orangtua sebagai tanda terimakasih kepada Jizō karena menyelamatkan anak mereka dari penyakit serius. Wajah Jizō umumnya dibuat lebih seperti muka bayi agar menyerupai anak-anak yang ia lindungi.
Karena ia terlihat seperti penyelamat jiwa yang menderita di dunia bawah, biasanya patungnya terletak di kuburan. Ia juga dipercaya sebagai dewa pelindung wisatawan, dan di Jepang, patung Jizō diletakan di pinggir jalan sehingga mudah terlihat. Para petugas pemadam kebakaran juga dipercaya berada di bawah lindungan Jizō.
Kisah tentang Ksitigarbha diceritakan dalam Sutra Tekad Agung Bodhisattva Ksitigarbha, salah satu sutra Buddhis aliran Mahayana yang paling terkenal. Sutra ini dikatakan telah diucapkan oleh Buddha menjelang akhir hidupnya dihadapan para makhluk di alam surga Trayastrimsa sebagai tanda syukur dan peringatan kepada ibunya yang tercinta, Māyādevī.
Sang Bodhisattva ini dikenal secara populer dilingkungan rakyat berbagai bangsa di dunia, karena beliau telah menyeberangkan atau menyelamatkan makhluk-makhluk yang menderita hingga tiba di pantai seberang, sesuai dengan sumpah maha suci beliau yang berbunyi sebagai berikut:
“kalau bukan Aku yang pergi ke neraka untuk menolong mahluk-mahluk yang tersiksa disana, siapa yang akan pergi?......, kalau neraka belum kosong dari mahluk-mahluk yang tersiksa, Aku tidak akan menjadi seorang Buddha. Hanya bila semua makhluk telah di selamatkan, barulah Aku mencapai tingkat kebuddhaan”.
Bodhisattva Ksitigarbha sering dilukiskan dalam keadaan berdiri, tangannya memegang Cintamani (permata kebijaksanaan) atau Tongkat Bergemerincing, tongkat pemberi peringatan (disebut Khakkara). Wajahnya menunjukkan kebajikan. Banyak pula Bodhisattva Ksitigarbha yang dilukiskan dalam posisi duduk diatas teratai, tangannya memegang permata menyala yang dianggap berkekuatan dahsyat. Di kepalanya terdapat mahkota dengan lima lembar kelopak teratai, setiap kelopak terdapat lukisan Panca Dhayani Buddha. Dengan tongkatnya Ksitigarbha dapat membuka pintu neraka, sedangkan permata di tangannya dapat menerangi kegelapan neraka. Kadang kala kita temui Bodhisattva Ksitigarbha berdiri dan tangan kirinya memegang mangkok sedekah (patta) dan tangan kanannya membentuk mudra, sebagai tanda “Jangan takut” dan memberikan kedamaian semua makhluk.
Penampakan dari manifestasinya Bodhisattva Ksitigarbha, dalam kehidupan dengan cara meninggalkan kehidupan berumah tangga, Bodhisattva Ksitigarbha menyelamatkan makhluk-makhluk yang masuk ke alam neraka, dan mengajarkan kepada makhluk-makhluk hidup untuk menghargai Triratna dan mempercayai hukum sebab akibat, sehingga mereka tidak akan jatuh ke dalam tiga jalan kejahatan. Beliau juga menasihatkan agar orang menghormati nenek moyangnya, dan tidak melupakannya.
Ksitigarbha Biodhisattva pernah berjanji kepada Sakyamuni Buddha; “Saya akan mematuhi ajaranmu untuk melepaskan makhluk-makhluk dari penderitaan, dan membimbing mereka untuk mencapai kebebasan. Saya akan bekerja keras hingga Buddha Maitreya datang ke dunia ini”.
Buddha Sakyamuni memberikan nasihat; “Dengarkan baik-baik, jika seseorang pada waktu akan datang melihat lukisan/pratima Bodhisattva Ksitigarbha; mendengar sutra Ksitigarbha dan menghafalkannya, memberi persembahan dan menghormati Bodhisattva Ksitigarbha, mereka akan memperoleh keuntungan selama hidupnya dan kelak akhirnya akan mencapai kebuddhaan.
Dalam ajaran tradisi Buddha Theravada, kisah tentang seorang bhikkhu yang bernama Phra Malai, yang memiliki kualitas yang sama dengan Ksitigarbha, dikenal di seluruh Asia Tenggara, terutama di Thailand dan Laos. Legenda mengatakan bahwa ia adalah seorang arahat dari Sri Lanka, yang mencapai kekuatan luar biasa melalui kebajikannya dan hasil dari meditasi. Ia juga dihormati sebagai pengganti Maudgalyayana, murid utama Buddha yang memiliki pencapaian luar biasa.
Dalam cerita ini, bhikkhu yang saleh dan penuh kasih sayang ini turun ke Neraka untuk memberikan ajaran-ajaran dan memberikan kenyamanan bagi para makhluk neraka yang menderita di sana. Ia juga mempelajari bagaimana para makhluk neraka dihukum berdasarkan karma buruk mereka di alam neraka yang berbeda-beda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar