YANG ARIYA MAHA KASSAPA
Terkemuka dalam Pelaksanaan Latihan Keras
Terkemuka dalam Pelaksanaan Latihan Keras
Setelah Sang Buddha mencapai Parinibbana, maka badan jasmani beliau disiapkan untuk diperabukan. Empat orang dari suku Malla, setelah membersihkan diri dan mengenakan baju baru akan menyalakan api untuk perabuan jenazah Sang Buddha. Berkali-kali mereka mencoba tapi tidak berhasil sehingga mereka menanyakan hal itu kepada YA Anuruddha. Beliau memberitahukan bahwa hal itu tidak berhasil karena para dewa mempunyai maksud lain yaitu hendaknya api jangan dinyalakan terlebih dahulu sebelum YA Maha Kassapa yang sedang dalam perjalanan menuju tempat itu memberi hormat di kaki Sang Buddha.
Saat itu YA Maha Kassapa dan para bhikkhu rombongannya yang sedang mengadakan perjalanan dari Pava ke Kusinara bertemu dengan Petapa Ajivika. Petapa itu membawa bunga Mandarava yang dibawanya dari tempat wafatnya Sang Buddha di Kusinara. Dari petapa itu YA Maha Kassapa mengetahui berita wafatnya Sang Buddha. Mendengar berita itu para bhikkhu yang belum mencapai tingkat Arahat atau Anagami merasa sangat sedih, meratap dan menangis. Di antara mereka terdapat seorang bhikkhu tua bernama Subhadda yang baru memasuki kebhikkhuan pada usia lanjut. Ia berkata, "Cukup kawan-kawan, janganlah sedih atau meratap. Kita sekarang terbebas dari Sang Buddha. Kita telah dipersulit oleh kata-kata Sang Buddha 'Ini boleh, ini tidak boleh'. Kini kita bebas untuk berbuat apa yang kita sukai". Kata-kata itu membuat YA Maha Kassapa berpikir bahwa beliau harus mengadakan pertemuan para Arahat untuk melindungi dan menjaga kemurnian Ajaran Sang Buddha.
Setelah sampai di tempat Sang Buddha akan diperabukan dan YA Maha Kassapa beserta rombongannya selesai memberi penghormatan dengan tiba-tiba api menyala dengan sendirinya membakar jenazah Sang Buddha.
YA Maha Kassapa terlahir sebagai putera tunggal Brahmana Kapila dan isterinya Sumanadevi. Ia diberi nama Pipphali dan hidup dalam kemewahan. Setelah dewasa orang tuanya menyuruhnya menikah. Pipphali menolak dengan berkata, "Selama ayah dan ibu masih hidup, saya akan merawat ayah dan ibu. Setelah itu saya akan meninggalkan hidup keduniawian". Karena orang tuanya mendesak terus untuk menikah, akhirnya ia membuat sebuah lukisan dan menyatakan bahwa ia akan menikah apabila ditemukan seorang gadis secantik gadis dalam lukisannya itu. Banyak orang dikirim untuk mencari gadis seperti lukisan itu. Di kota Sagaala mereka bertemu dengan Bhadda Kapilani yang sesuai dengan lukisan itu dan juga belum mau menikah. Akhirnya Pipphali dan Bhadda Kapilani menikah mau dan hidup bersama sampai orang tua Pipphali meninggal dunia.
Pada suatu hari setelah kematian orangtuanya, Pipphali dan Bhadda Kapilani memutuskan untuk meninggalkan hidup keduniawian. Mereka mengenakan jubah kuning, memotong rambut, membawa mangkuk, dan pergi dari rumah bersama-sama. Tetapi karena merasa tidak pantas berjalan bersama, mereka bersepakat untuk berpisah di persimpangan jalan, Pipphali menuju ke arah kiri dan Bhadda Kapilani menuju ke arah kanan.
Dalam perjalanan antara Rajagaha dan Nalanda, Pipphali melihat Sang Buddha sedang duduk di kaki pohon Bahuputtika Banyan. Ia mendekati Sang Buddha dan duduk di satu sisi serta mohon diterima sebagai murid. Sang Buddha mentahbiskannya dengan memberikan tiga nasihat, "O Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada bhikkhu yang tua, yang muda dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi".
Pada perjalanan kembali ke Rajagaha, Kassapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Merasa merupakan kehormatan besar baginya untuk dapat memakai jubah Sang Buddha, maka Kassapa memutuskan untuk melaksanakan latihan Dhutanga. Delapan hari kemudian mencapai tingkat kesucian Arahat. Sedangkan Bhadda Kapilani menuju ke sebuah vihara di Titthiyas dekat Jetavana. Ia tinggal di sana selama enam tahun. Kemudian setelah Maha Pajapati Gotami diijinkan untuk menerima penahbisan sebagai bhikkhuni, ia pun memasuki Sangha Bhikkhuni. Tak lama kemudian ia mencapai tingkat kesucian Arahat dan merupakan siswa yang terkemuka di antara para bhikkhuni yang dapat mengingat kehidupan-kehidupan yang lampau.
YA Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama hidupnya menjadi bhikkhu, beliau selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan dana makanan, selalu memakai jubah bekas (pembungkus mayat), puas dengan pemberian yang sedikit, selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal sangat rajin. Menjawab pertanyaan mengapa beliau menuntut penghidupan yang demikian keras, beliau mengatakan bahwa hal itu dilakukannya bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kebahagiaan orang lain di kelak kemudian hari. Beliau merupakan contoh yang sangat baik bagi orang-orang yang ingin menuntut kehidupan suci. Sebagai penghormatan beliau diberi nama Maha Kassapa (Kassapa Agung). Dalam suatu pertemuan para bhikkhu dan bhikkhuni, Sang Buddha menyatakan bahwa YA Maha Kassapa adalah siswa yang terkemuka di antara mereka yang melakukan latihan yang keras.
Setelah upacara perabuan jenazah Sang Buddha selesai, YA Maha Kassapa menceritakan ucapan Bhikkhu Subhadda kepada para bhikkhu lainnya. Beliau berkata bahwa seharusnyalah diadakan pengulangan Dhamma dan Vinaya. Hal itu disetujui oleh para bhikkhu lainnya. Tiga bulan kemudian diadakanlah Sidang Agung (Sangha-samaya) yang pertama di gua Sattapanni di Rajagaha dengan bantuan dan perlindungan Raja Ajatasattu yang dihadiri oleh lima ratus Arahat. Sidang itu dipimpin oleh YA Maha Kassapa. Sidang itu mengulang semua peraturan Vinaya untuk para bhikkhu dan bhikkhuni serta semua khotbah Sang Buddha yang diberikan di tempat-tempat berlainan, kepada orang-orang berlainan dan pada waktu berlainan selama empat puluh lima tahun. Sidang berakhir setelah tujuh bulan bekerja keras.
Bagi para bhikkhu yang baru saja kehilangan Sang Buddha, YA Maha Kassapa dianggap sebagai bhikkhu yang dijadikan panutan. Hal ini tidak mengherankan karena beliau merupakan salah satu siswa utama yang masih hidup setelah wafatnya Sang Buddha dan merupakan bhikkhu yang sangat dihormati karena kesungguhannya dalam melaksanakan latihan yang keras. Selain itu beliau merupakan satu-satunya bhikkhu yang pernah bertukar jubah dengan Sang Buddha dan memiliki tujuh tanda dari tiga puluh dua tanda Manusia Agung yang dimiliki Sang Buddha. Beliau hidup sampai usia yang sangat lanjut dan mencapai Parinibbana pada usia seratus dua puluh tahun.
YANG ARIYA ANURUDDHA
Terkemuka dalam Mata Dewa
Terkemuka dalam Mata Dewa
Sesaat sebelum mencapai Parinibbana, Sang Buddha menyampaikan kata-kata terakhir Beliau, "O Bhikkhu dengarkanlah baik-baik nasihatku : Segala sesuatu yang terdiri atas paduan unsur-unsur akan hancur kembali. Karena itu berjuanglah dengan sungguh-sungguh". Setelah itu Sang Buddha memasuki Jhana kesatu, lalu Jhana kedua, ketiga, keempat. Kemudian memasuki keadaan 'Ruang Tak Terbatas', kemudian 'Kesadaran Terbatas', keadaan 'Kosong', keadaan 'Bukan Pencerapan pun Bukan Pencerapan' kemudian mencapai 'Penghentian Pencerapan dan Perasaan'.
Pada saat itulah YA Ananda berkata kepada Anuruddha, "Bhante, Sang Bhagava telah Parinibbana!" Tetapi YA Anuruddha menjawab, "Belum, Avuso Ananda. Sang Bhagava belum Parinibbana. Beliau sekarang berada dalam keadaan 'Penghentian Pencerapan dan Perasaan' ".
Kemudian Sang Buddha Bangun dari keadaan 'Penghentian Pencerapan dan Perasaan' lalu memasuki keadaan yang telah dijalaninya dengan urutan sebaliknya sampai kembali ke Jhana kesatu. Dari Jhana kesatu, Beliau kembali memasuki Jhana kedua, ketiga dan keempat. Keluar dari Jhana keempat Sang Buddha segera mengakhiri hidupnya dan mencapai Parinibbana.
Ketika Sang Buddha mencapai Parinibbana, YA Anuruddha mengucapkan syair berikut,
" Dengan tiada pergerakan napas,
tetapi dengan keteguhan hati,
Bebas dari keinginan dan tenang,
Demikianlah Sang Petapa mengakhiri hidupnya,
Tak gentar menghadapi saat mautnya,
Batinnya memperoleh kebebasan,
Bagaikan api lampu yang padam".
YA Anuruddha terlahir sebagai saudara sepupu Sang Buddha, putera dari Amitodana. Mempunyai saudara kandung bernama Mahanama dan merupakan saudara satu ayah lain ibu dari Ananda. Wajahnya tampan, alisnya lurus dan bentuk hidungnya bagus, ahli dalam seni bela diri dan olahraga. Orangtuanya amat menyayanginya dan memberinya rumah untuk tiap musim, satu untuk musim panas, satu musim dingin dan satu untuk musim hujan, sebagaimana yang diperoleh Pangeran Siddhattha dari orang tuanya. Di dalam tiap rumah yang dibangun untuk Anuruddha terdapat banyak pelayan yang selalu siap melayaninya.
Kedatangan Sang Buddha ke Kapilavatthu membuat banyak orang tertarik akan ajaran Sang Buddha dan banyak di antara mereka yang meninggalkan hidup keduniawian dan menjadi bhikkhu. Dalam keluarga Anuruddha belum ada yang menjadi bhikkhu. Oleh karena itu Mahanama mengusulkan agar salah satu dari mereka untuk menjadi bhikkhu, karena apabila keduanya menjadi bhikkhu maka tidak ada lagi yang memelihara garis keturunan keluarga.
Anuruddha yang terbiasa hidup dalam kemewahan merasa sulit untuk hidup sebagai bhikkhu, namun Mahanama membujuknya dengan menunjukkan kesukaran kehidupan sebagai perumah tangga, dan pekerjaan dalam pertanian yang tiada habisnya. Anuruddha meminta ijin dari ibunya untuk menjadi bhikkhu. Ibunya yang amat menyayanginya mula-mula menolak memberi ijin, akhirnya memberi ijin dengan syarat sepupunya Bhaddiya, Raja Sakya yang menggantikan Raja Suddhodana yang telah mangkat, juga mengikutinya menjadi bhikkhu. Ibunya berpikir bahwa tidak mungkin Bhaddiya akan meninggalkan tugasnya sebagai raja untuk menjadi bhikkhu.
Bhaddiya berkata bahwa ia mau menemani Anuruddha menjadi bhikkhu asalkan Anuruddha mau menunggu tujuh tahun lagi. Atas desakan Anuruddha, masa menunggu itu dipersingkat menjadi enam tahun, lima tahun, empat tahun, sampai satu tahun. Akhirnya Bhaddiya berjanji untuk melaksanakan hal itu tujuh hari lagi setelah ia menyerahkan tugasnya kepada anak dan saudaranya.
Anuruddha kemudian mengajak pula Ananda, Bhagu, Kimbila dan Devadatta untuk menjadi bhikkhu. Agar tidak dicurigai, mereka pergi ke taman seolah-olah akan berolahraga dengan membawa pula tukang cukur mereka yang bernama Upali. Di tengah perjalanan mereka menyuruh para pengiring pulang, dan kemudian melepaskan baju dan perhiasan yang dipakai untuk dibawa pulang oleh Upali. Tetapi Upali yang merasa takut akan kemarahan orang Sakya bila membawa pulang barang-barang itu, akhirnya mengikuti mereka untuk menjadi bhikkhu. Mereka bertemu dengan Sang Buddha di Anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Mereka memohon kepada Sang Buddha agar Upali ditahbiskan terlebih dahulu agar mereka dapat mengurangi rasa kesombongan mereka karena dengan demikian selanjutnya mereka harus menghormati Upali sebagai bhikkhu yang lebih senior.
Bhaddiya kemudian mencapai tiga pengetahuan dan menjadi Arahat. Ananda mencapai tingkat kesucian Sotapanna. Devadatta memperoleh kesaktian yang dapat dicapai oleh manusia biasa. Bhagu, Kimbila dan Upali pun kemudian mencapai tingkat Arahat.
Anuruddha yang terbiasa hidup nyaman dan dilayani oleh banyak pelayan kini harus mengenakan jubah kasar, berkeliling menerima dana makanan, tidur di alam terbuka dan menjalani aturan yang keras. Dengan tekadnya yang kuat, ia dapat terbiasa dengan kehidupan sebagai bhikkhu namun merasa amat lelah dalam melaksanakan latihan-latihan itu.
Pada suatu kali ketika Anuruddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya sedang berkumpul di vihara Jetavana mendengarkan khotbah Sang Buddha, ia merasa sangat mengantuk dan tertidur. Ia terbangun ketika Sang Buddha menyebut namanya dan menyapanya dengan beberapa perkataan. Setelah khotbah selesai, dengan rasa malu Anuruddha menyampaikan rasa penyesalannya kepada Sang Buddha dan bertekad untuk tidak lagi tertidur pada saat mendengarkan khotbah Sang Buddha. Sejak saat itu Anuddha tidak pernah memejamkan mata walaupun di malam hari.
Dengan latihannya Anuruddha memperoleh mata dewa, yaitu kemampuan untuk melihat timbul lenyapnya makhluk-makhluk di alam semesta ini. Kemudian beliau mencapai tingkat kesucian tertinggi yaitu Arahat. Namun latihan yang keras demikian menyebabkannya gangguan pada matanya sehingga tidak dapat melihat. Ketika diminta oleh Sang Buddha agar beliau tidur untuk memulihkan penglihatan matanya sesuai dengan Anjuran dokter, beliau menjawab, "Bhante, dengan bertekad untuk tidak tidur saya dapat mengatasi semua penderitaan. Bagaimana saya dapat melepaskan tekad itu ?"
YA Anuruddha hadir pada saat Sang Buddha mencapai Parinibbana dan berperan pula dalam Sidang Agung Sangha yang diadakan setelah Sang Buddha Parinibbana. Beliau dengan para bhikkhu lainnya mendesak YA Ananda untuk melatih diri dengan sungguh-sungguh sehingga dapat mencapai tingkat Arahat pada Sidang Agung tersebut. YA Anuruddha mencapai Parinibbana (wafat) di desa Veluva dari Vajjian di bawah kerimbunan pohon bambu.
YANG ARIYA UPALI
Terkemuka dalam Menjaga Sila
Terkemuka dalam Menjaga Sila
Enam Bangsawan muda Sakya yaitu Ananda, Anuruddha, Bhaddiya, Bhagu, Devadatta dan Kimbila memutuskan bersama untuk menjadi siswa Sang Buddha. Ketika mereka meninggalkan Kapilavatthu, ibu kota kerajaan Sakya, mereka diiringi dengan rombongan besar kereta, gajah dan sejumiah pelayan untuk melayani mereka dalam perjalanan. Di perbatasan antara kerajaan Sakya dan kerajaan Magadha, mereka mengirim seluruh kereta kembali ke Kaplivatthu, dan yang tinggal bersama mereka hanyalah Upali, tukang cukur mereka.
Di tepi hutan mereka menyuruh Upali untuk mencukur rambut mereka. Kemudian mereka melepaskan baju mereka yang mewah, perhiasan, lalu mengenakan jubah yang telah disiapkan. Mereka memberikan baju dan perhiasan itu kepada Upali dan menyuruhnya kembali ke Kapilavatthu. Upali mendapati dirinya sendirian dengan barang-barang berharga di dekatnya. Dengan gemetar dipungutnya barang-barang itu. Namun ia berpikir, kalau ia membawa pulang barang-barang itu tentu orang-orang akan mencurigainya dan ia akan dituduh mencuri barang-barang itu. Kemudian ia bertanya-tanya, mengapa keenam bangsawan muda itu mau meninggalkan kehidupan keduniawian untuk memasuki kehidupan suci. Ia teringat sabda Sang Buddha, "Semua penderitaan di dunia ini lahir karena nafsu keinginan. Bila nafsu keinginan tidak dilenyapkan, kedamaian pikiran sulit dicapai".
Upali tidak lagi tertarik pada baju dan perhiasan mewah itu, dan ia pun bergegas mengejar para bangsawan muda itu untuk ikut pula menemui Sang Buddha. Mereka menjumpai Sang Buddha di Anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai bhikkhu dan memohon agar Upali dapat ditahbiskan terlebih dahulu agar mereka dapat mengurangi kesombongan hati mereka dengan menjadikan Upali sebagai senior mereka.
Dengan sikap rendah hati Upali selalu menerima apa yang dikatakan orang dengan baik dan melakukan segala hal dengan sungguh-sungguh, belajar dan melaksanakan semua aturan dengan baik melebihi para bhikkhu lainnya. Pada suatu kali Upali memohon ijin untuk tinggal di dalam hutan untuk melatih diri dalam meditasi.
Tetapi Sang Buddha menjawab, "Setiap orang mempunyai kemampuan sendiri-sendiri. Engkau tidak terlahir untuk hidup dalam kesunyian di hutan. Bayangkanlah apabila terdapat seekor gajah besar sedang mandi dengan gembira di sebuah danau. Apa yang akan terjadi bila seekor kelinci atau kucing melihat kegembiraan sang gajah, kemudian mencoba menyainginya dengan melompat ke dalam air juga?"
YA Upali kemudian menyadari bahwa beliau harus tetap berada dalam Sahgha, mengabdikan dirinya dalam peraturan dan latihan, menjaga sila dan bertindak sebagai penuntun bagi bagi bhikkhu-bhikkhu lainnya. Apabila menemui keragu-raguan sesedikit apapun, beliau segera menanyakannya kepada Sang Buddha. Beliau memegang teguh semua sila - mulai dari yang paling dasar yaitu tidak membunuh, mencuri, melakukan tindakan asusila, berdusta, minum minuman keras yang memabukkan � sedemikian baiknya sehingga orang-orang mulai datang kepadanya untuk meminta nasihatnya.
Meskipun demikian tidak berarti YA Upali mengikuti peraturan secara dogmatis. Beliau tahu bagaimana untuk membuat pengecualian. Pada suatu kali beliau bertemu dengan seorang bhikkhu tua yang sakit yang baru kembali dari perjalanan. Mendengar bahwa sakit tersebut dapat diobati dengan meminum anggur, YA Upali menemui Sang Buddha dan bertanya apa yang harus dilakukannya. Sang Buddha berkata bahwa orang yang sakit dikecualikan dari aturan yang melarang minum minuman yang diragi. YA Upali segera memberikan Anggur kepada bhikku itu, yang dengan demikian menjadi sembuh dari sakitnya.
YA Upali melaksanakan sila untuk kepentingan semua bhikkhu dan untuk perbaikan Sangha. Beliau dihormati atas caranya menyelesaikan perselisihan yang seringkali mengganggu Sangha. Sesudah Sang Buddha mencapai Parinibbana, beliau memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan Ajaran Sang Buddha dengan mengulang Vinaya (peraturan kebhikkhuan) dalam Sidang Agung yang diselenggarakan di bawah pimpinan YA Maha Kassapa. Ketika pertemuan dibuka, YA Maha Kassapa berkata, "Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada bhikkhu Upali mengenai Vinaya".
YA Upali menjawab, "Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Vinaya yang akan diajukan oleh Ayasma Maha Kassapa".
Kemudian YA Maha Kassapa bertanya, "Bhikkhu Upali, di mana ditetapkannya pelanggaran Parajika yang pertama?"
"Di Vesali, Bhante"
"Mengenai siapa?"
"Mengenai bhikkhu Sudinna dari desa Kalandaka"
...
Demikianlah ditanyakan tentang pokok persoalannya, asal mulanya dan tentang orang-orang yang terlibat, apa yang ditetapkan dan apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran. Ditanyakan pula tentang peraturan-peraturan yang lain, baik yang berlaku untuk para bhikkhu maupun untuk para bhikkhuni. Demikianlah semua pertanyaan dijawab oleh YA Upali dengan terang dan jelas sehingga Vinaya dapat terulang kembali dengan benar untuk dilestarikan.
Yang Ariya Maha Pajapati Gotami Theri
Seseorang yang tidak lagi berbuat jahat melalui badan, ucapan, dan pikiran serta dapat mengendalikan diri dalam 3 saluran perbuatan ini, maka ia Kusebut seorang "Brahmana"
Maha Pajapati Gotami, yang terkenal sebagai salah satu pembentuk Sangha Bhikkhuni, berasal dari suku Koliya. Pada waktu Maha Pajapati Gotami dilahirkan, seorang peramal meramalkan bahwa jika besar nanti ia akan menjadi pemimpin dari suatu perkumpulan yang mempunyai banyak pengikut. Oleh karena itu ia diberi nama "Pajapati", yang berarti pemimpin suatu perkumpulan besar, sedangkan "Maha" merupakan suatu awalan yang berarti luar biasa.
Maha Pajapati Gotami mempunyai kakak perempuan bernama Maya, kakak beradik ini menikah dengan Raja Suddhodana, dan tinggal bersama di Kapilavatthu. Kakak Maha Pajapati Gotami, Ratu Maya hamil lebih dahulu, yang kemudian melahirkan Pangeran Siddharta. Tujuh hari setelah melahirkan Pangeran Siddharta, Ratu Maya meninggal dunia.
Sudah menjadi tradisi, Maha Pajapati Gotami menggantikan kakaknya, menjadi Permaisuri dari Raja Suddhodana. Maha Pajapati Gotami walaupun sebagai ibu tiri, beliau menyusui dan mengurus Pangeran Siddharta seperti anaknya sendiri. Dari pernikahannya dengan Raja Suddhodana melahirkan dua orang anak, yaitu seorang anak perempuan bernama Sundari-Nanda dan seorang anak laki-laki bernama Nanda.
Waktu berlalu, Pangeran Siddharta yang telah mencapai ke-Buddha-an datang berkunjung ke Kapilavatthu, bersemayam di Nigrodharama (Taman Banyan), ketika itu Raja Suddhodana telah mangkat. Mendengar kabar kedatangan Sang Buddha, Maha Pajapati Gotami, bersama-sama dengan lima ratus wanita datang menemui Sang Buddha dan memohon kepada Beliau supaya wanita dapat ditahbiskan menjadi bhikkhuni, dan mengajukan permohonan,
"Yang mulia, akan menjadi baik, apabila seorang wanita diijinkan untuk meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata."
Tanpa menjelaskan alasan-Nya, Sang Buddha langsung menolak, dengan berkata,
"Cukup, O Gotami, jangan mengajukan permohonan supaya wanita meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata."
Untuk kedua dan ketiga kalinya Maha Pajapati Gotami mengulangi permohonannya, Sang Buddha tetap memberikan jawaban yang sama.
Kemudian, ketika Sang Buddha sedang berada di Kapilavatthu dalam perjalannya menuju Vesali, Beliau tinggal di sana pada waktu yang sesuai, saat itu Beliau berada di Mahavana (Hutan Besar) di Ruang Kutagara (Ruang Menara).
Ketika itu Maha Pajapati Gotami telah mencukur rambutnya, mengenakan jubah kuning, dengan lima ratus wanita pengikutnya, dalam perjalanan menuju Vesali, mereka tiba di Ruang Kutagara, Mahavana. Maha Pajapati Gotami dengan kaki yang bengkak, penuh dengan debu, amat berduka, sangat sedih dan penuh airmata, berdiri dengan menangis di depan pintu masuk ruangan. Yang Mulia Ananda menemui mereka yang sedang menangis dan menanyakan mengapa mereka amat berduka, kemudian beliau menemui Sang Buddha dan berkata,
"Lihatlah, Yang Mulia, Maha Pajapati Gotami berdiri di luar pintu, dengan kaki yang bengkak, tubuh yang berdebu dan amat sedih. lzinkanlah wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci, dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Buddha. Adalah baik, Yang Mulia, kalau wanita diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci."
"Cukup, Ananda, jangan meminta agar wanita meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci, dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata", jawab Sang Buddha.
Untuk kedua dan ketiga kalinya, Yang Mulia Ananda atas nama para wanita memohon kepada Sang Buddha, tetapi Beliau tetap tidak mengizinkan.
"Yang Mulia, apakah wanita mempunyai kemampuan, apabila mereka meninggalkan kehidupan berumah tangga dan memasuki kehidupan suci, menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, dapat mencapai Tingkat Kesucian Sotapanna, Sakadagami, Anagami, mencapai Arahat?"
Sang Buddha menjawab, bahwa mereka mampu untuk mencapai Tingkat-tingkat Kesucian.
Mendengar jawaban Sang Buddha ini, Yang Mulia Ananda mencoba untuk membujuk Yang Maha Sempurna dengan berkata,
"Kalau demikian, Yang Mulia, mereka mampu untuk mencapai Tingkat Kesucian. Maha Pajapati Gotami telah memberikan pengorbanan yang besar kepada Yang Mulia, sebagai ibu asuh, perawat dan memberikan susunya, ia menyusui ketika ibu Yang Mulia meninggal dunia. Yang Mulia, adalah baik apabila wanita diijinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata."
Akhirnya, setelah Yang Mulia Ananda mengajukan permohonan berkali-kali, Sang Buddha lalu berkata,
"Ananda, kalau Maha Pajapati Gotami mau menerima Delapan Peraturan Utama, ia harus melaksanakan peraturan ini sebagai persyaratan penahbisannya. Peraturan-peraturan ini harus dihormati, dijaga, dihargai, dijunjung tinggi selama hidupnya, dan tidak boleh dilanggar."
Yang Mulia Ananda lalu menyampaikan hal ini kepada Maha Pajapati Gotami, ia dengan gembira menerima Delapan Peraturan Utama. Dengan diterimanya persyaratan ini, secara otomatis ia sudah menerima Penahbisan Tertinggi, menjadi bhikkhuni.
Maha Pajapati Gotami adalah wanita yang pertama kali diterima dalam pasamuan Bhikkhuni. Wanita yang lain diterima ke dalam pasamuan setelah Maha Pajapati Gotami, oleh para bhikkhu sesuai peraturan yang telah diajarkan Sang Buddha.
Tambahan :
Dengan munculnya Sangha Bhikkhuni, Sang Buddha lalu menyampaikan pandangan Beliau di masa yang akan datang, dengan bersabda,
"Ananda, apabila wanita tidak diizinkan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki kehidupan suci dengan menjalani Ajaran dan Peraturan yang dipimpin oleh Sang Tathagata, Kehidupan Suci akan berlangsung dalam masa yang lama sekali dan Dhamma Yang Mulia akan bertahan sepuluh ribu tahun lamanya. Tetapi, sejak wanita diijinkan meninggalkan kehidupan duniawi, maka Kehidupan Suci tidak akan berlangsung lama dan Dhamma Yang mulia hanya akan bertahan selama lima ribu tahun."
Sang Buddha menambahkan,
"Seperti perumpamaan ini, Ananda, rumah yang dihuni oleh lebih banyak wanita dan laki-lakinya sedikit maka akan mudah dirampok. Demikian pula dimana Ajaran dan Peraturan yang mengizinkan wanita meninggalkan Kehidupan Suci tidak akan bertahan lama."
"Dan seperti seorang laki-laki yang akan membangun terlebih dahulu sebuah Bendungan yang besar sehingga dapat menampung air, demikian pula Tathagata membentenginya dengan Delapan Peraturan Utama untuk Sangha Bhikkhuni, yang tidak boleh dilanggar selama hidup mereka."
Pernyataan ini, tentu saja tidak begitu menyenangkan bagi para wanita, Sang Buddha tidaklah bermaksud untuk menghukum, tetapi memperhitungkan hal ini karena kelemahan fisik wanita itu sendiri.
Meskipun ada beberapa alasan yang masuk akal, Sang Buddha dengan berat hati mengizinkan wanita untuk ditabhiskan menjadi bhikkhuni, hal ini menujukkan kebesaran hati Sang Buddha, dan merupakan yang pertama kali di dalam sejarah dunia ini, terbentuknya Sangha Bhikkhuni dengan peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan selama hidupnya.
Yang Ariya Khema Theri
Seseorang yang pengetahuannya dalam, pandai, dan terlatih dalam membedakan jalan yang benar dan salah, yang telah mencapai tujuan tertinggi, maka ia Kusebut seorang "Brahmana "
Khema berasal dari keluarga yang berkuasa di Desa Sagala Magadha. Ia sangat cantik, kulitnya berwarna kuning keemasan. Kecantikan Khema tersebut membuat Raja Bimbisara meminang Khema dan menjadikannya sebagai permaisuri.
Ratu Khema, amat memuja kecantikan wajahnya. Namun ia pernah mendengar bahwa Sang Buddha mengatakan bahwa kecantikan bukan hal yang utama, dan karena itu Ratu Khema menghindar untuk berjumpa dengan Sang Buddha. Raja Bimbisara mengerti sikap Ratu Khema terhadap Sang Buddha, ia juga mengetahui betapa istrinya amat mengagumi kecantikan wajahnya, lalu meminta pengarang lagu untuk menciptakan sebuah lagu yang isinya memuji keindahan hutan Veluvana. Lagu itu kemudian dinyanyikan oleh para penyanyi terkenal.
Ketika Ratu Khema mendengar lagu tersebut menjadi penasaran, karena hutan Veluvana yang digambarkan sebagai suatu tempat yang indah itu belum pernah ia dengar dan lihat sendiri.
"Kalian bernyanyi tentang hutan yang mana?" , tanya Ratu Khema kepada para penyanyi.
"Paduka Ratu, kami bernyanyi tentang tentang hutan Veluvana", jawab mereka.
Setelah mendengar lagu dari penyanyi tersebut Ratu Khema lalu menjadi ingin sekali mengunjungi hutan Veluvana.
Sang Buddha yang pada saat itu sedang berkumpul membabarkan Dhamma kepada murid-murid-Nya, mengetahui kedatangan Ratu Khema, lalu Sang Buddha menciptakan bayangan seorang wanita muda yang amat cantik, berdiri di samping-Nya.
Ketika Ratu Khema mendekat, ia melihat bayangan wanita muda yang amat cantik, ia berpikir, "Yang saya ketahui Sang Buddha selalu berkata bahwa kecantikan bukanlah hal yang paling utama. Tetapi di sisi Sang Buddha sekarang berdiri seorang wanita yang kecantikannya luar biasa. Saya belum pernah melihat wanita secantik ini", ucap ratu Khema dengan kagum. Ratu Khema tidak mendengarkan kata-kata yang diucapkan Sang Buddha, pandangannya hanya tertuju kepada bayangan wanita cantik di sisi Sang Buddha.
Sang Buddha mengetahui bahwa Ratu Khema amat serius memperhatikan bayangan wanita cantik itu, lalu Sang Buddha mengubah bayangan wanita muda yang amat cantik itu perlahan-lahan menjadi wanita tua, berubah terus sampai akhirnya yang tersisa hanyalah setumpuk tulang belulang. Ratu Khema yang memperhatikan semua itu lalu berkesimpulan, "Pada suatu saat nanti, wajah yang muda dan cantik itu akan berubah menjadi tua, rapuh lalu mati. Ah, semua itu bukan kenyataan!"
Sang Buddha mengetahui apa yang ada dalam pikirannya, lalu berkata,
"Khema, inilah kenyataan perubahan dari kecantikan wajah. Sekarang lihatlah semua kenyataan ini."
Sang Buddha lalu mengucapkan syair,
"Khema, lihatlah paduan unsur-unsur ini, berpenyakit, penuh kekotoran dan akhirnya membusuk. Tipu daya dan kemelekatan adalah keinginan orang bodoh".
Ketika Sang Buddha selesai mengucapkan syair ini Ratu Khema mencapai Tingkat kesucian Pertama (Sottapana). Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, "Khema, semua mahluk di dunia ini, hanyut dalam nafsu indria, dipenuhi oleh rasa kebencian, diperdaya oleh khayalan, mereka tidak dapat mencapai pantai bahagia, tetapi hanya hilir mudik di tepi sebelah sini saja".
Sang Buddha lalu mengucapkan syair,
"Mereka yang bergembira dengan nafsu indria, akan jatuh ke dalam Arus (kehidupan), seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri. Tetapi para bijaksana dapat memutuskan Belenggu itu, mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan serta melepas kesenangan-kesenangan indria".
(Dhammapada, Tanha Vagga No. 14)
Setelah Sang Buddha selesai mengucapkan syairnya, Khema mencapai Tingkat Kesucian Arahat. Sang Buddha lalu berkata kepada Raja Bimbimsara,
"Baginda, Khema lebih baik meninggalkan keduniawian ataukah mencapai nibbana?"
Raja Bimbisara menjawab, "Yang Mulia, izinkanlah ia memasuki Sangha bhikkuni, jangan dulu mencapai nibbana!"
Khema meninggalkan keduniawian dan menjadi salah satu murid Sang Buddha yang terkemuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar