BAGIAN 7
Avalokitesvara dan Mahasthamaprapta
AMITAYUR DHYANA SUTRA mengajarkan bahwa di Tanah Murni Sukhavati terdapat dua orang Bodhisattva, yakni Avalokitesvara dan Mahasthamaprapta. Kedua orang Bodhisattva ini dapat melambangkan sikap yang harus kita miliki di dalam mengembangkan Tanah Murni Sukhavati. Marilah kita pelajari, apakah yang dimaksud dengan kedua Bodhisattva di atas.
Secara etimologis Avalokitesvara berarti “Pengamat
Suara Dunia.” Yang dimaksud dengan “Suara Dunia” adalah jeritan dan ratapan penderitaan para makhluk. Ini melambangkan sikap kepedulian kita terhadap penderitaan makhluk lain. Kita harus menjadikan diri
kita Avalokitesvara-Avalokitesvara dunia. Salah satu perwujudan Avalokitesvara adalah “Avalokitesvara Bertangan Seribu dan Bermata Seribu” (Sahasra Bhuje Sahasra Netre Avalokitesvara Bodhisattva, Mandarin:
Qianshou Qianyan Guanshiyin Busa). Ini adalah perwujudan Avalokitesvara yang bertangan seribu, di mana pada tiap tangannya terdapat sebuah mata. Seribu tangan tersebut melambangkan kesanggupan untuk menolong dalam situasi dan kondisi apapun. Seribu mata melambangkan kepedulian dan kepekaan di dalam menolong semua makhluk. Banyak orang yang sesungguhnya memiliki tangan untuk menolong orang lain, namun mereka tidak
melakukannya. Banyak orang yang membutakan dirinya terhadap penderitaan orang lain. Ini merupakan salah satu penyebab, mengapa dunia ini tidak kunjung menjadi Tanah Murni. Avalokitesvara juga melambangkan cinta
kasih. Mahabhiksuni Cheng-yen, pendiri yayasan Tzu Chi, suatu yayasan sosial yang berusaha meringankan penderitaan para makhluk, juga terinsipirasi oleh Bodhisattva Avalokitesvara.
Mahasthamaprapta, berarti “Kekuatan Besar.” Kekuatan ini adalah kekuatan untuk membebaskan para makhluk dari penderitaan. Cinta kasih tanpa kekuatan adalah kelemahan. Kita harus memiliki keseimbangan antara
kasih dan kekuatan. Banyak orang yang sesungguhnya memiliki cinta kasih dan berhasrat untuk menolong makhluk lainnya, namun gagal dikarenakan tiadanya kekuatan. Namun sebaliknya banyak para tiran di muka bumi ini yang memiliki kekuatan, namun tidak memiliki cinta kasih. Demikianlah, dari sini kita seyogianya menyadari bahwa kekuatan dan cinta kasih adalah sesuatu yang saling melengkapi, dengan bersikapkan kedua hal itu kita akan mulai merubah dunia ini menjadi Tanah Murni.
BAGIAN 8
Memulai dari mana?
Apabila kita telah berikrar untuk merubah dunia ini dan telah pula mengetahui rencana untuk melakukannya, maka barangkali timbul pula pertanyaan dalam diri kita: Dari manakah akan memulai? Jawabnya sederhana
saja kita memulai dari yang dekat dengan diri kita. Hal ini jugalah yang dikatakan oleh Yang Mulia Ch’an Master Sheng-yen dalam bukunya “Complete
Enlightenment, Zen comments on the Sutra of Complete Enlightenment” hal 205:
“Di dalam menolong para makhluk sebagai contoh, adalah bijaksana untuk mengawalinya dengaan mereka yang berada di sekitar Anda, yakni keluarga, kawan, dan kenalan. Jika seseorang mengabaikan mereka yang dekat
dengannya, namun membicarakan mengenai menolong semua makhluk dan mengawalinya dengan semut dan ikan, maka ia telah berpandangan salah. Sutra-Sutra Buddhis mengatakan bahwa kita seharusnya menolong mereka yang berada dalam posisi sama dengan kita, dan bertolak dari hal tersebut kita memperluasnya hingga mencapai yang terbaik dari kesanggupan kita.”
Kita bisa juga mengawali dari lingkungan vihara kita. Kita bisa tanyakan pada diri kita, apakah semua yang hadir di vihara tersebut telah merasa, bahwa tempat tersebut Tanah Murni? Masih adakah kaum yang terpinggirkan di sana? Masih adakah kesenjangan sosial di dalamnya? Meskipun kita kaya, apakah bijaksana apabila kita memamerkan kekayaan kita di vihara? Ini
sangat penting mengingat vihara bukan hanya tempat ibadah, vihara adalah juga tempat sosial kemasyarakatan. Di dalam Tanah Murni tidak ada lagi
kesenjangan sosial, karenanya marilah kita wujudkan keadaan demikian di muka bumi ini, dimulai dari vihara kita sendiri. Jangan jadikan vihara sebagai kumpulan orang-orang buangan, jadikanlah ia kumpulan orang-orang berkualitas.
Demikian juga halnya dengan para Bhiksu, mereka juga seyogianya interpretasi diri, apakah mereka telah berpartisipasi aktif mengembangkan Tanah Murni atau malah mengembangkan Tanah Duit.
BAGIAN 9
Kesimpulan dan Penutup
Kita tidak perlu mengharapkan Tanah Murni setelah kematian kita. Justru kitalah yang perlu mewujudkannya di muka bumi ini dengan kedua belah tangan kita. Di dalam melafalkan Amitabha kita seyogianya mengembangkan kesadaran yang kuat, bahwa dalam tiap momen, hembusan nafas, dan langkah, kita bertekad untuk menjadikan dunia ini Tanah Murni.
Seorang praktisi Tanah Murni sejati adalah ia yang berperan aktif dalam merubah dunia ini, atau setidaknya berusaha meringankan penderitaan sesamanya. Berdana merupakan salah satu di antaranya. Saya lebih setuju berdana dilakukan sendiri-sendiri dan tidak secara kelompok untuk menghindarkan sikap pamer. Sudahkan Anda berdana hari ini?
Sebagai penutup marilah kita harapkan agar semua makhluk berbahagia.
(Ivan Taniputera dipl. Ing)
sumber : tripitaka_indonesiana
Sebuah upadesa diberikan oleh Budha Hidup Lu Sheng-yen di vihara Ling Sheng Ching Tze pada tanggal 7Juni 1999.
Diterjemahkan oleh Janny Chow dari artikel yang muncul di issiu 245 dan 246 dari Koran Satyabudha, diterbitkan pada tanggal 10/28/99 dan 11/4/99.
Sebelumnya, pendeta Lian-xing berbicara mengenai sadhana menjapa mantera Budha. Seperti yang pernah terutarakan dalam Pengajaran Jalan Tersusun dalam Tantrayana, seseorang bisa menjapa nama dari para Budha atau mantera. Penjapaan mantera adalah salah satu jalan untuk berhubungan dengan pikiran (panna) Budha. Yang terkandung di dalam mantera adalah satu kekuatan mistik (ajaib) satu kunci yang membuka pintu menuju pikiran (panna) Budha. Kedua-duanya nama para Budha dan penjapaan mantera menggunakan suara. Dalam Tantrayana, ditekankan pada penjapaan mantera karena ini adalah sala satu dari tiga sadhana yang dapat membimbing seseorang medapatkan pencapaian atau Penerangan. Kata "chi-ming" berarti penjapaan mantera. "Chi-ming" berarti secara terus-menerus memegangi sinar dimana sinar adalah sifat dari pikiran (panna) dari para Budha.
Walaupun sadhana dasar dari Tantrayana adalah sadhana "tahap penimbulan", sadhana tersebut teramatlah penting dan dapat dilihat sebagai satu modal yang seseorang harus punyai jika seseorang ingin berhasil dalam sadhana "tahap penyempurnaan". Maka dari itu sangatlah penting bahwa seseorang memenuhi persyaratan beberapa banyak penjapaan mantera dalam sadhana dasar. Meskipun kekuatan asli dari penjapaan mantera tidak jelas, di saat seseorang dengan terus-menerus "meresapi" diri dalam suara mantera dan berhubungan dengan pikiran (panna) Budha, arti terpentingnya menjadi terbabarkan.
Singkatnya, disaat sadhaka memikirkan Sang Budha, seseorang melakukan visualisasi. Tujuan utama dari menjapa sebuah mantera adalah untuk membantu memasuki pikiran (panna) Budha. Disaat seseorang menjapa mantera, seseorang juga memasuki pikiran (panna) Budha. Visualisasi, menjapa mantera, dan membentuk mudra adalah metoda-metoda unik dari Tantrayana. Tsongkapha telah pernah berkata bahwa penjapaan nama para Budha adalah menjapa nama para Budha, dimana menjapa mantera adalah berbicara-bicara dengan pikiran (panna) Budha. Yang pertama tadi menfokuskan kepada Budha yang diluar yang terakhir terfokus akan Budha yang di dalam. Kedua-duanya teramat penting.
Lihat sajalah pelatihan kita dan anda akan dapat melihat sebagai sebuah proses yang terdapat di dalamnya penjapaan banyak mantera. Setiap mantera ada maksudnya tersendiri. Kadang-kadang satu suara saja dapat membuat sesuatu yang penting sekali. Misalnya "hum". Biasanya pikiran kita berada dalam satu keadaan tidak terpusatkan. Jika anda dapat dengan sepenuhnya memusatkan pikiran anda pada satu syllabus saja, anda akan dapat menaklukan sang-diri. Disaat menjapa, suara "hum", visualisasikan "hum" muncul di hadapan kedua mata anda: satu titik, satu piringan matahari, satu piringan rembulan, satu garisan horizontal, satu bentuk seperti nomor lima, diikuti oleh satu, dua, dan tiga lengkungan. Satu bentuk yang indah sekali memancarkan satu sinar yang begitu terangnya. Setelah itu dalam pikiran anda, anda menjapa satu lagi "hum" dan menvisualisasikan "hum" terwujud di hadapan anda, memancarkan sinar, dan merubah tubuh anda menjadi satu "hum". Kemudian dua syllabus "hum" bergabung bersama-sama menimbulkan satu sinar yang memancar keluar ke segala arah.
Melaksanakan sadhana dilandaskan pada satu "hum" terdapat dalam Tantrayana, dimana diketahui sebagai "penjapaan vajra". Kemanakah perginya tujuan dari penjapaan ini? Apakah yang anda pelajari dari menjapa mantera ini? Anda belajar untuk membawa pikiran anda menjadi terfokus. Tidak hanya ini, melalui sadhana ini anda juga mencapai satu "peresapan" dan masuk satu tingkatan "Kemanusiaan". Dikarenakan mantera "hum" terdapat pada dua puluh alam surgawi yang berbeda-beda, dengan melakukan "hum" sadhana akan akhirnya membikin anda menjadi terlahir ke alam surgawi tersebut. Ini, sebenarnya, sangat ajaib. Apakah pernah terpikirkan oleh anda bahwa dalam Sadhana Visualisasi Kebudhaan dalam Tujuh Hari, anda dapat menvisualisasikan semua alam surgawi berubah menjadi syllabus "ah" sedangkan anda merubah menjadi "hum"? Asalkan anda dapat mengarahkan chi anda keluar ketika "ah" mencantol "hum", anda akan berhasil dalam sadhana ini.
Dalam Tantrayana, disaat anda menjapa mantera sepuluh ribu kali, seratus ribu kali, satu juta kali, lima juta kali, atau bahkan sepuluh juta kali, anda sebenarnya memanggil pikiran (panna) Budha, mendekati semakin dekat dan, kelamaan, manunggal (eka). Suara dari mantera mempunyai rahasia tersendiri dan misteri. Sebagaimana saya selalu katakana, dimana anda boleh biasa-biasa saja menjapa nama dari para Budha atau mantera, lebih baiknya membawa pikiran anda terfokus ketika menjapa. Satu cara yang lebih canggih lagi adalah dengan menfokuskan pikiran dan dengan sungguh-sungguh masuk dalam intisari (pikiran) dari mantera tersebut. Misalnya, ketika anda menjapa satu mantera, satu syllabus ini akan hadir di hadapan anda atau di dalam pikiran anda. Semacam kekuatan akan terbentuk dengan jalan ini. Pencapaian dengan penjapaan mantera berarti anda dapat menimbulkan kekuatan ini.
Dengan bersadhana dengan jalan ini akan merubah mantra menjadi semacam satu kekuatan. Misalnya, dalam Mantera Hati Guru, "OM" adalah alam semesta, "GURU" adalah seorang guru yang membimbing atau Acharya, "LIAN-SHENG" adalah nama Budha, "SIDDHI" adalah sukhavati, dan "HUM" adalah pencapaian. Dengan menjapa Mantera Hati Guru , Tanah Suci dari Sang Guru akan, dalam waktunya, hadir dihadapan anda dan anda akan dapat terlahir ke Tanah Suci Kolam Teratai Kembar Yang Agung. Ini dikarenakan oleh sifat asli dari kekuatan mantera. Beberapa orang menanyakan apakah "Lian-sheng" dapat menjadi satu mantera. Lian-sheng, atau "teratai yang terlahir", adalah "padma". Selayaknya dalam Mantera Hati Pamasambhava: "Om Ah Hum, Bezha Guru Pema Siddhi, Hum She" sang bijak Padmasambhava, seorang Tathagata terbentuk dari kumpulan kesadaran (pikiran) alam semesta, telah membangun satu Tanah Suci sebagai satu pencapaian Beliau. Padma adalah teratai yang terlahir, Lian-sheng juga teratai yang terlahir tapi digunakan di sini sebagai nama dari para Budha. Yang mana yang satunya adalah bersifat luar, dan yang lainnya adalah dalam. Mereka masing-masing mempunyai arti yang tersendiri. Menjapa mantera tersebut seperti yang saya syaratkan , anda juga akan mencapai "terlahir dengan penjelmaan teratai" dalam pikiran anda. Jika anda menjapa mantera berturut-turut dalam jangka waktu lama, anda akan mengumpulkan banyak modal atau bahan pokok. Pada waktunya untuk matang, anda akan membawa pikiran anda terfokuskan dan mencapai "penyerapan", maka darinya membangkitkan kekuatan. Pada saat hal ini terbentuk, anda akan meraih pencapaian chi-ming atau penjapaan mantera.
Om Mani Padme Hum.
Cuplikan perbincangan Acharya Samantha Chou pada Perkumpulan Teratai Ungu pada tanggal 11November 1998.
Diterjemahkan oleh Janny Chow
Kita baru saja melaksanakan satu Homa api Budha Pengobatan untuk penyucian, penyembuhan dan penyeberangan Bardo. Hari ini hari pesta buat Budha Pengobat, dan ini juga hari pesta terakhir dari para Bodhisattva dan Budha yang kita akan selenggarakan pada tahun 1998. Hari penyelenggaraan yang berikutnya, kita akan menyelenggarakan Budha Amitabha dan akan diselenggarakan pada 4 Januari 1999.
Sangat jelas dari nama Budha Pengobat bahwa Beliau telah bersumpah untuk membantu mereka yang sakit dan yang berdoa kepada Beliau untuk bantuan. Setiap kali, sebagaimana kita menyelenggarakan hari pesta untuk satu Budha atau Bodhisattva, saya selalu dengan tulus menyambut sang Dewata untuk memberkati kita dengan beberapa upadesa. Hari ini, sebelum saya menyatakan permintaan ini, Sang Budha Pengobat bertanya kepada sebuah pertanyaan. Beliau bertanya,"Apakah syarat utama dari suksess?"
Dengan bodohnya, saya mempersembahkan sebuah jawaban dari prespektif saya sendiri,"kesengsaraan!" Penderitaan membuat seseorang untuk mempelajari banyak pelajaran hidup. Bagi seseorang yang tidak sensitive, tidak ada apa-apa yang dapat diperbuat. Tapi buat seseorang yang merasakan kesakitan dan dunia keletihan, penderitaan dapat mendorongnya untuk mencari kebahagiaan yang abadi. Ketika seseorang menemukan kebahagiaan yang abadi ini, seseorang akan suksess.
Sang Budha Pengobat tidak berkata apakah saya benar atau salah, namun Beliau menawarkan sebuah jawaban yang lainnya, jadi saya tahu bahwa saya salah. Beliau berkata,"Persyaratan untuk suksess adalah ketidak sembronoan." Segera setelah Beliau berkata demikian, saya segera mendapatkan perasaan semacam mengambil langkah sedikit-sedikit dan berhati-hati dan dengan penuh perhatian. Masuk diakal !
Bagaimanapun juga, saya bertanya kepada Beliau, "Mengapa?"
Beliau menjawab,"Untuk menghindari menjadi berlebihan, malas, tidak sembrono, tidak bijaksana, sembarangan, tidak kepedulian, dan sombong, atau menikmati pikiran-pikiran tidak baik, seseorang haruslah waspada dan berhati-hati dalam mengambil tindakan-tindakan. Dengan memperhatikan kesalahan-kesalahan dan memperbaikinya, seseorang akan meraih sukses."
Kemudian saya bertanya kepada Beliau,"Apakah benar bahwa seorang sadhaka seharusnya tidak membeda-bedakan antara sukses dan kegagalan? Seseorang tidak semestinya mencari suskes! Maha Acharya pernah menuliskan dalam salah satu buku Beliau bahwa, dalam mata seorang sadhaka, tidak ada sukses atau kegagalan, dikarenakan tidak ada yang diraih ataupun yang kehilangan apapun. Jadi mengapa anda membawa masalah mencari sukses?"
Beliau berkata,"Orang biasa mencari kepuasan materi. Tapi jika seseorang itu miskin rohaninya, setelah memperoleh kepuasan materi, seseorang akan takut akan kehilangan materi tersebut. Seseorang akan berada pada keadaan 'tidak-nyaman'. Seorang sadhaka yang berhasil ditemukan di dalam rohaninya. Teramat banyak, gemerlapan abadi, dan tidak akan pernah meninggalkan seseorang. Bagi seorang sadhaka, sukses adalah Pembebasan, Kekuasaan akan diri ini, dan Pembebasan dari pengaruh orang lain."
Kemudian saya memohon Sang Budha Pengobat untuk memberi kita sebuah formula welas asih untuk penyembuhan. Saya juga memohon Beliau untuk memberkati para hadirin dalam upacara Homa api ini, sehingga bagi mereka yang sakit-sakitan akan tersembuhkan.
Jawaban Beliau sangatlah singkat,"Satu pikiran yang sehat adalah pokok dari satu tubuh yang sehat. Bukalah pikiran anda dan berbahagialah. Kebahagiaan dapat menghapus kesakitan, sebagaimana bakteri penyakit tidak dapat hidup dalam lingkungan yang tidak terdapat pikiran negatif."
Upadesa ini cukup alamiah. Ketika seseorang terbebas dari pikiran-pikiran negatif atau emosi yang menyakitkan, bakteri yang tidak baik dan juga bakteri penyakit dalam tubuh seseorang tidak akan dapat hidup. Ada dua macam bakteri baik dan buruk dalam tubuh seseorang. Disaat seseorang gelisah, khawatir, dan tertekan setiap saat, akan ada pertumbuhan yang cepat akan cel-cel perusak. Dengan menjadi bahagia, tidak khawatir, dan melempar semua emosi negatif, seseorang akan dapat membawa unsure positif dalam lingkungan anda.
Layaknya menguap, tertawa juga menular. Tertawa yang berbahagia, datang secara tulus dari pikiran anda, tersalur ke udara dan membawa kebahagiaan kepada orang lain. Sebaliknya, lengkingan dan tertawa yang menakutkan membawa ketidak nyamanan kepada orang lain. Itulah sebabnya mengapa Beliau berkata,"Bukalah pikiran kamu dan berbahagialah." Ketika pikiran anda terbuka dan terbebas dari kekhawatiran, ketika seseorang tertawa secara tulus dan tidak dibuat-buat dari dalam, banyak masalah-masalah akan dengan sendirinya terselesaikan. Ketika masalah-masalah terselesaikan, pikiran akan menjadi terbebaskan dari kekhawatiran.
Ketika seseorang berkata atau melakukan sesuatu yang buruk terhadap anda, jangan biarkan hal tersebut mengganggu anda. Tertawa sajalah dan anggaplah saja sebagai membayar hutang atau menetralkan karma buruk lampau anda yang telah anda lakukan. Dengan ini anda tidak akan tersiksa olehnya.
Baik dan buruk bakteri ada di tubuh kita bersama-sama, seperti layaknya seorang manusia sebagian baik dan sebagian buruk. Orang yang baik akan terlahir ke alam dewata untuk menikmati karma baik mereka, dan mereka yang sifat kuatnya adalah buruk akan jatuh ke tiga alam bawah untuk merasakan penderitaan. Mahluk yang mempunyai pikiran buruk dan baik terlahir ke alam manusia dimana kebahagiaan dan kesengsaraan, dan juga bakteri yang baik dan buruk, kesemuanya ada. Disaat seseorang mendorong dan menumbuhkan yang positif tumbuh, maka akan berbunga. Ketika seseorang membiarkan pikiran yang tidak baik mendominasi, pikiran buruk akan menjadi semakin kuat dan akan mendekati pikiran. Ketika seseorang menjadi tidak senang, sakit-sakitan dan nyeri-nyeri tubuh mulai muncul sana-sini.
Ketika tubuh anda sehat, ketika anda merasa kuat dan berbahagia, setiap tugas yang anda ambil akan berjalan baik tanpa usaha yang banyak. Anda juga akan dapat bergaul dengan orang lain. Namun, disaat anda memiliki kekhawatiran dan kesedihan, dimana pikiran anda tertutup, anda akan menjumpai banyak masalah dan menjumpai bahwa kesemuanya melawan anda. Orang-orang akan menemukan anda tidak enak dan anda juga akan menemukan orang lain tidak enak. Dalam keadaan menentang dan melindungi diri akan membawa banyak masalah kesehatan. Itulah sebabnya Budha Pengobat berkata bahwa pikiran yang terbuka dan bahagia dapat memusnahkan semua penyakit dan menyembuhkan kita.
Suatu ketika Atisha ditanya oleh muridnya,“Apakah ajaran yang tertinggi itu?”
Atisha menjawab, “
-Kepandaian tertinggi adalah membuang keakuan.
-Kemuliaan tertinggi adalah menguasai pikiran sendiri.
-Kebajikan tertinggi adalah memiliki keinginan untuk menolong makhluk lain.
-Sila tertinggi adalah menjaga kewaspadaan terus-menerus.
-Obat tertinggi adalah menyadari ketidaknyataan segala sesuatu.
-Kebebasan tertinggi adalah tak terpengaruh oleh hal-hal duniawi.
-Pencapaian tertinggi adalah mengurangi dan mengubahsetiap keinginan.
-Pemberian tertinggi terdapat dalam tanpa kemelekatan.
-Latihan batin tertinggi adalah pikiran yang tenang.
-Kesabaran tertinggi adalah kerendahan hati.
-Usaha tertinggi adalah melepaskan keterikatan pada setiap kegiatan.
-Meditasi tertinggi adalah pikiran tanpa keinginan.
-Kebijaksanaan tertinggi adalah tidak melekat pada apa pun yang tampak.”
Ketika meninggalkan bagian barat propinsi Nari, Atisha memberikan nasehat berikut kepada sekelompok siswanya ;
“Kawan, hingga engkau mencapai penerangan, seorang Guru sangat diperlukan; dengan demikian ikutilah Guru yang suci. Hingga engkau sungguh-sungguh menyadari kehampaan, engkau harus mendengarkan ajaran; untuk itu dengarkan dengan sungguh-sungguh ajaran dari Guru. Hanya memahami Dharma tidak cukup untuk mencapai penerangan, engkau harus langsung mempraktekkannya.”
“Jauhilah setiap tempat yang merugikan latihanmu; selalu tinggal di tempat yang membawa kebaikan.
Kemewahan adalah hal yang merugikan sebelum engkau mencapai batin yang tenang; untuk itu tinggallah di tempat yang terpencil. Tinggalkan teman-teman yang menambah keterikatanmu pada keinginan; percayalah pada teman yang membuatmu meningkatkan perbuatan baik. Ingatlah hal ini di dalam pikiran. Tiada habisnya hal-hal yang harus dilakukan, untuk itu maka batasilah kegiatanmu. Buktikan kebaikanmu siang dan malam, dan selalu dengan kewaspadaan.”
“Sekali engkau telah menerima ajaran dari Guru, engkau harus selalu bermeditasi terhadapnya dan berbuat sesuai kata-katanya. Saat engkau melaksanakannya dengan segala kerendahan hati, hasilnya akan muncul segera. Jika engkau berbuat sesuai dengan kerendahaan hatimu, baik makanan maupun keperluaan yang akan datang dengan sendirinya.”
“Kawan, tidak ada kepuasan dari hal-hal yang kau inginkan. Hal ini seperti meminum air laut untuk menghilangkan rasa haus. Untuk itu puaslah. Hancurkan semua bentuk kemewahan, kebanggaan, dan kesombongan; tundukkan dan rasakan kedamaian. Jauhi semua yang disebut orang sebagai menyenangkan, tetapi sesungguhnya merupakan rintangan dalam menjalankan Dharma. Seperti halnya batu-batu pada jalan yang sempit dan licin, engkau harus membersihkan jalan semua harapan keuntungan dan kehormatan, karena hal itu adalah jerat dari mara. Seperti ingus dalam hidungmu, buanglah semua pikiran tentang kemasyuran dan pujian, karena hal-hal seperti itu hanya menipu dan menperdayai kita.”
“Karena kebahagiaan, kesenangan dan teman-teman yang telah kau miliki hanya untuk sesaat lamanya, berpalinglah darinya. Kehidupan yang akan datang lebih panjang dari hidup ini, maka dengan berhati-hati selamatkan harta kebajikanmu untuk melengkapi kehidupan yang akan datang. Engkau meninggalkan semuanya ketika engkau mati; untuk itu janganlah terikat terhadap apapun.”
“Hindarilah memandang rendah terhadap orang lain dan bangkitkan pikiran yang penuh belas kasih kepada orang-orang yang lebih rendah. Jangan terikat pada teman-temanmu, dan jangan membedakan musuh-musuhmu. Tanpa menjadi dengki atau iri hati terhadap sifat-sifat baik orang lain, dengan rendah hati peganglah sifat-sifat baikmu sendiri. Jangan sibuk mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi telitilah kesalahan-kesalahan dirimu sendiri. Bersihkan dirimu dari hal-hal seperti itu seperti membersihkan darah yang kotor. Jangan berpikir terus-menerus pada perbuatan-perbuatan baikmu sendiri; hargailah sedikit saja, sebagaimana seorang pelayan bekerja. Pancarkanlah belas kasih pada semua makhluk layaknya mereka adalah anakmu sendiri.”
“Selalu berwajah ramah dan berpikiran belas kasih. Berbicaralah dengan jujur dan tanpa amarah. Jika engkau akan berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna, engkau akan membuat kesalahan; maka berbicaralah dengan tidak berlebih-lebihan. Jika engkau membuat banyak sekali benda-benda yang tidak berguna, perbuatan baikmu akan berhenti, tinggalkanlah perbuatan-perbuatan yang bukan religius. Tiada gunanya bersusah payah melakukan perkerjaan yang tidak penting. Karena apa pun yang terjadi atas dirimu berasal dari hasil karmamu di masa lampau, akibat karma tidak pernah sesuai dengan keinginan-keinginanmu. Untuk itu tenanglah.”
“Aduh, lebih baik aku mati daripada menyebabkan orang suci menjadi malu; engkau seharusnya selalu jujur dan tidak berbohong. Semua penderitaan dan kebahagiaan dalam hidup ini berasal dari karma saat ini dan masa lampau; jangan menyalahkan orang lain atas keadaan dirimu.”
“Sebelum engkau menundukkan dirimu sendiri, engkau tidak akan dapat menundukkan orang lain; oleh karena itu pertama-tama tundukkan dirimu sendiri. Karena engkau tidak dapat mematangkan karma orang lain tanpa kekuatan mata batin; maka berusahalah dengan sekuat-kuatnya memiliki mata batin.”
“Engkau pasti akan mati, meninggalkan kekayaan apa pun yang telah engkau kumpulkan, maka berhatihatilah untuk tidak mengumpulkan noda-noda melalui kekayaan. Karena hambatan kesenangan adalah tanpa substansi, hiasilah dirimu dengan kebajikan dan pemberian. Senantiasa menjaga latihan batin, bagi keindahan dalam hidup ini dan menjamin kebahagiaan dalam kehidupan yang akan datang. Di dalam masa Kaliyuga ini, dimana kebencian merajalela, pakailah pelindung kesabaran, yang menghapuskan kemarahan. Kita muncul dalam dunia ini karena kekuatan kemalasan, sehingga kita harus menyalakan usaha realisasi seperti api yang menyala-nyala. Saat demi saat kehidupanmu disia-siakan oleh daya tarik kesibukan duniawi; sekarang saatnya untuk bermeditasi. Karena engkau berada dalam pengaruh pandangan salah, engkau tidak menyadari hakekat kekosongan, carilah dengan tekun arti dari kesunyian!”
“Kawan, samsara adalah rawa yang sangat luas dimana tidak ada kebahagiaan sejati, cepatlah menuju tempat pembebasan. Bermeditasilah sesuai dengan ajaran Guru dan keringkan sungai penderitaan samsara.
Ingatlah selalu hal ini. Dengarlah baik-baik nasehat ini yang bukan sekedar kata-kata semata, namun berasal langsung dari hatiku. Jika engkau mengikuti ajaran-ajaran ini, engkau tidak hanya membahagiakan diriku, tetapi juga dirimu sendiri dan orang lain. Walaupun saya ini bodoh, saya sarankan agar engkau mengingat kata-kata ini.”
Ketika Jowo Atisha sedang berada di Yerpadrak, dekat Lhasa, beliau memberikan ajaran berikutnya,
“Yang mulia anakku, pikirkan sungguh-sungguh kata-kata ini. Di jaman Kaliyuga, kehidupan amatlah singkat dan banyak sekali yang perlu dimengerti. Masa dari kehidupan ini tidak dapat ditentukan; engkau tidak tahu berapa lama lagi engkau akan hidup. Dengan demikian engkau harus berusaha sekeras-kerasnya sekarang juga, untuk mewujudkan keinginan yang benar.”
“Jangan mengaku sebagai seorang bhiksu jika engkau memenuhi kebutuhan hidup seperti cara seorang umat biasa. Walaupun engkau tinggal di vihara dan telah meninggalkan kegiatan duniawi, tetapi jika engkau mempermasalahkan apa yang telah engkau tinggalkan, engkau tidak berhak berkata, Saya seorang bhiksu yang tinggal di vihara.”
“ Jika pikiranmu tetap mempertahankan keinginan akan barang-barang yang indah dan tetap berpikir hal-hal yang merugikan, jangan berkata, Saya seorang bhiksu yang tinggal di vihara.”
” Jika engkau tetap tinggal dengan orang-orang yang memuja keduniawian dan membuang waktu secara duniawi, berbicara kasar dengan siapa engkau tinggal, meskipun engkau tinggal di vihara, jangan berkata, Saya seorang bhiksu yang tinggal di vihara.”
” Jika engkau tidak sabar dan memiliki kerendahan hati, jika engkau tidak dapat bahkan sedikitpun menolong orang lain, jangan berkata, Saya seorang bhiksu Bodhisattva.”
“Jika engkau berkata yang demikian kepada umat, engkau adalah penipu besar. Engkau lebih baik menghindari berkata seperti itu. Bagaimanapun engkau tidak dapat menipu mereka yang memiliki pandangan tak terbatas mata batinnya, engkau juga tidak dapat menipu mereka yang memiliki mata Dharma yang maha tahu. Engkau juga tidak dapat menipu dirimu sendiri karena akibat karma akan mengikutimu.”
“Tinggal di vihara penting untuk meninggalkan jalan keduniawian dan keterikatan pada teman dan kenalan. Dengan meninggalkannya, engkau membersihkan semua penyebab dari kemelekatan dan ketidakpuasan. Dan kemudian engkau harus mencari pikiran yang luhur penerangan. Walaupun hanya sesaat engkau tidak boleh membiarkan obsesi masa lalumu dengan keinginan duniawi muncul. Pada awalnya engkau tidak melaksanakan Dharma dengan benar di bawah kebiasaan masa lalu yang melemahkan tekadmu, engkau terus menerus diliputi alasan keinginan duniawi, karena alasan-alasan itu membelenggu, jika engkau tidak berusaha keras melawannya tidak ada gunanya untuk tinggal di dalam vihara. Engkau akan seperti burung-burung dan binatang-binatang liar lainnya yang tinggal di sana.”
“Singkatnya, tinggal di vihara tidak akan berguna jika engkau tidak membalik pandanganmu terhadap barang-barang yang indah dan tidak meninggalkan kesibukan hidup. Karena jika engkau tidak memotong habis kehendak-kehendak itu, berpikir bahwa engkau dapat berbuat untuk tujuan baik dalam hidup ini dan hidup yang akan datang, engkau tidak akan menghasilkan apapun kecuali praktek religius sesaat. Praktek seperti itu tidak menghsilkan apa-apa kecuali kemunafikan dan upacara-upacara yang megah menimbulkan perasaan mementingkan diri sendiri.”
“Dengan demikian engkau harus mencari teman-teman yang baik dan hindarkan teman-teman yang buruk. Jangan terikat pada satu tempat atau menumpuk harta benda. Apapun yang engkau lakukan, lakukanlah selaras dengan Dharma. Agar apapun yang engkau lakukan menjadi obat penawar bagi belenggu nafsu. Ini adalah praktek religius yang sebenarnya; berusahalah dengan keras untuk melaksanakannya. Jika pengetahuanmu telah meningkat, jangan dikuasai oleh perasaan kesombongan mara.”
“Berdiam di tempat terpencil, taklukkan dirimu. Memiliki sedikit keinginan dan puas dengannya tidak menyombongkan pengetahuan sendiri, maupun mencari kesalahan orang lain. Jangan takut ataupun ragu. Berkeinginan baik dan tidak membeda-bedakan. Berkonsentrasilah pada Dharma ketika pikiran dikacaukan oleh hal-hal yang salah.”
“Berendah hatilah, dan jika engkau dikalahkan, terimalah hal itu dengan ramah. Berhentilah menyombongkan diri dan hapuslah keinginan. Selalu mengembangkan pikiran yang penuh belas kasih. Apapun yang ingin engkau lakukan, lakukanlah dengan tidak berlebih-lebihan. Mudah puas dan mudah dilayani. Jauhilah apapun yang akan menjebakmu seperti seekor binatang liar yang menjauhi perangkap.”
“Jika engkau tidak meninggalkan hal-hal duniawi, jangan katakan engkau seorang suci. Jika engkau tidak pernah meninggalkan bumi dan hasilnya, jangan katakana bahwa engkau telah memasuki Sangha. Jika engkau tidak meninggalkan keinginan-keinginan, jangan katakan engkau seorang bhiksu. Jika engkau tidak berbelas kasih, jangan katakan bahwa engkau seorang Bodhisattva. Jika engkau tidak meninggalkan berbagai kesibukan, jangan katakan bahwa engkau seorang pelaksana meditasi. Jangan turuti keinginanmu.”
“Singkatnya, ketika engkau berdiam di vihara, usahakan sedikit kesibukan dan hanya bermeditasi pada Dharma. Jangan membuat hal-hal untuk disesali pada saat kematian.”
Pada kesempatan yang lain, Atisha berkata,
“Dalam Kaliyuga ini bukan waktunya untuk mempertontonkan kemampuan; saat ini adalah waktunya untuk berlatih dengan tekun. Kini bukanlah saatnya mencari tempat yang terhormat tetapi waktu untuk merendahkan diri. Saat ini bukan waktunya untuk menyandarkan diri pada tempat yang ramai, tetapi saatnya untuk menyandarkan diri pada tempat-tempat terpencil. Saat ini bukanlah waktunya untuk mengatur murid-murid; tetapi saat untuk mengatasi diri sendiri. Saat ini bukan waktunya hanya untuk mendengarkan kata-kata saja, tetapi waktu untuk merenungkan maknanya. Bukan pula saatnya untuk pergi ke sana ke mari; saat ini waktunya untuk menyepikan diri.”
4 Aliran Tantra Tibet
Diantara aliran-aliran yang di temukan di Tibet sampai masa kini
ada empat yang terkenal.
Yang pertama dikategorikan sebagai ajaran kuno dan di kenal
sebagai Ningmapa, tiga yang lain berasal dari ajaran baru dan
dikenal sebagai Kargyupdpa, Sakyapa, dan Gelugpa.
1 Pada tahun 810 M Acarya Padmasambhava dari Udyana
datang ke Tibet, dia tingal di Vihara Samye dan menterjemahkan
delapan belas buku Tantra Mahasiddhi (Pencapaiyan Agung)
yang membahas praktek meditasi.
dengan dihadiri Raja dan 25 orang penting lainya,
Ia mendirikan Maharahasya Vadjrayanacakra.
silsilah yang di mulai oleh Padmasambhava ini dikenal
aliran Tantra Kuno (Ningmapa)
2 Marpa-lotsava (Sang perterjemah) dilahirkan pada tahun 1012 M
dan selama masa hidupnya ia mengunjungi India tiga kali.
dalam jiarah ini, dibawah bimbingan siddha Naropa dan Maitripa
ia menterjemahkan dan menguraikan buku Tantra asli
tradisi yang didirikan olehnya dan oleh muridnya
Jetsun milarepa, disebut Kargyudpa.
Aliran ini di bagi 8 sub aliran, empat aliran besar dan empat
aliran kecil. Pendirinya adalah Kamtsangpa, Drigungpa
Taglungpa, dan Drugpa
3 Tahun 1034 M menyaksikan kelahiran Kon-chog-gyalpo di Tibet
yang karena mendengarkan ajaran Lotsava Drogmi menguraikan
jalan dna buah menurut tradisi Acarya Dharmapala.
Setelah melatih diri ia menjadi guru ulung yang bergelar
Mahapandita Vairupa atau Mahapandita Gayadhara
aliran yang didirikan olehnya dan dikembangkan oleh murid-muridnya
di sebut Sakyapa
Kemudian pada tahun 1039 M, Acarya Mahapandita Dipamkara-srijnanana
dari Mahavihara Vikramasila di India datang ke Tibet
disana ia menguraikan secara terperinci ajaran yang mendalam
dari Sutra dan Tantra.
Dia mendirikan, dan para muridnya mengembangkan aliran
yang disebut Kahdam-pa
4 Tiga ratus tahun kemudian, pada tahun 1337 M, manusia Agung Je Tsongkhapa
dilahirkan dan lalu dididik dalam aliran Kahdampa untuk mempelajari
dan melaksanakan ajaran. Dia memperoleh pengertian benar tenteng
Sabda Sang Buddha beserta komentar terjemahanya, ia mengajar muridnya
dengan cara yang sangat meyakinkan. Aliran yang didirikanya dan yang
dikembangkan oleh para bijaksana pengikutnya (seperti Khedrub-rje)
dikenal sebagai Gelugpa atau Gedanpa.
Hancurnya Rupang Buddha terbesar didunia di Afganistan (ada gambarnya)
Just Sharing info hancurnya Buddha Rupang terbesar di dunia di Afganistan
pertama kali saya liat beritanya di Youtube, rasanya sedih bercampur2 melihat patung buddha yg begitu agung hancur luluh lantah dalam sekejab oleh hantaman Bom militan
Mandala dalam konsep agama Hindu dan Buddha adalah gambaran bagi alam
semesta. Secara harafiah mandala berarti "lingkaran." Mandala ini
terkait dengan kosmologi India kuno yang berpusatkan Gunung Meru. Suatu
gunung yang diyakini sebagai pusat alam semesta. Di dalam Tantrayana
mandala juga menggambarkan alam kediaman para makhluk suci, yang sangat
penting bagi ritual atau sadhana Tantra. Saat berlangsungnya sadhana,
sadhaka akan menyusun ulang mandala ini baik secara nyata ataupun
visualisasi. Beberapa kalangan mengatakan bahwa konsep mengenai mandala
ini sudah ketinggalan zaman. Meskipun demikian, apabila dicermati lebih
jauh, mandala sebenarnya mengandung makna filosofis yang mendalam.
Sesungguhnya semua orang setiap hari menyusun mandalanya masing-masing. Sebagai contoh, seorang pedagang yang menata dagangannya saat hendak berjualan sesungguhnya sedang menyusun mandalanya sendiri. "Dunia" atau "jagad raya" orang itu sesungguhnya adalah barang dagangan yang disusunnya itu. Seorang menulis laporan keuangan, sedang menyusun mandalanya saat menyiapkan laporan keuangannya. Mandala dengan demikian melambangkan cakupan karya dan medan pemikiran seseorang.
Menurut ajaran Vajrayana, mandala hendaknya disusun secara cermat. Ini menandakan bahwa dalam berkarya seseorang hendaknya cermat dan melakukan yang sebaik-baiknya.
Demikianlah salah satu makna filosofis mandala. Sebenarnya masih banyak makna filosofis lainnya yang akan dipaparkan bila ada kesempatan.
-air minum(argham)
Manfaat Persembahan Mandala
Sesungguhnya semua orang setiap hari menyusun mandalanya masing-masing. Sebagai contoh, seorang pedagang yang menata dagangannya saat hendak berjualan sesungguhnya sedang menyusun mandalanya sendiri. "Dunia" atau "jagad raya" orang itu sesungguhnya adalah barang dagangan yang disusunnya itu. Seorang menulis laporan keuangan, sedang menyusun mandalanya saat menyiapkan laporan keuangannya. Mandala dengan demikian melambangkan cakupan karya dan medan pemikiran seseorang.
Menurut ajaran Vajrayana, mandala hendaknya disusun secara cermat. Ini menandakan bahwa dalam berkarya seseorang hendaknya cermat dan melakukan yang sebaik-baiknya.
Demikianlah salah satu makna filosofis mandala. Sebenarnya masih banyak makna filosofis lainnya yang akan dipaparkan bila ada kesempatan.
7 dan 8 persembahan mandala
-air minum(argham)
-air mandi(padhyam)
-bunga(pushpe)
-dupa(dhupe)
-penerangan(aloke)
-minyak wangi(gandhe)
-makanan(naividya)
-alat musik(shapta)
untuk yang 7 itu, tidak ditambahkan alat musik.
Manfaat Persembahan Mandala
Bagi umat Buddhis, khususnya tradisi Tibetan, tidaklah asing dengan
istilah "Persembahan Mandala". Kata mandala itu sendiri dalam bahasa
Tibet yakni kyilkor. Suku kata pertama kyil diterjemahkan sebagai
"intisari" dan suku kata kedua kor adalah "untuk memperoleh" sehingga
digabungkan menjadi "untuk memperoleh intisari", suatu pengertian yang
memiliki makna sangat mendalam. Dimana pada tingkat terendah untuk
memperoleh kelahiran yang bahagia di kehidupan mendatang. Tingkat
selanjutnya adalah untuk bebas dari samsara. Dan tingkat terakhir, yang
merupakan tujuan teragung, adalah untuk mencapai Kebuddhaan yang lengkap
dan sempurna. Mandala itu sendiri merupakan simbol dari alam semesta.
Untuk mencapai tujuan yang teragung, tingkat Kebuddhaan, kita
membutuhkan banyak sekali pengumpulan karma baik, dan persembahan
mandala merupakan cara yang baik untuk memperolehnya. Bahkan ini
merupakan cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan tersebut dan
uniknya praktik ini mudah untuk dilakukan karena hanya menggunakan
sedikit kekuatan fisik.
Bahkan sebelum membuat persembahan mandala pun ada manfaatnya. Biasanya
kita menaruh sedikit beras di dasar permukaan mandala dan menggosoknya
dengan bagian lengan kanan bagian bawah searah jarum jam dan berlawanan
arah jarum jam masing-masing sebanyak tiga kali. Searah jarum jam kita
bayangkan semua kesalahan, karma negatif, dan halangan-halangan yang
kita miliki dan yang juga dimiliki oleh semua makhluk yang terhimpun
sejak waktu tanpa awal melalui tubuh, ucapan, dan batin dimurnikan
hingga tuntas. Berlawanan arah jarum jam kita bayangkan bahwa kita dan
semua makhluk menerima berkah dari Ladang Kebajikan (atau obyek yang
Anda beri persembahan mandala), khususnya kualitas dari tubuh, ucapan,
dan batin mereka.
Kegiatan menggosok bagian dasar mandala juga memiliki arti yang
signifikan. Dalam teks tantra mengatakan bahwa tubuh manusia terdiri
dari 72000 saluran (yang berongga) dan melalui saluran inilah
angin-angin vital bergerak dalam tubuh kita. sifat alami dari batin
adalah akan mengikuti pergerakkan dari angin-angin vital ini, dan
hubungan keduanya sering dianalogikan seperti kuda dan penunggangnya.
Kuda menggambarkan angin-angin vital dalam tubuh, sedangkan
penunggangnya menggambarkan batin. Dengan mengatur pergerakkan
angin-angin vital ini seseorang dapat membangkitkan perbuatan yang mulia
lebih mudah. Bagaimanapun jika seseorang tidak mampu melakukan hal ini,
angin-angin vital tidak akan bergerak mudah melalui saluran yang cocok.
Semua saluran ini terhubung ke jantung. Saluran angin yang secara
khusus berpengaruh terhadap bangkitnya batin pencerahan adalah melalui
lengan kanan. Oleh karena itu dengan rangsangan eksternal berupa
menggosok dasar permukaan dengan lengan kanan bawah dapat meningkatkan
pergerakkan angin-angin vital yang bergerak melalui saluran ini dan
sebagai hasilnya seeorang dapat jauh lebih mudah membangkitkan batin
pencerahan.
Terlebih lagi persembahan mandala ini merupakan sebuah latihan
persembahan, latihan berdana, dan menyebabkan Anda mengumpulkan nilai
kebajikan. Dengan mempersembahkan tubuh dan seluruh milik Anda akan
membantu Anda mengatasi kemelekatan atas barang-barang tersebut. Anda
visualisasikan di atas mandala, barang-barang ataupun orang-orang, yang
kepada mereka Anda merasa melekat, barang-barang atau orang-orang yang
Anda benci, dan semua obyek ketidaktahuan Anda (apa yang belum Anda
pelajari tentang Buddhisme, ilmu pengetahuan, dan tentang batin Anda
sendiri). Persembahkan semua itu pada Ladang Kebajikan, Anda memohon
berkah dari mereka semoga tiga racun batin (kemelakatan, kebencian, dan
ketidaktahuan) dapat berkurang dalam diri Anda.
Praktik persembahan mandala ini juga dapat melibatkan enam paramitha sebagai berikut:
1. Dana
Membangkitkan keinginan untuk memberi, pikiran untuk mempersembahkan
mandala dan benar-benar mempersembahkan bahan-bahan persembahan.
2. Sila
Mempersembahkan mandala tidak hanya untuk keuntungan diri sendiri,
tetapi untuk kebaikan semua makhluk. Bekerja hanya untuk kepentingan
diri sendiri dapat menghambat praktik disiplin moral.
3. Kesabaran
Sabar ketika mengatasi kesulitan yang timbul dalam praktik ini, seperti
melakukan visualisasi dan sebagainya, serta mengatasi kemalasan untuk
melakukan praktik ini.
4. Semangat
Melakukan praktik ini dengan kegembiraan dan upaya yang bersemangat.
5. Konsentrasi
Berkonsentrasi dengan baik ketika melakukan praktik ini dan tidak membiarkan pikiran melayang.
6. Kebijaksanaan
Mengetahui dengan pasti bagaimana membuat persembahan dan mengerti bahwa
meskipun mandala itu eksis secara konvensional, namun tidak ada
eksistensi yang berdiri sendiri.
Pentingnya praktik persembahan mandala ini dilukiskan dalam cerita
ketika seorang murid Y.M. Atisha, yang bernama Gonbawa, seorang yogi
yang agung, banyak menghabiskan waktunya untuk berlatih meditasi samatha
sehingga ia berhenti melakukan praktik persembahan mandala dan
peralatan mandalanya menjadi berdebu. Suatu hari salah satu murid Y.M.
Atisha yang bernama Dromtonpa mengunjungi kediaman Gonbawa. Setelah
melihat peralatan mandala milik Gonbawa yang berdebu, ia bertanya alasan
Gonbawa tidak melakukan persembahan mandala lagi. Gonbawa menjawab,
"Saya sedang sibuk melatih meditasi satu titik sehingga saya tidak
mempunyai waktu untuk membuat persembahan mandala." Mendengar hal ini
Dromtonpa mengkritiknya dengan keras dan mengatakan bahwa guru mereka,
Y.M Atisha yang meditasinya lebih baik dibandingkan Gonbawa, masih
melakukan persembahan mandala tiga kali sehari. Mendengar hal ini
Gonbawa melakukan persembahan mandala dengan tekun dan sebagai hasilnya
pemahaman Gonbawa semakin mendalam.
Cerita lainnya tentang pentingnya persembahan mandala ini adalah cerita
mengenai Bhiksuni Padma, seorang putri raja di India yang kemudian
menjadi seorang biarawati. Dengan melakukan praktik persembahan mandala
ini, ia dapat bertemu langsung dengan Arya Avalokitesvara seperti kita
dapat bertatap langsung dengan orang lain. Dengan meminta dan menerima
instruksi dari-Nya, ia dapat mencapai pencerahan.
Bahkan Y.M. Jey Tsongkhapa, seorang guru besar di Tibet, dapat bertemu
para Buddha dengan mempraktikan persembahan mandala ini. Latihan ini
benar-benar membantu beliau dalam usahanya merealisasikan langsung
secara mendalam tentang sifat alami dari semua fenomena adalah sunyata.
Y.M. Jey Tsongkhapa membuat persembahan mandala yang banyak sekali
dengan menggunakan batu besar yang rata dan batu-batu kerikil, akibatnya
bukan saja batu tersebut menjadi halus, tetapi juga lengan beliau
menjadi terluka. (IK)
Kosmologi Tiongkok, Menata Altar dan Mandala
Ini saya kutip sebagian dari Milis Budaya Tionghoa, semoga bermanfaat bagi kita semua.
>
> Salam,
>
> Melanjutkan diskusi mengenai kosmologi Tiongkok. Menurut saya para pakar
budaya Tiongkok di sini jangan segan-segan untuk senantiasa memberikan
penjelasannya. Bila tidak segenap aspek berharga budaya Tiongkok akan mengalami
degradasi dan menjadi semacam tahayul semata. Menarik sekali mengenai penjelasan
sebelumnya tentang 9 angka dalam kosmologi Tiongkok.
> Kali ini saya akan lebih memusatkan perhatian dalam penataan altar. Banyak
orang saat menata altar berpikir bahwa itu adalah persembahan bagi shen, fo,
atau busa. Tetapi tentu saja maknanya tidak demikian. Saya akan menceritakan
dari sudut pandang agama yang saya anut. Saya adalah penganut Tantrayana,
khususnya aliran Satya Buddha Kasogatan (Zhenfozong). Aliran ini merupakan
perpaduan antara Daoisme dan Buddhisme. Saat seorang menata altar atau mandala,
maka tidak hanya sekedar taruh barang persembahan saja, melainkan harus diiringi
visualisasi tertentu. Bagi seorang acarya (shangsi) bahkan perlu melakukan
gerakan2 tertentu umpamanya menghentak bumi atau membentuk goresan2 tertentu
seperti menulis hu.
> Jarang ada orang mengetahui bahwa altar atau mandala sesungguhnya adalah
tiruan alam semesta dalam bentuk mini. Para guru agung mengajarkan penataan
mandala atau altar baik dalam dalam Daoisme maupun Buddhisme dengan tujuan kita
belajar tentang kosmologi Timur. Dengan memahami kosmologi kita akan paham
mengenai interaksi dalam alam semesta. Paham alam semesta berarti paham diri
kita sendiri, karena manusia sebenarnya adalah alam semesta ini eksis dalam diri
manusia itu sendiri.
> Sebagai contoh, adalah angka 3 dan 7 bila dikaitkan dengan diri manusia
mewakili sanhun dan qibo. Dalam filsafat Barat angka tiga dikaitkan dengan
tubuh, jiwa, dan roh, namun tentu saja 3 hun ini tidak begitu tepat bila
dikaitkan dengan hal tersebut. Sedangkan angka 7 ini kemungkinan di Barat dapat
disepadankan dengan tujuh malaikat (Gabriel, Rafael, Mikhael, Tobiel, Azael,
dll). Konsep seperti ada dalam gnosisme atau sisi esoterisme agama Barat.
Tentunya ini perlu kita kaji lebih mendalam. Dalam Daoisme kita mengenal istilah
Sanqing, yakni Taishang Laoqun, Yuanshi Tianzun, dan Lingbaotianzun. Dalam
Buddhisme kita mengenal Sanbaofo (Shijiamonifo, Yaoshifo, dan Amiduofo). Menurut
saya ini sebenarnya adalah simbol kejiwaan manusia.
> Angka 9 ini sangat menarik. Menurut tradisi filsafat Tiongkok terdapat
sembilan lubang dalam tubuh manusia. Selain itu dikenal pula 9 gong dalam salah
satu cabang astrologi yang disebut Taijiugong (populer di Jepang dengan istilah
9 Ki astrologi). Dalam Buddhisme Tantra terdapat istilah transformasi kesadaran
saat seseorang meninggal, yakni menutup jalan keluar kesembilan lubang ini.
> Kembali ke masalah penataan altar. Agar kita dapat mengambil manfaat yang
sejati dari praktik spiritual ini, perlu dipahami benar bagaimana tata cara saat
seorang meletakkan berbagai persembahan. Dan yang terutama adalah
visualisasinya. Tentu saja ini berbeda pada masing-masing perguruan baik yang
ada dalam Daoisme dan Buddhisme sendiri.
Diterjemahkan oleh: Lotus Nino
Sumber: True Buddha School - Venerable LotusChef: 20-7-2011 Kalachakra
Kalachakra – Mandala Pasir
Kalachakra (Bhs. Sansekerta: कालचक्र; TASI: Kālacakra; Bhs. Telugu: కాలచక్ర; Bhs.Tibet: དུས་ཀྱི་འཁོར་ལོ།; Transliterasi Wylie: dus-kyi 'khor-lo; Bhs. Mongolia: Цогт Цагийн Хүрдэн: Tsogt Tsagiin Hurden; Bhs. China: 時輪) adalah istilah dalam Bahasa Sansekerta yang digunakan di dalam agama Buddha Tantra untuk menunjukkan “roda waktu” atau “siklus waktu”. Saat dieja sebagai Kalacakra juga sudah benar.
Tradisi Kalachakra
Kalachakra mengacu baik pada seorang dewata Tantra (Bhs. Tibet: Yidam) Buddhisme Vajrayana maupun pada aspek filosofis dan praktek meditasi yang dijelaskan di dalam Tantra Kalachakra beserta dengan penjelasannya-penjelasannya.
Tantra Kalachakra akan lebih tepat bila disebut sebagai Laghutantra Kalachakra. Ia dikatakan sebagai ringkasan dari naskah aslinya – Mulatantra Kalachakra yang jauh lebih panjang. Beberapa guru Buddhis menegaskan bahwa Kalachakra adalah sebuah sadhana Vajrayana yang paling mendalam dan sudah pasti merupakan salah satu sistem yang paling kompleks dalam Buddhisme Tantra.
Tradisi Kalachakra berkisar seputar konsep waktu (kāla) dan siklus/roda (chakra): mulai dari siklus planet, hingga siklus pernafasan manusia. Ia mengajarkan pelatihan energi-energi yang paling halus di dalam tubuh kita dalam perjalanan menelusuri jalur pencerahan.
Yidam Kalachakra melambangkan seorang Buddha beserta dengan kesadaran-Nya yang tiada batas. Berhubung Kalachakra berarti waktu dan semua hal berada di bawah naungan waktu, maka Kalachakra mengetahui semuanya. Kalachakri atau Kalichakra, pendamping spiritual-Nya punya kesadaran akan segala sesuatu yang bersifat abadi, tidak terkekang oleh waktu ataupun di luar jangkauan waktu. Dalam modus Yab-yum, mereka menggabungkan sifat keduniawian dan non-duniawi. Dengan analogi yang sama, roda waktu juga tidak ada awal maupun akhirnya.
Yidam Kalachakra beserta dengan pendampingnya, Visvamata
Tantra Kalachakra
Tantra Kalachakra dibagi ke dalam lima bab dengan dua bab pertama dianggap sebagai “fondasi Kalachakra.” Bab pertama menjelaskan apa yang disebut sebagai “Kalachakra Luar” – yaitu dunia fisik – dan secara khusus membahas sistem kalkulasi penanggalan Kalachakra, kelahiran dan kehancuran berbagai alam semesta, sistem tata surya kita dan cara kerja elemen-elemen.
Bab kedua membahas mengenai “Kalachakra Dalam,” dan perhatian khusus diberikan pada proses kehamilan dan kelahiran, klasifikasi fungsi-fungsi tubuh dan pengalaman manusia, dan vajra-kaya (tubuh vajra); kemudian juga pada ekspresi keberadaan manusia secara fisik yaitu mengenai nadi, prana (qi/chi), bindu dan lain-lainnya. Pengalaman manusia oleh beberapa orang digambarkan dalam empat kondisi pikiran: bangun (sadar), bermimpi, tidur nyenyak, dan kondisi keempat yang hanya dapat diakses lewat energi yang dihasilkan dari orgasme seksual. Berbagai bindu yang menghasilkan kondisi tersebut dijelaskan di sana beserta dengan proses-proses kelanjutannya.
Tiga bab terakhir menggambarkan “Kalachakra alternatif” atau “Kalachakra lain”, dan berhubungan dengan jalur dan pencapaiannya. Bab ke-tiga menjelaskan persiapan praktek meditasi dari sistem ini: inisiasi (abhiseka pemberkatan untuk memasuki mandala) Kalachakra. Bab ke-empat menjelaskan praktek meditasi aktualnya, baik meditasi pada mandala dan para dewatanya dalam sadhana tingkat awal (kye-rim), dan tingkat kesempurnaan (dzog-rim) dari Enam Yoga. Bab ke-lima dan terakhir menjelaskan kondisi pencerahan sebagai hasil akhir pencapaian sadhana ini.
Seperti pada semua praktek vajrayana, inisiasi-inisiasi (abhiseka pemberkatan) Kalachakra diberikan kepada murid agar ia dapat melatih tantra Kalachakra dalam rangka mencapai Kebuddhaan. Di dalam tantra ini terdapat dua set abhiseka utama, dan seluruhnya berjumlah sebelas. Dua set pertama merupakan persiapan untuk meditasi Kalachakra tingkat awal (kye-rim). Sedangkan set yang kedua merupakan persiapan untuk meditasi tingkat akhir yang dikenal sebagai Enam Yoga Kalachakra. Para peserta yang hadir namum tidak bermaksud melatih sadhana ini biasanya hanya diberikan tujuh abhiseka pertama saja.
Mandala pasir Kalachara didedikasikan untuk kedamaian dunia dan individu, dan juga untuk keseimbangan fisik. Dalai Lama menjelaskan: “Ini adalah sebuah cara untuk menanamkan benih, dan benih ini akan punya efek karma. Mereka tidak perlu hadir pada upacara Kalachakra untuk mendapatkan manfaat ini.”
Kosmologi Buddhis menurut Tantra Kalachakra
Ilmu Perbintangan (Astrologi)
Frase “yang berada di luar, ternyata juga berada di dalam tubuh” sering ditemukan di dalam tantra Kalachakra untuk menekankan persamaan dan hubungan antara manusia dengan alam semesta; konsep ini adalah dasar untuk ilmu astrologi Kalachakra, tapi juga digunakan dalam hubungan dan interdependensinya yang lebih mendalam seperti yang diajarkan dalam literatur Kalachakra.
Di Tibet, sistem perbintangan Kalachakra adalah salah satu dari elemen penting dalam penanggalan astrologi Tibet. Astrologi dalam Kalachakra tidaklah seperti sistem astrologi Barat. Sistem ini menggunakan berbagai kalkulasi astronomikal yang rumit (dan yang mengejutkan adalah sangat akurat) untuk menentukan, sebagai contoh, lokasi tepat berbagai planet.
Manjushrí Kírti (Bhs. Tibet: Rigdan Tagpa), Raja Negeri Shambhala
Asal & Sejarah
Menurut Tantra Kalachakra, Raja Suchandra (Bhs. Tibet: Dawa Sangpo) dari Kerajaan Shambala memohon ajaran dari Buddha yang memampukannya untuk berlatih Dharma tanpa harus melepaskan kenikmatan dan tanggung jawab duniawinya.
Dalam menanggapi permohonan tersebut, Buddha mengajarkan tantra akar Kalachakra yang pertama di Dhanyakataka (Bhs. Tibet: Palden Drepung, jaman sekarang berada di dekat Amaravati), sebuah kota kecil di Andhra Pradesh di India tenggara, dan menurut dugaan berada pada dua lokasi pada saat yang bersamaan berhubung saat itu Buddha juga sedang membabarkan sutra Prajnaparamita di Gunung Gridhra-kuta di Bihar. Bersama dengan Raja Suchandra, 96 raja-raja kecil dan para utusan dari Shambala juga dikatakan telah menerima ajaran-ajaran tersebut. Kalachakra kemudian hanya langsung ditransmisikan di Shambala dan tradisi tersebut dijalankan secara eksklusif selama beratus-ratus tahun.
Raja-raja Shambala selanjutnya, Manjushrí Kírti dan Puṇdaŕika, dikatakan telah mengkompres dan menyederhanakan ajaran-ajaran tersebut menjadi “Shri Kalachakra” atau “Laghutantra” beserta dengan komentar utamanya “Vimalaprabha”, yang hingga hari ini masih ada dan disebut sebagai inti dari sastra Kalachakra. Potongan-potongan dari tantra aslinya masih bertahan hingga kini dan yang paling signifikan adalah “Sekkodesha” yang telah dikomentari oleh Mahasiddha Naropa.
Manjushrí Kírti (Bhs. Tibet: Rigdan Tagpa) dikatakan lahir pada 159 SM dan memerintah Shambhala serta menaungi 300.510 pengikut beragama Mlechha (Yavana atau “bagian barat”) yang hidup di sana. Beberapa dari pengikut beragama Mlechha tersebut memuja matahari. Ia dikatakan telah mengusir semua pengikut aliran sesat dari daerah kekuasaannya, namun memperbolehkan mereka untuk kembali setelah mendengar petisi dari mereka. Untuk kebaikan mereka dan juga para insan, ia kemudian menjelaskan ajaran-ajaran Kalachakra. Pada tahun 59 SM, ia menyerahkan tahtanya kepada anaknya, Puṇdaŕika. Segera setelah itu ia meninggal dan memasuki Kebuddhaan Sambhogakaya.
Di masa ini ada dua tradisi utama Kalachakra: dari silsilah Ra (Bhs. Tibet: Rva-lugs) dan silsilah Dro (Bhs. Tibet: ‘Bro-lugs). Meski ada banyak terjemahan naskah Kalachakra dari Bahasa Sansekerta ke dalam Bahasa Tibet, terjemahan Ra dan Dro dianggap sebagai yang paling dapat diandalkan (dua silsilah dijelaskan lebih lanjut di bawah). Ada sedikit perbedaan dari dua silsilah tersebut mengenai penjelasan bagaimana ajaran-ajaran Kalachakra kembali ke India dari Shambala.
Dalam kedua tradisi tersebut, Kalachakra beserta dengan komentar-komentarnya (kadang disebut sebagai “Bodhisattvas Corpus” – Tubuh Bodhisattva) dibawa kembali ke India pada 966 M oleh seorang pandita India. Dalam tradisi Ra, figur ini dikenal sebagai Chilupa, dan dalam tradisi Dro dikenal sebagai Kalachakrapada Sang Tetua. Cendekiawan seperti Helmut Hoffman berpendapat bahwa dua nama tersebut adalah orang yang sama. Guru-guru pertama di dalam tradisi telah menyaru dengan nama-nama samaran, sehingga tradisi oral dari India yang didokumentasikan oleh orang-orang Tibet berisi banyak kontradiksi.
Chilupa/Kalachakrapada dikatakan berangkat ke Shambala untuk menerima ajaran-ajaran Kalachakra, dan sepanjang perjalanannya dia bertemu dengan Raja negeri Kulika (Shambala) bernama Durjaya yang bermanifestasi sebagai Bodhisattva Manjushri, yang memberikan abhiseka pemberkatan Kalachakra kepadanya karena melihat motivasinya yang tulus dan murni.
Saat kembali ke India, Chilupa/Kalachakrapada dikatakan telah mengalahkan Nadapada (Bhs. Tibet: Naropa), kepala biara Universitas Nalanda, sebuah pusat agama Buddha pada waktu itu, dalam sebuah debat. Chilupa/Kalachakrapada kemudian memberikan abhiseka pemberkatan Kalachakra kepada Nadapada (yang kemudian dikenal sebagai Kalachakrapada Muda). Dari dua guru inilah tradisi tersebut berkembang di India dan Tibet. Nadapada mengesahkan ajaran-ajaran ini ke dalam komunitas Nalanda, dan memberikan abhiseka pemberkatan Kalachakra kepada guru-guru seperti Atisha (yang kemudian memberikan abhiseka pemberkatan ini kepada seorang ahli Kalachakra bernama Acharya Pindo (Bhs. Tibet: Pitopa)).
Sebuah sejarah Tibet, Pag Sam Jon Zang, begitu juga dengan bukti arsitektural, menunjukkan bahwa Mahavihara Ratnagiri di Orissa dulunya adalah sebuah pusat penting dalam pembabaran tantra Kalachakra di India.
Tradisi Kalachakra, beserta dengan semua Buddhisme Vajrayana, menghilang dari India sebagai konsekuensi dari invasi Muslim, dan hanya bertahan di Nepal saja.
Rupang Kalachakra di Museum Sejarah Alam Amerika, New York
Penyebaran ke Tibet
Silsilah Dro didirikan di Tibet oleh seorang murid Kashmir dari Nalendrapa yang bernama Pandita Somanatha, yang berkunjung ke Tibet pada tahun 1027 (atau 1064 M, tergantung pada jenis penanggalan yang digunakan), dan nama sililah ini diambil dari nama si penerjemahnya – Droton Sherab Drak Lotsawa. Silsilah Ra, di sisi lain, dibawa ke Tibet oleh seorang murid Kashmir lain dari Nadapada yang bernama Samatashri, dan diterjemahkan oleh Ra Choerab Lotsawa (atau Ra Dorje Drakpa).
Silsilah Ra menjadi sangat penting di dalam Ordo Sakya dalam Buddhisme Tibet dan ia diteruskan oleh para guru terkemuka seperti Sakya Pandita (1182-1251), Drogon Chogyan Pagpa (1235-1280), Budon Rinchendrup (1290-1364), dan Dolpopa Sherab Gyaltsen (1292-1361). Dua guru terakhir, yang juga meneruskan silsilah Dro, dikenal sebagai ekspositor (yang memberikan penjelasan) Kalachakra di Tibet. Sadhana dari silsilah Ra memberikan pengaruh yang besar terhadap penjelasan Dolpopa mengenai sudut pandang Shentong (salah satu bagian ordo filosofis dalam Buddhisme Tibet). Penekanan yang kuat pada sadhana Kalachakra dan penjelasan sudut pandang Shentong adalah karakter utama membedakan Ordo Jonang dari ordo lainnya, yang saat ditelusuri akan kembali pada Dolpopa.
Ajaran Kalachakra kemudian disempurnakan oleh cendekiawan utama Jonang yang bernama Taranatha (1575-1634). Pada abad ke-17, pemerintah Tibet yang dipimpin oleh Ordo Gelug menyatakan Ordo Jonang sebagai ilegal dan menutup atau mengkonversi biara-biara mereka dengan paksa. Karya-karya tulis Dolpopa, Taranatha, dan para cendekiawan terkemuka Shentong dilarang untuk dipelajari. Sungguh ironis karena pada waktu itu juga silsilah Gelug banyak menyerap tradisi Kalachara dari Jonang.
Hari ini, Kalachakra dipraktekkan oleh semua (empat) ordo Buddhis di Tibet, meski terutama oleh silsilah Gelug. Ia adalah sadhana tantra utama untuk Ordo Jonang, yang hingga kini beberapa biaranya di Tibet bagian timur masih berdiri. Berbagai usaha sedang dilakukan agar tradisi Jonang secara resmi dinyatakan sebagai tradisi ke-lima dalam Buddhisme Tibet.
Kalachakra dengan sepuluh simbol berkekuatan dharma
Praktek Kalachakra masa kini di dalam Ordo-ordo Buddhis Tibet
Buton Rinchen punya pengaruh yang cukup kuat pada perkembangan tradisi Kalachakra selanjutnya dari Gelug dan Sakya, begitu juga Dolpopa terhadap perkembangan tradisi dari Jonang yang digunakan oleh Kagyu, Nyingma, dan Tsarpa (cabang dari Sakya). Nyingma dan Kagyu sangat mengandalkan komentar-komentar tantra Kalachakra yang panjang dengan pengaruh Jonang yang diberikan oleh Ju Mipham dan Jamgon Kongrul Yang Agung. Kedua guru tersebut punya ketertarikan yang kuat pada tradisi Jonang. Tsarpa, sebagai cabang dari Sakya, mempertahankan silsilah sadhana untuk enam cabang yoga Kalachakra dari tradisi Jonang.
Jadi ada banyak pengaruh lain dan berbagai tambahan yang diberikan antar tradisi yang berbeda (silang tradisi), dan Dalai Lama juga mengatakan bahwa hal tersebut tidak masalah bagi mereka yang telah mendapatkan abhiseka pemberkatan dari salah satu tradisi Kalachakra untuk melakukan sadhana dari tradisi lain.
Vajravega beserta dengan 60 pelindung, lukisan milik Biara Shank di Mongolia
Kontroversi
Tantra Kalachakra kadang masih menjadi sumber kontroversi di Barat karena ada interpretasi dari bagian-bagian dalam literatur tersebut yang menjelekkan agama Islam. Hal ini terutama karena naksah tersebut berisi nubuat tentang perang suci antara penganut agama Buddha dengan mereka yang disebut sebagai “orang barbar” (Bhs. Sansekerta: mleccha). Satu ayat dari Kalachakra (Shri Kalachakra O. 161) menyebutkan, “Sang Chakravartin akan muncul pada akhir jaman, dari kota kuno tempat tinggal para dewa di Gunung Kailasa. Beliau, dengan empat divisi pasukannya, akan mengalahkan semua orang barbar di atas bumi ini dalam peperangan”
Meski Kalachakra meramalkan sebuah perang religius di masa mendatang, hal ini terkesan seperti bertentangan dengan sumpah ajaran agama Buddha Mahayana dan Theravada yang melarang tindakan kekerasan. Menurut Alexander Berzin, Kalachakra tidak mendukung kekerasan terhadap sesama manusia namun terhadap agresi batin dan emosional yang menghasilkan intoleransi, kebencian, kekerasan dan perang. Komentator Gelug pada abad ke-15, Kaydrubjey, menginterpretasikan “perang suci” ini secara simbolis. Ia mengajarkan bahwa hal tersebut mengacu pada peperangan dalam batin si praktisi religius melawan berbagai kecenderungan barbar dan jahatnya. Itulah solusi terhadap kekerasan, karena menurut Kalachakra, kondisi-kondisi eksternal bergantung pada (dipengaruhi oleh) kondisi internal aliran pikiran para insan. Saat dilihat dari sudut pandang seperti itu maka perang yang diramalkan akan terjadi di dalam hati dan emosi. Perang tersebut digambarkan sebagai transformasi dari mentalitas khusus yang suka melakukan kekerasan atas nama agama dan ideologi menjadi kekuatan moral, wawasan dan kebijaksanaan spiritual yang luhur.
Ikonografi Tantra yang meliputi senjata-senjata tajam, perisai, dan mayat juga nampak bertentangan dengan prinsip tanpa kekerasan; namun ia melambangkan berubahnya sifat agresif menjadi sebuah metode untuk mengatasi ilusi dan ego. Baik Kalachakra maupun pelindung dharma-Nya, Vajravega, memegang sebuah pedang dan perisai di tangan kanan dan kiri mereka yang ke-dua. Ini adalah ekspresi kemenangan Buddha atas serangan Mara dan juga perlindungan yang diberikan-Nya kepada semua insan. Periset simbolisme, Robert Beer, menulis hal berikut tentang ikonografi tantra yang berupa senjata dan dia juga menjelaskan mengenai tanah tempat pembuangan mayat:
Banyak peralatan dan senjata ini yang berasal dari arena peperangan yang dipenuhi dengan hawa kemarahan dan alam yang menyeramkan di lokasi pembuangan mayat. Sebagai citra utama yang melambangkan penghancuran, penjagalan, pengorbanan, dan ilmu hitam; senjata-senjata ini direbut dari tangan para iblis dan dirubah – sebagai simbol – untuk melawan akar utama dari sifat iblis tersebut, yaitu: identitas konseptual yang menyayangi diri sendiri yang ternyata malah memunculkan lima racun – kebodohan, hasrat, kebencian, kesombongan, dan iri hati. Di tangan para siddha, dakini, yidam yang marah dan setengah marah, dewata pelindung dan pelindung dharma; alat-alat seperti ini berubah menjadi simbol yang suci, senjata yang mampu merubah (sifat jahat menjadi kesucian), dan sebuah ekspresi welas asih yang penuh kemurkaan para dewata yang tidak segan-segan menghancurkan berbagai macam ilusi yang dihasilkan dari membesarnya ego manusia.
Nubuat ini juga dapat dipahami dan mengacu pada serangan umat Islam ke Asia tengah dan India yang dengan sengaja menghancurkan agama Buddha di daerah-daerah tersebut. Ia juga berisi gambaran-gambaran mendetil tentang para penyerbu di masa mendatang, begitu juga dengan berbagai metode (tanpa kekerasan) yang dianjurkan bagi ajaran-ajaran Buddha agar bisa selamat dari gencarnya serangan ini.
Sebuah interpretasi dari ajaran Buddha yang menggambarkan konflik militer – seperti elemen-elemen Tantra Kalachakra dan Epik Gesar – adalah bahwa ajaran tersebut bisa diberikan (diajarkan) kepada mereka yang punya kecenderungan karma berupa nafsu suka berkelahi, sehingga hati mereka bisa menjadi tenang. Ayat-ayat Kalachakra yang berhubungan dengan peperangan dapat dilihat sebagai ajaran untuk menjauhi ajaran religius manapun yang membenarkan adanya perang dan kekerasan (atas nama agama), dan untuk merangkul ajaran kasih sayang dan welas asih.
Sebuah bagian lain dari ajaran Kalachakra menggambarkan wanita dalam cara yang sangat negatif. Dalai Lama, saat memberikan ajaran Kalachakra di Illinois tahun 1999, bahkan sempat berhenti sebentar saat menafsirkan ajaran ini hingga meminta maaf berhubung naskah tersebut terdengar cukup kasar saat membahas mengenai wanita dan beliau memberikan catatan bahwa bagian tersebut ditujukan kepada para bhiksu yang harus menghindari wanita. Kontroversi lebih lanjut, terutama di Barat, berkisar pada dimensi seksual dari ajaran tersebut dan juga pada pasangan yang bersatu yang digambarkan secara vulgar dalam lukisan-lukisan Kalachakra. Kondisi gembira dari persenggamaan adalah bagian mendasar dalam Tantra Yoga Tertinggi – di mana Kalachakra termasuk dalam kategori ini, tapi semua orang telah diperingatkan untuk tidak melatih sadhana ini karena faktor-faktor bawaan manusia akan dengan mudah mengotori apa yang seharusnya merupakan sadhana yang bersih dan mulia.
Ayat-ayat yang kontroversial mengenai perang suci, yang kemungkinan besar telah dimasukkan ke dalam tradisi Kalachakra saat penyebaran agama Islam secara besar-besaran di India bagian utara di mana agama Buddha telah mengalami kemunduran, kemudian di jaman moderen dibajak dan digunakan oleh beberapa penyiasat yang neko-neko (punya agenda terselubung) dari Sayap Kiri dan Sayap Kanan untuk kepentingan politik mereka. Berbagai aktivitas yang patut dipertanyakan ini, begitu juga dengan ayat-ayat yang disebutkan di atas dari literatur kuno Kalachakra mengenai perang suci dan penggunaan seksualitas untuk keperluan ritual, memicu Victor dan Victoria Trimondi, dua orang penulis dan ahli filosofi dari Jerman, untuk melancarkan kritik yang radikal mengenai tradisi Kalachakra secara keseluruhan. Namun di sisi lain, Alexander Berzin, salah satu murid terkemuka dalam Buddhisme Tibet, mencoba memberikan penjelasan yang seimbang dan jelas mengenai tradisi yang sama.
May I be a lamp for those who seek light, a bed for those who seek rest, and may I be a servant for all beings who desire a servant. (Shantideva)
1.Vipasyin (毗婆尸佛)---Buddha masa lampau yang pertama (in this world)
Vipasyin , merupakan Buddha pertama dari 7 Buddha, maknanya adalah Pandangan yang Unggul, Beraneka Pandangan, Macam macam Pandangan dan lain lain. Konon kemunculan Nya dari sekarang telah 91 kalpa,Pernah Berdharmadesana dalam tiga kali pasamuan, pasamuan pertama dihadiri oleh 160.000 siswa, pasamuan kedua 100.000 siswa, yang ke tiga dihadiri oleh 80ribu siswa.
2.SIKHIN (屍棄佛)
Merupakan Buddha kedua di dunia saha ini pada 30 kalpa lalu, makna SIKKHIN adalah "usnisa dan yang Anuttara." terlahir dari keluarga Ksatriya, mencapai Anuttara Samyaksambodhi di bawah pohon Pundarika (芬陀利樹). Telah mengadakan 3 pasamuan Dharma, yang pertama dihadiri 100ribu siswa, yang kedua 80ribu, ketiga 70ribu siswa. Usia Nya 60ribu kalpa.
3.VISVABHU (毗舍婆佛)
Visvabhu bermakna memiliki segalanya. Merupakan Buddha masa lampau yang ketiga. Menurut catatan, kemunculan Nya adalah dari sekarang telah 31 kalpa. Siswa utama Nya adalah (扶游) dan (郁多摩)。 Telah melakukan Pasamuan Dharmadesana sebanyak 2 kali, pertama ada 70ribu siswa , yang kedua 60ribu.
4.KRAKUCCHANDA TATHAGATA (拘樓孫佛)
Krakucchanda bermakna Telah memotong apa yang patut dipotong, Melenyapkan Kelelahan, Mencapai Keindahan dan lain sebagainya. Merupakan Buddha yang keempat diantara 7 Buddha. Sekaligus merupakan Kepala dari 1000 Buddha kalpa ini. Pada usia 60ribu tahun meninggalkan dunia. Telah mengadakan satu kali pasamuan Dharma, dihadiri oleh 40ribu siswa, siswa utama Nya adalah Sani (薩尼) dan Biluo(毗樓)。
5.KANAKAMUNI TATHAGATA (拘那含佛)
Kanakamuni berarti Ketenangan emas, atau Suciwan Emas. Merupakan Buddha kelima diantar 7 Buddha lampau. Meninggalkan dunia pada usia 40ribu tahun. Kehidupan lampau Amitabha Buddha adalah siswa dari Kanakamuni Tathagata. Mengadakan satu kali Pasamuan Dharmadesana, dihadiri 30ribu siswa.
6.KASYAPA BUDDHA (迦葉佛)
Kasyapa。bermakna:飲光。Buddha ke 6 diantar 7 Buddha Lampau。Mengendarai singa, merupakan Guru Sakyamuni Buddha di kehidupan lampau. Pernah mengadakan satu kali Pasamuan Dharma, ada 20ribu siswa hadir. Siswa utama Nya adalah 提舍 (Tishe) dan 婆羅婆 (Poluopo)。
7.SAKYAMUNI BUDDHA
Seperti Bait Terakhir dlm Sutra raja Agung Avalokitesvara , yg Menyebutkan ke 7 budha masa lampau dalam bahasa sanksekerta , Li po Li Po ti , Chiu ko Chiu Ko ti , Tho Lo Ni Ti , Nie Ho lo Tie , Phi Lie Nie Ti , Mo ho Cia Tie , Cen Ming Chien Ti , So ha
Vipasyin , merupakan Buddha pertama dari 7 Buddha, maknanya adalah Pandangan yang Unggul, Beraneka Pandangan, Macam macam Pandangan dan lain lain. Konon kemunculan Nya dari sekarang telah 91 kalpa,Pernah Berdharmadesana dalam tiga kali pasamuan, pasamuan pertama dihadiri oleh 160.000 siswa, pasamuan kedua 100.000 siswa, yang ke tiga dihadiri oleh 80ribu siswa.
2.SIKHIN (屍棄佛)
Merupakan Buddha kedua di dunia saha ini pada 30 kalpa lalu, makna SIKKHIN adalah "usnisa dan yang Anuttara." terlahir dari keluarga Ksatriya, mencapai Anuttara Samyaksambodhi di bawah pohon Pundarika (芬陀利樹). Telah mengadakan 3 pasamuan Dharma, yang pertama dihadiri 100ribu siswa, yang kedua 80ribu, ketiga 70ribu siswa. Usia Nya 60ribu kalpa.
3.VISVABHU (毗舍婆佛)
Visvabhu bermakna memiliki segalanya. Merupakan Buddha masa lampau yang ketiga. Menurut catatan, kemunculan Nya adalah dari sekarang telah 31 kalpa. Siswa utama Nya adalah (扶游) dan (郁多摩)。 Telah melakukan Pasamuan Dharmadesana sebanyak 2 kali, pertama ada 70ribu siswa , yang kedua 60ribu.
4.KRAKUCCHANDA TATHAGATA (拘樓孫佛)
Krakucchanda bermakna Telah memotong apa yang patut dipotong, Melenyapkan Kelelahan, Mencapai Keindahan dan lain sebagainya. Merupakan Buddha yang keempat diantara 7 Buddha. Sekaligus merupakan Kepala dari 1000 Buddha kalpa ini. Pada usia 60ribu tahun meninggalkan dunia. Telah mengadakan satu kali pasamuan Dharma, dihadiri oleh 40ribu siswa, siswa utama Nya adalah Sani (薩尼) dan Biluo(毗樓)。
5.KANAKAMUNI TATHAGATA (拘那含佛)
Kanakamuni berarti Ketenangan emas, atau Suciwan Emas. Merupakan Buddha kelima diantar 7 Buddha lampau. Meninggalkan dunia pada usia 40ribu tahun. Kehidupan lampau Amitabha Buddha adalah siswa dari Kanakamuni Tathagata. Mengadakan satu kali Pasamuan Dharmadesana, dihadiri 30ribu siswa.
6.KASYAPA BUDDHA (迦葉佛)
Kasyapa。bermakna:飲光。Buddha ke 6 diantar 7 Buddha Lampau。Mengendarai singa, merupakan Guru Sakyamuni Buddha di kehidupan lampau. Pernah mengadakan satu kali Pasamuan Dharma, ada 20ribu siswa hadir. Siswa utama Nya adalah 提舍 (Tishe) dan 婆羅婆 (Poluopo)。
7.SAKYAMUNI BUDDHA
Seperti Bait Terakhir dlm Sutra raja Agung Avalokitesvara , yg Menyebutkan ke 7 budha masa lampau dalam bahasa sanksekerta , Li po Li Po ti , Chiu ko Chiu Ko ti , Tho Lo Ni Ti , Nie Ho lo Tie , Phi Lie Nie Ti , Mo ho Cia Tie , Cen Ming Chien Ti , So ha
Namo Lokeshvaraya:
A. Engkau lihat bahwa semua fenomena tidak memiliki awal dan akhir.
Namun tetap saja engkau berusaha demi kebaikan semua makhluk semesta,
Pada - Mu Avalokitesvara, Guru Tertinggi dan Pelindung,
Aku senantiasa memberikan penghormatan melalui perbuatan, ucapan, dan pikiranku.
B. Sumber semua manfaat dan kebahagiaan yaitu Para Buddha yang telah sempurna,
Mereka terjadi karena telah menjalankan Dharma sejati.
Untuk dapat menjadi seperti Mereka,
Kita harus mengetahui praktik ibadah Mereka,
Karena itu praktik ibadah jalan seorang Bodhisatva harus dijelaskan.
1. Kini karena aku telah memiliki hal yang sangat sukar untuk diperoleh yaitu kelahiran sebagai manusia dan tubuh manusia yang sangat berharga, ibarat perahu yang agung. Aku harus menyeberangkan diriku dan yang lain menyeberangi Samudera samsara (alam - alam penderitaan). Karena itu, sepanjang siang dan malam tanpa kemalasan * Mendengarkan, berintrospeksi, dan bermeditasi merupakan praktik seorang Bodhisatva.
2. Gairah karena perasaan duniawi terhadap sahabat bergejolak sepeti ombak. Kebencian terhadapmusuh, membakar menyala - nyala seperti api. Kegelapan batin dan pikiran akibat ketidaktahuan membuat orang lupa, hal apa yang harus dilaksanakannya dan hal apa yan harus dihindarinya. * Menjauhkan suasana lingkuangan seperti itu, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
3. Tinggalkan tempat – tempat yang merugikan, kemalangan pun akan menghilang dengan sendirinya. Tak terganggu, kegiatan bermanfaat pun lahir dengan sendirinya. Melalui kesadaran nan jernih, keyakinan akan Dharma pun lahir dengan sendirinya. * Berdiam dalam penyunyian, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
4. Kita kan berpisah dengan sanak famili dan sahabat yang telah lama kita kenal. Harta yang kita kumpulkan dengan susah payah, akan kit atinggalkan saat meninggal. Kesadaran ibarat tamu yang akan meninggalkan tubuh jasmani, seperti seorang tamu yang akan meninggalkan wisma tamu untuk melanjutkan perjalanannya. * Membuang konsep hidup duniawi, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
5. Bila engkau berteman dengan seseorang dan tiga racun batinmu (Lobha, Dosa, dan Moha) meningkat, Sedangkan kegiatan mendengarkan, berintrospeksi, dan bermeditasi mengalami kemerosotan, Beratrti orang yang kau kira temanmu itu sesungguhnya merupakan orang yang menghancurkan semangat cinta kasih dan belas kasih (maitri Karuna). * Meninggalkan teman yang buruk seperti ini, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
6. Bila engkau bersama dengan seseorang dan perbuatan burukmu berakhir, kebajikan, dan kebaikan akan meningkat seperti bulan yang membesar, seorang sahabat spiritual sejati seperti ini. * Menghargai dia melebihi dirimu sendiri, merupakan praktik seorang Bidhisatva.
7. Para Dewa duniawi pun masih terperangkap dalam Samsara (Lingkaran kehidupan yang penuh penderitaan) yang mirip penjara bagi semua makhluk, jadi, mereka juga tak dapat melindungi siapa pun. Karena itu berlindunglah pada Tri Ratna: Buddha, Dharma, dan Sangha, yang tak akan pernah menipu. * Berlindung pada Tri Ratna Yang Mulia dan Tertinggi, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
8. ”Sangat sukar ditanggung, derita di alam – alam rendah (Alam Neraka, Preta, dan hewan) hasil berbagai karma buruk,” demikian Sabda Sang buddha. Karena itu, jika harus berkorban nyawa * Jangan pernah melakukan perbuatan jahat, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
9. Kebahagiaan di lingkaran kehidupan seperti setetes embun di ujung sehelai daun. Karena dapat musnah dalam sekejap. Keadaan kebebasan yang tertinggi adalah tingkat Ke Buddha an yang tak pernah berubah. * Berjuang untuk mencapai tingkat tersebut, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
10. Sejak waktu yang tanpa awal, mereka telah menyayangi aku, Para ibuku – jika mereka menderita, apakah artinya kebahagiaanku sendiri? Karena itu, untuk membebaskan makhluk semesta yang jumlahnya tak terbatas (yang semuanya pernah menjadi ibu kita dalam jutaan kelahiran yang pernah kita alami sejak waktu yang tanpa awal) * Mengembangkan pikiran dan prilaku yang mulia (Bodhicitta), merupakan praktik seorang Bodhisatva.
11. Semua penseritaan tanpa kecuali, muncul akibat melekat pada kebahagiaan kita sendiri. Para Buddha yang sempurna terlahir dari niat untuk memberikan manfaat bagi sesama (Semua makhluk). * Karena itu dengan sungguh – sungguh memberikan kebahagiaan kita sendiri sebagai ganti penderitaan sesama, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
12. Bahkan apabila seseorang terdorong oleh keinginan mencuri semua kekayaanku atau menghasut seseorang untuk mencuri, tubuh, harta, dan kebajikanku di tiga masa. * Melimpahkan semua itu kepadanya, merupakan praktek seorang Bodhisatva.
13. Sekalipun aku sendiri tidak melakukan kesalahan, yang terkecil sekalipun, bahkan jika seornag hendak memenggal kepalaku, tetap saja, dengan kekuatan belas kasih. * Mengambil alih karma buruk orang itu, merupakan praktik seornag Bodhisatva.
14. Bila seseorang hendak menyebarluaskan banyak hal yang tak menyenangkan tentang diriku ke sejuta dunia, tetap saja dengan pikirna penuh cinta kasih. * Sebagai jawaban balasan, memuji kelebihan – kelebihan orang itu, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
15. Jika seorang ditengah khalayak ramai hendak membeberkan kesalahanku dan memfitnahku, Aku harus menganggapnya sebagai seorang Sahabat Siritual, dan * Membungkuk dengan penuh Hormat, merupakan praktek seorang Bodhisatva.
16. Seseorang yang kusayangi seperti anakku sendiri, Jika orang ini menganggap dan memperlakukan aku seperti musuhnya, Maka seperti seorang ibu yang anaknya terserang penyakit * Mencintai orang itu bahkan lebih dalam lagi, merupakan praktik seorang Bodhisatva
17. Bahkan jika seseorang, terdorong oleh harga diri yang tinggi, membuat standar dan perbandingan agar dapat menghina diriku, dengan penghormatan seperti bila aku menghormati seorang Lama (Guru) * Aku akan menghormatinya dan meninggikannya di atas kepalaku, merupakan praktik seorang Bodhisatva
18. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, dipandang rendah, dan dihina orang lain, terserang berbagai penyakit, dan makhluk jahat, tetap saja di puncak semua itu. * Mengambil alih karma buruk dan penderitaan setiap makhluk lain serta memikulnya tanpa menjadi patah semangat, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
19. Sekalipun termasyhur, terkemuka, dan dihormati banyak orang, berlimpah kekayaan seperti Dewa Harta, * Memandang semua gemerlap duniawi, mengetahui bahwa itu tanpa inti dan karenanya tidak menjadi tinggi hati, merupakan prakteik seorang Bodhisatva.
20. Jika aku belum dapat menaklukkan musuh yang berupa kemarahanku sendiri, Berusaha untuk menaklukkan para musuh di luar diriku hanya akan membuat mereka berlipat ganda. Karena itu, dengan senjata Maitri dan Karuna (Cinta Kasih dan Belas Kasih) * Menaklukkan pikiranku sendiri, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
21. Kesenangan indrawi sama seperti air asin, Makin banyak kau nikmati, kemelekatanmu akan makin meningkat. Hal apa pun yang menyebabkan timbulnya kemelekatan. * Menghentikannya dengan segera, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
22. Penampakan sebagaimana itu terlihat, semuanya pikiran orang itu sendiri. Pada mulanya, hakikat batin dari pikiran itu terbebas dari kepura – puraan. Mengetahui hal ini – dalam karakteristik yang dipaham dan yang memahami. * Tidak melibatkan pikiran, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
23. Ketika engkau menemukan hal – hal yang menyenangkan bagi pikiranmu, Hal – hal itu hanya seperti pelangi pada musim panas. Sekalipun tampak begitu indah – mengetahui bahwa itu tidak nyata karenanya * menghentikan kemelekatan, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
24. Semua penderitaan yang beragam, sesungguhnya seperti penderitaan yang kau rasakan ketika engkau bermimpi bahwa putramu sedang sekarat. Menganggap semua penampakan sebagai hal yang nyata - Oh, betapa meletihkan! Karena itu, kapan saja engkau penjumpai keadaan yang tidak menyenangkan * Menganggap mereka sebagai suatu khayalan belaka, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
25. Mereka yang menginginkan pencerahan bahkan harus mengorbankan tubuh mereka. Apa lagi memberikan benda – benda lainnya – hal ini tidak perlu dijelaskan! Karena itu, tanpa mengharapkan balasan atau penuaian buah karma baik. * Memberi dengan murah hati, penuh kedermawanan adalah dana paramita yang merupakan praktik seorang Bodhisatva.
26. Tanpa disiplin, engkau tak akan menyempurnakan kebebasanmu sendiri. Dan kemudian berharap dapat membebaskan yang lain juga – it hanyalah sebuah angan – angan! Karena itu, disiplin diri tanpa mengharapkan keberadaan duniawi. * Melindungi dan mempertahankan disiplin adalah Sila Paramita yang merupakan praktik seorang Bodhisatva.
27. Bagi seorang Bodhisatva yang menginginkan harta berupa kebajikan yang melimpah, Semua hal yang mengganggu, bagaikan harta karun yang snagat berharga. Karen aitu, kesabaran, tanpa rasa sakit hati dan dendam terhadap siapa pun. * Memupuk kesabaran seperti ini adalah Ksanti Paramita yang merupakan praktik eorang Bodhisatva.
28. Bahkan para Sravaka dan Pratyekabuddha yang hanya berlatih demi kebahagiaan pribadi mereka. Berusaha dengan sanagat keras, seakan – akan seperti harus memadamkan api yang membakar rambutnya. Usaha yang dilakukan dengan penuh kegembiraan merupakan sumber dari semua sifat luhur yang dapat memberi manfaat bagi semua makhluk. * Berjuang dengan usaha seperti ini adalah Virya Paramitha yang merupakan praktik seorang Bodhisatva.
29. Vipassana yang sepenuhnya disatukan dengan Shamanta, sepenuhnya menaklukkan semua hambatan. Mengetahui ini, meditasi seimbang melampaui keempat keadaan tanpa bentuk. * Bermeditasi seperti itu adalah Dhyana Paramitha.
30. Tanpa pengetahuan yang luas, hanya dengan lima Paramita lainnya, Tidaklah mungkin mencapai Pencerahan Sempurna. Karena itu pengetahuan hanya merupakan sarana dan mengerti tidak adanya jati diri dari subjek, objek, dan benda atau perbuatannya. * Memupuk pengetahuan dengan cara sepeti ini adalah Prajna Paramita yang merupakan praktik seornag Bodhisatva.
31. Jika aku belum menganalisa khayalanku sendiri, Mengatasnamakan Dharma, aku mungkin akan bertindak dalam cara yang bukan Dharma. Karena itu * Menganalisa khayalanku sendiri secara terus menerus dan berkesinambungan dan kemudian menghentikan khayalan – khayalan tersebut, merupakan praktek seorang Bodhisatva.
32. Karena kekuatan penghalang, jika aku berbicara tentang kesalahan para Bodhisatva lainnya, aku sendiri akan mengalami kemerosotan. Karena itu, terhadap seseorang yang telah menapaki Jalan Mahayana (Kendaraan Besar) * Jangan pernah membicarakan kesalahannya, merupakan praktik seorang Bodhisatva. (Tidak menodai Ucapan dengan membicarakan kesalahan sesama)
33. Terpengaruh oleh kekayaan dan kehormatan, aku akan berakhir saling membantah, dan kegiatan mendengarkan, berintrospeksi, serta bermeditasi akan mengalami kemerosotan. Terhadap keluarga dari para sahabt, kerabat, dan donatur. * Hentikan kemelakatan dan jangan melekat, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
34. Berbicara dengan kasar akan mengganggu pikiran orang lain. Dan tingkah laku Bodisatva akan menurun. Karena itu kata – kata kasar tidak menyenangkan orang lain. * Jangan pernah mengeluarkan kata kata – kata kasar, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
35. Keburukan yang sudah menjadi kebiasaan susah dihilangkan. Seseorang yang sadar dan sepenuhnya waspada akan menggenggam erat obat penyakit tersebut sebagai senjatanya.. * Membasmi penyakit seperti kemelekatan dan sejenisnya segera setelah mereka muncul, merupakan praktik seorang Bodhisatva.
36. Secara ringkas, di mana pun engkau berada, apa pun yang engkau lakukan, dalam semua cara bertindak, engkau harus selalu meneliti bagaimankah keadaan pikiranmu yang sesungguhnya. Sepenuhnya sadar dan waspada secara terus – menerus dan berkesinambungan. * Demi menyempurnakan pembebasan agung makhluk lain, merupakan praktik seorang Budhisatva.
37. Pahala yang dikumpulkan melalui usaha seperti ini, demi untuk menghapuskan semua penderitaan dari semua makhluk yang tak terhingga, Dengan pengetahuan yang sangat murni, tentang tidak adanya subjuk, objek, dan benda atau perbuatannya. * Melimpahkan semua itu demi Pencerahan Sempurna, merupakan Prkatik Seorang Bodhisatva.
C. Apa yang telah diajarkan dlaam berbagai Sutra, Tantra, dan risalah, mengikuti Ajaran Para Buddha, Kususun menjadi 37 Praktik Ajaran Bodhisatva, agar semua yang berharap mempelajari jalan Bodhisatva dapat menarik manfaat darinya.
D. Karena kecerdasanku rendah dan yang kupelajari sedikit, aku tak dapat menyusun puisi untuk memuaskan para cendekiawan. Tetapi karena semua berlandaskan berbagai Sutra dan Ajaran Suci, Kukira ”Jalan Bodhisatva” ini tidaklah keliru.
E. Karena demikian luasnya dan luar biasanya perbuatan seorang Bodhisatva, maka seseorang dnegan kecerdasan rendah sepeti aku sulit memahaminya, Semua kesalahan berupa berbagai pernyataan yang slaing bertentangan, tidak saling berhubungan dan sebagainya. Aku berdoa semoga Yang Mulia mempertimbangkan dan merenungkannya dengan penuh kesabaran.
F. Dengan jasa kebajikan penyusunan karya ini, semoga semua makhluk, Dengan sarana berupa prilaku yang tercerahkan secara relatif dan absolut, mencapai Pencerahan Sempurna. Semoga mereka semua menjadi setara dengan Avalokitesvara sang Pelindung.
Demi kebahagiaan dirinya sendiri dan yang lan, Yang mulia Thogme Zangpo, pakar di bidang Naskah dan Penalaran, menyusun kaya ini di Gua Permata Air Perak
Melalui Pahala Kebajikan ini, semoga kita semua dapat segera mencapai Pancerahan Sempurna demi semua Makhluk. Semoga semua makhluk di 6 Alam Gati dapat mepraktekkan Dharma, sehingga dapat terbebas dari belenggu Ketiga Racun, dan mencapai Pencerahan. Om Mani Padme Hum
Sumber: Rigjedma: 37Jalan Hidup Seorang Bodhisatva
Menjadikan Bumi ini Tanah MurniBAGIAN 4
Renungan Mendalam serta Tafsir Kontemporer terhadap
Ajaran Dharma Aliran Sukhavati
oleh: Ivan Taniputera, dipl. Ing.
PENDAHULUAN
Rekan-rekan Buddhis yang terkasih,
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas mengenai makna sejati ajaran Dharma aliran Sukhavati, mengingat suatu ajaran apabila tidak diterapkan secara cerdas dan trampil tidak akan berguna atau bahkan akan
membahayakan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh YA. Thich Nhat Hanh pada buku karangan Beliau berjudul “Keheningan Yang Menggelegar,” terbitan Mutiara Dhamma, Bali, 2003 halaman 32 – 33:
“Ketika kita mendengar cerita ini, kita mungkin berpikir betapa luar biasa bodohnya orang itu. Tetapi jika kita melihat lebih mendalam, kita bisa melihat
bahwa diri kita sendiri tidak jauh lebih baik. Karena kita kekurangan kecerdasan dan ketrampilan, kita belajar Dharma dan mendiskusikannya untuk kesenangan atau hanya pamer saja. Kita tidak cukup tekun untuk
membebaskan diri kita sendiri dari penderitaan yang paling mendalam. Kita tetap melekat pada kata-kata dan gagasan-gagasan, baik dalam belajar maupun praktik kita. Cara kita dalam menghitung nafas, praktek
meditasi cinta-kasih dan kasih-sayang, atau membaca mantra, juga bisa kurang cerdas dan trampil. Kita bisa terperangkap dalam bentuk-bentuk. Tidaklah mudah untuk membangkitkan pengertian.”
Demikianlah apabila kita tidak dapat memahami hakekat sejati dari suatu Dharma, maka kita akan terperangkap di dalamnya. Memang benar, tidaklah mudah untuk membangkitkan pengertian. Oleh karenanya untuk
memiliki pandangan yang benar tentang Ajaran Dharma Sukhavati perlulah kita merenungannya secara mendalam.
Namun masih ada hal yang perlu diingat, tafsiran ini bukanlah satu-satunya tafsiran yang benar mengenai Ajaran Sukhavati. Melainkan hanya salah satu usaha untuk memanfaatkan Ajaran Sukhavati guna memotivasi diri kita di dalam menciptakan suatu dunia yang lebih baik. Suatu dunia yang lebih layak untuk ditempati.
BAGIAN 1
Renungan Mengenai Keadaan Dunia
Banyak orang mengatakan bahwa dunia yang kita tinggali ini baik-baik saja, banyak pula dari mereka yang mengatakan bahwa dunia ini indah. Namun apakah benar demikian? Tentu saja untuk menjawabnya kita perlu melihat pada fakta. Ambillah surat kabar edisi terbaru. Apakah yang kita baca di dalamnya? Pasti kita akan mendapatkan berita mengenai perang yang sedang berkecamuk, kejahatan yang merajalela, dan lain sebagainya. Meskipun peristiwanya beraneka ragam, tetapi intisarinya hanya satu: selalu ada saja seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan
penderitaan bagi orang lainnya. Perang di Irak, Palestina, Aceh, dan lain sebagainya adalah contoh paling aktual atas aksi saling membunuh yang
berkecamuk di muka bumi ini. Tidak ada pembunuhan yang tidak menimbulkan penderitaan.
Tidak hanya itu saja, baru-baru ini di televisi dikisahkan mengenai upacara adat suku tertentu yang sungguh mengerikan. Upacara kematian tersebut sungguh mengerikan dan mengandung penyiksaan yang luar biasa
terhadap hewan. Pertama-tama seseorang mengayunkan parang ke leher seekor kerbau hingga menimbulkan luka yang cukup serius, dan bukan itu saja hewan malang tersebut kemudian diseret dengan menggunakan mobil
keliling kampung dalam kondisi hidup-hidup. Dalam keadaan sekarat tubuh hewan tersebut luka-luka terkena goresan kerikil, sehingga akhirnya mati kehabisan darah. Alasan bagi tindakan kejam itu adalah sang kerbau hendak dijadikan tunggangan bagi arwah orang meninggal tersebut. Tentu saja ini adalah pandangan salah. Memang tidak ada tindakan hukum yang dapat
diambil terhadap orang yang menyiksa dan membunuh hewan (setidaknya di Indonesia), namun Agama Buddha sebagai agama yang paling menghargai kehidupan memandang bahwa penyiksaan dan pembunuhan terhadap
hewan adalah sama buruknya dengan penyiksaan dan pembunuhan terhadap manusia. Kalau kita mempelajari lebih jauh, ternyata banyak pula suku-suku lain yang mewajibkan pengorbanan hewan-hewan di dalam ritual
mereka. Tentu saja bagi hewan-hewan itu sendiri, entah dengan alasan menjalankan tradisi atau bukan, pembunuhan adalah tetap pembunuhan dan tidak ada makhluk hidup yang tidak takut terhadap kematian. Sang
Buddha mengajarkan di dalam SAMYUTTA NIKAYA buku VIII, bahwa mengorbankan hewan-hewan tersebut serta melaksanakan upacara ritual tidaklah berharga seperenambelasnya sekalipun dari hati yang diliputi
cinta kasih. Demikianlah setiap hari ada banyak hewan yang harus menderita karena manusia.
Lubangnya lapisan ozon, kelaparan, wabah penyakit, bencana alam, dan lain sebagainya juga merupakan isi dari pemberitaan surat kabar sehari-hari. Manusia yang selama beberapa ratus tahun terakhir ini telah
mengeksploitasi alam, mengakibatkan “marah”nya alam. Alam berbalik “melawan” manusia. Baru-baru ini terjadi wabah penyakit SARS serta amukan topan di Korea Selatan. Kemiskinan dan kekurangan meraja lela di
mana-mana, terjadi kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Jurang ini semakin hari semakin bertambah lebar. Orang kaya dapat dengan bebas menghamburkan kekayaannya sementara orang miskin sibuk mengais
rejeki untuk mempertahankan hidup mereka sehari-hari. Kesenjangan sosial ini sebagai akibatnya terkadang dapat juga memicu kerusuhan.
Sebenarnya masih banyak hal-hal yang perlu diungkapkan, namun contoh-contoh di atas sudah cukup membuktikan bahwa dunia ini tidaklah “baik-baik saja.” Kita (sebagai seorang Umat Buddha) harus meyakini
bahwa dunia ini “sakit.” Dunia ini begitu buruk dan rusak. Tentu saja setelah menyadari sakitnya dunia ini, maka kita harus melakukan sesuatu untuk
merubahnya.
BAGIAN 2
Sumber Ajaran Tanah Murni (Sukhavati)
2.1 Sutra-Sutra Aliran Sukhavati
Aliran Tanah Murni atau Sukhavati menyandarkan ajarannya pada ketiga Sutra berikut ini:
1.SUKHAVATI VYUHA SUTRA
2.MAHASUKHAVATI VYUHA SUTRA
3.AMITAYUR DHYANA SUTRA
Ketiga Sutra tersebut merupakan landasan bagi aliran Sukhavati dan disebut “Tiga Sutra Aliran Sukhavati.” Pada kesempatan kali ini kita akan membahas ajaran-ajaran sejati yang terdapat pada Sutra-Sutra
tersebut di atas.
2.2 Sukhavati dan Tanah Buddha
Sesungguhnya Aliran Mahayana mengenal banyak sekali apa yang dinamakan Tanah Buddha. Pembabaran mengenai apakah sebenarnya yang disebut Tanah Buddha memerlukan waktu yang tidak singkat. Oleh karenanya tidak akan kita bahas di sini. Pembahasan pada kesempatan kali
ini lebih ditujukan bagi penerapan Ajaran Buddha pada praktek hidup kita sehari-hari. Teori yang terlalu rumit tidak akan berguna apabila tidak dihidupkan pada keseharian hidup kita.
Hanya saja pada bagian ini kita akan menyebutkan beberapa contoh Tanah Buddha di dalam Aliran Mahayana:
Tanah Buddha Abhirati tempat Buddha Aksobhya, Tanah Buddha tempat Buddha Bhaisajyaguru, Tanah Buddha Sukhavati tempat Buddha Amitabha dan masih banyak yang lainnya. Lalu jika demikian, apakah bedanya Aliran
Sukhavati dengan aliran Mahayana lainnya? Berbeda dengan Aliran Mahayana lainnya Aliran Sukhavati hanya menekankan pada Tanah Buddha Sukhavati saja, sesuai dengan nama aliran tersebut. Meskipun demikian Aliran
Sukhavati tidaklah menyangkal keberadaan Tanah Buddha lainnya, melainkan mereka hanya menekankan pada satu Tanah Buddha saja.
BAGIAN 3
Ada suatu dunia yang jauh lebih baik dan ideal
Sang Buddha berusaha membangkitkan pengertian kita bahwa dunia ini tidaklah “baik-baik saja” dan kondisi dunia yang dilihat dan dialami para makhluk bukanlah sesuatu yang ideal. Hal ini dapat diumpamakan dengan
suatu negeri, di mana korupsi merajalela sehingga akhirnya dipandang sebagai suatu kewajaran. Demikian pula halnya dengan para makhluk yang karena telah
terbiasa dengan dunia yang diliputi samsara ini, memandangnya sebagai suatu kewajaran. Marilah kita tengok kutipan dari SUKHAVATI VYUHA SUTRA di bawah ini:
“Pada waktu itu Hyang Buddha bersabda kepada sesepuh Sariputra: “O, Sariputra! Berlalu dari sini melewati ratusan ribu Koti negeri-Buddha (Buddha-ksetra), di penjuru Barat terdapat sebuah alam (lokhadhatu) yang
bernama Sukhavati. Di dalam alam tersebut, seorang Tathagata, Arhat, Samyaksambuddha yang bernama Amitayus, kini sedang bermukim, berdiam, dan tinggal, serta membabarkan Dharma di sana. Kini bagaimana
pendapatmu, O, Sariputra? Apakah sebabnya alam itu disebut Sukhavati? Bagi makhluk-makhluk yang hidup di alam Sukhavati, O, Sariputra, tak ada penderitaan badani maupun batin. Di sana sumber-sumber kebahagiaan
tak terhitung banyaknya. Karena alasan itulah maka alam tersebut dinamakan Sukhavati.”
CATATAN: Secara etimologis, Sukhavati berarti Tanah Kebahagiaan.
Kita baru saja membaca kutipan ujaran Sang Buddha kepada Yang Arya Sariputra. Intisari ucapan Sang Buddha tersebut memberitahukan pada kita akan adanya suatu dunia yang terbebas dari penderitaan baik batin
maupun jasmani. Demikianlah seharusnya dunia ideal yang harus kita capai, suatu dunia yang tanpa penderitaan. Sang Buddha mengajarkan bahwa kondisi
semacam itu tidaklah mustahil untuk dicapai. Ada suatu dunia di luar sana yang berbeda dengan dunia yang kotor ini dan itu bukanlah hanya sekedar khayalan.
Banyak makhluk yang terlena dengan penderitaan itu sendiri, mereka malahan menganggap penderitaan sebagai kenikmatan, contohnya adalah orang yang menderita penyimpangan seksual, di mana mereka merasakan kenikmatan dengan siksaan. Sebagian besar umat manusia
juga demikian, mereka tidak lagi memiliki keinginan untuk lepas dari kondisi yang penuh penderitaan ini. Sang Buddha sekali lagi memberanikan kita untuk
membebaskan diri dari kondisi dunia yang buruk ini.
Tekad Kuat untuk Mewujudkannya
Pribahasa Tiongkok menyatakan bahwa perjalanan 1000 li diawali dengan suatu langkah saja. Ada pelajaran yang dapat kita tarik dari pribahasa di atas. Proyek atau rencana sebesar apapun tidak akan terealisasi
tanpa diambilnya inisiatif untuk mengawalinya, dan awal tersebut nampaknya terkesan sebagai sesuatu yang remeh. Pembangunan rumah sebesar apapun tidak akan terealisasi tanpa peletakkan batu bata yang pertama.
Demikian pula halnya tindakan untuk keluar dan merubah kondisi dunia yang buruk ini tidak akan terealisasi tanpa langkah awal yang disebut dengan tekad. Marilah kita baca kembali kutipan dari SUKHAVATI VYUHA SUTRA:
“Selanjutnya O, Sariputra! Hendaknya setiap makhluk bertekad (untuk terlahir dalam) negeri-Buddha tersebut.”
Kutipan di atas mengajarkan mengenai kekuatan tekad. Intisari kutipan di atas adalah ajakan Sang Buddha untuk bertekad meninggalkan semua kondisi yang buruk ini.
BAGIAN 5
Memperkuat tekad
Agar tekad yang telah timbul tadi semakin kuat, perlu ada usaha untuk memelihara dan menjaganya. Hal tersebut dapat diumpamakan dengan api yang dijaga agar jangan padam. Bagaimana caranya? Caranya dengan
melakukan perenungan atas kebaikan-kebaikan yang di masa mendatang yang masih perlu kita wujudkan. Marilah kita baca kutipan dari AMITAYUR DHYANA SUTRA:
“Kini Aku – Hyang Tathagata – mengajar Vaidehi dan juga semua makhluk agar selanjutnya mereka dapat bermeditasi pada alam Sukhavati di penjuru Barat.”
Pada AMITAYUR DHYANA SUTRA, Sang Buddha mengajarkan Ratu Vaidehi mengenai meditasi terhadap Alam Sukhavati serta merenungkan satu persatu aspek kebajikan yang terkandung di dalamnya. Meditasi dan perenungan itu
harus dilakukan dengan pikiran teguh dan tak tergoyahkan. Pada bagian selanjutnya dari Sutra dapat kita baca:
“Engkau harus duduk dengan badan tegak, melihat ke arah Barat, dan mempersiapkan pikiranmu untuk mencapai meditasi (padanya) dengan teguh supaya memiliki persepsi tak-tergoyahkan melalui penerangan tunggal
(pikiranmu)...”
Sang Buddha masih di dalam Sutra yang sama menyebutkan bahwa Tanah Buddha Sukhavati tanahnya terbuat dari batu permata hijau muda yang sangat indah, tembus-pandang dan bersinar baik di dalam
maupun luarnya. Di sana juga terdapat pohon-pohon yang terbuat dari permata. Hal ini melambangkan bahwa di dalam Tanah Buddha Sukhavati semua tempat dan momen adalah berharga, di mana hal ini merupakan kebalikan dari keadaan dunia kita. Di dalam dunia kita ini setiap jengkal tanah adalah penderitaan. Setiap kita melangkah, usia kita bertambah tua dan makin dekat dengan kematian. Sang Buddha mengajarkan agar kita memiliki persepsi yang kuat atas betapa mulianya kondisi Tanah Buddha Sukhavati tersebut.
Praktek spiritual dari Aliran Sukhavati adalah dengan mengulangi Nama Buddha Amitabha, baik dengan cara duduk dan berjalan, serta pada tiap-tiap tarikan nafas. Hal ini dapat diartikan bahwa pada setiap saat, langkah, dan hembusan nafas, dunia ini adalah Sukhavati nan murni. Kita dapat mewujudkan dunia ini menjadi Sukhavati pada tiap saat, langkah, dan hembusan nafas.
BAGIAN 6
Kitalah yang Mewujudkan Dunia ini Menjadi Tanah Murni
Setelah menyadari betapa buruknya kondisi dunia ini serta bertekad untuk meninggalkannya, maka kita diajak untuk berperan aktif merubah dunia ini. Agar lebih jelas lagi ini saya akan memberikan analogi mengenai
sebuah departemen pada suatu perusahaan yang kinerja dan manejemennya buruk. Pertama-tama, harus disadari dahulu kinerja yang buruk tersebut, kedua seluruh anggota departemen tersebut harus bertekad untuk
merubah manajemennya tersebut, ketiga agar tekad tersebut bertambah kuat, masing-masing anggota departemen harus memiliki gambaran yang jelas seperti apakah kinerja dan manajemen yang baik tersebut.
Setelah itu langkah selanjutnya adalah mengetahui langkah-langkah untuk mewujudkannya.
Begitu pula halnya dengan Ajaran Dharma Tanah Murni. Pertama-tama kita harus menyadari bahwa diri kitalah yang harus berperan aktif mewujudkan dunia ini menjadi Tanah Murni. Diri kita sanggup untuk mewujudkan dunia ini menjadi Tanah Murni. Inilah yang harus kita camkan
baik-baik. Sang Buddha mengajarkan untuk menjadikan diri kita sebagai pulau perlindungan bagi diri kita sendiri. Praktek Dharma Tanah Murni tidak hanya puas dengan melafal Nama Buddha. Seorang yang lapar tidak
cukup hanya dengan mengucapkan, “Nasi goreng! Nasi goreng!” Ia harus melakukan suatu tindakan yang nyata. Apakah tindakan yang nyata tersebut?
Tindakan nyata tersebut dapat kita pelajari dari MAHA SUKHAVATI VYUHA SUTRA. Pada Sutra tersebut dapat kita baca ikrar-ikrar dari Bhikshu Dharmakara (yang merupakan Buddha Amitabha sendiri tatkala masih
menempuh Jalan Bodhisattva). Dalam ikrar-ikrar tersebut terkandung langkah-langkah nyata untuk mewujudkan dunia ini menjadi Sukhavati. Salah satu
dari ikrar tersebut berbunyi sebagai berikut:
“...jika dalam negeri Buddhaku itu terdapat neraka, kelahiran sebagai binatang, alam hantu kelaparan (preta), ataupun wujud Asura, maka biarlah aku tidak mencapai Anuttara Samyak-sambodhi.”
Neraka adalah tempat penderitaan. Sesungguhnya kita banyak melihat neraka di dunia ini, medan perang dan pejagalan adalah salah satu di antaranya. Lebih jauh lagi kita juga banyak melihat alam hantu kelaparan di
muka bumi ini. Banyak penderitaan yang disebabkan oleh nafsu keserakahan orang lain. Oleh sebab itu, intisari dari ikrar di atas adalah kita harus berperan aktif di dalam meringankan penderitaan tiap makhluk.
Tidak cukup hanya dengan berusaha seorang diri untuk meringankan penderitaan tiap makhluk, kita juga harus berusaha mendorong orang lain untuk melakukannya. Agar orang lain juga ikut tergerak untuk meringankan penderitaan para makhluk, kita harus menyebar-luaskan
penghargaan atas kehidupan. Kita harus meningkatkan kesadaran akan HAM (Hak Asazi Manusia) dan hak asazi para makhluk pada lingkungan sekitar kita.
Banyak orang yang hafal segudang teori Buddhis, misalnya mengenai hukum karma dan sebab akibat. Namun, mereka tidak berusaha menciptakan karma baik. Mereka hanya menggunakan teori-teori Dharma tersebut hanya untuk berdebat dan menyalahkan aliran lainnya. Sikap
ini tentu saja bukanlah mencerminkan seorang Buddhis sejati. Teori tidaklah cukup untuk sekedar menjadi teori saja, kitalah yang harus menjadikannya hidup di dalam keseharian kita. Demikianlah pula halnya, kita
harus menciptakan Tanah Murni tersebut dengan kedua belah tangan kita sendiri.
Marilah kini kita baca salah satu ikrar lainnya:
“O, Hyang Buddha, jika aku telah mencapai Anuttara Samyak-sambodhi, makhluk-makhluk yang berada di seluruh penjuru alam yang telah mengarahkan batin mereka kepada Anuttara Samyak-sambodhi, yang pernah
mendengar namaku, pada saat menjelang kematian mereka, aku yang telah dipuja oleh mereka tidak mendatangi mereka bersama sekumpulan para Bhiksu, supaya batin mereka tidak kacau,...”
Di sini kita mempelajari ikrar Bhikshu Dharmakara untuk selalu siap sedia menolong makhluk lainnya. Keegoisan telah menjadi penyakit kronis masyarakat
dunia ini. Ini yang menjadi salah satu penyebab makin merajalelanya penderitaan di dunia ini. Jika tiap orang sanggup melaksanakan ikrar agung di atas, maka kita akan dapat hidup saling tolong menolong satu sama
lainnya. Apabila ada seseorang yang membutuhkan pertolongan maka kita akan datang menolongnya, sebaliknya apabila kita membutuhkan pertolongan, maka orang lain akan datang menolong kita. Tidakkah ini indah?
MAHA SUKHAVATI VYUHA SUTRA mencatat ada 48 ikrar dari
Bhikshu Dharmakara. Para pembaca disarankan untuk membaca sendiri ke-48 ikrar tersebut satu persatu. Ke-48 ikrar tersebut dapat dianggap sebagai suatu “rencana kerja” di dalam merubah dunia ini menjadi Tanah Murni. Apabila tiap orang telah sanggup melaksanakannya maka dunia ini akan menjadi Tanah Murni.
Di dunia ini,
Tiada orang yang tidak kukasihi,
Tiada orang yang tidak dapat kupercaya,
Tiada orang yang tidak dapat kumaafkan!
(Jing Si Xiao Yu - Master Zhengyan)
Om Mani Padme Hum
Langganan:
Postingan (Atom)