Ekam Sat, Viprah Bahudha Vadanti
Hanya ada satu kebenaran, dan manusia mendapatkan kebebasan untuk menjelaskan hal ini dengan cara berbeda
Salam Sejahtera...
Kepada segenap Sahabat FS,
Setelah beberapa saat turut melibatkan diri dalam dinamika forum yang sangat kondusif ini, ijinkanlah saya memberanikan diri untuk mengangkat dan memperkenalkan ajaran Hindu, sebagai suatu fenomena budaya yang telah turut memberikan warna dasar pada khasanah budaya dan peri-kehidupan bangsa Indonesia selama ini.
Semoga dengan adanya thread ini dapat pula meluruskan pendapat publik yang terlanjur mendeskriditkan Hindu sebagai bagian dari praktek "per-Klenik'an" (perdukunan) ataupun ritual pemujaan berhala.
[quote=] Saya mulai dengan...
Hinduisme bukanlah suatu agama yang sarat dengan dogma-dogma tapi mungkin lebih tepat kalau dikatakan sebagai satu cara hidup (a way of life) dari para penganutnya untuk mencari arti kebenaran dalam kehidupan.
Dalam membahas agama Hindu akan ditemukan bahwa ajaran ini dipenuhi dengan berbagai jenis ide, yang tidak sedikit "seakan" bertentangan satu dengan lainnya, misalnya:
Konsepsi Hindu memiliki Advaita dan Raja Yoga yang memiliki spiritualitas yang tinggi pada satu sisi dan philafat Charvaka yang materialistik dan hedonistik serta tidak percaya pada Tuhan dan Weda, pada sisi yang lain.
Atau pada satu sisi pemujaan citra (patung, gambar dan simbol-simbol) ada yang menganggapnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Hindu, sedangkan pada sisi lain, sebagaimana dikatakan oleh philsuf Jerman Max Muller, "Agama Weda tidak mengenal patung." juga Jahala Upanishad mengatakan, "Citra dimaksudkan hanya sebagai alat bantu meditasi bagi orang yang bodoh."
Lalu bagaimana ajaran Hindu ini menjanjikan kebenaran pada para pemeluknya? mungkin ringkasan stanzah dibawah ini dapat dijadikan awal untuk memahami Hindu:
- Tiada seorangpun tahu apa yang benar dan apa yang salah;
- Tiada seorangpun tahu apa yang baik dan apa yang buruk;
- Ada satu dewa yang bersemayam dalam dirimu;
- Temukan dan ikuti perintah-perintahnya.
[/quote]
Catatan:
Untuk menghindari terjadinya "debat kusir" saya mengajak semua Sahabat untuk berdiskusi hanya dalam konteks "fenomena budaya" bukan dalam konteks dogma agama dan keyakinan masing-masing.
Semoga Sahabat selalu berlimpah damai...
Hanya ada satu kebenaran, dan manusia mendapatkan kebebasan untuk menjelaskan hal ini dengan cara berbeda
Salam Sejahtera...
Kepada segenap Sahabat FS,
Setelah beberapa saat turut melibatkan diri dalam dinamika forum yang sangat kondusif ini, ijinkanlah saya memberanikan diri untuk mengangkat dan memperkenalkan ajaran Hindu, sebagai suatu fenomena budaya yang telah turut memberikan warna dasar pada khasanah budaya dan peri-kehidupan bangsa Indonesia selama ini.
Semoga dengan adanya thread ini dapat pula meluruskan pendapat publik yang terlanjur mendeskriditkan Hindu sebagai bagian dari praktek "per-Klenik'an" (perdukunan) ataupun ritual pemujaan berhala.
[quote=] Saya mulai dengan...
Hinduisme bukanlah suatu agama yang sarat dengan dogma-dogma tapi mungkin lebih tepat kalau dikatakan sebagai satu cara hidup (a way of life) dari para penganutnya untuk mencari arti kebenaran dalam kehidupan.
Dalam membahas agama Hindu akan ditemukan bahwa ajaran ini dipenuhi dengan berbagai jenis ide, yang tidak sedikit "seakan" bertentangan satu dengan lainnya, misalnya:
Konsepsi Hindu memiliki Advaita dan Raja Yoga yang memiliki spiritualitas yang tinggi pada satu sisi dan philafat Charvaka yang materialistik dan hedonistik serta tidak percaya pada Tuhan dan Weda, pada sisi yang lain.
Atau pada satu sisi pemujaan citra (patung, gambar dan simbol-simbol) ada yang menganggapnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Hindu, sedangkan pada sisi lain, sebagaimana dikatakan oleh philsuf Jerman Max Muller, "Agama Weda tidak mengenal patung." juga Jahala Upanishad mengatakan, "Citra dimaksudkan hanya sebagai alat bantu meditasi bagi orang yang bodoh."
Lalu bagaimana ajaran Hindu ini menjanjikan kebenaran pada para pemeluknya? mungkin ringkasan stanzah dibawah ini dapat dijadikan awal untuk memahami Hindu:
- Tiada seorangpun tahu apa yang benar dan apa yang salah;
- Tiada seorangpun tahu apa yang baik dan apa yang buruk;
- Ada satu dewa yang bersemayam dalam dirimu;
- Temukan dan ikuti perintah-perintahnya.
[/quote]
Catatan:
Untuk menghindari terjadinya "debat kusir" saya mengajak semua Sahabat untuk berdiskusi hanya dalam konteks "fenomena budaya" bukan dalam konteks dogma agama dan keyakinan masing-masing.
Semoga Sahabat selalu berlimpah damai...
Kasta
Sistem kasta, sebagaimana yang dipahami dalam masyarakat luas: adalah sebuah mengelompokan manusia dalam satuan kelompok kecil berdasarkan "profesi" yang diwariskan secara turun temurunan.
Adalah sangat beruntung mereka yang terlahir dalam lingkungan kasta atas, karena mereka masih mendapat peluang/keluasaan untuk "lintas sektoral" misalnya seorang Brahman masih mungkin untuk berkiprah dalam sektor Ksatria. Sedangkan yang paling menderita adalah yang terlahir dari rahim keluarga Paria, yang dikatagorikan sebagai manusia buangan (karena tidak termasuk dalam lingkup kasta).
Lalu apakah demikian ajaran Hindu?
(semoga pendapat saya ini tidak dianggap sebagai suatu excuse)
Dalam ajaran Hindu, yang berinduk pada kumpulan kitab sastra Rigveda, memang terdapat sebuah aturan yang mengatur pembagian tugas dalam menjalankan kehidupan dengan istilah Varna (warna).
Pembagian tugas ini merupakan simbolisasi bagian tubuh Prajapati (dewa Brahma, sebagai pencipta), yaitu:
1.
Mulut =
Brahman, sebagai bagian tubuh yang bertugas
untuk mengumpulkan pengetahuan dan memberikan nasehat ~ tugas pemimpin agama.
2.
Tangan =
Ksatria, dengan tugas untuk melindungi ~
termasuk memimpin negara dan tentara.
3.
Tubuh =
Waisya, dengan tugas untuk memberikan
limpahan makanan ~ termasuk petani, pedagang.
4.
Kaki =
Sudra, yang bertugas melayani ketiga
kasta terdahulu.
Sampai disini saya yakin kita dapat memahami tujuan pembagian tugas yang sangat profesional untuk masa tersebut; sebab kalau para profesional tersebut menjalankan tugas diluar batasan profesinya maka keteraturan tidak akan pernah terbentuk.
Dapatkan seorang Brahman mendalami agama kalau pada saat yang bersamaan harus pergi berperang atau memecah perhatiannya untuk urusan perut?
Atau seorang ksatria yang harus berperang namun pada saat yang bersamaan harus memimpin upacara keagamaan?
Atau seorang petani yang seharian bekerja diladang namun harus menjalani puasa sebagai bagian dari lelaku keagamaan?
Rigveda tidak membahas bahwa pembagian tugas ini bersifat regenerative, tidak berarti tanggung jawab ini juga menjadi tanggung jawab & hak sanak keluarganya.
Dalam perkembangan ajaran Hindu selanjutnya Rsi Svayambhuva seorang resi-manu mempelopori untuk memberikan "nilai aturan" dalam ajaran Hindu yang kemudian dikenal sebagai Mānava-dharmśāstra atau Manusmṛti (aturan Manu) diperkirakan dibuat pada periode tahun 200 SM hingga 200 M.
Pada awalnya resi Svayambhuva membuat 10.000 sloka yang memuat berbagai hukum yang berlaku dalam ajaran Hindu. Kemudian resi-resi Manu pengganti Svayambhuva secara beruntun mengurangi jumlah aturan-aturan tersebut hingga akhirnya hanya berjumlah 2685 sloka saja.
Dalam buku "aturan Manu" inilah bahasan Varna dijabarkan dan berlaku pula secara regenerative dimana dituliskan ... Untuk pertumbuhan dunia, Brahman menciptakan Brahmana (golongan pandita), Kshatriya (golongan prajurit), Waisya (golongan pedagang), dan Sudra (golongan pekerja).
dan juga bagaimana pengelompokan ini berlaku pada proses Hukum Karma dan Reinkarnasi...
Saya berpendapat:
Pada masa tersebut, setiap keluarga dari turunan tertentu akan mewarisi kemampuan dan ketrampilan generasi sebelumnya baik secara genetikal maupun tradisi ~ sehingga "pertumbuhan" aturan akan berlangsung secara lebih pasti.
Pada saat masa para Rsi Manu berakhir, sebenarnya banyak dari para pemimpin ajaran Hindu yang mencoba menyampaikan protes pada konsepsi Varna ini, kita ambil contoh:
Dalam kitab Mahabarata, tentang Karna yang dalam perjuangan hidupnya sebagai anak seorang kusir (sudra) mendapatkan kesempatan menjadi adipati (ksatria) dan banyak contoh lain...
Protes dan penentangan pada konsepsi ini juga dilakukan oleh Sidharta Gautama (Ksatria) yang membuang diri dalam lingkungan kaum paria hingga akhirnya mendapatkan kesempurnaan menjadi Budha.
Tokoh-tokoh Hindu era modern juga melakukan penentangan konsepsi ini, misalnya pandhit Mahatma Gandhi dengan kelompok Harijan (dari golongan paria) yang menentang penggunaan konsepsi Kasta dalam kehidupan keseharian di India yang membuahkan pelarangan menerapkan konsepsi Kasta di luar jalur keagamaan.
****************
Kasta [dalam bhs portugis, casta=keranjang] menjadi semakin kuat dan melembaga sebenarnya bukan karena ajaran Hindu (baik dari rigveda maupun manusriti) tetapi dari budaya feodalism lingkungan kerajaan yang melegalisir kekuasaan dengan mengatas namakan agama.... nah kalau sampai titik ini, saya rasa Kasta berlaku di semua bentukan kebudayaan manusia...
Trimurti
Menurut arti katanya, Trimūrti adalah Tiga Badan, dan maksudnya adalah Dewa yang tertinggi (Içwara) yang menjadikan dan menguasai alam semesta.
Dewa ini berbadan tiga, sesuai dengan kekuasaan Içwara yang tiga macam; mencipta, memlihara atau melangsungkan, dan membinasakan.
Ketiga macam kekuasaan yang masing-masing diwakili oleh satu badan dewa ini kemudian diwakili oleh seorang dewa.
Demikianlah dewa pencipta adalah Brahma, dewa pemelihara adalah Wişņu, dan dewa pembinasa adalah Siwa, dewa waktu.
Di antara ketiga dewa tertinggi itu hanya Wi şņu dan Siwa yang mendapat pemujaan luar biasa.
Hal ini adalah wajar mengingat bahwa yang dihadapi manusia adalah apa yang sudah tercipta. Oleh karena itu, dewa pencipta dengan sendirinya terdesak oleh kepentingan manusia, yang lebih memperhatikan berlangsungnya apa yang sudah tercipta itu. Pun kenyataan bahwa segala apa akan binasa karena waktu, selalu memenuhi perhatian manusia.
Di antara para pemeluk agama Hindu, separuhnya lebih-lebih memuja Wisnu, separuhnya lagi memuja Siwa.
Para pemuja Wişņu (golongan Waşņawa) dan para pemuja Siwa (golongan Çaiwa) tidak mengingkari kedudukan Trimurti, tidak pula beranggapan bahwa Wişņu dan Siwa adalah dewa yang satu-satunya.
Hanyalah ada pendapat bahwa bagi golongan Waişņawa, Siwa itu adalah Wişņu dalam bentuknya sebagai dewa pembinasa, sedangkan sebaliknya bagi golongan Çaiwa, Wişņu adalah Siwa sebagai pemelihara alam semesta.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa dalam Trim ūrti itu Siwa yang dianggap sebagai dewa tertinggi atau Mahadewa atau Maheçwara.
Memang sebagai dewa waktu atau Mahakala, ia sangat berkuasa oleh karena waktulah yang sesungguhnya mengadakan, melangsungkan, dan membinasakan. Segala apa terikat kepada waktu, ada tidaknya sesuatu tergantung kepada waktu.
Sifat-sifat keagungan dan kedahsyatan dalam ruang dan waktu yang tak terbatas itulah yang menundukkan manusia untuk menginsyafi kekecilannya di dalam alam semesta. Maka pemujaan kepada Siwa itu selalu disertai permohonan akan kemurahannya dan rasa takut tidak dapat dihindarkan.
Sesuai dengan beraneka macamnya sifat yang berpadu dalam Içwara sebagai Yang Maha Kuasa maka kecuali sebagai Mahadewa, Maheçwara, dan Mahakala, Siwa juga dipuja sebagai Mahaguru dan Mahayogi; yang menjadi teladan serta pemimpin para pertapa. Serta, sebagai Bhairawa yang siap untuk merusak membinasakan segala apa yang ada.
Berlainan sekali sifatnya adalah Wi şņu. Dalam segala bentuk dan perwujudannya, ia tetaplah dewa yang memlihara dan melangsungkan alam semesta. Maka, sebagai penyelenggara dan pelindung dunia, ia digambarkan setiap saat siap untuk memberantas semua bahaya yang mengancam keselamatan dunia. Untuk keperluan ini, Wişņu turun ke dunia dalam bentuk penjelmaan yang sesuai dengan bahayanya sebagai awatara.
Kecuali Trim ūrti, masih banyak dewa-dewa lainnya. Sebagian besar daripadanya adalah dewa-dewa yang sudah dikenal dari zaman Weda sebelumnya, beberapa diantaranya sudah berubah sifatnya. Sebagai contoh, Waruna yang tak lagi sebagai dewa angkasa seperti di zaman Weda, melainkan telah berubah menjadi dewa laut. Sebagian lagi adalah dewa-dewa yang mula-mula dipuja setempat-setempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar