Pages - Menu

Pages

Jumat, 20 April 2012

SIDDHATTHA GOTAMA : Kelahiran, Remaja, dan Titik Balik Kehidupan-Nya

SIDDHATTHA GOTAMA : Kelahiran, Remaja, dan Titik Balik Kehidupan-Nya


“Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa”
( Tikkhattum ; 3x )
____________________________________________

[ Sumber : Riwayat Agung Para Buddha (The Great Chronicle of Buddhas), karya Tipitakadhara Mingun Sayadaw (Myanmar) ; Ehipassiko Collection dan Girimangala publications]

DEWA SETAKETU : BODDHISATTA KITA

Boddhisatta Dewa Setaketu
Boddhisatta Dewa Setaketu
Setelah melengkapi dirinya dengan Dasa-Paramita ( Sepuluh Kesempurnaan ) pada kehidupan terakhirnya sebagai (seorang manusia ) Pangeran Wessantara, Boddhisatta kita terlahir di alam surga Tusita bernama Dewa Setaketu. Dewa Setaketu, Bakal Buddha Gotama kita, menikmati kebahagiaan surgawi di surga Tusita selama 4.000 tahun surgawi yang sama dengan 576.000.000 ( lima ratus tujuh puluh enam juta ) tahun manusia. Kemudian, 1.000 tahun manusia sebelum kehidupannya di Surga Tusita berakhir, para Brahma dari alam Suddhavassas berseru,”Teman-teman! Seribu tahun dari sekarang, akan muncul seorang Buddha di alam manusia!”
Mendengar seruan yang memberitakan tentang akan munculnya seorang Buddha, semua raja dewa dari sepuluh ribu alam semesta, seperti Catummaharajika, Sakka, Suyama, Santusita, Sunimitta, Vasavatti dan semua Maha-Brahma berkumpul di suatu alam tertentu untuk mendiskusikan mengenai Bakal-Buddha yang usianya tinggal tujuh hari lagi, dan yang sedang mendekati ajalnya dan telah melihat lima tanda-tanda ( pubbanimitta ). Kemudian mereka semua mendatangi Dewa Setaketu dengan beranjali dan memohon :
“O, Boddhisatta Dewa, Engkau telah memenuhi Sepuluh Kesempurnaan, bukan untuk memberoleh kebahagiaan Sakka, Mara, Brahma, atau Raja Dunia. Engkau memenuhi Kesempurnaan ini dengan cita-cita hanya untuk mencapai Ke-Buddha-an, agar memperoleh Kebebasan, juga untuk membebaskan makhluk-makhluk lain, manusia, dewa dan Brahma. O, Boddhisatta dewa, ini adalah waktu yang paling tepat bagi-Mu untuk menjadi Buddha, inib enar-benar waktu yang tepat untuk menjadi Buddha! Oleh karena itu, sudilah Engkau masuk ke rahim ibu-Mu di alam manusia. Setelah mencapai Pencerahan-Sempurna, semoga Engkau juga membebaskan manusia, dewa, dan Brahma dari samsara dengan mengajarkan Dhamma Keabadian, Nibbana.”
Dewa Setaketu tidak segera menyetujui permohonan para Dewa tersebut, namun melakukan penyelidikan atas kelima hal sebagaimana juga dilakukan oleh para Boddhisatta-Dewa terdahulu, yaitu :
  1. Waktu yang tepat bagi munculnya seorang Buddha.
  2. Benua yang cocok bagi munculnya seorang Buddha.
  3. Negeri yang tepat bagi munculnya seorang Buddha.
  4. Keluarga dimana Boddhisatta (dalam kelahiran terakhirnya) akan dilahirkan, dan
  5. Umur kehidupan dari bakal ibu Boddhisatta.
Setelah menyelidiki kelima hal tersebut, Boddhisatta Dewa Setaketu memutuskan,”Aku akan turun ke alam manusia dan menjadi Buddha.” Kemudian, Boddhisatta melanjutkan pernyataannya,”O,Dewa dan Brahma, sekarang adalah saatnya bagi-Ku untuk menjadi Buddha seperti permohonan kalian, Anda sekalian boleh pergi sekarang ; Aku akan turun ke alam manusia untuk mencapai ke-Buddha-an.”
Setelah menyatakan hal itu, Boddhisatta Dewa Setaketu melangkah masuk ke Taman Nandavana ( sebuah taman surgawi yang sangat megah dan menyenangkan ). Setelah memasuki Taman Nandavana, para pengikutnya, para dewa laki-laki dan perempuan berkata kepadanya,”Setelah meninggal dari alam dewa ini, semoga Engkau terlahir di alam yang baik, tempat tujuan makhluk-makhluk yang memiliki banyak kebajikan!” Demikian, para dewa menyertai Boddhisatta Dewa Setaketu di Taman Nandavana sembari meminta-Nya untuk merenungkan kebajikan-kebajikan yang pernah dilakukannya pada masa lalu. Mereka mengelilingi Boddhisatta. Ketika Boddhisatta sedang berkeliling di Taman diiringi oleh para Dewa , saat kematian-Nya tiba.
MIMPI RATU MAHAMAYA : CALON IBUNDA BODDHISATTA KITA

Mimpi ratu Mahamaya
Mimpi ratu Mahamaya
Bersamaan dengan saat kematian Boddhisatta Dewa Setaketu, Siri Mahamaya, permaisuri Raja Suddhodana dari kerajaan Kapilavatthu sedang menikmati kebahagiaan istana. Saat Permaisuri sedang menjalankan Delapan Sila dan berbaring di atas dipan yang indah, pada jaga terakhir di malam purnama itu, Siri Mahamaya jatuh tertidur dan bermimpi, yang merupakan pertanda masuknya Boddhisatta kedalam rahimnya. Mimpinya adalah sebagai berikut :
“Empat Dewa Catummaharajika mengangkat dan membawanya bersama tempat tidurnya ke Danau Anotatta di Pengunungan Himalaya. Kemudian ia dibaringkan di atas batu datar berukuran enam puluh yojana di bawah keteduhan pohon Sala yang tingginya tujuh Yojana.
Setelah itu, para permaisuri dari Empat Raja Dewa tersebut datang dan membawa ratu ke danau dan memandikannya sebersih mungkin. Kemudian mereka memakaikan pakaian surgawi kepadanya serta mendandaninya dengan kosmetik surgawi; mereka juga meriasnya dengan bunga-bunga surgawi. Kemudian ia dibaringkan dengan kepalanya menghadap ke timur di dalam sebuah kamar dari sebuah istana emas di dalam gunung perak tidak jauh dari danau tersebut.
Pada saat itu dalam mimpinya, ia melihat seekor gajah putih bersih sedang berjalan-jalan di gunung emas tidak jauh dari gunung perak dimana ia berada di dalam istana emasnya. Kemudian gajah putih tersebut turun dari gunung emas, naik ke gunung perak dan memasuki istana emas. Gajah putih tersebut kemudian mengelilingi ratu ke arah kanan dan kemudian masuk ke rahimnya dari sebelah kanan.”
Pada saat sedang bermimpi, Boddhisatta Dewa Setaketu sedang berkeliling di Taman Nandavana di Surga Tusita, menikmati pemandangan dan suara yang indah; pada saat itulah Bliau meninggal dunia dari Alam Tusita dengan penuh kesadaran. Pada saat itu juga Boddhisatta masuk ke rahim yang mirip teratai  milik Permaisuri Ratu Mahamaya , dengan kesadaran agung. Peristiwa ini terjadi pada hari Kamis pagi pada hari purnama di bulan Asalha tahun 67 Maha Era, penanggalan yang ditetapkan oleh Raja Anjana, kakek Boddhisatta. Peristiwa ini ditandai dengan peristiwa bulan dan bintang Uttarasalha berada dalam posisi segaris ( Tanggal dan tahun memasuki rahim dan kelahiran Boddhisatta yang disebutkan disini disesuaikan dengan perhitungan ilmu astrologi dan ilmu sejarah raja-raja. )
Bersamaan dengan saat Boddhisatta memasuki rahim, terjadi gempa bumi dahsyat. Sepuluh ribu alam-semesta berguncang dalam enam arah :
  1. Belahan bumi di timur naik dan di barat turun
  2. Belahan bumi di barat naik dan di timur turun
  3. Belahan bumi di utara naik dan di selatan turun
  4. Belahan bumi di selatan naik dan di utara turun
  5. Belahan bumi di tengah naik dan di sekeliling turun
  6. Belahan bumi di sekeliling naik dan di tengah turun
Selanjutnya, juga terjadi tiga-puluh-dua (32) fenomena ghaib yang biasanya terjadi saat Boddhisatta memasuki rahim dalam kehidupan terakhirnya , yaitu diantaranya ; 1). Cahaya gilang-gemilang bersinar di sepuluh ribu alam-semesta, 2) Mereka yang buta menjadi dapat melihat saat itu juga jika mereka ingin melihat keagungan Boddhisatta, 3). Mereka yang tuli dapat mendengar pada saat itu juga, 4).  Kuda-kuda meringkik dengan suara yang menyenangkan, 5). Hujan turun dengan derasnya, 6). Segala penjuru dipenuhi dengan bunga-bunga teratai dalam tiga warna, dan lain-lainnya.
Sewaktu Ratu Siri Mahamaya bangun, ia menceritakan mimpinya kepada Raja Suddhodana. Keesokan paginya, Raja Suddhodana memanggil enam-puluh-empat (64) Brahmana pandai. Setelah melayani mereka dengan makanan dan lain-lain dan memberikan penghormatan pada mereka, Raja Suddhodana menceritakan mimpi ratu kepada para Brahmana dan bertanya,”Apakah arti mimpi tersebut? Baik atau buruk? Pelajari dan katakan padaku pendapatmu.”
Para Brahmana menjawab,”Raja besar, jangan cemas. Ratu sekarang telah hamil. Janin di dalam rahimnya adalah anak laki-laki bukan perempuan. Engkau akan memiliki seorang putra. Jika ia memutuskan untuk menjalani kehidupan kerajaan, ia akan menjadi raja dunia yang menguasai empat benua. Jika ia meninggalkan kehidupan rumah-tangga dan menjadi petapa, ia akan menjadi Buddha yang menghancurkan akar kotoran batin di tiga alam.”
Demikianlah, dan Ratu Mahamaya pun kemudian dijaga/dilindungi oleh para Dewa Catummaharajika, yaitu Vessavana serta yang lainnya yang hidup di alam semesta ini, memasuki kamar agung Ratu Siri Mahamaya dan memberikan perlindungan siang dan malam.
KELAHIRAN BODDHISATTA

Lahirnya Boddhisatta
Lahirnya Boddhisatta
Usia kehamilan bagi perempuan selain Ibu seorang Boddhisatta, umumnya tidak pasti, bisa kurang dari sepuluh bulan ( 9 bulan 10 hari ), bisa juga lebih dari sepuluh bulan. Juga, mereka tidak tahu pasti kapan bayinya akan terlahir. Bayi mereka akan terlahir pada waktu yang tidak terduga dalam satu dari empat postur, berbaring, duduk, berdiri atau berjalan.
Namun tidak demikian dengan Ratu Mahamaya yang mengandung seorang Boddhisatta. Masa kehamilannya tepat sepuluh bulan atau 295 hari sejak hari pertama kehamilan. Seorang Boddhisatta terlahir sewaktu ibu sedang dalam postur berdiri. Ketika terlahir, ia bersih tanpa noda bagaikan batu delima yang diletakkan di atas kain tenunan dari Kasi.
Ketika Ratu Mahamaya sampai pada tahap akhir dari kehamilannya, Ratu merasakan keinginannya untuk mengunjungi Devadaha, tempat tinggal sanak saudara kerajaannya. Ia memohon restu dari Raja Suddhodana dan Raja pun merestuinya.
Raja melakukan persiapan dengan megah. Setelah persiapan selesai,Raja mendudukkan Sang Ratu di dalam tandu emas baru yang diangkat oleh seribu prajurit istana, dengan dikawal oleh para pengawal dan pelayan untuk melakukan berbagai tugas selama dalam perjalanan. Dengan kemegahan dan kemuliaan demikian, Sang Ratu berangkat menuju Kota Devadaha.
Di antara Kapilavatthu dan Devadaha, terdapat hutan pohon Sala yang dinamakan Taman Lumbini, yang merupakan tempat rekreasi bagi orang-orang dari kedua kerajaan. Ketika Mahamaya Dewi sampai disana, semua pohon Sala di hutan itu berbunga dari bawah pohon hingga pucuknya. Menyaksikan taman Lumbini dengan segala keindahannya Mahamaya Dewi merasakan keinginan untuk bersantai dan beristirahat di dalamnya. Raja Suddhodana pun mengabulkan permohonan Sang Ratu.
Pada saat Mahamaya Dewi memasuki taman, semua dewa berseru yang gemanya menembus sepuluh ribu alam semesta, “Hari ini Boddhisatta akan terlahir dari kamar teratai rahim ibu-Nya.” Para dewa dan Brahma dari sepuluh ribu alam semesta berkumpul di alam semesta ini, mereka membawa berbagai macam harta benda yang indah sebagai penghormatan dalam kelahiran boddhisatta. Langit surga ditutupi oleh payung putih surgawi dan terompet kulit kerang pun ditiup.
Segera setelah Mahamaya Dewi memasuki Taman Lumbini, ia merasakan desakan untuk meraih dahan sebatang pohon Sala yang sedang mekar penuh, batangnya bulat dan lurus.Seolah-olah bergerak, dahan tersebut merunduk dengan sendirinya seperti tongkat rotan yang lunak karena dipanaskan, sehingga dahan tersebut menyentuh telapak tangan Ratu, sebuah peristiwa ghaib yang menggemparkan.
Dengan berpegangan pada dahan pohon Sala, Ratu Mahamaya berdiri dengan anggun dengan berpakaian dari bahan kain broklat berbenang emas dan selendang bersulamkan hiasan-hiasan indah berwarna putih yang mirip mata ikan yang menutupi sampai ujung jari kakinya. Pada saat itu ia merasakan tanda-tanda kelahiran. Para pelayannya buru-buru membentuk lingkaran dan menutupi area tersebut dengan tirai.
Pada saat itu, tiba-tiba sepuluh ribu alam semesta bersama-sama dengan samudera raya bergolak, berguncang dan berputar bagaikan roda pembuat tembikar. Dewa dan Brahma berseru gembira dan menyiramkan bunga-bunga dari angkasa; segala alat musik secara otomatis memainkan lagu-lagu yang indah dan merdu. Seluruh alam semesta menjadi terlihat cerah dan jernih tanpa halangan di semua arah. Fenomena-fenomena ajaib ini yang seluruhnya berjumlah tiga-puluh-dua (32) terjadi menyambut kelahiran Boddhisatta.
Bagaikan permata indah yang melayang keluar dari puncak Gunung Vepulla, melayang-layang kemudian turun perlahan-lahan di atas tempat yang telah dipersiapkan, demikianlan Boddhisatta yang berhiaskan tanda-tanda fisik besar dan kecil dilahirkan bersih dan suci dari rahim teratai yang mirip stupa milik Mahamaya Dewi, pada hari Jumat, malam purnama di bulan Vesakha, bulan musim panas di tahun 68 Maha Era, ketika bulan dalam posisi segaris dengan bintang Visakha.
Pada saat kelahiran Boddhisatta, dua mata air, hangat dan dingin mengalir dari angkasa dan jatuh di tubuh Boddhisatta yang memang telah bersih dan suci dan tubuh ibunya sebagai penghormatan, mereka dapat menyesuaikan panas dan dingin dari air tersebut yang jatuh ke tubuh mereka.
Empat Maha-Brahma yang telah bebas dari nafsu indriya adalah yang pertama menerima Boddhisatta di atas sebuah jaring emas pada saat kelahiran. Kemudian mereka meletakkannya di depan sang ibu dan berkata,”Ratu, bergembiralah, seorang putra yang penuh kekuasaan telah engkau lahirkan.”
Kemudian empat raja dewa menerima Boddhisatta dari tangan empat Maha-Brahma di atas sehelai kulit rusa hitam seolah-olah benda yang sangat berharga. Kemudian manusia menerima Boddhisatta dari tangan empat raja dewa di atas sehelai kain putih.
BAYI SIDDHATTA GOTAMA BERJALAN TUJUH LANGKAH DAN MENGUCAPKAN SERUAN BERANI
Kemudian, setelah turun dari tanan manusia, Boddhisatta berdiri tegak di atas kedua kaki-Nya yang seolah-olah mengenakan sepatu emas, dan menginjak tanah dengan mantap, Ia memandang timur dan pada saat itu, ribuan alam semesta di sebelah timur terlihat jelas dalam posisi segaris tanpa ada halangan apa pun diantaranya. Para Dewa dan manusia di sebelah timur memberi hormat pada Boddhisatta dengan wangi-wangian, bunga dan lain-lain dan berkata,”O, Manusia Mulia, tidak ada makhluk apa pun di sebelah timur yang dapat menyamai-Mu. Mungkinkah ada yang melebihi Engkau?”
Kemudian, Boddhisatta berturut-turut memandang sembilan arah lainnya – delapan arah mata angin, ke atas dan kebawah – Ia melihat tidak ada yang dapat menandingi-Nya di segala arah. Selanjutnya, Ia menghadap ke arah utara dari tempat Ia berdiri, kemudian ia berjalan maju tujuh langkah.
Boddhisatta diikuti oleh Mahabrahma, Raja Brahma, yang memayungi-Nya dengan payung putih dan Dewa Suyama memegang pengusir serangga terbuat dari ekor yak. Para dewa lain membawa seluruh atribut kerajaan seperti sepatu, pedang, dan mahkota mengikuti dari belakang. Profesi makhluk surgawi ini tidak terlihat oleh para manusia disana , mereka hanya melihat tanda-tanda kebesaran mereka saja.
Ketika berjalan, Boddhisatta berjalan biasa di atas tanah seperti manusia biasa, tetapi yang terlihat oleh manusia disana, Boddhisatta berjalan di udara.Pada saat berjalan, Boddhisatta dalam keadaan telanjang tanpa mengenakan pakaian apa pun, namun yang terlihat oleh manusia, Ia berpakaian lengkap. Boddhisatta adalah bayi yang baru lahir yang sedang berjalan, namun oleh mata manusia, Ia terlihat seperti anak berumur enam-belas tahun.
Sewaktu Boddhisatta berjalan, Maha-Brahma mengikuti dan memayungi-Nya dengan payung putih berukuran tiga-yojana, demikian pula dengan para Maha-Brahma dari alam-semesta lannya dengan payung berukuran sama. Sehingga seluruh semesta ditutupi oleh payung putih bagaikan karangan bunga berwarna putih.
Sepuluh ribu Dewa Suyama dari sepuluh ribu alam semesta memegang pengusir serangga terbuat dari ekor yak. Para dewa dari sepuluh ribu Surga Tusita berdiri memegang kipas yang bertatahkan batu delima, semuanya mengayun-ayunkan kipas dan pengusir serangga yang mencapai puncak-puncak gunung di tepi semesta.
Demikian pula, sepuluh ribu Dewa Sakka dari sepuluh-ribu alam semesta, meniupkan sepuluh ribu terompet dari kulit kerang. Semua dewa-dewa lain juga berbaris memberi hormat, beberapa membawa bunga-bunga emas, sementara yang lain membawa bunga-bunga asli atau bunga-bunga kristal yang menyilaukan; beberapa membawa spanduk, sementara yang lain membawa benda-benda bertatahkan permata sebagai persembahan. Dewi-dewi dengan berbagai persembahan di tangan mereka juga berbaris memenuhi seluruh alam semesta.
Ketika pertunjukan pemujaan yang menakjubkan sedang berlangsung, Boddhisatta berhenti setelah berjalan tujuh-langkah ke arah utara. Pada saat itu semua Brahma, Dewa, dan manusia seketika diam, menunggu sambil berharap dengan pikiran,”Apakah yang akan dikatakan oleh Boddhisatta?”
Boddhisatta lalu menyerukan seruan berani yang terdengar oleh semua makhluk di seluruh sepuluh ribu alam semesta :
“Aggo’ham asmi lokassa!”
(Akulah yang tertinggi di antara semua makhluk di tiga alam)
“Jettho’ham asmi lokassa!”
(Akulah yang terbesar di antara semua makhluk di tiga alam)
“Settho’ham asmi lokassa!”
(Akulah yang termulia di antara semua makhluk di tiga alam)
“Ayam antima Jati!”
(Inilah kelahiran-Ku yang terakhir)
“Natthi dani punabhavo!”
(Tidak ada kelahiran ulang bagik-Ku)
Sewaktu Boddhisatta menyerukan seruan ini, tidak ada seorang pun yang dapat membantahnya; seluruh Brahma, Dewa, dan manusia mengucapkan selamat.
Pada waktu yang bersamaan dengan kelahiran Boddhisatta, tujuh pendamping berikut juga terlahir :
  1. Putri Yasodhara, calon istri Pangeran Siddhatta Gotama dan Ibunda Pangeran Rahula.
  2. Pangeran Ananda
  3. Menteri Channa
  4. Menteri Kaludayi
  5. Kuda istana Kanthaka
  6. Mahabodhi atau Pohon Boddhi Assattha, dan
  7. Empat kendi emas
Para penduduk dari kedua kota – Kapilavatthu dan Devadaha – mengiringi Ratu Mahamaya dan putranya, Boddhisatta mulia kembali ke Kota Kapilavatthu.
PETAPA KALADEVILA TERTAWA DAN MENANGIS MENGETAHUI KELAHIRAN BODDHISATTA
Pada hari Boddhisatta dan ibu-Nya dibawa ke kota Kapilavatthu, para dewa Tavatimsa yang dipimpin oleh Sakka bergembira mengetahui bahwa “Seorang putra dari Raja Suddhodana telah terlahir di kota Kapilavatthu” dan bahwa “Putra mulia ini pasti mencapai Pencerahan-Sempurna di tanah kemenangan di bawah pohon Boddhi Assattha” , dan mereka melemparkan pakaian mereka ke angkasa, menepuk lengan dengan telapak tangan, dan bersuka ria.
Waktu itu, Petapa Kaladevila yang telah mencapai lima kemampuan batin tinggi dan delapan Jhana dan yang mempunyai kebiasaan mengunjungi istana Raja Suddhodana sedang makan siang disana seperti biasa, dan kemudian naik ke surga Tavatimsa untuk melewatkan hari itu di alam surga.
Ia duduk di atas singgasana permata di dalam istana permata, menikmati kebahagiaan Jhana. Sewaktu ia keluar dari Jhana, berdiri di depan pintu gerbang istana dan melihat kesana-kemari, ia melihat Sakka dan para dewa lainnya yang bergembira melempar-lemparkan penutup kepala dan jubah mereka dan memuji kebajikan Boddhisatta di jalan-jalan utama di alam surga sepanjang enam puluh Yojana. Kemudian Sang Petapa bertanya,”O dewa, apa yang membuatmu demikian bergembira? Katakanlah ada apa gerangan”.
Kemudian para dewa menjawab,”Yang Mulia Petapa, hari ini putra mulia dari Raja Suddhodana telah lahir. Putra mulia ini, duduk bersila di bawah pohon Boddhi assattha di tempat yang maha suci, di tengah-tengah alam semesta, akan mencapai Pencerahan-Sempurna, menjadi Buddha. Beliau akan membabarkan khotbah – Roda Dhamma. Kami akan mendapatkan kesempatan emas menyaksikan kemuliaan Buddha yang tidak terbatas dan mendengarkan khotbah Dhamma yang teragung. Itulah sebabnya kami bersuka-ria.”
Mendengar jawaban para dewa tersebut, Petapa Kaladevila segera turun dari surga Tavatimsa dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuknya di dalam istana Raja Suddhodana. Setelah saling menyapa dengan Raja, Kaladevila berkata,”O, Raja, aku mendengar bahwa Putramu telah lahir, aku ingin melihatnya.”
Kemudian Raja membawa putranya yang telah mengenakan pakaian lengkap, kemudian membawanya kepada sang petapa untuk memberi hormat kepada guru istana. Ketika Boddhisatta dibawa, kedua kaki Boddhisatta terbang tinggi dan turun di atas rambut sang petapa. (Tidak seorang pun yang cukup layak menerima penghormatan dari seorang Boddhisatta dalam kelahiran terakhirnya. Jika seseorang, yang tidak mengetahui hal ini, memaksakan kepala Boddhisatta untuk menyentuh kaki sang petapa, kepala sang petapa akan pecah menjadi tujuh keping).
Petapa Kaladevila, menyaksikan peristiwa yang mengherankan dan luar biasa dari keagungan dan kekuatan Boddhisatta, memutuskan, “Aku tidak akan menghancurkan diriku.” Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya dan bersujud didepan boddhisatta dengan tangan dirangkapkan. Menyaksikan pemandangan menakjubkan ini, Raja Sudhodana juga bersujud di depan anaknya.
Kaladevila, yang telah mencapai lima kemampuan batin dan delapan Jhana, dapat mengingat peristiwa-peristiwa yang lampau sampai 40 Kalpa yang lalu dan dapat melihat masa depan sampai 40 Kalpa kedepan. Dengan demikian ia dapat mengetahui dan melihat peristiwa-peristiwa selama delapan puluh kalpa.
Setelah mengamati karakteristik besar dan kecil dari Boddhisatta Pangeran, ia mengetahui dan meramalkan bahwa Pangeran akan menjadi Buddha. Mengetahui bahwa “Anak ini adalah manusia luar biasa”, Sang Petapa tertawa penuh kegembiraan.
Kemudian , Sang petapa merenungkan apakah ia dapat menyaksikan Pagneran mencapai ke-Buddha-an. Ia mengetahui bahwa sebelum Pangeran mencapai ke-Buddha-an, ia akan sudah meninggal dunia dan terlahir di alam Arupa-Brahma dimana tak seorang pun yang dapat mendengarkan Dhamma abadi disana, meskipun muncul ratusan atau ribuan Buddha untuk mengajarkan Dhamma. “Aku tidak akan berkesempatan untuk menyaksikan dan memberikan penghormatan kepada manusia menakjubkan ini yang memiliki Kesempurnaan kebajikan. Ini adalah kerugian terbesar bagiku.” Setelah berkata demikian Kaladevila bersedih dan menangis.
Ketika orang-orang yang hadir disana menyaksikan sang petapa tertawa dan kemudian menangis, mereka terheran-heran,”Yang-Mulia Petapa pertama-tama tertawa dan kemudian menangis, betapa anehnya.” Kemudian mereka bertanya, “Yang Mulia, apakah ada sesuatu yang berbahaya terhadap putra raja kami?”
“Tidak ada bahaya sama sekali, malah sebenarnya Beliau akan menjadi Buddha”.
“Kalau begitu, mengapa engkau bersedih?” tanya orang-orang itu lagi.
“Karena aku tidak akan dapat menyaksikan pencapaian Pencerahan-Sempurna oleh manusia luar biasa ini yang memiliki kualitas-kualitas yang menakjubkan. Ini adalah kerugian besar bagiku. Karena itulah aku bersedih”, jawab sang petapa.
Kemudian, Kaladevila sang petapa merenungkan, “Walaupun aku tidak berskesempatan untuk menyaksikan Pangeran mencapai ke-Buddha-an, aku ingin tahu apakah ada di antara sanak-saudaraku yang berkesempatan untuk menyaksikannya.” Kemudian dia meilihat keponakannya, Nalaka, yang memiliki kesempatan tersebut. Jadi ia pergi mengunjungi rumah adiknya dan memanggil keponakannya dan menyuruhnya dengan berkata :
“Keponakanku Nalaka, seorang putra telah lahir di istana Raja Suddhodana. Beliau adalah seorang Boddhisatta. Beliau akan mencapai ke-Buddha-an setelah berusia tiga-puluh-lima tahun. Engkau, keponakanku, adalah seorang yang layak melihat Buddha. Oleh karena itu, engkau lebih baik menjadi petapa, hari ini juga.”
Meskipun lahir dari orangtua yang memiliki kekayaan delapan puluh tujuh crore, pemuda Nalaka percaya kepada pamannya, dan berpikir,”Pamanku tidak akan menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat. Ia mengatakan hal ini tentu demi kebaikanku.” Dengan pendapat ini, ia membeli jubah dan mangkuk dari pasar. Mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah, dan berkata kepada dirinya sendiri, ”Aku akan mejadi petapa untuk mengabdi pada Buddha, pribadi yang termulia diseluruh dunia.“

RAMALAN DARI TANDA-TANDA YANG TERDAPAT PADA BODDHISATTA SAAT UPACARA MEMBASUH KEPALA DAN PEMBERIAN NAMA
Pada hari kelima setelah kelahiran Boddhisatta mulia, ayah-Nya, Raja Suddhodana mengadakan upacara membasuh kepala. Dan dengan rencana untuk memberi nama pada putranya, ia menaburi istananya dengan empat jenis bubuk harum , yaitu : 1). Tagara (Tabernaemontana coronaria), 2). Lavanga (Cloves, Syzygiumm aromaticum), 3). Kunkuma (safron, crocus sativus),dan, 4). Tamala (Xanthochymus pictorius), dan menaburi lima jenis rempah yaitu : 1). Saddhala (sejenis rumput), 2).Padi, 3). Biji mostar, 4).Kuncup melati, 5). Beras. Ia juga mempersiapkan nasi susu murni yang tidak dicampur air, dan mengundang seratus delapan Brahmana pandai yang menguasai Tiga-Veda, ia menyediakan tempat duduk yang baik dan bersih kepada mereka di dalam istana dan melayani mereka dengan nasi susu yang lezat.
Setelah memberi makanan kepada mereka, Raja memberi penghormatan pada mereka, memberikan persembahan kepada mereka dan dari 108 (seratus delapan) Brahmana tersebut, dipilih delapan Brahmana untuk diminta meramalkan masa depan Pangeran berdasarkan tanda-tanda fisik Boddhisatta.
Di antara 8 (delapan) Brahmana yang terpilih, tujuh orang, yaitu : Rama, Dhaja, Lakkhana, Jotimanta, Yanna, Subhoja, dan Suyama, setelah memeriksa tanda-tanda fisik Boddhisatta Pangeran mengacungkan dua jari dan memberikan dua ramalan tanpa kepastian sebagai berikut,Jika anakmu yang memiliki tanda-tanda ini memilih untuk hidup berumah-tangga, Beliau akan menjadi Raja dunia yang menguasai empat benua, tetapi jika Beliau menjadi petapa, Beliau akan mencapai ke-Buddha-an.”
Tetapi Sudatta, Brahmana dari suku Kondanna, yang termuda di antara mereka, setelah dengan seksama memeriksa tanda-tanda manusia luar biasa pada tubuh Boddhisatta, hanya mengacungkan satu jari dan dengan penuh keyakinan meramalkan,”Tidak ada alasan bagi Pangeran untuk hidup berumah-tangga. Beliau pasti akan menjadi Buddha yang menghancurkan akar kotoran batin.”
Ramalan Brahmana muda Sudatta ini akhirnya diterima oleh para Brahmana pandai lainnya.
Setelah dengan seksama memeriksa tiga-puluh-dua tanda manusia agung ( Mahapurissa ), kemudian mereka berdiskusi untuk mencari nama yang tepat bagi Pangeran. Kemudian mereka memberi nama Siddhatta sebagai pertanda yang menunjukkan bahwa Beliau akan berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya demi kesejahteraan seluruh dunia.
RAJA SUDDHODANA MENGAMBIL LANGKAH PENCEGAHAN SUPAYA BODDHISATTA TIDAK MELIHAT EMPAT PERTANDA
Setelah Raja Suddhodana menerima hasil ramalan sehubungan dengan putranya, ia diberitahu oleh para Brahmana bahwa, “Sang Pangeran akan melepaskan keduniawiand an menjadi Petapa.” Ia bertanya,”Apa yang dilihat putraku sehingga ia pergi melepaskan keduniawian?”
“Saat melihat empat pertanda – orang tua, orang sakit, orang mati, dan seorang petapa – putramu akan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa”, jawab para Brahmana dengan suara bulat.
Mendengar jawaban para Brahmana, Raja Suddhodana memerintahkan,”Jika putraku akan pergi melepaskan keduniawian setelah melihat empat pertanda ini, mulai saat ini, mereka yang berusia tua, sakit, mati ataupun petapa tidak boleh bertemu dengan putraku; karena mereka akan menyebabkan samvega dalam diri-Nya dan membuat-Nya pergi melepaskan keduniawian. Aku tidak ingin anakku menjadi Buddha. Aku ingin melihat-Nya menjadi Raja Dunia yang memerintah di empat Benua dan dua ribu pula di sekelilingnya dan berjalan di angkasa dengan mengendarai roda pusaka diiringi oleh pengikut yang berbaris hingga tiga-puluh enam yojana.”
Selanjutnya sejumlah pengawal ditempatkan di segala penjuru dalam setiap jarak satu gavuta untuk memastikan tidak-adanya orang-tua, orang sakit, orang mati, dan petapa dalam jarak pandang Boddhisatta.
Saat upacara membasuh kepala berlangsung dimana 80.000 kerabat hadir dan berdiskusi,”Apakah Pangeran akan menjadi Buddha atau menjadi Raja Dunia, masing-masing dari kita akan menyediakan seorang putra untuk melayaninya. Jika Beliau akan menjadi Buddha, Beliau akan berkelana dengan disertai para petapa yang berdarah bangsawan. Atau, jika ia menjadi Raja Dunia, Beliau akan melakukan perjalanan kerajaan dengan diiringi oleh 80 pangeran.” Kemudian masing-masing berjanji untuk menyerahkan putranya kepada Boddhisatta.
WAFATNYA IBU BODDHISATTA MAHAMAYA DEVI DAN TERLAHIR DI ALAM SURGA TUSITA
Mahapajapati Gotami
Mahapajapati Gotami
Tujuh hari setelah kelahiran Boddhisatta Pangeran, Ibunya Mahamaya Devi, sampai pada akhir kehidupannya, meninggal dunia dan terlahir kembali di Surga Tusita sebagai Dewa bernama Santusita. Sang ibu meninggal bukan karena melahirkan Boddhisatta, tetapi karena kehidupannya telah berakhir. Kita ingat, sewaktu Dewa Setaketu melakukan lima-penyelidikan, Mahamaya hanya memiliki sisa kehidupan selama 10 bulan 7 hari.
Setelah kematian Ratu Mahamaya, adik Ratu Mahamaya yang bernama Mahapapajapati Gotami, dipersunting Raja Suddhodana dan kemudian ialah yang menjadi ibu sambung bagi bayi Siddhattha Gotama.
PENUNJUKKAN PARA PELAYAN BODDHISATTA
Untuk Putranya, Pangeran Siddhatta, Raja Suddhodana memilih dan menunjuk 240 pelayan perempuan yang bersih dan cantik, yang terampil dalam melakukan tugas-tugas mereka seperti menyusui, memberikan susu manis bebas dari rasa pedas, asin, dan semua rasa yang tidak enak, memandikan, mengasuh, dan merawat.
Raja juga menunjuk 60 pelayan laki-laki untuk membantu pelayan perempuan dan juga menunjuk 60 pengawas yang bertugas mengawasi tugas-tugas para pelayan laki-laki dan perempuan ini.
Dari 240 pelayan perempuan ini, 60 orang bertguas untuk menyusui Pangeran; 60 orang bertugas untuk memandikan dengan air harum dan memakaikan pakaiannya; 60 orang bertugas mengasuh, menggendong dan menepuk-nepukkan tangannya, atau memangkunya dan seterusnya; dan 60 orang lagi bergantian melakukan tugas-tugas ini jika yang lain berhalangan.
RAJA SUDDHODANA MENGADAKAN UPACARA PEMBAJAKAN SAWAH DAN BERSUJUD PADA BODDHISATTA UNTUK KEDUA KALINYA
Tibalah harinya bagi Raja Suddhodana untuk mengadakan upacara pembajakan sawah yang merupakan upacara rutin yang diadakan tiap tahun. Pada hari itu, seluruh Kota Kapilavatthu dihias sehingga menyerupai alam dewa. Semua penduduk kota termasuk para pekerja mengenakan pakaiannya yang terbaik dengan wangi-wangian dan hiasan bunga. Kemudian mereka berkumpul di lapangan istana. Di tempat di mana upacara pembajakan akan dilakukan, seribu (1.000) buah alat bajak telah disiapkan, delapan ratus (800) buah akan digunakan oleh raja dan para menterinya. Tujuh ratus sembilan puluh sembilan (799) kereta bajak yang akan dipakai oleh para menteri dihias dengan hiasan perak dilengkapi dengan mata bajak, sapi, dan tongkat kemudinya. Kereta bajak yang akan dipakai oleh raja dihias dengan hiasan merah emas.
Ketika Raja Suddhodana meninggalkan kota kerajaan dengan para menteri, penasehat, pengawal, dan para pengikut lainnya, ia membawa serta putranya, Boddhisatta, ke lapangan upacara tersebut dan meletakkannya di bawah keteduhan pohon jambu (Eugenia Jambolana) yang rindang. Tanah dibawah pohon tersebut dilapisi dengan kain beludru di mana Pangeran duduk di atasnya. Dan diatasnya dibuatkan sebuah kanopi dari beludru merah-tua dengan hiasan bintang-bintang emas dan perak, seluruh tempat itu dikelilingi oleh tirai yang tebal dan ditempatkan beberapa pengawal untuk menjaga keamanan Pangeran Siddhatta. Raja kemudian mengenakan pakaian kebesaran yang biasanya dipakai khusus untuk upacara ini dan kemudian dengan disertai oleh para menteri memasuki arena dimana upacara akan diadakan.
Boddhisatta Pangeran mencapai Anapana Jhana Pertama
Anapana Jhana I yang pertama kalinya
Anapana Jhana I yang pertama kalinya
Sementara itu, Boddhisatta setelah melihat sekeliling dan tidak melihat seorang pun, segera mengambil posisi duduk bersila dengan tenang. Kemudian Beliau mempraktikkan meditasi anapana, berkonsentrasi pada napas masuk dan keluar, dan segera mencapai rupavacara Jhana Pertama.
Para perawat yang meninggalkan tugasnya berkeliaran ke sana kemari di meja-meja dan bersenang-senang sebentar. Semua pohon-pohon kecuali pohon jambu tempat Boddhisatta duduk, memiliki bayangan alami sesuai pergerakan matahari, pada sore hari, bayangan pohon akan berada di sebelah timur. Namun, bayangan pohon jambu tempat dimana Boddhisatta duduk tidak bergerak sesuai posisi matahari, bahkan di tengah hari, aneh, bayangan pohon itu tetap seperti semula, besar dan bundar, dan tidak berpindah.
Para perawat, tiba-tiba teringat,”Oh, putra junjungan kita tertinggal dibelakang sendirian”. Mereka bergegas kembali dan masuk ke tirai, melihat dengan takjub, Boddhisatta Pangeran duduk bersila dalam kemuliaan, dan juga melihat keajaiban (patihariya) dari bayangan pohon yang tetap berada di posisi dan bentuk yang sama, tidak berpindah. Mereka berlari menuju Raja dan melaporkannya. Raja dengan tenang mendatangi Boddhisatta dan mengamati, melihat dengan mata kepala sendiri dua keajaiban tersebut, ia mengucapkan,”O, Putra Mulia, ini adalah kedua kalinya bahwa, aku, ayah-Mu, bersujud pada-Mu”, kemudian bersujud di depan anaknya dengan penuh cinta dan penuh hormat.
Sakka, Raja Dewa, Memerintahkan Dewa Visukamma untuk Membuat Danau Istana yang Indah untuk Boddhisatta
Ketika Boddhisatta Pangeran menginjak usia tujuh tahun, tumbuh, dan penuh kegembiraan di tengah-tengah kemewahan bagaikan dewa, Raja Suddhodana suatu hari bertanya kepada para penasehatnya jenis olahraga apa yang disenangi anak seumurnya. Ketika para penasehatnya menjawab bahwa Pangeran Siddhatta senang bermain-main di air, Raja Suddhodana memerintahkan para seniman pengrajin untuk memilih lahan yang tepat dan menggali sebuah danau istana yang indah.
Sakka, Raja Dewa, mengetahui melalui perenungan bahwa, mereka sedang dalam tahap memilih lahan, ia berpikir,”Tidaklah layak bagi semua Boddhisatta untuk menggunakan danau yang dibangun oleh manusia, hanya danau yang dibangun oleh dewa yang layak baginya.”
Sakka lalu memanggil Dewa Visukamma dan menugaskannya untuk menggali danau itu, ia berkata,”Pergilah sekarang, ke alam manusia, O Dewa, dan buatkan sebuah danau yang layak untuk Boddhisatta bermain-main”. Atas pertanyaan,”Danau seperti apa yang harus kubuat?” Sakka menjawab,”Danau yang engkau buat harus bebas dari lumpur dan kotoran, dasarnya harus dilapisi dengan batu delima, mutiara dan koral, harus dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tujuh jenis batu-batu berharga, tangga yang menuju danau harus terbuat dari papan emas, perak, dan batu delima, pegangan tangan harus terbuat dari batu delima, dan jerujinya yang menyangga pegangan tangan harus dilapisi oleh koral. Di tengah-tengah danau itu, untuk Boddhisatta bermain melempar air, buatkan sebuah perahu emas y ang lengkap dengan kursi perak, perahu perak dengan kursi emas, perahu batu delima dengan kursi koral, dan perahu koral dengan kursi batu delima. Juga harus dilengkapi dengan mangkuk emas, mangkuk perak, mangkuk batu delima, dan mangkuk koral untuk melempar air. Danau tersebut harus indah dipenuhi dengan lima jenis bunga teratai.”
Dewa Visukamma, setelah menyanggupi, turun ke alam manusia malam itu juga, dan membuat sebuah danau, lengkap dengan rincian yang diperintahkan oleh Sakka, di tanah yang telah dipilih oleh Raja Suddhodana.
Keesokan paginya, ribuan penduduk melihat danau yang menakjubkan tersebut, mereka berseru gembira,”Danau ini pasti telah diciptakan oleh Sakka dan dewa-dewa untuk Pangeran yang mulia!” dan dengan penuh kegembiraan mereka melaporkan hal tersebut pada Raja Suddhodana.
Raja Suddhodana disertai oleh banyak pengikut pergi melihat danau tersebut, ketika melihat keindahan dan kemegahan danau itu, ia berseru gembira,”Danau ini pasti ciptaan para Dewa karena kekuasaan dan keagungan anakku!”
Setelah itu, Boddhisatta Pangeran bermain-main di air danau yang merupakan kebutuhan dan kenikmatan surgawi.
Raja Suddhodana membangun Tiga Istana untuk Kesenangan Boddhisatta
Ketika menginjak usia 16 tahun, Raja Suddhodana berpikir, “Sekarang waktunya untuk membangun istana untuk putraku”. Kemudian ia memerintahkan agar para arsitek, tukang kayu, tukang batu, pemahat, dan pelukis yang ahli dipanggil ke istana untuk diberi instruksi. Ia kemudian memberikan perintah untuk membangun tiga istana yang diberi nama Istana Emas Ramma, Istana Emas Suramma, dan Istana Emas Subha, yang dirancang khusus sesuai kondisi tiga musim ; dingin, panas, dan hujan.
MENYELAMATKAN BURUNG BELIBIS
Cinta-Kasih Boddhisatta ;  Selamatkan Belibis yang terluka
Cinta-Kasih Boddhisatta ; Selamatkan Belibis yang terluka
Suatu kali Pangeran Siddhattha berjalan-jalan di taman dengan Devadatta, saudara sepupunya. Devadatta yang membawa busur dan anak panah melihat serombongan burun belibis terbang. Devadatta membidikkan anak-panahnya. Seekor belibis terkena dan terjatuh ke tanah. Pangeran Siddhatta bergebas menghampiri belibis yang terluka itu. Dengan penuh kasih-sayang diobatinya luka pada sayap belibis dengan daun-daun yang diremas.
Devadatta meminta belibis itu. Pangeran Siddhattha tidak mau memberikannya. Menurut Pangeran Siddhattha, bila belibis itu mati maka ia menjadi milik Devadatta. Tetapi karena belibis itu masih hidup maka ia menjadi milik dari orang yang menyelamatkan hidupnya. Akhirnya keduanya pergi ke Dewan Para Bijaksana untuk mendapat keputusan.
Dewan memutuskan bahwa hidup adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya dan bukan milik yang mencoba menghancurkannya. Dengan demikian maka belibis itu adalah milik Pangeran Siddhattha yang menyelamatkan hidupnya. Setelah sembuh belibis itu dilepas kembali oleh Pangeran Siddhattha. Demikianlah kasih sayang Pangeran Siddhattha terhadap sesama makhluk hidup.
PERTUNJUKAN MEMANAH
Setelah sang ayah, Raja Suddhodana, membangun tiga istana untuk anaknya yang demikian indah dan megahnya, yang belum pernah dinikmati oleh raja-raja sebelumnya, ia berpikir,”Anakku telah berumur enam belas tahun, setelah menganugerahkan mahkota kerajaan dengan membuka payung putih, aku akan menyaksikannya menikmati kemewahan dan kemuliaan sebagai Raja”.
Kemudian ia memerintahkan untuk mengirim pesan kepada 80.000 sanak-saudaranya, keluarga Sakya, ”Para Pengeran Sakya, Putraku telah berumur enam belas tahun sekarang. Aku akan menjadikannya Raja. Semua Pangeran Sakya harap membawa putrinya, yang telah cukup umur, ke istanaku”.
Ketika para Pangeran Sakya menerima pesan dari Raja Suddhodana, mereka menolak permintaannya, menjawab dengan nada menghina, “Pangeran Siddhattha kurang berpendidikan, meskipun ia memiliki penampilan yang menarik. Tidak memiliki ketrampilan dalam menjalani kehidupan, ia tidak akan mampu menjalani kewajibannya sebagai kepala keluarga. Jadi kami tidak dapat mengabulkan permintaan Raja Suddhodana untuk menyerahkan putri kami”.
Menerima jawaban dari para Pangeran Sakya – ayah dari para putri – Raja Suddhodana mendatangi Boddhisatta Pangeran dan menjelaskan masalah ini. Kemudian Boddhisatta berkata,”Ayahku, Aku tidak harus mempelajari apapun. Ketrampilan apa yang engkau mau Kuperlihatkan ? “ Raja Suddhodana menjawab, “Anakku, Engkau harus memperlihatkan kepada para sanak saudara ketrampilan memanah dengan busur yang hanya dapat ditarik dengan kekuatan seribu pala.” Pangeran kemudian berkata,”Kalau begitu, Ayah, umumkan dengan tabuhan genderang di seluruh kerajaan bahwa 7 hari lagi, Aku akan mengadakan pertunjukan memanah”. Kemudian Raja Suddhodana mengumumkan ke seluruh kerajaan Kapilavatthu diiringi tabuhan genderang.
Setelah membuat pengumuman yang diiringi oleh tabuhan genderang, persiapan dilakukan untuk mempersiapkan arena bagi Boddhisatta Pangeran memperlihatkan ketrampilan memanahnya juga membangun panggung-panggung penonton bagi para menteri, para putri, pengikut, para pelayan, prajurit, dan kerabat lainnya. Pada hari ketujuh, setelah semua persiapan selesai dilakukan, raja dan para menterinya, para jenderal dan tamu-tamu semua duduk di tempat yang telah disediakan ; Boddhisatta telah mengambil tempat duduk di singgasana bertatahkan permata di tengah-tengah arena, mengambil busur yang diserahkan oleh para pelayan kerajaan. ( Busur yang memerlukan tenaga seribu atau dua ribu unit berat pala untuk menariknya ).
Duduk bersila di atas singgasana, Pangeran memegang busur dengan tangan kirinya, memelintir tali busur di jari-Nya hingga talinya menegang; kemudian Ia memetik-metik tali busur itu dengan tangan kanan-Nya untuk menyesuaikan. Suara getaran yang ditimbulkan oleh tali busur tersebut begitu kerasnya hingga gemanya terdengar di seluruh wilayah kerajaan Kapilavatthu seolah-olah terbang di angkasa.
Beberapa orang bertanya-tanya, “Suara apakah itu?” dan dijawab oleh yang lainnya, “Itu adalah suara petir yang menggelegar”. Yang lain lagi berkata,”Oh, tidak tahukah engkau; itu bukan suara petir; itu adalah suara yang dihasilkan ketika Pangeran Sakya Siddhattha, yang dengan anggun dan penuh keagungan, menarik busur yang memerlukan seribu orang ( atau dua ribu unit berat pala ), untuk menariknya dan memetik tali busurnya”.
Seluruh delapan puluh ribu Pangeran Sakya dan kerabat istana merasa gembira menyaksikan pertunjukkan yang luar biasa dari Boddhisatta yang memetik dan menyesuaikan tali busur.
Setelah itu, Pangeran Siddhatta mempertunjukkan berbagai variasi keahlian memanah yang membuat para penonton berdecak kagum.
Demikianlah, Boddhisatta Pangeran memperlihatkan keahliannya dalam memanah untuk menaklukkan rasa tidak percaya, penghinaan, fitnahan, dan celaan atas dirinya oleh para kerabat kerajaan – sebuah prestasi yang di atas rata-rata, sangat menakjubkan, dan jarang terlihat. Setelah peristiwa itu, semua kerabat kerajaan, yang keraguannya telah lenyap dengan bergembira berseru,”Belum pernah dalam dinasti Sakya menyaksikan sebuah keahlian seperti yang kita saksikan sekarang”, menghujani Boddhisatta dengan puji-pujian.
Kecantikan Ratu Yasodhara
Di antara empat-puluh ribu (40.000) Putri Sakya, yang paling terkemuka adalah Putri Yasodhara yang memiliki nama gadis Bhaddakaccana.
Yasodhara Dewi, seperti telah dijelaskan sebelumnya, adalah salah satu pendamping kelahiran Boddhisatta. Ia terlahir dari salah satu raja Sakya bernama Suppabuddha, putra dari kakek Boddhisatta, Raja Anjana dari kerajaan Devadaha, Ibu Putri Yasodhara adalah Putri Amitta, yang adalah saudara perempuan Raja Suddhodana. Putri diberi nama Yasodhara karena memiliki reputasi baik dan pengikut yang banyak ( Yaso = banyak pengikut dan ber-reputasi baik; dhara = pembawa; demikianlah putri adalah ia yang memiliki banyak pengikut dan ber-reputasi baik ).
Ia cantik dan berkulit emas bagaikan patung yang dibalut dengan emas murni atau seolah-olah daging dan tubunya terbuat dari emas murni. Dengan tubuh yang proporsional dan tanpa cacat,ia memancarkan pesona, ia tidak tertandingi dalam hal kecantikan dan tingkah laku bagaikan bendera kemenangan yang dinaikkan di jalan-jalan raya di taman bermain Kilamandala milik Raja Mara bernama Manobhu.
Upacara Pelantikan
Delapan puluh ribu kerabat kerajaan yang dipimpin oleh raja Suddhodana, ayah Boddhisatta, berkumpul di ruang pertemuan yang besar dan megah untuk merayakan penobatan Boddhisatta Pangeran Siddhatta yang dilengkapi dengan dinaikkannya payung putih kerajaan di atas kepalanya, pancuran air dingin (abhiseka) dan secara resmi naik tahta.
Dari empat puluh ribu putri yang diserahkan oleh para kerabat Sakya, 10.000 putri ditugaskan untuk melayani Yasodhara Dewi. 30.000 sisanya ditugaskan sebagai pelayan di tiga istana, masing-masing 10.000.
MELIHAT EMPAT PERTANDA
Berkunjung ke Taman Kerajaan
Melihat Empat Pertanda
Melihat Empat Pertanda
Demikianlah, Boddhisatta Pangeran Siddhatta menjadi raja di Kapilavatthu pada usia 16 tahun; ketika Beliau menginjak usia 29 tahun, setelah menikmati kehidupan mewah sebagai raja dunia, dilayani oleh 40.000 putri yang dipimpin oleh istrinya, Ratu Yasodhara, suatu hari muncul keinginannya mengunjungi taman istana. Demikian Beliau memerintahkan kusirnya,” Kusir, siapkan kereta, Aku akan berkunjung ke taman kerajaan”.
“Baiklah”, jawab si kusir segera menyiapkan kereta yang mewah untuk pribadi mulia. Kereta itu ditarik oleh empat ekor kuda berdarah murni berwarna putih bersih bagaikan bulan purnama atau bunga teratai kumuda, dan kecepatannya bagaikan burung garuda, raja segala burung. Ketika diberitahu oleh si kusir bahwa kereta sudah siap, Boddhisatta Pangeran naik ke atas kereta yang indah bagaikan istana surga dan pergi menuju taman kerajaan dalam sebuah arak-arakan besar.
(1) Melihat Pertanda Orang Tua
Ketika Bodhisatta Pangeran sedang berada dalam perjalanan menuju taman kerajaan, para dewa berunding, “Waktunya bagi Pangeran Siddhattha untuk menjadi Buddha semakin dekat. Mari kita memperlihatkan pertanda kepadanya yang akan membuatnya melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.” Mereka menyuruh salah satu dewa menyamar sebagai orang tua, berambut putih, tidak bergigi, punggung yang bungkuk, berjalan gemetaran menggunakan tongkat. Pertanda orang tua ini yang adalah penjelmaan dewa tidak dapat dilihat orang lain selain Bodhisatta dan kusirnya.
Saat melihat orang tua, Bodhisatta Pangeran bertanya kepada kusir, “O kusir, rambut orang itu tidak seperti orang lain, rambutnya semua putih. Badannya juga tidak seperti badan orang lain; giginya tidak ada; hanya ada sedikit daging (di tubuhnya); punggungnya bungkuk ia gemetaran. Disebut apakah orang itu?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, orang seperti itu disebut orang tua.”
Sang Bodhisatta Pangeran yang belum pernah mendengar kata ‘orang tua’ apalagi melihatnya, bertanya lagi kepada si kusir, “O kusir, belum pernah aku melihat yang seperti ini, yang rambutnya putih, tidak bergigi, begitu kurus dan gemetaran dengan punggung bungkuk. Apakah artinya orang tua?” Si Kusir menjawab, “Yang Mulia, orang yang tidak hidup lama lagi disebut orang tua (orang tua adalah orang yang memiliki waktu hidup yang pendek).”
Sang Bodhisatta kemudian bertanya, “O kusir, bagaimana itu? Apakah Aku juga akan menjadi orang tua? Apakah Aku tidak dapat mengatasi usia tua?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, semua kita, termasuk Anda, juga saya, akan mengalami usia tua; tidak seorang pun yang dapat mengatasi usia tua.” Bodhisatta Pangeran berkata, “O kusir, jika semua manusia, semua dari mereka tidak dapat mengatasi usia tua, Aku, yang akan mengalami usia tua, tidak ingin lagi pergi ke taman kerajaan dan bersenang-senang di sana. Berbaliklah dari tempat di mana orang tua tadi terlihat dan pulang ke istana.”
“Baiklah Yang Mulia,” jawab si kusir yang segera berputar di tempat di mana orang tua tadi terlihat dan kembali ke istana emas.
Samvega Bodhisatta
Adalah sifat seekor singa, jika ditembak dengan anak panah, tidak berusaha mencabut anak panah yang menjadi penyebab penderitaannya, tetapi mencari musuhnya, si pemburu yang telah memanahnya dan yang menjadi penyebab utama dari anak panah tersebut. Dari dua fenomena ini, sebab dan akibat, para Buddha juga tidak mencari cara untuk menghilangkan akibat yang seperti anak panah tersebut, melainkan mereka mencari dengan kebijaksanaannya penyebab yang menjadi musuh seperti pemburu yang menembakkan anak panah tersebut. Oleh karena itu, para Buddha seperti singa. Si kusir hanya menjelaskan sifat duniawi dari usia tua (jarà) sejauh yang ia pahami, tetapi Bodhisatta Pangeran yang berkeinginan untuk menjadi Buddha mengetahui dengan jelas melalui perenungan bahwa kelahiran (jàti) adalah penyebab utama dari proses ketuaan (jarà). Setelah kembali ke istana emas, Bodhisatta Pangeran merenungkan dengan saÿvega penembusan, “Oh, kelahiran adalah benar-benar menjijikkan. Siapa saja yang mengalami kelahiran, pasti mengalami ketuaan.” Setelah merenungkan demikian, Beliau menjadi bersedih dan murung, muram, dan patah hati.
Raja Suddhodana memperkuat penjagaan
Raja Suddhodana memanggil Si kusir dan bertanya, “O kusir, mengapa anakku tergesa-gesa kembali sebelum sampai di taman?” Si Kusir menjawab, “Yang Mulia, anak Anda telah melihat orang tua, sehingga Beliau tergesa-gesa pulang.” Raja Suddhodana berpikir, “Anakku akan menjadi raja negeri ini. Beliau tidak boleh melepaskan keduniawian dan menjadi petapa. Ramalan para brahmana yang mengatakan bahwa Beliau akan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa harus terbukti salah. O kusir, mengapa engkau mengacaukan rencanaku? Secepatnya atur lebih banyak pengawal istana dari sebelumnya; kemudian sediakan lebih banyak pelayan perempuan dan penari-penari perempuan mengelilingi anakku, selagi menikmati lima kenikmatan indria, Beliau tidak akan memikirkan untuk menjadi petapa lagi.”
Setelah berkata demikian, beliau memerintahkan untuk menambah jumlah pengawal di sekeliling istana dalam jarak setengah yojanà (dua gàvuta) di empat penjuru.
(2) Melihat Pertanda Orang Sakit
Penari2 yang disediakan Raja Suddhodana berusaha keras menyenangkan Pangeran Siddhattha
Penari2 yang disediakan Raja Suddhodana berusaha keras menyenangkan Pangeran Siddhattha
Tertipu dan tertarik oleh lima kenikmatan indria yang diatur oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana, untuk menghalang-halanginya melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, Pangeran Siddhattha menghabiskan waktunya menikmati kenikmatan dan kemewahan istana; desakan perasaan religius-Nya, yang dipicu oleh kebencian terhadap kelahiran dan usia tua, perlahan-lahan menghilang.
Setelah empat bulan berlalu dalam kemewahan hidup, Bodhisatta Pangeran pergi lagi mengunjungi taman kerajaan dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda berdarah murni seperti sebelumnya. Dalam perjalanan itu, Pangeran melihat pertanda yang diciptakan oleh para dewa untuk kedua kalinya; orang itu sangat kesakitan diserang penyakit, dan hanya dapat duduk dan berbaring jika dibantu oleh orang lain; ia berbaring lemah di tempat tidurnya dengan ditutupi oleh kotorannya sendiri.
Sang Pangeran bertanya kepada kusirnya,O kusir, mata orang itu tidak seperti mata orang lain; terlihat lemah dan goyah. Suaranya juga tidak seperti orang lain; ia terus-menerus menangis melengking. Tubuhnya juga tidak seperti tubuh orang lain. Terlihat seperti kelelahan. Disebut apakah orang seperti itu?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, orang seperti itu disebut ‘orang sakit.’”
Sang Bodhisatta yang belum pernah melihat orang sakit sebelumnya, bahkan mendengar kata ‘orang sakit’ saja belum pernah bertanya lagi kepada kusirnya, “O kusir, Aku belum pernah melihat orang seperti itu, yang duduk dan berbaring harus dibantu oleh orang lain, yang tidur ditumpukan kotorannya sendiri dan terus-menerus menjerit. Apakah orang sakit itu? Jelaskanlah kepada-Ku.” Si Kusir menjawab, “Yang Mulia, orang sakit adalah orang yang tidak mengetahui apakah ia akan sembuh atau tidak dari penyakit yang dideritanya saat ini.”
Sang Bodhisatta bertanya lagi, “O kusir, bagaimana ini? Apakah Aku juga bisa sakit? Apakah Aku tidak dapat mengatasi penyakit?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, kita semua, termasuk Anda, juga saya, akan menderita sakit; tidak seorang pun yang dapat mengatasi penyakit.” Bodhisatta berkata, “O kusir, jika semua manusia, semua dari mereka tidak dapat mengatasi penyakit, Aku, yang akan menderita sakit, tidak ingin lagi pergi ke taman kerajaan dan bersenang-senang di sana. Berbaliklah dari tempat di mana orang sakit tadi terlihat dan pulang ke istana.”
“Baiklah Yang Mulia,” jawab si kusir yang segera berputar di tempat di mana orang sakit tadi terlihat dan kembali ke istana emas.
Samvega Bodhisatta
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, meskipun si kusir sekadar menjawab sakitnya yang tidak tertahankan sebagai sifat duniawi suatu penyakit (vyàdhi), sejauh yang ia pahami, Bodhisatta yang berkeinginan menjadi Buddha, mengetahui dengan jelas melalui perenungan bahwa kelahiran adalah penyebab utama bagi penyakit, dan usia tua yang telah dijelaskan sebelumnya. Kembali ke istana emas, Bodhisatta merenungkan dengan saÿvega penembusan, “Oh, kelahiran adalah benar-benar menjijikkan. Siapa saja yang mengalami kelahiran, pasti mengalami ketuaan, pasti mengalami sakit.” Setelah merenungkan demikian, Beliau menjadi bersedih dan murung, muram, dan patah hati.
Raja Suddhodana memperkuat penjagaan
Raja Suddhodana memanggil Si kusir dan bertanya, “O kusir, mengapa anakku tergesa-gesa kembali sebelum sampai di taman?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, anak Anda tergesa-gesa pulang, karena Beliau telah melihat orang sakit.” Raja Suddhodana berpikir sama seperti sebelumnya, dan kemudian memerintahkan untuk memperkuat penjagaan dan menambah jumlah pengawal yang ditempatkan dalam jarak tiga gàvuta di empat penjuru; ia juga menambah jumlah pelayan istana dan gadis-gadis penari.
(3) Melihat Pertanda Orang Mati
Tertipu dan tertarik oleh lima kenikmatan indria yang diatur oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana, untuk menghalang-halanginya melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, Pangeran Siddhattha menghabiskan waktunya menikmati kenikmatan dan kemewahan istana; desakan perasaan religius-Nya, yang dipicu oleh kebencian terhadap kelahiran, usia tua, dan penyakit, perlahan-lahan menghilang.
Setelah empat bulan berlalu dalam kemewahan hidup, Bodhisatta Pangeran pergi lagi mengunjungi taman kerajaan dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda berdarah murni seperti sebelumnya. Dalam perjalanan itu, Pangeran melihat pertanda yang diciptakan oleh para dewa untuk ketiga kalinya, yaitu, banyak orang berkumpul dan ada tandu jenazah yang berhiaskan kain berwarna-warni yang untuk ketiga kalinya diciptakan oleh para dewa; Pangeran bertanya kepada kusirnya, “Kusir, mengapa orang-orang ini berkumpul? Mengapa mereka mempersiapkan tandu yang dihias kain berwarna-warni?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, orang-orang itu berkumpul dan mempersiapkan sebuah tandu karena ada seseorang yang mati.”
(Ia belum pernah melihat tandu jenazah sebelumnya; hanya pernah melihat tandu biasa. Oleh karena itu ia bertanya, “Mengapa orang-orang ini berkumpul dan mempersiapkan tandu?”)
bahkan mendengar kata ‘orang mati’ saja belum pernah bertanya lagi kepada kusirnya, “O kusir, jika mereka berkumpul dan mempersiapkan sebuah tandu, antarkan Aku ke tempat orang mati itu.” Si kusir menjawab, “Baiklah, Yang Mulia,” dan mengarahkan keretanya menuju tempat orang mati itu berbaring. Ketika Bodhisatta melihat orang mati itu, ia bertanya, “O kusir, apakah orang mati itu?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, jika seseorang mati, sanak saudaranya tidak akan dapat bertemu dengannya lagi, dan ia juga tidak dapat bertemu dengan sanak saudaranya juga.”
Sang Bodhisatta bertanya lagi, “O kusir, bagaimana ini? Apakah Aku juga bisa mati seperti orang itu? Apakah Aku tidak dapat mengatasi kematian? Apakah ayah-Ku, ibu-Ku, dan sanak saudara-Ku tidak dapat bertemu dengan-Ku lagi suatu hari nanti? Apakah Aku juga tidak akan bisa bertemu dengan mereka lagi suatu hari nanti?” Si kusir menjwab, “Yang Mulia, kita semua, termasuk Anda, juga saya pasti mengalami kematian; tidak seorang pun yang dapat mengatasi kematian.” Bodhisatta berkata, “O kusir, jika semua manusia, semua dari mereka tidak dapat mengatasi kematian, Aku, yang akan mengalami kematian, tidak ingin lagi pergi ke taman kerajaan dan bersenang-senang di sana. Berbaliklah dari tempat di mana orang mati tadi terlihat dan pulang ke istana.”
“Baiklah Yang Mulia,” jawab si kusir yang segera berputar di tempat di mana orang mati tadi terlihat dan kembali ke istana emas.
Samvega Bodhisatta
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, meskipun si kusir sekadar menjawab sifat-sifat duniawi dari kematian (marana) sejauh yang ia pahami tentang orang yang mengalami kematian, sanak saudara yang ditinggalkan tidak akan dapat bertemu dengannya lagi; juga si orang mati juga tidak dapat bertemu dengan sanak saudaranya lagi; Bodhisatta yang berkeinginan menjadi Buddha, mengetahui dengan jelas melalui perenungan bahwa kelahiran adalah penyebab utama bagi tiga fenomena: kematian, penyakit, dan usia tua yang telah dijelaskan sebelumnya. Kembali ke istana emas, Bodhisatta merenungkan dengan samvega penembusan, “Oh, kelahiran adalah benar-benar menjijikkan. Siapa saja yang mengalami kelahiran, pasti mengalami ketuaan, pasti mengalami sakit, pasti mengalami kematian.” Setelah merenungkan demikian, Beliau menjadi bersedih dan murung, muram, dan patah hati.
Raja Suddhodana memperkuat penjagaan
Raja Suddhodana memanggil si kusir dan bertanya seperti sebelumnya, si kusir menjawab, “Yang Mulia, anakmu tergesa-gesa pulang, karena Beliau telah melihat orang mati.” Raja Suddhodana berpikir sama seperti sebelumnya, dan kemudian memerintahkan untuk memperkuat penjagaan dan menambah jumlah pengawal yang ditempatkan dalam jarak satu yojanà di empat penjuru; ia juga menambah jumlah pelayan istana dan gadis-gadis penari.
(4) Melihat Pertanda Seorang Petapa
Tertipu dan tertarik oleh lima kenikmatan indria yang diatur oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana, untuk menghalang-halanginya melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, Pangeran Siddhattha menghabiskan waktunya menikmati kenikmatan dan kemewahan istana; desakan perasaan religiusnya, yang dipicu oleh kebencian terhadap kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian, perlahan-lahan menghilang.
Setelah empat bulan berlalu dalam kemewahan hidup, Bodhisatta Pangeran pergi lagi mengunjungi taman kerajaan dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda berdarah murni seperti sebelumnya. Dalam perjalanan itu, Pangeran melihat pertanda yang diciptakan oleh para dewa untuk keempat kalinya, seorang petapa dengan kepala gundul dan janggut dicukur, mengenakan jubah berwarna kulit kayu; O kusir,” Pangeran berkata, “Kepala orang ini tidak seperti kepala orang-orang lain; kepalanya dicukur bersih dan janggutnya juga tidak ada. Pakaiannya juga tidak seperti pakaian orang-orang lain, berwarna seperti kulit kayu. Disebut apakah orang seperti itu?” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, ia adalah petapa.”
Sang Bodhisatta bertanya lagi, “O kusir, apakah ‘petapa’ itu? Jelaskanlah kepadaku.” Si kusir menjawab, “Yang Mulia, petapa adalah seseorang yang, berpendapat bahwa lebih baik melatih sepuluh kebajikan (kusalakammapatha), yang dimulai dari kedermawanan (dàna), telah melepaskan keduniawian dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu; ia adalah seorang yang berpendapat bahwa lebih baik melatih sepuluh perbuatan-perbuatan baik yang sesuai kebenaran, yang bebas dari noda, yang suci dan murni, telah melepaskan keduniawian dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu; ia adalah seorang yang berpendapat bahwa lebih baik tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain, berusaha untuk menyejahterakan makhluk lain, telah melepaskan keduniawian dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu.”
(Di sini, meskipun si kusir tidak memiliki pengetahuan mengenai pertapaan atau kebajikan-kebajikan karena saat itu belum muncul seorang Buddha dan ajarannya, ia mengatakan hal itu karena kekuasaan para dewa, bahwa orang itu adalah petapa, dan menjelaskan kebajikan-kebajikan seorang petapa. Penjelasan ini dikutip dari Komentar Buddhavaÿsa dan Subkomentar Jinàla¤kàra).
(Para Bodhisatta lain yang memiliki umur kehidupan yang lebih panjang, melihat empat pertanda ini dengan waktu yang berselang beberapa ratus tahun antara satu dengan yang lainnya. Namun, dalam hal Bodhisatta kita, yang umur kehidupannya jauh lebih pendek, empat pertanda ini muncul dalam selang waktu yang lebih pendek, hanya empat bulan. Menurut pelafal Dãgha Nikàya, bahkan disebutkan bahwa Bodhisatta melihat empat pertanda ini seluruhnya dalam waktu satu hari. Komentar Buddhavamsa).
Setelah itu, Bodhisatta berkata kepada kusir, “Orang ini benar-benar mengagumkan dan mulia karena telah melepaskan keduniawian, berpendapat bahwa lebih baik mempraktikkan sepuluh perbuatan-perbuatan baik yang sesuai dengan kebenaran, yang bebas dari noda, yang suci dan murni. Orang ini benar-benar mengagumkan dan mulia karena telah melepaskan keduniawian, berpendapat bahwa lebih baik tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain, berusaha untuk menyejahterakan makhluk lain. Karena ia benar-benar mengagumkan dan mulia, kusir, antarkan Aku ke tempat petapa tadi.” Si kusir menjawab, “Baiklah, Yang Mulia.”
Si kusir membawa keretanya menuju si petapa. Sesampainya di sana, Bodhisatta bertanya kepada si petapa, jelmaan dewa, “O Sahabat, apa yang sedang engkau lakukan? Kepalamu tidak sama dengan kepala orang-orang lain; pakaianmu juga tidak sama dengan pakaian orang-orang lain.” Si petapa menjawab, “Yang Mulia, aku dikenal sebagai petapa.” Bodhisatta bertanya lagi, “Apakah yang engkau maksudkan dengan petapa?” Si petapa, jelmaan dewa melalui kekuatan batin (Iddhipada), menjawab, “Yang Mulia, aku adalah orang yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga, mencukur rambut dan janggutku dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu, dan berpendapat, lebih baik mempraktikkan sepuluh kebajikan yang dimulai dari kedermawanan, yang juga dikenal dalam empat julukan. Dhamma berarti kebenaran, Sama berarti sesuai dengan kebenaran, Kusala berarti tidak ternoda dan Pu¤¤a berarti suci dan murni baik sebab maupun akibatnya; dan juga berpendapat bahwa lebih baik tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain dan berusaha untuk menyejahterakan makhluk lain.”
Bodhisatta Pangeran menyatakan persetujuannya, “Engkau benar-benar mengagumkan dan mulia. Engkau telah meninggalkan kehidupan rumah tangga, mencukur rambut dan janggutmu, dan mengenakan jubah berwarna kulit kayu, dan berpendapat bahwa lebih baik mempraktikkan sepuluh perbuatan-perbuatan baik yang memiliki julukan istimewa Dhamma, Sama, Kusala, dan Pu¤¤a dan juga berpendapat bahwa lebih baik tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti makhluk lain, berusaha untuk menyejahterakan makhluk lain”.

Hari Bodhisatta Melepaskan Keduniawian
Sebelum Beliau melepaskan keduniawian dengan meninggalkan kehidupan rumah tangga, Bodhisatta melakukan empat kali kunjungan ke taman kerajaan. Dalam kunjungannya ke taman kerajaan dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh kuda berdarah murni pada hari purnama di bulan âsàëha (Juni-Juli) di tahun 96 Mahà Era, Beliau melihat pertanda pertama, seorang tua. Melihat pertanda ini, Beliau menyingkirkan kesombongan yang ditimbulkan oleh kebahagiaan usia muda (yobbana manna).
Kemudian, ketika Bodhisatta berkunjung lagi ke taman kerajaan seperti sebelumnya pada hari purnama di bulan Kattikà (Oktober-November). Dalam perjalanan itu Beliau melihat pertanda kedua, orang sakit, melihat pertanda ini, Beliau menyingkirkan kesombongan yang ditimbulkan oleh kebahagiaan karena memperoleh kesehatan (àrogya màna).
Kemudian, ketika Bodhisatta berkunjung lagi ke taman kerajaan seperti sebelumnya pada hari purnama di bulan Phagguna (Februari-Maret). Dalam perjalanan itu Beliau melihat pertanda ketiga, orang mati, melihat pertanda ini, Beliau menyingkirkan kesombongan yang ditimbulkan oleh kebahagiaan karena memperoleh kehidupan (jivita màna).
Kemudian lagi, pada hari purnama di bulan Âsàlha, tahun 67 Mahà Era, Bodhisatta mengunjungi taman kerajaan lagi. Dalam perjalanan itu Beliau melihat pertanda keempat, seorang petapa. Pemandangan ini menyadarkan-Nya akan hidup bertapa, dan bertekad, “Aku akan menjadi petapa hari ini juga,” Beliau melanjutkan perjalanan-Nya menuju taman kerajaan pada hari itu.
(Dari empat pertanda yang telah dijelaskan, tiga yang pertama disebut samvega nimitta, yang memunculkan desakan perasaan religius. Karena, jika kelahiran terjadi, pasti terjadi ketuaan, sakit,  dan kematian. Karena munculnya kelahiran, muncul pula usia tua, sakit, dan kematian. Tidak mungkin lari dari usia tua, sakit, dan kematian bagi mereka yang terlahir. Bagi mereka yang melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang bahaya yang menakutkan, kejam, dan mengerikan, mereka akan memunculkan penyebab bagi munculnya rasa takut dan peringatan dalam diri mereka. Pertanda terakhir, seorang petapa, adalah perwujudan yang bertujuan untuk mendorong praktik Dhamma, sebagai jalan untuk terhindar dari bahaya-bahaya yang disebutkan sebelumnya, yaitu: usia tua, sakit, dan kematian. Oleh karena itu disebut padhana nimitta, pertanda yang memunculkan usaha )

Kelahiran Rahula, Seorang Putra
Pelayan memberitahu Pangeran Siddhatta bahwa Putri Yasodhara melahirkan seorang putra
Pelayan memberitahu Pangeran Siddhatta bahwa Putri Yasodhara melahirkan seorang putra
Pada waktu itu, Raja Suddhodana, ayah-Nya menerima informasi bahwa permaisuri Bodhisatta, Yasodharà telah melahirkan seorang putra. Jadi, ia mengirim kurir untuk menyampaikan pesan kepada Bodhisatta, dengan penuh kegembiraan, “Pergilah sampaikan berita gembira ini kepada putraku.” Ketika Bodhisatta Pangeran mendengar berita ini, bahwa seorang putra telah lahir, Beliau berkata, dengan perasaan religius yang mendalam, “Asura Ràhu yang akan merampas kebebasan dan menawan-Ku telah lahir; ia yang akan memperbudak-Ku telah lahir!”
Ketika ditanya oleh Raja Suddhodana, “Apa yang dikatakan oleh putraku?” Si kurir mengatakan apa yang dikatakan oleh Bodhisatta Pangeran, dan oleh karena itu, Raja Suddhodana memberi nama dan gelar bagi cucunya, “Sejak saat ini, cucuku dikenal dengan nama Pangeran Ràhula.”
Seruan Gembira Kissà Gotami, Seorang Putri Sakya
Sang Bodhisatta memasuki kota raja Kapilavatthu, mengendarai kereta diiringi oleh banyak pengikut dengan keagungan seorang raja. Saat memasuki kota raja, seorang putri Sakya bernama Kisà Gotami yang memiliki kecantikan dan daya tarik, yang bukan berasal dari keturunan yang rendah namun dari silsilah keluarga yang tinggi, menyaksikan fisik (rupakàya) Bodhisatta Pangeran dari teras istananya, dan merasa berbahagia, dan mengungkapkan perasaan gembiranya sebagai berikut:
Nibbutà nåna sà màta
Nibbutà nåna so pità
Nibbutà nåna sà nàri
Yassà’yaÿ idiso pati
Kedamaian dan kebahagiaan bagi batin seorang ibu yang telah melahirkan putra seperti itu yang memiliki keagungan bagaikan matahari terbit, putra luar biasa dari keturunan mulia, sangat tampan, gagah, cerdas. Merenungkan dengan saksama dua sifat dan ketampanan dari putranya, kegembiraannya setiap hari, akan membawa kedamaian bagi batinnya.
Kedamaian dan kebahagiaan bagi batin seorang ayah yang telah membesarkan putra seperti itu yang memiliki keagungan bagaikan matahari terbit, putra luar biasa dari keturunan mulia, sangat tampan, gagah, cerdas. Merenungkan dengan saksama dua sifat dan ketampanan dari putranya, kegembiraannya setiap hari, akan membawa kedamaian bagi batinnya.
Kedamaian dan kebahagiaan bagi batin seorang perempuan yang beruntung dapat menjadi istri dari suami seperti itu yang memiliki keagungan bagaikan matahari terbit, suami luar biasa dari keturunan mulia, sangat tampan, jantan, gagah, cerdas. Merenungkan dengan saksama dua sifat dan ketampanan dari suaminya, kegembiraannya setiap hari, akan membawa kedamaian bagi batinnya.
Mendengar ungkapan kegembiraan dari putri Sakya, Kisà Gotami, Bodhisatta Pangeran merenungkan, “Saudara sepupu-Ku, putri Sakya, Kisà Gotami, telah mengucapkan kata-kata gembira karena melihat pribadi yang seperti ini (attabhàva) yang membawa kegembiraan dan kedamaian kepada ibu, ayah, dan istri. Tetapi, bila telah padam, apakah yang akan membawa kedamaian sejati bagi batin?” Kemudian Bodhisatta, yang batin-Nya telah terbebas dari kotoran (kilesa), mengetahui, “Kedamaian sejati akan muncul hanya jika api nafsu (ràga) dipadamkan; kedamaian sejati akan muncul hanya jika api kebencian (dosa) dipadamkan; kedamaian sejati akan muncul hanya jika api kebodohan (moha) dipadamkan; kedamaian sejati akan muncul hanya jika panasnya kotoran seperti keangkuhan (màna), pandangan salah (diññhi), dan lain-lain disingkirkan. Putri Kisà Gotamã telah mengucapkan kata-kata indah tentang kedamaian. Dan, Aku yang akan mencari Nibbàna, kebenaran tertinggi, pemadaman yang sebenarnya dari segala penderitaan. Bahkan hari ini juga, Aku harus melepaskan keduniawian dengan menjadi petapa di dalam hutan untuk mencari Nibbàna, Kebenaran sejati.”
Pangeran Siddhatta memberikan kalung permata pada Kissa Gotami
Pangeran Siddhatta memberikan kalung permata pada Kissa Gotami
Dengan pikiran untuk melepaskan keduniawian yang muncul terus-menerus dalam diri-Nya, Bodhisatta Pangeran berkata, “Kalung mutiara ini akan menjadi imbalan bagi ajaran yang diberikan oleh Putri Kisà Gotami yang mengingatkan-Ku untuk mencari unsur pemadaman, Nibbuti,” melepas kalung mutiara-Nya yang bernilai satu lakh dari leher-Nya dan mengirimkannya kepada Kisà Gotami. Putri sangat gembira dan berpikir, “Sepupuku, Pangeran Siddhattha, telah mengirimkan hadiah untukku karena pikirannya tertuju padaku.”
Sang Bodhisatta Pangeran pergi menuju istana tempat tinggal-Nya yang megah, indah, dan menakjubkan sebagai tempat tinggal yang nyaman, dan berbaring di dipan istana-Nya. Saat Beliau berbaring, semua palayan perempuan serta para gadis penari yang memiliki kecantikan bagaikan bidadari dan memiliki kulit yang bersih yang memiliki kemampuan menyanyi, menari, dan bermain musik, berkumpul di sekeliling-Nya dengan lima jenis alat musik di tangan mereka dan mulai bermain musik, menari serta menyanyi, untuk memberikan lima kenikmatan indria. Tetapi, karena merasa muak dan letih dengan kegiatan tersebut yang dapat mengobarkan api kotoran batin-Nya, Ia tidak lagi dapat menikmati hiburan berupa nyanyian, tarian, dan musik, Beliau jatuh tertidur pada saat itu juga.
Pada saat Bodhisatta Pangeran tertidur, para pelayan istana perempuan dan para penari berpikir, “Kami menari, menyanyi, dan bermain musik untuk Pangeran; tetapi Beliau tertidur. Untuk apa kami melelahkan diri?” Dan mereka juga tidur dengan alat musik tertimpa di bawah tubuh mereka. Lampu minyak yang mengeluarkan bau harum terus menyala di dalam istana emas memberikan cahayanya yang cemerlang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar