KOSMOLOGI DAN BUDDHISM
Sains tanpa agama adalah pincang,agama tanpa sains adalah butaAlbert Einstein
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak masa yang tak terhitung lamanya, manusia berusaha mencari tahu, bagaimanakah bumi, planet-planet lain, dan galaksi dapat terbentuk, sehingga muncul satu pertanyaan besar yaitu darimanakah asal muasal dari segala sesuatu dapat terbentuk di alam semesta ini. Setelah mengetahui bumi mengelilingi matahari, pertanyaan “darimanakah asal tata surya?” akan terlontarkan dengan sendirinya. Setelah tahu bahwa tata surya adalah bagian dari galaksi, pertanyaan “darimanakah asal alam semesta?” akan ikut muncul akibat besarnya rasa keingintahuan manusia. Rasa penasaran manusia diungkapkan dengan berusaha membuat model awal dari alam semesta, perasaan dominan yang membuktikkan manusia sulit untuk menerima alam semesta sebagaimana apa adanya. Pada umumnya, pengamatan manusia ditutupi konsep bahwa alam semesta harus memiliki awal, sehingga pengamatan terhadap alam semesta selalu dihubungkan dengan awal untuk memuaskan segala rasa penasaran, hal inilah yang terjadi bagi sebagian besar orang yang baru mengenal kosmologi[1].Kosmologi yang merupakan cabang dari sains ternyata memiliki banyak persamaan dengan agama Buddha, hal ini disebabkan karena ajaran Buddha berasal dari pemahaman terhadap segala corak fenomena, baik yang bisa dideteksi oleh organ indera kita maupun yang di luar kemampuan persepsi manusia melalui organ indera. Banyak penemuan dalam bidang kosmologi yang dilakukan oleh para ilmuwan modern, temyata telah diajarkan oleh Sang Buddha pada kitab suci Tipitaka lebih dari 2500 tahun yang larnpau. Dengan ini, dapat dijelaskan bahwa agama Buddha sangat relevan dengan ilmu pengetahuan saat ini dan pada masa yang akan datang, baik dalam aspek teori maupun aplikasinya.
BAB II
ISI
2.1. Asal Mula Alam SemestaDewasa ini, para ilmuwan telah menetapkan bahwa alam semesta kita merupakan serangkaian pengembangan, penciutan, pengerutan, dan penghancuran dalam bentuk ledakan besar (Big Bang) yang berlangsung secara terus menerus tanpa akhir. Dengan kata lain, ini adalah suatu rangkaian fenomena yang tidak berujung pangkal yang kemudian disebut teori pulsating[2] dari alam semesta.
Sang Buddha telah mengajarkan hal yang sama 2500 tahun yang lalu, seperti apa yang Beliau babarkan dalam Bhayaberava Sutta (Sutta ke-4 dari Majjhima Nikaya):
“Ketika pikiranku yang terkonsentrasi dengan demikian termurnikan, tidak tercela, mengatasi semua kekotoran, dapat diarahkan, mudah diarahkan, serta tenang, Aku memusatkannya pada kelahiran-kelahiran yang lampau, satu, dua, …, ratusan, ribuan, banyak kalpa[3] penyusutan dunia, banyak kalpa pengembangan dan penyusutan dunia.”
Dalam hal ini, kita dapat langsung memahami bahwa proses penyusutan dan pengerutan tersebut berlangsung sangat lama. Buddhisme tetap berpendapat bahwa teori Big Bang bukanlah awal dari semesta dan kehidupan itu sendiri karena masih banyak terdapat kelemahan pada teori tersebut. Teori Big Bang hanyalah salah satu mata rantai dari penyusutan dan pengembangan alam semesta.
2.2. Banyaknya Galaksi di Alam Semesta
Selanjutnya ilmu pengetahuan juga telah mengungkapkan akan banyaknya galaksi[4] dan dunia lain. Secala mengagumkan, Sang Buddha juga telah mengajarkan hal yang sama sekitar 2500 tahun yang lalu, seperti yang tertuang dalam Ananda Sutta (Angutara Nikaya III, 8,80):
“Ananda, apakah kau pernah mendengar tentang seribu culanika lokadhatu (tata surya kecil)? ….. Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu Jambudipa seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ….. Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu).”
Lebih lanjut, Sang Buddha mengatakan dalam Sutta yang sama:
“Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan “dvisahassi majjhimanika lokadhatu“. Ananda, seribu kali dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan “tisahassi mahasahassi lokadhatu“. Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suaranya sampai terdengar di tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.
Sesuai dengan kutipan di atas, dalam sebuah dvisahassi majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam tisahassi mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyar tata surya saja, tetapi juga masih jauh melampauinya. Ajaran ini benar-benar sesuai dengan kosmologi modern.
Satu tisahassi mahasahassi lokadhatu kadang-kadang diistilahkan dengan “Sistem Dunia Besar”. Pada Sutta-Sutta Buddhis, banyak ditemukan konsep jumlah sistem dunia yang tak terbatas banyaknya, dimana jumlah sistem dunia melebihi jumlah pasir halus yang ada di sungai Gangga. Bagi Buddhisme, kemungkinan adanya kehidupan di planet lain bukanlah suatu hal yang mengherankan, karena Sutta-Sutta Buddhis telah mengatakan bahwa bumi bukanlah satu-satunya planet yang mempunyai kehidupan dan juga bukan planet pertama yang mempunyai makhluk hidup.
2.3. Bentuk-Bentuk Galaksi di Alam Semesta
Sang Buddha juga telah mengajarkan aneka bentuk galaksi yang ada di alam sernesta ini sebagaimana yang ada pada Avatamsaka Sutta bab 4:
“Putra-putra Buddha, sistem-sistem dunia (galaksi) tersebut memiliki aneka bentuk dan sifat yang berbeda. Jelasnya, beberapa diantaranya bulat bentuknya, beberapa diantaranya segi empat bentuknya, beberapa diantaranya tidak bulat dan tidak pula segi empat. Ada perbedaan (bentuk) yang tak terhitung. Beberapa bentuknya seperti pusaran, beberapa seperti gunung, beberapa seperti kilatan cahaya, beberapa seperti pohon, beberapa seperti bunga, beberapa seperti istana, beberapa seperti makhluk hidup, beberapa seperti Buddha …. “
Galaksi yang berbentuk seperti pusaran misalnya galaksi kita sendiri yaitu Bimasakti[5] dan galaksi terdekat yaitu Andromeda. Galaksi yang berbentuk seperti makhluk hidup misalnya yaitu Nebula[6] Kepala Kuda (Horse Head Nebula). Hal yang mengagumkan adalah bahwa Sang Buddha telah mengetahui berbagai bentuk galaksi, padahal keberadaan gaiaksi-galaksi tersebut baru bisa diketahui para ilmuwan dengan menggunakan teleskop yang canggih dan modern.
2.4. Lama Pembentukan Planet Bumi
Sang Buddha menyatakan bahwa terjadi 4 fase dalam kehidupan suatu sistem dunia, yaitu fase kekosongan, fase pembentukan, fase kediaman, dan fase kehancuran. Masing-masing fase tersebut berlangsung sangat lama, dimana dalam bahasa Buddhis disebut memakan waktu 20 kalpa menengah. Sutta-Sutta Buddhis selalu konsisten menyatakan bahwa pembentukan dan kehancuran sistem dunia memerlukan waktu yang lama, selaras dengan teori kosmologi yang mengatakan bahwa pembentukan planet, bintang, dan galaksi memerlukan proses waktu yang sangat lama.
Menurut Buddhisme, pembentukan planet bumi memerlukan 20 kalpa menengah, dimana satu kalpa kecil memakan waktu 139.600.000 tahun. Berdasarkan rujukan ini, maka masa pembentukan planet bumi (fase pernbentukan) memerlukan waktu 2.780.000.000 tahun atau hampir 3 milyar tahun lamanya. Intinya, menurut Buddhisme, pembentukan planet bumi memerlukan waktu milyaran tahun, bukan 6 hari atau 6 ribu tahun. Para ahli astrofisika[7] dan ahli geologi[8] setuju bahwa umur bumi bukan ribuan tahun, melainkan sudah milyaran tahun.
Fase pembentukan planet bumi selama 2,78 milyar tahun tersebut belum termasuk fase kediaman (adanya makhluk hidup yang berdiam). Menurut Buddhisme, fase kediaman sudah memasuki pertengahan kalpa ke-11. Bila digabungkan fase pembentukan bumi dengan fase kediaman yang sudah memasuki kalpa ke-11, maka total umur bumi menurut Buddhisme adalah 4,38 milyar tahun (2,78 milyar + 11,5 x 139,6 juta). Adapun menurut estimasi ahli geologi, urnur bumi adalah sekitar 4,55 milyar tahun. Kedekatan kedua angka tersebut benar-benar telah mencengangkan banyak orang.
2.5. Jarak Antara Bumi dan Bulan
Dapat dilihat kutipan sebuah bait dari Salistamba Sutta ayat 37 yang berbunyi demikian (versi bahasa Mandarin dan Tibet):
“Lebih jauh lagi Sariputta, hal tersebut bagaikan rembulan pada langit yang indah, yang berjarak 42.000 yojana[9] dari bumi.”
Dapat dikatakan 42.000 yojana adalah sekitar 420.000 km. Hal ini sangat dekat dengan jarak yang sebenarnya dari bumi ke bulan, yakni sekitar 400.000 km. Akurasi dalam perhitungan jarak bulan dari bumi bisa dianggap sebagai hal yang luar biasa untuk zaman itu, karena peralatan astronomi modern belum ada sama sekali pada masa kehidupan Sang Buddha.
2.6. Sinar Kosmis[10]
Keberadaan sinar kosmis juga telah dinyatakan dalam Avatamsaka Sutta
bab IV yaitu:
Terdapat beberapa sistem dunia
Terbentuk dari permata
Kokoh dan tak terhancurkan
Bernaung di atas bunga teratai nan berharga
Beberapa diantaranya terbentuk dari berkas cahaya murni
Yang asalnya tak dikenal
Semuanya merupakan berkas-berkas cahaya
Bernaung di ruang kosong
Beberapa diantaranya terbentuk dari cahaya murni
Dan juga bernaung pada pancaran-pancaran cahaya
Diselubungi oleh awan cahaya
Tempat di mana para Bodhisattva berdiam
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Buddhisme telah mengenal alam semesta yang terdiri dari materi dan cahaya. Kalimat “kokoh dan tak terhancurkan” merujuk pada partikel atom yang menyusun materi. Bait kedua di atas nampaknya mengacu pada sinar kosmis yang merupakan sisa-sisa pembentukan jagad raya. Sementara itu bait ketiga mengacu pada pancaran cahaya yang berasal dari benda-benda langrt. Sebagai tambahan, sinar kosmis ini mulai diteliti oleh para fisikawan dari California Institute of Technology di Pasadena pada tahun 1932, dan didapati bahwa di dalamnya terkandung partikel-partikel elementer yang belum pernah dikenal sebelumnya. Partikel elementer merupakan partikel tunggal yang tidak terbagi-bagi lagi, sehingga inilah sebabnya, mengapa kutipan sutta di atas mempergunakan istilah “murni.”
Bila kita telah memasuki kalpa ke-11, berarti masih ada 9 kalpa kecil lagi sebelum bumi memulai proses kehancuran yang juga memerlukan waktu 20 kalpa kecil. Jadi menurut Buddhisme, akhir zaman (kiamat) itu ada tetapi masih sangat lama dari sekarang, bukan beberapa tahun lagi seperti yang banyak diperbincangkan. Proses kehancuran bumi juga dijelaskan secara rinci di beberapa Sutta Buddhis. Namun, karena hari kiamat belum terjadi sehingga tidak bisa dilakukan studi perbandingan dengan sains, untuk itu proses kehancuran bumi tidak dibicarakan disini.
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa apa yang diajarkan Sang Buddha mengenai kosmologi memiliki akurasi luar biasa dengan apa yang telah disampaikan oleh para ilmuwan. Namun perlu diperhatikan disini, tidak semua kosmologi Buddhis sejalan dengan kosmologi menurut astronomi, salah satu contohnya adalah mengenai konsep akhir nasib bumi (kiamat), yang akan memancing respon dari orang-orang yang memertanyakan teori kehancuran Buddhis sebelum menerima. Hal ini sedikit bertentangan dengan apa yang disarnpaikan oleh para ilmuwan.Sang Buddha tidak mengharuskan pengikutnya untuk mempunyai keyakinan yang dogmatis terhadap apapun yang diajarkannya. Sebagai manusia, kita jangan hanya percaya pada logika murni ataupun hipotesa belaka, melainkan juga harus mengujinya terlebih dahulu dengan serangkaian pengamatan atau observasi. Sikap pemikiran demikian dikenal dalam agama Buddha dengan istilah yang disebut “Ehipassiko” yang berarti “datang dan buktikan” dan bukan hanya sekedar “datang dan percayalah”. Sang Buddha tidak memaksa untuk percaya secara membabi-buta pada Buddhisme. Sang Buddha juga tidak meminta pengikutnya untuk datang dan langsung memercayai seluruh ucapan yang disabdakan olehnya, rneiainkan untuk terlebih dahulu membuktikan sendiri kebenaran tersebut melalui perenungan dan meditasi. Karena alasan inilah, ajaran-ajaran Sang Buddha tetap tak berubah (abadi) dan berlaku sepanjang waktu (relevan) di bawah tekanan perubahan zaman globalisasi.
Untuk menyokong perkembangan sains yang begitu pesat, hendaknya setiap orang dapat merangkul aspek yang positif dari sains tersebut. Kontribusi sains harus bisa diwadahi dan dipantau dalarn koridor agama. Sains dapat beroperasi tanpa spiritualitas. Spiritualitas dapat eksis tanpa sains. Tetapi manusia membutuhkan keduanya untuk lebih lengkap dan sempurna, karena kewajiban utama dari sains dan agama memang berbeda. Sains bertanya tentang apa itu dunia dan agama bertanya tentang bagaimana seharusnya kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Taniputera, Ivan, Dipl. Ing, 2003, Sains Modern dan Buddhisme, Yayasan Penerbit Karaniya, Anggota IKAPL.Chandra, Fabian, H., 2005, Kosmologi: Studi Struktur dan Asal Mula Alam Semesta. Penerbit Dhammacakka.
[1] llmu yang memelajari tentang asal-usul, strukur, dan hubungan ruang-waktu dari alam semesta. [2] Dapat disebut teori getaran (mengembang dan menyusut), dalam hal ini untuk alam semesta.
[3] Satuan waktu India Kuno yang berlangsung selama milyaran tahun. Dapat disebut siklus dunia, yaitu masa terbentuknya bumi, hancur, dan terbentuk kembali. Ada beberapa versi perhitungan kalpa, tetapi yang lazim dipakai adalah 1 kalpa memakan waktu sekitar 139,6 juta tahun.
[4] Sekelompok besar matahari yang berjumlah sangat banyak.
[5] Menurut dugaan, galaksi Bimasakti berbentuk seperti pusaran (spiral) dan tata surya kita kira-kira berada pada jarak tiga perempat radius dari pusat galaksi (disebut dugaan karena tidak pemah ada foto galaksi Bimasakti dalam bentuk spiral yang sesungguhnya).
[6] Seienis kabut akibat dari pembentukkan massa yang sangat lama disertai dengan bantuan energi didalamnya. Nebula merupakan cikal-bakal pembentuk tata surya.
[7] Bagian astronomi yang memelajari tentang benda-benda angkasa dari sudut pandang sains.
[8] Ilmu tentang komposisi, struktur, dan sejarah bumi.
[9] Ukuran jarak India kuno, dimana ukuran tersebut merupakan jarak yang ditempuh oleh pasukan berkuda dalam waktu sehari (± l0 km).
[10] Sebenamya merupakan radiasi elektromagnetik yang sangat kuat (dalam bentuk gelombang radio, gelombang cahaya, atau sinar-X) dan berisi segala macam partikel bermassa yang sumbernya masih merupakan misteri.
0 komentar:
Posting Komentar