Oleh : Padma Sambhava
Buku The Tibetan Book of the Dead, judul sebenarnya adalah ” The Great Liberation upon Hearing in the Intermediate State ” atau “Bardo Thodol”,
secara tradisional diyakini sebagai karya legendaris Padma Sambhava di
abad ke-8 Masehi, Buku ini bersifat sebagai panduan yang menggambarkan
kondisi setelah kematian sampai kelahiran kembali berikutnya. Ia
dianggap sebagai salah satu orang pertama yang membawa agama Buddha ke
Tibet. Bardo Thodol adalah buku panduan yang biasa dibaca
dengan suara keras pada orang yang meninggal ketika mereka berada di
antara kematian dan reinkarnasi agar mereka mengenali sifat pikiran
mereka dan mencapai pembebasan dari siklus kelahiran kembali.
Bardo Thodol mengajarkan bahwa kesadaran setelah lepas dari tubuh
menciptakan realitas mereka sendiri seperti yang dialami dalam mimpi.
Mimpi ini terjadi dalam berbagai tahapan (bardo) dengan cara yang indah
maupun yang mengerikan. Dengan munculnya visi dewa yang damai dan murka.
Karena kesadaran orang yang telah meninggal biasanya berada dalam
kebingungan dan tidak lagi terhubung ke tubuh fisik, diperlukan bantuan
dan bimbingan dalam rangka pencerahan dan pembebasan terhadap apa yang
terjadi. Bardo Thodol mengajarkan bagaimana kita dapat mencapai nirwana
dengan mengenali alam surgawi bukan masuk ke alam bawah di mana siklus
kelahiran dan kelahiran terus berlanjut.
Berikut ini adalah deskripsi tentang alam Bardo perjalanan manusia setelah kematian.
Bardo Pertama
Bardo yang pertama datang pada saat kematian adalah melihat Cahaya
murni yang Putih dan Jernih. Ini adalah kondisi pembebasan dari tubuh
fisik, jika jiwa dapat mengenalinya dan bertindak dengan benar di
keadaan tersebut. Petunjuk buku ini dimaksudkan untuk dibaca pada saat
kematian untuk membantu yang meninggal melakukan hal ini. Dia
diberitahukan, pertama-tama, untuk menerima pengalaman tertinggi ini
tidak dalam cara yang egois melainkan dengan cinta dan kasih sayang bagi
semua makhluk. Hal ini akan membantunya dalam menuju langkah kedua,
yaitu menyadari bahwa pikiran dan diri sendiri adalah identik dengan
cahaya, menyiratkan bahwa ia sendiri adalah realitas tertinggi,
“Kebaikan sang Buddha”, melampaui waktu, keabadian, dan semua ciptaan.
Jika ia dapat mengenali hal ini saat berada dalam alam tertinggi ini
pada saat kematian, ia akan mencapai pembebasan – yaitu, ia akan tetap
berada di cahaya terang selamanya. Kondisi ini disebut “Dharmakaya”,
yaitu tubuh rohani tertinggi dari Buddha.
Kebanyakan jiwa, bagaimanapun, akan gagal untuk melakukan ini. Mereka
akan tertarik ke bawah, karena beban karma mereka, untuk maju ke tahap
kedua dari Bardo pertama, yang disebut cahaya terang sekunder yang
dilihat segera setelah kematian. Pada titik ini, ada instruksi terpisah
harus dibaca sesuai dengan kondisi rohani seseorang ketika masih hidup.
Bagi seorang individu yang maju dalam meditasi dan praktik spiritual
lainnya, ada instruksi berulang-ulang yang sama seperti pada saat
kematian, yang memerintahkan dia untuk mengakui dirinya sebagai
Dharmakaya. Bagi seseorang yang masih di tingkat belajar pada jalan
spiritual, ada perintah baginya untuk bermeditasi tentang “dewa yg
mengawasi”, yaitu dewa tertentu yang membuat dirinya melakukan
praktek-praktek devosional ketika hidup. Yang terakhir, “jika yang
meninggal adalah rakyat biasa”, dan tidak mepraktekan spriritual secara
disiplin, instruksinya adalah untuk “merenungkan Tuhan Pengasih yang
Agung”, yang berarti sebuah “Avatar” yang disembah oleh orang banyak,
setara dengan Yesus sebagaimana dipahami oleh rata-rata umat Kristen.
Bardo Kedua
Jika jiwa belum terbebaskan pada tahap pertama, ia akan turun ke
Bardo kedua, yang dikatakan berlangsung selama dua minggu. Bardo kedua
ini juga disebut alam sebab akibat. Bardo kedua juga dibagi menjadi dua
bagian, pertama, pertemuan dengan roh yang disebut sebagai “Dewa
Damai.” Pada tujuh hari pertama, Buddha tertentu yang akan muncul dalam
cahaya dan kemuliaan, dengan sekumpulan malaikat pembantunya. Pada saat
yang sama, pada gilirannya akan ada cahaya bersinar dari salah satu dari
enam Buddhis alam semesta, yang disebut “Lokas” (makna dasar adalah
“tempat”; akar kata bahasa Inggris “location” dan “local” adalah berasal
dari akar bahasa Sansekerta yang sama).
Pada hari pertama Bardo kedua, tampaknya ada jiwa Ilahi – yaitu, dewa
tertinggi alam semesta, yang melampaui semua dualitas. Langkah
berikutnya terhadap nasib jiwa ini ditentukan oleh reaksi dari dewa
tertinggi ini. Jika kehidupannya di Bumi dijalani dengan baik, ia akan
berada dalam keadaan suci dan rahmat, dan ia akan menerima sukacita
dari Tuhan dan mencapai pembebasan. Jika di sisi lain ia memiliki hidup
yang tercela, akibat dari banyaknya karma buruk yang akan menyebabkan
ketakutan dan kengerian di dalam hatinya, dan ia tidak akan ditarik
kepada cahaya lembut dari Deva-Loka. Ini cukup menarik, karena Dewa
adalah Tuhan(atau malaikat), dan Loka setara dengan surga di dalam
ajaran Kristen, tetapi dalam ajaran Buddha surga bukanlah tujuan rohani
tertinggi, karena ini adalah kondisi yang sementara di alam
semesta.Pembebasan diyakini menjadi satu-satunya tempat istirahat yang
final dan permanen bagi jiwa, sebuah keadaan yang nyata melampaui semua
eksistensi.
Pada hari kedua, muncul yang Tuhan tertinggi kedua dalam panteon
Buddhis, ia sebenarnya adalah Pribadi Kedua dalam Tritunggal Mahakudus
Buddha. Pada saat yang sama, ada cahaya yang berasap dari neraka; dan di
sini kita perhatikan bahwa, sama seperti pemahaman Buddha bahwa surga
tidak permanen, bukan kondisi yang kekal, demikian juga
dengan neraka. Bahkan jiwa yang paling jahat sekalipun pada akhirnya
akan berusaha keluar dari lubang neraka, bahkan jiwa tertinggi dan
paling murni sekalipun pada akhirnya bisa kehilangan pijakan di sorga
dan turun ke siklus kematian dan kelahiran kembali. Pembebasan adalah
satu-satunya jalan keluar.
Pola ini diulang pada hari yang ketiga; ini adalah egoisme yang akan
menyebabkan jiwa bereaksi dengan rasa takut terhadap Tuhan , dan ia akan
ditarik ke dunia manusia, di mana inkarnasi berikutnya akan terjadi.
Pada hari keempat munculah Dewa keabadian, jika jiwa memiliki reaksi
negatif padanya akibat kekikiran dan kemelekatannya, ia akan ditarik ke
arah kelahiran kembali dalam Preta-Loka, sebuah dunia yang berisi”hantu
yang lapar” yang memiliki perut besar dan tenggorokan seukuran lubang
jarum, sehingga mereka berkeliaran dalam keadaan terus-menerus kelaparan
dan keinginan yang tidak terpuaskan.
Pada hari kelima datang Tuhan dalam bentuk Maha Penakluk; kali ini
kecemburuan yang akan dilepaskan dari jiwa, dan dia akan dilahirkan ke
dalam Asura-Loka, dunia dewa pejuang yang sengit(atau iblis). Pada hari
keenam semua dewa akan kembali dan muncul bersama-sama, bersama dengan
cahaya dari semua enam Lokas. Pada hari ketujuh muncul Dewa Pengetahuan,
yang lebih galak berwujud lebih seperti iblis daripada yang sebelumnya.
Sebenarnya mereka adalah semacam elemen transisi ke tahap berikutnya
dari Bardo kedua, di mana jiwa bertemu dewa yang murka. Sementara itu,
jika karena kebodohan jiwa tidak dapat menghadapi Dewa Pengetahuan, ia
akan ditarik ke Brute-Loka – yaitu, ia akan terlahir kembali di bumi
sebagai binatang.
Pada minggu kedua dari Bardo kedua , jiwa bertemu tujuh pasukan Dewa
murka : yang mengerikan dan menakutkan, mereka akan datang kepadanya
dengan api dan pedang, minum darah dari tengkorak manusia, mengancam
untuk melakukan penyiksaan kejam kepadanya, untuk melukai, mengeluarkan
isi perut, memancung dan membunuhnya. Kecenderungan alami, tentu saja,
bagi jiwa adalah mencoba melarikan diri dari makhluk-makhluk ini, dengan
menjerit-jerit, menjauh dari teror ini, tetapi jika dia melakukannya,
semua akan hilang. Petunjuk pada tahap Bardo ini bagi jiwa adalah jangan
memiliki rasa takut, melainkan untuk mengenali bahwa Dewa murka
sesungguhnya adalah dewa Perdamaian yang sedang menyamar, mereka
mewujudkan sisi gelap yang telah meninggal sebagai akibat dari karma
jahat mereka sendiri. Jiwa diperintahkan untuk tenang menghadapi setiap
setan tersebut yang pada gilirannya akan mewujudkan dirinya sebagai dewa
sesungguhnya, atau dewa yang lain yakni Dewa yg mengawasi dirinya, jika
ia dapat melakukan hal ini, ia akan bergabung dengan makhluk dan
mencapai tingkat Pembebasan kedua, aspek yang lebih kecil itu adalah
yang terbaik yang dapat diharapkan untuk dicapai di sini, di Bardo
kedua.
Lebih jauh lagi, diperintahkan kepadanya untuk membangkitkan fakta
bahwa semua makhluk menakutkan ini sesungguhnya tidak nyata, tetapi
hanya ilusi yang berasal dari pikirannya sendiri. Jika ia bisa menyadari
hal ini, mereka akan lenyap dan ia akan dibebaskan. Jika ia tidak bisa,
dia akhirnya akan mengembara ke Bardo ketiga.
Bardo ketiga
Dalam Bardo ketiga jiwa menjumpai Dewa Maut, dewa jahat yang
menakutkan yang muncul berupa asap dan api, dan mengadili jiwa. Jika
orang yang meninggal menyangkal bahwa ia tidak melakukan kejahatan, dewa
maut mengangkat di hadapannya sebuah Cermin Karma, “di mana setiap
kebaikan dan kejahatan yang dilakukan secara jelas tercermin.” Sekarang
para setan mulai mendekat dan mulai memberikan siksaan dan hukuman bagi
jiwa atas perbuatan jahat. Petunjuk dalam Bardo Thodol pada dirinya
adalah untuk mencoba mengenali kekosongan dari semua makhluk, termasuk
dewa Maut itu sendiri; pada orang yang meninggal dikatakan bahwa seluruh
adegan yang berlangsung di sekelilingnya ini adalah proyeksi dari
pikirannya sendiri. Bahkan di sini ia dapat mencapai pembebasan dengan
mengenali hal ini.
Jiwa yang masih belum dibebaskan setelah penghakiman kemudian ditarik untuk menghadapi kelahiran kembali.
Cahaya-cahaya dari enam Lokas akan menyingsing kembali; ke salah satu
dari dunia-dunia ini jiwa harus dilahirkan, dan cahaya yang dia
ditakdirkan untuk miliki akan bersinar lebih terang daripada yang lain.
Jiwa ini masih mengalami tampilan yang menakutkan dan penderitaan di
Bardo ketiga, dan ia merasa bahwa ia akan melakukan apa saja untuk
melepaskan diri dari kondisi ini. Dia akan mencari perlindungan pada apa
yang tampak seperti gua-gua atau tempat persembunyian, tetapi
sebenarnya itu adalah merupakan pintu masuk ke dalam rahim. Dia
diperingatkan tentang hal ini oleh teks Bardo Thodol, yang mendesak
mereka untuk tidak masuk, dengan bermeditasi pada Cahaya yang jernih
tersebut; masih mungkin baginya untuk mencapai derajat ketiga pembebasan
dan menghindari kelahiran kembali.
Akhirnya ada satu titik di mana tidak lagi memungkinkan untuk
mencapai pembebasan, jiwa ini diberikan petunjuk tentang cara untuk
memilih rahim yang terbaik dan menguntungkan untuk inkarnasi. Metode
dasarnya adalah ketidak melekatan : mencoba melampau dualitas kesenangan
dan penderitaan duniawi.
Kata-kata terakhir dari Bardo Thodol adalah: “Biarlah kebajikan dan kebaikan disempurnakan dalam segala hal.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar