Pages - Menu

Pages

Rabu, 31 Juli 2013

Kelenteng di Kota Surabaya

Surabaya, seperti juga kota-kota besar lain di Indonesia, sejak ratusan tahun lalu didatangi komunitas Tionghoa. Tidak jelas tanggal persisnya. Namun, para sejarawan sepakat bahwa sejak Kerajaan Majapahit orang Tionghoa sudah masuk ke Surabaya.

Gelombang pertama kira-kira pada abad ke-14, orang Tionghoa beragama Islam. Pada 1450 Bon Swie Hoo mendirikan komunitas muslim di kawasan Ampel. Lantas, orang-orang Tionghoa ini datang secara begelombang hingga 1930-an. Mereka berasal dari empat suku: Hok Kian, Hakka (Khek), Teo Chiu, dan Kwong Fu (Kanton).

Orang-orang Tionghoa ini mendiami lokasi strategis. Lokasi yang sekarang disebut pecinan atawa China Town. Tentu saja, orang-orang Tionghoa ini membawa serta adat-istiadat, agama, serta kebudayaannya. Rumah ibadah Tionghoa--kita kenal dengan nama kelenteng (ada juga yang menulis "klenteng")--pun didirikan di Surabaya.

Berikut daftar kelenteng di Kota Surabaya. Kelenteng-kelenteng ini menjadi saksi kehadiran penduduk Tionghoa yang sudah berlangsung ratusan tahun. Dus, sangat tidak tepat jika masih ada orang yang memberikan label "nonpribumi" untuk penduduk keturunan Tionghoa.

1. HOK AN KIONG, Jalan Coklat (dulu Tepekong Straat)



Kelenteng paling tua di Surabaya, didirikan pada 1830 oleh Hok Kian Kong Tik, perkumpulan orang Tionghoa asal Hok Kian. Mula-mula kelenteng ini tempat menginap sementara orang yang baru datang dari Tiongkok. Lama-kelamaan dirasa perlu ada kelenteng bagi mereka untuk beribadah.

Tukang-tukang didatangkan langsung dari Tiongkok, juga bahan-bahan bangunan. Saat ini HOK AN KIONG dikelola oleh Yayasan Sukhaloka. "Setiap hari selalu ramai orang sembahyang atau sekadar berkunjung. Yang penelitian pun banyak," kata M. Halim, penjaga kelenteng.

Ramal-meramal ala Tiongkok pun ada di sini. Sembahyang rutin setiap tanggal 1 dan 15 Imlek selalu ramai.

2. HONG TIK HIAN, Jalan Dukuh.



Disebut juga Kelenteng Dukuh karena berlokasi di Jalan Dukuh, tak jauh dari kampung Arab. Sebelum 1899 sudah ada. Tanggal pasti berdirinya tidak diketahui.

HONG TIK HIAN sangat terkenal karena mampu melestarikan tradisi wayang potehi. Setiap hari ada pergelaran wayang potehi empat kali sehari nonstop. Bahkan, selama Orde Baru--ketika tradisi budaya Tionghoa dibredel--wayang potehi tetap eksis.

Yang menarik, dalang-dalang potehi semuanya orang Jawa seperti Sukar Mudjiono [foto di atas] atau Eddy Sutrisno. "Kami main wayang potehi karena sejak kecil sudah main di lingkungan kelenteng," kata Mas Mudjiono.

Salah satu tokoh Tridharma, Ong Kok Kiong, yang mengelola HONG TIK HIAN.


3. BOEN BIO, Jalan Kapasan.



Dibangun 1906, diresmikan 1907. Mulanya bernama BOEN TJHIANG SOE berlokasi di Kapasan Dalam. Atas saran Kang Yu Wei yang datang ke Surabaya pada 1904, kelenteng khusus Konghuchu ini dipindahkan ke Jalan Kapasan.

BOEN BIO terkenal karena menjadi pusat perjuangan umat Konghuchu pada masa Orde Baru agar diakui sebagai agama resmi. Setelah Orde Baru tumbang, Konghuchu kembali diakui sebagai agama keenam.

Pada era revolusi, BOEN BIO juga menjadi tempat pengungsian penduduk. Konon, pernah ada bom yang dijatuhkan di dekat kelenteng, tapi tidak jadi meledak. Aktivitas BOEN BIO selalu padat sejak dulu. Mulai sekolah minggu, kebaktian Minggu (anak dan dewasa), akupunktur, hingga bakti sosial.

4. PAK KIK BIO, Jalan Jagalan.



Disebut juga Kelenteng Jagalan. Mulai dibangun pada 8 April 1951 dan diresmikan pada 17 Juni 1952. PAK KIK BIO didirikan sebagai perluasan bisnis warga Tionghoa di pecinan.

Tadinya tanah milik Gan Ban Kiem yang rumahnya terbakar. Gan menghibahkan tanahnya kepada Pak Kik Bio Hian Thian Siang Tee, yayasan Konghuchu, untuk mendirikan kelenteng. Seperti BOEN BIO, Kelenteng PAK KIK BIO juga selalu ramai setiap Ahad.

5. SAM POO TAY DJHIEN, Jalan Demak.



Orang Surabaya lebih mengenal kelenteng ini sebagai MBAH RATU. Tadinya di Prapatkurung, kemudian direlokasi ke Jalan Demak. Kelenteng ini menarik karena menyimpan kayu dari perahu Laksamana Sam Poo Tay Djhien (alias Cheng Hoo?).

Laksamana terkenal ini oleh orang Jawa dijuluki Mbah Ratu. Sinkretisme Tionghoa dan Kejawen sangat kental. Maka, jangan heran kalau banyak orang Jawa datang ke MBAH RATU untuk berdoa, khususnya pada malam Jumat Kliwon. Macam-macam saja ujud atau permintaan pengunjung.

Sering digelar wayang kulit (purwa) semalam suntuk. "Tapi sekarang ini sudah lama gak ada wayangan. Mungkin karena ekonomi sedang sulit," ujar salah satu penjaga MBAH RATU kepada saya.

Yang juga disukai dari MBAH RATU adalah ramalan alias ciam sie. Ada konter khusus di sebelah kiri. Pengunjung bisa minta karcis untuk "ditelaah" si dukun Tionghoa. Percaya atau tidak, terserah Anda!


6. SANGGAR AGUNG, Pantai Ria Kenjeran.



Menarik karena lokasinya di laut, kalau air pasang. Ada patung besar Dewi Kwan Im dan ukiran-ukiran Tionghoa yang bagus. Satu kompleks dengan Pantai Ria Kenjeran, objek wisata pantai Surabaya. Banyak sekali fasilitas pariwisata yang sangat menarik.

Mula-mula ada kelenteng di Kenjeran bernama KWAN IM BIO (kalau tak salah). Kemudian pengusaha Soetiadji Yudho, bos PT Granting Jaya, pemilik Pantai Ria dan Hotel Pasar Besar, mengembangkannya menjadi SANGGAR AGUNG.

Kelenteng ini sangat tekenal, selain lokasinya strategis, juga karena sering menggelar even-even besar. Beberapa kali ada pemecahan rekor nasional Muri (Museum Rekor Indonesia) di SANGGAR AGUNG. Pak Soetiadji juga melengkapi kompleks ini dengan membangun rupang Buddha Empat Muka.


7. HONG SAN KO TEE, Jalan Cokroaminoto.



Lokasinya di tengah kota, dekat Jalan Raya Darmo. Tadinya kelenteng kecil, tapi berkembang pesat karena banyak jemaat yang datang beribadah. Pengelola kelenteng, Juliani Pudjiastuti, juga bekerja keras mengurus HONG SAN KO TEE.

"Ngurus kelenteng itu gak gampang lho. Tapi ini amanah yang harus saya laksanakan," ujar Ibu Juliani kepada saya. Dia duduk di kursi roda, tapi semangatnya luar biasa.

Setelah reformasi, HONG SAN KO TEE padat aktivitas mulai pembagian bahan pokok, buka puasa bersama, pengobatan alternatif, hingga lelang benda suci. HONG SAN KO TEE sering masuk koran karena pengurusnya, khususnya Ibu Juliani, sangat dekat dan terbuka dengan wartawan.

Berbeda dengan orang Tionghoa yang cenderung tertutup, Bu Juli murah senyum dan mau menjawab pertanyaan kami. "Saya ingin agar HONG SAN KO TEE ini dekat dengan siapa saja. Kita ini sama-sama orang Indonesia kok," kata Bu Juli.


8. JUN CIN KIUNG, Jalan Ir. Anwari 9.



Saya baru saja bincang-bincang dengan Ibu Xiao Cao Ing alias Sartika, 71 tahun. Sejak 1985 dia menjaga JUN CIN KIUNG. "Usianya sudah setengah abad lebih," kata Ibu Sartika dengan logat Betawinya.

Tak jauh dari HONG SAN KO TEE, Kelenteng JUN CIN KIUNG ini lebih kecil, dan lebih sepi, ketimbang kelenteng-kelenteng lain di Surabaya. Ini karena JUN CIN KIUNG hampir tidak pernah bikin even-even besar. "Kami gak punya sponsor," kata Ibu Sartika.

Meski begitu, Ibu Sartika tetap setia merawat rumah ibadah Tionghoa ini. Menyiapkan buah-buahan, menyapu lantai, membersihkan segala sesuatunya, hingga menerima tamu. Setiap hari dia berdoa seorang diri pada pukul 04.00 dan 00.00.

"Itu jam berdoa yang paling baik. Kamu coba di rumahlah, kalau yakin, permintaan kita didengarkan sama Tuhan," pesan Bu Sartika yang menerima saya dengan ramah. Sie-sie! Kamsiah!

9. KELENTENG GUNUNG KAWI, Jalan Dinoyo.



SUGIANTO (32) dan ibunya tampak khusyuk melakukan ritual ala kejawen. Bau kemenyam sangat menyengat, di samping semerbak hoshua yang harum. Suasana di lantai dua yang temaram cocok bagi jemaat yang ingin mengasah spiritualitasnya.

"Saya sejak kecil sudah biasa ritual di sini," ujar Sugianto kepada saya. Dia mengaku tidak tahu persis usia kelenteng yang berlokasi di samping sungai ini. Namun, dia memastikan sudah lebih dari setengah abad.

"Setahu saya kelenteng ini sudah ada sejak ibu pemilik rumah ini masih kecil," papar alumnus Fakultas Universitas Ekonomi Universitas Kristen Petra tersebut. Sang ibu yang dimaksud berusia 80-an tahun. Sayang, saya tak bisa meminta keterangan dari dia karena usianya yang lanjut.

Seperti di kelenteng-kelenteng lain, Kelenteng Gunung Kawi--begitu nama populernya--diisi dengan beberapa altar. Ada rupang (patung) dewa-dewa Tionghoa seperti Dewa Kwan Kong atau Dewi Kwan Im. Bedanya, ada ruangan khusus untuk ritual kejawen. Ruangannya dibungkus dengan kain merah.

"Itu tempatnya Eyang Jugo. Beliau itu sangat dihormati baik oleh orang Tionghoa maupun Jawa. Ruangannya sengaja dipisahkan karena bagaimanapun juga aliran kejawen kan beda sama aliran Tionghoa," jelas Sugianto lalu tersenyum.

Menurut dia, ritual di ruangan Eyang Jugo itu pada prinsipnya sama dengan di Gunung Kawi, Kabupaten Malang. Bahkan, pengurus kelenteng menyediakan alat-alat ritual bermerek Gunung Kawi.

"Sama dengan di Gunung Kawi, di sini biasanya ramai pada setiap malam Jumat Legi dan malam Jumat Kliwon. Yah, sesuai dengan kepercayaan tradisional Jawalah," tukas Sugianto.

10. KELENTENG SIDOTOPO
Jalan Sidotopo Wetan Baru I/33




Tidak banyak orang Surabaya, termasuk warga Tionghoa, yang tahu lokasinya. Maklum, jauh di dalam gang, kurang strategis. Didirikan 1969, kelenteng ini tergolong sepi jemaat. Saat saya datang ke sana, 30 Desember 2008, tidak ada aktivitas ritual. Aroma harum lilin Tionghoa alias hosyua pun tak terhidu.

Namun, Bapak Hendra Alim, pemilik kelenteng ini, aktif melayani pengobatan alternatif. Dia memang sinshe terkenal di kawasan Sidotopo. Kecuali akhir pekan dan hari libur, Pak Hendra bekerja sosial membantu sesama yang sakit.

"Maaf, saya tidak bisa melayani Anda karena pasien saya hari ini banyak banget. Kapan-kapan saja," kata Pak Hendra kepada saya. Memang ada 20-an pasien yang antre di ruang tunggu.

11. KELENTENG TAO
Jalan Dinoyo 19




Saya mampir ke kelenteng ini pada 6 Januari 2009. Nur Hidayat, 37 tahun, penjaga kelenteng selama 26 tahun, menyambut saya dengan ramah. Banyak material bangunan berserakan di tempat ibadah Tionghoa ini.

"Sedang direnovasi, Mas. Kebetulan ada sumbangan dana dari donatur yang peduli," kata Nur Hidayat.

Sepeninggal Lie Djong Ping, sinshe sekaligus ketua kelenteng, rumah ibadah ini sepi pengunjung. Dulu, ketika masih hidup, Pak Lie sangat aktif melayani masyarakat yang menginginkan kesembuhan dengan pengobatan ala Tiongkok.

"Tapi tanggal 1 dan 15 Imlek masih ada saja orang yang ke sini meskipun sangat sedikit," kata Nur Hidayat. Bersama istri, Sudarminingsih, serta tiga anaknya, Nur Hidayat yang muslim tetap setia merawat Kelenteng Dinoyo. Entah sampai kapan.


sumber : http://hurek.blogspot.com/2008/12/kelenteng-di-surabaya.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar