Kepada Guru Buddha, Yang ter-Agung sepanjang masa
Serta Guru – Guru pewaris Dharma Yang Mulia
Ku menghormat dengan sangat dalam
Ketuhanan Dalam Pandangan
Agama Buddha
Serta Guru – Guru pewaris Dharma Yang Mulia
Ku menghormat dengan sangat dalam
Ketuhanan Dalam Pandangan
Agama Buddha
1. PENDAHULUAN
Ada sesuatu yang cukup unik di dalam nilai-nilai agama Buddha, yaitu jarangnya terdengar pembahasan mengenai ide Ketuhanan. Ada penyebutan tentang Ketuhanan, namun minimnya keterangan dan penjelasan yang berarti tentang ‘ITU’ membuat pemahaman ini menjadi kabur. Bahkan, seandainya diajukan pertanyaan-pertanyaan spesifik mengenai ide ini, seringkali ditanggapi dengan kurang serius, sehingga penanya pun menjadi sedikit kecewa dan menyisakan kebingungan dihatinya. Apakah yang sesungguhnya terjadi?
Pembahasan mengenai ide Ketuhanan bukanlah sesuatu yang mudah. Ini merupakan topik pembicaraan yang sangat berat dan perlu ketelitian extra supaya tidak terjerumus pada pemahaman yang keliru yang justru merendahkan nilai-nilai Ketuhanan itu sendiri. Dijelaskan bahwa pembicaraan seperti ini tidak sembarangan, hanya disampaikan kepada orang yang sudah siap secara spiritual, dan di tempat yang layak. Siap secara mental berarti sudah berkembang di dalam pengetahuan dan kejernihan pikiran yang dalam dan intuitif. Tempat yang layak itu sendiri berarti tidak di sembarang tempat yang mana sangat ramai ataupun kotor dsb, yang membuat konsentrasi seseorang menjadi terpecah dan gagal dalam memahami pengetahuan yang teramat dalam ini.
Pembicaraan seperti ini sendiri juga hanya layak disampaikan oleh orang yang sudah memahaminya baik dari segi makna maupun pengetahuan intuitif yang dalam. Paradoksnya, seringkali topik-topik mahaberat ini diulas oleh orang-orang yang masing-masing kurang memahami atau bahkan buta sama sekali, pun ditempat dan kesempatan yang kurang sepantasnya. Seandainya ada dua, tiga, empat, atau lebih banyak orang membicarakannya hanya dari hasil kognisi pribadi, maka mereka hanyalah membicarakan ide-ide yang kosong, dan akhirnya membuat kesimpulan-kesimpulan yang kosong pula. Ironis.
Di dalam kitab Buddhavamsa, The Great Chronicle of Buddha, dikatakan oleh Buddha demikian; “Dhamma yang telah kupahami sungguh sangat mendalam, sulit dicerna, sulit dipahami, halus, Agung, tidak dalam jangkauan pemikiran mereka yang tidak bijaksana dan berkembang pikirannya, karena mahluk-mahluk ini masih terikat pada kesenangan inderawi. Hal-hal yang berhubungan dengan ‘muncul bergantung pada’ merupakan pokok yang sulit dipahami. Dan Nibbana, berhentinya segala sesuatu yang berkondisi, meninggalkan semua nafsu keinginan, penghancuran keinginan yang tak terpuaskan, yang tidak melekat, dan yang berhenti dari segala proses, - juga persoalan yang tidak mudah untuk dipahami. Jika Aku harus mengajarkan Dhamma, pihak lain akan sulit untuk memahamiku.”
Buddha juga menyatakan di dalam kitab Anguttara Nikaya III-23.2 demikian; “O, Sariputta, apakah aku mengajarkan Dhamma secara ringkas, atau apakah aku mengajarkannya secara terperinci, atau apakah aku mengajarkannya baik secara ringkas maupun terperinci, sulit ditemukan mereka yang dapat memahaminya.”
Atas dasar pernyataan inilah, maka kemudian Buddha meletakkan pondasi-pondasi yang memungkinkan seseorang untuk memahami dengan jelas dan tuntas atas ide yang begitu mendalam ini. Pada kenyataannya, bahkan seorang yang berpendidikan formal tinggi sekalipun, yang telah banyak belajar dan mendengar serta berdiskusi, sebelum mereka mengembangkan pikirannya sampai pada tahap kejernihan dan intuitif yang mendalam, sulit untuk memahaminya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan apabila penceramah agama Buddha jarang sekali menerangkan perihal topik ini kepada khalayak. Bahkan diantara para penceramah itu sendiri ada yang belum menguasai dengan baik topik ini. Demikianlah peliknya permasalahan ini ditumpahkan.
“Yang Tidak Terpengaruh, sulit untuk diketahui dan dipahami. Kebenaran Hakiki tidak mudah untuk dilihat. Nafsu keinginan akan ditembus oleh orang yang ‘tahu’, dan tiada penghalang bagi orang yang melihat.” Buddha, kitab Udana 8.2.
Alih-alih memberikan pemahaman total mengenai aspek Ketuhanan kepada orang-orang yang belum siap untuk mendengarkan ini, Buddha menganjurkan para siswa dan pengikutnya untuk dengan tekun mempelajari Dhamma –kebenaran universal, mengembangkan diri di dalam moralitas yang luhur, mengembangkan diri di dalam keseimbangan dan kejernihan pikiran yang dalam, serta mengembangkan diri di dalam kebijaksanaan. Beliau memberikan penekanan dengan mengatakan; “Demikianlah, o, para bhikkhu, Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Sepenuhnya Tercerahkan, Raja Dhamma yang adil dan luhur; bergantung pada Dhamma, menghargai Dhamma, menjunjung tinggi Dhamma dan menghormatinya dengan Dhamma sebagai panji-bendera-dan kekuasaanNya...” (Anguttara Nikaya III.19)
Langkanya penjelasan yang gamblang mengenai konsep ini, membuat kesan bahwa agama Buddha tidak memiliki landasan Ketuhanan / Ke-Esa-an. Kiranya penjelasan ini bisa diterima sebagai tesis awal di dalam penelitian pemahaman Ketuhanan di dalam agama Buddha.
2. DOKTRIN KETUHANAN / KE-ESA-AN
• Pertanyaan; Apakah agama Buddha mengenal doktrin Ketuhanan? Dan seperti apakah doktrin ini dijelaskan?
Ternyata, jawabannya adalah ‘Ya, agama Buddha juga membahas ajaran mengenai Ketuhanan, namun dipahami dengan cara yang nyaris sama sekali berbeda dengan apa yang dianut oleh keyakinan yang lain seperti Kristiani, Islam, Jewish, Sikh, Hindu, dan lain sebagainya.’
Sehubungan dengan ini, Buddha menyatakan di dalam kitab Udana 8.3, dan kitab Itivuttaka demikian; “O, bhikkhu, ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, Yang Mutlak. Jika seandainya saja, O, bhikkhu, tidak ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, Yang Mutlak; maka tidak akan ada jalan keluar kebebasan dari siklus kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi karena ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, Yang Mutlak; maka ada jalan keluar atau pembebasan dari siklus kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.”
Kitab Sutasoma gubahan Mpu Prapanca menuliskan demikian “........tan hana Dharma Mangrwa”, yang berarti tidak ada suatu Kebenaran hakiki yang mendua, dengan kata lain ‘ITU’ hanyalah tunggal, esa, satu adanya.
Satu hal yang membuat agama Buddha menjadi aneh bagi keyakinan yang lain adalah Budhism tidak mengenal konsep Tuhan sebagai Maha Pencipta. Budhism juga tidak mengenal Tuhan yang diidentifikasikan sebagai mahluk agung tertentu yang memiliki kekuatan yang maha besar, yang mencipta dan mengatur segala sesuatu, yang tinggal di suatu alam tertentu, dan memiliki sifat-sifat emosional manusiawi seperti halnya : mencintai, tidak menyenangi satu hal ataupun hal lain, memberikan hukuman ataupun berkah, murka, menguji dan lain sebagainya.
Agama Buddha mengajarkan konsep Ketuhanan yang non-reaksional, stabil di dalam damai abadi , tanpa bentuk, warna, aroma, maupun suara, tak terkondisi, tidak berubah, tidak berkarakter, tidak dikenali dengan tanda-tanda, tidak memberikan sabda, (dan sederet bahasa etis yang sulit untuk menjelaskan keberadaan-Nya). Dalam cara yang satu inilah, kiranya, agama Buddha dianggap tidak berTuhan. Namun predikat ini tidak pernah dianggap sebagai beban. Sekalipun dicap sebagai tidak berTuhan karena konsepnya yang asing bagi keyakinan lain, agama Buddha tidak pernah merasa memiliki masalah tentang perlunya menunjukkan keber-Tuhan-annya ataupun tidak kepada orang-orang yang bingung. Bagaimanakah hal ini dapat dijelaskan?
Filosofi Budhis menjelaskan setiap mahluk memiliki benih Kebudhaan di dalam dirinya, dan punya potensi untuk mencapai itu. Jadi singkatnya; Tuhan dalam agama Buddha bukanlah satu mahluk yang berkekuatan maha besar yang bersemayam di suatu alam tertentu, yang menciptakan segala fenomena fisik maupun mental, materi maupun non materi. Namun demikian hakekat kedamaian abadi-Nya terdapat pada semua mahluk, dan kalau diupayakan, mereka dapat mencapai-Nya karena ‘ITU’ adalah apa yang dituju dan dicari oleh semua mahluk.
• Lalu timbul sebuah pertanyaan; Apakah ini adalah sebuah ide khayal?
Tidak harus semuanya se-ide dalam segala hal. Agama Buddha memiliki pandangan yang berbeda, yang tidak sejalan dengan yang lain, bukan berarti tidak memiliki nilai kebenaran atau dengan kata lain menjadi salah. Point penting yang selalu ditekankan agama Buddha adalah; jangan berspekulasi tentang sesuatu yang belum jelas dipahami, karena hal itu akan menyimpangkan kita dari kebenaran yang sesungguhnya. Sebaliknya, perbaikilah diri –sejalan dengan moralitas yang luhur, kembangkan pikiran pada keseimbangan dan kejernihan dengan meditasi, dan bertumbuhlah di dalam kearifan dan kebenaran universal (Dhamma), dengan demikian kita akan membuka jalan untuk memahami Ke-Esa-an yang mendalam.
Beberapa naskah Buddhis Kuno ada yang menjelaskan mengenai Sang Esa dengan mencantumkan berbagai penyebutan seperti misalnya SANGHYANG ADI BUDDHA, SANGHYANG ADWAYA, SWAYAMBHU LOKANATHA, VAJRADHARA, DORJECHANG (Tibetan Buddhism), PEN CU FO (Chinesse Buddhism), dan TATHAGATA GHARBA. Penjelasan-penjelasan mendetail mengenai ini bisa kita simak didalam kitab Namasanggiti, Svayambhupurana, Karandavyuha, Srikalachakratantra, Kala Chakra, Sanghyang Kamahayanikan, Guhyasamaya Sutra, Maha Vairocanabhisambodhi Sutra, dan Tatvasangraha Sutra.
Indonesia kuno yang pernah menganut agama Buddha, memiliki kitab penjelasan yang bertuliskan bahasa jawa kuno; yaitu kitab Sanghyang Kamahayanikan. Disana ada disebut tentang Sanghyang Adi Buddha yang berarti Buddha yang satu. Maksudnya adalah Kebuddhaan itu tidak mendua, tiada banding, utama. Lalu pertanyaan berikutnya adalah; siapakah Siddharta Gotama yang biasa disebut dengan Sakyamuni Buddha? Apakah Dia seorang perwujudan Tuhan, ataukah utusan Tuhan, yang datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan batin?
Diceritakan di dalam kitab Buddhavamsa, The Great Chronicle of Buddha, percakapan antara Dona –seorang pertapa yang memahami tanda-tanda kebesaran seorang manusia agung- dengan Buddha demikian;
“Yang Mulia tentunya seorang Dewata?” kata Dona
“Tentu saja bukan, pertapa, saya bukan Dewata,” jawab Buddha.
“Apakah Yang Mulia adalah Gandhabha?”
“Tentu saja bukan, pertapa, saya bukan Gandhabha.”
“Lalu...., Yakkha?”
“Tentu saja bukan, o, pertapa, saya bukan Yakkha.”
“Kalau begitu, Yang Mulia pasti seorang manusia?”
“O, pertapa, saya juga bukan manusia.”
“Kalau begitu, siapakah Yang Mulia sesungguhnya?”
“Saya adalah Buddha, Yang Sadar, Yang Telah Tercerahkan Sepenuhnya.”
Siddharta Gotama yang kemudian dikenal sebagai Sakyamuni Buddha menyangkal bahwa dirinya adalah Tuhan, atau mahluk Ketuhanan, atau penjelmaan / titisan Tuhan. Beliau juga tidak menyatakan bahwa dirinya adalah utusan Tuhan (nabi) yang diberikan mandat untuk memperbaiki kondisi dunia dan menuntun manusia ke Jalan yang benar. Beliau tidak pernah mengidentifikasikan dirinya sebagai salah satu dari itu. Namun beliau menyatakan bahwa dirinya adalah seorang Buddha, Yang Sadar, Yang Telah Tercerahkan Sepenuhnya. Digambarkan dalam berbagai sumber di dalam kitab Tripitaka bahwa Buddha adalah ‘Dia’ yang telah menyeberangi samudra samsara menuju pantai bahagia nan abadi, yang telah mengatasi segala noda, yang telah mewujudkan di dalam dirinya sendiri segala kualitas unggul, yang telah memahami Dharma dan menyatu bersama-Nya.
“Para bhikkhu, manifestasi satu orang ini merupakan manifestasi visi yang besar, sinar yang agung, kecemerlangan yang luar biasa; manifestasi ini merupakan manifestasi enam hal yang tiada banding; realisasi empat pengetahuan analitis; penembusan berbagai elemen, beragam elemen; manifestasi ini merupakan realisasi buah dari pengetahuan dan pembebasan; realisasi dari buah-buah Pemasuk-Arus Keabadian, Yang-Kembali-Sekali-Lagi, Yang-Tidak-Kembali-Lagi, dan Arahat. Siapakah satu orang itu? Beliau adalah Tathagata, Sang Arahat, Yang Telah Sepenuhnya Tercerahkan. Inilah satu orang itu.” Buddha, Anguttara Nikaya I.8
Figur Sakyamuni sebagai contoh orang yang telah mencapai Kebuddhaan berarti beliau telah merealisasi, mewujudkan didalam dirinya sendiri, membuat dirinya memahami kebenaran yang hanya satu itu. Filosofi buddhis mengajarkan bahwa semua mahluk berpotensi untuk mencapai ini, dan siapapun juga yang membuat dirinya mencapai pemahaman ini dikatakan sebagai perwujudan Buddha Yang Maha Satu. Sakyamuni sendiri sesungguhnya bukanlah dewata atau nabi pun juga Tuhan. Sakyamuni adalah seseorang yang berhasil mewujudkan Kebenaran itu di dalam dirinya sendiri. Namun, ditilik dari kebesaran-Nya, dalam perspektif agama lain, Sakyamuni dapatlah diibaratkan sebagai Avatar ataupun Nabi. Masih menurut penjelasan di dalam kitab Buddhavamsa, Sakyamuni adalah manusia ke-28 yang telah mencapai Sammasambuddha (pencerahan penuh atas usaha sendiri) di dalam siklus bumi kita. Dan masih ada seorang manusia Buddha lagi yang akan dilahirkan di bumi ini, namun setelah rentang waktu yang sangat panjang setelah Dhamma ajaran Sakyamuni Buddha lenyap dari dunia ini.
Kebuddhaan, Kesadaran Agung yang dicapai dengan pencerahan sempurna, yang dapat dicapai oleh mahluk manapun juga pada masa kapanpun juga adalah sama. ‘ITU’ dapat dicapai oleh siapapun yang mau mengusahakannya. Kebudhaan yang dicapai oleh Sidharta Gautama ataupun yang lain adalah sama. Tidak ada perbedaan pada pencapaian masing-masing Buddha, semuanya memahami kebenaran yang sama dan tidak mendua. Oleh karenanya, Kebuddhaan adalah satu walaupun yang mencapai berbeda-beda.
Seperti misalnya ada beberapa orang yang berhasil meraih gelar Doktor pada pokok materi kimia. Pencapaiannya adalah sama. Pengetahuan yang dipelajari juga sama. Namun yang mencapai berbeda-beda.
• Timbul lagi pertanyaan; Apakah yang dialami seseorang setelah menjadi Buddha?
Nibbana atau nirwana adalah apa yang dialami oleh seseorang yang mencapai pencerahan sempurna (Buddha).
“Ini damai, inilah yang luar biasa; yaitu berhentinya segala bentukan, lepasnya semua perolehan, hancurnya nafsu, tanpa-nafsu, berhenti dari semua proses, Nibbana.” Buddha, Anguttara Nikaya X.184.
Pencapaian Kebuddhaan tidak terpisahkan dari pencapaian kedamaian hakiki yang abadi, yaitu Nibbana. Pencapaian Kebuddhaan juga adalah pencapaian Nibbana. Nibbana berarti akhir dari dukkha, pencapaian kebahagiaan hakiki, akhir dari siklus kematian dan kelahiran, pembebasan. Bahkan Buddha mengatakan bahwa buah pencapaian Nibbana dapat dialami pada saat kehidupan ini juga tanpa harus menunggu kematian menjelang.
Di dalam kitab Itivuttaka II.44, Buddha mengatakan; “Disini, seorang bhikkhu Arahat , orang yang noda-nodanya telah lenyap, kehidupan sucinya telah terpenuhi, yang telah melakukan apa yang harus dilakukan, tak lagi menanggung beban, telah mencapai tujuan dengan menghancurkan belenggu-belenggu dumadi dan sepenuhnya terbebas melalui pengetahuan akhir. Tetapi, kelima inderanya tetap berfungsi, dan dengan indera itu dia masih mengalami apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, serta mengalami sukacita dan penderitaan. Hilangnya kemelekatan, kebencian, dan kebodohan batin di dalam dirinya itulah yang disebut elemen Nibbana dengan sisa .”
• Apabila semua mahluk bisa mencapai pemahaman Kebuddhaan, apakah ada manusia atau mahluk lain yang tercerahkan selain ke-28 manusia Buddha itu?
“O, para bhikkhu, ada diantara siswa Tathagata, Sang Guru, yang merupakan Arahat, yang noda-nodanya telah hancur, kehidupan sucinya terpenuhi, yang telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan, yang telah meletakkan beban, mencapai tujuan, menghancurkan belenggu-belenggu dumadi dan sepenuhnya terbebaskan melalui pengetahuan akhir......” Buddha, kitab Itivuttaka III.84.
“Orang yang telah menyelesaikan pelatihan, yang tidak lagi dapat terjatuh, dan telah mencapai kebijaksanaan yang lebih tinggi, dia melihat akhir dari kelahiran. Orang suci itu menanggung tubuh terakhirnya, dan karena telah meninggalkan kesombongan, dia telah pergi melampaui kelapukan, demikian kukatakan. Oleh karenanya, o, para bhikkhu, selalulah bergembira di dalam meditasi, berkonsentrasi dan penuh semangat. Dengan melihat akhir dari kelahiran, o, para bhikkhu, taklukkanlah Mara dan bala tentaranya, dan pergilah melampaui semua kelahiran dan kematian.” Buddha, kitab Itivuttaka II.47.
Seseorang yang memahami kebenaran hakiki dan menyatu dengan Ke-Esa-an atas usaha sendiri dan kemudian mengajarkan cara agar orang lain mencapai keadaan yang sama, dan mereka mencapai-Nya, disebut sebagai Sammasambuddha. Yang mencapai-Nya dengan menjalankan latihan dan ajaran dari orang yang telah tercerahkan sebelumnya disebut sebagai Savakabuddha; yaitu Arahat. Jumlahnya bisa banyak sekali, ribuan bahkan ratusan ribu, bergantung pada kebajikan yang telah ditanam. Dan jenis terakhir adalah seseorang yang mencapai ke-Esa-an atas daya upaya sendiri, namun tidak bisa membuat orang lain mencapai keadaan yang sama; disebut sebagai Paccekabuddha.
• Dari manakah pencerahan dan apa yang dicapai itu muncul? Siapakah yang membuatnya ada?
Secara internal, pencerahan dan buahnya yang dicapai, disebabkan karena berkembangnya latihan moralitas dan kebajikan yang luhur, berkembangnya semangat –daya upaya yang teguh dan penuh keyakinan, berkembangnya perhatian penuh yang terus-menerus pada fenomena-fenomena fisik dan mental, konsentrasi dan keseimbangan pikiran yang dalam, serta penembusan kearifan pada Kebenaran Hakiki dan Realitas Tertinggi dari semua fenomena fisik maupun mental, materi maupun non materi, serta penghentian dari semua proses –Nibbana. Pencerahan muncul karena ketidaktahuan kita terhadap realitas tertinggi dari semua fenomena lenyap. Ini adalah klimaksnya.
Secara eksternal, dijelaskan di dalam kitab Milinda Panha XIV.65 demikian; “Nibbana, o, baginda, tidak dibentuk, dan karenanya tidak ada sebab yang dapat ditunjuk bagi pembuatannya. Tidak dapat dikatakan bahwa nibbana itu telah timbul atau dapat timbul; bahwa nibbana itu adalah masa lalu, masa kini, atau masa mendatang; atau dapat dikenali dengan mata, telinga, hidung, lidah, atau tubuh.”
Kebuddhaan dan Nibbana, Pencerahan Agung dan hasilnya, tidak diawali oleh siapapun. Tidak disebabkan oleh siapapun. Tidak memiliki awal, dengan demikian tidak memiliki akhir. Yang ada tanpa sebab. Yang bukannya ‘Ada dengan sendirinya’. Yang tidak akan lenyap. Yang tidak berkehendak. Yang non-reaksional. Namun berada dan dituju oleh semua mahluk dan dapat dicapai oleh mereka yang mau mengusahakan atas daya upaya sendiri, bukannya yang dengan menggantungkan diri pada faktor-faktor eksternal. Demikianlah doktrin Ketuhanan ini dipahami dalam agama Buddha.
• Kalau non-reaksional, apakah masih dibutuhkan ‘Tuhan’? dan apakah fungsinya?
Tuhan yang non-reaksional berfungsi sebagai penanda bagi seluruh mahluk hidup bahwa ada sesuatu dimana terdapat kemungkinan untuk terbebaskan dari samsara. Ketika kita menyatu bersama-Nya, saat itulah kita menyatu dengan pembebasan. Tanpa hal ini, seluruh harapan untuk mengalami kebahagiaan total menjadi sirna.
3. MAHLUK-MAHLUK ILAHIAH DALAM AGAMA BUDDHA
Selain doktrin Tuhan yang non-reaksional, agama Buddha juga ternyata menjabarkan tentang keberadaan mahluk-mahluk ilahiah; yaitu Mahluk-Mahluk Agung yang hanya dapat dipahami dengan cara pandang keyakinan lain mengenai karakter Ketuhanan. Mahluk-mahluk ini sangat Agung, tinggal di suatu alam Kemurnian dan Kebahagiaan Yang Tinggi, berkuasa, mempunyai pengaruh yang besar pada peredaran planet-bintang-konstelasi dan galaksi, memiliki kekuatan mencipta, dan dapat memberikan perlindungan bagi mereka yang menaruh keyakinan kuat kepada-Nya.
Naskah-naskah buddhis kuno yang mencatat tentang riwayat hidup Buddha Gotama atau yang kita kenal sebagai Sakyamuni Buddha, menyebutkan tentang para DEWA dan BRAHMA. Keduanya adalah mahluk yang memiliki rupa non materi. Bercahaya gemilang yang terbentuk dari konsentrasi pikiran dan kekuatan kebajikannya. Namun mahluk-mahluk Brahma memiliki kedudukan yang jauh lebih tinggi dan agung daripada para Dewa. Brahma Agung Baka dan Brahma Agung Sahampati adalah dua buah nama yang dapat kita temukan di dalam buku riwayat ini. Bagaimana ceritanya, akan diulas pada bab dibawah ini.
Sekolah buddhis Mahayana juga banyak membahas tentang Dhyani Buddha dan Dhyani Bodhisatva . Dhyani Buddha adalah Buddha yang Abadi, tetapi pemahamannya berbeda dengan Sanghyang Adi Buddha.
• Dhyani Buddha sebetulnya adalah manifestasi dari Sanghyang Adi Buddha, Buddha Yang Maha Satu. Ada lima Dhyani Buddha, yaitu Amitabha, Vairocana, Amogasiddhi, Ratnasambhava, dan Akshobhya. Awalnya kelima Dhyani Buddha tersebut adalah manusia Buddha, yang setelah terdorong untuk menyelamatkan lebih banyak mahluk hidup dari samsara , kemudian sebelum usia jasmaninya habis, mereka membuat sejumlah tekad yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan wujud Kebuddhaan-Nya dalam keabadian. Masing-masing dari Dhyani Buddha memiliki alam keberadaan sendiri yang terbentuk dari kekuatan tekad dan kebajikan para Buddha. Di alam inilah, para mahluk yang memiliki keyakinan dan terinspirasi untuk mencapai pembebasan terlahirkan dalam wujud cahaya agung guna berlatih dan belajar Dhamma secara serius.
• Dari Dhyani Buddha lalu bermanifestasilah Dhyani Bodhisatva. Ini berarti tentunya ada lima Dhyani Bodhisatva pula. Samantabhadra, Vajrapani, Ratnapani, Avalokitesvara, dan Vivapani. Secara literal Bodhisatva berarti mahluk agung yang berinspirasi untuk mencapai Kebuddhaan yang sempurna (Sammasambuddha). Namun para Dhyani Bodhisatva sesungguhnya telah tercerahkan sejak awal mula, karena keberadaannya hanyalah bergantung dari manifestasi Dhyani Buddha tertentu. Fungsinya adalah membantu para Dhyani Buddha dalam membimbing para mahluk yang memiliki keyakinan kepada-Nya untuk mencapai pembebasan total.
Tiap-tiap Dhyani Buddha berpasangan dengan satu orang Dhyani Bodhisatva sebagai pembantu utamanya. Pasangan-pasangan tersebut disebutkan sebagai berikut; Vairocana-Samantabhadra, Akshobhya-Vajrapani, Amogasiddhi-Ratnapani, Amitabha-Avalokitesvara, dan Ratnasambhava-Visvapani.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa ada empat jenis Mahluk Keilahian di dalam agama Buddha, yaitu Dewa, Brahma, Dhyani Bodhisatva, dan Dhyani Buddha.
DOKTRIN PENCIPTAAN
Seirama dengan doktrin Ketuhanan yang non-reaksional, budhism mengajarkan bahwa timbul dan lenyapnya, lahir dan mati, muncul dan musnahnya semua fenomena karena adanya hukum sebab-akibat yang mengkondisikan dan saling bergantungan antara satu dan lain faktor. Mengenai bagaimana proses ini terjadi diatur dengan hukum-hukum alam, Buddha menjelaskan di dalam kitab Udana I.1 dan I.3, demikian; “Jika Kebenaran menjadi jelas bagi brahmana yang bermeditasi dengan giat, maka semua keraguan lenyap, karena ia mengerti bagaimana tiap faktor yang muncul ada penyebabnya”, “Karena ini ada, itu ada; dari timbulnya ini, timbullah itu; karena tidak ada ini, itu tidak ada; dari berhentinya ini, berhentilah itu.....”
Gelap hadir setelah terang sirna, dan terang hadir setelah gelap pergi. Seperti halnya siklus siang dan malam. Kematian adalah suatu proses yang alami karena adanya kelahiran; tanpa kelahiran, kematian pun tidak akan terjadi. Dan kemudian, kelahiran ada karena adanya kematian; tanpa didahului adanya sesuatu yang mati, kelahiran tidak akan terjadi. Ini adalah momen-momen yang alami tanpa perlu diatur secara manual atau pun dengan mesin otomatis apapun.
Seseorang yang belum mati tidak akan terlahir kembali, ini adalah hal yang wajar. Sejauh pembebasan yang diperoleh dengan mengalahkan segala nafsu dan kebodohan batin, maka kondisi ini akan terus menerus berulang. Inilah yang disebut sebagai samsara di dalam agama Buddha. Yaitu siklus kelahiran dan kematian, kematian dan kelahiran kembali.
Dalam cara yang sama, agama Buddha menggambarkan mengenai proses mengembang dan menyusutnya alam semesta, timbul dan lenyapnya segala fenomena, baik yang bermateri maupun non materi. Semua dipengaruhi oleh hukum-hukum alam.
Buddha tidak berspekulasi tentang sebab utama dari segala sesuatu fenomena. Karena pada intinya beliau mengajarkan berdasarkan penembusan realitas tertinggi, bahwa segala fenomena yang timbul adalah akibat dari sebuah sebab, namun tiada sebab yang utama. Akibat itu sendiri kemudian berkembang menjadi sebab yang baru; sebab baru menghasilkan akibat..........., begitu seterusnya. Ibaratnya sebuah lingkaran yang tidak memiliki titik awal dan titik akhir, demikianlah ilusi ini telah menjebak para mahluk untuk berputar-putar di dalamnya.
Buddha mengajarkan bahwa tidaklah mungkin untuk menemukan sebab utama dari munculnya setiap fenomena ini, karena semuanya berproses bagaikan di dalam sebuah lingkaran yang tak berkesudahan. Tanpa awal pun tanpa akhir. Akan tetapi ada jalan keluar dari siklus ini, yaitu dengan cara mengatasi kemelekatan kita terhadap dunia dan benda-benda, melenyapkan kekotoran batin, dan mengatasi ketidaktahuan terhadap hakekat sejati diri kita dan segala fenomena. Dengan demikian tujuan akhir akan diperoleh, Nibbana. Adalah pilihan yang bijaksana untuk membebaskan diri dari siklus kelahiran dan kematian daripada sibuk menghabiskan waktu untuk berspekulasi dan menganalisa tentang ‘sebab utama’.
Ada lima kelompok hukum alam yang berpengaruh pada proses, terbentuk, dan hancurnya setiap fenomena, terbentuk lagi – berproses- dan hancur kembali..................... Semuanya bekerja berdasarkan sebab akibat yang saling mengondisikan dan berkaitan satu dengan yang lain, yaitu;
1. Utu Niyama. Adalah hukum tertib ‘physical organic’, misalnya; gejala timbulnya angin dan badai, hujan, pergantian musim dan iklim. Timbulnya panas dan dingin, dsb.
2. Bija Niyama. Adalah hukum tertib tumbuh-tumbuhan. Mencakup perubahan siklus, jenis, dsb.
3. Kamma Niyama. Adalah hukum tertib perbuatan. Perbuatan baik akan menghasilkan akibat yang baik, dan perbuatan buruk menghasilkan akibat yang buruk pula. Termasuk didalamnya segala rumusan yang pelik mengenai kamma (karma), yang hanya dapat dipahami dengan sempurna oleh seorang Buddha.
4. Dhamma Niyama. Adalah hukum tertib terjadinya persamaan dari suatu gejala yang khas, misalnya; terjadinya keajaiban alam sewaktu seorang Bodhisatva hendak mengakhiri hidupnya sebagai seorang calon Buddha, pada saat Ia akan terlahir untuk menjadi Buddha. Hukum gaya berat (gravitasi) dan hukum alam sejenis lainnya, sebab-sebab daripada keselarasan dan sebagainya, termasuk di dalam kelompok hukum ini.
5. Citta Niyama. Adalah hukum tertib bekerjanya pikiran, alam-alam pikiran, proses kesadaran, timbul dan lenyapnya kesadaran, karakter-karakter mental, dan sebagainya yang berkaitan dengan mentalitas. Telepati, kemampuan mengingat hal-hal yang lampau, kemampuan mengetahui dan memprediksi apa yang akan terjadi, kemampuan membaca pikiran orang lain, dan lain sebagainya, termasuk di dalam hukum ini.
KOSMOLOGI BUDDHIS
Kita ternyata tidak sendiri. Bukan mahluk satu-satunya di alam semesta yang maha besar ini. Buddha mengajarkan bahwa ada 31 macam kelompok kehidupan, yang mana masing-masing kelompok bisa terdapat pada seluruh sistem tatasurya dan konstelasi di alam semesta. Jadi, tempat seperti bumi yang dihuni oleh mahluk-mahluk sejenis manusia jumlahnya sangat banyak. Buddha mengatakan bahwa di dalam galaksi kita saja, terdapat paling sedikit sepulur ribu sistem tatasurya. Dan bagaimana dengan galaksi-galaksi yang lain?
Ke-31 alam kehidupan ini terbagi di dalam 3 kelompok besar, yaitu Kama Bhumi, Rupavacara Bhumi, dan Arupavacara Bhumi.
1. Kama Bhumi. Adalah alam kehidupan yang dihuni oleh mahluk-mahluk yang menyenangi dan melekat pada nafsu kesenangan inderawi. Terbagi menjadi 11 jenis alam, yaitu; 4 alam kehidupan yang menyedihkan yang terdiri dari kelompok alam neraka, alam binatang, alam setan, dan alam ashura atau jin dan sejenisnya; dan 7 alam kehidupan nafsu indera yang menyenangkan yang terdiri dari 1 alam manusia dan 6 alam sorga.
2. Rupavacara Bhumi. Adalah alam kehidupan yang mahluknya memiliki tingkat konsentrasi pikiran Rupajhana, disebut juga sebagai alam Brahma yang dicapai dengan konsentrasi Rupajhana. Keberadaan alam ini hanya dapat dipahami dengan menyelami meditasi dan memahami cara bekerjanya pikiran serta pengaruh sebab dan akibatnya. Ada 16 tingkat alam Rupa Brahma. Alam-alam ini disebut juga sebagai alam Ke-Ilahi-an.
3. Arupavacara Bhumi. Adalah alam kehidupan yang mahluknya memiliki tingkat konsentrasi pikiran Arupajhana, disebut juga sebagai alam Brahma yang dicapai dengan konsentrasi Arupajhana. Keberadaan alam ini juga hanya dapat dipahami dengan menyelami meditasi dan memahami cara bekerjanya pikiran serta pengaruh sebab dan akibatnya. Ada 4 tingkat alam Arupa Brahma. Alam-alam ini juga disebut sebagai alam Ke-Ilahi-an yang begitu luhur.
Ada sebuah cerita populer di kalangan masyarakat buddhis tentang seorang mahluk Keilahian yang tinggal di alam Mahabrahma –salah satu alam dari Rupa Brahma-, yang mengaku dirinya sebagai Tuhan Maha Pencipta. Pemimpin dan penguasa alam semesta. Namanya adalah Brahma Agung Baka. Cerita ini diulas kembali oleh seorang bhikkhu dari Myanmar –Acharya Buddharakkhita- seperti apa yang diulas di dalam kitab Buddhavamsa, The Great Chronicle of Buddha demikian;
Alam Brahma. Ini adalah sebuah alam pikiran, alam yang tidak bermateri. Jadi jangan ditanyakan seperti apa bentuknya dan di planet mana alam itu berada. Mahluk Brahma tinggal di alam Brahma dengan usia kehidupan selama berkalpa-kalpa, sebuah rentang waktu yang hanya dapat dibayangkan dengan proses timbul dan lenyapnya alam semesta. Fuh...., bayangkan...., itu berarti bisa bermilyar-milyar tahun. Apabila diukur dengan kehidupan manusia yang singkat ini maka keberadaan-Nya adalah seperti abadi, padahal yang sesungguhnya tidak demikian.
Setelah alam semesta yang terdahulu hancur, para mahluk di alam Kama Bhumi dan sebagian alam Rupavacara Bhumi atau Brahma juga ikut musnah. Kesadarannya terlahir di sistem dunia yang lain. Sementara sebagian dari penghuni Rupavacara Bhumi (tingkat atas) dan Arupavacara Bhumi tidak mengalami kehancuran. Baru setelah masa yang lama sekali kemudian alam semesta ini terbentuk kembali. Mahluk yang pertama kali menghuni alam Maha Brahma yang masih kosong ini adalah Brahma Agung Baka, yang sebelumnya pernah menghuni alam brahma yang lebih tinggi. Namun karena kekuatan karmanya habis, maka dia muncul kembali di alam brahma yang lebih rendah.
Setelah Sang Brahma tinggal sendiri dalam waktu yang lama, kemudian terpikirkan untuk memiliki teman pendamping. Sejak dia berpikir demikian lalu muncullah mahluk-mahluk brahma yang lain. Sejak itu dia menganggap bahwa dirinyalah yang menyebabkan mahluk-mahluk itu ada karena kekuatan pikirannya. Sebetulnya mahluk-mahluk brahma yang lain muncul disana juga karena karmanya. Tetapi celakanya mereka juga berpikir bahwa Sang Brahma adalah pencipta mereka, penguasa yang agung, karena dia muncul yang pertama kali disana, dan sejak dia berpikir untuk memiliki teman pendamping maka muncullah mahluk-mahluk brahma yang lain.
Apa yang muncul di dalam gagasan Brahma dapat berpengaruh pada alam-alam kehidupan lain yang lebih rendah; seperti alam sorga, manusia, dan alam-alam lain. Sehingga dengan cepat pemikiran bahwa Sang Brahma adalah penguasa dan pencipta segalanya juga diikuti oleh mahluk-mahluk yang hidup di alam-alam bawahnya. Namun tidak demikian dengan mahluk-mahluk di alam Brahma yang lebih tinggi, mereka menghabiskan waktunya untuk bermeditasi dan merenung mengenai Dharma sehingga tidak peduli dengan yang terjadi di alam-alam lain.
Pandangan ini terus berlanjut hingga masa Buddha Gotama lahir di dunia. Baru setelah itu, muncullah pandangan yang benar mengenai kesalahpahaman ini. Buddha Gotama mengalahkan pandangan salah Sang Brahma dengan kesempurnaan pengetahuan dan kebijaksanaan. Beliau menunjukkan bahwa Baka, Sang Brahma, bukanlah Tuhan Maha Pencipta meskipun memiliki pengaruh kekuatan yang besar. Demikianlah yang dikatakan oleh Buddha;
“Sejauh peredaran bulan dan matahari, yang menyinari segala penjuru dengan kemilaunya. Seribu kali lebih jauh dari ini, itulah rentang alam yang ada dibawah pengaruh-Mu. Dalam alam sejauh itu, Engkau mengetahui segala sesuatunya. Baik yang memiliki nafsu maupun tidak, dalam seluruh alam kehidupan yang dikuasai oleh-Mu, Engkau mengetahuinya. Sejauh itu, O, Brahma, Aku mengetahui luasnya rentang kekuasaan dan pengaruhmu.
Oleh karenanya, Brahma, Aku mengetahui dengan sangat baik akan luasnya rentang kekuasaan dan pengaruh-Mu. Bahwasanya Brahma Baka sangat berkuasa, Brahma Baka sangat perkasa; Brahma Baka memiliki rentang kekuasaan sejauh ini.
Namun demikian, Brahma, terdapat alam-alam kehidupan lainnya yang tidak Engkau ketahui dan lihat, namun Aku mengetahui dan melihatnya. Brahma, terdapat alam kehidupan yang disebut Abhasara, dahulu kala Engkau hidup di alam ini, setelah masa usia-Mu habis, engkau muncul kembali di alam yang sekarang ini. Namun karena Engkau telah singgah di alam ini dalam jangka waktu yang begitu lama, ingatan-Mu tentang kehidupan-Mu yang lampau di alam Abhasara menjadi lenyap. Karenanya, Engkau tidak mengetahui atau melihat alam-alam ini, namun Aku mengetahui dan melihatnya. Dari hal ini, O, Brahma, jelaslah bahwa dalam hal pengetahuan adiduniawi Engkau bukanlah tandingan Sang Tathagata. Sang Tathagata mengetahui jauh lebih banyak.
0 komentar:
Posting Komentar