YANG ARIYA SARIPUTTA
Terkemuka dalam Kebijaksanaan
Terkemuka dalam Kebijaksanaan
Pada suatu pagi Sariputta melihat YA Assaji, salah seorang bhikkhu siswa pertama Sang Buddha sedang menerima dana makanan di Rajagaha. Ia sangat terkesan melihat penampilan YA Assaji yang damai dan agung. Ia berpikir bahwa pastilah bhikkhu itu telah mencapai arahat. Ketika YA Assaji selesai makan, ia mendekati dan memberi salam untuk kemudian bertanya siapakah guru beliau dan ajaran apakah yang diajarkan oleh gurunya itu. YA Assaji memberi tahukan bahwa gurunya adalah Sang Buddha Gotama dan bahwa beliau tidak dapat menerangkan ajaran tersebut secara panjang lebar karena belum lama menjadi bhikkhu tetapi dapat menjelaskan artinya secara singkat. Kemudian beliau mengucapkan syair berikut:
"Ye dhamma hetuppabhava,
Tesam hetum tathagato aha;
Tesa�ca yo nirodho ca
Evam vadi mahasamano"
"Semua benda timbul karena suatu sebab,
'Sebab' itu telah diberitahukan oleh Sang Tathagata;
Dan juga lenyapnya
Demikianlah yang diajarkan oleh
Sang Petapa Agung"
Mendengar syair tersebut, Sariputta memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu) dan menjadi seorang Sotapanna (orang yang mencapai tingkat kesucian pertama).
Sariputta terlahir di desa Upatissa dekat Rajagaha. Karena ia adalah anak tertua dari keluarga utama di desa itu, nama pribadinya menjadi Upatissa. Ayahnya adalah seorang Brahmana bernama Vanganta dan ibunya bernama Rupasari, oleh karena itulah ia dikenal pula sebagai Sariputta (putera dari Sari). Ia mempunyai tiga adik laki-laki dan tiga adik perempuan, yang kesemuanya di kemudian hari memasuki Sangha. Sejak kecil Sariputta sudah memperlihatkan kepandaian yang istimewa. Mula-mula ia belajar kepada ayahnya yang mempunyai pandangan yang bijaksana dalam pengetahuan-nya sebagai seorang Brahmana. Ia mempelajari Veda (Kitab Suci Agama Hindu). Pada usia delapan tahun ia mulai belajar dengan seorang guru, dan pada usia enam belas tahun ia sudah terkenal di daerah tempat tinggalnya.
Pada hari kelahirannya, terlahir pula seorang anak laki-laki di desa Kolita, sehingga anak itu disebut Kolita. Ayahnya adalah kepala desa dan ibunya adalah seorang Brahmana bernama Moggali sehingga anak itu disebut pula sebagai Moggallana. Upatissa dan Moggallana berteman sejak masa kanak-kanak mereka. Mereka bersama-sama pula menikmati kesenangan hidup. Sampai pada suatu ketika mereka menyadari bahwa pada akhirnya semua manusia akan mengalami kematian. Oleh karena itulah keduanya bersepakat, untuk meninggalkan hidup keduniawian untuk mencari jalan yang dapat membebaskan diri dari kematian.
Mereka kemudian pergi untuk berguru kepada seorang guru terkenal saat itu yang bernama Sa�jaya. Karena kemampuannya yang luar biasa, Sariputta dan Moggallana segera diakui sebagai murid yang utama diantara murid-murid lainnya. Tetapi meskipun mereka telah menguasai semua ajaran yang diberikan oleh Sa�jaya, mereka belum juga menemukan jalan pembebasan yang dicari. Mereka kemudian berjanji bahwa siapa di antara mereka yang kelak lebih dulu memperoleh Ajaran Sempurna akan memberitahukan hal itu kepada lainnya.
Maka segera setelah Sariputta bertemu dengan YA Assaji, beliau menemui Moggallana dan menyampaikan peristiwa yang dialaminya dan mengulangi syair yang diucapkan oleh YA Assaji. Seketika itu pula Moggallana memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotapanna. Kemudian mereka menyampaikan hal ini kepada Sa�jaya. Namun Sa�jaya menolak untuk pergi bersama mereka menemui Sang Buddha. Keduanya lalu pergi bersama dua ratus lima puluh murid Sa�jaya ke Vihara Veluvana untuk menemui Sang Buddha. Mereka memohon penahbisan dan Sang Buddha menerima mereka ke dalam Sangha dengan kata-kata "Ehi Bhikkhu".
Tujuh hari setelah ditahbiskan, Moggallana mencapai tingkat Arahat (tingkat kesucian tertinggi) setelah mendapat petunjuk dari Sang Buddha. Lima belas hari setelah ditahbiskan, Sariputta berdiam bersama Sang Buddha di gua Sukarakhta di gunung Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar) di kota Rajagaha. Seorang petapa Paribbajaka bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan bertanya kepada Sang Buddha. Sang Buddha kemudian mengkhotbahkan Vedanapariggha kepada petapa tersebut. Mendengar sutta itu Sariputta pun menjadi seorang Arahat (orang yang mencapai kesucian tertinggi).
YA Sariputta dan YA Moggallana merupakan siswa-siswa yang mulia dan termashyur, merupakan Siswa Kepala (Aggisavaka) yang membantu Sang Buddha dalam menyampaikan Ajaran kepada dunia.
Dalam suatu pertemuan para bhikkhu Sang Buddha menyatakan bahwa YA Sariputta adalah siswa yang terkemuka dalam kebijaksanaan, dan YA Moggallana adalah yang terkemuka dalam kekuatan gaib. Dalam hal kebijaksanaan, YA Sariputta adalah yang kedua setelah Sang Buddha. Beliau sangat ahli dalam mengajarkan tentang sebab akibat, Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Utama Berunsur Delapan. Beliau amat pandai menguraikan dengan terinci intisari Ajaran Sang Buddha kepada orang lain. Sang Buddha pernah bersabda "Bila kamu meninggalkan kehidupan keduniawian dan menjadi bhikkhu, kamu harus seperti Sariputta dan Moggallana. Berusahalah untuk mendekati dan meminta mereka untuk mengajarimu".
Meskipun YA Sariputta dikenal sebagai Siswa Kepala, beliau tidak mementingkan diri sendiri. Beliau adalah seseorang yang tahu berterima kasih, rendah hati, penuh belas kasihan dan sabar. Beliau senang mengunjungi bhikkhu-bhikkhu lain yang sakit. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain sedang melakukan pindapata, beliau mengelilingi seluruh bangunan vihara, menyapu tempat-tempat yang belum tersapu, mengisi saluran-saluran yang kosong dengan air, mengatur perabotan dan sebagainya. Khotbahnya, Sangiti Sutta dan Dasuttara Sutta adalah permulaan dari cita-citanya mengulangi Ajaran Sang Buddha untuk menjaga dan mempertahankan kemurniannya dan agar ajaran itu tetap terlindung. Apabila Sang Buddha adalah Dhammaraja (Raja dari Ajaran), maka YA Sariputta adalah Dhammasenapati (Panglima dari Ajaran).
Ketika Sang Buddha mengunjungi kerajaan Sakya, Rahula, putra-Nya meminta harta kepadanya. Untuk memberi harta yang agung kepada Rahula, Sang Buddha meminta YA Sariputta untuk menahbiskan Rahula. YA Sariputta menjadi Upajjhaya dari Rahula sedangkan YA Moggallana menjadi Acariya bagi Rahula. Ketika Sang Buddha mengkhotbahkan Abhidhamma kepada ibunya dan dewa-dewa di surga Tavatimsa, YA Moggallana tinggal bersama orang-orang yang menunggu kembalinya Sang Buddha. Sementara itu, setiap hari pertama Sang Buddha pergi ke danau Anottata untuk mandi dan istirahat siang, YA Sariputta mengunjungi Sang Buddha dan mempelajari semua yang telah dikhotbahkan. Setelah itu beliau mengajarkannya kepada lima ratus siswanya.
Pada saat Devadatta menimbulkan perpecahan di antara para bhikkhu dan membawa lima ratus bhikkhu yang baru ditahbiskan ke Gayasisa, Sang Buddha mengirim kedua Siswa Kepala untuk membawa mereka kembali. Mereka berhasil melaksanakan tugas tersebut dan kembali kepada Sang Buddha bersama kelima ratus bhikkhu itu.
Kurang lebih enam bulan sebelum Sang Buddha wafat, YA Sariputta merasa bahwa akhir hidupnya telah menjelang. Beliau memohon ijin kepada Sang Buddha untuk mencapai Parinibbana (wafat). Setelah diijinkan, YA Sariputta pulang ke desa Nalaka yang merupakan tempat kelahirannya. Para dewa dan Brahma mengunjunginya sehingga membuat ibunya takjub karena Brahma yang dipujanya ternyata menghormati putranya. Pada saat itulah YA Sariputta mengajarkan Dhamma kepada ibunya dan membuatnya yakin kepada Sang Tiratana. Kepada seorang bhikkhu yang ikut bersamanya beliau berkata, "Saya telah bersama-sama denganmu selama lebih dari empat puluh tahun. Kalau saya mempunyai kesalahan, maafkanlah saya." Itulah kata-katanya yang terakhir. Malam itu beliau merebahkan dirinya di tempat tidur dan dengan tenang mencapai Parinibbana (wafat). Relik beliau dibawa ke Savatthi dan Sang Buddha memerintahkan membuat cetiya untuk menyimpan relik tesebut.
Moggall�na Thera
Terkemuka dalam Kekuatan Gaib
Terkemuka dalam Kekuatan Gaib
Setelah memperoleh kekuatan gaib setelah berlatih dengan tekun di bawah bimbingan Sang Buddha, YA Moggallana menggunakan kekuatannya itu untuk mencari di mana ibunya terlahir kembali dan mencoba untuk membalas budi kepada ibu yang mengasuhnya hingga dewasa. Setelah menyelidiki, ditemukanlah bahwa ibunya terlahir kembali di alam neraka dan amat menderita. Melihat hal itu, YA Moggallana segera menggunakan kekuatan gaibnya mengirimkan makanan kepada ibunya. Tetapi pada saat ibunya mencoba memasukkan makanan ke mulutnya, makanan itu terbakar menjadi nyala api dan menyebabkan penderitaan yang lebih hebat dari sebelumnya.
Merasa iba dengan keadaan ibunya itu, YA Moggalana bertanya kepada Sang Buddha apa yang harus dilakukannya untuk menolong ibunya. Sang Buddha bersabda, "Kekuatanmu sendiri tidak mampu untuk mengatasi akibat perbuatan buruk yang telah dilakukan ibumu. Kamu harus memberi persembahan kepada para bhikkhu dan meminta mereka untuk mendoakan ibumu. Doa mereka akan dapat membebaskan ibumu dari neraka". YA Moggallana melaksanakan apa yang disampaikan oleh Sang Buddha, dan jasa perbuatan baik yang dilakukannya dengan memberikan persembahan kepada para bhikkhu untuk dilimpahkan kepada ibunya dan untuk membebaskan ibunya dari alam neraka.
YA Moggallana terlahir di desa Kolita di Rajagaha, berdekatan dengan desa Nalaka tempat kelahiran YA Sariputta. Sejak kecil keduanya merupakan sahabat akrab dan saling menghormati satu sama lain. Keluarga Moggallana merupakan keluarga Brahmana penasihat raja, tinggal di sebuah rumah besar yang dapat dibandingkan dengan istana raja di Rajagaha. Setelah berdiskusi dengan Sariputta, Moggallana memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Pada mulanya keluarganya menolak dengan keras karena keluarganya menaruh harapan besar kepada Moggallana yang mempunyai kemampuan luar biasa. Namun akhirnya mereka mengijinkan karena menyadari tekad Moggallana yang kuat dan keputusannya yang mantap. Moggallana bersama Sariputta berguru kepada Sa�jaya, dan kemudian datang kepada Sang Buddha untuk menjadi siswa Sang Buddha dan memasuki Sangha.
Tujuh hari setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Moggallana pergi menyepi di desa Kallavalamuttagama untuk melatih diri dengan sungguh-sungguh dalam meditasi. Ketika suatu kali beliau merasa mengantuk dan kehilangan semangat, Sang Buddha menampakkan diri di hadapannya dan memberi petunjuk sehingga Moggallana dapat mengatasi perasaan itu. Dengan melaksanakan petunjuk itu Moggallana berhasil mencapai tingkat Arahat hari itu juga. Karena pengabdiannya yang besar kepada Sang Buddha, YA Moggallana mempunyai kemampuan untuk melihat wajah dan mendengar suara Sang Buddha tidak masalah berapapun jauhnya jarak yang memisahkan mereka.
Pada suatu ketika Sang Buddha pergi ke Vihara Jetavana meninggalkan Ya Sariputta dan YA Moggallana di Vihara Hutan Bambu. Suatu hari YA Moggallana menemui YA Sariputta dan berkata bahwa beliau baru saja berbicara dengan Sang Buddha. Dengan takjub YA Sariputta bertanya, "Bagaimana caranya anda berbicara dengan Beliau yang berada sangat jauh, melewati sungai dan gunung, di Vihara Jetavana?" YA Moggallana menjawab bahwa dengan kekuatan gaibnya beliau dapat berbicara dengan Sang Buddha dan Sang Buddha menguraikan ajaran kepadanya. Mendengar hal itu, YA Sariputta berkata bengan kagum, "Sahabatku, kita semua harus menghormatimu, dekat denganmu, dan berusaha keras untuk menjadi seperti dirimu, bagaikan batu kecil yang menyerupai Gunung Himalaya yang amat tinggi."
YA Moggallana pun amat menghormati YA Sariputta. Pada suatu kesempatan, mendengar YA Sariputta menjelaskan dengan sangat fasihnya tentang Empat Jalan untuk Kebebasan, YA Moggallana berkata dengan penuh kekaguman, "Sahabatku, ajaranmu bagaikan makanan untuk mereka yang lapar, dan bagaikan minuman untuk mereka yang haus." Sang Buddha memuji mereka dengan menyatakan, "Sariputta bagaikan seorang ibu yang melahirkan dengan membangunkan pikiran untuk mencari jalan kebebasan. Moggallana bagaikan pengasuh yang merawat si anak untuk mengembangkan pikiran kebebasan. Semua bhikkhu yang melatih diri hendaklah mengambil kedua siswaKu sebagai contoh dan berjuang untuk menyamai mereka untuk mencapai kesempurnaan diri sendiri".
Dengan kekuatan gaibnya YA Moggallana sering mengunjungi surga dan alam lain serta membawa berita dari orang yang sudah meninggal dunia. Beliau mengunjungi Dewa Sakka di alam surga, bahkan Dewa Brahma Baka di alam Brahma, dan banyak orang penting dan membuat mereka yakin akan ajaran Sang Buddha. Dengan kekuatan gaibnya pula beliau mengajar Dhamma. Banyaknya orang yang mengikuti ajaran Sang Buddha menimbulkan iri hati dari kelompok kepercayaan lain. YA Moggallana yang membabarkan ajaran Sang Buddha secara terbuka dan menentang kepercayaan lain sering menjadi sasaran orang-orang itu.
Suatu ketika mereka ingin mempermalukan YA Moggallana dengan mengirim seorang pelacur untuk merayu YA Moggallana. Namun YA Moggallana dengan kekuatan gaibnya dapat mengetahui keadaan pelacur itu dan membimbingnya untuk memiliki keyakinan kepada ajaran Sang Buddha.
Pada akhirnya, YA Moggallana dibunuh oleh orang-orang yang membencinya. Mereka menyewa penjahat untuk menyerang beliau pada saat bermeditasi di gunung. Meskipun batu-batu mematahkan tulangnya, namun YA Moggallana bertekad kembali ke Vihara Hutan Bambu untuk bertemu dengan Sang Buddha. Setelah itu barulah beliau mencapai Parinibbana (wafat). Jenazahnya diperabukan dan reliknya diletakkan dalam sebuah cetiya pada pintu masuk Vihara Veluvana di Rajagaha. Kini relik itu dapat dijumpai pada salah satu stupa di Sanchi, India.
YANG ARIYA ANANDA
Pembantu Tetap Sang Buddha dan Bendahara Dhamma
Pembantu Tetap Sang Buddha dan Bendahara Dhamma
Pada suatu ketika dalam suatu pertemuan para bhikkhu di Rajagaha, Sang Buddha yang saat itu berusia lima puluh lima tahun menyinggung tentang perlunya ditunjuk seorang pembantu tetap untuk diriNya. Semua siswa utama seperti YA Sariputta dan YA Moggallana menawarkan diri untuk menjadi pembantu tetap namun semuanya ditolak oleh Sang Buddha. Para bhikkhu kemudian menganjurkan Ananda yang selama itu berdiam diri saja untuk memohon kepada Sang Buddha untuk dapat diterima sebagai pembantu tetap. Ananda mengatakan, "Kalau Sang Bhagava memang memerlukan Ananda sebagai Pembantu Tetap, Sang Bhagava boleh mengatakannya". Kemudian Sang Buddha berkata, "Ananda, jangan membiarkan orang lain menganjurkan engkau untuk memohon pekerjaan tersebut. Atas kemauan sendiri engkau dapat menjadi Pembantu Tetap Sang Buddha".
Baru setelah itulah Ananda menawarkan diri untuk menjadi Pembantu Tetap asal Sang Buddha berkenan meluluskan delapan permintaannya, yaitu menolak empat hal dan memenuhi empat hal. Empat hal yang diminta Ananda untuk ditolak adalah: apabila Sang Buddha menerima persembahan jubah, maka jubah itu tidak boleh diberikan kepada Ananda; apabila Sang Buddha menerima hadiah, hadiah itu tidak boleh diberikan kepada Ananda; Ananda tidak boleh diminta untuk tidur di kamar pribadi Sang Buddha yang harum baunya (Gandhakuti); apabila Sang Buddha menerima undangan pribadi, maka undangan itu tidak termasuk dirinya. Ananda mengatakan apabila Sang Buddha melakukan hal tersebut maka orang akan bercerita bahwa Ananda menjadi Pembantu Tetap karena ingin mendapat jubah bagus, makanan enak, tempat tinggal menyenangkan dan ikut serta kalau Sang Buddha mendapat undangan.
Empat hal yang diminta Ananda untuk dipenuhi adalah: apabila Ananda menerima undangan atas nama Sang Buddha maka Sang Buddha harus memenuhinya; apabila ada orang datang dari tempat jauh, agar Ananda dapat membawanya menghadap Sang Buddha; apabila Ananda merasa ada sesuatu yang meragukan ia diperbolehkan bertanya kepada Sang Buddha setiap waktu; apabila Ananda tidak hadir saat Sang Buddha berkhotbah, Sang Buddha bersedia mengulanginya kembali. Apabila hal tersebut tidak diperkenankan maka orang akan bertanya-tanya apa sebenarnya faedah dari pengabdian tersebut. Sang Buddha menyetujui permintaan tersebut dan sejak saat itu Ananda resmi menjadi Buddha-upatthaka (Pembantu Tetap Sang Buddha).
YA Ananda terlahir sebagai putera Sukkodana, saudara Suddhodana ayah Sang Buddha, oleh karenanya ia merupakan saudara sepupu pertama Sang Buddha. Hari kelahirannya bersamaan dengan hari kelahiran Sang Buddha, bersamaan pula dengan terlahirnya Puteri Yasodhara yang kemudian menjadi isteri Pangeran Siddhattha, Channa yang kemudian menjadi kusir Pangeran Siddhattha, Kaludayi yang kemudian mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kapilavatthu, Kanthaka yang kemudian menjadi kuda Pangeran Siddhattha, seekor gajah istana, pohon Bodhi tempat Pangeran Siddhattha mencapai Penerangan Agung, Nidhikumbhi yaitu tempat harta pusaka.
Ananda memasuki Sangha bersama-sama dengan para Bangsawan Sakya yaitu Mahanama, Bhaddhiya, Bhagu, Kambila, Devadatta dan tukang cukur mereka yang bernama Upali. Mereka menjumpai Sang Buddha di hutan mangga Anupiya dalam perjalanan ke Rajagaha. Di tempat itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dan dengan tujuan untuk mengurangi rasa kebanggaan mereka, mereka memohon kepada Sang Buddha untuk mentasbihkan Upali, tukang cukur mereka, terlebih dahulu.
Selama vassa berikutnya, Bhaddhiya mendapat tiga kemampuan dan menjadi Arahat. Anuruddha mendapatkan yang kedua dari kemampuan tersebut yaitu mata dewa yang dapat melihat timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk. Sang Buddha menyatakan Anuruddha sebagai yang terkemuka di antara mereka yang memperoleh mata dewa (dibbacakkhu) dan Bhaddhiya sebagai yang terkemuka di antara mereka yang mengalami kelahiran agung. Ananda mendengar khotbah YA Punnamantaniputta dan menjadi seorang Sotapanna (seorang suci tingkat pertama).
Devadatta memperoleh kekuatan gaib yang dapat dicapai oleh manusia biasa. Di kemudian hari Devadatta mengembangkan pikiran jahat dan memusuhi Sang Buddha. Sedangkan Upali menjadi yang terkemuka di antara mereka yang mempelajari Vinaya (aturan kebhikkhuan).
Sebagai Pembantu Tetap Sang Buddha, Ananda melayani Sang Buddha selama dua puluh lima tahun, mengikuti Sang Buddha bagaikan bayanganNya, membawakan air dan tusuk gigi, mencuci kaki Sang Buddha, menyertai Sang Buddha ke mana saja, menyapu tempat kediaman Sang Buddha. Karena dekatnya hubungan dengan Sang Buddha, Ananda berkesempatan untuk mendengarkan semua Khotbah Sang Buddha. Karena mempunyai daya ingat yang luar biasa, Ananda dapat mengingat segala sesuatu yang diucapkan oleh Sang Buddha sehingga ia dikenal sebagai 'Bendahara Dhamma' (Dhamma Bhandagarika)
Pada suatu ketika di Jetavana dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha memuji Ananda dan menempatkannya sebagai bhikkhu yang utama dalam lima hal: kepandaian (Bahusacca), ingatan yang kuat (Sati), kelakuan baik (Gati), ketabahan (Dhiti), perhatian penuh dalam pelayanan (Upatthana).
Ketika Maha Pajapati Gotami, ibu tiri Sang Buddha, memohon kepada Sang Buddha untuk diijinkan memasuki Sangha, Anandalah yang sangat mendukung keinginan tersebut dan berhasil memohon kepada Sang Buddha untuk memperkenankan wanita memasuki Sangha. Inilah permulaan adanya Sangha Bhikkhuni dalam agama Buddha. Ananda pulalah, atas permintaan Sang Buddha, yang merancang jubah bhikkhu dengan pola menyerupai sawah di Magadha.
Meskipun mempunyai hubungan yang dekat dengan Sang Buddha, sampai pada saat Sang Buddha mencapai Parinibbana (wafat), Ananda belum juga mencapai tingkat Arahat (tingkat kesucian tertinggi). Ananda mencapai tingkat Arahat tiga bulan setelah wafatnya Sang Buddha yaitu pada Sidang Agung Pertarna di Gua Sattapanni, Rajagaha. Ketika itu YA Maha Kassapa mengusulkan untuk mengulang Dhamma dan Vinaya sehingga dapat diketahui Ajaran yang sesungguhnya. Para bhikkhu memintanya memilih anggota pertemuan dan beliau memilih 499 Arahat. Beliau diminta pula untuk memilih Ananda, karena meskipun belum mencapai Arahat, Ananda telah mempelajari Dhamma dan Vinaya dari Sang Buddha sendiri. Menyadari dirinya merupakan satu-satunya peserta pertemuan yang belum Arahat, sehari sebelum pertemuan dimulai Ananda melatih diri dengan sungguh-sungguh hingga larut malam.
Menjelang fajar, ia merasa mengantuk dan karenanya merebahkan diri. Pada saat kepala belum menyentuh bantal, belum lagi kakinya meninggalkan lantai, ia menyelami Enam Kemampuan Batin Luar Biasa (Abhi��a). Karena itulah beliau dikatakan sebagai satu-satunya siswa yang mencapai Arahat tanpa empat sikap tubuh (Iriyapatha).
Pada hari pertemuan, Ananda memasuki ruang pertemuan dan muncul di atas tempat duduk kosong yang telah disediakan untuknya. YA Upali dipilih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan YA Maha Kassapa tentang Vinaya dan YA Ananda ditunjuk untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang Dhamma, yaitu tentang Sutta dan Abhidhamma. Oleh karena itulah tiap Sutta selalu dimulai dengan kata-katanya, "Evam me sutam" - 'Demikianlah telah kudengar'.
Ananda melewatkan tahun-tahun terakhirnya dengan mengajar, berkhotbah dan memberikan semangat kepada rekan-rekannya yang lebih muda. Beliau hidup sampai usia yang sangat lanjut yaitu seratus dua puluh tahun. Menjelang wafatnya, beliau pergi ke sungai Rohini yang terletak di perbatasan antara Kapilavatthu dan Koliya. Setelah berkhotbah kepada kedua pihak, beliau berjalan ke tengah sungai dan dari tubuhnya keluar api yang membakar badan jasmaninya. Sisa badan jasmaninya dibagi dua dan ditaruh dalam stupa di Kapilavatthu dan di Koliya.
Yang Ariya Rahula
Pada hari ketujuh setelah Sang Buddha kembali ke Kapilavatthu, Puteri Yasodhara mendandani Pangeran Rahula dengan pakaian yang bagus dan mengajaknya kejendela. Dari jendela itu mereka dapat melihat Sang Buddha sedang makan siang. Puteri Yasodara kemudian bertanya kepada Rahula, "Anakku, tahukah engkau siapa orang itu?" Rahulu menajwab, "Beliau adalah Sang Buddha, ibu". Yasodhara tak dapat menahan air matanya yang menitik keluar dan berkata, "Anakku, petapa yang kulitnya kuning keemasan dan tampak seperti Brahma dikelilingi oleh ribuan muridnya adalah ayahmu. Beliau punya banyak harta pusaka. Pergilah kepadanya dan mintalah Harta pusaka untukmu". Pangeran Rahula yang masih kecil itu kemudian pergi mendekati Sang Buddha dan sambil memegang jari tangan Sang Buddha mengatakan apa yang dipesankan ibunya. Kemudian ia menambahkan "Ayah, bahkan bayangan ayah membuat hatiku senang".
Selesai makan Siang Sang Buddha meninggalkan istana. Rahula mengikut sambil terus merengek, "Ayah, berikanlah aku harta pusaka. Kelak aku akan menjadi raja, aku ingin memiliki harta pusaka. Ayah, berikanlah aku harta warisan". Tak ada orang yang mencoba menghalang-halangi dan Sang Buddha sendiri juga membiarkan Rahula berbuat demikian. Setibanya di taman, beliau berpikir, "Rahula minta warisan harta pusaka, tetapi semua harta dunia penuh dengan penderitaan. Lebih baik aku memberikan warisan berupa Tujuh Faktor Penerangan Agung yang aku peroleh dibawah pohon Bodhi. Dengan demikian ia akan mewaisi harta pusaka yang paling mulia.
Di Vihara, Sang Buddha meminta YA Sariputta untuk menabhiskan Rahula sebagai Samanera. Rahula dengan demikian merupakan samanera pertama. Mendengar Rahula telah ditabhiskan menjadi Samanera, Raja Suddhodana merasa sangat sedih. Oleh karena itu ia mohon kepada Sang Buddha agar seseorang yang akan ditabhiskan menjadi bhikkhu atau samanera agar dengan ijin orangtuannya. Sang Buddha menyetujui permohonan tersebut dan mulai saat itu tidak mentabhiskan bhikkhu atau samanera tanpa terlebih dahulu mendapat ijin dari orangtuannya.
Rahulu merupakan putera dari Pangeran Siddhatta dan Puteri Yasodhara. Ketika Pangeran Siddhatta mendengar berita bahwa istrinya telah melahirkan seorang putera, mukanya menjadi pucat. Pangerang mengangkat kepalanya menatap langit dan berkata, "Rahulajato, bandhanam jatam" (Satu Belenggu telah terlahir, satu ikatan telah terlahir). Karena itulah maka bayi yang baru lahir itu diberi nama Rahula. Kelahiran Rahulu disambut dengan pesta besar yang meriah. Namun saat itu Pangeran Siddhatta telah bertekad untuk meninggalkan sitana untuk mencari jalan untuk membebaskan mansuai dari usia tua, sakit dan kematian.
Sesaat sebelum meninggalkan istana, Pangeran Siddhatta pergi ke kamar puteri Yasodhara untuk melihat isteri dan anaknya. Isterinya sedang tidur nyenyak dan memeluk bayinya. Tangannya menutup muka sang bayi sehingga muka bayi tidak dapat terlihat. Pangeran semula ingin menggeser tangan istrinya untuk dapat melihat muka puteranya itu, tetapi hal ini diurungkan karena takut hal itu menyebabkan Puteri Yasodhara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan istana bisa gagal. Pangeran berkata dalam hati, "Biarlah hari ini aku tidak melihat wajah anakku, tetapi nanti setelah aku memperoleh apa yan kucari aku akan datang kemhali dan dengan puas dapat melihat wajah anak dan isteriku". S etelah itu Pangeran Siddhatta mengingalkan istana denga menunggang kuda Kanthaka diikuti oleh kusirnya Channa untuk berkelana mencari jalan kebahagiaan bagi umat manusia.
Kepergian Pangeran Sidhatta memberikan kesedihan yang mendalam bagi ayahnya, Raja Suddhodana terlebih pula isterinya, Puteri Yasodhara. Rahulu yang kehilangan ayahnya diasuh dan dididik dengan penuh kasih sayang dan tumbuh menjadi anak yang pandai dan baik budi. Puteri Yasodhara sendiri ketika mendengar bahwa Pangeran Sidhartta yang telah menjadi petapa memakai jubah kuning, ia pun memakai jubah kuning, seewaktu mendengar petapa Sidhattha hanya makan satu kali sehari, ia pun makan hanya satu hari sehari. Demikian pula mengikuti kehidupan petapa Sidhattha, Puteri Yasodhara tidak lagi tidur di dipan yang tinggi dan mewah, tidak lagi memakai untaian bunga dan wewangian.
Setelah ditabhiskan oleh YA Sariputta, Rahula kini harus mengikuti peraturan yang berlaku. Sebagai anak Rahula tidak dapat memanggil ayah atau selalu berdekatan degnan Sang Buddha. Ia mungkin merupakan kesedihan baginya karena ia tidak dapat memperlakukan ayahnya sebagai seorang ayah sehingga mendorongnya untuk melakukan kenakalan-kenakalan kecil. Contohnya, suatu kali ia menunjukkan arah yang salah kepada umat yang datang ke vihara dan bertanya dimana dapat bertemu dengan Sang Buddha. Hal ini terdengar oleh Sang Buddha yang segera menuju ke kuti Rahula.
Rahula merasa bahagia ketika melihat Ayahnya datang menghampirinya. sang Buddha lalu meminta Rahula untukmenyiapkan sebaskom air. Setelah Rahula membasuh kaki Sang Buddha, Sang Buddha bertanya, "Rahula, dapatkah kamu minum air ini?" Rahula menjawab, "Tidak, tadi air ini bersih, tetapi sekarang sesudah dipakai membasuh kaki, air menjadi terlalu kotor untuk diminum".
Sang Buddha lalu menyuruh Rahula membuang air itu dan kembali dengan baskom yang sudah kosong lalu Sang Buddha berkata, "Rahula, dapakah kamu menaruh masakan kedalam baskom ini?" Rahulua menjawah, "Tidak, saya tidak dapat menaruh makanan di baskom karena bekas tempat air kotor".
Mendengar jawaban Rahulu Sang Buddha berkata, "Seseorang yang mengetahui bahwa kebohongan adalah perbuatan buruk, tetapi berbohong terus menerus dengan menyakiti orang lain adalah seperti air yang kotor atau sebuah baskom yang sudah kotor. Kejahatan mulai dengan berbohong yang akan mengundang kejahatan lain pada dirinya sendiri. dan penderitaan yang disebabkan oleh kebohongan tidak akan dapat dielakkan oleh sipembuat kebohongan."
Dengan kata-kata yang disampaikan oleh sang Buddha, sejak itu Rahula dengan amat rajin mematuhi semua peraturan Sangha dan menjadi seorang bhikkhu yang terkemuka dalam melaksanakan perbuatan baik. Banyak orang memandang Rahula dengan penuh simpati, meskipun terlahir dan dididik sebagai Pangeran, ia dapat melepaskan semua hak-hak istimewanya dan pada usia demikian muda dapat menjalani kehidupan suci dengan begitu baik. Namun ada pula anggota Sangha yang memperlakukannya dengan tidak ramah, dan beberapa orang bhikkhu iri hati kepadanya. Menerima perlakuan yang tidak menyenangkan itu merupakan ujian berat baginya.
Pada suatu ketika, ketika YA Sariputta dan Rahula sedang berpindapata di Rajagaha, seorang perusuh melempar pasir ke mangkuk YA Sariputta, dan memukul Rahula. YA S ariputta mengingatkan Rahula, "Rahula, engkau adalah siswa Sang Buddha. Perlakuan apapun yang kamu terima, tidak boleh menyebabkan kemarahan masuk ke dalam hatimu. Kamu harus selalu berbelas kasihan kepada semua makhluk. Orang yang paling berani, orang yang mencari penerangan, membua kesombongan dan memiliki keteguhan hati untuk mengatasi kemarahan". Rahula tersenyum dan terus berjalan sampai menemui sebuah sungai dan membersihkan kotoran dari tubuhnya.
Rahula tidak pernah membenci nasehat yang diberikan kepadanya. Setiap Bangun pagi ia mengambil segenggam pasir dan bertekad. "Semoga hari ini saya mendapat nasehat sebanyak pasir ini". Semangatnya dapat terlihat dari kenyataan bahwa ia melaksanakan latihan-latihan yang sangat sulit dan keras, dengan cara untuk tidak terbaring melainkan duduk dalam posisi meditasi untuk tidur selama masa dua belas tahun.
pada usia dua puluh tahun, Rahula ditabhiskan menjadi bhikkhu dengan pembimbing (upajjhaya) YA Saripputta dan guru penabhisan resmi YA Moggallana. Selama kurang lebih satu masa latihan musim hujan Rahula melatih diri dengan sungguh-sungguh. Ketika itu Sang Buddha yang mengetahui bahwa pikiran Rahula sudah matang, membawanya ke hutan Ananda, dan mengajarkan ajaran yang dikenal seabgai Nasihat kecil untuk Rahula (Cullarahulavada Sutta, Majjhima Nikaya). Rahula merasakan kegembiraan setelah mendengar sabda Sang Buddha dan hatinya terbebaskan dari kekotoranbatin (asava) dan beliau mencapai tingkat kesucian tertinggi yaitu arahat.
Pada suatu kali delapan tahun setelah mencapai tingkat Arahat, terdapat para bhikkhu yang datang memakai tempat tidur ya Rahula. Karena tidak menemukan tempat untuk istirahat, YA Rahula tidur diruang terbuka di depan tempat Sang Buddha. YA Rahula mencapai Parinibbana (wafat) setelah wafatnya Sang Buddha, diperkirakan pada usia lima puluh tahun. Dibangun sebuah stupa untuk menyimpan peninggalan beliau.
Yang Ariya Kisa Gotami Theri
Orang yang pikirannya melekat pada anak-anak dan ternak peliharaannya, maka kematian akan menyeret dan menghanyutkannya, seperti banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.
Kisa Gotami adalah seorang gadis dari sebuah keluarga miskin di kota Savatthi. Nama sebenarnya adalah "Gotami". Tetapi karena tubuhnya yang kurus maka dia dipanggil "Kisa". Setiap orang yang melihat Kisa Gotami berjalan, dengan badannya yang tinggi dan kurus, tak seorang pun dapat melihat kebaikan yang ada di dalam dirinya.
Kisa Gotami sulit mendapatkan suami karena miskin dan tidak memilik daya tarik. Namun secara tak terduga kebaikan Kisa Gotami terlihat oleh seorang pedagang kaya yang menganggap bahwa kebaikan tidak dapat dilihat dari penampilan luar saja. Pedagang kaya itu kemudian menikahi Kisa Gotami.
Kisa Gotami tidak menduga ternyata keluarga suaminya memandang rendah dirinya karena kasta, kemiskinan, dan penampilan dirinya. Hal-hal tersebut membuat Kisa Gotami sangat menderita, terutama karena suaminya tercinta harus menghadapi konflik antara orang-orang yang ia sayangi, yaitu orangtua dan isterinya.
Waktu terus berlalu, lahirlah seorang bayi laki-laki dari pernikahannya itu. Kisa Gotami mulai diterima dan dihormati oleh seluruh keluarga suaminya. Dia sangat bahagia, tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, anaknya tersebut meninggal dunia ketika ia baru saja belajar berjalan. Kematian anaknya itu membuat Kisa Gotami sangat sedih dan amat takut.
"Akankah keluarga suamiku memandang rendah dan menyalahkan diriku atas semua yang telah terjadi?"
"O, tidak, aku harus berbuat sesuatu", pikirannya amat kalut.
Kejadian tersebut membuat Kisa Gotami menjadi gila, apalagi dia tidak pernah melihat kematian sebelumnya. Kisa Gotami tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya telah meninggal, dia menganggap anaknya hanya sakit dan harus mendapatkan obat untuk menyembuhkannya.
Dengan menggendong anaknya, Kisa Gotami meminta obat dari rumah ke rumah
"Tolong..., oh tolonglah, berikanlah obat untuk anakku yang sakit ini", ucapnya dengan penuh pengharapan.
Tidak sedikit orang yang mengejeknya tanpa perasaan, namun ada seorang baik hati dan bijaksana yang iba melihatnya, kemudian dia menasihatinya untuk menemui Sang Buddha.
"Saudari, pergilah kepada Sang Buddha, Beliau memiliki obat yang kamu butuhkan", kata orang baik hati dan bijaksana itu.
Dengan bergegas Kisa Gotami menemui Sang Buddha di Jetavana, di kediaman Anathapindika, di mana Sang Buddha sedang bermalam. Kemudian Kisa Gotami memohon kepada Sang Buddha,
"Yang Mulia.... tolong ...... tolonglah�� berikanlah obat yang dapat menyembuhkan anakku yang sakit ini."
Lalu Sang Buddha menjawab,
"Gotami, mintalah segenggam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah mengalami kematian."
"Baik, Yang Mulia," Kisa Gotami berkata dengan pikiran gembira.
Dengan membawa anaknya yang telah meninggal dunia itu, Kisa Gotami pergi dari rumah ke rumah, untuk meminta segenggam biji lada.
"Bolehkah saya meminta segenggam biji lada?" tanya Kisa Gotami.
"Oh ... tentu saja," jawab si tuan rumah, kemudian diberikanlah segenggam biji lada kepada Kisa Gotami.
Kemudian Kisa Gotami bertanya lagi,
"Apakah di rumah ini tidak pernah mengalami kematian dari salah satu anggota keluarga."
"Tentu saja pernah", jawab si tuan rumah. Kemudian Kisa Gotami meninggalkan rumah tersebut dan menanyakan hal yang sama ke rumah-rumah lainnya. Setiap orang ingin menolongnya, tetapi ia tidak pernah menemukan sebuah rumah pun dimana kematian dari anggota keluarga belum pernah terjadi.
Hari sudah menjelang malam dan akhirnya Kisa Gotami menyadari bahwa bukan hanya ia seorang yang terpukul karena kematian orang yang disayangi.
Ternyata terdapat banyak orang yang telah meninggal dunia, ini merupakan segi-segi kehidupan manusia. Kisa Gotami menjadi sadar dan mengerti bahwa pada setiap kelahiran pasti ada kematian.
Tak lama setelah menyadari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia berubah. Ia tidak lagi melekat kepada anaknya. Kisa Gotami memakamkan anaknya di hutan dan kembali kepada Sang Buddha.
" Sudahkah kamu mendapatkan biji lada, Gotami?" tanya Sang Buddha.
"Yang Mulia, Saya tidak mendapatkan segenggam biji lada dari rumah yang keluarganya belum pernah mengalami kematian," jawab Kisa Gotami.
Kemudian Sang Buddha berkata,
"Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya."
Mendengar hal ini, Kisa Gotami benar-benar menyadari akan ketidakkekalan, ketidakpuasan dan tanpa inti dari kelompok kehidupan dan mencapai tingkat kesucian Sotapatti dan memohon ditahbiskan untuk menjadi bhikkhuni. Kisa Gotami memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dengan bernamaskara. Kemudian memohon ditahbiskan menjadi anggota Sangha Bhikkhuni.
Tak lama setelah menjadi bhikkhuni, Kisa Gotami mempelajari sebab-sebab kemunculan dari benda-benda. Pada suatu hari, ketika Kisa Gotami sedang menyalakan beberapa lampu, ia melihat beberapa api lampu mati dan yang lainnya masih menyala. Tiba-tiba Kisa Gotami mengerti dengan jelas timbul dan tenggelamnya kehidupan makhluk. Sang Buddha dengan kemampuan-Nya yang luar biasa melihat dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar serta menampakkan diri-Nya di hadapan Kisa Gotami. Sang Buddha berkata kepada Kisa Gotami untuk meneruskan meditasi dengan objek ketidakkekalan dari kehidupan makhluk dan berjuang keras untuk mencapai Nibbana.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair Dhammapada 114 berikut:
"Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat keadaan tanpa kematian (Nibbana), sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat "keadaan tanpa kematian"."
Kisa Gotami mencapai Tingkat Kesucian Arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar