Walaupun tidak memahami maknanya, namun tradisi Cengbeng atau sembahyang kuburan masih dilakukan oleh banyak orang Tionghua generasi ini. Umumnya orang-orang Kristen menyangka sembahyang kuburan (cengbeng) adalah penyembahan arwah, itu sebabnya banyak sekali yang melecehkannya sebagai perbuatan bodoh dan sia-sia. Pengkotbah alam roh melarang jemaat untuk ikut merayakan cengbeng karena menurut mereka hal itu akan mendatangkan kutuk dan membuka cela untuk dikuasai iblis.Pengkotbah Kristen umumnya menganggap cengbeng adalah praktek penyembahan arwah yang dapat dikelompokkan sebagai penyembahan berhala. Walaupun dengan nama lain, pada hakekatnya orang Kristen juga merayakan cengbeng. Walaupun dengan cara yang berbeda, sesungguhnya orang Kristen juga melakukan sembahyang kuburan atau sembahyang arwah.
Memberanikan diri bertanya; Dalam bukunya yang berjudul Imlek & Alkitab, Pdt. Markus Tan menulis:
Hari raya Ceng Beng dirayakan pada bulan ketiga tahun imlek. Tanggalnya dalam tahun imlek tidak tetap atau berubah-ubah. Yang pasti pada permulaan bulan ketiga tersebut. Menurut penanggalan Masehi, jatuh pada tanggal 5 atau 6 April. Ceng berarti bersih dan murni. Beng berarti tenang. Cengbeng berarti bersih tenang.Imlek & Alkitab hal 129
Pada hari raya Cengbeng, orang Tionghoa biasanya akan berziarah ke makam orang tua atau leluhur mereka dengan membawa batang dupa (hio), lilin, kertas sembahyang dan sedikit sesajian. Biasanya dalam bentuk buah atau kue basah. Selain melakukan sembahyang juga membersihkan kuburan tersebut. Ibid hal 129
Hal ini dilakukan bukan saja untuk menunjukkan rasa bakti, tetapi juga untuk mengajukan permohonan ijin, laporan atau permintaan. Biasanya dalam sembahyang tersebut mereka akan mohon diri (pamit) kalau mereka akan pergi ke tempat yang jauh atau ke luar kota. Juga akan dilaporkan tentang usaha yang baru, pernikahan ataupun hal-hal lainnya. Mereka juga akan mohon izin bila ingin menjual rumah warisan ataupun hal lainnya. Tidak jarang juga mengajukan permintaan, seperti rejeki, perlindungan dan sebagainya. Ibid hal 129
Agar setiap permintaan atau doa terkabul, maka untuk penguburan atau pemakaman tersebut tidak dilakukan secara sembarangan. Biasanya pemakaman tersebut dilakukan berdasarkan kepercayaan atau perhitungan Hong Sui. Istilah Hong Sui dapat diartikan angin dan air. Kepercayaan atau perhitungan Hong Sui ini antara lain menetapkan tempat, arah dan letak makam. Keluarga akan meminta pertolongan kepada ahli (sinshe) Hong Sui. Orang inilah yang akan mencarikan tempat yang baik dan tepat, dengan cara mengukur, menghitung dan sebagainya, sesuai dengan kebiasaan Hong Sui. Ibid hal 131
Dapat dibayangkan bila kebetulan berdasarkan perhitungan Hong Sui tersebut, makam harus berada di sebuah bukit yang terjal dan jauh. Tentunya pada saat keluarga tersebut menjenguknya, akan memakan waktu dan tenaga yang lebih dari pada biasanya. Beruntung, bahwa melalui hari raya Ceng Beng ini adalah semacam peraturan yang tidak tertulis yang merupakan keharusan untuk keluarga mengunjungi makam tersebut. Oleh karena itu bagi keluarga yang tinggalnya cukup jauh dari tempat pemakaman, sekurang-kurangnya dalam setahun, pasti sekali ia membersihkan makam tersebut. Ibid hal 131-132
Sembahyang Ceng Beng biasanya dilakukan di rumah, bahkan ada keluarga-keluarga yang satu marga (she), mengadakan sembahyang bersama di tempat perkumpulan atau rumah abu. Umpamanya, rumah abu marga (she) Djiau, Lim, Tan dan sebagainya. Ibid hal 132
Keluarga yang mengunjungi makam orang tuanya atau leluhurnya biasanya meletakkan beberapa lembar kertas kuning yang panjang dan kecil di atas Bong Pai (batu nisan.) Ibid hal 132
Ceng Beng adalah hari raya dalam arti hari peringatan. Bukan hari pesta. Itulah sebabnya sangat keliru bilamana ada orang yang memakai istilah pesta Ceng Beng dan kemudian mengadakan pesta atau makan-makan. Mengenang anggota keluarga yang wafat bukanlah suatu alasan untuk mengadakan pesta. Ibid hal 132-133
Sebagai orang Kristen, bila kita mengunjungi makam orang tua atau keluarga serta membersihkan, menabur bunga, merapihkannya sebagai tanda cinta kasih kita, itu tidak salah. Yang salah kalau kita berdoa kepadanya dan meminta sesuatu kepadanya. Ibid hal 133
Bengcu menjawab:
Qingming jie 清明節 atau Cengbeng dirayakan setiap tanggal 15 bulan 3 kalender Imlek atau tanggal 5 April. Pada tahun kabisat Cengbeng jatuh pada tanggal 4 April. Cengbeng artinya terang benderang.
Pada jaman Musim Semi dan Gugur (770-476SM) dinasti Zhou kehilangan kedaulatannya sehingga Tiongkok terpecah-belah menjadi belasan negeri yang dikuasai oleh para rajamuda yang saling berperang untuk demi nama besar.
Negeri Jin 晋. Ketika difitnah ingin membunuh ayahnya oleh ibu tirinya, pangeran Shensheng 申生 memilih untuk bunuh diri dari pada dihukum pancung oleh ayahnya, rajamuda Jin xiangong. Sementara itu pangeran Chonger 重耳 yang berumur 43 tahun memilih untuk melarikan diri ke negeri Di. Dia tinggal di sana selama 12 tahun lalu melarikan diri ke negeri Qi karena takut dibunuh oleh pembunuh bayaran yang dikirim ayahnya. Dalam pelariannya dia ditolak oleh raja Wei sehingga terlunta-lunta dan kelaparan. Suatu siang ketika melewati desa Wulu (lima kijang), karena tidak tahan lapar, salah satu anak buahnya minta makanan kepada penduduk desa. Alih-alih menolong penduduk kampung itu justru mengejek rombongan Chonger sebagai kumpulan lelaki tidak berguna yang tidak mampu menghidupi dirinya.
Di luar kampung, Chonger dan rombongannya beristirahat di bawah pohon. Lelah dan kelaparan. Tiba-tiba salah satu anak buahnya, Jie zhitui 介之推 mengangsurkan semangkuk sop daging panas kepada Chonger. Tanpa pikir panjang dia langung melahapnya sampai habis. Setelah kenyang dia baru bertanya, dari mana sop daging itu didapat? Ternyata itu adalah sop daging paha. Demi junjungannya Jie zhitui mengerat daging pahanya sendiri lalu memasaknya. Chonger sangat terharu dengan tindakan demikian.
Setelah mengembara selama 19 tahun akhirnya Chonger kembali ke negerinya dan menjadi rajamuda dengan gelar Jin wengong 晉文公 (697-628SM). Alih-alih memangku jabatan Jie zhitui justru meninggalkan dunia ramai dan hidup berdua dengan ibunya di hutan. Jin wengong berusaha mencarinya namun tak dapat menemukannya, karerna kesal dia lalu menyuruh anak buahnya untuk membakar hutan dengan harapan Jie zhitui akan melarikan diri keluar dari hutan yang terbakar. Sayang seribu kali sayang! Jie zhitui dan ibunya mati terbakar. Rajamuda Jin wengong menyesal bukan kepalang. Dia lalu menegakkan Hanshijie hari makan dingin untuk mengenang Jie zhitui. Para hari itu rakyat dilarang menyalakan api bahkan untuk masak sekalipun.
Karena melihat betapa sia-sianya pemborosan yang dilakukan oleh rakyat dalam sembahyang kuburan, maka raja Tang Xuanzong 唐玄宗 (685-762) dari Dinasti Tang 唐 pada tahun 732 menegakkan hari Cengbeng. Sembahyang kuburan hanya boleh dilakukan sekali dalam setahun yaitu pada hari Cengbeng.
Cengbeng dan Hanshijie 寒食节 adalah dua perayaan yang berbeda namun salah satu raja dari dinasti Qing (1644-1911) lalu menggabungkan keduanya menjadi satu. Hanshijie dirayakan satu hari sebelum Cengbeng. Dalam perubahan waktu, perayaan Hanshijie mulai dilupakan sehingga orang-orang Tionghoa hanya merayakan Cengbeng dan menganggap makan dingin adalah bagian darinya.
Pada hari Cengbeng orang Tionghoa mengunjungi makam leluhurnya. Mereka membersihkan makam lalu melakukan sembahyang kuburan. Apakah perayaan Cengbeng adalah penyembahan leluhur? Ada tiga hal yang membuktikan bahwa Cengbeng bukan penyembahan leluhur:
Orang Tionghoa tidak pernah menganggap arwah leluhurnya memiliki kuasa ilahi.Orang Tionghoa tidak pernah berdoa minta berkat kepada arwah leluhurnya.Walaupun banyak dongeng yang menyatakan bahwa mingqi atau barang-barang sembahyang berguna bagi kebutuhan arwah di alam baka, namun baik agama Khonghucu mau pun agama Dao dengan gamblang mengajarkan bahwa mingqi atau barang-barang sembahyang adalah pernyataan cinta kasih dan hormat, bukan untuk memenuhi keperluan arwah, itu sebabnya mingqi adalah barang-barang tiruan, bukan barang asli sementara makanan yang disajikan tidak boleh ditinggal, dibakar atau dibuang, namun harus dimakan.
Di kuburan Tionghoa, ada dua altar, yang pertama disebut altar leluhur, letaknya di kepala kuburan, yang kedua disebut altar Houtu 后土 (ratu bumi), letaknya di depan kuburan dengan tulisan Houtu. Di altar leluhur dibakar satu batang hio (dupa) dan kertas perak sementara di altar Houtu dibakar 3 batang hio dan kertas emas. Bagi umat Dao, Haotu adalah Houtu Huang Diqi 后土皇地祇 (Ratu bumi, Raja dan jiwa dunia) yang merupakan satu dari empat Menteri Langit (Siyu 四御) sementara bagi umat Khonghucu Houtu adalah Tuhan pencipta alam semesta. Altar Houtu adalah altar She untuk menerima berkah dan mengucap syukur.
Raja mendirikan sebuah altar She untuk semua marga, disebut She agung (Dashe 大社) dan mendirikan sebuah altar She untuk dirinya sendiri yang disebut She raja (Wangshe 王社). Rajamuda mendirikan sebuah altar She untuk beratus marga, disebut She negara (Guoshe 國社) dan mendirikan sebuah altar She bagi dirinya sendiri, disebut She rajamuda (Houshe 侯社). Para kepala daerah (Dafu) mendirikan sebuah altar She untuk masyarakat di wilayah yang diperintahnya, disebut She wilayah (Zhishe 置社). Liji XX:6 – Jifa
Altar She 社 adalah jalan suci Shendi 神地. Di mewujudkan berlaksa ada. Tian 天 mewahyukan berbagai peta. Mendapatkan berkat dari Di. Memperoleh hukum dari Tian. Maka dimuliakanlah Tian dan dikasihilah Di. Karena itulah diajarkan kepada masyarakat untuk mengucap syukur. Kepala keluarga melakukannya di halaman rumah sedangkan kepala negeri melakukannya di altar She. Untuk menunjukkan yang pokok. Ketika dilakukan sembahyang di altar She, setiap orang keluar dari rumahnya. Ketika membangun altar She, semua warga negeri ikut bekerja. Demi altar She, dari gunung dan lembah bersatu memberikan persembahan. Itulah cara bersyukur kepada yang pokok dan membalas budi kepada yang mula. Liji IX:I:21 – Jiao tesheng
Para penilik Hongshui mengajarkan bahwa penguburan harus dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah hongshui dan dilakukan dengan mewah. Penguburan mewah (Houzang) bukan hal baru di kalangan orang Tionghoa, hal itu sudah ada sejak purbakala, jauh sebelum masehi. Mozi (470-391 SM) mengungkapkannya dengan gamblang.
Apa yang mendatangkan kemakmuran di kolong langit (Tianxia 天下)? Apa yang menolak bencana di kolong langit? Apa yang membuat negara dan kampung serta masyarakat tidak damai sejahtera? Sejak purbakala hingga hari ini, sama sekali tidak ada pengetahuan tentang hal itu. Dari mana kita tahu bahwa yang kita ketahui itu benar? Saat ini, di kolong langit, para sarjana dan susilawan (junzi 君子) sama-sama mempertanyakan dengan sungguh-sungguh, “Apakah tradisi penguburan mewah (Houzang 厚葬) dan perkabungan lama (Jiusang 久喪) di Tiongkok membawa kemakmuran atau justru mendatangkan bencana?” Tentang hal itu, Guru Mozi berkata, “Aku sudah melakukan penyelidikan dengan seksama. Hingga hari ini, tidak ada hukum yang mengharuskan penguburan mewah dan perkabungan lama walaupun hal itu dilakukan di seluruh negeri dan rumah tangga. Sembahyang orang mati bagi raja, rajamuda, dan orang-orang besar. Dikatakan: Peti mati harus rangkap dua, peti mati luar (guo 槨) dan peti mati dalam (guan 棺). Penguburan harus mewah. Pakaian dan jubah harus banyak. Buku, lukisan dan sulaman harus aneka macam. Pusara dan kuburannya harus besar dan luas. Demi melayani seorang rakyat jelata yang mati, harus menguras gudang harta keluarga. Demi melayani seorang rajamuda yang mati, harus menghentikan seluruh roda pemerintahan. Emas, batu giok, batu permata dan mutiara digunakan untuk mempercantik tubuh. Pakaian-pakaian sutra untuk berbagai acara dan musim. Kereta-kereta dan kuda-kuda untuk berbagai medan berbeda juga berbagai jenis tenda. Bejana, genderang, meja kecil, meja panjang dan mangkok, tidak boleh pilih-pilih. Tombak, pedang, hiasan bulu, panji-panji, kereta tempur, baju jirah, sarung tangan, semuanya dikuburkan secara lengkap. Untuk melengkapi semua itu, maka, untuk raja (Tianzi 天子) disertakan paling banyak ratusan dan paling sedikit puluhan Shaxun 殺殉 (orang hidup yang dikubur untuk melayani orang mati). Untuk para jenderal dan menteri disertakan paling banyak puluhan dan paling sedikit beberapa orang Shaxun. Mengenai perkabungan apa yang diharuskan oleh ajaran ini? Disebutkan: Menangislah dengan sedu-sedan tidak terkendali seperti suara orang tua. Kenakan pakaian kabung rami dan ikat kepala putih. Air mata dan ingus tidak boleh diseka. Tinggal di gubuk dan tidur di atas tikar dengan bantal tanah. Berusaha untuk tidak makan agar nampak kelaparan. Menanggalkan pakaian agar nampak kedinginan. Matanya dipicingkan seolah takut melihat sinar. wajahnya gelap dan pucat. Telinganya nampak seolah agak tuli. Tangan dan kaki seolah tak bertenaga dan sulit untuk digerakkan. Juga dikatakan: Jika pejabat tua berkabung, dia harus dibantu ketika hendak berdiri dan dia menggunakan tongkat ketika berjalan. Semuanya dilakukan hingga genap tiga tahun. Hukum demikian, ajaran demikian, dijadikan sebagai jalan (Dao 道) dan mengharuskan raja, pangeran dan orang-orang besar menaatinya. Tidak boleh pergi ke pengadilan, kantor lima pelayanan publik dan enam kantor pemerintahan, memerintah pekerja di sawah dan kebun, menghitung hasil panen dan memasukkannya ke lumbung. Mengharuskan para petani menaatinya. Demi menaatinya, tentu saja tidak boleh pergi dan pulang malam-malam untuk mengurusi sawah dan kebun serta pekerjaan lainnya. Mengharuskan beratus tukang menaatinya. Karena menaatinya, tentu saja tidak boleh memperbaiki perahu, kereta serta barang-barang teknik lainnya. Mengharuskan para istri menaatinya. Karena menaatinya, tentu saja tidak boleh bangun pagi-pagi dan tidur larut malam untuk menenun kain dan menjahit pakaian. Demi penguburan mewah, banyak harta yang ikut dikuburkan. Demi perkabungan lama, banyak pantangan yang harus ditaati dan banyak sembahyang yang harus dijalankan. Harta yang telah terkumpul dikuburkan sementara hasil yang akan didapat kemudian tertunda karena menaati pantangan. Mencari kemakmuran dengan cara demikian ibarat melarang orang bercocok tanam namun menuntut panen. Dengan ajaran demikian, mustahil meningkatkan kemakmuran.” Mozi – Jiezang xia 4
Para penganut ajaran penguburan mewah (houzang 厚葬) dan perkabungan lama (jiusang 久喪) mengatakan, “penguburan yang mewah dan perkabungan yang lama, walaupun tidak dapat membuat orang miskin menjadi kaya, menjadikan yang sendirian menjadi kumpulan orang, menolak bencana dan malapetaka serta menjadikan negeri yang kacau menjadi damai, namun ini adalah ajaran para Raja Suci.” Guru Mozi berkata,”Tidak benar! Dahulu kala, Raja Yao meninggal ketika melakukan perjalanan ke utara untuk mendidik kedelapan suku Di 狄. Dia lalu dikuburkan di lembah gunung Qiong, ia mengenakan baju dan jubah, semuanya tiga potong. Peti matinya terbuat dari kayu lunak yang diikat dengan tali rami, peti matinya lalu diturunkan ke liang lahat diiringi tangisan kesedihan, liang lahatnya hanya ditutupi dengan tanah, tanpa nisan. Setelah penguburannya, lembu dan kuda bebas berkeliaran di atasnya. Raja Shun meninggal dalam perjalanan ke Timur untuk mendidik ketujuh suku Rong 戎. Ia dikuburkan di kota Nanji, mengenakan baju dan jubah, semuanya tiga potong. Peti matinya terbuat dari kayu lunak yang diikat dengan kain rami. Setelah penguburannya, masyarakat bebas berlalu lalang di atasnya. Raja Yu meninggal dalam perjalanan ke Barat untuk mendidik kesembilan suku liar (Jiuyi 九夷). Dia dikuburkan di gunung Huiji, mengenakan pakaian dan jubah tiga potong, peti matinya dibuat dari kayu Tong yang tebalnya tiga 3 inci yang diikat dengan kain rami. Peti matinya tidak menutup sempurna ketika diikat dan tidak terkubur penuh ketika diturunkan ke liang lahat. Bagian bawahnya tidak dalam agar tidak mengenai mata air sehingga bagian atasnya tidak cukup tebal untuk menahan baunya menyebar, maka di atasnya ditimbun dengan tanah membentuk pusara yang tingginya tiga kaki. Berdasarkan kisah ketiga Raja suci tersebut, bila memikirkannya baik-baik, maka dapat disimpulkan bahwa penguburan mewah (houzang 厚葬) dan perkabungan lama (jiusang 久喪) bukanlah ajaran ketiga Raja Suci ini. Ketiga Raja Suci ini adalah Tianzi 天子 (Anak Tian) yang agung, penguasa bawah langit ini, Bagaimana mungkin merasa kuatir atau tidak mampu untuk membiayai (penguburan mewah)? Pastilah karena inilah ajaran yang benar tentang penguburan orang mati. Mozi Jie – Zang Xia 10
Penguburan mewah bukan ajaran agama Tiongkok kuno. Mozi, pendiri agama Mojiao menentangnya karena itu bukan tradisi Tiongkok kuno yang dianut oleh para raja suci. Kongzi, pendiri agama Khonghucu dengan gamblang mengajarkan bahwa pada zaman kuno, semua kuburan menghadap arah yang sama, utara. Kongzi juga mengajarkan bahwa tradisi menghiasi dan membersihkan makam bukan tradisi kuno bangsa Tionghoa, sementara itu, penguburan sederhana sudah cukup untuk menyatakan bakti kepada orang tua .
Bila ada yang meninggal, mereka keluar lalu berteriak memanggil berkali-kali. Ketika kembali mereka menyertakan beras daging serta pakaian. Menghadap Tian 天 dan membelakangi Di 地. Tubuh dan nyawa turun ke bawah, sementara zhiqi 知氣 (roh yang cerdas) naik ke atas. Orang mati di utara sementara orang hidup tinggal di selatan desa. Hal ini berlaku sejak purbakala. Liji VII:I:7 – Liyun
Membersihkan makam, bukan adat istiadat kuno. Liji IIA:II:26 – Tangong shang
Kongzi baru selesai melakukan hezang (menguburkan kembali tulang-belulang suami istri dalam satu liang lahat bagi orang tuanya) di Fang. Dia lalu berkata, “Aku mendengar bahwa kuburan orang kuno tidak diberi gundukan. Saat ini, Qiu 丘 (nama kecil Kongzi) adalah seorang pengembara (dongxinanbeiren 東西南北人 – manusia timur barat selatan utara), tidak mungkin tidak memahami maksudnya.” Setelah liang lahat ditutup di atasnya pun dibangun gunungan empat kaki tingginya. Kongzi pulang duluan dan membiarkan murid-muridnya membereskan semuanya. Turunlah hujan lebat. Ketika mereka tiba, Kongzi bertanya, “Kenapa lama sekali baru pulang?” Mereka menjawab, “Kuburan di Fang longsor.” Kongzi tidak menanggapi walaupun tiga kali mereka memberi penjelasan. Berderai air mata Kongzi menangis sedih lalu berkata, “Aku telah mendengar, orang kuno tidak memperbaiki makam.” Liji IIA:I:6 – Tangong shang
Zilu berkata, “Sungguh malang nasib orang miskin! Ketika orang tuanya hidup tidak memiliki apapun untuk merawat mereka, ketika meninggal tidak memiliki apapun untuk menegakkan kesusilan (li 禮).” Kongzi berkata, “Biarpun hanya makan nasi dan minum air putih selama dapat membuat mereka bahagia, itu sudah berbakti (xiao 孝) namanya. Hanya mampu membungkus tangannya dan membiarkan kakinya telanjang lalu menguburkannya tanpa peti mati, itu sudah memenuhi kesusilaan.” Liji IIB:II:16 – Tangong xia
Melakukan sembahyang berarti meneruskan untuk merawat dan terus berbakti (xiao 孝), sebab berbakti berarti merawat. Taat kepada jalan suci (dao 道) tidak berani mengingkari hubungan keluarga, itulah yang disebut merawat. Itu sebabnya dikatakan seorang anak berbakti akan mewujudkan baktinya kepada orang tua melalui tiga jalan suci yaitu: Ketika orang tuanya hidup, dia merawatnya (yang 養). Ketika orang tuanya meninggal, dia berkabung (sang 喪). Setelah masa perkabungan berlalu dia menyembahyanginya (ji 祭). Ketika merawat dia menunjukkan kepatuhan, ketika berkabung dia menunjukkan kesedihan, ketika sembahyang dia menunjukkan rasa hormat (Jing 敬) dari waktu ke waktu. Dengan menggenapi ketiga jalan suci tersebut dia memenuhi seluruh kewajiban baktinya. Liji XXII:3 – Jitong
Agama Dao mengajarkan bahwa manusia yang mencapai kesempurnaan akan manjadi dewa-dewi sementara yang lainnya akan pergi ke alam bawah (neraka) untuk menjalani hukuman hingga tiba waktunya untuk dilahirkan kembali sebagai manusia. Dengan ajaran demikian, maka penguburan mewah sesuai kaidah Hongshui adalah hal sia-sia. Tidak berguna bagi orang mati juga tidak membawa berkah bagi orang hidup.
Agama Konghucu, Mojiao dan Dao sama-sama mengajarkan bahwa penguburan mewah dan sesuai kaidah Hongshui adalah tindakan sia-sia, bahkan bertentangan dengan ajaran agama. Namun, harus diakui, hingga saat ini masih banyak orang Tionghoa yang percaya bualan para penilik Hongshui tersebut. Apabila ada orang Tionghoa yang menyembah arwah leluhurnya dalam perayaan Cengbeng, maka itu berarti mereka melakukan hal yang dilarang oleh agamanya.
Di kampung saya makam-makam orang Tionghoa dipisahkan menurut sukunya. Sebagai orang Hokian, maka leluhur saya dimakamkan di makam Hokian. Di makam itu didirikan sebuah klenteng yang didedikasikan kepada Tu dikong.
Orang Tionghoa di kampung saya beribadah sesuai tradisi leluhurnya tanpa memahami ajaran apalagi maknanya. Sejak tahun 2003 setiap tahun saya pulang kampung dan ketika asyk ngobrol saya mengajarkan pengetahuan saya tentang agama Tiongkok kuno. Saat ini banyak di antara penduduk kampung saya yang mulai mengerti makna Cengbeng menurut ajaran Tiongkok kuno dan memahami bahwa Tu dikong adalah Tuhan pencipta alam semesta.
Saat merayakan Cengbeng keluarga Tionghoa kampung saya mengunjungi makam leluhurnya. Mereka membersihkan kuburan lalu menempelkan kertas perak (hokian: gincua) di makam. Mereka juga menyajikan makanan, membakar hio (dupa) dan kertas perak bagi almarhum leluhur dan kerabatnya. Di samping itu mereka juga menyajikan makanan, membakar hio (dupa) dan kertas emas (hokian: kimcua) di altar Houtu yang ada di sebelah kiri makam.
Sembahyang Cengbeng boleh dilakukan sejak sepuluh hari sebelum hingga sepuluh hari setelah Cengbeng. Tepat pada hari Cengbeng, orang-orang kampung saya merayakan Cengbeng dengan memasak dan makan bersama di halaman Klenteng dengan duduk beralaskan daun pisang. Cengbeng adalah hari kasih sayang, bukan hari untuk menyembah arwah.
Apakah orang Tionghoa Kristen boleh melakukan sembahyang Cengbeng? Adakah yang melarang orang Tionghoa Kristen membersihkan makam leluhurnya lalu menaburkan bunga? Sebagai orang Tionghoa saya percaya ajaran leluhur saya bahwa ketika seorang manusia meninggal, tubuhnya membusuk menjadi tanah sementara rohnya kembali kepada penciptanya. Sebagai orang Kristen saya percaya ajaran Alkitab bahwa ketika seorang manusia meninggal, tubuhnya membusuk jadi tanah sementara rohnya kembali kepada penciptanya. Walaupun tahu pasti makam-makam itu hanya berisi tulang belulang namun ada rasa tidak tega membiarkannya ditumbuhi rumput-rumput liar. Itulah alasan saya mengunjungi makam.
Saya adalah Tionghoa, Kristen Katolik. Saya merayakan Cheng Beng dengan berdoa dan tabur bunga di laut karena saudara pada dikremasi.Cheng Beng adalah memorial day bagi saya.Saya melakukannya karena utk mengenang dan mendoakan saudara kita yg udah dipanggil Tuhan.
BalasHapusSaya adalah Tionghoa, Kristen Katolik. Saya merayakan Cheng Beng dengan berdoa dan tabur bunga di laut karena saudara pada dikremasi.Cheng Beng adalah memorial day bagi saya.Saya melakukannya karena utk mengenang dan mendoakan saudara kita yg udah dipanggil Tuhan.
BalasHapus