Bagaimana Mencari Kebenaran
Sebuah rangkuman dari Kalama Sutta (Dasar Penyelidikan Bebas), sebuah panduan untuk mencari Kebenaran secara bijaksana, sebagaimana diajarkan oleh Buddha:
Semasa hidup-Nya, Buddha pernah datang ke desa yang dihuni oleh orang-orang Kalama. Suku Kalama termasuk kelompok orang yang paling cerdas dan cendekia di India. Mereka pergi untuk bertanya kepada Buddha, "Bagaimana kami tahu bahwa apa yang Anda ajarkan itu benar? Semua guru spiritual lain (ada lebih dari 60 kepercayaan agama pada masa itu) datang menyatakan bahwa hanya apa yang mereka ajarkan sajalah yang benar, bahwa semua ajaran lain tidaklah benar."
Menanggapi hal tersebut, Buddha tersenyum lembut dan menjawab:
1. Janganlah percaya begitu saja pada apa yang kalian dengar hanya karena kalian telah mendengar hal itu sejak lama.
2. Janganlah mengikuti tradisi secara membuta hanya karena hal itu telah dipraktikkan sedemikian secara turun-temurun.
3. Janganlah cepat terpancing desas-desus.
4. Janganlah meyakini segala sesuatu hanya karena hal itu sesuai dengan kitab suci kalian.
5. Janganlah membuat asumsi-asumsi secara bodoh.
6. Janganlah tergesa-gesa menarik kesimpulan berdasarkan apa yang kalian lihat dan dengar.
7. Janganlah terkecoh oleh penampakan-penampakan luar.
8. Janganlah berpegang kuat pada pandangan atau gagasan apa pun hanya karena kalian menyukainya.
9. Janganlah menerima segala sesuatu yang kalian pandang masuk akal sebagai fakta.
10. Janganlah meyakini segala sesuatu hanya karena rasa hormat dan segan kepada guru-guru spiritual kalian.
Seyogianya kalian bisa mengatasi pendapat dan kepercayaan. Kalian bisa menolak segala sesuatu yang mana jika diterima dan dijalankan menyebabkan meningkatnya kemarahan (kebencian), keserakahan (nafsu keinginan), dan kegelapan batin (pandangan salah). Pengetahuan bahwa kalian marah, serakah, atau gelap batin tidak bergantung pada kepercayaan atau pendapat. Ingatlah bahwa kemarahan, keserakahan, dan kegelapan batin merupakan hal-hal yang tercela di seluruh dunia. Mereka tidak bermanfaat dan semestinya dihindari.
Sebaliknya, kalian bisa menerima segala sesuatu yang mana jika diterima dan dijalankan membawa pada Cinta Kasih tanpa syarat, kebercukupan, dan Kebijaksanaan. Hal-hal ini memungkinkan kalian pada setiap waktu dan tempat untuk mengembangkan pikiran yang bahagia dan penuh damai. Oleh karena itu, mereka yang bijaksana menjunjung Cinta Kasih tanpa syarat, kebercukupan, dan Kebijaksanaan.
Hal ini seyogianya menjadi kriteria kalian mengenai apa yang merupakan Kebenaran dan apa yang bukan; mengenai apa yang merupakan praktik spiritual dan apa yang bukan."
Mendengar itu, orang-orang Kalama terpuaskan dan dengan hati dan pikiran yang terbuka, menganut semangat penyelidikan bebas, mendengarkan, bertanya, dan menerima ajaran Buddha dengan sepenuh hati.
Empat Kebenaran Mulia
Ajaran Buddha didasarkan pada pondasi kokoh Kebenaran dalam Empat Kebenaran Mulia yang dapat diketahui oleh kita semua. Ajaran ini bukanlah kepercayaan tanpa dasar, yang untuk diterima dengan iman belaka. Mereka berawal dari poros pengalaman-pengalaman langsung setiap manusia yang tidak dapat disangkal lagi.
Apakah Empat Kebenaran Mulia Itu?
Buddha hanya tertarik untuk menunjukkan kepada kita jalan langsung menuju Kebahagiaan Sejati. Empat Kebenaran Mulia membentuk jantung ajaran Buddha. Ajaran ini ariya (mulia, suci) karena diajarkan oleh para Ariya, mereka yang memiliki pemahaman langsung akan Kebenaran. Dengan mewujudkan ajaran ini, kita juga akan menjadi mulia.
Kebenaran Mulia Pertama
Kebenaran Tentang Dukkha.
Hidup ini penuh ketidakpuasan.
Kita mengalami banyak ketidakpuasan (dukkha) seperti:
lahir, tua, sakit, mati,
berpisah dengan apa/siapa yang kita sukai,
berada dengan apa/siapa yang tidak kita sukai,
gagal mencapai atau berada dengan apa/siapa yang kita inginkan...
Kebenaran Mulia Kedua
Kebenaran Tentang Asal Dukkha.
Penyebab ketidakpuasan.
Pengalaman yang tidak memuaskan disebabkan oleh:
nafsu keinginan (keserakahan),
ketidaksukaan (kebencian atau tidak ingin), dan
kebodohan (kegelapan, kurangnya Kebijaksanaan).
Kebenaran Mulia Ketiga
Kebenaran Tentang Akhir Dukkha - Nirwana.
Hidup bisa bebas dari ketidakpuasan.
Ada keadaan damai di mana tidak ada pengalaman yang tidak memuaskan:
Pencerahan atau Nirwana (padamnya keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin).
Kebenaran Mulia Keempat
Kebenaran Tentang Jalan Menuju Akhir Dukkha
Jalan untuk hidup bebas dari ketidakpuasan.
Ada jalan untuk membawa kita menuju Kedamaian dan Kebahagiaan Sejati:
Jalan Mulia Beruas Delapan.
Mengapa Ada Begitu Banyak "Penderitaan"
Dibahas Dalam Ajaran Buddha?
Pemakaian kata "penderitaan" dalam ajaran Buddha dapat menimbulkan salah pengertian. Ketika kita mendengar Buddha berkata, "Hidup adalah penderitaan," kita jadi bertanya-tanya terhadap apa yang Ia katakan, karena sebagian dari kita tidak mengalami penderitaan yang terlalu berat dalam kehidupan.
Kata yang sesungguhnya dipakai Buddha adalah "Dukkha" yang berarti 'segala sesuatu tidak benar-benar pas dalam hidup kita-banyak terdapat kondisi yang tidak memuaskan dalam keberadaan kita; selalu saja ada sesuatu yang tampaknya tidak pas.' Jadi, "penderitaan" yang dipakai dalam ajaran Buddha merujuk pada segala jenis ketidakpuasan, baik yang besar maupun yang kecil.
Apakah Kebahagiaan Itu?
Dalam hidup ini, sedikit-banyak kita mengalami ketidakpuasan. Buddha tidak pernah menyangkal bahwa ada kesenangan dan kebahagiaan dalam hidup. Namun, masalah yang terus mengusik akibat ketidakpuasan selalu ada, sementara "kebahagiaan" selalu cepat berlalu. Inilah satu-satunya masalah dalam hidup kita, tetapi ini adalah masalah TERBESAR karena hal ini mencakup semua masalah yang kita hadapi. Buddha hanya mengarahkan perhatian kita pada kenyataan bahwa penderitaan merupakan bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan, bahwa itu adalah masalah yang dialami oleh kita semua, yang ingin kita hindari, yang itu dapat diatasi dengan pencapaian Nirwana (Kebahagiaan Sejati).
Apakah Empat Kebenaran Mulia Itu Pesimistik?
Sebagian orang mengatakan bahwa ajaran Buddha adalah ajaran yang pesimistik karena selalu membahas tentang penderitaan. Ini jelas tidak benar. Di sisi lain, ajaran Buddha juga bukan ajaran optimistik yang membuta. Sesungguhnya, ajaran Buddha adalah ajaran yang realistik dan penuh harapan karena ajaran ini mengajarkan bahwa Kebahagiaan Sejati dapat dicapai melalui upaya pribadi, seseorang menjadi tuan atas kehidupannya sendiri.
Masalah dan kesulitan selalu ada, entah kita memikirkannya atau tidak. Akan tetapi, pemecahan hanya memungkinkan dengan pengenalan masalah secara apa adanya. Buddha menyatakan Kebenaran yang tak tersangkalkan bahwa hidup ini penuh ketidakpuasan, oleh karenanya Ia mengajarkan kita jalan keluar dari ketidakpuasan menuju Kebahagiaan Sejati!
Seberapa Penting Empat Kebenaran Mulia?
Merealisasikan Empat Kebenaran Mulia adalah tugas utama kehidupan pengikut Buddha karena hal ini membawa pada Kebahagiaan Sejati. Kita akan mendapati bahwa susunan Empat Kebenaran Mulia adalah rumus pemecahan masalah yang sangat sederhana, masuk akal, ilmiah, dan sistematik. Karena kebenaran-kebenaran ini memecahkan masalah pokok penderitaan, oleh karenanya Empat Kebenaran Mulia sangatlah penting.
Bagaimana Empat Kebenaran Mulia Bekerja?
Kebenaran pertama menyatakan adanya masalah penderitaan. Kebenaran kedua menyatakan penyebab masalah. Kebenaran ketiga menyatakan keadaan ideal tanpa masalah, dan Kebenaran keempat menyatakan bagaimana keadaan ideal itu dapat dicapai.
Apa Asal Mula Empat Kebenaran Mulia?
Empat Kebenaran Mulia diajarkan pertama kali oleh Buddha pada pembabaran Dharma yang pertama di Taman Rusa di Isipatana (bagian India kuno, di dekat Benares), setelah Ia mencapai Pencerahan, lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Pembabaran itu dikenal dengan Dhammacakkappavattana Sutta (Ceramah Pemutaran Roda Dharma). Seluruh ajaran yang disampaikan Buddha sesudahnya merupakan penjelasan mendalam dari Empat Kebenaran Mulia, ataupun ajaran yang mengarahkan ke Empat Kebenaran Mulia. Buddha menggunakan berbagai cara dan metode yang piawai dalam mengajarkan Empat Kebenaran Mulia kepada berbagai jenis orang.
Buddha
Berikut ini adalah beberapa pertanyaan umum mengenai Buddha:
Apakah Buddha Itu?
Kata "Buddha" berarti 'Yang Sadar' atau 'Yang Tercerahkan'. Sesosok Buddha sebelumnya adalah seorang manusia seperti kita, yang berhasil mencapai puncak tertinggi pengembangan spiritual, melalui pemurnian dan pengendalian pikiran, mencapai penyempurnaan tertinggi yang juga dimungkinkan bagi siapa saja. Setelah menyadari Kebenaran, Ia adalah sosok yang telah menemukan Kebahagiaan Sejati dalam menyadari hakikat sejati dari segala sesuatu. Dengan pencapaian Pencerahan (menyadari Kebenaran dari segala sesuatu), Kebijaksanaan dan Welas Asih menjadi sempurna, di samping sifat-sifat positif lain yang tak terhitung jumlahnya. Sesudah menjadi sesosok Buddha, yang bersangkutan melampaui keterbatasan manusia dan menjadi jauh lebih agung daripada seorang manusia, meraih kedamaian dan pembebasan tertinggi.
Dapatkah Kita Menjadi Buddha?
Potensi pencapaian Pencerahan atau Ke-Buddha-an ada pada setiap makhluk (termasuk kita). Kita semua memiliki sifat-sifat sempurna Buddha (benih-benih Ke-Buddha-an) di dalam diri kita, seperti bulan purnama yang terang benderang. Jalan menuju Pencerahan adalah membersihkan awan kelam kekotoran batin (sifat-sifat negatif, yakni ketamakan, kebencian, dan kegelapan batin) yang selalu menyelimuti benih Ke-Buddha-an kita, menghalanginya untuk bersinar cerah. Sudah ada tak terhitung banyaknya Buddha, dan akan lebih banyak lagi selama masih ada mereka yang sungguh-sungguh mencari Kebenaran.
Siapakah Buddha Itu?
Buddha adalah karakter terbesar yang pernah muncul dalam sejarah umat manusia-menjadi perwujudan seseorang yang sempurna dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Ia merupakan sosok yang paling bijaksana dan penuh Cinta Kasih yang pernah terlahirkan di bumi ini, sebuah teladan bagaimana kita semua bisa menjadi sedemikian mulia. "Buddha" merujuk pada Buddha Sakyamuni yang lahir di India Utara lebih dari 2.500 tahun silam (sekitar 623 SM). Ia adalah pendiri ajaran Buddha dalam dunia kita ini. Ia adalah seorang pangeran Sakya bernama Siddhattha Gotama, pewaris tahta kerajaan yang kaya raya, yang memilih untuk meninggalkan warisan-Nya pada usia 29 tahun dalam usaha pencarian Pencerahan (penyadaran hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya dan Kebahagiaan Sejati) karena Welas Asih-Nya kepada semua makhluk.
Suatu peristiwa peninggalan keduniawian yang belum pernah terjadi dalam sejarah; Ia tidak meninggalkan keduniawian pada usia senja, tetapi pada usia kejayaan dalam hidup manusia; bukan dalam kemiskinan, tetapi dalam kelimpahan. Sebagaimana dipercaya pada zaman dahulu bahwa pembebasan tidak akan tercapai kalau tidak menjalani hidup pertapaan yang keras, Ia dengan sungguh-sungguh menjalani semua bentuk penyiksaan diri yang keras. Ia melakukan usaha di luar ambang kemampuan manusia biasa selama enam tahun.
Tubuh-Nya menyusut menjadi seperti kerangka. Semakin Ia menyiksa tubuh-Nya, tujuan semakin jauh dari-Nya. Penyiksaan diri yang menyakitkan dan tanpa hasil yang Ia jalani dengan keras terbukti sia-sia belaka. Melalui pengalaman pribadi, Ia sekarang yakin sepenuhnya akan kesia-siaan menyakiti diri sendiri yang hanya melemahkan tubuh dan mengakibatkan luruhnya semangat.
Dengan mengambil pelajaran dari pengalaman yang berharga ini, Ia akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan sendiri, menghindari kedua ekstrem, yaitu pemuasan diri dan penyiksaan diri. Jalan baru yang ditemukan-Nya sendiri adalah "Jalan Tengah", yang kelak menjadi ciri utama dari ajaran Buddha.
Suatu pagi, ketika Ia tengah memasuki meditasi yang mendalam, tak dibantu dan tak dibimbing oleh kekuatan adikodrati apa pun dan semata-mata mengandalkan usaha dan Kebijaksanaan-Nya sendiri, Ia memberantas semua kekotoran batin, memurnikan diri, dan menyadari segala sesuatu sebagaimana adanya, mencapai Pencerahan (ke-Buddha-an) pada penghujung usia 35 tahun. Ia tidak terlahir sebagai Buddha, tetapi Ia menjadi Buddha melalui perjuangan-Nya sendiri.
Sebagai perwujudan sempurna dari semua kebajikan yang Ia babarkan, disertai Kebijaksanaan mendalam yang diimbangi dengan Belas Kasih yang tanpa batas, Ia mencurahkan sisa hidup-Nya untuk melayani semua makhluk, baik melalui teladan maupun ajaran, tanpa didorong oleh motif pribadi apa pun. Setelah pelayanan yang sangat berhasil selama 45 tahun, Buddha, sebagaimana setiap manusia lainnya, terkena hukum alam perubahan yang tak terelakkan dan akhirnya meninggal dalam kedamaian Parinirwana pada usia 80 tahun. Hidup-Nya penuh dengan kisah tentang bagaimana Ia menyentuh banyak orang dari berbagai kalangan dengan Kebijaksanaan dan Welas Asih-Nya.
Apa yang Buddha Ajarkan?
Pesan Buddha sungguh menggembirakan. Ia menemukan harta berharga mengenai Kebebasan dalam Kebenaran dan mendorong kita bagaimana mengikuti jalan yang membawa kita pada harta ini. Walaupun Ia mengatakan bahwa kita sedang berada dalam kegelapan, Ia juga mengajarkan kita jalan menuju terang. Ia berharap kita untuk bangun dari kehidupan penuh impian semu ini menuju kehidupan yang lebih tinggi yang penuh dengan Kebijaksanaan di mana semua saling mencintai dan tidak membenci. Pendekatan-Nya bersifat universal, karena Ia melakukan pendekatan akal budi mengenai pencarian semua makhluk akan Kebahagiaan Sejati di dalam diri kita semua. Ia meletakkan Kebenaran untuk diuji melalui pengalaman pribadi, mendorong siapa saja untuk meragukan ajaran-Nya; Ia yakin bahwa penyadaran besar dapat muncul dari lenyapnya keraguan ini. Ia mengajarkan kepada kita untuk berperhatian murni (penuh pengamatan, waspada) akan diri kita sendiri dan untuk menjadi sadar, untuk mencari dan menemukan Kebahagiaan Sejati seperti yang telah Ia lakukan.
Bagaimana Buddha Menolong Kita?
Buddha adalah sesosok genius spiritual karena Buddha mencapai tujuan akhir dari pencarian spiritual, Pencerahan, oleh diri-Nya sendiri. Ia mampu melihat bahwa sekalipun kita juga dapat mencapai Pencerahan, berangkali kita memerlukan banyak bantuan. Karena Welas Asih-Nya, Ia mencurahkan sisa hidup-Nya untuk menjadi pembimbing bagi semua yang mau belajar dari-Nya, mengajarkan semua yang harus diajarkan, sebelum mangkat dalam Kebahagiaan abadi. Ia sangatlah piawai dalam menunjukkan kepada kita jalan menuju Kebahagiaan Sejati. Selama kita membuka hati dan pikiran kita, Buddha masih menginspirasi kita melalui ajaran-ajaran-Nya yang berharga.
Di Manakah Buddha Sekarang?
Buddha dijabarkan mempunyai tiga tubuh (Tikaya) atau aspek-aspek kepribadian, walaupun itu semua dalam Realita Tertinggi sesungguhnya adalah satu dalam semua dan semua dalam satu:
1. Tubuh Kebenaran Buddha
2. Tubuh Kebahagiaan Buddha
3. Tubuh Penjelmaan Buddha
Tubuh Kebenaran Buddha
Tubuh Kebenaran Buddha (Dhammakaya) adalah perwujudan Dharma (Kebenaran itu sendiri) yang senantiasa ada di mana saja, diungkapkan sebagai hukum-hukum alam semesta dan proses bekerjanya hukum-hukum ini. Kadang-kadang kita menangkap sekilas realita yang menakjubkan ini ketika kita ada dalam damai dan menyatu dengan segala sesuatu. Tubuh Kebenaran ini berada dalam segala sesuatu karena tubuh ini melampaui bentuk dan ruang. Tubuh ini digambarkan sebagai Buddha Mahavairocana, Buddha pusat dan universal yang mengajarkan Kebenaran di sini dan saat ini juga. Ia bisa satu sekaligus banyak dalam waktu yang sama karena Ia mampu bermanifestasi dalam berbagai bentuk. Ketidakmampuan kita melihat atau mendengar-Nya disebabkan oleh kekotoran batin kita.
Buddha Sakyamuni mengatakan, "Siapa yang melihat Dharma (Kebenaran), melihat Buddha; siapa yang melihat Buddha, melihat Dharma." Sesosok Buddha, setelah menyadari Kebenaran, menjadi setara dengan Kebenaran. Walaupun ada banyak Buddha, semua Buddha adalah satu dan sama, tidak berbeda antara satu dengan yang lain dalam Dhammakaya, yang merupakan kemanunggalan Kebenaran.
Dhammakaya ada bersamaan dengan Sambhogakaya dan Nimmanakaya (lihat "Tubuh Kebahagiaan" dan "Tubuh Penjelmaan Buddha").
Dengan rembulan sebagai pengibaratan dari Buddha, maka Dhammakaya itu bagaikan cahaya rembulan yang bersinar pada malam hari. Berkas cahaya ini mungkin tidak terlihat oleh mata karena mereka tidak menyinari gelapnya ruang angkasa, tetapi sebenarnya cahaya itu menembus ke mana-mana.
Tubuh Kebahagiaan Buddha
Tubuh Kebahagiaan Buddha (Sambhogakaya) atau Buddha Rocana adalah tubuh penuh sukacita yang ada pada Buddha. Ini adalah aspek yang mana setiap Buddha bergembira dalam Kebenaran, dalam mengajarkan Kebenaran, dan dalam membawa makhluk lain pada realisasi Kebenaran. Karena setiap Buddha telah menjalani penyempurnaan melalui masa yang tak terhitung lamanya dan telah mencapai Kebijaksanaan dan Welas Asih nan sempurna, masing-masing mempunyai Kedamaian, Kebajikan, dan Kebahagiaan yang tak terkira, seperti yang diwujudkan dalam Sambhogakaya. Para Buddha biasanya tidak tampak dalam tubuh ini karena kita tidak mampu memahaminya akibat kurangnya pengertian kita. Alih-alih, para Buddha berwujud dalam Nimmanakaya (lihat "Tubuh Penjelmaan Buddha").
Dengan rembulan sebagai perumpamaan dari Buddha, maka Sambhogakaya itu seperti bulan purnama yang tidak terhalang awan, yang bersinar terang dalam kemilaunya.
Sejarah Buddha
Sidharta Gautama, seorang manusia, dilahirkan di India,
seorang Pangeran pewaris tahta kerajaan di india utara
dia orang yang mencapai penerangan sempurna / Buddha.
Ketika berumur 29 tahun, dia berjalan-jalan keluar istana
dan bertemu orang tua, orang sakit, mati dan dia terkesima
kenapa hidup sebagai manusia begitu menyeramkan pada
akhirnya. lalu. dia bertemu seorang pertapa, dan akhirnya
di tahun itu juga dia memutuskan meninggalkan istana
dan pergi bertapa untuk mencari penerangan tentang kehidupan.
membebaskan manusia dari penderitaan sakit, tua dan mati.
Pada awalnya Sidharta menjadi pertapa yang bertapa
dengan menyiksa diri (asketisme) yang percaya dengan
menyiksa diri dapat menuntun manusia ke penyucian diri dan
pikiran.
Ketika 35 tahun, beliau akhirnya menyadari bahwa pertapaan
dengan menyiksa diri bukan jalan terbaik untuk mendapatkan
penerangan. lalu seiring dengan pulihnya kondisinya..
dia bermeditasi dibawah pohon yang besar. (pohon Bodhi)
dan menyadari Jalan Tengah antara asketisme dan hedonis
sehingga menjadi Buddha.
Teman-teman seperguruan dan teman pertapa Sidharta,
menyadari ada yang berubah dengannya dan suatu hari
berkumpul di Taman Rusa Isipatana, kemudian disanalah
Sang Buddha membabarkan ajarannya untuk pertama kalinya.
Buddha membabarkan 4 kebenaran utama (Cattumaharajika)
1. Dalam hidup terdapat penderitaan yang stressful dan painful
seperti : ujian akhir, sakit, ditinggal pacar, diputusin pacar dll.
2. Asal penderitaan adalah keinginan untuk mendapatkan
sesuatu, keberadaan, dan ketidak keberadaan ( existence dan
non-existence ).
3. Ada cara untuk melenyapkan penderitaan.
4. 8 jalan utama menlenyapkan penderitaan. (Sapta Arya Magga).
8 Jalan Utama menuju kesadaran Buddha
Alasan seseorang menjadi Buddhist adalah mencapai
kebahagiaan dan englightened (kesadaran Buddha). untuk itu
Umat Buddha mengikuti 8 Jalan Utama
Pengertian Benar : Mengerti 3 Kebenaran dan Dhamma ajaran
Sang Buddha.
Pikiran Benar: Secara sadar berpikir dengan benar, berpikir yang
baik dan hidup sesuai dengan apa yang diajarkan Sang Buddha.
Berkata Benar: Ga bergosip, bergunjing, berbohong, fitnah, kata
kasar, kotor, omong kosong. Ngomong kalau perlu dan
kata-kata yang bisa membantu orang lain.
Perbuatan Benar: Melakukan perbuatan yang diajarkan Buddha
termasuk 5 Prinsip Hidup Budhist.
Penghidupan yang benar: Hidup dengan damai dengan orang
orang sekitar dan menghindari pekerjaan yang tidak benar
dan tidak baik, misalnya membunuh orang lain.
Usaha Benar : Kuasai pikiran yang negatif dan ubah menjadi
pikiran yang baik dan positif.
Perhatian Benar : Tingkatkan kewaspadaan (awareness) thdp
tubuh, emosi, mental dan pikiran dan perbuatan.
Konsentrasi Benar: Belajar konsentrasi dengan meditasi,
atau ritual lainnya yang merupakan suatu jalan untuk mencapai
kesadaran.
Bergaul Dengan Orang Bijak
Dikisahkan pada suatu waktu, ada sejumlah besar pedagang yang sedang berlayar ke samudera dengan sebuah kapal. Ditengah perjalanan, kapal mereka diterjang badai dengan amat dahsyatnya sehingga mengalami kerusakan berat. Bagian dasar kapal bocor dan air sudah mulai masuk ke dalam. Diancam bahaya seperti ini mereka menjadi sangat cemas dan ketakutan.
Masing-masing mencoba mengatasi kejadian yang menegangkan itu dengan cara sendiri-sendiri. Ada yang menangis meraung-raung meratapi 'nasib' yang sedang menimpa diri mereka.
Ada juga yang dengan gencar menyebut mantra atau aji-aji yang dipercaya dapat menangkal badai. Ada pula yang sambil berkomat-kamit mengeluarkan segala jinat, 'hu' atay pusaka yang selama ini selalu dibawa-bawa kemana pun mereka pergi. Mereka percaya benda-benda itu mampu melindungi diri mereka dari segala macam bahaya. Selain itu ada pula yang sembari menjanjikan kaul bersujud memohon ampun kepada dewa badai supaya tidak murka dan berhenti meniupkan badai. Adapula yang menengadahkan kedua telapak tanggannya ke langit, mencoba memelas kepada Sang Pencipta sekaligus pencabut nyawa bagi umat manusia. Mereka mencoba memelas dengan memperlihatkan ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, kebaktian dan ketakwaan kepadanya supaya hari kematiannya diperpanjang lagi.
Di antara pedagang itu, ternyata ada seorang laki-laki yang bukannya sibuk mencari jalan keluar dalam mengatasi musibah tersebut, melainkan hanya duduk dengan tenangnya di atas geladak kapal. Tidak ada rasa taku atau cemas sedikit pun di wajahnya, seolah-olah kejadian itu sama sekali tidak tampak olehmatanya, jerit-jerit kekhawatiran itu tidak terdengar oleh telinganya, suasana yang menegangkan itu tidak mencekam batinnya, dan bahaya yang mengerikan itu tidak disadarinya.
Melihat pemandangan yang aneh tersebut, semua teman seperjalanannya merasa sangat heran. Mereka kemudian berbondong-bondong mendatanginya untuk menanyakan mengapa ia bersikap demikian.
Sebelum menjelaskan alasannya, laki-laki bijak itu mengungkapkan betapa sia-sianya semua upaya yang ditempuh oleh teman-temannya dalam mengatasi masalah tersebut. Kehidupan umat manusia, juga makhluk-makhluk lainnya, sesungguhnya tidaklah bergulir mengikuti guratan nasib atau takdir yang telah ditentukan sebelumnya.
Dunia ini bukanlah sebuah panggung sandiwara dimana umat manusia dipaksa memerankan adegan-adegan sebagaimana yang digubah sebelumnya. Setiap makhluk mempunyai hak dan kepercayaan yang kesahihannya tidak pernah terbuktikan.
Fenomena-fenomena alam terjadi dan berubah hanya oleh sebab-sebab yang alamiah atau ilmiah, sama sekali tidak terpengaruh oleh kepercayaan yang seharusnya sudah punah sejak kebangkitan peradaban manusia. Demikian pula dengan jimat, 'hu' pusaka dan benda-benda keramat lainnya. Yang dapat menjadi pelindung sejati bagi diri seseorang bukanlah sesuatu yang berasa di luar dirinya, apalagi hanya sekedar benda mati yang tak berjiwa semacam itu.
Pada jaman dimana segala kekuatan alam sudah dapat dijelaskan serta dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan, seseorang tidaklah semestinya takut lagi pada dewa-dewa 'tertentu' yang keberadaannya tidak pasti. Sungguh memprihatinkan apabila seseorang termakan oleh promosi tentang tokoh-tokoh fiktif yang digambarkan sebagai penyelamat agung yang senantiasa menolong umat manusia. Setiap orang sesungguhnya dapat menjadi juru selamat bagi diri sendiri.
Karena itu, seseorang hendaknya bersandar pada diri sendiri, bukan kepada makhluk kudus lain betapa pun luhur kedudukannya. Hukum Alam tidaklah pernah pandan gbulu atau berpihak pada siapa pun, dan tidaklah dapat disuap atau dibujuk dengan doa-doa permohonan.
Karena itu, tidaklah perlu berdoa pada suatu makhluk yang bersikap sewenang-wenang, yang eksistensinya sangat meragukan. Manusia bukanlah makhluk rendah yang harus mengemis-ngemis keselamatan apalagi hanya sekedar 'makanan' dan 'rejeki'.
Selanjutnya laki-laki bijak itu menjelaskan mengapa ia sama sekali tidak kelihatan takut, cemas atau khawatir atas bahaya yang mengancam dirinya. Ia hanya duduk dengan tenang karena sudah menyadari serta mempertimbangkan bahwa tidak ada jalan keluar yang wajar dari bahaya tersebut.
Kematian sesungguhnya bukan suatu hal yang menakutkan. Kematian tidak lebih hanyalah padamnya lima kelompok kehidupan. Cepat atau lambat, hal ini pasti menimpa setiap orang. Bagaikan batu karang besar yang puncaknya menjulang ke angkasa, niscaya berubah dan hancur; demikian pula perubahan, kelapukan dan kematian menguasai semua makhluk, tak terkecuali - apakah dia seorang bangsawan, agamawan, pedagang, pekerja atau orang hina-dina. Tidak ada satu makhluk hidup pun yang dapat terhindar dari kematian. Dimana ada kelahiran disitu pula ada kematian. Ini adalah suatu Hukum Alam yang tidak dapat dielakkan.
Bila kita renungkan secara mendalam, seseorang yang dipandang secara duniawi sebagai makhluk yang hidup sebenarnya setiap saat mengalami kematian dan kelahiran kembali yang berulang-ulang. Tidak ada satu bagian pun dair lima kelompok kehidupan yang dapat bertahan terus, kekal.
Rupa atauu badan jasmaniah mulai dari yang tertampak dengan jelas sampai dengan sel-sel yang sangat kecil sekalipun senantiasa mengalami perubahan atau kerusakan. Begitu pula dengan perasaan, ingatan, corak batin dan kesadaran. Semua yang berkondisi tidak kekal.
Apabila mempunya pengertian semacam itu, dan yakin atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya - yang menjadi salah satu kondisi penentu bagi kehidupan selanjutnya, maka seseorang tidak akan merasa takut, cemas atau khawatir atas kematian yang bakal menimpa dirinya.
Kematian dapat diterima dalam kewajaran. Dengan mengisi kehidupan dengan perbuatan-perbuatan baik melalui pikiran, ucapan dan tindakan - seseorang dapat mengharapkan kehidupan mendatang yang baik dan menetukan kehidupan mendatang. Apabila seseorang tercekam rasa ketakutan yang tak beralasan (perwujudan dari 'dosa'), melekat pada kehidupan, dunia, harta benda, kemasyuran, kedudukan, kehidupan mendatang bagi dirinya dapatlah dipastikan yaitu suatu kehidupan, yaitu kehidupan yang suram, penuh penderitaan.
Sebaliknya dengan menjaga keadaan batin agar tetap tenang serta mengembangkan pengertian benar; maka kehidupan mendatang yang cerah dan menyenangkan adalah suatu harapan yang nyata bagi dirinya. Salah satu dari sekian banyak cara untuk menenangkan batin ialah dengan merenungkan jasa kebajikan yang pernah diperbuat semasa hidupnya.
Diceritakan oleh laki-laki bijak itu bahwa menjelang keberangkatannya menuju samudra, ia telah mempersembahkan dana kepada Sangha, menyatakan pernaungan pada Sang Tiratana, berpantang dari pembunuhan, pencurian, perzinahan. pendusataan dan pemabukan. Jasa kebajikan inilah yang menjadi pokok perenungan bagi dirinya di saat-saat yang kritis. Dalam Agama Buddha, perenungan - perenungan ini disebut Caganussati dan Sila nussati yang merupakan dua di antara 10 macam perenungan (Annusati 10).
Mendengar penjelasan laki-laki bijak itu, hilanglah perasaan takut yang sebelum ini sangat mencekam para pedagang yang sedang mengalami musibah tersebut. Kini sadarlah mereka atas hakikat kehidupan di dunia ini. Timbullah keyakinan yang benar terhadap Sang Tiratana ; Buddha, Dhamma dan Sangha, di hadapan laki-laki bijak itu mereka semua menyatakan kebulatan tekadnya untuk menjalani Pancasila.
Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pembunuhan, air samudra menggenang hingga sebatas lutut. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pencurian, air samudra menggenang sebatas pinggang. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap perzinahan, air samudra menggenang sebatas dada. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pendustaan, air samudra menggenang hingga sebatas leher. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap mabuk-mabukan, air semudra menggenang sebatas mulut.
Begitu kelima sila selesai diucapkan semuanya, laki-laki bijak itu memberikan nasihat singkat : "Tidak ada pelindung selain diri sendiri. Tidak ada penyelamat lain selain diri sendiri. Bagaimanapun kehidupan mendatang, semua itu tergantung dari diri Anda sendiri, bukan orang lian, dewa, malaikat maupun makhluk adikodrati.
"Anda sekalian hendaknya merenungkan sila yang telah Anda tekadkan untuk dijalankan dengan kesungguhan hati. Pelaksanaan Dhamma yang telah Anda lakukan, inilah yang menjadi pelindung Anda yang sejati."
Para pedagang itu menuruti serta melaksanakan nasihat laki-laki bijak itu. Mereka akhirnya sanggup menyambut kematian dengan penuh ketenangan dan kemantapan diri, seolah-olah menyambut seorang tamu. Begitu kesadaran ajal (cuti-citta) mereka padam, mereka semua terlahir kembali di Alam Surga Tavatimsa. Mereka menikmati kebahagiaan surgawi di alam sana dalam waktu yang lama berkat tekadnya yang kuat dalam menjalankan Pancasila.
Dari kisah di atas, tampaklah dengan jelas betapa besar peranan seorang bijak dalam mengarahkan orang-orang lain pada jalur yang tepat. Dengan modal teladan pribadinya yang nyata dan kearifannya., orang bijak sanggup mengikis habis kesesatan batin yang bercokol pada orang-orang lain dan sebaliknya memupuk keyakinan surgawi, hanyalah sebagian kecil dari banyak manfaat yang dapat diraih dengan menjalin pergaulan dengan orang bijak. Singkat kata,"Bergaul dengan orang bijak" adalah suatu Berkah Utama.
Sementara orang mungkin berpendapat bahwa orang bijak tersebut dapatlah dianggap 'gagal' menolong serta menyelamatkan teman-teman seperjalanannya karena mereka semua akhirnya mati terbenam dalam samudra. Sesungguhnya, makna 'keselamatan' dalam pandangan Agama Buddha memang sangatlah berbeda jauh dengan konsep yang dianut oleh beberapa kepercayaan dan agama lain. Orang bijak bukanlah seorang Buddha Abadi, bodhisattva ideal ataupun juru selamat yang menghidupkan orang mati, menyembuhkan sakit, atau menyelamatkan dari segala bencana malapetaka bagi mereka yang percaya atau melafalkan namanya.
Bagi orang bijak, semua itu sesungguhnya hanyalah suatu keselamatan yang semu ~ walaupun seandainya merupakan suatu kenyataan bukan semata-mata dongeng belaka. Apalah artinya suatu kehidupan, kesembuhan atau keselamatan, apabila seseorang tidak tahu akan kesunyataan mulia (ariya-sacca). Orang bijak tidak ingin menjadi seorang penghibur yang berusaha mengelabuinya, menutupi atau menjauhkan orang-orang lain dari hakikat hidup. Tetapi, sebaliknya dengan berbagai cara orang bijak senantiasa berusaha agar mereka dapat menyadari, menatap serta menerima hakikat hidup dengan pengertian benar. Inilah sesungguhnya keselamatan yang sejati.
Pergaulan dengan orang bijak adalah suatu faktor penunjang bagi timbulnya kebajikan, pengetahuan, pandangan benar, kearifan dan kebijaksanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar