Kemasyhuran Avalokitesvara2. Perkembangan Doktrin Avalokitesvara
Orang Jepang memungut nama Cina Avalokitesvara (Guanyin) dan mengubahnya jadi ‘Kannon’ atau ‘Kwannon’ (yang pertama lebih disukai). Orang Tibet menyebutnya ‘Spyan-ras-gzigs’ (Chenrezig, ‘dengan pandangan mengasihi’). Nama Mongolianya adalah ‘Niduber ujegci’ (‘dia yang melihat dengan mata’). Di Sri Lanka (di mana dia sering disalahartikan sebagai Maitreya, Sang Buddha masa depan), dia dikenal sebagai ‘Nätha’ (‘Raja’ atau ‘Perlindungan’) atau ‘Näthadeva’, mungkin singkatan dari julukan lengkapnya Lokesvaranatha (‘Sang Raja yang melindungi dunia’).
Dinegara Theraväda Asia Tenggara (terutama Muangthai dan Kamboja), dia dikenal sebagai Lokesvara (‘Raja dunia’). Avalokitesvara pada kenyataannya menjadi satu-satunya Bodhisattva Mahäyäna yang diterima oleh umat Buddha Theraväda, atau kebanyakan dari mereka (bahkan di Burma).
Salah satu alasannya adalah bahwa dia merupakan penjelmaan dari karunä Sang Buddha.
Dalam Mahäyäna awal, kebijaksanaan ( prajñä) dan kasih sayang ( karunä) membentuk dua ‘sayap’ pencerahan Sang Buddha: Penyadaran dan Ajaran-Nya tentang Dharma adalah aspek ‘kebijaksanaan’ sementara hidup dan tindakan-Nya adalah aspek ‘karunä’.
Mula-mula, aspek kebijaksanaan dianggap lebih penting daripada karunä. Pendekatan ini mencapai puncaknya dalam naskah Prajnaparamita (Kebijaksanaan Sempurna) (antara 100 SM sampai 150 M). Kemudian, gagasan ini dijelmakan dan diubah menjadi Bodhisattva (misalnya Prajnaparamita dan Manjusri). Manjusri pada kenyataannya diperlakukan sebagai Bodhisattva yang terpenting.
Adaptasi Simbolis
Seiring dengan berlalunya waktu, karunä ditekankan dan Avalokitesvara sebagai perwujudannya menjadi jalan tertinggi dalam mencapai pembebasan spiritual. Selama kurun waktu inilah Avalokitesvara melewati proses ‘adaptasi simbolis’ dengan mengasimilasi sifat dewa brahmanis sambil tetap mempertahankan sifat Buddhis hakiki —dengan demikian menetralkan pengaruh Hinduisme pada Buddhadharma. (Sebenarnya, Hindu juga melakukan hal yang sama; dan akhirnya, mereka berhasil menyerap Buddhadharma dalam agama mereka —sampai Buddhadharma yang sekarang ini bangkit kembali di India, begitulah.) Suatu kenyataan bahwa Avalokitesvara tidak disinggung dalam naskah yang lebih awal. Ini membuktikan bahwa dia dipahami oleh umat Buddha sebagai usaha untuk menghadapi cobaan dan godaan yang semakin besar. Belakangan, doktrin Avalokitesvara berkembang menjadi Adaptasi Simbolis yang membuat banyak orang berpaling pada Buddhadharma.
Kitab Suci
Bagaimana bisa mayoritas umat Buddha dewasa ini dan selama dua ribu tahun terakhir begitu mudahnya menerima Avalokitesvara? Mengapa Avalokitesvara muncul jadi tokoh nomor satu? Faktor berikut memberikan beberapa jawaban penting bagi kedua pertanyaan tersebut:
1. Kitab Suci. Doktrin bahwa Avalokitesvara adalah jelmaan karunä Sang Buddha didasarkan pada Kitab Suci Buddhis (termasuk Kanon Päli). Dikatakan bahwa Sang Buddha, bangkit di pagi hari dari pencapaian karunä agung, mengamati dunia ( mahäkarunä samäpattito vutthäya lokam volokento, D 2:37, DhA 1:21 2:367, P 1:126).
2. Sifat Sang Buddha. Dalam Mahä-parinibbäna Sutta, Sang Buddha berkata bahwa Beliau muncul dalam delapan kumpulan (orang mulia, brähmana, perumah tangga, pertapa, Empat Raja Dewata (Cätummahäräjikädevä), Tiga Puluh Tiga Dewa (Tävatimsa), Mara, dan Brahma) melihat dan berbicara seperti mereka untuk mengajar Dharma, mendorong, memperbaiki, dan menggembirakan mereka tanpa dikenali sama sekali oleh mereka (D 2:109). Avalokitesvara menunjukkan sifat-sifat yang sama.
3. Pengendalian Sang Buddha terhadap waktu. Sedikitnya dalam dua peristiwa Sang Buddha menunjukkan pengendalian-Nya terhadap waktu. Contoh pertama adalah ketika Sang Buddha menimbulkan gambaran bidadari cantik luar biasa dalam pikiran Khemä, sang ratu Bimbi-sära, dan membiarkannya ‘melihat’ bidadari itu melewati masa muda, dewasa, usia tua, dan mati dalam waktu singkat (DhA 4:168 f). Contoh kedua ditemukan dalam Mahäparinibbäna Sutta, di mana Sang Buddha mengisyaratkan kemampuan-Nya, hasil pencapaian-Nya akan Jalan Pencapaian beruas empat (iddhipäda), untuk hidup selama satu kalpa (bisa berarti masa hidup normal manusia atau satu masa dunia) kepada Ànanda (D 2:103 117).
4 . Sifat adiduniawi Sang Buddha Buddha. ‘Karena seorang Tathägata, tidak bisa dipahami walaupun sedang muncul di dunia ini, tidak layak mengatakannya ... bahwa setelah wafat Tathägata itu ada, tidak ada, ada dan tidak ada, atau bukan ada dan tidak ada’ (S 3:118; cf M 1:488).
Kepada Dona sang brähmana yang melihat jejak kaki-Nya, Sang Buddha, dalam menjawab pertanyaannya, menyatakan bahwa keberadaan-Nya tidak bisa digolongkan ke dalam makhluk apa pun (dewa, makhluk kedewaan, yaksha, atau manusia) tetapi istilah ‘Buddha’-lah paling sesuai bagi- Nya (A 2:38). Kekuatan Sang Buddha itu di luar pemahaman pikiran yang belum cerah. Avalokitesvara, sebagai kekuatan spiritual positif bagi umat Buddha yang tak terhitung banyaknya selama berabad-abad, adalah aspek Pikiran Tertinggi yang tidak bisa dicabut.
5 . Pemanusiaan Sang Buddha. Terlalu memanusiakan dan tidak melegendakan Sang Buddha membuat-Nya terlihat seperti guru Dharma yang tak berdaya. ‘Dia wafat di Nirvana. Dia tidak bisa menolongmu; Anda harus menolong diri sendiri!’ Ini adalah obat yang tepat di waktu yang salah. Sebagai akibatnya, umat awam yang putus asa (khususnya Theraväda) mulai berpaling ke dewa Hindu (Sri Lanka), pemujaan nat (Burma), dewa bumi (Muangthai), dan ‘Buddha Bermuka Empat’ (Malaysia dan Singapura). Yang terakhir adalah pembaruan yang dikenalkan oleh bhikkhu Muangthai yang ternyata jadi sangat terkenal dengan pemujaan materialistisnya.
“Tengah “ dari Jalan Tengah
Avalokitesvara tidak boleh disalahartikan sebagai dewa ‘Hindu’ yang ditemukan oleh bhikþu yang putus asa agar bisa menyelamatkan agamanya yang sedang sekarat. Dia mewakili jawaban bagi kebutuhan yang menekan dan pengalaman hidup bagi orang kebanyakan yang melihat Buddhadharma lebih dari sekadar kitab suci dan pengetahuan, atau lebih buruk daripada itu, sebagai komersialisasi religius dan apati spiritual.
Sementara Theraväda cenderung terlalu menekankan aspek manusiawi Sang Buddha, Mahäyäna condong untuk mendewakan-Nya. Namun, dalam doktrin Avalokitesvara, yang diterima oleh kedua aliran (setidaknya dalam prinsip,sebagai perwujudan karunä), kedua aspek itu —manusia dan dewata— melebur bersama dalam sebuah keseimbangan spiritual. Avalokitesvara tidak hanya ‘menjawab’ pendoa tetapi juga menampakkan diri, dalam legenda rakyat populer dalam bentuk manusia (memperlihatkan bahwa orang daerah sudah menerimanya ke dalam kebudayaan mereka —ini dikenal sebagai ‘penggalian’).
Di sini kita bisa benar-benar berkata bahwa Buddhadharma adalah sebuah agama rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Avalokitesvara memberikan jalur ‘komunikasi’ khusus dengan Buddha terutama bila dibutuhkan keyakinan dalam hidup sehari-hari. Pemujaan Avalokitesvara menghilangkan perlunya pendeta dan vihärawan. Pendekatan ini penting bagi kebangkitan kembali Buddhad-harma di mana banyak bhikþu menjadi pendeta dan perantara lewat dispensasi ‘berkah’ dan hak istimewa.
Orang-orang yang percaya hanya perlu memohon langsung kepada Sang Avalokitesvara dalam salah satu bentuknya yang tak terhingga banyaknya. Seseorang hanya perlu mengutarakan kesulitannya dan laksana seorang Penasihat Agung, Sang Avalokitesvara selalu siap mendengarkan dengan penuh perhatian. Jika ada yang berpikir bahwa hal ini bernada ketuhanan, dia harus ingat bahwa meditasi Avalokitesvara juga muncul dalam bentuk metoda visualisasi dengan realisasi ketanpa-akuan yang menghasilkan pandangan terang ( vipassanä) sebagai tujuannya.
Sejarah
Walaupun tidak diketahui secara pasti kapan dimulainya pemujaan terhadap Avalokitesvara, diyakini hal itu terjadi di abad ke-2 SM saat doktrin tersebut mulai berkembang untuk membendung pengaruh pemujaan dewa brahmanis dan kebangkitan kembali agama Hindu. Walaupun nama Avalokitesvara tidak ditemukan dalam naskah-naskah awal, ada dua khotbah berjudul Avalokita (nama lain bagi Avalokitesvara) dalam Mahävastu (Mvst 2:278 ff).
Terlepas dari para terpelajar yang menganggap kedua khotbah Avalokita tersebut sebagai tambahan [Ency Bsm, Avalokana Sütra), permulaan konsep Avalokitesvara memang ditemukan dalam Mahävastu (abad ke-2 SM - abad ke-4 M) di mana kehidupan, kepribadian, dan perbuatan Sang Buddha (berkaitan dengan sabda dan ajaran-Nya) ditampilkan secara lebih jelas. Kita mulai melihat Sang Buddha sebagai perwujudan Karunä Agung.
Karya Mahäyäna awal lainnya, Divyavadana (150-50 SM) menyinggung ‘mantra enam suku kata’ ( sadaksari vidyä,Divy 613) yang kemungkinan mengacu pada ‘om mani padme hum’, mantra Avalokitesvara. Dia tidak disinggung langsung dalam Lalitavistära, sebuah karya Sarvästiväda (diterjemahkan dalam bahasa Cina pada tahun 308), tetapi dalam bab pendahuluan tercantum nama ‘Mahäkarunäcandin’ (Sang Bulan Karunä Agung) yang mungkin mengacu padanya.[Lihat C. Eliot, Hinduism and Buddhism, 2:13ff.]
Naskah Mahäyäna belakangan seperti Saddharmapundarìka, Sukhävati Vyuha dan Amit’äyurdhyäna Sütra, memberikan status yang lebih tinggi kepada Avalokitesvara daripada kebanyakan Bodhisattva lainnya.
Keseluruhan Bab 24 Saddharmapundarìka Sütra (Samantamukha Parivarta, bab ‘Pintu Semesta’) berisi cerminan kesemestaan karunä Avalokitesvara.
Amit’äyurdhyäna (atau Aparimi’äyus) Sütra (diterjemahkan pertama kali dalam bahasa Cina pada abad ke-2 M) menyinggung Avalokitesvara sebagai ‘putra Buddha’ (Bab 31, 34) bersama dengan Mahästhamapräpta, keduanya memancarkan cahaya yang meliputi Sukhävati. Dalam Amit’äyurdhyäna Sütra, mereka dinyatakan, bersama dengan Buddha Amit’äyus, sebagai penguasa Sukhävati.
Cina
Avalokitesvara dikenal luas oleh orang Cina sebagai Guanyin. Pemujaan terhadapnya tampaknya diperkenalkan ke Cina di akhir abad pertama M. Di sekitar abad ke-6, dia dipuja di seluruh negeri. Perwujudan Avalokitesvara sebelum dinasti Sung (960-1126) jelas-jelas berbentuk maskulin. Tetapi setelah perioda itu Sang Bodhisattva selalu dipuja dengan bentuk feminin (walaupun bukan wanita). Perubahan itu tidak begitu bersifat seksual tetapi cuma simbolis: bagi orang Cina, feminin melambangkan yin (homonim dari nama Cinanya).
Dengan kata lain, perwujudan kasih sayangnya dianggap oleh mereka sebagai bentuk feminin (keibuan). Orang yang tidak terbiasa dengan hagiologi Buddhis seringkali dibingungkan oleh masalah jenis kelamin Guanyin yang sering diwujudkan berjubah putih dengan rambut panjang tergelung tinggi dan bermahkota. Bentuk gambaran itu jelas-jelas feminin kecuali bahwa dia memiliki dada maskulin!
Inilah sejauh hal pemanusiaan Guanyin —kita tidak boleh lupa bahwa dia adalah perwujudan karunä, yang melampaui jenis kelamin! Ada orang yang agar sejalan dengan filosofi keseimbangan yin-yang, menganggap bahwa Guanyin itu androginus, yang di sini harus dilihat sebagai makna spiritual (seperti dalam sifat makhluk kedewaan yang lebih tinggi).
Di antara umat Buddha yang berbahasa Inggris, Guanyin sering dikenal sebagai ‘Goddess of Mercy’. Kerancuan ini mungkin diserap lewat pengaruh agama Katolik (yang memuja Perawan Maria). Guanyin bukanlah seorang dewi, dia adalah Bodhisattva yang, menurut hagiologi Buddhis, mempunyai tingkatan yang jauh lebih tinggi daripada dewa-dewi mana pun. Istilah ‘Mercy’ menganggap bahwa Guanyin ‘memaafkan’ kesalahan para pemujanya —padahal tidak begitu halnya. Kata yang tepat di sini adalah ‘karunä’, yaitu, Guanyin dipenuhi oleh hati Maha Penyayang ( daci) yang mengubahnya menjadi Maha Pengasih ( dabei) di mana cinta kasih adalah tindakannya.
Jepang
Pemujaan Avalokitesvara mungkin dikenalkan ke Jepang dari Korea segera sesudah Buddhadharma pertama kali muncul di negara itu. Secara umum hal ini diyakini terjadi di masa kekuasaan kaisar wanita Suiko (593-628). Yang lain menyatakan bahwa pemujaannya dikenalkan 150 tahun setelah Buddhadharma datang ke Jepang.
Arca Kannon yang paling kuno berada di Horyuji di Nara yang berasal dari pertengahan abad ke-7 M. ‘Kannon’ adalah lafal Jepang buat ‘Guanyin’ yang juga dianggap berbentuk feminin. Dia banyak dipuja di negara ini kecuali oleh sekte Shinshu.
Tibet
Di Tibet, Avalokitesvara dikenal sebagai Cherenzig dan merupakan Bodhisattva paling utama di sana karena dia dianggap sebagai penjaga tertinggi Tibet dan Buddhadharma sampai munculnya Maitreya. Pemujaannya di sana mungkin diperkenalkan sebelum abad ke-7, di saat itu raja Srong-tsansgampo (c 608-650) dinyatakan sebagai inkarnasinya.
Keyakinan terhadap lama inkarnasi mulai berkembang di abad ke-14 saat Dalai Lama pertama, Dge-’dun-grub-pa (1391- 1475), pendiri dan ketua Tashi-lhunpo (Tibet pusat), dilantik. Dia dan penerusnya dianggap sebagai inkarnasi Avalokitesvara.
Mani-bkha-hbum, karya sejarah yang di-hubungkan dengan Srong-tsan-sgam-po, menyatakan bahwa Padmapänì (Avalokitesvara) muncul dari berkas putih cahaya yang berasal dari mata kanan Amitäbha setelah meditasi-Nya yang mendalam. Kemudian Amitäbha memberkatinya dan beliau mengucapkan Mantra Enam Suku Kata: ‘Om mani padme hum’.
Sri Lanka
Ada bukti bahwa Avalokitesvara dipuja di Sri Lanka pada abad ke-9 atau ke-10. Dia dikenal oleh orang Sinhala sebagai Nätha yang merupakan singkatan dari gelar lengkapnya Lokesvara Nätha. Sewaktu pemujaan Nätha mencapai puncaknya di abad ke-15, bhikkhu penyair terpelajar yang masyhur Totagamuve Sri Rahula merupakan salah seorang pemuja setianya. Dusun Totagamuve yang dekat dengan Hikkaduwa di Kabupaten Galle selatan Lanka tampaknya adalah pusat pemujaan Nätha.
Nätha bahkan dipuja oleh orang Sinhala sampai saat ini. Cetiya khususnya, Nätha Devale, terletak di sebelah barat Cetiya Gigi di Kandy. Juga ada bukti yang menunjukkan bahwa upacara kerajaan penting, seperti memilih nama raja dan penganugerahan pedang kerajaan, mengambil tempat di cetiya ini.
Penemuan Nätha dalam bentuk Sinhala-dvìpe Àrogya-sälä Lokanätha (Sang Lokanätha Penyembuh dari Lanka) menunjukkan bahwa dia juga dipuja karena kekuatan penyembuhannya. Paranavitana, dalam artikelnya di Ceylon Journal of Science [Bagian G, vol 2, hal 52] menyinggung sebuah panduan ikonometri (ilmu pengukuran arca) yang memberikan delapan bentuk Nätha. Bentuk femininnya, Tärä, juga dikenal di Lanka.
Asia Tenggara
Avalokitesvara selalu dikenal di Asia Tenggara sebagai Lokesvara. Dia dipuja secara meluas selama abad ke-9 dan ke-10. Arcanya sering terlihat di Bantay Chmar dan Angkor Thom, dan di Nak Pan. Di Champa, dia dilambangkan dengan satu kepala dan jarang lebih dari delapan lengan. Akan tetapi, di Khmer dia digambarkan mem-punyai enam belas kepala dan lengan yang memegang berbagai simbol Tantra dan simbol lainnya.
Di Champa dan Khmer, Lokesvara biasanya digambarkan berdiri telanjang dada dalam posisi contrapposto [dengan pinggul, bahu, dan kepalanya menghadap arah yang berbeda] dengan dhoti pendek melingkar ketat di pinggang dan diperkokoh oleh ikat pinggang berhias. Dia memakai mustika di lehernya, telinga, lengan, dan pergelangan kaki. Rambutnya dijalin tinggi dengan mukuta (penutup kepala) dan terdapat sebuah mahkota di atasnya. Di atas mahkotanya,tergambar Buddha Amitäbha dari mana dia berasal. Dia kadangkala digambarkan memiliki mata ketiga, tetapi ini jarang terlihat di Tibet atau Nepal, dan tak pernah di Asia Timur.
Lokesvara sangat terkenal di Thailand, terutama selama abad ke-8 dan ke-9 (perioda Írivijaya). Dia digambarkan memiliki dua, empat, atau enam lengan dan terlihat sangat mirip dengan Loksva-ranya Khmer. Di dalam dua tangan kanannya, dia memegang tasbih dan teratai. Beberapa arca besar ditemukan di Chaiya, Thailand selatan. Kenyatannya,kebanyakan barang kuno yang ditemukan adalah arca Bodhisattva (terutama Avalokitesvara) daripada arca Buddha. Arca Avalokiteÿvara selalu ditampilkan dalam bentuk pertapa muda atau pangeran muda. [J. Boisselier, The Heritage of Thai Sculpture, Weatherhill, 1975: ch 5.]
Indonesia
Tantra ditemukan di Palembang di Sumatra selama abad ke-7. Prasasti yang berisi doa kepada Mañjusri dan Avalokitesvara ditemukan di sana. Beberapa arca Avalokitesvara yang berasal dari abad ke-8 dan ke-11 juga ditemukan di Palembang.
Di tahun 775, maharaja Srivijaya mendirikan sebuah candi sebagai penghormatan kepada Sang Buddha dan Bodhisattva Avalokitesvara dalam bentuk Padmapänì dan Vajrapänì. Di awal abad ke-11, Srivijaya-Palembang adalah pusat Mahäyäna cukup penting yang dikenal di Nepal dan Tibet.
Malaysia
Tidak banyak penelitian yang telah dilakukan terhadap kemunculan dan pengaruh Buddhadharma di Malaysia. Tetapi banyak benda antik Buddhis dalam bentuk prasasti, arca, dan reruntuhan candi yang sudah ditemukan di sana. Patung perunggu Buddhis dari abad ke-5 dan ke-6 digali dari dalam tambang timah di tempat-tempat berikut ini:
• Pengkalan, Dusun Kinta dekat Ipoh (Perak);
• Tanjung Rambutan, Dusun Kinta (Perak);
• Bidor, Kabupaten Batang Padang (Perak); dan
• Sungai Siput, Dusun Kinta (Perak).
[Untuk ringkasan, lihat H. G. Quaritch Wales, Archaelogical Researches on Ancient Colonization in Malaya, JMBRAS, 1940, vol 18, pt 1, hal 50-52.]
Lembaran tanah liat untuk keperluan nazar, bergambar Avalokitesvara, telah ditemukan di Perlis. Setidaknya beberapa lembaran ini buatan lokal. Salah satunya berasal dari abad ke-12. (A. Lamb, ‘Mahäyäna Buddhist Votive Tablets in Perlis’, JMBRAS 37,2 1964:47-59). Reliks religius juga ditemukan di Dusun Bujang di Kedah. Di masa kini, terdapat penemuan arkeologis yang men-cerminkan keyakinan Tantra di Bongkisam di Sarawak (T. Harrisson & S. J. O’Connor, ‘Excavations of the Prehistoric Iron Industry in West Borneo’, Southeast Asia Data Paper, no 72, Cornell Univ, 2 1969:308).
Singapura
Raja kerajaan kuno Asia Tenggara (seperti kerajaan di Palembang, Singhasari, dan Írivijaya) dianggap sebagai dewa atau Bodhisattva atau dipuja sesuai dengan konsep Hindu- Buddhis tentang raja. Profesor C. G. Berg menganggap asal mula nama Singapura berkaitan dengan Bhairava (Tantra) dari kemaharajaan Majapahit. Akan tetapi, O. W. Walters, di samping menyetujui pengaruh Buddhis pada nama Singapura, lebih suka menghubungkan peristiwa ini dengan kerajaan Palembang (karena Singapura tidak dikenal dengan nama ini di Majapahit). [Lihat O. W. Walters, The Fall of Srivijaya in Malay History, OUP, 1970:133 & n 31.]
Singa (seperti yang kita lihat di Bab 5) mewakili simbol Buddhis yang bisa ditafsirkan sebagai lambang raja (misalnya kata Malaysia ‘singgasana’, yang berarti ‘takhta’ berasal dari istilah Sanskrit, sinh’äsana). Ada bentuk Avalokitesvara yang dikenal sebagai Sinhänada (‘Auman Singa’).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar