Pages - Menu

Pages

Jumat, 03 Februari 2012

Avalokiteswara I

1. Asal Usul Avalokitesvara

Makna ‘Avalokitesvara’

Avalokitesvara adalah Bodhisattva Buddhis yang paling masyhur. Namanya dikenal luas mulai dari Sri Lanka di selatan sampai ke Danau Baikal di utara, dari Jepang di timur sampai Kaukasus di barat. Kemasyhurannya juga cepat tersebar di dunia modern kita —terutama di Eropa dan Amerika Utara.
Memang, dialah contoh adaptasi simbolis Buddhis yang terbaik, yaitu sebagai respon umat Buddha terhadap tantangan religius dan jaman. Ini diperkuat oleh banyaknya bentuk jelmaan Avalokitesvara dalam dunia Buddhis (dan bahkan mempengaruhi agama lain, terutama Taoisme).

Para cendekiawan berbeda pendapat dalam mengartikan kata ‘Avalokitesvara’ yang bisa dianalisis setidaknya dalam dua cara, sebagai

(1) avalokita + isvara, dan
(2) avalokite + svara.

Bagian pertama kata tersebut berasal dari akar kata Sanskrit LOK (melihat) [Inggris ‘look’], dengan awalan ava (bawah, turun, jauh) —yang bisa berarti ‘melihat ke bawah (dari atas)’ dalam makna mengamati dunia.

Beberapa kamus yang relevan memberikan arti avalokita sebagai berikut:

• M. Monier-William, Sanskrit-English Dictionary: ‘melihat, memandang, mengamati’;

• F. Edgerton, Buddhist-Hybrid Sanskrit Dictionary: ‘tindakan melihat; penglihatan, tatapan’;

• R. C. Childers, Dictionary of Pali Language (makna kata oloketi): ‘penglihatan, pandangan’;

• Critical Pali Dictionary (makna kata apalokita (1)): ‘melihat, memandang (dengan menoleh)’; makna kata apaloketi, mendefinisikan avalokayati (mengutip Saddaniti) sebagai ‘(1) melihat ke depan, melihat ke belakang; (2) menjaga (dengan kelembutan hati, atau rasa hormat);

• PTS Pali-English Dictionary (makna kata apalokita (3)) memberinya julukan Nirvana, S 4:370.

Apabila bagian kedua kata tersebut diartikan sebagai isvara (‘Raja’), maka kata avalokita dan isvara berarti ‘Sang Raja yang mengamati’. Inilah makna yang lebih dikenal oleh para cendekiawan Barat. [Lihat Ency Bsm, sv ‘Avalokiteÿvara’ untuk keterangan lebih lanjut.]

Guanyin

Orang Cina menerjemahkan kata Avalokitesvara setidaknya dalam dua cara: figural dan literal (harfiah). Istilah Cina populer untuk Avalokitesvara adalah terjemahan harfiah Guanzizai (Sang Raja yang menjawab) yang sepadan dengan nama Sanskritnya.

Julukan Cina lengkapnya adalah Daci dabei jiuku guanshiyin cizhang wang pusa (Sang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Penyelamat yang Terlahir Sendiri, Sang Bodhisattva yang Menjawab Jerit Tangis Dunia).

Namun, istilah Cina yang paling awal dan paling umum adalah bentuk figuratif Guanshiyin yang biasanya disingkat jadi Guanyin.

Guan berarti ‘memandang’ (dalam arti menjawab panggilan), dan yin berarti ‘suara’ ( svara; yaitu, suara pendoa dan jeritan minta tolong).

Istilah Guanyin biasanya lalu diterjemahkan jadi ‘Dia yang menjawab jerit tangis (dunia)’ (kata dalam kurung adalah terjemahan dari shi, ‘dunia’).

Salah satu kemungkinan penjelasan terbentuknya makna figural kedua ini adalah metatesis (perubahan suku kata) dalam kata avaloketi (CPD: ‘melihat, memandang’) menjadi avalokite. Contoh metatesis lain adalah: na + agata (‘tidak datang’) > anägata (‘masa depan’); rasmi (‘berkas sinar’) >ramsì. Yang jadi masalah di sini adalah bahwa avaloketi tidak ditemukan dalam Buddhist Hybrid Sanskrit yang memakai bentuk avalokayati.

Samantamukha

Istilah Guanshiyin disukai oleh Kumärajìva yang memakainya di seluruh terjemahannya pada abad ke-5 tentang Saddharmapundarìka Sütra, terutama di bagian Samantamukha Parivarta yang merupakan sumber julukan Avalokitesvara lainnya. Di sini, samantamukha biasanya diterjemahkan sebagai ‘pintu semesta’ (Cina pumen; mukha secara harfiah berarti ‘mulut’ atau ‘muka’). Julukan ini melambangkan kesadaran dan jawaban Avalokitesvara yang tak tergoyahkan terhadap penderitaan dunia.

Ada kebiasaan umat Buddha Cina untuk mendirikan patung Guanyin raksasa di tanah tinggi, terutama di perbukitan (contohnya Bukit Bendera di Pulau Pinang, Malaysia). Para cendekiawan menduga bahwa kebiasaan ini adalah pengaruh dari pemujaan terhadap dewa bukit. Tetapi tidak ada bukti meyakinkan tentang hal ini. Lagi pula, dalam filosofi Cina kuno, gunung (dianggap sebagai ‘naga’) adalah tempat keramat —tempat yang amat baik untuk mendirikan patung suci. Kebiasaan ini juga merupakan cerminan makna Avalokita yang berarti ‘melihat ke bawah (dari ketinggian)’ dalam artian pengamatan penuh kasih sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar