Pages - Menu

Pages

Jumat, 01 Juli 2016

The Tibetan Book of the Dead (Buku kematian tibet)

Oleh : Padma Sambhava
Buku The Tibetan Book of the Dead, judul sebenarnya adalah ” The Great Liberation upon Hearing in the Intermediate State ”  atau “Bardo Thodol”, secara tradisional diyakini sebagai karya legendaris Padma Sambhava di abad ke-8 Masehi, Buku ini bersifat sebagai panduan yang menggambarkan kondisi setelah kematian sampai kelahiran kembali berikutnya. Ia dianggap sebagai salah satu orang pertama yang membawa agama Buddha ke Tibet. Bardo Thodol adalah buku panduan yang biasa dibaca dengan suara keras pada orang yang meninggal ketika mereka berada di antara kematian dan reinkarnasi agar mereka mengenali sifat pikiran mereka dan mencapai pembebasan dari siklus kelahiran kembali.
Bardo Thodol mengajarkan bahwa kesadaran setelah lepas dari tubuh menciptakan realitas mereka sendiri seperti yang dialami dalam mimpi. Mimpi ini terjadi dalam berbagai tahapan (bardo) dengan cara yang indah maupun yang mengerikan. Dengan munculnya visi dewa yang damai dan murka. Karena kesadaran orang yang telah meninggal biasanya berada dalam kebingungan dan tidak lagi terhubung ke tubuh fisik, diperlukan bantuan dan bimbingan dalam rangka pencerahan dan pembebasan terhadap apa yang terjadi. Bardo Thodol mengajarkan bagaimana kita dapat mencapai nirwana dengan mengenali alam surgawi bukan masuk ke alam bawah di mana siklus kelahiran dan kelahiran terus berlanjut.
Berikut ini adalah deskripsi tentang alam Bardo perjalanan manusia setelah kematian.
Bardo Pertama
Bardo yang pertama datang pada saat kematian adalah melihat Cahaya murni yang Putih dan Jernih. Ini adalah kondisi pembebasan dari tubuh fisik, jika jiwa dapat mengenalinya dan bertindak dengan benar di keadaan tersebut. Petunjuk buku ini dimaksudkan untuk dibaca pada saat kematian untuk membantu yang meninggal melakukan hal ini. Dia diberitahukan, pertama-tama, untuk menerima pengalaman tertinggi ini tidak dalam cara yang egois melainkan dengan cinta dan kasih sayang bagi semua makhluk. Hal ini akan membantunya dalam menuju langkah kedua, yaitu menyadari bahwa pikiran dan diri sendiri adalah identik dengan cahaya, menyiratkan bahwa ia sendiri adalah realitas tertinggi, “Kebaikan sang Buddha”, melampaui waktu, keabadian, dan semua ciptaan. Jika ia dapat mengenali hal ini saat berada dalam alam tertinggi ini pada saat kematian, ia akan mencapai pembebasan – yaitu, ia akan tetap berada di cahaya terang selamanya. Kondisi ini disebut “Dharmakaya”, yaitu tubuh rohani tertinggi dari Buddha.
Kebanyakan jiwa, bagaimanapun, akan gagal untuk melakukan ini. Mereka akan tertarik ke bawah, karena beban karma mereka, untuk maju ke tahap kedua dari Bardo pertama, yang disebut cahaya terang sekunder yang dilihat segera setelah kematian. Pada titik ini, ada instruksi terpisah harus dibaca sesuai dengan kondisi rohani seseorang ketika masih hidup. Bagi seorang individu yang maju dalam meditasi dan praktik spiritual lainnya, ada instruksi berulang-ulang yang sama seperti pada saat kematian, yang memerintahkan dia untuk mengakui dirinya sebagai Dharmakaya. Bagi seseorang yang masih di tingkat belajar pada jalan spiritual, ada perintah baginya untuk bermeditasi tentang “dewa yg mengawasi”, yaitu dewa tertentu yang membuat dirinya melakukan praktek-praktek devosional ketika hidup. Yang terakhir, “jika yang meninggal adalah rakyat biasa”, dan tidak mepraktekan spriritual secara disiplin, instruksinya adalah untuk “merenungkan Tuhan Pengasih yang Agung”, yang berarti sebuah “Avatar” yang disembah oleh orang banyak, setara dengan Yesus sebagaimana dipahami oleh rata-rata umat Kristen.
Bardo Kedua
Jika jiwa belum terbebaskan pada tahap pertama, ia akan turun ke Bardo kedua, yang dikatakan berlangsung selama dua minggu. Bardo kedua ini juga disebut alam sebab akibat. Bardo kedua juga dibagi menjadi dua bagian, pertama,  pertemuan dengan roh yang disebut sebagai “Dewa Damai.” Pada tujuh hari pertama, Buddha tertentu yang akan muncul dalam cahaya dan kemuliaan, dengan sekumpulan malaikat pembantunya. Pada saat yang sama, pada gilirannya akan ada cahaya bersinar dari salah satu dari enam Buddhis alam semesta, yang disebut “Lokas” (makna dasar adalah “tempat”; akar kata bahasa Inggris “location” dan “local” adalah berasal dari akar bahasa Sansekerta yang sama).
Pada hari pertama Bardo kedua, tampaknya ada jiwa Ilahi – yaitu, dewa tertinggi alam semesta, yang melampaui semua dualitas. Langkah berikutnya terhadap nasib jiwa ini ditentukan oleh reaksi dari dewa tertinggi ini. Jika kehidupannya di Bumi dijalani dengan baik, ia akan berada dalam keadaan suci dan rahmat, dan ia akan menerima sukacita dari Tuhan dan mencapai pembebasan. Jika di sisi lain ia memiliki hidup yang tercela, akibat dari banyaknya karma buruk yang akan menyebabkan ketakutan dan kengerian di dalam hatinya, dan ia tidak akan ditarik kepada cahaya lembut dari Deva-Loka. Ini cukup menarik, karena Dewa adalah Tuhan(atau malaikat), dan Loka setara dengan surga di dalam ajaran Kristen, tetapi dalam ajaran Buddha surga bukanlah tujuan rohani tertinggi, karena ini adalah kondisi yang sementara di alam semesta.Pembebasan diyakini menjadi satu-satunya tempat istirahat yang final dan permanen bagi jiwa, sebuah keadaan yang nyata melampaui semua eksistensi.
Pada hari kedua, muncul yang Tuhan tertinggi kedua dalam panteon Buddhis, ia sebenarnya adalah Pribadi Kedua dalam Tritunggal Mahakudus Buddha. Pada saat yang sama, ada cahaya yang berasap dari neraka; dan di sini kita perhatikan bahwa, sama seperti pemahaman Buddha bahwa surga tidak permanen, bukan kondisi yang kekal, demikian juga dengan neraka. Bahkan jiwa yang paling jahat sekalipun pada akhirnya akan berusaha keluar dari lubang neraka, bahkan jiwa tertinggi dan paling murni sekalipun pada akhirnya bisa kehilangan pijakan di sorga dan turun ke siklus kematian dan kelahiran kembali. Pembebasan adalah satu-satunya jalan keluar.
Pola ini diulang pada hari yang ketiga; ini adalah egoisme yang akan menyebabkan jiwa bereaksi dengan rasa takut terhadap Tuhan , dan ia akan ditarik ke dunia manusia, di mana inkarnasi berikutnya akan terjadi.
Pada hari keempat munculah Dewa keabadian, jika jiwa memiliki reaksi negatif padanya akibat kekikiran dan kemelekatannya, ia akan ditarik ke arah kelahiran kembali dalam Preta-Loka, sebuah dunia yang berisi”hantu yang lapar” yang memiliki perut besar dan tenggorokan seukuran lubang jarum, sehingga mereka berkeliaran dalam keadaan terus-menerus kelaparan dan keinginan yang tidak terpuaskan.
Pada hari kelima datang Tuhan dalam bentuk Maha Penakluk; kali ini kecemburuan yang akan dilepaskan dari jiwa, dan dia akan dilahirkan ke dalam Asura-Loka, dunia dewa pejuang yang sengit(atau iblis). Pada hari keenam semua dewa akan kembali dan muncul bersama-sama, bersama dengan cahaya dari semua enam Lokas. Pada hari ketujuh muncul Dewa Pengetahuan, yang lebih galak berwujud lebih seperti iblis daripada yang sebelumnya. Sebenarnya mereka adalah semacam elemen transisi ke tahap berikutnya dari Bardo kedua, di mana jiwa bertemu dewa yang murka. Sementara itu, jika karena kebodohan jiwa tidak dapat menghadapi Dewa Pengetahuan, ia akan ditarik ke Brute-Loka – yaitu, ia akan terlahir kembali di bumi sebagai binatang.
Pada minggu kedua dari Bardo kedua , jiwa bertemu tujuh pasukan Dewa murka : yang mengerikan dan menakutkan, mereka akan datang kepadanya dengan api dan pedang, minum darah dari tengkorak manusia, mengancam untuk melakukan penyiksaan kejam kepadanya, untuk melukai, mengeluarkan isi perut, memancung dan membunuhnya. Kecenderungan alami, tentu saja, bagi jiwa adalah mencoba melarikan diri dari makhluk-makhluk ini, dengan menjerit-jerit, menjauh dari teror ini, tetapi jika dia melakukannya, semua akan hilang. Petunjuk pada tahap Bardo ini bagi jiwa adalah jangan memiliki rasa takut, melainkan untuk mengenali bahwa Dewa murka sesungguhnya adalah dewa Perdamaian yang sedang menyamar, mereka mewujudkan sisi gelap yang telah meninggal sebagai akibat dari karma jahat mereka sendiri. Jiwa diperintahkan untuk tenang menghadapi setiap setan tersebut yang pada gilirannya akan mewujudkan dirinya sebagai dewa sesungguhnya, atau dewa yang lain yakni Dewa yg mengawasi dirinya, jika ia dapat melakukan hal ini, ia akan bergabung dengan makhluk dan mencapai tingkat Pembebasan kedua, aspek yang lebih kecil itu adalah yang terbaik yang dapat diharapkan untuk dicapai di sini, di Bardo kedua.
Lebih jauh lagi, diperintahkan kepadanya untuk membangkitkan fakta bahwa semua makhluk menakutkan ini sesungguhnya tidak nyata, tetapi hanya ilusi yang berasal dari pikirannya sendiri. Jika ia bisa menyadari hal ini, mereka akan lenyap dan ia akan dibebaskan. Jika ia tidak bisa, dia akhirnya akan mengembara ke Bardo ketiga.
Bardo ketiga
Dalam Bardo ketiga jiwa menjumpai Dewa Maut, dewa jahat yang menakutkan yang muncul berupa asap dan api, dan mengadili jiwa. Jika orang yang meninggal menyangkal bahwa ia tidak melakukan kejahatan, dewa maut mengangkat di hadapannya sebuah Cermin Karma, “di mana setiap kebaikan dan kejahatan yang dilakukan secara jelas tercermin.” Sekarang para setan mulai mendekat dan mulai memberikan siksaan dan hukuman bagi jiwa atas perbuatan jahat. Petunjuk dalam Bardo Thodol pada dirinya adalah untuk mencoba mengenali kekosongan dari semua makhluk, termasuk dewa Maut itu sendiri; pada orang yang meninggal dikatakan bahwa seluruh adegan yang berlangsung di sekelilingnya ini adalah proyeksi dari pikirannya sendiri. Bahkan di sini ia dapat mencapai pembebasan dengan mengenali hal ini.
Jiwa yang masih belum dibebaskan setelah penghakiman kemudian ditarik untuk menghadapi kelahiran kembali.
Cahaya-cahaya dari enam Lokas akan menyingsing kembali; ke salah satu dari dunia-dunia ini jiwa harus dilahirkan, dan cahaya yang dia ditakdirkan untuk miliki akan bersinar lebih terang daripada yang lain. Jiwa ini masih mengalami tampilan yang menakutkan dan penderitaan di Bardo ketiga, dan ia merasa bahwa ia akan melakukan apa saja untuk melepaskan diri dari kondisi ini. Dia akan mencari perlindungan pada apa yang tampak seperti gua-gua atau tempat persembunyian, tetapi sebenarnya itu adalah merupakan pintu masuk ke dalam rahim. Dia diperingatkan tentang hal ini oleh teks Bardo Thodol, yang mendesak mereka untuk tidak masuk, dengan bermeditasi pada Cahaya yang jernih tersebut; masih mungkin baginya untuk mencapai derajat ketiga pembebasan dan menghindari kelahiran kembali.
Akhirnya ada satu titik di mana tidak lagi memungkinkan untuk mencapai pembebasan, jiwa ini diberikan petunjuk tentang cara untuk memilih rahim yang terbaik dan menguntungkan untuk inkarnasi. Metode dasarnya adalah ketidak melekatan : mencoba melampau dualitas kesenangan dan penderitaan duniawi.
Kata-kata terakhir dari Bardo Thodol adalah: “Biarlah kebajikan dan kebaikan disempurnakan dalam segala hal.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar