Pages - Menu

Pages

Sabtu, 21 Juni 2014

Bhagawad Gita

Ajaran ini sudah ada lebih 3000 th yang lalu, betapa indah nya ajaran ini....

Bhagawadgita (Bhagavad Gita)
Krishna:
Apa yang kusampaikan kepadamu bukanlah hal baru;
sudah berulang kali kusampaikan di masa lalu.
Arjuna:
Apa maksudmu dengan masa lalu? Kapan?
Krishna:
Dari masa ke masa, di setiap masa.
Sesungguhnya kita semua telah berulang kali lahir dan
mati,
aku mengingat setiap kelahiran dan kematian.
Kau tidak, itu saja bedanya.
Setiap kali keseimbangan alam terkacaukan,
dan ketakseimbangan mengancam keselarasan alam,
maka “Aku” menjelma dari masa ke masa,
untuk mengembalikan keseimbangan alam.
“Aku” ini bersemayam pula di dalam dirimu,
bahkan di dalam diri setiap makhluk hidup,
segala sesuatu yang bergerak maupun tak bergerak.
Menemukan “Sang Aku” ini merupakan pencapaian
tertinggi.
Dengan menemukan jati diri, Sang Aku Sejati,
segala apa yang kau butuhkan akan kau
peroleh dengan sangat mudah.
Berkaryalah dan Keberadaan akan membantumu.
Sesuai dengan sifat dasar masing-masing,
Manusia dibagi dalam 4 golongan utama.
Walau pembagian seperti itu,
Tidak pernah mempengaruhi Sang Jiwa Agung.
Para Pemikir bekerja dengan berbagai pikiran mereka.
Para Satria membela negara dan bangsa.
Para Pengusaha melayani masyarakat dengan berbagai
cara.
Para Pekerja melaksanakan setiap tugas dengan baik.
Berada dalam kelompok manapun,
bekerjalah selalu sesuai kesadaranmu.
Jangan memikirkan keberhasilan maupun kegagalan.
Terima semuanya dengan penuh ketenangan.
Bila kau bekerja sesuai dengan kodratmu,
tidak untuk memenuhi keinginan serta harapan tertentu,
maka walau berkarya sesungguhnya kau melakukan
persembahan.
Dan, kau terbebaskan dari hukum sebab akibat.
Tuhan yang kau sembah, juga adalah Persembahan itu
sendiri.
Dalam diri seorang penyembahpun, Ia bersemayam.
Berkaryalah dengan kesadaran ini,
dan senantiaasa merasakan kehadiran-Nya.
Banyak sekali cara persembahan -
Ada yang menghaturkan sesajen dalam berbagai bentuk.
Ada pula yang menghaturkan kesadaran hewani pada
“Sang Aku” – sejati yang bersemayam di dalam diri.
Bila kau mempersembahkan kenikmatan dunia pada
pancaindera,
maka kau menjadi penyembah pancaindera.
Bila kau mengendalikan pancaindera,
maka kau menyembah Kesadaran Murni di dalam diri.
Ada yang mempersembahkan harta, ada yang bertapa,
Ada yang berkorban, ada yang menjauhkan diri dari
dunia,
Ada yang sibuk mempelajari kitab suci, ada yang
berpuasa.
Apapun yang kau lakukan, lakukanlah dengan kesadaran!
Langkah berikutnya:
Lakoni hidupmu seolah kau sedang melakukan
persembahan.
Berkarya dengan penuh kesadaran, itulah Pengabdian.
Cara-cara lain hanya bersifat luaran.
Terlebih dahulu, raihlah kesadaran diri.
Bila kau tidak mengetahui caranya,
Belajarlah dari mereka yang telah sadar.
Untuk itu hendaknya kau berendah hati.
Orang yang sadar tidak pernah bingung.
Pandangannya meluas, penglihatannya menjernih,
ia yakin dengan apa yang dilakukannya,
Sehingga meraih kedamaian yang tak terhingga nilainya.
Arjuna:
Bila Pengendalian Diri dan Penemuan Jati Diri
merupakan tujuan hidup,
maka untuk apa melibatkan diri dengan dunia?
Aku sungguh tambah bingung.
Krishna:
Pengendalian Diri dan Penemuan Jati Diri
memang merupakan tujuan tertinggi.
Namun, kau harus berkarya untuk mencapainya.
Dan, berkarya sesuai dengan kodratmu.
Bila kau seorang Pemikir,
kau dapat menggapai Kesempurnaan Diri
dengan cara mengasah
kesadaranmu saja.
Bila kau seorang Pekerja,
kau harus menggapainya lewat Karya Nyata,
dengan menunaikan kewajibanmu,
serta melaksanakan tugasmu.
Dan, kau seorang Pekerja,
kau hanya dapat mencapai Kesempurnaan Hidup
lewat Kerja Nyata.
Itulah sifat-dasarmu, kodratmu.
Sesungguhnya tak seorang pun dapat
menghindari perkerjaan.
Seorang Pemikir pun sesungguhnya bekerja.
Pengendalian Pikiran – itulah pekerjaannya.
Bila pikiran masih melayang ke segala arah,
apa gunanya duduk diam dan menipu diri?
Lebih baik berkarya dengan pikiran terkendali.
Bekerjalah tanpa pamrih!
Hukum Sebab Akibat menentukan hasil
perbuatan setiap makhluk hidup.
Tak seorang pun luput darinya,
kecuali ia berkarya dengan semangat menyembah.
Alam Semesta tercipta “dalam”
semangat Persembahan.
Dan, “lewat” Persembahan pula
segala kebutuhan manusia terpenuhi.
Bila kau menjaga kelestarian lingkungan,
lingkungan pun pasti menjaga kelestarianmu.
Raihlah kebahagiaan tak terhingga dengan
saling “menyembah” – membantu dan melindungi.
Bila kau hanya berkarya demi kepentingan pribadi,
tak pernah berbagi dan tak peduli
terhadap alam yang senantiasa memberi;
maka seseungguhnya kau seorang maling.
Berkaryalah dengan semangat “menyembah”.
Persembahkan hasil pekerjaanmu pada Yang Maha
Kuasa.
Dan, nikmati segala apa yang kau peroleh
dari-Nya sebagai Tanda Kasih-Nya!
Apa yang kau makan, menentukan kesehatan dirimu.
Dan, makanan berasal dari alam sekitarmu.
Bila kau menjaga kelestarian alam,
kesehatanmu pun akan terjaga – inilah Kesadaran.
Waspadai setiap tindakanmu.
Bertindaklah dengan penuh kesadaran.
Inilah Persembahan,
yang dapat mengantarmu pada Kepuasan Diri.
Bila kau puas dengan diri sendiri,
dan tidak lagi mencari kepuasaan
dari sesuatu di luar diri,
maka kau akan berkarya tanpa pamrih.
Sesungguhnya seorang Pekerja tanpa Pamrih
sudah tak terbelenggu oleh dunia.
Jiwanya bebas, namun ia tetap bekerja,
supaya orang laind apat mencontohinya.
Sesungguhnya tak ada sesuatu yang harus “Ku”-lakukan.
Namun, “Aku” tetap bekerja demi Keselarasan Alam.
Bila “Aku” berhenti bekerja, banyak yang akan
mencontohi tindakan-“Ku”,
dan “Aku” akan menjadi sebab bagi kacaunya tatanan
masyarakat.
Ketahuilah bahwa segala sesuatu terjadi atas Kehendak-
Nya.
Tak seorang pun dapat menghindari pekerjaan,
kau akan didorong untuk menunaikan kewajibanmu.
Maka, janganlah berkeras kepala – bekerjalah!
Terpicu oleh hal-hal di luar,
panca-indera pun bekerja sesuai dengan kodrat mereka.
Janganlah kau terlibat dalam permainan itu.
Jadilah saksi, kau bukan panca-indera.
Berkat pengendalian diri bila inderamu
tak terpicu lagi oleh hal-hal luaran,
hendaknya kau tidak membingungkan mereka
yang belum dapat melakukan hal itu.
Biarlah mereka menghindari
pemicu di luar untuk mengendalikan diri.
Berkayalah demi “Aku” dengan
kesadaranmu terpusatkan pada-”Ku”,
bebas dari harapan dan ketamakan -
itulah Persembahan, Pengabdian.
Para bijak berkarya sesuai dengan sifat mereka,
kodrat serta kemampuan mereka.
Demikian mereka terbebaskan dari rasa gelisah,
dan mencapai kesempurnaan hidup.
Berkaryalah sesuai dengan kemampuan serta
kewajibanmu.
Janganlah engkau sekadar ikut-ikutan memilih
suatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan sifat dasarmu,
tidak sesuai dengan kemampuanmu.
Arjuna:
Aku memahami semua itu,
namun kadang tetap saja terpicu
untuk melakukan sesuatu yang tidak tepat.
Bagaimana mengatasi hal itu?
Krishna:
Ketahuilah terlebih dahulu penyebabnya -
yaitu “keinginan”, “ketamakan” dan
sifat dasar manusia yang membuatnya bekerja.
Manusia tak dapat berhenti bekerja.
Bila ia tidak bekerja tanpa pamrih,
Ia akan bekerja untuk memenuhi keinginannya.
Ketamakan melenyapkan kesadaran manusia,
akhirnya ia binasa terbakar oleh api nafsunya sendiri
Kunci keberhasilan manusia terletak pada pengedalian
diri.
Bila terkendali oleh pancaindera kau pasti binasa.
Ketahuilah bahwa panca indera mengendalikan raga,
namun pikiran menguasai pancaindera.
Di atas pikiran adalah intelek,
kemampuanmu untuk membedakan tindakan
yang tepat dari yang tidak tepat – itulah Kesadaran.
Bertindakalah sesuai dengan kesadaranmu.
Dengan pengendalian diri dan bekerja sesuai dengan
kesadaran,
segala keinginan dan ketamakan dapat kau lampaui.
Kemudian setiap pekerjaan menjadi persembahan
pada “Sang Aku” yang bersemayam dalam diri setiap
makhluk.
Krishna:
Kau tidak berperang untuk memperebutkan kekuasaan;
kau berperang demi keadilan, untuk menegakkan
Kebajikan.
Janganlah kau melemah di saat yang menentukan ini.
Bangkitlah demi bangsa, negeri, dan Ibu Pertiwi.
Arjuna:
Dan, untuk itu aku harus memerangi keluarga sendiri?
Krishna, aku bingung, tunjukkan jalan kepadaku.
Krishna:
Kau berbicara seperti seorang bijak,
namun menangisi sesuatu yang tak patut kau tangisi.
Seorang bijak sadar bahwa kelahiran dan kematian,
dua-duanya tak langgeng.
Jiwa yang bersemayam dalam diri setiap insan,
sungguhnya tak pernah lahir dan tak pernah mati.
Badan yang mengalami kelahiran dan kematian
ibarat baju yang dapat kau tanggalkan sewaktu-waktu
dan menggantinya dengan yang baru.
Perubahan adalah Hukum Alam – tak patut kau tangisi.
Suka dan duka hanyalah perasaan sesaat,
disebabkan oleh panca-inderamu sendiri
ketika berhubungan dengan hal-hal di luar diri.
Lampauilah perasaan yang tak langgeng itu.
Temukan Kebenaran Mutlak
di balik segala pengalaman dan perasaan.
Kebenaran Abadi, Langgeng
dan Tak Termusnahkan.
Segala yang lain diluar-Nya
sesungguhnya tak ada – tak perlu kau risaukan.
Temukan Kebenaran Abadi Itu,
Dia Yang Tak Terbunuh dan Tak Membunuh.
Dia Yang Tak Pernah Lahir dan Tak pernah Mati.
Dia Yang Melampaui Segala dan Selalu Ada.
Kau akan menyatu dengan-Nya,
bila kau menemukan-Nya.
Karena, sesungguhnya Ialah yang bersemayam
di dalam dirimu, diriku, diri setiap insan.
Maka, saat itu pula kau akan terbebaskan
dari suka, duka, rasa gelisah dan bersalah.
Kebenaran Abadi Yang Meliputi Alam Semesta,
tak terbunuh oleh senjata seampuh apapun jua.
Tak terbakar oleh api, tak terlarutkan oleh air,
dan tidak menjadi kering karena angin.
Sementara itu, wujud-wujud yang terlihat olehmu
muncul dan lenyap secara bergantian.
“Keberadaan” muncul dari “Ketiadaan”
dan lenyap kembali dalam “Ketiadaan”.
Jiwa tak berubah dan tak pernah mati;
hanyalah badan yang terus-menerus
mengalami kelahiran dan kematian.
Apa yang harus kau tangisi?
Badanmu lahir dalam keluarga para Satria,
ia memiliki tugas untuk membela negara dan bangsa.
Bila kau melarikan diri dari tanggungjawabmu,
kelak sejarah akan menyebutmu pengecut.
Bila kau gugur di medan perang,
kau akan mati syuhda, namamu tercatat sebagai
pahlawan.
Dan, bila kau menang, rakyat ikut merayakan
menangnya Kebajikan atas kebatilan
Sesungguhnya kau tak perlu memikirkan
kemenangan dan kekalahan.
Lakukan tugasmu dengan baik.
Berkaryalah demi kewajibanmu.
Janganlah membiarkan pikiranmu bercabang,
bulatkan tekadmu, dan dengan
keteguhan hati, tentukan sendiri
jalan apa yang terbaik bagi dirimu.
Berkaryalah demi tugas dan kewajiban,
bukan demi surga, apa lagi kenikmatan dunia.
Janganlah kau merisaukan hasil akhir,
tak perlu memikirkan kemenangan maupun kegagalan.
Dengan jiwa seimbang,
dan tak terikat pada pengalaman
suka maupun duka,
berkaryalah dengan penuh semangat!
Bebaskan pikiranmu dari pengaruh luar;
dari pendapat orang tentang dirimu,
dan apa yang kau lakukan.
Ikuti suara hatimu, nuranimu.
Arjuna:
Bagaimana Krishna,
bagaimana mendengarkan suara hati?
Krishna:
Bebas dari segala macam keinginan
dan pengaruh pikiran,
kau akan mendengarkan dengan jelas
suara hatimu – itulah Pencerahan!
Saat itu, kau tak tergoyahkan lagi
oleh pengalaman duka,
dan tidak pula mengejar pengalaman suka.
Rasa cemas dan amarah pun terlampaui seketika.
Krishna:
Ia yang tercerahkan tidak menjadi girang
karena memperoleh sesuatu;
tidak pula kecewa bila tidak memperolehnya.
Dirinya selalu puas, dalam segala keadaan.
Pengendalian Diri yang sampurna
membuatnya tidak terpengaruh oleh
pemicu-pemicu di luar.
Ia senantiasa sadar akan Jati-Dirinya.
Krishna:
Keterlibatan panca-indera dengan
pemicu-pemicu di luar
menimbulkan kerinduan,
kemudian muncul keinginan.
Dan, bila keinginan tak terpenuhi,
timbul rasa kecewa, amarah.
Manusia tak mampu lagi membedakan
tindakan yang tepat dari yang tidak tepat.
Krishna:
Seorang bijak yang tercerahkan
terkendali panca-inderanya,
maka ia dapat hidup di tengah keramaian dunia,
dan tak terpicu oleh hal-hal diluar diri.
Demikian dengan keseimbangan diri,
ia menggapai kesadaran yang lebih tinggi.
Jiwanya damai, dan ia pun
memperoleh Kebahagiaan Kekal Sejati.
Krishna:
Pengendalian Diri menjernihkan pandangan manusia,
ia menggapai kesempunaan hidup.
Saat ajal tiba, tak ada lagi kekhawatiran baginya,
ia menyatu kembali dengan Yang Maha Kuasa

Senin, 09 Juni 2014

Asal Usul Dewa REJEKI (Cai Shen Ye )


Xuan Tan Yuan Shuai (Hian Than Goan Swee – Hokkian) seringkali disebut Cai Shen Ye (Jay Sin Ya – Hokkian) atau dewa kekayaan. Dewa ini mempunyai wilayah pemujaan yang luas dan termasuk yang paling popular karena kepercayaan yang menyatakan bahwa dari tangannyalah rejeki manusia berasal. Latar belakang kisah Cai Shen Ye ada beberapa macam versi. Yang paling banyak dikenal adalah riwayat Zhao Gong Ming (Tio Kong Beng – Hokkian) yang diambil dari novel Feng Shen. Dalam novel itu diceritakan antara lain sebagai berikut : Kaisar Zhou-wang (Tiu Ong – Hokkian) dari Kerajaan Shang memerintahkan jendralnya yang kenamaan, Wen Zhong (Bun Tiong – Hokkian), untuk menyerbu Xi-chi, basis pasukan Wen Wang (Bun Ong – Hokkian). Untuk mencapai maksudnya itu, Wen Zhong minta bantuan enam orang sakti mandraguna, guna membentuk formasi barisan yang disebut Shi-jue-Zhen (Sip Ciat Tin – Hokkian) atau Barisan Sepuluh Pemusnah. Tapi Jiang Zi Ya berhasil menghancurkan enam diantaranya. Melihat kekalahan dipihaknya, Wen Zhong minta bantuan Zhao Gong Ming yang pada waktu itu bertapa di gua Lou-fu Dong, pegunungan E Mei Shan (Go Bi San – Hokkian). Gong Ming menyatakan kesanggupannya untuk membantu. Pada waktu ia turun gunung, seekor harimau besar menerkam. Harimau itu tak berkutik di bawah tudingan dua jari tangannya. Dengan angkin diikatnya leher si raja hutan, kemudian dikendarai. Pada dahi harimau itu kemudian ditempelkan selembar “FU” atau surat jimat. Untuk selanjutnya si raja hutan tunduk di bawah perintahnya dan menjadi tunggangannya. Dengan mengendarai harimau, Zhao Gong Ming bertempur dengan Jiang Zi Ya. Setelah beberapa jurus, Zhao Gong Ming mengeluarkan ruyung saktinya dan menghajar Jiang Zi Ya hingga roboh dan tewas. Tapi untung, datanglah Guang Cheng Zi (Kong Sheng Cu – Hokkian). Ia menolong Zi Ya dan dia hidup kembali. Huang Long Zhen Ren (Ui Liong Cin Jin – Hokkian) keluar untuk bertempur dengan Zhao Gong Ming, tapi tertawan oleh tali wasiat Gong Ming. Chi Jing Zi dan Guang Cheng Zi pun terpukul jatuh oleh pertapa yang berkesaktian segudang itu. Tapi kemudian Zi Ya mendapat bantuan seorang sakti dari pegunungan Wu-yi Shan yang bernama Xiao Sheng. Semua barang wasiat Zhao Gong Ming berhasil dirampas. Merasa kehilangan muka, Zhao Gong Ming kabur ke pulau San Xian Dao (Pulau Tiga Dewa) untuk menemui seorang pertapa wanita yang sakti, Yun Xiao Niang Niang. Kepada Yun Xiao Niang Niang, Gong Ming meminjam sebuah gunting wasiat, untuk merebut kembali wasiat – wasiatnya yang dirampas musuh. Ternyata gunting wasiat itu adalah dua ekor naga yang berubah rupa, sebab itu kemampuannya luar biasa. Banyak dewa – dewa sakti dari pihak Zi Ya terpotong menjadi dua bagian dan tewas dengan mengerikan karena pusaka ini. Jiang Zi Ya jadi gelisah, para prajuritnya juga menjadi gentar. Pada saat yang kritis itu datanglah seorang Taoist dari pegunungan Gun Lun Shan (Kun Lun San – Hokkian) yang bernama Lu Ya. Lu Ya menyuruh Zi Ya membuat boneka dari rumput. Pada badan boneka tersebut diletakkan selembar kertas yang dituliskan nama Zhao Gong Ming. Di bagian kepala dipasang pelita kecil demikian pula pada bagian kaki. Di depan boneka itu diadakan sembahyangan selama 21 hari berturut – turut. Zi Ya,

atas nasehat Lu Ya, bersembahyang disitu beberapa hari. Dia terus bersembahyang sampai suatu hari Zhao Gong Ming merasakan jantungnya berdebar – debar, badannya terasa panas dingin tak menentu. Semangatnya luruh begitu pula semua tenaganya. Pada hari yang ke 21, setelah mencuci rambutnya, Zi Ya mementang busur dan mengarahkan anak panah ke mata kiri boneka rumput tersebut. Zhao Gong Ming yang berada di kubu pasukan Shang, mendadak merasa mata kirinya sakit sekali dan kemudian buta. Panah Zi Ya berikutnya diarahkan kemata kanan boneka Zhao Gong Ming dan panah ketiga di jantungnya. Dengan demikian Zhao Gong Ming yang sakti ini akhirnya tewas oleh lawan. Setelah Wu Wang berhasil menghancurkan pasukan Shang dan mendirikan dinasti Zhou, Zi Ya melaksanakan perintah gurunya untuk mengadakan pelantikan para malaikat. Zhao Gong Ming kemudian dianugerahi gelar Jin-long-ru-yi-zheng-yi-long-hu xuan-tan-shen-jun atau secara singkat disebut : Zheng Yi Zhen Jun (Ceng It Cin Kun – Hokkian) atau Xuan Tan Zhen Jun (Hian Tan Cin Kun – Hokkian). Xuan Tan Zhen Jun mempunyai empat pengiring, yang disebut Duta Dewa kekayaan, Cai Shen Shi Zi, yaitu : 1. Xiao Sheng yang bergelar Zhao-bao Tian-zun. (Malaikat Pemanggil Pusaka). 2. Cao Bao yang bergelar Na-zhen Tian-zun. (Malaikat Pemungut Benda Berharga). 3. Deng Jiu Gong yang bergelar Zhao-chai Shi-zi. (Duta Pemanggil Kekayaan). 4. Yao Shao Si yang bergelar Li-shi Xian-guan. (Pejabat Dewa Keuntungan). Xuan Tan Zhen Jun bersama empat pengiringnya ini seringkali ditampilkan secara bersama – sama dalam gambar dan disebut Wu Lu Chai Shen (Ngo Lo Cay Sin – Hokkian) atau Dewa Kekayaan dari Lima Jalan. Di tempat pemujaan, secara pribadi dalam rumah – rumah penduduk, seringkali Dewa Kekayaan ini ditampilkan sebagai seorang panglima perang berpakaian lengkap, wajahnya bengis, satu tangan menggenggam senjatanya berupa ruyung dan tangan yang lain membawa sebongkah emas, mengendarai seekor harimau hitam. Ini merupakan pelukisan yang diambil dari novel Feng Shen itu. Selain versi Feng Shen ini, di dalam buku Sanjiao Yuan-liu Sou-shen Da-chuan atau “koleksi Lengkap Asal-usul Dewa-dewa aliran Sam-kauw”, disebutkan bahwa Xuan Tan adalah Zhao Yuan Shuai (Tio Goan-swe – Hokkian) atau jenderal Zhao, yang bernama Gong Ming. Ia berasal dari pegunungan Zhong-nan Shan (Ciong Lam San – Hokkian). Pada jaman dinasti Qin (246 SM – 200007 SM)ia meninggalkan kehidupan dunia dan pergi bertapa di pegunungan Long-hu Shan, menggantikan Zhang Tian Shi (Thio Thian Su – Hokkian) yang berkuasa di situ. Kemudian Yu Huang Da Di memberinya kekuasaan besar, antara lain memerintah Tiga Lapisan Alam, mengadakan perondaan di lima penjuru dan memilih tokoh-tokoh untuk memerintah sembilan benua. Pengiring Zhao Yuan-shuai (Tio Goan Swee – Hokkian) sangat banyak. Ada yang disebut sebagai Ba-wang Meng-jiang (Pat Ong Beng Ciang – Hokkian) yaitu delapan panglima yang gagah berani, Liu-du Da-shen (Liok Tok Tay Sin – Hokkian) atau malaikat besar yang memiliki enam racun, Wu fang Lei-shen (Ngo Hong Lui Sin – Hokkian) atau Malaikat Halilintar dari lima penjuru, Wu-fang Chang-bing (Ngo Hong Jiang Ping – Hokkian) atau prajurit ganas dari lima penjuru, Er-shi-ba Jiang (Ji-cap-pe Ciang – Hokkian) atau dua puluh delapan panglima perang, Shui-huo Er-ying (Cui Hwee Ji Ing – Hokkian) atau dua kubu pasukan api dan air dan Tian-he Di-he Er-jiang (Thian Ho Te Ho Ji Ciang – Hokkian) atau dua panglima keselarasan langit dan bumi. Para pengiring ini bertugas antara lain mengusir angin atau mencurahkan hujan, membasmi kuman dan mengenyahkan penyakit, melindungi penderita sakit dan melenyapkan bencana, melaporkan apabila ada kesewenang-wenangan dan melindungi usaha perdagangan, membagi kekayaan kepada yang berhak, agar terjadi keadaan yang tentram dan damai di dunia. Ada satu lagi versi yang menyebutkan bahwa Cai Shen sebetulnya ada dua, yaitu sipil atau Wen Cai Shen, dan militer atau Wu Cai Shen. Yang dimaksud dengan Wen Cai Shen adalah Wen Chang Di Jun (Bun Jiang Te Kun – Hokkian). Menurut buku “San-jiao Sou-shen Da-chuan”, Wen Chang Di Jun menjelma ke dunia 17 kali dan semuanya sebagai pejabat tinggi yang berpangkat Shi-dai-fu. Ia suka menolong orang yang sedang dirundung kesusahan, mema’afkan kesalahan dan sayang anak-anak yatim piatu. Wen Chang Di Jun mempunyai baskom yang berisi bermacam benda berharga. Di atas baskom itu berdiri seorang anak lelaki yang disebut Yun Cai Tong Zi atau anak penyalur kekayaan, yamg menggenggam emas di tangan kanannya, kakinya menginjak tumpukan bunga karang (bunga karang dalam bahasa Tionghoa adalah sanhu, termasuk salah satu benda berharga di masa lalu). Wen Cai Shen ditampilkan sebagai seorang berwajah putih dan berjenggot panjang, kepalanya memakai topi yang bertelinga panjang, bajunya merah bersulam, tangannya mengenggam ru-yi (hiasan yang berbentuk jamur dan dianggap mengandung kekuataan gaib), wajahnya ramah dan memancar sinar kegembiraan. Seringkali Wen Cai Shen ini disebut sebagai Cai Bo Xing Jun atau Dewa Bintang yang menguasai kekayaan dan sandang. Wu Cai Shen oleh sebagian orang disebut sebagai Zhao Gong Ming. Tapi ada lagi pendapat, bahwa sebetulnya Wu Cai Shen adalah Guan Gong atau Guan Di Jun (Kwan Te Kun – Hokkian). Inilah sebabnya banyak pedagang atau saudagar memuja Guan Gong di kantornya. Pada kartu ucapan selamat tahun baru (tahu baru Imlik), biasa terdapat gambar suci ayng penuh dengan ratna-mutu-manikam dan lain benda berharga yang disebut Ju-bao-pen (baskom pengumpul pusaka). Kebiasaan menempelkan gambar ini berasal dari Cai Shen dalam versi lain yaitu Shen Wan San, yang disebut Huo Cai Shen (Wa Cay Sin – Hokkian) atau Cai Shen yang hidup. Shen Wan San (Sim Ban San – Hokkian), karena sewaktu masih hidup banyak menyumbangkan harta bendanya untuk kepentingan orang banyak dan untuk membangun ibu kota, Yu Huang Da Di mengangkatnya sebagai Dewa Pelindung kota Nan-jing, setelah ia meninggal. Shen Wan San sebetulnya berasal dari keluarga miskin papa, tentang bagaimana kemudian ia menjadi kaya -raya, ada beberapa cerita sebagai berikut : 1. Menurut catatan dari kabupaten Xiu-shui dikatakan bahwa Shen Wan San berhasil memanfaatkan harta karun yang diketemukan ayahnya di sebuah kebun yang terlantar di kota Su-zhou. 2. Menurut catatan dari Yun-jiao Guan disebutkan bahwa masa kecilnya Shen Wan San memang dilalui dengan kemiskinan. Suatu hari ia menemukan sebuah benda seperti telur dari batu yang mengeluarkan sinar aneh dari sungai. Oleh anaknya, benda itu dipungutnya dan diserahkan kepada ayahnya. Ternyata batu itu adalah sebuah batu permata yang harganya selangit. Karena itulah ia menjadi kaya raya. 3. Pada suatu malam Shen Wan San sedang berbaring terlentang di atas perahu ikannya. Tiba-tiba Ia melihat bintang utara jatuh. Ia buru – buru memadahinya dengan karung kain dan ia memperoleh sebuah gantang. Pada saat fajar, seorang tua yang diiringi tujuh orang tukang pikul datang menemuinya dan berkata “barang – barang ini sementara kutaruh di tempatmu”. Setelah berkata begitu mereka lenyap. Isi pikulan yang ditinggalkan di situ, ternyata potongan emas yang berbentuk ladam. Dari sinilah akhirnya ia menjadi kaya raya. 4. Dikatakan bahwa keluarga Shen Wan-san mempunyai sebuah baskom pusaka yang dapat melipatgandakan benda apa saja yang dimaksudkan kedalamnya. Sebab itu ia jadi kaya. Kelenteng yang khusus diperuntukkan untuk Cai Shen Ye atau Xuan Tan Yuan Shuai ini tidak banyak. Meskipun demikian pemujaan Cai Shen sangat luas, terutama oleh pedagang. Di Taiwan, dan terutama di propinsi Fujian, Tiongkok Selatan, ada upacara yang disebut “Zhuang Xuan Tan Ye”, yang berarti bertemu dengan Xuan Tan Ye. Upacara ini dilakukan pada tanggal 15 bulan 1 Imlik. Pada puncak upacara empat orang pria tinggi besar dan kekar bertelanjang dada, memikul dua batang bambu. Arca Cai Shen berikut tempat duduknya diikat di atas batang bambu tersebut. Dengan diiringi suara gembreng mereka diarak ke tiap – tiap rumah pendudukk untuk “ bertemu “ dengan penghuni rumah tersebut. Pada saat para saudagar melihat Cai Shen dating, mereka lalu berlomba – lomba memasang petasan. Kadang-kadang, mereka dapat memasang sampai berjam-jam tanpa berhenti. Keempat pria kekar yang memikul arca Cai Shen itu juga harus menunjukkan keberanian mereka untuk tetap tegar menghadapi berondongan petasan yang tidak jarang dilemparkan ke arah mereka. Untuk keselamatan mereka, sekarang para pemikul itu memakai helm pelindung kepala. Dengan segala keberaniannya mereka menerobos berondongan petasan, melanjutkan tugasnya dari rumah ke rumah, sampai semua petasan terbakar habis barulah mereka memperoleh upah. Konon Xuan Tian tidak menyukai hawa dingin, sebab itu seringkali disebut juga sebagai Han Tan Gong yang berarti datuk dari panggung dingin. Untuk menambah wibawa dan panas arcanya, maka perlu banyak petasan dipasang, agar dapat memberikan perlindungan dan mendatangkan rejeki. Pemujaan Xuan Tan di Indonesia terutama terdapat di Jakarta dan sekitarnya. Di dalam halaman kelenteng Jin De Yuan (Kim Tek I – Hokkian) terdapat sebuah kelenteng kecil yang khusus dibangun untuk pemujaan Xuan Tan Yuan Shuai atau Han Tan Gong ini. Begitu juga di Cileungsi terdapat sebuah kelenteng yang dinbangun pada akhir abad 18. Di dalam rumah banyak dipasang gambar-gambar Cai zi-shou (Cay-cu-siu – Hokkian) yan melukiskan Tiga Orang Dewa yang masing – masing melambangkan Dewa Kekayaan (Cai-shen), Dewa Keturunan atau kebahagiaan (Zi-shen atau Fu-shen) dan Dewa Pangjang Usia (Shou-shen). Gambar tiga dewa ini terdapat dimana – mana dan banyak digunakan untuk perhiasan, pigura, ukiran kayu dan lain – lain. Kebahagiaan,kekayaan dan panjang umur merupakan dambaan manusia, sebab itu mereka mengharap berkah dari para dewa dalam hidupnya. Siapa sebetulnya ketiga dewa ini, dibawah akan kita teliti satu persatu. Tentang Dewa Keturunan atau Dewa Kebahagiaan dicatat kisah seperti di bawah ini Pada jaman Kerajaan Liang pada masa pemerintahaan Kaisar Wu Di ( 502 – 549 M), kaisar mengeluarkan maklumat yang isinya membebankan pajak yang berat pada penduduk kabupaten Dao Zhou, propinsi Hunan dan banyak mengambil orang – orang kerdil dari wilayah itu untuk dijadikan pelayan dan pelawak di istana. Jumlah pajak dan orang – orang kerdil yang diminta oleh kaisar semakin meningkat, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan rakyat. Untung, Yang Cheng yang pada waktu itu menjabat Hakim Tinggi di wilayah Dao Zhou terketuk nuraninya untuk membela nasib penduduk. Ia lalu menerangkan pada kaisar bahwa menurut undang – undang, orang – orang kerdil itu juga termasuk rakyatnya, bukan budak. Kaisar rupanya sadar akan tingkahnya yang menyengsarakan orang, lalu menghentikan perbudakan atas orang – orang kerdil. Penduduk sangat berteima kasih pada hakim budiman ini, terlebih – lebih orang – orang kerdil yang diselamatkan nasibnya. Mereka merasa berhutang budi pada Yang Cheng, lalu membuat arcanya dan memujanya sebagai Dewa Kebahagiaan. Seorang tokoh lain yang dianggap sebagai Dewa Kebahagiaan adalah Li Giu Zu yang dikenal sebagai Zheng Fu Xiang Gong atau Tuan Muda yang melipatgandakan kebahagiaan. Beliau pernah memangku jabatan perdana mentri pada masa pemerintahan Kasiar Wen Di dari Kerajaan Wei, pada masa San-guo (Sam Kok – Hokkian). Masih ada seorang tokoh lagi yang masih popular, yaitu penyelamat dinasti Tang yang pada waktu itu sudah diambang keruntuhan akibat pemberontakkan An Lu Shan. Dia adalah Guo Zi Yi (Kwe Cu Gi – Hokkian). Ia berasal dari Hua-zhou, propinsi Shanxi. Gambarnya seringkali tampak dengan pakaian biru, sambil mendukung seorang anak kecil. Anak itu adalah putranya yang bernama Guo Ai. Menurut cerita Guo Zi Yi mempunyai tujuh orang anak. Karena disertai anak kecil, maka Dewa Kebahagiaan seringkali disebut juga Dewa Keturunan. Tentang Dewa Kekayaan, sudah kita bicarakan diatas, tapi dewa Kekayaan yang dilukiskan dalam tiga serangkai Cai-Zi-Shou ini bukanlah Zhao Gong Ming yang terkenal sebagai Xuan Tan Yuan Shuai itu, tapi adalah seorang yang lahir pada jaman dinasti Jin dan bernama Shi Chong. Riwayatnya Shi Chong ini, sayang tidak berhasil kami lacak. Selain kisah- kisah yang telah kami tuturkan diatas, masih ada anggapan lain bahwa Tian Guan (Thian Koan – Hokkian) salah satu dari San Guan Da Di juga seorang Cai Shen. Sebab itu hari kelahirannya dirayakan pada tanggal 15 bulan satu Imlik. Dewa Panjang Usia atau Shou Xing mulanya adalah seorang dewa dari bintang yang turun ke dunia dalam wujud manusia. Ia berasal dari Bintang Nan-dou (Gantang Selatan). Wujudnya seorang tua berjenggot panjang, dahinya menojol dan membawa tongkat, beserta sebuah Tao atau buah persik. Ia disebut juga dengan panggilan Nan Ji Xian Weng (Lam Kek Sian Ong – Hokkian) atau “orang tua dari kutub selatan”. Qin Shi Huang kaisar pertama dari dinasti QIn (246 – 210 SM) mengadakan sebahyangan pada dewa ini pada tahun 246 SM. Dan sejak itulah persembahan kepada Nan-ji Xian Weng atau orang tua dewa dati kutub selatan ini diteruskan sampai sekarang. Gambar dewa ini sering ditampilkan bersama – sama dengan kelelawar yang terbang di atasnya dan tangannya menggenggam buah Tao. Buah ini adalah buah suci yang menurut cerita bila dimakan manusia, maka panjanglah usianya. Menjangan dan kelelawar keduanya melambangkan kebaikan. Menjangan atau “LU” adalah sama suaranya dengan “LU” yang berarti kekayaan atau kepangkatan. Sedangkan kelelawar atau “FU” sama dengan suara “FU” yang berarti rejeki. Gan Luo adalah Dewa Anak atau Dewa Keturunan juga. Gambar anak yang ada dalam gambar Cai-zi-shou, ada yang berpendapat sebagai gambar Gan Luo. Ia hidup pada jaman Zhan-guo (475 – 221 SM) dan pada usia 7 tahun sudah jadi mentri kerajaan QIn. Sayang, ia tidak berusia panjang. Dia kemudian dianggap sebagai Dewa Anak atau Zi Shen dan banyak dipuja terutama di dalam perumahan. Hari lahirnya tidak jelas.

Tiga Dewa (Fu Lu Shou 福祿壽) kebahagiaan, kemakmuran, dan umur panjang.


Kebajikan ( De 德 )Fu Lu Shou (福祿壽) adalah Tiga Dewa yang juga disebut Fu Lu Shou Sanxing (福祿壽三星; lit. Tiga Bintang Fu Lu Shou). Secara terpisah, mereka adalah Fu Xing, Lu Xing, dan Shou Xing ("Xing" 星 memiliki arti "bintang"). 

Ketiga Dewa ini telah menjadi populer selama berabad-abad dalam kultur tradisional China yang sangat menganggap penting kebahagiaan, kemakmuran, dan umur panjang.
Fu Lu Shou juga merupakan sebuah konsep Keberuntungan (Fu), Kekayaan (Lu), dan Umur Panjang (Shou). 

Konsep Taois ini diperkirakan berasal dari Dinasti Ming, serta dipersonifikasi oleh Bintang Fu, Bintang Lu, dan Bintang Shou. Istilah ini umum digunakan dalam budaya China untuk menunjukkan ketiga ciri kehidupan yang bagus (sempurna).

Di dalam rumah banyak dipasang gambar-gambar Cai zi-shou (Cay-cu-siu – Hokkian) yang melukiskan Tiga Orang Dewa yang masing – masing melambangkan Dewa Kekayaan (Cai-shen), Dewa Keturunan atau kebahagiaan (Zi-shen atau Fu-shen) dan Dewa Panjang Usia (Shou-shen). 

Gambar Tiga Dewa ini terdapat dimana - mana dan banyak digunakan untuk perhiasan, pigura, ukiran kayu dan lain - lain. Kebahagiaan, kekayaan dan panjang umur merupakan dambaan manusia, sebab itu mereka mengharap berkah dari para Dewa dalam hidupnya. 
Siapa sebetulnya ketiga Dewa ini, dibawah akan kita teliti satu persatu. 

Tentang Dewa Keturunan atau Dewa Kebahagiaan dicatat kisah seperti di bawah ini Pada jaman Kerajaan Liang pada masa pemerintahaan Kaisar Wu Di ( 502 – 549 M), kaisar mengeluarkan maklumat yang isinya membebankan pajak yang berat pada penduduk kabupaten Dao Zhou, propinsi Hunan dan banyak mengambil orang – orang kerdil dari wilayah itu untuk dijadikan pelayan dan pelawak di istana. 

Jumlah pajak dan orang - orang kerdil yang diminta oleh kaisar semakin meningkat, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan rakyat. Untung, Yang Cheng yang pada waktu itu menjabat Hakim Tinggi di wilayah Dao Zhou terketuk nuraninya untuk membela nasib penduduk. 

Ia lalu menerangkan pada kaisar bahwa menurut undang - undang, orang - orang kerdil itu juga termasuk rakyatnya, bukan budak. Kaisar rupanya sadar akan tingkahnya yang menyengsarakan orang, lalu menghentikan perbudakan atas orang – orang kerdil. Penduduk sangat berteima kasih pada hakim budiman ini, terlebih - lebih orang - orang kerdil yang diselamatkan nasibnya. 

Mereka merasa berhutang budi pada Yang Cheng, lalu membuat arcanya dan memujanya sebagai Dewa Kebahagiaan. Seorang tokoh lain yang dianggap sebagai Dewa Kebahagiaan adalah Li Giu Zu yang dikenal sebagai Zheng Fu Xiang Gong atau Tuan Muda yang melipatgandakan kebahagiaan. 

Beliau pernah memangku jabatan perdana mentri pada masa pemerintahan Kasiar Wen Di dari Kerajaan Wei, pada masa San-guo (Sam Kok – Hokkian). Masih ada seorang tokoh lagi yang masih popular, yaitu penyelamat dinasti Tang yang pada waktu itu sudah diambang keruntuhan akibat pemberontakkan An Lu Shan. 

Dia adalah Guo Zi Yi (Kwe Cu Gi – Hokkian). Ia berasal dari Hua-zhou, propinsi Shanxi. Gambarnya seringkali tampak dengan pakaian biru, sambil mendukung seorang anak kecil. Anak itu adalah putranya yang bernama Guo Ai. 

Menurut cerita Guo Zi Yi mempunyai tujuh orang anak. Karena disertai anak kecil, maka Dewa Kebahagiaan seringkali disebut juga Dewa Keturunan. Tentang Dewa Kekayaan, sudah kita bicarakan diatas, tapi Dewa Kekayaan yang dilukiskan dalam tiga serangkai Cai-Zi-Shou ini bukanlah Zhao Gong Ming yang terkenal sebagai Xuan Tan Yuan Shuai itu, tapi adalah seorang yang lahir pada jaman dinasti Jin dan bernama Shi Chong. 

Selain kisah diatas, masih ada anggapan lain bahwa Tian Guan (Thian Koan - Hokkian) salah satu dari San Guan Da Di yang juga seorang Cai Shen. Sebab itu hari kelahirannya dirayakan pada tanggal 15 bulan satu Imlek. 

Dewa Panjang Usia atau Shou Xing mulanya adalah seorang Dewa dari bintang yang turun ke dunia dalam wujud manusia. Ia berasal dari Bintang Nan-dou (Gantang Selatan). Wujudnya seorang tua berjenggot panjang, dahinya menojol dan membawa tongkat, beserta sebuah Tao atau buah persik. Ia disebut juga dengan panggilan Nan Ji Xian Weng (Lam Kek Sian Ong - Hokkian) atau “orang tua dari kutub selatan”. 

Qin Shi Huang kaisar pertama dari dinasti QIn (246 – 210 SM) mengadakan sembahyangan pada Dewa ini pada tahun 246 SM. Dan sejak itulah persembahan kepada Nan-ji Xian Weng atau orang tua Dewa dari kutub selatan ini diteruskan sampai sekarang. 

Gambar Dewa ini sering ditampilkan bersama - sama dengan kelelawar yang terbang di atasnya dan tangannya menggenggam buah Tao. Buah ini adalah buah suci yang menurut cerita bila dimakan manusia, maka panjanglah usianya. 

Menjangan dan kelelawar keduanya melambangkan kebaikan. Menjangan atau “LU” adalah sama suaranya dengan “LU” yang berarti kekayaan atau kepangkatan. Sedangkan kelelawar atau “FU” sama dengan suara “FU” yang berarti Rejeki. 

Gan Luo adalah Dewa Anak atau Dewa Keturunan juga. Gambar anak yang ada dalam gambar Cai-zi-shou, ada yang berpendapat sebagai gambar Gan Luo. Ia hidup pada jaman Zhan-guo (475 – 221 SM) dan pada usia 7 tahun sudah jadi menteri kerajaan Qin. Sayang, ia tidak berusia panjang. Dia kemudian dianggap sebagai Dewa Anak atau Zi Shen dan banyak dipuja terutama di dalam perumahan. Hari lahirnya tidak jelas.


Jika anda merasa artikel ini bermanfaat dan menurut Anda bisa mengilhami orang untuk menjadi baik dan berbuat kebajikan, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini; Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.

Perbedaan Dan Persamaan Antara Theravada Dan Mahayana

Oleh Yang Mulia Bhikkhu Dr. Sunanda Putuwar

Theravada1 dan Mahayana adalah dua aliran besar dalam agama Buddha seperti halnya Katholik dan Protestan dalam agama Kristen. Di kedua aliran Theravada dan Mahayana tersebut terdapat banyak sub aliran yang mempunyai aneka ragam cara praktek ritual. Setiap aliran mempunyai kitab suci dan banyak pengikutnya. Maka tidaklah mungkin menyebutkan semua persamaan dan perbedaannya secara rinci. Tulisan ini akan menunjukkan ciri yang umum dan mendasar saja. Ciri yang sebaliknya, saya serahkan kepada pembaca mencarinya sendiri.
Pada jaman Sang Buddha, tidak ada aliran Theravada ataupun Mahayana. Semua ajarannya dikenal dengan Buddhasasana (ajaran Sang Buddha). Tetapi menurut sejarah perkembangan agama Buddha, pandangan sekte mulai muncul setelah Sang Buddha Parinibbana. Hingga Pasamuan Agung (Konsili) Kedua yang berlangsung pada abad ke-5 sebelum Masehi, belum ada uraian tentang adanya sekte. Catatan hanya menunjukkan keberadaan ajaran berbahasa Pali saja "Sekitar permulaan era agama Kristen, suatu kecenderungan bentuk baru muncul dalam agama Buddha…"2
Penyebaran kitab Berbahasa Sansekerta akhirnya mencapai puncak dalam pengenalan dua tradisi agama Buddha yang berbeda :
Perbedaan pandangan dari mereka yang menguraikan setiap bagian tulisan itu menggambarkan pandangannya, dan umat menerimanya untuk diakui. Akan tetapi, kedua aliran Theravada dan Mahayana sama-sama menghormati Buddha Gotama dan mempraktekkan ajarannya.
Selama pemerintahan Raja Asoka di India (abad ke 3 SM), agama Buddha menyebar luas dan sampai ke luar negeri, raja Asoka mengirim duta agama Buddha ke Srilanka , Nepal, Suvarnabhumi (Asia Tenggara) untuk menyebarkan agama Buddha berbahasa Pali. Sedangkan yang lain pergi ke daerah Utara (China) melewati Asia Tengah dan menyebarkan agama Buddha berbahasa Sansekerta.
Selama lebih dari 2000 tahun , dua aliran agama Buddha ini tumbuh dengan kokoh secara terpisah satu dengan yang lainnya. Karena pemisahan geografik para penyebarnya, kesempatan untuk saling mempengaruhi antara keduanya sangat sedikit. Keadaan itu menyebabkan tumbuhnya tembok batas ketidaktahuan dan prasangka di antara kedua aliran ini.
Saat ini, orang dapat mengenali secara geografik bahwa China, Hong Kong, Jepang, Korea, Mongolia, Taipeh (Taiwan), Tibet, Vietnam, dan sebagian besar Nepal sebagai negara Buddhis Mahayana. Sedang Birma (Myanmar), Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan sebagian kecil Nepal dan beberapa bagian India sebagai negara Buddhis Theravada. Dalam dekade Belakangan ini, baik agama Buddha Mahayana maupun Theravada menyebar ke Eropa, Australia, Selandia Baru, Amerika Utara, dan beberapa negara di Benua Afrika.
The World Fellowship of Buddhist, didirikan pada tahun 1940, mengajak semua pengikut Sang Buddha dari berbagai aliran untuk mengadakan konferensi setiap dua tahun sekali.
Pada Halaman W,F.B. Refiew, The Middle Way (sebuah majalah Buddhis yang juga berarti Jalan Tengah, terbit di Inggris), dan penerbitan lainnya, dikatakan bahwa kini umat Buddha dari berbagai negara telah menawarkan pandangan intelektual dan spiritualnya di bawah sistim pendidikan, ilmu pengetahuan, dan tehnologi komunikasi yang modern. Study perbandingan yang obyektif tentang agama Buddha menjadi semakin penting dalam masyarakat akademik di belahan Timur maupun Barat.
Seluruh naskah aliran Theravada menggunakan bahasa Pali, yaitu bahasa yang dipakai di sebagian India (Khususnya daerah Utara) pada zaman Sang Buddha. Cukup menarik untuk dicatat, bahwa tidak ada filsafat atau tulisan lain dalam bahasa Pali selain kitab suci agama Buddha Theravada, yang disebut kitab suci Ti Pitaka, oleh karenanya, istilah "ajaran agama Buddha berbahasa Pali sinonim dengan Agama Buddha Theravada. Agama Buddha Theravada dan beberapa sumber lain berpendapat, bahwa Sang Buddha mengajarkan semua ajarannya dalam bahasa Pali, di India, Nepal dan sekitarnya selama 45 tahun terakhir hidupnya, sebelum Beliau mencapai Parinibbana.
Seluruh naskah aliran Mahayana pada awalnya berbahasa Sansekerta dan dikenal sebagai Tripitaka. Oleh karena itu istilah Agama Buddha berbahasa Sansekerta sinonim dengan agama Buddha Mahayana. Bahasa Sansekerta adalah bahasa klasik dan bahasa tertua yang dipergunakan oleh kaum terpelajar di India, selain naskah agama Buddha Mahayana, kita menjumpai banyak catatan bersejarah dan agama, atau naskah filsafat tradisi setempat lainnya ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Secara umum, para Bhikkhu dari aliran Theravada maupun Mahayana tidak menyediakan waktunya untuk mempelajari ajaran di luar ajaran yang dianutnya. Namun demikian walaupun mereka mengetahui sedikit ajaran yang lain, mereka rupanya menghafalkan ajaran yang terdapat dalam kitab suci yang dianutnya (terutama Theravada). Alasan untuk tidak mempelajari ajaran yang lain, karena isi setiap kitab suci satu aliran amat banyak. Jika kitab suci kedua aliran tersebut dikumpulkan menjadi satu, kira-kira tiga set buku Encyclopedia Britannica.
Alasan lain, jelaslah berkenaan dengan pandangan psikologi bahwa seseorang akan lebih memperhatikan ajaran yang dianutnya. Tujuan utama sebagian besar bhikkhu dari kedua aliran ini adalah praktik, bukan pemujaan.. Dari semua alasan di atas, hanya sedikit bhikkhu yang menyediakan waktu dan tenaganya untuk membuka mata pada ajaran yang lain selain ajaran yang dianutnya.
Para penganut aliran Mahayana menghormati Buddha Sakyamuni dan berbagai Boddhisattva (seperti Maitreya, Avalokitesvara atau Kuan Yin). Mahayana (khususnya di Tibet) memuja semua Buddha terdahulu atau Adi Buddha, Amitabha, Vairocana, Askyobhya, Amoghasiddhi, dan Ratnasambhava, Tantra dan Mandala adalah termasuk praktik dalam Mahayana Tibet.
Sedangkan Theravada tidak mengabaikan adanya berbagai makhluk spiritual di jagad raya ini. Para penganutnya hanya memuja Buddha yang disebutkan dalam Tipitaka, khusunya Buddha Sakyamuni, yang dikenal juga sebagai Buddha Gotama. Theravada tidak memuja para Bodhisatva walaupun mereka memberikan rasa hormat karena kebijaksanaan dan kasih sayangnya yang besar.
Semangat bakti terlihat sangat menonjol di vihara-vihara Mahayana, khususnya di negara-negara yang sangat di pengaruhi oleh kebudayaan China. Hal ini tidak terpopuler di negara-negara Buddhis Theravada kecuali Thailand.
Di Vihara-Vihara Mahayana, para pemuja menggunakan gambar dan relik (termasuk abu kremasi) dari anggota keluarganya yang sudah meninggal. Relik ini kemudian digunakan sebagai obyek sembahyang dan pemujaan. Umat Buddha Mahayana mempersembahkan bunga, dupa, lilin, buah dan makanan, yang secara harfiah untuk menghormati roh dari orang yang telah meninggal. Tradisi ini tersimpan dalam ingatan para anggota keluarga yang telah meninggal.
Pali Sutta diucapkan di Vihara-Vihara, Theravada sedangkan syair-syair suci Sansekerta diucapkan di Vihara-Vihara Mahayana. Sebagai Tambahan dalam Bahasa Pali dan Bahasa Sansekerta logat seperti Birma, China, Jepang, Newari, Thai dan sebagainya dipergunakan tergantung pada kebudayaan setiap penganutnya.
Secara keseluruhan, Vihara-Vihara Mahayana terkesan meriah dan indah, dihiasi dengan gambar beraneka warna, patung dan hiasan lainnya. Vihara-vihara Theravada biasanya tampak sederhana dan miskin dekorasi dibandingkan dengan vihara-vihara Mahayana. Hal yang sama, ritual Mahayana jauh lebih meriah susunannya daripada praktik ritual Theravada.
Semua Vihara berisi berbagai macam simbol yang sakral, sebagian besar adalah patung Buddha Sakyamuni. Ditambah lilin, bunga, dan dupa yang biasa dipersembahkan, sebagai simbol-simbol ajaran (seperti bunga untuk anicca atau ketidakkekalan).
Juga umum dari kedua aliran tersebut simbol bendera Buddhis, gambar Sang Buddha, pohon Bodhi, dan Patta. Di Vihara-vihara Mahayana orang mendapatkan bermacam-macam simbol sakral lainnya yang juga dipandang sebagai perlengkapan spiritual termasuk ikan terbuat dari kayu, kepala naga, kendi, genta, tambur, dan sebagainya.
Kecuali genta dan tambur, yang kadang-kadang juga terdapat di vihara-vihara Theravada di Thailand. Orang sulit memperoleh perlengkapan keagamaan yang bermacam-macam di vihara Theravada, karenanya praktik ritual Theravada tidak begitu sulit dibandingkan dengan Mahayana.
Bhikhu-bhikkhu Tibet mengenakan jubah berwarna coklat tua atau merah hati, disesuaikan dengan tubuhnya. Di China, Korea, Taipeh (Taiwan) dan sebagainya, para Bhikkhu mengenakan jubah berwarna kuning jingga (kuning kunyit).
Para Bhikkhu Mahayana Vietnam setiap harinya menganakan ao trang (jubah coklat) dan ao luc binh (jubah tidak resmi atau untuk bekerja), dan dalam kesempatan resmi mereka mengenakan ao hau (jubah upacara bagian luar). Para Samanera mengenakan ao nhut binh (jubah berwarna coklat atau warna langit/pelengkap pakaian). Itulah jubah berwarna kuning kunyit dengan sedikit perbedaan bentuk.
Bhikkhu-bhikkhu Theravada selalu menggunakan civara dan antara vasaka dua kain panjang, yang dikenakan sebagai jubah. Pada kesempatan resmi, sanghati, kain panjang jubah yang dilipat dengan rapi dikenakan dibahu kiri (seperti memakai selendang). Jubahnya dapat berwarna kuning kunyit, kuning kulit kayu, kuning kemerahan atau merah hati.
Di Jepang, para bhikkhu menggunakan jubah berwarna putih dengan sedikit jubah lapis berwarna kuning kunyit di luar jubah warna putih.
Para penganut agama Buddha Theravada bertujuan mencapai Nirvana (Nibbana) dengan menjadi Arahat (orang yang mencapai kesucian tertinggi, juga disebut Savaka Buddha). Theravada menekankan bahwa pencapaian Arahat adalah tujuan terakhir hidup ini, setelah itu tidak ada kelahiran lagi.
Sedangkan Mahayana menekankan bahwa terdapat kelahiran kembali bagi seorang Arahat, seperti Sariputra, Moggalana, dan orang-orang suci lainnya, dan juga menekankan bahwa benih-benih Kebuddhaan ada pada semua orang. Aliran Mahayana bertujuan untuk mencapai Kebuddhaan (menjadi Sammasambuddha) dengan mengikuti jalan Bodhisatva. Mahayana memandang Bodhisatva sebagai makhluk yang telah mencapai penerangan sempurna , sedang Theravada menyatakan bahwa Bodhisatva adalah makhluk yang belum mencapai penerangan sempurna.
Untuk para penganutnya, Theravada lebih menekankan pada penanaman kebijaksanaan, pengertian dan pengamalan daripada kepercayaan dan cinta kasih. Sebaliknya, Mahayana lebih banyak menekankan pada kepercayaan dan kasih sayang daripada pengamalan, pengertian, dan kebijaksanaan. Walaupun adanya perbedaan penekanan tersebut, kedua aliran sama-sama menerima semua kebajikan (paramita) tersebut dan berbagai ajaran Sang Buddha yang penting lainnya.
Pureland Buddhist (Sekte Sukhavati, salah satu aliran Mahayana) mempercayai adanya penyelamatan kerena keyakinan. Sutra Bunga Teratai (Saddharma Pundarika Sutra) mendukung ajaran ini. Orang sulit menemukan adanya penekanan pada kepercayaan dalam aliran Theravada.
Para bhikkhu hidup tidak menikah, baik dalam Theravada maupun Mahayana. Menurut catatan sejarah Theravada, Sangha Bhikkhuni tidak ada lagi karena berbagai macam sebab di India dan di berbagai belahan dunia lainnya kira-kira 500 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana. Tidak ada bhikkhuni lagi dalam Theravada kecuali mereka yang menjalani sepuluh sila atau Anagarika, yang tidak menerima penahbisan secara penuh.
Sebaliknya, Mahayana mempertahankan bahwa Sangha bhikkhuni tidak pernah lenyap dari dunia ini. Pada aliran Mahayana terdapat Samaneri (calon bhikkhuni dan Sangha Bhikkhuni adalah pasamuan para bhikkhuni). Sebagian orang berpendapat bahwa Mahayana lebih mengutamakan pengikutnya, sedangkan Theravada lebih menekankan pada pertapaan atau kebhikhhuan.
Sejumlah sesepuh Mahayana( yang menyatakan dirinya sebagai seorang yang menjalani kehidupan pertapa dari aliran Mahayana tertentu dan berjubah ala bhiksu). Di Tibet, dan banyak pula sesepuh-sesepuh Mahayana demikian di Jepang yang menikah dan menjalani kehidupan berkeluarga.
Sebagian besar kependetaan Mahayana diberbagai bagian dunia seperti China, Korea, Vietnam dan Taiwan dan sebagainya adalah para bhikkhu oeh karenanya mereka membujang. Semua Bhikkhu Theravada juga membujang.
Dalam praktek yang nyata sedikit perbedaan diantara keduanya. Selain, sebagian besar bhikkhu-bhikkhu Mahayana menjalani vegetarian, tetapi pada umumnya mereka makan setelah tengah hari. Sebaliknya, sebagian besar bhikkhu Theravada tidak menjalani vegetarian baik sarapan dan makan siang akan tetapi mereka tidak makan setelah tengah hari.
Keduanya mempunyai alasan berakar dari sejarah tradisi dan kebudayaan dari penganutnya untuk melakukan atau tidak melakukannya.
Di kedua Nikaya atau sekte, umat awam suka berdana meteri untuk kepentingan vihara. Dalam Theravada, umat awam membungkukkan diri di depan para bhikkhu atau beranjali dan para bhikkhu memberkahi mereka dengan berkata "Semoga anda berbahagia" dan seterusnya. Akan tetapi bhikkhu Theravada tidak membalas kembali salam umat dengan cara yang sama, juga tidak dengan beranjali.
Di dalam Mahayana pun, umat awam menghormatinya dengan membungkukkan diri kepada para bhiksu atau dengan beranjali bersama. Tetapi dalam kebiasaan ini (khusunya Vietnam dan Jepang) para bhikkhu membalas kepada umat awam dengan cara yang sama dengan yang dilakukan oleh pemberi hormat. Begitulah, perbedaan kebudayaan para penganut yang ada di berbagai negara dari yang jelas nampak dalam praktek religius masyarakat.
Sesungguhnya, sepanjang mengenai pelaksanaan praktek moral, sedikit sekali perbedaan kedua aliran agama Buddha ini. Sebagai contoh, menghindari pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong dan mabuk-mabukan (Pancasila Buddhis) adalah prektek utama bagi umat Buddha dari kedua aliran ini. Sebagian besar Vinaya lainnya hampir serupa. Dimana ada perbedaan di antara mereka, itu dikerenakan mereka menambah kekayaan filsafat agama Buddha dan atau kerena perbedaan budayanya.
Sebagian besar umat Buddha baik dari Theravada maupun Mahayana merupakan para dermawan yang tulus. Dan keduanya berpendapat bahwa para bhikkhu adalah guru spiritual mereka. Namun, karena keakraban mereka dengan para bhikkhu sesuai dengan aliran yang dianutnya yang mereka kenali dengan bentuk dan corak jubahnya, umat awam merasa lebih dekat dengan bhikkhu dari aliran mereka sendiri.
Selain itu, ada beberapa contoh dimana umat awam yang saleh dalam hal menyampaikan kedermawanannya kepada para bhikhhu, setidak-tidaknya dalam tertentu tingkat ;
Kadang-kadang, dermawan dari salah satu aliran itu mengundang para bhikkhu dari Mahayana dan Theravada ke rumahnya, berdana makanan dengan hidangan yang terbaik dan setelah itu memohon berkah. Perwujudan dan kesalehan demikian menunjukkan praktek teladan seorang umat awam, tanpa mengabaikan atau mempunyai prasangka terhadap aliran lainnya.
Demikianlah, pernyataan persatuan dan kemurnian itu terwujud sesuai dengan ajaran Sang Buddha yang sesungguhnya.
KESATUAN DAN SERASI
Baik umat Buddha Theravada maupun Mahayana merupakan umat yang penuh damai dan terbuka pikirannya, menganut metta atau cinta kasih dan kebijaksanaan. Untuk memperkuat kesatuan yang lebih serasi di antara penganut ke dua aliran besar itu, kita harus mengerti dan mau mempelajari satu sama lain. Dengan cara ini, kita dapat melarutkan jurang pemisah dalam pengetahuan kita.
Para bhikkhu dan pandita serta pemimpin dari kedua aliran itu harus meluaskan pengertian dan kemauannya untuk bekerja sama (baik dalam hal material maupun spiritual), mempelajari atau mendengar lebih banyak pengetahuan selain dari kebiasaan yang mereka miliki. Di jaman sekarang ini, penting artinya agar kita dapat bekerja sama, mengatasi persoalan bersama, dalam mencapai Kebuddhaan atau Nibbana.
Tidak ada masalah, apa aliran agama Buddha yang dianut seseorang. Jika ia mempraktekkan ajaran dengan baik, dia akan mendapat hasil yang baik, pengetahuan akan kesunyataan. Melihat kebenaran, menembus makna Kebuddhaan.
Barang siapa mempraktekkan ajaran-Ku, dia telah melihat aku, demikian sabda Sang Buddha.
Dunia terasa semakin kecil sehubungan dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Sebagai akibatnya, umat mulai bersama-sama mencari segi-segi ilmiahnya. Banyak di antara mereka yang mengadakan diaalog tentang paham ajaran mereka dengan baik bersama-sama semua aliran, tidak hanya aliran khusus yang mereka anut.
Jika kita, baik penganut/umat Mahayana maupun Theravada tidak cukup mengetahui kebiasaan aliran lainnya, kita akan ketinggalan. Kita juga tidak siap ambil bagian dalam dialog antar agama. Persatuan di antara aliran-aliran agama Buddha akan bermanfaat bagi semua umat Buddha.
Jika kita menambah pengetahuan dan menghargai aliran lain, serta jika kita benar-benar mulai melihat semua umat Buddha sebagai satu kesatuan umat beragama, kemungkinan untuk bekerjasama, belajar bersama, dan saling menopang akan bertambah.
Oleh karena itu, baik perorangan maupun kelompok, kita seharusnya berusaha untuk saling mempelajari satu sama lain dan mencapai kesatuan, baik spiritual dan sosial.
Resiko dalam mendiskusikan dan mempelajari aliran lain adalah anda mungkin dapat merasa goyah terhadap kebiasaan dan praktik aliran yang anda anut. Pandangan itu mungkin akan mempengaruhi keyakinan dan praktek anda.
Sebagai akibatnya, pandangan konservatif pada aliran yang anda anut mungkin akan membuat anda tidak memilih Mahayana saja ataupun Theravada saja. Bagi mereka ini mungkin tidak tahu di mana tempat yang sesuai baginya.. Kebebasan anda mungkin menyebabkan anda gelisah dan merasa sukar. Akan tetapi, baik Theravada maupun Mahayana tentu akan menyambut anda dengan sepenuh hati sebagai rasa cinta kasih dan hormat pada saudara. Dalam hal ini, diri anda adalah guru bagi keputusan dan pertimbangan anda sendiri.
Kebesaran hati dinyatakan dengan perbuatan yang benar, bukan dengan kata-kata yang tinggi. Kebijaksanaan diwujudkan dengan perbuatan bijak, bukan dengan kesombongan. Sebagai pengikut Sang Buddha yang maha welas asih, kita perlu menunjukkan cinta kasih dan kasih sayang yang sama kepada umat Buddha, umat agama lain bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya.
Sebagai umat atau penganut Buddha, kita adalah orang yang menunjukkan tentang kebijaksanaan Sang Buddha yang universal, akan tetapi karena adanya pandangan sekte, hal tersebut kadang-kadang menjadi berkurang nilainya.
Kita harus lebih mengembangkan cinta kasih, kasih sayang, dan kebijaksanaan di antara kita sebagai umat Buddha, sebelum kita dapat memberikan teladan cinta kasih kepada dunia.
Vietnam memberikan sebuah contoh yang bagus dalam pembauran antara tradisi Mahayana dan Theravada. Di Vietnam, terdapat kesan saling tidak tertarik dan keanekaragaman di antara kita, dengan pengetahuan empiris dan saling menghargai.
SARAN
Dengan tujuan seperti tersebut di atas, saya menganjurkan kepada para bhikkhu Mahayana dan Theravada untuk saling mempelajari dan memahami tradisi masing-masing dengan baik. Dan menjelaskan kepada para umatnya bahwa Mahayana dan Theravada hanya merupakan dua aliran yang berbeda, bukan sekte yang asing bagi agama Buddha. Keduanya berasal dari Sang Buddha, Yang Maha Bijaksana dan Maha Welas Asih, yang tak terbatas bagi semua makhluk.
"samagganam tapo sukho". Persatuan merupakan kebahagiaan demikianlah Sang Buddha menyabdakan.
Untuk melengkapi bagian akhir tulisan ini para bhikkhu dan umat awam Theravada di Burma, Sri Lanka, Thailand dan lainnya hendaknya memperluas programnya dalam pertukaran pelajaran dengan para bhikkhu dan pemimpin umat Mahayana dari China, Korea, Jepang, Mongolia, Taiwan, Tibet, Vietnam, dan sebagainya. Demikian pula negara-negara Mahayana seperti China, Jepang, Korea, Vietnam, dan lainnya harus memberi kesempatan lebih banyak kepada para bhikkhu dan pemimpin umat Theravada untuk mempelajari agama Buddha Mahayana.
Para Bhikkhu Mahayana dan Theravada hendaknya mendorong untuk mempelajari, mengajar , bertemu, dan juga hidup bersama sedikitnya dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian mereka dapat mengembangkan rasa persaudaraan yang lebih besar dalam kegiatan mereka sehari-hari. Dengan cara ini, setiap aliran mempunyai kesempatan untuk menjelajahi ajaran lainnya dan menguji pandangannya secara kritis tentang kebiasaan, teori dan paraktiknya.
Secara pribadi, saya pernah mempelajari dan mengajar Theravada dan Mahayana dan saya hidup bersama dengan para bhikkhu dari kedua aliran itu cukup lama. Saya melihat bahwa keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan di dalam praktik yang saya saksikan sendiri maupun dari para bhiksu kenalan saya. Dari pengalaman yang menguntungkan itu, saya memberikan saran-saran ini.
Haruskah seseorang mempelajari ajaran lain lebih banyak daripada ajaran yang dianutnya sendiri? Tidak perlu! Jika seseorang ingin mencurahkan dirinya semata-mata untuk praktek spiritual dan mencapai Nibbana atau Kebuddhaan, masing-masing ajaran mempunyai petunjuk yang cukup untuk mencapai tujuan itu.
Memepelajari ajaran lainnya penting bagi mereka yang ingin memperluas pengertian atau pengetahuannya dan jika ia berhadapan dengan penganut ajaran lainnya. Seseorang yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang ajaran lainnya dapat menyakitkan hati orang lain, walupun tanpa ada maksud melakukan hal itu. Seseorang dapat berbuat demikian melalui tingkah laku atau ucapan tertentu dengan suatu lelucon atau sindiran. Jika seseorang ingin dirinya dan keyakinannya dihargai, dia juga harus menghormati dan menghargai orang lain.
Di satu sisi, Theravada dianggap lebih konservatif daripada Mahayana, dimana Theravada memelihara ajaran Sang Buddha tanpa banyak menambahkan pandagnan atau pendapat pribadi. Sebaliknya, Mahayana dianggap lebih terbuka daripada Theravada dalam menginterpretasikan ajaran-ajaran Mahayana membuat pembagian yang besar dalam filsafat Buddhis, seperti filsafat Madhyamika dan Yogacara. Keduanya baik yang konservatif ataupun yang terbuka mempunyai nilai tersendiri dan harus dihormati satu dan yang lainnya.
Yang penting, bahwa hal-hal tersebut di atas lazim diakui dan ditekankan dalam Theravada dan Mahayana secara agama dan filsafat, Theravada dan Mahayana menerima;
Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan (Paticcasamupada)
Dan doktrin atau ajaran inti lainnya, meskipun perluasan komentarnya berbeda-beda.
Sesunguhnya hanya ada satu yana atau kendaraan. Tujuan terakhir sesungguhnya yang dari semua umat Buddha adalah sama, apakah itu disebut Nibbana atau Kebuddhaan. Sang Tathagatha pernah bersabda "Semua makhluk adalah anak-anak-Ku."3
Di zaman kemajuan dunia sekarang ini hak asasi, kesamaan dan perbedaan antara yang satu dengan yang lain harus diakui dan dihormati dengan bertindak sebagai seorang Buddhis yang baik dan mau bekerjasama.
Dikutip dari: http://www.artikelbuddhis.com/2010/09/perbedaan-dan-persamaan-antara.html

Buddisme di Jepang dan Aliran-Alirannya

Buddisme di Jepang dan Aliran-Alirannya
(Zen, Amida/Tanah Suci dan Nieciren Sozu)

A.    PENDAHULUAN
Di Jepang, budhha menempati urutan ke dua terbesar setelah Agama Shinto yaitu 89 juta orang. Penyebaran dan pekembangan buddhis di jepang beserta Kemunculan sekte-sektenya tidak lepas dari factor-faktor yang mempengaruhi baik social maupun politik. Dalam Makalah ini dijelaskan tentang Sejarah Buddhisme jepang dan perkembanganya, serta kemunculan sekte-sekte budhhisme di jepang.
Sebagai pendahuluan, penulis menyampaikan Terimakasih yang mendalam kepada Ibunda Dra. Hj. Siti Nadroh selaku dosen pembimbing saya dalam matakuliah Buddhisme yang telah memberikan saya kesempatan untuk berpartisipasi menyusun makalah yang berjudul “Buddhisme di jepang dan Aliran-Aliranya” ini. Menyadari bahwa makalah yang berada dihaadapan pembaca ini masih terdapat banyak kekurangan, patut saya  ucapkan mohon maaf yang sedalam-dalamnya. Adapun segala bentuk kritik dan saran dari pembaca sangatlah berharga bagi saya sebagai pemula, karena itu sudikiranya pembaca dapat memakluminya.

Demikianlah Pendahuluan ini saya sampaikan, Harapan saya semoga Makalah yang sangat sederhana ini sedikit-banyaknya dapat bermanfaat untuk saya pribadi dan juga untuk segenap para pembaca.
Terimakasih.
                                                                        Ciputat, 02-Mei- 2013
                                                                                    Penyusun
A.    Buddisme di Jepang dan Sejarah Perkembanganya
B.     Sejarah Buddhisme di Jepang
Agama Buddha masuk ke Jepang diperkirakan pada abad ke-6. ketika sebuah kerajaan kecil di Korea mengirimkan sebuah delegasi kepada Kaisar Kimmeo Tenno di Jepang. Di samping membawa hadiah, delegasi tersebut juga meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agama Buddha. Suku Soga menerima agama ini, tetapi suku-suku lainnya menolak karena dianggap menghina kepercayaan mereka, terutama para dewa mereka[1].
Tokoh utama dalam penyebaran agama Buddha di Jepang adalah Pangeran Shotoku Taishi (547-621 M) yang naik tahta pada 593 M yang peranannya dalam agama Buddha dapat disejajarkan dengan Raja Asoka di India. Ia juga menjadikan agama Buddha sebagai agama Negara, dan ia juga menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti, dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhis di Jepang hingga hari ini. Pada tahun 607 M, ia mendirikan kuil-kuil di Nara dan Haryuji yang merupakan kuil tertua dan masih berdiri sampai sekarang.
Kemudian, pada periode pemerintahan Nara yaitu pada tahun 710-884 M, agama Buddha mengalami kemajuan yang sangat pesat, karena banyak suku dan bangsawan berpengaruh dan memeluk agama Buddha. Pada periode ini muncullah enam sekte. Seperti yang telah disebutkan di atas, namun yang masih bertahan hanyalah sekte Hosso yang berpusat di kelenteng Kofukuji dan Yakushiji, serta sekte Kegon yang berpusat di kelenteng Todaiji dan sekte Ritsu yang berpusat di kelenteng Toshodaiji.[2] Pada zaman Kamakura mulai timbul feodalisme di Jepang. Aliran-aliran agama Buddha yang tumbuh dalam suasana feodalisme tersebut di antaranya adalah Zen yang diperkenankan oleh Eisai (1141-1215), Dogen (1200-1253) serta Nichiren yang didirikan oleh Nichiren (1222-1282).
C.    Aliran-Aliran Buddisme di Jepang
1.      Aliran Zen
Zen adalah salah satu aliran Buddha Mahayana.Kata Zen berasal dari bahasa Jepang.Sedangkan bahasa Sansekerta nya, Dhyana.Di Cina dikenal sebagai Chan yang berarti meditasi.Aliran Zen memberikan fokus pada meditasi untuk mencapai penerangan atau kesempurnaan. Aliran Zen dianggap bermula dari Bodhidharma. Ia berasal dari India dan meninggalkan negaranya menuju ke tiongkok, lalu berdiam di kanton pada tahun 520 M Bodhidarma itulah yang menjadi Imam pertama di tiongkok. Aliran Zen asli kemudian diteruskan sampai ke generasi ke-6 Hui Neng.Setelah itu aliran Zen berpencar di Tiongkok, dan Jepang.
Di Tiongkok (China) madzhab Mahayana berbenturan dengan Taoism dari Lao Tze (604-531 SM), dan dengan Cofucianism dari Kong Fu Tze (551-479), dan di Jepang berbenturan dengan Shintoism, dan perbenturan itu menimbulkan saling-pengaruh di dalam sejarah perkembangan aliran-aliran Mahayana di Tiongkok dan di Jepang.[3]
Mahayana pertama kali diperkenalkan ke Jepang lewat Korea, ketika raja Kudara mengirimkan Kitab-kitab dan Arca-arca Budhis kepada Kaisar Jepang pada mulanya agama baru ini ditentang, akan tetapi lambat laun diterimaSejak tahun 552 Masehi Buddhisme telah masuk ke Jepang dari Korea dan Tiongkok Ajaran-ajaran Budhisme dapat tersiar di jepang dengan cepat setelah timbul anggapan bahwa dewa-dewa Buddhisme dapat dipersamakan dengan dewa-dewa Shintoisme. Sebenarnya ada dua pendirian dalam Budhisme Jepang ini yaitu di satu  pihak ingin mencapai kelepasan dengan usaha sendiri. Pendirian inilah yang disebut Zen Budhisme, Sedang dipihak lain ingin melepaskan diri atas dasar kepercayaan bahwa kelepasan itu dapat ditolong oleh yang maha gaib (dewa-dewa). Pengikut Zen, berusaha mencapai ilham tertinggi dengan kontemplasi (latihan-latihan rohaniah yang mendalam) Untuk itu orang yang berkontemplasi harus dapat mendisiplinir diri serta memiliki ketenangan batin setinggi-tingginya[4]
Mahakasyapa mentransmisikan jiwa Dharma kepada Ananda, yang telah menjadi siswa langsung Sang Buddha selama dua puluh tahun kehidupannya di dunia.Ananda meneruskannya kepada Sanakavasa, muridnya dan seterusnya. Dari mahakasyapa di abad ke-5 SM hingga kepada Bodhidharma di abad ke-6 M, transmisi ini dilanjutkan dalam satu garis guru-guru spiritual, sebagian kurang dikenal dan sebagian lagi merupakan nama-nama paling top dalam sejarah agama Buddha di India. Daftar nama-nama guru ini, yang secara tradisional dikenal sebanyak Dua Puluh Tujuh Dua Puluh Delapan dengan Bodhidharma Sesepuh Zen dari India adalah sebagai berikut : Mahakasyapa, Ananda Sanakavasa Upagupta Dhritaka Michchaka Vasumitra Buddhanandi Buddhamitra Parshva Punyayashas Ashvaghosha Kapimal Nagarjuna Kanadeva Rahulata Sanghanandi Gayasata Kumarata Jayata Vasubandhu Monorhita Haklena Aryasimha Basiasita Punyamitra Prajnatara dan Bodhidarma.
Studi dafta ini mengungkapkan hubungan yang sangat dekat antara Zen dan apa yang dikenal sebagai tradisi pusat Agama Buddha India. Dialah Bodhidharma yang termahsyur, sesepuh kedua puluh delapan dari India—yang dalam lukisan kuno digambarkan sebagai seorang yang menyebrangi lautan dengan daun bambu—yang membawa Zen ke Cina, dengan sendirinya menjadi sesepuh pertama dari Cina. Apa yang ia bawa ke Cina bukanlah Zen dalam bentuk seperti yang kita kenal saat ini bersama dengan doktrin-doktinnya, kitab suci, dan organisasi viharanya, melainkan semangat atau jiwa yang ia turunkan kepada muridnya Hui Ko, yang kemudian menurunkannya pada muridnya lagi hingga sesepuh  yang ke-6. Master-master ini dikenal sebagai Enam Sesepuh Aliran Zen dari Cina, Yakni :
1.         Bodhidharma (lahir sekitar 440 - meninggal sekitar 528)
2.         Hui K`o (lahir 487 - meninggal 593)
3.         Jianzhi SengTs`an (meninggal 606)
4.         Dayi Tao Hsin(lahir 580 - meninggal 651)
5.         Hung Jen (lahir 601 - meninggal 674)
6.         Hui Neng / Wei Lang(lahir 638 - meninggal 713)
            Karena kejeniusan Hui Neng, ia mengajarkan kembali kepada 43 orang. Sesudah itu banyak sekali garis transmisi, namun ada dua diantaranya yang sangat berperan hingga sekarang.Kedua garis keturunan ini diwakili oleh aliran Sotodan aliran Rinzai.[5]
            Aliran Chan / Zen itu bersikap agak bebas terhadap mempelajari berbagai Mahayana-Sutras, tidak hendak mengikatkan diri kepada Sutras tertentu.Begitupula terhadap berbagai aliran filsafat dan theogoni didalam madzhab Mahayana.Bahkan tidak hendak memperbincangkannya secara serius.Aliran ini lebih mengutamakan pendekatan secara kerohanian (intuitif) untuk mencapai kesadaran tertinggi.
Sifat kepribadian pada aliran Zen itu amat kuat hingga kurang menaruh hormat terhadap patung-patung pujaan.Dengan begitu aliran ini dapat dikatakan bersifat iconoclastic, yakni menantang pemujaan patung-patung berhala itu, karena pujaan-pujaan lahiriah itu tidak membawa kepada tujuan tertinggi.
Titik berat ajaran ini lebih mengutamakan disiplin, yakni : ketaatan dan kidmat yang sepenuh-penuhnya kepada sang guru, Cuma sang guru saja resmi dan pasti dapat menuntun seseorang murid kepada pencerahan dan kebenaran, guna mencapai kepribadian-Budha. Karena aliran ini berkeyakinan bahwa kepribadian Budha itu hidup membenam dalam diri manusia, dan melalui renungan di dalam Samadhi, maka kepribadian-Budha itu dapat dilihat. Samadi yang dilakukan terbagi menjadi dua yaitu[6] :
§  Tathagatha-Meditation, yaitu cara Samadhi dari Buddha Gautama, mempergunakan kodrat-kodrat renungan.
§  Patriarchal-Meditation, yaitu cara Samadhi yang diajarkan Patriarch Bodhidharma, yaitu meniadakan pikiran dan memusatkan kesadaran rohani bagi mencapai kepribadian-Budha.
Menurut aliran ini, bukanlah dengan kepercayaan yang dapat membawa manusia identik dengan Budha, melainkan dengan tafakkur yang dalam.Aliran ini berfaham Pantheistis (kesatuan dewa dengan alam semesta).Manusia dapat menjadi identik (sama) dengan Budha bilamana ia melakukan Meditasi yang dalam berdasarkan intuisi. Meditasi demikian kemudian dipengaruhi oleh Taoisme. [7] Meditasi adalah latihan yang diterima secar universal oleh semua filsuf, orang suci, dan petapa India dan Budha tidak memiliki alasan untuk menolaknya.Sebenarnya praktik meditasi merupakan salah satu ciri kebudayaan moral di Timur.[8]
        Dalam perkembangannya, Zen di Jepang terbagi dalam aliran Soto Zen dan Rinzai Zen. Aliran Soto mengembangkan ajaran pencerahan yang hening.Ciri aliran ini adalah ketenangan, menekankan kerja dalam keheningan serta kepatuhan. Metode yang dilakukan untuk mencapai ketenangan adalah melalui Za-zen, yaitu meditasi dalam posisi duduk bersila.
        Aliran Rinzai berusaha mencapai penerangan dengan menggunakan penerangan cara Koan dan Mondo. Koan dan Mondo merupakan usaha untuk mencapai penerangan secara aktif.Aliran ini sifatnya lebih dinamis dan aktif dibanding aliran Zen.[9]Koan adalah suatu problem semacam teka-teki, kecuali untuk pikiran yang sadar koan biasanya terdiri dari satu kata atau frasa tanpa arti, atau sebyah pernyataan yang tampaknya nonsense dari sudut pandang umum.Namun koan bertindak sejenis cantelan yang dengan itu pikiran dapat terkait sendiri sejenis cantelan yang dengan itu pikiran dapat terkait sendiri sehingga dapat menyisihkan pemikiran-pemukiran yang ngawur dan pertimbangan-pertimbangan intelektual. Contoh-contoh koan yang diberikan kepada para pemula adalah Mu, yang secara literal berarti “tidak ada apa-apa”, Sekishu, yang berarti “suara satu tangan”, soku shin souk butsu, artinya “satu pikiran, satu budha” Honrai-nomemmoku “bagaimana wujud aslimu sebelum ayah dan ibumu memperanakkan kamu?” dan Nanimono ka immoni kitaru?, yang berarti “darimana Anda datang?[9]
2.      Aliran Amida
Sekte Amida, atau sering disebut dengan nama ‘Tanah Suci’, mengemukakan ajaran keselamatan dengan cara mempercayai Buddha secara mutlak dan menyebut Amida, seseorang yang akan mendapat keselamatan. Objek pemujaannya adalah patung Amida Buddha serta dilengkapi dengan patung Bodhisatwa Kwan On dan patung Deiseishi.
Kita mengenal adanya Amitabha Buddha berdasarkan sabda Sakyamuni Buddha yang tercatat didalam beberapa kitab suci, antara lain : Amitayurdhyana Sutra, Maha Sukkhavativyuha Sutra, Sukhavativyuha Sutra, dan sutra-sutra lainnya. Ketiga sutra ini adalah sutra pokok bagi agama Buddha Mahayana aliran Tanah Suci (Pure Land).
Amitabha/Amitayus Amita Buddha mengandung falsafah beliau yang telah mengatasi ruang dan waktu, juga merupakan lambang dari cinta kasih, berkah karunia dan kebijaksanaan yang tak terbatas. Didalam Maha Sukhavativyuha Sutra dikatakan bahwa sebelum menjadi Buddha Amitabha, dulunya beliau adalah seorang bhiksu bernama Bhiksu Dharmakara, yang hidup dijaman Buddha Loke vara-raja, dimana Bhiksu Dharmakara telah mengikrarkan 48 prasetya agung/janji suci tentang negeri Buddha-Nya yang akan terwujud apabila Dia mencapai penerahan sempurna (Amuttara Samyaksambodhi).
Dari sabda Sakyamuni Buddha kita mengetahui bahwa Bhiksu Dharmakara telah mencapai pencerahan sempurna, dikenal sebagai Amitabha Buddha) dan surganya bernama Sukhavati (Kebahagiaan Yang Terluhur) atau disebut juga Tanah Suci yang letaknya di sebelah barat dari dunia saha.Berdasarkan kenyataaan ini, Sakyamuni Buddha memberikan rekomendasi kepada umat manusia untuk memuja-Nya dan bertekad untuk bertumimbal lahir di Surga Sukhavati. Didalam Vihara aliran Sukhavati, dijumpai gambar/rupa amitabha Buddha yang diapit oleh bodhisattva Avalokitesvara di sebelah kirinya dan Bodhisattva Mahasthamaprata di sebelah kanannya, kadang-kadang dilukiskan pula bersama-sama dengan 25 Bodhisattva Mahasattva pengikutnya[10].
3.      Aliran Nichiren Sozu
Agama Buddha menyebar dari India ke Tiongkok, lalu ke Korea, dan dari Korea lalu masuk ke Jepang. Berbeda dengan agama lain, agama Buddha sangat terbuka alias terus terang mengungkapkan dasar pokok pendirian sektenya, atau alasan Buddhaloginya. Dalam terminologi buddhisme dinamakan dasar sutra. Sutra adalah catatan tertulis dari ajaran sang Buddha Sakyamuni, dan jumlahnya mencapai puluhan ribu buah. Secara logika tentunya teramat sulit untuk mengetahui apa lagi memahami dan menguasai semua sutra-sutra itu. Sehingga secara aktual penganut awan Buddhisme biasanya mengacu kepada Bhikku sebagai guru dharma pribadi masing-masing. Setelah Sang Buddha Sakyamuni meninggal, Air Dharma diwariskan kepada Ananda, dan Ananda mewariskan kepada penerus-penerus berikutnya antara lain Nagarjuna, Vashubandu, Tien Tai, Dengyo dan seterusnya. Kalau dilihat dari dasar buddhalogi, Nichiren Shoshu berawal dari Saddharma Pundarika Sutra versi terjemahan dari Kumarajiva, serta Sastra Ichinen Sanzen, Hokke Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, karya maha guru Tien Tai, maha guru Mio Lo, maha guru Dengyo.
Setelah lebih dari 20 tahun mempelajari berbagai sutra dari sekte-sekte di berbagai kuil, maka beliau berkesimpulan hanya Saddharma Pundarika Sutra yang merupakan sebagai ajaran terpokok dari Buddha Sakyamuni yang bisa menyelamatkan umat manusia dari berbagai penderitaan hidup dan mati. Sejak itu beliau menyebut diri Nichiren.
Yang bertujuan untuk mengembalikan ajaran Budha kepada bentuk yang murni yang akan menjadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat jepang, dan menolak ritualisme dan sintementalisme aliran tanah suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis tetapi eksklusif[11]
2.      Ajaran Dasar Nichiren Daishonin
Nichien Daishonin melakukan pembaharuan yang radikal terhadap ajaran-ajaran dari seluruh sekte yang ada, kecuali pada sekte Tendai, ia tidak menolak ajarannya secara keseluruhan. Karena alirannya memang baerdasar dari ajaran Buddha Sakyamuni melalui jalur sekte Tientai.
a.       Tiga Hukum Rahasia Agung (San dai hi ho), yakni dengan mengucapkan mantra Tiga Hukum Rahasia Agung dimulai dalam “Jangka Waktu Hidup Tathagata,” Bab XVI
Saddharma Pundarika Sutra. Diantaranya adalah[12]:
1.      Honmon no Honzon adalah Yang Patut Dimuliakan, kita harus memuja Buddha Sakyamuni Abadi, yang telah menyelamatkan semua mahluk dari penderitaan dan ikatan siklus lingkaran kelahiran dan kematian. Dalam Bab XVI Saddharma Pundarika Sutra, Buddha Sakyamuni membabarkan bahwa hanya Ia seorang Buddha yang telah mencapai Penerangan Agung sejak masa lampau yang tak terhingga (Kuon Ganjo). Selanjutnya Ia menjelaskan bahwa hanya ia yang dapat menyelamatkan, dan terus menyelamatkan, dan juga akan menyelamatkan seluruh umat manusia dan mahluk hidup lainnya pada masa mendatang.
2.      Honmon no Daimoku adalah "Myo-Ho-Ren-Ge-Kyo," Judul Suci dari Saddharma Pundarika Sutra yang mengungkapkan Kebenaran yang belum pernah diungkapkan sebelumnya dalam sutra-sutra lainnya. Odaimoku atau Judul Suci itu telah diwariskan kepada kita sebagai Bodhisattva Muncul Dari Bumi. Kita menerima, memelihara, mempercayainya, dan menyebut Odaimoku. Odaimoku adalah penghubung antara Buddha Abadi dan mereka yang menyebutnya.
3.      Honmon no Kaidan adalah tingkatan atau tempat dimana hubungan antara Buddha (Subjek) menyatu dengan umat manusia (Objek).
DAFTAR PUSTAKA
Ø Beatrice Lane Suzuki. Agama Budha Mahayana (Karaniya : 2009)
Ø Harun Hadiwijono, Dr. “Agama Hindu Buddha” (Jakarta: Gunung Mulia, 2008)
Ø Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: wijaya, 1989.
Ø HM. Arifin.Menguak Misteri Ajaran Agama-agama, (Jakarta : 1986)
Ø Joesoef Sou`yb, Agama-agama Besar di Dunia, (Al Husna Zikra : 1996)
Ø Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, Yokyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS,1988
Ø Y.A Maha Sthavira Sangharakshuta, ZEN : Inti Sari Ajaran (Yayasan Buddhis Karaniya : 1991)
Ø http://www.oocities.org/sutra_online/bacaan_sukhavati.htm
Ø www.nshi.org. YM.Bhiksu. Shokai Kanai, Tiga Hukum Rahasia Agung (San Dai Hi Ho), PERHIMPUNAN BUDDHIS NICHIREN SHU INDONESIA