7. Perwujudan Avalokitesvara Lainnya
(1) Àrya Avalokitesvara (Sheng Guanyin; Jep.: Sho Kannon)
Istilah ‘ärya’ diterjemahkan jadi ‘mulia’ seperti dalam Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia Beruas Delapan yang berarti kebenaran atau ajaran universal yang bermanfaat bagi seluruh makhluk hidup. Gelar tersebut kemudian ditaruh di depan nama Avalokitesvara untuk membedakan bentuk aslinya dari perwujudan ini. Ini adalah bentuk non-Tantra yang mewujudkan sifat karunä Sang Buddha. Dia memiliki satu wajah dan dua lengan yang biasanya saling rangkap dalam sikap añjali. Dia digambarkan duduk atau berdiri di atas teratai. Kadang-kadang lengan kirinya diperlihatkan sedang memegang teratai dan yang kanan membentuk mudra memberi, atau yang kiri memegang jambangan ( kamandalu) dan yang kanan membentuk mudra abhaya (tanpa rasa takut).
(2) Cintämanicakra Avalokitesvara (Ruyilun Guanyin, Jep. Nyoirin Kannon).
Ini adalah salah satu perwujudan Avalokiteÿvara yang paling awal serta muncul dalam bentuk Tantra dan non-Tantra (seperti di Jepang), yaitu, berlengan dua dan berlengan banyak. Dia ditemukan tahun 605 di Jepang semasa kekaisaran Suiko. Akan tetapi, di Turkestan dan Cina hanya ditemukan bentuk yang non-Tantra saja. Dalam Guhyasamaja Tantra, dia muncul sebagai emanasi Buddha Ratnasambhava dari Panca Dhyani Buddha. Di sini dia memegang Permata Berkah ( cintämani). Mula-mula bentuk ini hanya punya dua lengan, tetapi yang selanjutnya punya dua belas. Permata melambangkan Pikiran Cerah; tetapi bagi orang awam, permata melambangkan berkah materi (yang bisa dipakai sebagai jalan menuju pencerahan).
Cintämanicakra di Asia Timur
Di Cina dan Jepang, Cintämanicakra sering dilukiskan duduk di tepi laut seperti Avalokitesvara ‘bulan dan air’ (Shuiyue Guanyin, Jep. Suigetsu Kannon)
. Dalam bentuk ini, biasanya dia memakai jubah berkepala tinggi, acap kali dengan mustika di dahi (kalau tidak dia tidak memakai hiasan apa pun). Dia biasanya telanjang dada dengan penutup badan yang tergantung longgar dari pinggang sampai mata kaki. Kadangkadang bahunya tertutup, dan kepalanya bersandar di tangan kanannya yang memegang sebuah teratai kuncup. Dalam bentuk Tantra Jepang, Nyoirin Kannon mempunyai enam lengan dan duduk dalam posisi santai para raja (lutut kanan diangkat, kaki kiri dalam posisi teratai). Kepalanya bersandar di atas tangan kanan utamanya dengan sikut terkadang bertumpu di atas lutut kanan. Lengan kiri utamanya membentuk mudra memberi. Lengan kanannya yang lebih rendah memegang Permata Berkah di depan dadanya, sementara yang kiri dalam mudra mengajar dan memegang teratai kuncup. Lengan kanan yang ketiga tergantung memegang tasbih sementara yang kiri terangkat menyeimbangkan sebuah roda di atas jari telunjuk (sesuai dengan namanya). Walaupun Tantra, bentuk ini berkarakter Jepang serta membangkitkan perasaan damai dan bahagia yang besar.
Padmacintämani Dhärani Sütra (Ruyilin Tuoluoni Jing) diterjemahkan ke dalam bahasa Cina oleh penerjemah berikut ini:
• Ratnacinta - antara 693 dan 706
• Siksänanda - antara 700 dan 704
• Bodhiruci - 709
• Yijing - 710
• Dänäpäla - dinasti Song utara (960-1126).
(3) Avalokiteÿvara Sebelas Wajah (Ekädaÿamukha Avalokitesvara, Shiyimian Guan-yin,Jep. Juichi-men Kannon)
Perwujudan ini pertama kali dibahas dalam Samantamukha Parivarta (Pumenpin, Bab Pintu Semesta) dari Saddharmapundarìka Sütra atau Sütra Teratai Putih, terjemahannya ke dalam bahasa Cina dilakukan pertama kali di tahun 255; tiga yang lain dilakukan di tahun 265 (Dharmaraksha), 286, dan 335. Tetapi hanya terjemahan Dharmaraksha (290 —sama seperti edisi tahun 265), Kumarajìvä (405-406), dan Jñänagupta dan Dharmagupta (601-602) saja yang masih bertahan. Samantamukha Parivarta terdiri atas 24 bab dalam naskah Sanskrit dan 25 bab dalam naskah Cina. Istilah samantamukha berarti ‘menghadap ke semua arah’ yang berarti memperlihatkan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup di semua penjuru.
Perwujudan sebelas wajah ini dibahas dalam Àryävalokitesvara Ekädaÿamukha Näma Dhäranì Sütra yang diterjemahkan antara tahun 564 dan 572 oleh Yasogupta dari dinasti Zhou utara dengan judul ‘Shiyimian guanshiin shen zhou jing’ (Nanjio 327; T 20:149) dan pada tahun 656 oleh Xuanzang dengan judul ‘Shiyimian shen zhou jing’ (Nanjio 328). Terjemahan Tibet, yang dilakukan oleh Silendrabodhi dan Ye-ses-de, muncul dua kali dalam bagian rGyud (Tantra) Kanjur dengan judul ‘(Hphags-pa) Spyan-ras-gzigs dbanphyung shal bcu-gcig-pa she-bya-bahi gzuns’ ( The Peking Tibetan Tripitaka, ed. D. T. Suzuki: 8:373; 2:524).
Lambang Tiga Tumpukan
Salah satu ciri perwujudan ini adalah enam tumpukan [melambangkan Enam Alam] —di atas wajah utama ada tiga wajah karuôä, diikuti oleh tiga wajah yang lebih menyeramkan, kemudian oleh tiga wajah bertaring, setelah itu satu wajah tertawa, dan akhirnya di puncak terdapat wajah Buddha (biasanya Amitäbha). Ketiga wajah karunä menatap makhluk yang saleh dan menolong mereka. Wajah menyeramkan menolong setan-setan yang membutuhkan
kesabaran dan kekuatan lebih. Wajah bertaring melambangkan perubahan sifat binatang dalam diri kita menjadi sifat spiritual tatkala kita memasuki kehidupan sebagai umat Buddha.
Tiga tingkat wajah ini juga melambangkan tiga alam:
alam indera, alam bentuk, dan alam tanpa bentuk, yang semuanya terjangkau oleh kasih sayang Avalokitesvara. Wajah tertawa melihat dunia khayalan dan mengubahnya jadi realitas sejati. Wajah Buddha di atas mahkota melambangkan Jalan Mahäyäna yang membimbing semua makhluk mencapai pencerahan.
Makna Sebelas Wajah
Wajah Bentuk ini mungkin berkembang di India selama abad ke-5 sebagai adaptasi simbolis dari dewa Veda Rudra yang dikatakan berjumlah sebelas atau punya sebelas kepala. Arca Avalokitesvara dengan sebelas wajah dan empat lengan ditemukan di stupa Kanheri di India.
Dalam ikonografi dan lambang psikologis Buddhis, sebelas wajah melambangkan sebelas arah (empat titik utama, empat arah di antaranya, zenith, nadir, dan pusat) yang berarti seluruh semesta. Pusat melambangkan titik permulaan dari Sifat Luhur (maitrì, karuôä, muditä, dan upeksä). Menurut A. Matsunaga, makna paling umum dari kesebelas wajah itu adalah:
(1) Sebelas tingkat pencerahan;
(2) Sepuluh Kesempurnaan ( päramì) dan Sang Tathägata;
(3) Dua belas rantai Asal Mula yang Bergantungan (termasuk wajah sang Bodhisattva sendiri);
(4) Sebelas wajah Usaha Rajin ( upaya) dan satu wajah melambangkan Kebenaran Mutlak; dan
(5) Sebelas kegelapan batin ( avidya) dari makhluk awam yang diterangi oleh cahaya kebijaksanaan. ( The Buddhist Philosophy of Assimilation, hal 123f)
Sahasrabhuja Sahasranetra Àryävalokitesvara Ekädasamukhanäma Dhäranì
Àryävalokitesvara Ekädaÿamukha Dhärasì Sütra (Khotbah Àrya Avalokitesvara Sebelas Wajah) memuat dhäranì (mantra untuk meditasi) bernama sama, yang dikatakan dilafal oleh Avalokitesvara di saat kehadiran Buddha. Dhäranì ini terdiri atas dua bagian: bagian pertama berisi penghormatan awal kepada Tiga Mustika, Buddha Vairocana, semua Buddha, dan Avalokitesvara. Bagian kedua memuat isi dhäranì.
Namo Ratnatrayäya
Namo Àryaj/ñänasägaräya Vairocanavyüharäjäya Tathägatäya
Nama sarvatathägatebhyah Arhatebhyah Samyaksambuddhebyah
Nama Àryavalokitesvaräya Bodhisattväya Mahä-sattväya Mahäkarunikäya
Tadyathä:
Om dhärä dhärä dhìrì dhìrì dhürü dhürü ittì vette cale cale präcale präcale kusume kusume varä ilì milì citì jolä mapanaye svähä.
Tanda miring menyatakan bagian yang hilang dalam versi Sanskrit dan digubah ulang dari versi Tibet. Ini adalah dhäranì yang dinyanyikan pada permulaan Dharmafarer Sevenfold Puja.
Bagi umat Buddha, perwujudan ini adalah obat mujarab dan bisa mencegah penyakit menular, menangkal setan dan malapetaka, menjauhkan mimpi buruk, mencegah mati muda karena air atau api, menawarkan racun, serta melindungi harta benda, keselamatan, dan kebahagiaan.
Selain itu, para pemuja yang melafal dhäraôì dengan penuh kesadaran akan melihat Buddha di saat kematiannya dan dilahirkan di alam Sukhävati.
Perwujudan ini dikenal di Asia Tengah sebelum abad ke-7. Bentuk ini ada yang memiliki wajah di atas mahkota sampai lima ratus buah. Yang paling dikenal adalah yang berwajah sebelas. Arca pertama perwujudan ini dibawa ke Cina semasa dinasti Tang awal (618-626). Di sekitar 709, Bodhiruci mener-jemahkan Sahasrabhuja Sahasranetra Àryävalokitesvara Bodhisattva Dhäranì Sütra (Qianshou qianyan guanshiyin pusamu tuoluoni shen jing, Nan-jio 319; T 20: 96), sütra utamanya memuat perwujudan ini. Umat Buddha Cina juga menamai perwujudan ini sebagai ‘Qianbi’ (‘Seribu Bahu’) dan ‘Qiankuang’ (‘Seribu Cahaya’), yang terakhir mengacu pada mata di masing-masing telapak tangan.
Ada beberapa versi legenda berkenaan dengan asal mula sebelas kepala Avalokitesvara ini. Legenda yang paling umum disingkat sebagai berikut: Avalokitesvara turun ke neraka dan membebaskan makhluk-makhluk di sana serta mengarahkannya ke Sukhävati (surga Buddha Amitäbha). Namun, dia amat terkejut karena untuk setiap makhluk yang diselamatkannya, segera saja ada makhluk lain yang menggantikan tempatnya. Dalam rasa sedih dan putus asa yang teramat sangat, kepalanya pecah jadi sepuluh bagian. Buddha Amitäbha lalu membuat sebuah kepala dari masingmasing bagian itu, dan meletakkannya di tubuh Avalokitesvara (yang betapa pun juga adalah emanasinya sendiri) dalam tiga tumpukan, dengan kepala kesepuluh terletak di puncak dan gambarnya sendiri di bagian teratas. Walhasil, sekarang Avalokitesvara punya 22 mata dan sebelas otak untuk membantunya meringankan dunia derita!
Seribu Mata
Perwujudan sebelas kepala ini bisa punya enam sampai ‘seribu’ lengan dan sebuah mata di setiap lengannya. Lengan utamanya biasanya berjumlah 22 dalam mudra yang berbeda-beda (seperti añjali, dharmacakra, dan dhyäna), dan memegang simbol yang berlainan (seperti vas dewa, tasbih, dan roda Dharma). Keseribu lengan itu terkadang muncul dalam bentuk aura di belakang gambaran tersebut dan memegang simbol seperti buku, vas, vajra, patra, roda, dsb. Salah satu lengannya biasanya membentuk mudra memberi. Dewa Veda Brahma, Vishu, dan Shiva terkadang ditampilkan di kaki gambaran tersebut.
Arti mitos ini adalah bahwa dalam usaha berbuat baik dan menolong makhluk lain, seseorang sering menjumpai rintangan yang tampaknya tak mungkin diatasi, yang bisa meluluhkan kekuatan dan harapan. Tetapi sebenarnya, di balik bencana tersebut ada berkah terselubung. Seorang umat Buddha sejati tidaklah mengejar ketenaran, kesenangan, dan pemuasan diri, melainkan berkarya dengan Kekuatan (lengan), Pandangan (mata), dan Perhatian Penuh (wajah). Sebuah patung indah berukuran raksasa dari perwujudan ini yang terbuat dari batu pualam Itali terdapat di dalam Aula Mahäkarunä, Vihära Dhyäna Pencerahan Agung (Phor Kark See) di Bright Hill, Singapura.
(5) Avalokitesvara Kepala Kuda (Hayagriva, Matou Guanyin, Jep. Bato Kannon)
Istilah ‘Hayagriva’ secara harfiah berarti ‘yang berleher kuda’ dan merupakah salah satu bentuk perwujudan menyeramkan dari Avalokitesvara. Perwujudan ini biasanya dilukiskan dengan kepala kuda berambut terurai. Sebelum ditampilkan sebagai perwujudan Avalokitesvara, Hayagriva berdiri sendiri sebagai emanasi Amitäbha dan Aksobhya. Orang Cina memanggilnya ‘Matou Mingwang atau Fennuchi Mingwang’. Tanda khususnya adalah mudra uttarabodhi (‘Pencerahan Tiada Tara’) —kedua telapak dirangkap bersama kecuali ibu jari dan telunjuk terentang keluar dan bersentuhan di ujung. (Mudra ini juga dikenal sebagai mudra padma atau teratai.)
Di Tibet, dia di-kenal sebagai salah satu dari ‘Delapan Pelindung Dharma’ (drag-gshed). Dalam Sädhanamälä disebutkan bahwa dia mendampingi perwujudan Lokanätha Avalokitesvara bersama Tärä, dan juga ditemukan dalam rombongan Khasarpana Avalokitesvara bersama Sudhana Kumära, Bhàkuti, dan Tärä. Kuda adalah bagian dari Tujuh Permata Kerajaan Dunia ( cakravarti). Sama seperti Permata Kuda yang mampu berlari ke seluruh penjuru dunia dan menaklukkannya, Hayagrìva juga menaklukkan lautan kelahiran, usia tua, sakit, dan mati.
Kadangkala dia dikenali bersama Avalokitesvara yang muncul di antara binatang. Karenanya dia dianggap sebagai pelindung binatang. Ringkikannya yang membahana dikatakan untuk mengusir mara. Hayagrìva dipuja oleh para penjual kuda. Dia juga menjelma pada gagang phurbu (pisau ritual) Tibet. Secara simbolis, phurbu dipakai dalam ritual untuk‘membunuh’ mara dan menghancurkan semua kekuatan jahat.
Bentuk Hayagrìva yang lain
Salah satu keterangan terawal tentang Hayagrìva ditemukan dalam Mahävairocana Sütra (Dapilizhena Chengfo Shenbian Jiachi Jing T 18:1) yang diterjemahkan tahun 724. Dalam perwujudannya yang paling sederhana, dia tampil dengan kepala kuda, mahkota tengkorak, rambut terurai, dan di bawah untaian kalung tengkorak tergantung kulit harimau. Dia mengacungkan pedang di tangan kanan dan memegang jerat di tangan kiri. Bentuk perwujudannya yang lain adalah:
1. Satu kepala dan empat lengan. Tangan bagian atas memegang tongkat kebesaran (kadangkala bermahkota tengkorak) dan bunga; tangan bawah memegang roda (atau jerat) di depan dada; tangan kanan membuat mudra mistis; dan dia menginjak sisi kanan tahta teratai.
2. Tiga kepala, empat lengan, dan empat kaki. Lengan atas memegang vajra dan bunga, lengan bawah membentangkan busur. Dia menginjak sisi kanan mara. Pakaiannya mirip seperti bentuk yang sebelumnya. Inilah bentuk yang diyakini dilihat oleh Atiÿa (982-1054), pembaharu Buddhis India yang ajarannya mendasari ajaran sekte Kadampa Tibet.
3. Tiga kepala, enam lengan, dan enam kaki. Dia memegang semua lambang yang disebutkan dalam dua bentuk lainnya, tetapi dari rambutnya yang terurai muncul tigakepala kuda. Biasanya dia digambarkan dengan tiga mata, memegang sayap garuda, dan berpakaian kulit harimau dan gajah. Lengan bagian atas memegang vajra gandadan pedang, pasangan lengan berikutnya memegang tongkat kebesaran dan tombak ( khatvanga). Lengan bawah memeluk prajñä biru muda, dan memegang mangkuk tengkorak di kiri, sementara yang kanan membentuk mudra mistis (seperti mudra abhaya).
Semua aspek menakutkan dari Hayagrìva ini dimaksudkan untuk melambangkan ketakutan semua makhluk dalam simbol yang konkret. Dalam ‘simbolisme terbalik’ itu, hal yang ditakuti oleh seseorang diubah menjadi pelindungnya sendiri. Sesungguhnya tak ada yang harus ditakuti selain diri sendiri. Ini adalah dasar perlambang Hayagrìva.
(6) Cundä Avalokitesvara (Zhunti Guanyin, Jep. Juntei Kannon)
Cundä adalah satu-satunya Bodhisattva berbentuk feminin dalam kumpulan tujuh perwujudan ini. Sebelum menjadi perwujudan Avalokitesvara, dia adalah Bodhisattva yang berdiri sendiri sebagai penjelmaan Cundä Dhäranì (Nan-jio 344, T 20:185); salah satu dari kedua belas dhäranì yang muncul di Nispanna Yogavali dalam bagian Mandala dari Dharmadhatu Vagiÿvara), pertama kali diterjemahkan oleh Divakara sekitar tahun 685 semasa dinasti Tang.
Kedua belas dhäranì (sebagai perwujudan) itu tampak sama. Mereka berlengan dua, memegang vajra ganda di tangan kanan dan simbol khusus di tangan kiri. Tangan kiriCundä biasanya memegang tasbih bervas bunga ( kamandalu). Dalam mandala yang lain, Cundä bisa mempunyai 26 lengan. Menurut B. Bhattacaryya, namanya pertama kali disebut sebagai Candra dalam Mañjuÿri Mülakalpa (c 200) dan sebagai Cundävajri dalam Guhyasamaja (c 300) [ Indian Buddhist Iconography, hal 221]. Kemasyhurannya dibuktikan setidaknya dalam dua hal:
1. Ada dua terjemahan lainnya yang dibuat, satu oleh Vajrabodhi (c 723; Nanjio 345, T 20:173), yang lain oleh Amoghavajra (Nanjio 346, T 20:78); dan
2. Ada sejumlah ragam namanya: Cundi, Cundra, Candra, Canda, Cundra, dan Cundävajri. Cundä juga merupakan emanasi Vajrasattva dan satu-satunya Bodhisattva yang memakai gambaran Vajrasattva di kepalanya. Dia juga dikenal di Jawa tempat dua reliefnya ditemukan di pelataran luar Candi Mendut, yang satu berdiri dan berlengan delapan, yang lain duduk dan berlengan empat.
Cundä sebagai Avalokitesvara
Cundä Avalokitesvara pertama kali dibahas di Karanda Vyüha (Dacheng Zhuangyan Baowang Jing; Nanjio 782, T 20:47). Di sana tertulis mantranya: ‘Om cale cule cundesvähä’. Dalam bentuk ini, dia juga dikenal, seperti halnya Prajñäpäramitä, sebagai ibu dari 700.000 Buddha di tiga alam (Kotisrì atau Saptakoti Buddhamätrì Cundidevì). Aspek keibuan inilah yang menarik umat Buddha di Asia Timur. Bentuknya yang paling dikenal adalah dengan satu wajah, tiga mata, dan delapan belas lengan. Di Jepang, dia jarang sekali dipatungkan, tetapi lebih dikenal dengan lukisan mistisnya. Dalam Garbhakosa Mandala, dia digambarkan dalam wilayah kedua (sarvajña parisad, ‘Dewan yang Maha Mengetahui’) dengan delapan atau delapan belas lengan, dan merupakan ‘Ibu Wilayah Teratai’ (yaitu, Dewan keempat yang terdiri atas 21 bentuk Kannon). Dua tangan utamanya di depan dada membentuk mudra teratai ( padma atau uttarabodhi mudra): jari manis dan jari kelingking terangkap bersama dengan jari tengah tegak lurus dan saling menyentuh. Dua tangan atas memegang pedang dan pataka, sementara dua tangan teratas memegang bulatan matahari dan bulan (melambangkan keabadian).
(7) Amoghapasa Avalokitesvara (Bukong Juansuo Guanyin,Jep. Fuku Kenjaku)
Amogha (secara harfiah ‘tidak kosong’) berarti ‘tidak sia-sia, tak kunjung padam’, dan pasa berarti ‘jerat, simpul, atau tali’. Amoghapasa adalah perwujudan kekuatan para Buddha, terutama kemampuan untuk menyelamatkan semua makhluk hidup tanpa kecuali. Kekuatan di sini berarti empat Kondisi Kesejahteraan ( sangraha-vastu): ke-murahan hati, ucapan benar, perbuatan ber-manfaat, dan filosofi kepantasan (atau kewajaran).
Reruntuhan arca Amoghapaÿa ditemu-kan di Mathura, India. Pemujaan-nya didasar-kan pada Amoghapasa Hàdaya Sütra. Bab per-tamanya diterjemahkan di tahun 87 oleh Jñänagupta dari dinasti Sui (Bukong Juansuo Zhou Jing). Kemasyhurannya ditandai oleh berbagai terjemahan dalam bahasa Cina:
• Xuanzang (659) - Bukong Juansuo Shenzhou Xin Jing (Nanjio 316; T 1094);
• Bodhiruci (Tang) - Bukong Juansuo Shenzhou Jing (sebagian);
• Ratnacinta (693) - Bukong Juansuo Tuoluoni Zhizaiwang Chou Jing (Nanjio 313, T 1097);
• Li Wuchan (700) - Bukong Juansuo Tuoluoni Zhou Jing (Nanjio 314, T 1096);
• Bodhiruci (c 707) - Bukong Juansuo Shenben Chenyen Jing (Amogha-paÿa Kalparäja Sütra ; Nanjio 317, T 20:227);
• Amoghavajra (Loyang: 720-774) - Bukong Juansuo Biluzhenafo Daku-anting Kuangchenyen (Jing) (Nanjio 1002, T 1002); dan
• Dänäpäla (Song Utara) - Shengguanzhizai Pusa Bukong Wang Pimi Xin Tuoluoni Jing (Nanjio 987, T 1099).
Amoghapasa kadangkala dianggap sebagai emanasi Maitreya atau Ksitigarbha, yang merupakan emanasi Buddha Vairocana. Amoghapasa juga merupakan salah satu dari enam perwujudan Avalokitesvara yang dijabarkan dalam Amogharäja Kalparäja (Nanjio 317 bab 1, T 1092). Dikatakan bahwa Avalokitesvara menerima nubuat ( vyäkarana) Amoghapasa Hàdayaräjani Dhäranì Mantra dalam akhir siklus dunia ke-9 dari kelahirannya yang terakhir. Pemuja yang melafal mantra ini di depan patungnya pada harikedelapan di setiap bulan dipastikan akan menerima dua puluh macam manfaat dalam hidup ini dan delapan manfaat di saat kematiannya. Mantra ini dicatat dalam Sahasrabahu Sahasraraksa Avalokitesvara Sütra yang diterjemahkan oleh Amoghavajra (Jinkang Tingyuqie Qianshou Qianyen Guanzhizai Pusa Xiuxing Yikui Jing; Nanjio 1383, T 1056).
Bentuk Amoghapasa yang paling dikenal di Jepang adalah yang memiliki satu kepala, tiga mata, dan delapan lengan. Dalam Garbhadhatu Mandala, Amoghapasa menempati sektor terluar dari wilayah Avalokitesvara. Dalam perwujudan Amoghapasa berlengan empat, dua tangan atas memegang tasbih (kanan) dan teratai (kiri); dua tangan yang lebih rendah memegang jerat (kiri) dan kendi air atau vajra (kanan). Dalam bentuk yang berlengan enam, tangan utama terangkap dalam mudra teratai ( añjali) di depan dada.
Amoghapasa agak belakangan baru dipuja oleh orang Jepang (mulai abad ke-8). Di jaman dulu, dia tidak dipuja oleh sekte Shingon. Dewasa ini dia dipuja secara meluas terutama oleh sekte Tendai. Di Jepang ada patung Amoghapasa yang memegang tongkat vihära ( khakkhara) di salah satu tangan atasnya. Dalam bentuk yang lain dia mengenakan Mahkota Lima Kebijaksanaan dengan tongkat vihära di tangan kanan. Ciri khas Amoghapasa di Jepang tampaknya adalah tongkat vihära bukannya jerat. Candi Jago (Jawa Timur, pertengahan kedua abad ke-13) menempatkan Amoghapasa berlengan delapan sebagai patung utama.
(8) Avalokitesvara Delapan Derita (Ba Nan Guanyin)
Ada bentuk Padmapänì berwajah delapan yang dikatakan adalah Avalokitesvara Delapan Derita. Perwujudan ini membentuk suatu kumpulan delapan bentuk yang masing- masing melambangkan salah satu penderitaan yang dinyatakan dalam khotbah pertama Sang Buddha: kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang dibenci, tidak memperoleh apa yang diinginkan, dan kekotoran Pañca Skandha.
Bagi masyarakat kebanyakan, delapan perwujudan ini dipuja sesuai dengan aspek yang diwakilinya. Bentuk yang mencerminkan spiritualitas ini sudah memberikan abad-abad penuh ketenangan bagi orang timur (tidak cuma umat Buddha). Kita hanya perlu membandingkan kemurnian dan ketenteraman dari orang timur (yang disebut-sebut sebagai ‘penyembah berhala’ atau agama ‘orang kafir’ pra-Kristen) dengan penyalahan dan pembenaran diri sempit dari para penginjil.
Bagi umat Buddha yang terpelajar, perwujudan ini melambangkan objek perenungan sehingga mereka tidak tertipu oleh khayalan dunia dan isinya. Mereka memberikan kekuatan spiritual untuk menghadapi hal paling buruk yang mungkin terjadi sambil tetap tenang menikmati aspek kehidupan yang terbaik. ‘Delapan lilitan’ kehidupan ( lokadhamma: untung-rugi, hormat- hina, bahagia-sengsara, dipuji-dicela) tidak mengguncang atau menghanyutkan seorang umat Buddha sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar