Oleh Yang Mulia Bhikkhu Dr. Sunanda Putuwar
Theravada1
dan Mahayana adalah dua aliran besar dalam agama Buddha seperti halnya
Katholik dan Protestan dalam agama Kristen. Di kedua aliran Theravada
dan Mahayana tersebut terdapat banyak sub aliran yang mempunyai aneka
ragam cara praktek ritual. Setiap aliran mempunyai kitab suci dan banyak
pengikutnya. Maka tidaklah mungkin menyebutkan semua persamaan dan
perbedaannya secara rinci. Tulisan ini akan menunjukkan ciri yang umum
dan mendasar saja. Ciri yang sebaliknya, saya serahkan kepada pembaca
mencarinya sendiri.
Pada
jaman Sang Buddha, tidak ada aliran Theravada ataupun Mahayana. Semua
ajarannya dikenal dengan Buddhasasana (ajaran Sang Buddha). Tetapi
menurut sejarah perkembangan agama Buddha, pandangan sekte mulai muncul
setelah Sang Buddha Parinibbana. Hingga Pasamuan Agung (Konsili) Kedua
yang berlangsung pada abad ke-5 sebelum Masehi, belum ada uraian tentang
adanya sekte. Catatan hanya menunjukkan keberadaan ajaran berbahasa
Pali saja "Sekitar permulaan era agama Kristen, suatu kecenderungan
bentuk baru muncul dalam agama Buddha…"2
Penyebaran kitab Berbahasa Sansekerta akhirnya mencapai puncak dalam pengenalan dua tradisi agama Buddha yang berbeda :
Perbedaan
pandangan dari mereka yang menguraikan setiap bagian tulisan itu
menggambarkan pandangannya, dan umat menerimanya untuk diakui. Akan
tetapi, kedua aliran Theravada dan Mahayana sama-sama menghormati Buddha
Gotama dan mempraktekkan ajarannya.
Selama
pemerintahan Raja Asoka di India (abad ke 3 SM), agama Buddha menyebar
luas dan sampai ke luar negeri, raja Asoka mengirim duta agama Buddha ke
Srilanka , Nepal, Suvarnabhumi (Asia Tenggara) untuk menyebarkan agama
Buddha berbahasa Pali. Sedangkan yang lain pergi ke daerah Utara (China)
melewati Asia Tengah dan menyebarkan agama Buddha berbahasa Sansekerta.
Selama
lebih dari 2000 tahun , dua aliran agama Buddha ini tumbuh dengan kokoh
secara terpisah satu dengan yang lainnya. Karena pemisahan geografik
para penyebarnya, kesempatan untuk saling mempengaruhi antara keduanya
sangat sedikit. Keadaan itu menyebabkan tumbuhnya tembok batas
ketidaktahuan dan prasangka di antara kedua aliran ini.
Saat
ini, orang dapat mengenali secara geografik bahwa China, Hong Kong,
Jepang, Korea, Mongolia, Taipeh (Taiwan), Tibet, Vietnam, dan sebagian
besar Nepal sebagai negara Buddhis Mahayana. Sedang Birma (Myanmar),
Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Thailand, dan
sebagian kecil Nepal dan beberapa bagian India sebagai negara Buddhis
Theravada. Dalam dekade Belakangan ini, baik agama Buddha Mahayana
maupun Theravada menyebar ke Eropa, Australia, Selandia Baru, Amerika
Utara, dan beberapa negara di Benua Afrika.
The
World Fellowship of Buddhist, didirikan pada tahun 1940, mengajak semua
pengikut Sang Buddha dari berbagai aliran untuk mengadakan konferensi
setiap dua tahun sekali.
Pada
Halaman W,F.B. Refiew, The Middle Way (sebuah majalah Buddhis yang juga
berarti Jalan Tengah, terbit di Inggris), dan penerbitan lainnya,
dikatakan bahwa kini umat Buddha dari berbagai negara telah menawarkan
pandangan intelektual dan spiritualnya di bawah sistim pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan tehnologi komunikasi yang modern. Study perbandingan
yang obyektif tentang agama Buddha menjadi semakin penting dalam
masyarakat akademik di belahan Timur maupun Barat.
Seluruh
naskah aliran Theravada menggunakan bahasa Pali, yaitu bahasa yang
dipakai di sebagian India (Khususnya daerah Utara) pada zaman Sang
Buddha. Cukup menarik untuk dicatat, bahwa tidak ada filsafat atau
tulisan lain dalam bahasa Pali selain kitab suci agama Buddha Theravada,
yang disebut kitab suci Ti Pitaka, oleh karenanya, istilah "ajaran
agama Buddha berbahasa Pali sinonim dengan Agama Buddha Theravada. Agama
Buddha Theravada dan beberapa sumber lain berpendapat, bahwa Sang
Buddha mengajarkan semua ajarannya dalam bahasa Pali, di India, Nepal
dan sekitarnya selama 45 tahun terakhir hidupnya, sebelum Beliau
mencapai Parinibbana.
Seluruh
naskah aliran Mahayana pada awalnya berbahasa Sansekerta dan dikenal
sebagai Tripitaka. Oleh karena itu istilah Agama Buddha berbahasa
Sansekerta sinonim dengan agama Buddha Mahayana. Bahasa Sansekerta
adalah bahasa klasik dan bahasa tertua yang dipergunakan oleh kaum
terpelajar di India, selain naskah agama Buddha Mahayana, kita menjumpai
banyak catatan bersejarah dan agama, atau naskah filsafat tradisi
setempat lainnya ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Secara
umum, para Bhikkhu dari aliran Theravada maupun Mahayana tidak
menyediakan waktunya untuk mempelajari ajaran di luar ajaran yang
dianutnya. Namun demikian walaupun mereka mengetahui sedikit ajaran yang
lain, mereka rupanya menghafalkan ajaran yang terdapat dalam kitab suci
yang dianutnya (terutama Theravada). Alasan untuk tidak mempelajari
ajaran yang lain, karena isi setiap kitab suci satu aliran amat banyak.
Jika kitab suci kedua aliran tersebut dikumpulkan menjadi satu,
kira-kira tiga set buku Encyclopedia Britannica.
Alasan
lain, jelaslah berkenaan dengan pandangan psikologi bahwa seseorang
akan lebih memperhatikan ajaran yang dianutnya. Tujuan utama sebagian
besar bhikkhu dari kedua aliran ini adalah praktik, bukan pemujaan..
Dari semua alasan di atas, hanya sedikit bhikkhu yang menyediakan waktu
dan tenaganya untuk membuka mata pada ajaran yang lain selain ajaran
yang dianutnya.
Para
penganut aliran Mahayana menghormati Buddha Sakyamuni dan berbagai
Boddhisattva (seperti Maitreya, Avalokitesvara atau Kuan Yin). Mahayana
(khususnya di Tibet) memuja semua Buddha terdahulu atau Adi Buddha,
Amitabha, Vairocana, Askyobhya, Amoghasiddhi, dan Ratnasambhava, Tantra
dan Mandala adalah termasuk praktik dalam Mahayana Tibet.
Sedangkan
Theravada tidak mengabaikan adanya berbagai makhluk spiritual di jagad
raya ini. Para penganutnya hanya memuja Buddha yang disebutkan dalam
Tipitaka, khusunya Buddha Sakyamuni, yang dikenal juga sebagai Buddha
Gotama. Theravada tidak memuja para Bodhisatva walaupun mereka
memberikan rasa hormat karena kebijaksanaan dan kasih sayangnya yang
besar.
Semangat
bakti terlihat sangat menonjol di vihara-vihara Mahayana, khususnya di
negara-negara yang sangat di pengaruhi oleh kebudayaan China. Hal ini
tidak terpopuler di negara-negara Buddhis Theravada kecuali Thailand.
Di
Vihara-Vihara Mahayana, para pemuja menggunakan gambar dan relik
(termasuk abu kremasi) dari anggota keluarganya yang sudah meninggal.
Relik ini kemudian digunakan sebagai obyek sembahyang dan pemujaan. Umat
Buddha Mahayana mempersembahkan bunga, dupa, lilin, buah dan makanan,
yang secara harfiah untuk menghormati roh dari orang yang telah
meninggal. Tradisi ini tersimpan dalam ingatan para anggota keluarga
yang telah meninggal.
Pali
Sutta diucapkan di Vihara-Vihara, Theravada sedangkan syair-syair suci
Sansekerta diucapkan di Vihara-Vihara Mahayana. Sebagai Tambahan dalam
Bahasa Pali dan Bahasa Sansekerta logat seperti Birma, China, Jepang,
Newari, Thai dan sebagainya dipergunakan tergantung pada kebudayaan
setiap penganutnya.
Secara
keseluruhan, Vihara-Vihara Mahayana terkesan meriah dan indah, dihiasi
dengan gambar beraneka warna, patung dan hiasan lainnya. Vihara-vihara
Theravada biasanya tampak sederhana dan miskin dekorasi dibandingkan
dengan vihara-vihara Mahayana. Hal yang sama, ritual Mahayana jauh lebih
meriah susunannya daripada praktik ritual Theravada.
Semua
Vihara berisi berbagai macam simbol yang sakral, sebagian besar adalah
patung Buddha Sakyamuni. Ditambah lilin, bunga, dan dupa yang biasa
dipersembahkan, sebagai simbol-simbol ajaran (seperti bunga untuk anicca
atau ketidakkekalan).
Juga
umum dari kedua aliran tersebut simbol bendera Buddhis, gambar Sang
Buddha, pohon Bodhi, dan Patta. Di Vihara-vihara Mahayana orang
mendapatkan bermacam-macam simbol sakral lainnya yang juga dipandang
sebagai perlengkapan spiritual termasuk ikan terbuat dari kayu, kepala
naga, kendi, genta, tambur, dan sebagainya.
Kecuali
genta dan tambur, yang kadang-kadang juga terdapat di vihara-vihara
Theravada di Thailand. Orang sulit memperoleh perlengkapan keagamaan
yang bermacam-macam di vihara Theravada, karenanya praktik ritual
Theravada tidak begitu sulit dibandingkan dengan Mahayana.
Bhikhu-bhikkhu
Tibet mengenakan jubah berwarna coklat tua atau merah hati, disesuaikan
dengan tubuhnya. Di China, Korea, Taipeh (Taiwan) dan sebagainya, para
Bhikkhu mengenakan jubah berwarna kuning jingga (kuning kunyit).
Para Bhikkhu Mahayana Vietnam setiap harinya menganakan ao trang (jubah coklat) dan ao luc binh (jubah tidak resmi atau untuk bekerja), dan dalam kesempatan resmi mereka mengenakan ao hau (jubah upacara bagian luar). Para Samanera mengenakan ao nhut binh (jubah berwarna coklat atau warna langit/pelengkap pakaian). Itulah jubah berwarna kuning kunyit dengan sedikit perbedaan bentuk.
Bhikkhu-bhikkhu
Theravada selalu menggunakan civara dan antara vasaka dua kain panjang,
yang dikenakan sebagai jubah. Pada kesempatan resmi, sanghati, kain
panjang jubah yang dilipat dengan rapi dikenakan dibahu kiri (seperti
memakai selendang). Jubahnya dapat berwarna kuning kunyit, kuning kulit
kayu, kuning kemerahan atau merah hati.
Di
Jepang, para bhikkhu menggunakan jubah berwarna putih dengan sedikit
jubah lapis berwarna kuning kunyit di luar jubah warna putih.
Para
penganut agama Buddha Theravada bertujuan mencapai Nirvana (Nibbana)
dengan menjadi Arahat (orang yang mencapai kesucian tertinggi, juga
disebut Savaka Buddha). Theravada menekankan bahwa pencapaian Arahat
adalah tujuan terakhir hidup ini, setelah itu tidak ada kelahiran lagi.
Sedangkan
Mahayana menekankan bahwa terdapat kelahiran kembali bagi seorang
Arahat, seperti Sariputra, Moggalana, dan orang-orang suci lainnya, dan
juga menekankan bahwa benih-benih Kebuddhaan ada pada semua orang.
Aliran Mahayana bertujuan untuk mencapai Kebuddhaan (menjadi
Sammasambuddha) dengan mengikuti jalan Bodhisatva. Mahayana memandang
Bodhisatva sebagai makhluk yang telah mencapai penerangan sempurna ,
sedang Theravada menyatakan bahwa Bodhisatva adalah makhluk yang belum
mencapai penerangan sempurna.
Untuk
para penganutnya, Theravada lebih menekankan pada penanaman
kebijaksanaan, pengertian dan pengamalan daripada kepercayaan dan cinta
kasih. Sebaliknya, Mahayana lebih banyak menekankan pada kepercayaan dan
kasih sayang daripada pengamalan, pengertian, dan kebijaksanaan.
Walaupun adanya perbedaan penekanan tersebut, kedua aliran sama-sama
menerima semua kebajikan (paramita) tersebut dan berbagai ajaran Sang Buddha yang penting lainnya.
Pureland Buddhist
(Sekte Sukhavati, salah satu aliran Mahayana) mempercayai adanya
penyelamatan kerena keyakinan. Sutra Bunga Teratai (Saddharma Pundarika
Sutra) mendukung ajaran ini. Orang sulit menemukan adanya penekanan pada
kepercayaan dalam aliran Theravada.
Para
bhikkhu hidup tidak menikah, baik dalam Theravada maupun Mahayana.
Menurut catatan sejarah Theravada, Sangha Bhikkhuni tidak ada lagi
karena berbagai macam sebab di India dan di berbagai belahan dunia
lainnya kira-kira 500 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana. Tidak ada
bhikkhuni lagi dalam Theravada kecuali mereka yang menjalani sepuluh
sila atau Anagarika, yang tidak menerima penahbisan secara penuh.
Sebaliknya,
Mahayana mempertahankan bahwa Sangha bhikkhuni tidak pernah lenyap dari
dunia ini. Pada aliran Mahayana terdapat Samaneri (calon bhikkhuni dan
Sangha Bhikkhuni adalah pasamuan para bhikkhuni). Sebagian orang
berpendapat bahwa Mahayana lebih mengutamakan pengikutnya, sedangkan
Theravada lebih menekankan pada pertapaan atau kebhikhhuan.
Sejumlah
sesepuh Mahayana( yang menyatakan dirinya sebagai seorang yang
menjalani kehidupan pertapa dari aliran Mahayana tertentu dan berjubah
ala bhiksu). Di Tibet, dan banyak pula sesepuh-sesepuh Mahayana demikian
di Jepang yang menikah dan menjalani kehidupan berkeluarga.
Sebagian
besar kependetaan Mahayana diberbagai bagian dunia seperti China,
Korea, Vietnam dan Taiwan dan sebagainya adalah para bhikkhu oeh
karenanya mereka membujang. Semua Bhikkhu Theravada juga membujang.
Dalam
praktek yang nyata sedikit perbedaan diantara keduanya. Selain,
sebagian besar bhikkhu-bhikkhu Mahayana menjalani vegetarian, tetapi
pada umumnya mereka makan setelah tengah hari. Sebaliknya, sebagian
besar bhikkhu Theravada tidak menjalani vegetarian baik sarapan dan
makan siang akan tetapi mereka tidak makan setelah tengah hari.
Keduanya mempunyai alasan berakar dari sejarah tradisi dan kebudayaan dari penganutnya untuk melakukan atau tidak melakukannya.
Di
kedua Nikaya atau sekte, umat awam suka berdana meteri untuk
kepentingan vihara. Dalam Theravada, umat awam membungkukkan diri di
depan para bhikkhu atau beranjali dan para bhikkhu memberkahi mereka
dengan berkata "Semoga anda berbahagia" dan seterusnya. Akan
tetapi bhikkhu Theravada tidak membalas kembali salam umat dengan cara
yang sama, juga tidak dengan beranjali.
Di
dalam Mahayana pun, umat awam menghormatinya dengan membungkukkan diri
kepada para bhiksu atau dengan beranjali bersama. Tetapi dalam kebiasaan
ini (khusunya Vietnam dan Jepang) para bhikkhu membalas kepada umat
awam dengan cara yang sama dengan yang dilakukan oleh pemberi hormat.
Begitulah, perbedaan kebudayaan para penganut yang ada di berbagai
negara dari yang jelas nampak dalam praktek religius masyarakat.
Sesungguhnya,
sepanjang mengenai pelaksanaan praktek moral, sedikit sekali perbedaan
kedua aliran agama Buddha ini. Sebagai contoh, menghindari pembunuhan,
pencurian, perbuatan asusila, berbohong dan mabuk-mabukan (Pancasila
Buddhis) adalah prektek utama bagi umat Buddha dari kedua aliran ini.
Sebagian besar Vinaya lainnya hampir serupa. Dimana ada perbedaan di
antara mereka, itu dikerenakan mereka menambah kekayaan filsafat agama
Buddha dan atau kerena perbedaan budayanya.
Sebagian
besar umat Buddha baik dari Theravada maupun Mahayana merupakan para
dermawan yang tulus. Dan keduanya berpendapat bahwa para bhikkhu adalah
guru spiritual mereka. Namun, karena keakraban mereka dengan para
bhikkhu sesuai dengan aliran yang dianutnya yang mereka kenali dengan
bentuk dan corak jubahnya, umat awam merasa lebih dekat dengan bhikkhu
dari aliran mereka sendiri.
Selain
itu, ada beberapa contoh dimana umat awam yang saleh dalam hal
menyampaikan kedermawanannya kepada para bhikhhu, setidak-tidaknya dalam
tertentu tingkat ;
Kadang-kadang,
dermawan dari salah satu aliran itu mengundang para bhikkhu dari
Mahayana dan Theravada ke rumahnya, berdana makanan dengan hidangan yang
terbaik dan setelah itu memohon berkah. Perwujudan dan kesalehan
demikian menunjukkan praktek teladan seorang umat awam, tanpa
mengabaikan atau mempunyai prasangka terhadap aliran lainnya.
Demikianlah, pernyataan persatuan dan kemurnian itu terwujud sesuai dengan ajaran Sang Buddha yang sesungguhnya.
KESATUAN DAN SERASI
Baik
umat Buddha Theravada maupun Mahayana merupakan umat yang penuh damai
dan terbuka pikirannya, menganut metta atau cinta kasih dan
kebijaksanaan. Untuk memperkuat kesatuan yang lebih serasi di antara
penganut ke dua aliran besar itu, kita harus mengerti dan mau
mempelajari satu sama lain. Dengan cara ini, kita dapat melarutkan
jurang pemisah dalam pengetahuan kita.
Para
bhikkhu dan pandita serta pemimpin dari kedua aliran itu harus
meluaskan pengertian dan kemauannya untuk bekerja sama (baik dalam hal
material maupun spiritual), mempelajari atau mendengar lebih banyak
pengetahuan selain dari kebiasaan yang mereka miliki. Di jaman sekarang
ini, penting artinya agar kita dapat bekerja sama, mengatasi persoalan
bersama, dalam mencapai Kebuddhaan atau Nibbana.
Tidak
ada masalah, apa aliran agama Buddha yang dianut seseorang. Jika ia
mempraktekkan ajaran dengan baik, dia akan mendapat hasil yang baik,
pengetahuan akan kesunyataan. Melihat kebenaran, menembus makna
Kebuddhaan.
Barang siapa mempraktekkan ajaran-Ku, dia telah melihat aku, demikian sabda Sang Buddha.
Dunia
terasa semakin kecil sehubungan dengan adanya perkembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi. Sebagai akibatnya, umat mulai bersama-sama
mencari segi-segi ilmiahnya. Banyak di antara mereka yang mengadakan
diaalog tentang paham ajaran mereka dengan baik bersama-sama semua
aliran, tidak hanya aliran khusus yang mereka anut.
Jika
kita, baik penganut/umat Mahayana maupun Theravada tidak cukup
mengetahui kebiasaan aliran lainnya, kita akan ketinggalan. Kita juga
tidak siap ambil bagian dalam dialog antar agama. Persatuan di antara
aliran-aliran agama Buddha akan bermanfaat bagi semua umat Buddha.
Jika
kita menambah pengetahuan dan menghargai aliran lain, serta jika kita
benar-benar mulai melihat semua umat Buddha sebagai satu kesatuan umat
beragama, kemungkinan untuk bekerjasama, belajar bersama, dan saling
menopang akan bertambah.
Oleh
karena itu, baik perorangan maupun kelompok, kita seharusnya berusaha
untuk saling mempelajari satu sama lain dan mencapai kesatuan, baik
spiritual dan sosial.
Resiko
dalam mendiskusikan dan mempelajari aliran lain adalah anda mungkin
dapat merasa goyah terhadap kebiasaan dan praktik aliran yang anda anut.
Pandangan itu mungkin akan mempengaruhi keyakinan dan praktek anda.
Sebagai
akibatnya, pandangan konservatif pada aliran yang anda anut mungkin
akan membuat anda tidak memilih Mahayana saja ataupun Theravada saja.
Bagi mereka ini mungkin tidak tahu di mana tempat yang sesuai baginya..
Kebebasan anda mungkin menyebabkan anda gelisah dan merasa sukar. Akan
tetapi, baik Theravada maupun Mahayana tentu akan menyambut anda dengan
sepenuh hati sebagai rasa cinta kasih dan hormat pada saudara. Dalam hal
ini, diri anda adalah guru bagi keputusan dan pertimbangan anda
sendiri.
Kebesaran
hati dinyatakan dengan perbuatan yang benar, bukan dengan kata-kata
yang tinggi. Kebijaksanaan diwujudkan dengan perbuatan bijak, bukan
dengan kesombongan. Sebagai pengikut Sang Buddha yang maha welas asih,
kita perlu menunjukkan cinta kasih dan kasih sayang yang sama kepada
umat Buddha, umat agama lain bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya.
Sebagai
umat atau penganut Buddha, kita adalah orang yang menunjukkan tentang
kebijaksanaan Sang Buddha yang universal, akan tetapi karena adanya
pandangan sekte, hal tersebut kadang-kadang menjadi berkurang nilainya.
Kita
harus lebih mengembangkan cinta kasih, kasih sayang, dan kebijaksanaan
di antara kita sebagai umat Buddha, sebelum kita dapat memberikan
teladan cinta kasih kepada dunia.
Vietnam
memberikan sebuah contoh yang bagus dalam pembauran antara tradisi
Mahayana dan Theravada. Di Vietnam, terdapat kesan saling tidak tertarik
dan keanekaragaman di antara kita, dengan pengetahuan empiris dan
saling menghargai.
SARAN
Dengan
tujuan seperti tersebut di atas, saya menganjurkan kepada para bhikkhu
Mahayana dan Theravada untuk saling mempelajari dan memahami tradisi
masing-masing dengan baik. Dan menjelaskan kepada para umatnya bahwa
Mahayana dan Theravada hanya merupakan dua aliran yang berbeda, bukan
sekte yang asing bagi agama Buddha. Keduanya berasal dari Sang Buddha,
Yang Maha Bijaksana dan Maha Welas Asih, yang tak terbatas bagi semua
makhluk.
"samagganam tapo sukho". Persatuan merupakan kebahagiaan demikianlah Sang Buddha menyabdakan.
Untuk
melengkapi bagian akhir tulisan ini para bhikkhu dan umat awam
Theravada di Burma, Sri Lanka, Thailand dan lainnya hendaknya memperluas
programnya dalam pertukaran pelajaran dengan para bhikkhu dan pemimpin
umat Mahayana dari China, Korea, Jepang, Mongolia, Taiwan, Tibet,
Vietnam, dan sebagainya. Demikian pula negara-negara Mahayana seperti
China, Jepang, Korea, Vietnam, dan lainnya harus memberi kesempatan
lebih banyak kepada para bhikkhu dan pemimpin umat Theravada untuk
mempelajari agama Buddha Mahayana.
Para
Bhikkhu Mahayana dan Theravada hendaknya mendorong untuk mempelajari,
mengajar , bertemu, dan juga hidup bersama sedikitnya dalam jangka waktu
tertentu. Dengan demikian mereka dapat mengembangkan rasa persaudaraan
yang lebih besar dalam kegiatan mereka sehari-hari. Dengan cara ini,
setiap aliran mempunyai kesempatan untuk menjelajahi ajaran lainnya dan
menguji pandangannya secara kritis tentang kebiasaan, teori dan
paraktiknya.
Secara
pribadi, saya pernah mempelajari dan mengajar Theravada dan Mahayana
dan saya hidup bersama dengan para bhikkhu dari kedua aliran itu cukup
lama. Saya melihat bahwa keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan di
dalam praktik yang saya saksikan sendiri maupun dari para bhiksu kenalan
saya. Dari pengalaman yang menguntungkan itu, saya memberikan
saran-saran ini.
Haruskah
seseorang mempelajari ajaran lain lebih banyak daripada ajaran yang
dianutnya sendiri? Tidak perlu! Jika seseorang ingin mencurahkan dirinya
semata-mata untuk praktek spiritual dan mencapai Nibbana atau
Kebuddhaan, masing-masing ajaran mempunyai petunjuk yang cukup untuk
mencapai tujuan itu.
Memepelajari
ajaran lainnya penting bagi mereka yang ingin memperluas pengertian
atau pengetahuannya dan jika ia berhadapan dengan penganut ajaran
lainnya. Seseorang yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang
ajaran lainnya dapat menyakitkan hati orang lain, walupun tanpa ada
maksud melakukan hal itu. Seseorang dapat berbuat demikian melalui
tingkah laku atau ucapan tertentu dengan suatu lelucon atau sindiran.
Jika seseorang ingin dirinya dan keyakinannya dihargai, dia juga harus
menghormati dan menghargai orang lain.
Di
satu sisi, Theravada dianggap lebih konservatif daripada Mahayana,
dimana Theravada memelihara ajaran Sang Buddha tanpa banyak menambahkan
pandagnan atau pendapat pribadi. Sebaliknya, Mahayana dianggap lebih
terbuka daripada Theravada dalam menginterpretasikan ajaran-ajaran
Mahayana membuat pembagian yang besar dalam filsafat Buddhis, seperti
filsafat Madhyamika dan Yogacara. Keduanya baik yang konservatif ataupun
yang terbuka mempunyai nilai tersendiri dan harus dihormati satu dan
yang lainnya.
Yang
penting, bahwa hal-hal tersebut di atas lazim diakui dan ditekankan
dalam Theravada dan Mahayana secara agama dan filsafat, Theravada dan
Mahayana menerima;
Hukum Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan (Paticcasamupada)
Dan doktrin atau ajaran inti lainnya, meskipun perluasan komentarnya berbeda-beda.
Sesunguhnya hanya ada satu yana atau kendaraan.
Tujuan terakhir sesungguhnya yang dari semua umat Buddha adalah sama,
apakah itu disebut Nibbana atau Kebuddhaan. Sang Tathagatha pernah
bersabda "Semua makhluk adalah anak-anak-Ku."3
Di
zaman kemajuan dunia sekarang ini hak asasi, kesamaan dan perbedaan
antara yang satu dengan yang lain harus diakui dan dihormati dengan
bertindak sebagai seorang Buddhis yang baik dan mau bekerjasama.
Dikutip dari: http://www.artikelbuddhis.com/2010/09/perbedaan-dan-persamaan-antara.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar