SIDDHATTHA GOTAMA : Perjuangan Mencapai Pencerahan
[ Sumber : Riwayat Agung Para Buddha (The Great Chronicle of Buddhas), karya Tipitakadhara Mingun Sayadaw (Myanmar) ; Ehipassiko Collection dan Girimangala publications]
SANG BODDHISATTA PANGERAN MELEPASKAN KEDUNIAWIAN SEBAGAI AKIBAT DARI PERASAAN RELIGIUS YANG MENDALAM ( SAMVEGA )
Pada saat bangun dari tidur-Nya, Bodhisatta Pangeran duduk bersila di atas dipan-Nya dan melihat ke sekeliling-Nya. Beliau melihat para gadis penari yang tertidur, beberapa menimpa alat musiknya di bawah tubuhnya dan dengan air liur mengalir keluar dari mulutnya mengotori pipi dan tubuhnya, beberapa menggemeretakkan giginya, beberapa mendengkur, beberapa mengoceh dalam tidurnya, beberapa dengan mulut terbuka, beberapa tidur telanjang tanpa mengenakan apa pun, beberapa dengan rambut kusut berantakan—semuanya terlihat seperti mayat yang menjijikkan di kuburan.
Menyaksikan perubahan yang menjijikkan dalam diri para gadis penari, Bodhisatta Pangeran menjadi merasa lebih bosan terhadap kenikmatan indria.
Demikianlah dengan merenungkan dan menyadari bahaya dari kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian dan kenyataan bahwa objek-objek dan nafsu kenikmatan indria serta tiga alam kehidupan kàmà, rupa, dan arupa juga tidak membahagiakan dan tidak menyenangkan; lebih merupakan penderitaan, kesakitan, dan penuh cacat, Beliau menjadi secara total melepaskan keterikatan dan kesenangan terhadap lima objek kenikmatan indria, Bodhisatta kemudian mengungkapkan perasaan-Nya dengan mengucapkan:
Upaddutaÿ vata bho, “Oh, betapa menyulitkan!”
Upassathaÿ vata bho, “Oh, betapa menekan!”
Beliau menjadi berkeinginan untuk melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.
Beliau berpikir, “Sekarang adalah waktunya bagi-Ku bahkan hari ini juga untuk pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga.” Bodhisatta bangkit dari dipan-Nya, mendekati pintu dan berkata, “Siapa di sini?” Channa, si kusir, yang sedang tidur dengan kepala di ambang pintu menjawab, “Yang Mulia, saya Channa.” Bodhisatta Pangeran memerintahkannya, berkata, “Aku ingin melepaskan keduniawian hari ini. Tanpa memberitahu siapa pun, pergilah cepat siapkan kuda berdarah murni, Sindhi yang memiliki kecepatan tinggi.” Channa, si kusir mengiyakan, berkata, “Baiklah, Yang Mulia.” Dengan membawa beberapa keperluan untuk berkuda, Channa berangkat menuju ke kandang kerajaan, di bawah cahaya lampu minyak harum ia melihat kuda kerajaan Kanthaka, kuda pemenang, berdiri di lapangan yang indah di tengah kandang di bawah kanopi berlapis bunga-bunga melati. Ia memutuskan, “Aku akan mempersiapkan kuda perkasa Kanthaka untuk Pangeran pergi melepaskan keduniawian malam ini.” Ia memasang pelana Kanthaka dan perlengkapan lainnya.
Selagi ia memasang pelana, Kanthaka menyadari, “Pelanaku dipasang lebih erat kali ini, sebelum-sebelumnya, jika pergi ke taman kerajaan, pelana dipasang agak berbeda. Tidak ragu lagi, Pangeran akan melepaskan keduniawian malam ini dengan menunggangiku dan menjadi petapa.” Dengan gembira, ia meringkik dengan penuh semangat. Ringkikan Kanthaka dalam kegembiraannya dapat bergema di seluruh Kapilavatthu; tetapi para dewa meredam suara itu sehingga tidak terdengar oleh seorang pun.
Selagi pendamping kelahirannya, Channa, sedang mempersiapkan dan menjemput kuda istana, Kanthaka, Bodhisatta berkeinginan untuk “melihat bayi sebelum melepaskan keduniawian.” Beliau pergi ke kamar ibu Ràhula, Ratu Yasodharà, dan membuka pintu kamar. Pada waktu itu, kamar tersebut terang benderang oleh cahaya dari lampu minyak harum; dan ibu Ràhula, Ratu Yasodharà, sedang berbaring tidur di atas kasur yang ditebari dengan bunga-bunga melati, dengan tangannya di atas kepala bayi.
Sang Bodhisatta berdiri diam diambang pintu, selagi melihat, Beliau merenungkan, “Jika Aku memindahkan tangan ratu dan menggendong putra-Ku, Aku mungkin akan membangunkan ratu; jika ratu terbangun, itu dapat membahayakan rencana-Ku untuk melepaskan keduniawian yang akan segera Kulakukan. Jadi, biarlah untuk saat ini, Aku tidak dapat melihatnya; setelah Aku mencapai Pencerahan Sempurna; Aku akan kembali untuk melihat putra-Ku.” Setelah merenungkan demikian, Bodhisatta turun dari istana dan mendekati kuda istana dan berkata:
“O Kanthaka, pendamping kelahiran-Ku, bantulah Aku pada malam ini. Setelah mencapai Kebuddhaan dengan bantuanmu, Aku akan menolong dunia ini termasuk dewa, dari lautan samsàra dan mengantarkan mereka ke daratan tinggi Nibbàna.”
Kemudian Bodhisatta melompat ke atas punggung kuda istana Kanthaka.
Kanthaka berukuran delapan belas lengan diukur dari lehernya dan memiliki tinggi yang proporsional. Ia memiliki kecepatan tinggi dan kekuatan besar. Seluruh tubuhnya berwarna putih seperti salju; penampilan fisiknya indah dan anggun bagaikan kulit kerang yang digosok. Duduk di tengah-tengah punggung Kanthaka dengan pendamping kelahirannya, Channa, yang mencengkeram ekor kuda itu; Bodhisatta keluar dari kawasan istana pada jaga pertengahan malam itu, Senin, malam purnama di bulan âsàëha tahun 97 Mahà Era, dan segera tiba di pintu gerbang utama kota itu. (Selagi Bodhisatta berangkat meninggalkan istana dengan menunggangi kuda istana, Kanthaka, para dewa meletakkan tangan mereka di bawah kaki kuda itu pada setiap derapnya, sehingga suara derapannya tidak terdengar oleh siapa pun.)
SANG BODDHISATTA PANGERAN, PENDAMPING KELAHIRAN-NYA CHANNA, DAN KUDA ISTANA KANTHAKA, MASING-MASING MEMILIKI RENCANA SENDIRI
Saat itu adalah ketika Raja Suddhodana telah mengambil tindakan pencegahan untuk mencegah Bodhisatta pergi melepaskan keduniawian dengan memperkuat kedua sisi pintu gerbang utama sehingga tiap-tiap sisi hanya dapat dibuka oleh tenaga seribu orang pasukan. Ia berpikir, “Dengan begini, anakku tidak mungkin dapat pergi keluar kapan saja dengan membuka pintu gerbang kota tanpa ketahuan.”
Sang Bodhisatta memiliki kekuatan besar; Beliau memiliki tenaga yang sebanding dengan seribu crore Gajah Kàlàvaka; Beliau memiliki kekuatan yang sebanding dengan seribu crore laki-laki berukuran sedang (majjhimapurisa). Beliau berpikir, “Jika pintu gerbang tidak terbuka, Aku akan menggunakan kekuatan-Ku. Dengan tetap duduk di punggung Kanthaka, Aku akan mencengkeram Channa yang menemani-Ku dengan memegang ekor kuda dan Aku akan menjepit Kanthaka di antara dua paha-Ku dan melompati tembok kota setinggi delapan belas lengan.”
Channa juga memiliki rencana sendiri, “Jika pintu gerbang utama tidak terbuka, aku akan mendudukkan Pangeran di atas bahuku, menjepit Kanthaka di bawah ketiak kananku dan merangkulnya dengan tangan kananku, aku akan melompati tembok kota setinggi delapan belas lengan dan lari.”
Kuda Kanthaka juga memiliki rencana, “Jika pintu gerbang utama tidak terbuka, aku akan membiarkan Pangeran tetap duduk di punggungku dan Channa tetap memegang ekorku, aku akan melompati tembok kota setinggi delapan belas lengan dan lari.”
PENCEGAHAN OLEH MARA VASAVATTI
Demikianlah, mereka bertiga memiliki keinginan yang sama. Bahkan jika gerbang utama tidak terbuka, mereka akan menjalani rencananya masing-masing. Namun demikian, berkat kebajikan dan kumpulan jasa-jasa dan keagungan Bodhisatta mulia, para dewa yang menjaga pintu gerbang kota dengan gembira membiarkan pintu gerbang tersebut tetap terbuka bagi Bodhisatta untuk keluar. Begitu Bodhisatta keluar dari pintu gerbang kota disertai pendamping kelahirannya Channa, Màra Vasavatti yang tidak senang dan selalu menentang dan menghalangi Pembebasan makhluk-makhluk dari lingkaran kelahiran turun ke alam manusia dari Surga Paranimmitavasavatti dalam sekejap, secepat seorang bertenaga besar merentangkan tangannya yang terlipat atau melipat tangannya yang terentang, muncul di depan Bodhisatta. Maksudnya adalah untuk menghalang-halangi Bodhisatta dari rencana-Nya untuk melepaskan keduniawian dengan menipunya untuk memercayai bahwa pencegahan ini adalah demi kebaikan Pangeran sendiri. Dari angkasa, ia mengucapkan:
“O Bodhisatta Pangeran yang sangat bersemangat, jangan pergi melepaskan keduniawian menjadi petapa. Pada hari ketujuh dari sekarang, Roda Pusaka Surgawi akan muncul untuk-Mu.”
Ia juga menghalang-halangi Bodhisatta dengan mengatakan, “Engkau akan menjadi raja dunia yang memerintah empat benua besar yang dikelilingi oleh dua ribu pulau kecil. Kembalilah, Yang Mulia.” Bodhisatta Pangeran menjawab, “Siapakah engkau, yang berbicara pada-Ku dan menghalang-halangi-Ku?” Dewa Màra menjawab, “Yang Mulia, aku adalah Màra Vasavatti.” Kemudian Bodhisatta menjawab dengan tegas:
“O Màra yang sangat kuat, Aku sudah tahu bahkan sebelum engkau katakan, bahwa Roda Pusaka akan muncul untuk-Ku. Namun, Aku sama sekali tidak berkeinginan untuk menjadi raja dunia, yang memerintah empat benua, pergilah engkau, O Màra, dari sini; jangan menghalang-halangi-Ku.”
“Bagi-Ku, Aku akan berusaha untuk menjadi Buddha untuk menolong dan mengantarkan makhluk-makhluk, yang telah siap untuk mendengarkan Dhamma (veneyya), menuju tanah kemenangan Nibbàna, menyebabkan sepuluh ribu alam berputar bagaikan roda tembikar.”
Lalu, Màra menakut-nakuti Bodhisatta dengan kata-kata berikut, “O kawan, Pangeran Siddhattha, ingatlah kata-kata-Mu itu. Mulai saat ini, aku akan membuat-Mu mengenalku dengan baik, ketika pikiran-Mu dipenuhi oleh nafsu-nafsu indria (kàma vitakka), kebencian (vyàpàda vitakka), dan kekejaman (vihiÿsà vitakka).” Dan, sejak saat itu, ia selalu mencari-cari peluang di mana kotoran batin (kilesa) berkesempatan muncul dalam batin Bodhisatta, mengikutinya dari dekat bagaikan bayangan selama tujuh tahun. (Ia mengikuti di belakang Bodhisatta selama tujuh tahun dengan tujuan untuk membunuh-Nya di tempat itu juga ketika kotoran muncul dalam batin Bodhisatta).
IRING-IRINGAN PARA DEWA DAN BRAHMA SAMPAI KE TEPI SUNGAI ANOMA
Di usia dua puluh sembilan (29) tahun, saat Beliau akan memperoleh kemuliaan dan kekuasaan sebagai seorang raja dunia, Beliau menolaknya seolah-olah membuang ludah. Pada tengah malam, di malam purnama bulan âsàlha ketika bintang âsàlha dalam posisi segaris dengan bulan di tahun 97 Mahà Era, Beliau meninggalkan istana yang sebanding dengan kemegahan istana seorang raja dunia. Tetapi ketika Beliau meninggalkan istana-Nya itu, keinginan untuk berpaling dan melihat Kota Kapilavatthu muncul dalam pikiran-Nya.
Segera setelah munculnya pikiran itu, tempat di sekeliling Bodhisatta berputar seperti roda tembikar seolah-olah bumi berkata kepadanya, “O Bodhisatta mulia, kebajikan dan jasa yang telah Engkau miliki membuat-Mu tidak perlu berbalik untuk melihat apa pun yang Engkau inginkan; objek yang ingin Engkau lihat akan menampakkan dirinya di depan-Mu.” Demikianlah Bodhisatta melihat Kota Kapilavatthu dari tempat-Nya berdiri tanpa perlu berpaling. Tempat di mana kuda Kanthaka berhenti ditandai dengan didirikannya stupa yang dinamai Kanthaka Nivattana. Beliau kemudian melanjutkan perjalanannya dengan penuh keagungan di atas punggung kuda Kanthaka. Sepanjang perjalanan yang dilalui Bodhisatta, semua dewa dan brahmà berbaris di depan dan di belakang, di kiri dan kanan, beberapa memegang enam puluh ribu obor (enam ratus obor menurut Komentar Buddhavamsa); yang lain memberi penghormatan dengan karangan bunga yang terbuat dari bunga-bunga harum, bubuk cendana, pengusir serangga ekor yak, spanduk, dan pita. Mereka berbaris menyanyikan lagu-lagu surgawi dan memainkan segala jenis alat musik surgawi.
Sang Bodhisatta mulia, yang seperti dijelaskan di atas, telah melepaskan keduniawian dengan segala kemegahan melewati tiga kerajaan—Sàkiya, Koliya, dan Malla—dalam satu malam yang meliputi jarak sejauh tiga puluh yojanà, akhirnya tiba di tepi Sungai Anomà.
Kuda istana Kanthaka memiliki kecepatan yang memungkinkannya untuk berlari di sekeliling Gunung Cakkavàla di subuh hari dan tiba kembali tepat saat makan pagi disiapkan untuknya. Namun demikian, harus dimengerti bahwa pada waktu itu bunga-bunga harum yang ditebarkan oleh para dewa dan brahmà, nàga dan garuda, dan lain-lain dari angkasa menutupi seluruh permukaan tanah hingga setinggi perut kuda sehingga ia harus berjalan dengan susah payah, berjuang dan berjuang melewati lautan bunga seolah-olah melewati rawa-rawa, karena itulah ia hanya dapat berlari sejauh tiga puluh yojanà dalam semalam.
MENYEBERANGI SUNGAI ANOMA DAN MENCUKUR RAMBUT
Setelah mencapai tepi Sungai Anomà, Bodhisatta mulia mengistirahatkan kuda-Nya di tepi sungai dan bertanya kepada Channa, “Apa nama sungai ini?” Ketika dijawab oleh Channa bahwa sungai tersebut adalah Sungai Anomà, Bodhisatta menganggap itu adalah pertanda baik, dan berkata, “Pertapaan-Ku tidak akan gagal, bahkan sebaliknya akan memiliki kualitas yang baik,” (karena anomà artinya ‘bukan sesuatu yang rendah’). Kemudian menepuk Kanthaka dengan tumit-Nya untuk memberikan aba-aba kepadanya untuk menyeberangi sungai, dan Kanthaka melompat ke sisi seberang sungai yang lebarnya delapan usabha dan berdiri di sana.
Setelah turun dari punggung kuda, dan berdiri di atas pasir di tepi sungai, Bodhisatta menyuruh Channa, “Channa sahabat-Ku, bawalah kuda Kanthaka bersama dengan semua perhiasan-Ku pulang. Aku akan menjadi petapa.” Ketika Channa mengatakan bahwa ia juga ingin melakukan hal yang sama, Bodhisatta melarangnya sampai tiga kali dengan mengatakan, “Engkau tidak boleh menjadi petapa. Channa sahabat-Ku, pulanglah ke kota.” Dan Ia menyerahkan Kanthaka dan semua perhiasan-Nya kepada Channa.
Setelah itu, dengan mempertimbangkan, “Rambut-Ku ini tidak cocok untuk seorang petapa; Aku akan memotongnya dengan pedang-Ku.” Bodhisatta, dengan pedang di tangan kanan-Nya memotong rambut-Nya dan mencengkeramnya bersama mahkota-Nya dengan tangan kiri-Nya. Rambut-Nya yang tersisa sepanjang dua jari mengeriting ke arah kanan dan menempel di kulit kepala-Nya. Sisa rambut itu tetap sepanjang dua jari hingga akhir hidup-Nya meskipun tidak pernah dipotong lagi. Janggut dan cambang-Nya juga tetap ada seumur hidup-Nya dengan panjang yang cukup untuk terlihat indah seperti rambut-Nya. Bodhisatta tidak perlu mencukur-Nya lagi.
MELEMPARKAN GUMPALAN RAMBUT-NYA YANG LEBAT KE ANGKASA DENGAN KEBULATAN TEKAD
Sang Bodhisatta memegang gumpalan rambut-Nya bersama dengan mahkota-Nya mengucapkan tekad, “Jika Aku akan menjadi Buddha, biarlah gumpalan rambut ini tetap di angkasa. Jika tidak, gumpalan rambut ini akan jatuh ke atas tanah.” Kemudian Beliau melemparnya ke angkasa. Setelah itu, gumpalan rambut itu bersama dengan mahkota-Nya naik ke angkasa setinggi satu yojanà dan secara ajaib tetap tergantung di sana seperti karangan bunga yang tergantung.
CETIYA CULAMANI DIDIRIKIAN DI TAVATIMSA OLEH SAKKA
Pada waktu itu, Sakka, raja dewa melihat rambut Bodhisatta dengan mata-dewanya; dan mengambilnya bersama dengan mahkotanya dengan menggunakan sebuah peti permata, berukuran satu yojanà, dan membawanya ke Surga Tàvatimsa. Ia kemudian menyimpannya di dalam Cetiya Culàmani yang didirikannya dan dihias dengan tujuh jenis batu permata. Cetiya itu tingginya tiga yojanà.
MENJADI PETAPA DENGAN PERLENGKAPAN YANG DIPERSEMBAHKAN OLEH BRAHMA GHATIKARA
Selanjutnya, Bodhisatta merenungkan, “Busana-Ku ini buatan Negeri Kàsi yang sangat mahal. Tidak sesuai untuk seorang petapa.” Kemudian Brahmà Ghatikàra, yang merupakan sahabat-Nya sewaktu dalam kehidupan-Nya pada masa kehidupan Buddha Kassapa merenungkan melalui Mettà-nya yang mulia yang telah ada selama buddhantara kappa, “Ah, hari ini sahabatku Bodhisatta, melihat bahaya dalam fenomena menyedihkan seperti kelahiran, dan lain-lain telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dalam kemuliaan, melepaskan keduniawian Mahàbhinikkhamana. Aku akan pergi, membawakan perlengkapan bertapa untuk sahabatku, Bodhisatta Pangeran.” Demikianlah ia membawakan delapan perlengkapan yaitu, (1) sebuah jubah besar, (2) sebuah jubah atas yang disebut ekacci, (3) sebuah jubah bawah, (4) sebuah korset (empat kebutuhan yang melekat di badan), (5) sebuah jarum dan benang, (6) sebuah pisau yang digunakan untuk menyerut kayu pembersih gigi, (7) sebuah mangkuk dan wadahnya, dan (8) sebuah saringan air, (empat perlengkapan yang tidak melekat di badan) dan kemudian menyerahkannya kepada Bodhisatta.
Selanjutnya Bodhisatta telah berpenampilan seperti seorang petapa setelah mengenakan jubah-Nya dengan baik—jubah yang dapat disebut sebagai sebuah spanduk Arahatta-Phala dan yang dipersembahkan oleh brahmà. Kemudian Beliau melemparkan busana-Nya (busana orang biasa) ke angkasa.
CETIYA DUSSA DIDIRIKAN DI ALAM BRAHMA AKANITTHA
Brahmà Ghatikàra menangkap busana Bodhisatta yang dilemparkan ke angkasa; dan mendirikan sebuah cetiya, berukuran dua belas yojanà dan berhiaskan berbagai macam permata tempat ia menyimpan pakaian tersebut dengan penuh hormat. Karena cetiya itu berisi busana, maka disebut Cetiya Dussa.
CHANNA PULANG KE KOTA
Setelah menjadi petapa, Bodhisatta menyuruh Channa, “Channa sahabat-Ku, sampaikan pesan ini kepada ‘ibu-Ku’ (maksudnya: ibu angkat-Nya Mahàpajapati Gotamã) dan ayah-Ku bahwa Aku dalam kondisi sehat.” Kemudian Channa, setelah bersujud dengan penuh hormat kepada Bodhisatta dan mengelilingi-Nya, mengambil buntalan berisi perhiasan Bodhisatta, membawa kudanya dan pergi.
KANTHAKA TERLAHIR KEMBALI SEBAGAI DEWA SETELAH MENINGGAL DUNIA
Karena mendengarkan percakapan antara Bodhisatta dengan Channa, kuda Kanthaka menjadi sangat sedih dengan pikiran, “Mulai saat ini aku tidak akan dapat melihat tuanku lagi.” Setelah ia menghilang dari pandangan Bodhisatta, ia tidak dapat menahan kesedihannya yang timbul karena berpisah dengan seseorang yang dicintainya ‘piyehi vippayoga’, sewaktu ia meninggalkan Bodhisatta yang sangat disayanginya; ia meninggal dunia karena patah hati dan terlahir kembali di Surga Tàvatimsa sebagai dewa bernama Kanthaka. Sedangkan Channa, pertama-tama ia bersedih karena berpisah dengan Bodhisatta, kemudian kesedihannya bertambah karena meninggalnya Kanthaka. Tertekan oleh penderitaan ganda, ia pulang ke Kota Kapilavatthu dengan air mata berlinang, menangis.
KUNJUNGAN BODDHISATTA KE KOTA RAJAGAHA SETELAH BERDIAM SELAMA TUJUH HARI DI HUTAN MANGGA ANUPIYA
Setelah menjadi petapa, Bodhisatta berdiam selama tujuh hari dalam kebahagiaan pertapaan di hutan mangga yang disebut Anupiya kemudian berjalan kaki sejauh tiga puluh yojanà dalam sehari dan memasuki Kota Ràjagaha. (Pernyataan ini diambil dari Komentar Buddhavaÿsa dan Komentar Jàtaka).
MEMASUKI RAJAGAHA UNTUK MENGUMPULKAN DANA MAKANAN
Ketika Beliau akan mengunjungi Kota Ràjagaha untuk mengumpulkan dàna makanan, Beliau berdiri di pintu gerbang timur kota itu; Beliau berpikir, “Jika Aku mengirim pesan kepada Raja Bimbisàra mengenai kunjungan-Ku, ia akan tahu bahwa Pangeran Siddhattha, putra Raja Suddhodana, telah datang ke kotaku; kemudian dengan penuh perhatian dan penghormatan ia akan mengirimkan banyak harta benda kepada-Ku. Tidaklah tepat bagi seorang petapa seperti-Ku untuk memberitahukannya dan menerima empat kebutuhan dengan cara seperti itu. Sekarang, Aku akan pergi mengumpulkan dàna makanan.” Jadi, setelah mengenakan jubah Pamsukålika yang dipersembahkan oleh Brahmà Ghatikara dan mengambil mangkuk-Nya, Bodhisatta memasuki kota melalui pintu gerbang timur dan mengumpulkan dàna makanan dari rumah ke rumah.
Tujuh hari sebelum Bodhisatta memasuki Kota Ràjagaha untuk mengumpulkan dàna makanan, sebuah festival sedang dirayakan oleh orang banyak. Pada hari Bodhisatta memasuki kota. Raja Bimbisàra mengumumkan dengan tabuhan genderang, “Festival telah selesai. Para penduduk harap segera kembali ke pekerjaannya masing-masing.” Pada waktu itu para penduduk masih berkumpul di halaman istana. Sewaktu raja membuka jendela dan melihat keluar untuk memberikan perintah yang diperlukan, ia melihat Bodhisatta yang memasuki Ràjagaha dengan penuh ketenangan.
Melihat penampilan yang anggun dari Bodhisatta, para penduduk Ràjagaha menjadi sangat gembira dan terjadi kegemparan di seluruh kota seperti ketika Gajah Nàlàgiri, yang juga disebut Dhammapàla, memasuki kota atau seperti para penghuni Alam Tàvatimsa yang ketakutan saat Raja Asura bernama Vepaciti, mendatangi tempat mereka.
Ketika Bodhisatta mulia berkeliling dengan keagungan raja Gajah Chaddanta untuk mengumpulkan dàna makanan dari rumah ke rumah di Kota Ràjagaha, para penduduk menyaksikan penampilan anggun yang tiada bandingnya dalam diri Bodhisatta, mereka merasa sangat gembira dan terheran-heran, penasaran ingin melihat bagaimana tingkah laku Bodhisatta yang unik.
Salah satu orang berkata kepada orang lainnya, “Teman, bagaimana ini? Apakah istana bulan yang turun ke alam manusia dengan cahayanya yang menyembunyikan ketakutan Rahu Si Raja Asura?”
Orang kedua menjawab dengan nada mengejek, “Apa yang kau katakan, teman? Pernahkah engkau melihat bulan yang turun ke alam manusia? Itu adalah Dewa Kàma, Dewa Keinginan, melihat kemegahan raja kita dan para penduduknya, ia turun dan menyamar untuk bermain dan bersenang-senang dengan kita.”
Orang ketiga berkata, “O teman, bagaimana itu? Apakah kau gila? Dewa Kàma memiliki tubuh berwarna hitam legam karena terbakar oleh api kekuasaan, keangkuhan, dan kemarahan. Sebenarnya orang yang kita lihat itu adalah Sakka, raja para dewa, yang memiliki seribu mata, yang datang ke kota kita karena mengira bahwa ini adalah Alam Tàvatimsa.”
Orang keempat sambil tersenyum berkata kepada orang ketiga, “Bagaimana engkau dapat mengatakan hal itu? Kata-katamu sendiri saling bertentangan. Menyebutnya Sakka, mana seribu matanya? Mana gajah tunggangannya Eràvana? (Jika Ia adalah Sakka, ia harus memiliki seribu mata, bersenjata petir, dan Eràvana sebagai tunggangannya. Ia tidak memiliki semua itu). Sebenarnya, ia adalah brahmà yang, mengetahui bahwa para brahmana telah melupakan semua Veda, datang untuk mengingatkan mereka agar tidak melupakan pelajaran mereka dan melatihnya dengan rajin.”
Orang lain, seorang terpelajar, menghentikan perdebatan mereka dan berkata, “Beliau bukan bulan, bukan Dewa Kàma, bukan Sakka, dan bukan brahmà. Sebenarnya, Beliau adalah manusia luar biasa, raja dan guru di tiga alam.”
Selagi para penduduk Ràjagaha saling berbicara, masing-masing dengan pendapatnya sendiri-sendiri, pelayan istana datang kepada Raja Bimbisàra dan melaporkan, “Raja besar, seorang yang luar biasa yang tidak seorang pun mengetahui apakah Beliau adalah dewa, atau gandabha atau nàga atau yakkha, sedang mengumpulkan dàna makanan di Kota Ràjagaha.” Mendengar kata-kata ini, raja yang telah melihat Bodhisatta dari teras atas di istananya merasa penasaran dan memerintahkan menterinya, “Pergi selidiki orang ini; jika ia adalah yakkha ia akan menghilang ketika tiba di luar kota ini; jika ia adalah dewa ia akan berjalan di angkasa; jika ia adalah nàga ia akan masuk ke dalam tanah dan menghilang; jika ia manusia, ia akan memakan makanannya di tempat tertentu.”
Dengan ketenangan indria dan batinnya juga dalam keanggunannya, dengan mata yang selalu menatap ke bawah (sejauh kira-kira empat lengan), Beliau menarik perhatian para penduduk Ràjagaha, Beliau berkeliling dan mengumpulkan makanan secukupnya—makanan yang terdiri dari berbagai macam bahan kasar dan halus berwarna warni dicampur menjadi satu. Kemudian Beliau bertanya kepada para penduduk, “Di manakah biasanya para petapa yang mengunjungi kota ini berdiam?” Para penduduk menjawab, “Mereka biasanya berdiam di jalan masuk menuju gua yang menghadap timur di puncak Gunung Pandava.” Dan kemudian Bodhisatta meninggalkan kota melalui pintu gerbang timur. Setelah itu Beliau duduk menghadap ke timur di jalan masuk gua di gunung dan berusaha memakan makanan campur aduk dari bahan kasar dan halus yang dibawa-Nya.
Setelah menikmati kebahagiaan bagaikan raja dunia hanya beberapa hari yang lalu, Beliau berusaha keras untuk menelan beberapa suap makanan yang merupakan campuran berbagai bahan kasar maupun halus dan berwarna-warni. Ketika Beliau menyuapkan makanan itu ke mulut-Nya, Beliau merasa menderita dan nyaris muntah dengan usus terbalik, karena Beliau belum pernah melihat makanan seperti itu sebelumnya yang sangat menjijikkan. Kemudian Beliau menegur diri-Nya sendiri, “Ya Siddhattha, walaupun sebenarnya, Engkau bisa menikmati kemewahan istana di mana makanan dan minuman lezat selalu tersedia dan di mana Engkau memiliki makanan dari beras-beras harum dengan kelezatan yang berbeda-beda kapan saja Engkau inginkan, namun Engkau, karena melihat petapa berpakaian tambal-tambalan merenungkan, ‘Kapankah Aku dapat memakan makanan yang diperoleh dari meminta-minta dari rumah ke rumah setelah menjadi petapa seperti dirinya? Kapankah waktunya tiba bagi-Ku untuk hidup dari makanan yang dikumpulkan dengan cara seperti itu?’ Dan bukankah Engkau telah melepaskan keduniawian dan menjadi petapa karena pikiran seperti itu? Sekarang keinginan-Mu telah terkabul, mengapa Engkau malah ingin berubah pikiran?” Kemudian dengan lahap Beliau memakan makanan-Nya yang paling kasar sekalipun.
Tiga orang menteri yang dikirim oleh Raja Bimbisàra untuk menyelidiki, mendekati Bodhisatta dan mengamati seluruh kenyataan dari diri Bodhisatta. Kemudian dua orang tetap tinggal sementara orang ketiga kembali menghadap raja dan melaporkan, “Raja besar, petapa yang mengumpulkan dàna makanan masih duduk dengan tenang di jalan masuk ke gua yang menghadap timur di puncak Gunung Pandava sama sekali tidak merasa takut bagaikan raja singa atau raja macan atau raja sapi, setelah memakan makanan yang diperolehnya.” Mendengar hal itu, raja tergopoh-gopoh pergi dengan mengendarai kereta mewah menuju tempat Bodhisatta di puncak Gunung Pandava sejauh yang bisa dilewati oleh kereta itu; kemudian meninggalkan kereta dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Ketika ia sudah berada di dekat Bodhisatta, ia duduk di atas sebuah batu yang sejuk setelah meminta izin dari Bodhisatta dan merasa terkesan oleh sikap Bodhisatta. Ia berkata, “Teman, Engkau masih berusia muda. Engkau juga memiliki karakteristik baik dan jasmani yang tampan. Aku rasa Engkau pasti berasal dari kasta tinggi, kesatria murni. Aku akan menawarkan kebahagiaan istana dan kekayaan; apa pun yang Engkau inginkan di dua negara Angga dan Magadha yang adalah wilayah kekuasaanku. Jadilah raja dan memerintahlah! Juga katakanlah padaku silsilah-Mu.” Demikianlah raja menanyai Bodhisatta dan menawarkan kerajaan kepada-Nya. Kemudian Bodhisatta mempertimbangkan, “ Jika Aku berkeinginan untuk menjadi raja, bahkan empat raja dewa di alam surga dan lain-lainnya akan menawarkan kerajaannya kepada-Ku. Atau, jika Aku tetap tinggal di istana-Ku sebagai raja, dapat dipastikan Aku akan menjadi raja dunia. Tanpa mengetahui hal ini, Raja Bimbisàra memberikan penawaran tersebut pada-Ku dengan mengatakan hal-hal tadi. Aku akan memberitahukan kehidupan istana-Ku kepadanya.” Dengan pikiran demikian, Ia merentangkan tangan kanan-Nya dan menunjuk arah dari mana Beliau datang. Setelah dengan beberapa syair indah Petapa Gotama menyatakan bahwa ia anak dari Raja Suddhodana , Kemudian Raja Bimbisàra menjawab, “Yang Mulia, aku telah mendengar bahwa ‘Pangeran Siddhattha’, putra Raja Suddhodana, setelah melihat empat pertanda dengan mata-Nya sendiri, pergi melepaskan keduniawian dan menjadi petapa, yang akan mencapai Pencerahan Sempurna. Pemimpin tertinggi di tiga alam. Setelah menyaksikan sendiri cita-cita agung-Mu untuk mencapai Nibbàna. Aku percaya bahwa Engkau akan menjadi Buddha. Yang Mulia, izinkan aku mengajukan permohonan. Ketika Engkau telah mencapai Kebuddhaan, mohon agar kunjungan pertama-Mu adalah ke negeriku!” Setelah dengan sungguh-sungguh menyampaikan undangannya, Raja Bimbisàra kembali ke kota.
BODDHISATTA BELAJAR DAN BERDISKUSI DENGAN PEMIMPIN ALIRAN ALARA DAN UDAKA, DAN BERHASIL MENCAPAI DELAPAN PENCAPAIAN LOKIYA JHANA
Ketika Raja Bimbisàra yang bijaksana kembali ke Kota Ràjagaha, Bodhisatta melakukan perjalanan untuk mencari kebahagiaan Nibbàna yang disebut Santivara (kedamaia tertinggi); dalam perjalanan tersebut Beliau tiba di tempat kediaman seorang guru agama, bernama Alàra dari suku Kàlàma.
Sesampainya di tempat kediaman Alàra, si pemimpin aliran, Bodhisatta mengajukan permohonan, “O Sahabat, engkau yang berasal dari suku Kàlàma, Aku ingin menjalani kehidupan suci sesuai caramu.” Alâra mengabulkan permohonan itu dengan mengucapkan kata-kata dukungan yang tulus, “O Sahabat mulia, mari bergabung bersama kami! Dengan cara yang kami jalani, seseorang yang tekun akan dapat memahami pandangan gurunya dalam waktu singkat dan dapat mempertahankan kebahagiaan.”
Setelah diterima oleh Alàra, Bodhisatta dengan rajin memelajari ajaran baru tersebut. Sebagai seseorang yang memiliki kecerdasan yang tinggi, Bodhisatta dapat dengan mudah mempelajari dan mempraktikkan ajaran Alàra. Hanya dengan mengulangi kata-kata guru-Nya dengan sedikit gerakan bibir, Bodhisatta mencapai tahap di mana Beliau dapat mengatakan, “Aku telah mengerti!” Ia membuat pernyataan, “Aku telah mengerti! Aku telah melihat ajarannya!” dan pemimpin aliran beserta siswa-siswa lainnya menerima pernyataan-Nya.
Sehubungan dengan ajaran Alàra mengenai latihan yang menghasilkan pencapaian Akincnnàyatana (Lokiya) Jhàna, Beliau mengetahui bahwa, “Pemimpin aliran Alàra tentu berlatih tidak sekadar mengandalkan keyakinan tanpa disertai kebijaksanaan, namun guru ini pasti seorang yang telah menembus tujuh pencapaian Lokiya.” Kemudian Beliau mendekati guru dan bertanya, “O Sahabat Kàlàma, seberapa jauh engkau dapat mengatakan bahwa engkau telah benar-benar menembus ajaran-ajaran yang engkau ajarkan?” Alàra menjawab bahwa ia telah memiliki pengetahuan praktik (bukan teori) dengan menjelaskan bagaimana mencapai tujuh pencapaian hingga âki¤ca¤¤àyatana Jhàna.
Selanjutnya, Bodhisatta berpikir, “Bukan hanya pemimpin aliran âlàra yang memiliki keyakinan yang kuat untuk mencapai Jhàna; Aku juga memiliki keyakinan yang kuat untuk mencapai Jhàna. Bukan hanya ia yang memiliki usaha, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang kuat untuk mencapai Appanà Jhàna; Aku juga memiliki usaha, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang kuat untuk mencapai Appanà Jhàna; Alàra berkata bahwa ia telah menembus tujuh Lokiya Jhàna hingga tingkat Akincannàyatana dengan Abhinnà dan berdiam di sana penuh kebahagiaan. Sebaiknya, Aku juga harus berusaha mencapai tujuh pencapaian Lokiya Jhàna seperti dia.”
Demikianlah dengan pikiran seperti ini, Beliau berusaha keras berlatih kasina parikamma, dan dalam dua atau tiga hari Beliau berhasil menembus tujuh pencapaian lokiya hingga tingkat Akincannàyatana Jhàna dan berdiam penuh kebahagiaan di sana sama seperti Guru Alàra.
Kemudian Bodhisatta mendatangi guru âëàra dan bertanya, “Sahabat Kàlàma, Seperti inikah yang engkau maksudkan dengan tujuh Lokiya Jhàna dan Abhinnà yang telah engkau capai dan berdiam di sana penuh kebahagiaan?” Ketika Alàra memberikan jawaban menyetujui, Bodhisatta memberitahukan, “Sahabat, Aku juga telah mencapai tujuh Lokiya Jhàna hingga tingkat âki¤ca¤¤àyatana Jhàna dengan Abhinnà dan berdiam di sana penuh kebahagiaan.” Sebagai seorang mulia yang telah bebas dari noda batin iri hati (issà) dan sifat egois (micchariya), Alàra pemimpin aliran berkata dengan penuh kegembiraan, “Kami telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri seorang petapa yang sangat cerdas seperti diri-Mu. Adalah keuntungan besar bagi kami, Sahabat!” Setelah itu, Alara menyerahkan separuh pengikutnya kepada Petapa Gotama, Boddhisatta kita, dan meminta Boddhisatta untuk bersama-sama dengan dia memimpin aliran petapaan tersebut.
SANG BODDHISATTA MENINGGALKAN GURU-NYA ALARA KARENA MELIHAT CACAT DARI PENCAPAIAN LOKIYA JHANA
Setelah berusaha dan berhasil mencapai tujuh Lokiya Jhàna, karena Beliau memang telah memperoleh Jhàna dalam kehidupan-kehidupan lampau-Nya dan karena Beliau memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, Bodhisatta kemudian merenungkan sifat-sifat dari pencapaian ini dalam kehidupan-Nya saat ini dan manfaatnya untuk kehidupan mendatang; Beliau mengetahui benar sifat dari pencapaian tujuh tingkat Jhàna ini hingga tingkat âkincannàyatana Jhàna dalam kehidupan ini dan kelahiran kembali di Alam Brahmà âkincannàyatana setelah meninggal dunia. Beliau sampai pada kesimpulan bahwa tujuh Lokiya Jhàna ini masih berada dalam lingkaran penderitaan (vattha dukkha); Beliau juga merenungkan dalam-dalam, “Kelompok pencapaian-pencapaian ini tidak dapat mengakhiri lingkaran penderitaan; pelepasan; untuk melenyapkan kotoran batin seperti nafsu (ràga), dan lain-lain, untuk memadamkan semua kotoran-kotoran ini, untuk mengetahui semua yang harus diketahui, untuk mencapai pengetahuan mengenai Empat Jalan, untuk menembus Nibbàna. Sebenarnya, tujuh pencapaian ini hanya menghasilkan Alam Brahmà âki¤ca¤¤àyatana di mana umur kehidupan adalah selama enam puluh ribu mahàkappa, namun tidak menghasilkan yang lebih tinggi dari itu. Alam Brahmà âki¤ca¤¤àyatana yang tertinggi hanyalah sebuah alam yang belum terbebaskan dari bahaya kelahiran, usia tua, dan kematian. Sebenarnya hanyalah sebuah wilayah yang masih berada dalam kekuasaan raja kematian.”
PERTEMUAN BODDHISATTA DENGAN PEMIMPIN ALIRAN UDAKA DAN USAHA-NYA UNTUK MENCAPAI NEVASANNAVASANNAYATANA JHANA
Setelah meninggalkan pemimpin aliran Alàra, dan karena berkeinginan untuk mencari kebahagiaan Nibbàna, yaitu kedamaian tertinggi (Santivara) Beliau pergi mengembara hingga akhirnya tiba di tempat kediaman seorang pemimpin sebuah aliran lain, Udaka putra Ràma. Beliau mengajukan permohonan kepada si pemimpin aliran Udaka, berkata, “Sahabat, Aku ingin menjalani kehidupan suci sesuai caramu.” Si pemimpin aliran Udaka putra Ràma mengabulkan permohonan tersebut dengan menjawab, “Sahabat, silakan ikuti cara kami! Ajaran-ajaran kami, yang jika dipraktikkan dengan sungguh-sungguh oleh mereka yang tekun, akan memungkinkan dalam waktu singkat menguasai Abhinnà dan pandangan guru (àcariya-vàda) dan hidup berbahagia.”
Selanjutnya Bodhisatta tidak membuang-buang waktu untuk memelajari ajaran-ajaran dan mempraktikkan latihan dari Udaka, si pemimpin aliran. Seperti halnya Alàra, pemimpin aliran sebelumnya, Bodhisatta yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dapat dengan mudah memelajari ajaran-ajaran dan mempraktikkan ajaran tersebut hanya dengan mengulangi apa yang diucapkan si guru dengan sedikit gerakan bibir, Bodhisatta mencapai tingkat di mana Beliau dapat mengatakan, “Aku telah mengerti!.” Bahkan Beliau benar-benar membuat pernyataan, “Aku telah mengerti! Aku telah melihat ajarannya!” yang dibenarkan oleh si pemimpin aliran Udaka dan siswa-siswa lainnya.
Sehubungan dengan cara-cara tradisional yang dijelaskan oleh Udaka (yang diturunkan dari ayahnya, Ràma) yang mengarah kepada pencapaian Nevasannàvàsannàyatana (lokiya) Jhàna, Bodhisatta memahami bahwa, “Sepertinya Ràma, ayah Udaka yang telah meninggal dunia, tidak sekadar memelajari teori dengan memercayai apa yang dikatakan oleh orang-orang lain mengenai praktik menuju Nevasa¤¤àvàsa¤¤àyatana Jhàna. Tetapi sebenarnya, Ràma, ayah Udaka pastilah seorang yang telah menembus delapan Lokiya Jhàna.”
Bodhisatta mendekati Udaka si pemimpin aliran dan bertanya, “O Sahabat, sampai sejauh manakah ayahmu, Ràma guru besar, mengatakan mengenai penembusan ajarannya oleh dirinya?” Udaka menjawab bahwa ayahnya telah mencapai Nevasannàvàsannàyatana Jhàna.
Selanjutnya, Bodhisatta berpikir, “Bukan hanya ayah Udaka, Ràma, guru besar, yang memiliki keyakinan yang kuat untuk mencapai Nevasannàvàsannàyatana Jhàna; Aku juga memiliki keyakinan yang kuat untuk mencapai Jhàna tersebut. Bukan hanya ia yang memiliki usaha, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang kuat untuk mencapai Nevasa¤¤àvàsa¤¤àyatana Jhàna; Aku juga memiliki usaha, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang kuat untuk mencapai Jhàna tersebut; Ayah Udaka, Ràma berkata bahwa ia telah menembus delapan Lokiya Jhàna hingga tingkat Nevasannàvàsannàyatana dengan Abhi¤¤à dan berdiam di sana penuh kebahagiaan. Sebaiknya, Aku juga harus berusaha mencapai delapan pencapaian Lokiya Jhàna sepertinya.” Demikianlah dengan pikiran seperti ini, Beliau berusaha keras berlatih kasiõa parikamma, dan dalam dua atau tiga hari Beliau berhasil seperti ayah Udaka, Ràma, menembus delapan pencapaian Lokiya Jhàna hingga tingkat Nevasannàvàsannàyatana Jhàna dan berdiam penuh kebahagiaan di sana.
Kemudian Bodhisatta mendatangi pemimpin aliran Udaka dan bertanya, “Sahabat Udaka, seperti inikah yang dimaksudkan oleh Ràma guru besar dengan delapan Lokiya Jhàna dan Abhinnà yang telah ia capai dan berdiam di sana penuh kebahagiaan?” Ketika Udaka memberikan jawaban menyetujui, Bodhisatta memberitahukan, “Sahabat, Aku juga telah mencapai delapan Lokiya Jhàna hingga tingkat Nevasannàvàsannàyatana Jhàna dengan Abhinnà dan berdiam di sana penuh kebahagiaan.” Sebagai seorang mulia yang telah bebas dari noda batin iri hari (issà) dan sifat egois (micchariya), Udaka pemimpin aliran seperti halnya Alàra pemimpin aliran sebelumnya, berkata dengan penuh kegembiraan, “Kami telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri seorang petapa yang sangat cerdas seperti dirimu. Adalah keuntungan besar bagi kami, Sahabat! Setelah itu, Udaka menyerahkan separuh pengikutnya kepada Petapa Gotama, Boddhisatta kita, dan meminta Boddhisatta untuk bersama-sama dengan dia memimpin aliran petapaan tersebut.
BODDHISATTA MENINGGALKAN GURU UDAKA SETELAH MELIHAT CACAT DALAM PENCAPAIAN LOKIYA JHANA
Setelah berusaha dan berhasil mencapai delapan Lokiya Jhàna, karena Beliau memang telah memperoleh Jhàna dalam kehidupan-kehidupan lampau-Nya dan karena Beliau memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, Bodhisatta kemudian merenungkan sifat-sifat dari pencapaian ini dalam kehidupan-Nya saat ini dan manfaatnya untuk kehidupan mendatang; Beliau mengetahui benar sifat dari pencapaian delapan tingkat Jhàna ini hingga tingkat Nevasannàvàsannàyatana Jhàna dalam kehidupan ini dan kelahiran kembali akan terjadi di Alam Nevasannàvàsannàyatana setelah meninggal dunia; Beliau sampai pada kesimpulan bahwa delapan Lokiya Jhàna ini masih berada dalam lingkaran penderitaan; Beliau juga merenungkan dalam-dalam, “Kelompok pencapaian-pencapaian ini tidak dapat mengakhiri lingkaran penderitaan; pelepasan; untuk melenyapkan kotoran batin seperti nafsu (ràga), dan lain-lain, untuk memadamkan semua kotoran-kotoran ini, untuk mengetahui semua yang harus diketahui, untuk mencapai pengetahuan mengenai Empat Jalan, untuk menembus Nibbàna. Sebenarnya, delapan pencapaian ini hanya menghasilkan Alam Brahmà Nevasannàvàsannàyatana di mana umur kehidupan adalah selama delapan puluh empat mahàkappa, namun tidak menghasilkan yang lebih tinggi dari itu. Alam Brahmà Nevasannàvàsannàyatana yang tertinggi hanyalah sebuah alam yang belum terbebaskan dari bahaya kelahiran, usia tua, dan kematian. Sebenarnya hanyalah sebuah wilayah yang masih berada dalam kekuasaan raja kematian.”
BODDHISATTA MENGUNJUNGI URUVELA DAN MEMPRAKTIKKAN PENYIKSAAN DIRI (DUKKARACARIYA) SELAMA ENAM TAHUN
Setelah meninggalkan Udaka, si pemimpin aliran, Bodhisatta bepergian di Negeri Magadha dalam usaha mencapai Nibbàna dan akhirnya tiba di Kota Sena. Di dekat Kota Sena terdapat sebuah hutan bernama Uruvelà. Hutan yang kondisi tanahnya secara alamiah menyenangkan hati orang-orang bijak dan mulia; hutan itu sendiri sangat indah; Sungai Neranjarà memiliki pantai yang menarik, bebas dari lumpur dan sampah; dengan pasir-pasir pantainya yang bagaikan lembaran-lembaran perak yang membentang; dengan arus yang jernih dan bersih penuh dengan ikan-ikan dan kura-kura, sungai tersebut mengalir terus-menerus; terdapat sebuah desa kecil di mana petapa-petapa hutan berdiam dan mengumpulkan dàna makanan. Ketika Bodhisatta melihat situasi ini, Beliau memerhatikan dengan saksama, dan muncul pikiran, “Ini adalah tempat yang tepat untuk putra-putra dari keluarga-keluarga yang baik yang mencari Nibbàna untuk mempraktikkan meditasi.”
Selanjutnya, Beliau membangun sebuah tempat tinggal kecil dari kayu-kayu kering dan daun-daunan dan tinggal di dalam Hutan Uruvelà tersebut dan berlatih meditasi.
TIGA PERUMPAMAAN UNTUK BODDHISATTA
Kemudian muncul dalam pikiran Bodhisatta tiga perumpamaan sebagai berikut:
(1) Untuk membuat api, sekeras apa pun seseorang menggosokkan kayu api dengan sepotong kayu api yang basah yang direndam dalam air, ia tidak akan dapat menghasilkan api dan hanya akan mengalami penderitaan karena kegagalan. Demikian pula di dunia ini, mereka yang disebut petapa dan brahmana yang masih memiliki nafsu indria yang basah dan belum dikeringkan dan yang belum menghindari diri dari objek-objek indria atau tidak dapat menembus Jalan dan Buahnya, hanya akan mendapat penderitaan sekeras apa pun mereka berusaha untuk melenyapkan kotoran batin. Ini adalah perumpamaan pertama sehubungan dengan Bodhisatta.
(2) Untuk membuat api, sekeras apa pun seseorang menggosok kayu api dengan sepotong kayu api yang basah yang meskipun jauh dari air, ia tetap tidak bisa menyalakan api karena kayu yang basah itu; sebaliknya ia justru akan menjadi menderita. Demikian pula di dunia ini, mereka yang disebut petapa dan brahmana yang masih memiliki unsur-unsur menipu berupa objek-objek indria yang belum dikeringkan tidak akan menembus Jalan dan Buahnya namun hanya akan menjadi lebih menderita sekeras apa pun mereka berusaha menjauhkan diri dari air objek-objek indria secara fisik maupun batin. Ini adalah perumpamaan kedua sehubungan dengan Bodhisatta.
(3) Untuk membuat api, jika seseorang menggosok sepotong kayu dengan kayu kering yang jauh dari air, ia akan dengan mudah menyalakan api karena kayu itu berada di daratan yang jauh dari air dan kering. Demikian pula di dunia ini mereka yang disebut petapa dan brahmana yang nafsu-nafsu indria telah kering dan telah menjauhkan diri dari objek-objek indria secara fisik maupun batin dapat menembus Jalan dan Buahnya jika mereka mempraktikkan cara pertapaan yang benar, sulit maupun mudah. Ini adalah perumpamaan ketiga sehubungan dengan Bodhisatta. (Perumpamaan ini harus dipahami dengan cara yang dijelaskan sebelumnya. Perumpamaan ini menjelaskan pertapaan yang dijalankan oleh Bodhisatta sendiri.)
KELOMPOK LIMA PETAPA DATANG DAN MELAYANI BODDHISATTA
Kelompok lima petapa yang telah menjalani hidup bertapa bahkan sejak kelahiran Bodhisatta seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bertanya-tanya apakah Bodhisatta Pangeran telah melepaskan keduniawian dan menjadi petapa atau belum; mendengar bahwa Bodhisatta telah menjadi petapa mereka mulai mengunjungi desa-desa, kota-kota, dan lain-lain satu demi satu, untuk mencari Bodhisatta dan akhirnya bertemu di Hutan Uruvelà. Berharap bahwa “Tidak lama lagi, Beliau akan menjadi seorang Buddha! Tidak lama lagi Beliau akan menjadi seorang Buddha!” Mereka melayani-Nya dalam menjalani penyiksaan diri (dukkaracariya) selama enam tahun; mereka bergerak ke sana ke sini memenuhi kewajiban mereka seperti menyapu, mengambil air panas, dingin, dan lain-lain.
PRAKTIK DUKKARACARIYA BODDHISATTA, USAHA YANG KERASA
Usaha keras ini dijelaskan dalam empat tingkat yaitu (1) “Meskipun yang tersisa tinggal kulit,” (2) “Meskipun yang tersisa tinggal urat,” (3) “Meskipun yang tersisa tinggal tulang,” dan (4) “Meskipun daging dan darah-Ku menguap” yang disebut padhàna-viriya. Praktik yang akan dijelaskan ini disebut Usaha Keras (padhàna) yang dilakukan dengan padhàna-viriya. Praktik ini juga disebut dukkaracariya karena sulit bagi orang-orang biasa untuk menjalaninya.
(a) Setelah mengunjungi Kota Senà untuk mengumpulkan dàna makanan, Bodhisatta menghabiskan waktu berhari-hari berlatih meditasi untuk mengembangkan cinta kasih (Mettà-bhavanà). Kemudian Beliau berpikir, “Apa untungnya bagi-Ku bergantung dengan makanan-makanan kasar ini? Dengan memakan makanan demi kepuasan-Ku dan mengembangkan cinta kasih, Aku tidak akan mencapai Kebuddhaan yang menjadi tujuan-Ku.” Kemudian Beliau berhenti mengumpulkan dàna makanan dan hidup hanya dari buah-buahan yang besar maupun kecil yang jatuh dari atas pohon di Hutan Uruvelà. Tidak berhasil mencapai Kebuddhaan dengan cara demikian, Beliau berpikir lagi, “Makanan ini yang berupa buah-buahan besar maupun kecil juga masih kasar. Mencari-cari buah-buahan merupakan rintangan (palibodha).” Selanjutnya Beliau bertahan hidup hanya dengan buah yang jatuh dari pohon tempat di mana Beliau tinggal.
(b) Kemudian Bodhisatta mempertimbangkan, “Adalah baik jika Aku menggemeretakkan gigi dan mendecakkan lidah.” Untuk menekan kesadaran-kesadaran yang tidak baik yang berhubungan dengan pikiran-pikiran buruk, misalnya nafsu-nafsu indria dan lain-lain, dengan kesadaran yang baik yang berhubungan dengan pikiran yang baik pula. “Adalah lebih baik lagi jika Aku melenyapkannya. Lebih baik lagi jika Aku menghilangkannya dengan api semangat.” Demikianlah Beliau menggemeretakkan gigi dan mendecakkan lidah untuk menekan kesadaran-kesadaran yang tidak baik dengan kesadaran yang baik. Beliau tidak membiarkannya muncul tapi melenyapkannya. Beliau melenyapkannya dari dalam diri-Nya melalui api semangat. Keringat bercucuran dari ketiak-Nya. Misalnya, seperti keringat yang bercucuran dari ketiak seorang yang lemah ketika seseorang yang kuat mencengkeram kepala atau bahunya dan menekannya ke bawah. Pada waktu itu usaha Bodhisatta sangatlah besar, tidak berkurang sama sekali. Perhatian-Nya sangat jernih dan kokoh, tidak pernah sekalipun Beliau kehilangan perhatian-Nya. Namun usaha-Nya yang keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.
(c) Kemudian Bodhisatta berpikir, “Akan lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna, dengan tidak menarik napas atau mengeluarkan napas.” Jadi, dengan usaha yang terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut atau hidung sehingga udara tidak dapat masuk atau keluar. Kemudian udara terkumpul dan keluar melalui telinga, melalui mulut, dan hidung. Bunyi yang dihasilkan oleh angin yang keluar itu sangat keras bagaikan suara ketel air mendidih. Pada waktu itu usaha Bodhisatta sangatlah keras, tidak berkurang sama sekali, perhatian-Nya sangat jernih dan kokoh, tidak pernah sekalipun Beliau kehilangan perhatian-Nya. Namun usaha-Nya yang sangat keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.
(d) Kemudian Bodhisatta berpikir, “Lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna.” Jadi dengan usaha terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut, hidung, dan telinga. Karena tidak dapat keluar melalui mulut, hidung, dan telinga, udara memaksa keluar menembus kepala. Misalnya, seperti seorang yang kuat melubangi kepala dengan bor yang tajam. Bahkan pada saat itu, semangat-Nya masih sebesar sebelumnya, tidak menurun sama sekali. Perhatian-Nya juga masih kokoh dan jernih, tidak pernah kehilangan perhatian-Nya. Namun usaha-Nya yang sangat keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.
(e) Selanjutnya Bodhisatta berpikir, “Lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna.” Jadi dengan usaha terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut, hidung, dan telinga. Pada saat itu angin keras mendesak keluar dari kepala-Nya dan akhirnya Beliau menderita sakit kepala yang dahsyat, seperti seseorang yang menderita sakit kepala karena kepalanya diikat dengan tali kulit oleh seorang yang kuat. (Anda, para pembaca, bayangkan seseorang yang sangat kuat melingkari kepala Anda dengan tali kulit dan dengan sebatang tongkat yang diputar untuk mengencangkan ikatan tali itu. Seperti itulah.) Pada waktu itu juga, semangat-Nya masih sama seperti sebelumnya tidak berkurang sedikit pun, perhatian-Nya sangat jernih dan kokoh, tidak pernah sekalipun Beliau kehilangan perhatian-Nya. Namun usaha-Nya yang sangat keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.
(f) Lagi, Bodhisatta berpikir, “Lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna.” Jadi dengan usaha terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut, hidung, dan telinga seperti sebelumnya. Dan pada saat itu angin yang sangat kuat melukai seolah-olah menerobos keluar. Seperti seorang tukang daging yang ahli membelah perut dengan pisau daging yang tajam. Pada waktu itu juga, semangat-Nya masih sama seperti sebelumnya tidak berkurang sedikit pun, perhatian-Nya sangat jernih dan kokoh, tidak pernah sekalipun Beliau kehilangan perhatian-Nya. Namun usaha-Nya sangat keras itu berlangsung terus menerus, hingga seluruh tubuh-Nya menjadi panas dan tidak tertahankan. Meskipun Beliau terus menerus dalam situasi yang menyedihkan, kemauan- Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.
(g) Sekali lagi, Bodhisatta berpikir, “Adalah lebih baik jika Aku mengembangkan Appanàka-Jhàna.” Jadi dengan usaha terus menerus Beliau menahan napas yang masuk dan keluar melalui mulut, hidung, dan telinga seperti sebelumnya. Dan pada saat itu seluruh tubuh-Nya mengalami dàharoga (luka bakar) yang sangat parah seperti luka yang diderita oleh seorang yang lemah dibakar di dalam api yang berkobar-kobar oleh dua orang kuat yang masing-masing memegang lengan kanan dan kirinya. Pada waktu itu seluruh tubuh Bodhisatta panas terbakar. Pada waktu itu semangat-Nya tidak berkurang sedikit pun, tapi tetap kuat seperti sebelumnya. Perhatian-Nya juga masih jernih dan kokoh. Sehubungan dengan luka yang diderita-Nya (padhàna) Beliau tidak mendapatkan kedamaian. Namun demikian keinginan-Nya untuk terus berusaha tidak pernah surut.
BODDHISATTA PINGSAN DAN JATUH TERDUDUK SELAGI BERJALAN
Mengalami panas yang luar biasa di seluruh tubuh-Nya, Bodhisatta pingsan dan jatuh terduduk selagi berjalan. (Beliau tidak jatuh terjerembab seperti orang pada umumnya. Karena Beliau memiliki perhatian yang sangat kuat, Beliau hanya jatuh terduduk). Ketika Bodhisatta jatuh dalam posisi demikian, para dewa yang berada di dekat sana mengucapkan tiga pendapat:
(1) Para dewa berkata, “Samana Gotama telah mati.”
(2) Beberapa dewa lain berkata, “Samana Gotama belum mati. Beliau sekarat.”
(3) Beberapa dewa lain berkata, “Samana Gotama tidak mati ataupun sekarat; Samana Gotama telah menjadi Arahanta; dalam postur demikianlah biasanya seorang Arahanta duduk.”
Di antara pada dewa yang berkomentar. Mereka yang mengatakan “Samana Gotama telah mati” pergi menemui Raja Suddhodana dan memberitahukan, “Putramu telah mati.” Sewaktu raja bertanya, “Apakah putraku mati sebelum atau sesudah mencapai Kebuddhaan?” Mereka menjawab, “Putramu tidak berkesempatan menjadi Buddha; dalam usahanya Beliau terjatuh dan mati pada saat berjalan.” “Aku tidak memercayai kata-katamu. Sebelum mencapai Kebuddhaan, anakku tidak mungkin mati” jawab raja.
BODDHISATTA MENGURANGI MAKANAN-NYA HINGGA KURUS KERING
Ketika Beliau bangun dari pingsan-Nya. Bodhisatta berpikir, “Adalah lebih baik jika Aku berlatih tanpa memakan makanan sama sekali.” Dan pada waktu itu para dewa berkata kepada-Nya, “Oh, Bodhisatta, Samana Mulia! Jangan tidak makan sama sekali. Oh, Bodhisatta, Samana Mulia! Jika Engkau tidak makan sama sekali, kami akan memasukkan makanan dewa melalui pori-pori-Mu. Dan dengan makanan itu Engkau akan tetap hidup.” Kemudian Bodhisatta berpikir lagi, “Jika Aku tidak makan sama sekali dan jika para dewa memberikan makanan melalui pori-pori-Ku, dan jika Aku tetap hidup meskipun Aku menyatakan Aku berpuasa secara total, hidup-Ku dengan makanan dewa ini akan melawan diri-Ku sendiri sehingga menjadi saling berlawanan,” Kemudian Beliau berkata kepada para dewa, “Oh, dewa, jangan memasukkan makanan dewa melalui pori-pori-Ku. Aku akan makan secukupnya untuk hanya mempertahankan hidup-Ku.”
Sejak saat itu, Bodhisatta tidak lagi berpuasa total tetapi makan sedikit demi sedikit. Untuk makan selama satu hari kadang-kadang Ia mengambil segenggam nasi, kadang-kadang sesuap sup kacang, segenggam bubur, dan sesuap sup ercis.
Dengan memakan hanya makanan demikian, bentuk tubuh Bodhisatta terlihat sangat kurus dan lemah.
Karena Bodhisatta hanya makan sangat sedikit makanan, bagian tubuh-Nya yang besar maupun kecil menonjol di tiap-tiap sendi tulang-Nya dan kurus serta seperti ditekan pada bagian-bagian lainnya seperti buku-buku tanaman menjalar àsitika dan kàla.
Bokong Bodhisatta bagaikan kuku unta dengan anus yang seperti ditekan.
Punggung-Nya (tulang punggung) Bodhisatta menonjol keluar dan menjorok ke dalam seperti butiran tasbih.
Daging di antara tulang-tulang rusuk-Nya menjorok ke dalam memperlihatkan pemandangan yang sangat menakutkan seperti rangka atap rumah seorang petapa.
Bola mata-Nya juga terlihat menjorok ke dalam rongga mata-Nya seperti gelembung-gelembung air dari mata air yang dalam.
Kulit kepala-Nya keriput dan kering bagaikan buah labu yang dijemur.
Kulit perut-Nya menempel ke tulang punggung-Nya, tulang punggung-Nya dapat terasa jika kulit perut-Nya disentuh, dan kulit perut-Nya dapat dirasakan kalau tulang punggung disentuh.
Ketika duduk untuk menjawab panggilan alam (buang air), air seni tidak keluar seluruhnya karena tidak tersedia cukup cairan di dalam perut-Nya untuk diubah menjadi air seni. Sedangkan tinja-Nya, berupa satu atau dua bola keras seukuran biji kacang yang dikeluarkan dengan susah payah. Keringat bercucuran di sekujur tubuh-Nya. Dia jatuh di tempat itu juga dengan wajah tertelungkup.
Ketika Bodhisatta mengusap tubuh-Nya dengan tangan untuk mendapatkan perasaan nyaman, bulu-bulu badan-Nya, yang akarnya tidak pernah mendapatkan nutrisi dari daging dan darah-Nya, berguguran dari tubuh-Nya dan menempel di tangan-Nya.
Warna kulit Bodhisatta yang kuning cerah seperti warna emas murni, siïginikkha. Namun bagi mereka yang melihat-Nya selama Beliau menjalani penyiksaan diri, beberapa orang berkata, “Samana Gotama berkulit hitam.” Beberapa orang berkata, “Samana Gotama bukan berkulit hitam, Ia berkulit cokelat.” Beberapa orang lain lagi mengatakan, “Samana Gotama bukan berkulit hitam atau cokelat, kulitnya berwarna abu-abu seperti ikan lele.”
MARA DATANG DAN BERPURA-PURA BAIK UNTUK MENCEGAH BODDHISATTA
Bahkan pada waktu Bodhisatta pergi melepaskan keduniawian, Màra mencoba mencegah-Nya dengan mengatakan, “Oh, Pangeran Siddhattha, pada hari ketujuh sejak hari ini roda pusaka akan muncul. Jangan pergi.” Tetapi Bodhisatta menjawab dengan tegas, “Oh, Màra, Aku tahu bahwa roda pusaka akan datang kepada-Ku. Tetapi, Aku tidak ingin menjadi raja dunia. Pergilah Engkau! Jangan datang lagi! Aku akan berusaha mencapai Kebuddhaan, dan mengguncangkan sepuluh ribu alam semesta.” Sejak saat itu, Màra mengikuti Bodhisatta selama enam tahun mencari kesempatan untuk menyingkirkan-Nya dengan pikiran, “Jika pikiran-pikiran indria kàma vitakka atau pikiran-pikiran kebencian vyàpàda vitakka, atau pikiran-pikiran kejam vihiÿsà vitakka, muncul dalam batin-Nya, aku akan membunuh-Nya pada saat itu juga.”
Namun sampai saat ini, selama enam tahun, Màra tidak berhasil menemukan pikiran-pikiran seperti ini dalam diri Bodhisatta.
Setelah enam tahun berlalu, Màra berpikir, “Pangeran Siddhattha memiliki semangat yang sangat tinggi. Dukkaracariya yang Beliau praktikkan juga sangat keras. Setiap saat Beliau dapat menjadi Buddha. Bagaimana jika aku mendekati-Nya dan memberikan nasihat, supaya Beliau berhenti latihan.” Kemudian Màra mendekati Bodhisatta dan menasihati-Nya. (Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, Buddha memberikan khotbah kepada para bhikkhu, khotbah yang berjudul Padhàna Sutta, menjelaskan bagaimana Màra membujuk-Nya dengan cara berpura-pura baik dan bagaimana Bodhisatta dengan tegas mengusirnya.)
Mendekati Bodhisatta yang terus menerus mengembangkan appànaka Jhàna di Hutan Uruvelà di dekat Neranjarà dengan cita-cita mencapai Nibbàna, Màra berkata:
“O Sahabatkku Pangeran Siddhattha, seluruh tubuh-Mu begitu kurus karena kehilangan daging dan darah. Kecantikan dan warna kulitnya telah memudar. Kematian-Mu telah mendekat; kesempatan untuk tetap hidup sangatlah kecil, hanya satu dibandingkan seribu. O Pangeran Siddhattha, mohon Engkau menjaga diri-Mu sehingga Engkau dapat berumur panjang. Umur yang panjang adalah hal yang paling berharga. Jika Engkau berumur panjang. Engkau dapat banyak melakukan kebajikan. Engkau dapat mengembangkan kebajikan dengan menjalani sãla atau melakukan upacara-upacara pengorbanan. Apalah gunanya menjalani hidup seperti ini di dalam hutan dan mempraktikkan penyiksaan diri dengan begitu menderita dan begitu lemah tanpa mengetahui apakah Engkau dapat bertahan hidup atau mati. (Tidak ada manfaatnya bagi-Mu). Untuk mencapai tujuan-Mu, Nibbàna, cara-cara tradisional sangat sulit dijalani; dan tidaklah layak menjalani jalan seperti itu.”
Demikianlah Màra berkata, terlihat seolah-olah penuh welas asih, seolah-olah ia berniat baik kepada Bodhisatta, dan seolah-olah ia mengasihani Bodhisatta. (Orang biasa pasti termakan oleh bujukan Màra.)
Namun, mendengarkan kata-kata yang penuh welas asih dari Màra, Bodhisatta berkata dengan tegas kepada Màra; sebagai berikut:
“Wahai Màra, Engkau yang mengikat para makhluk—dewa, brahmà, dan manusia—agar mereka tidak dapat terbebaskan dari samsàra! Engkau datang demi keuntunganmu pribadi dan dengan maksud-maksud tersembunyi bertujuan untuk mengganggu dan mencelakakan makhluk-makhluk lain.” (Dengan kata-kata ini Bodhisatta mengusir Màra yang bermaksud jahat terhadap-Nya.)
“Aku tidak berkeinginan sedikit pun untuk melakukan kebajikan-kebajikan yang mengarah kepada lingkaran penderitaan, vattagàmi. Engkau boleh berkata begitu kepada mereka yang menginginkan jasa-jasa vattagàmi. (Dengan kata-kata ini Bodhisatta menjawab pernyataan Màra, “Jika Engkau berumur panjang, Engkau dapat melakukan banyak kebajikan.)”
“Wahai Màra, ada makhluk-makhluk yang tidak memiliki keyakinan (saddhà) sama sekali terhadap Nibbàna; ada yang memiliki keyakinan tetapi usahanya (viriya) lemah; ada yang memiliki keyakinan dan usaha yang kuat tetapi tidak memiliki kebijaksanaan (pannà), Engkau sebaiknya berbicara kepada mereka dan mendorong mereka untuk berumur panjang. Sedangkan Aku, Aku memiliki keyakinan bahwa, jika Aku berusaha keras, Aku akan mencapai Nibbàna bahkan dalam kehidupan ini juga ketika jasmani-Ku lenyap. Aku memiliki api semangat yang berkobar-kobar yang mampu membakar rumput-rumput kering dan sampah-sampah kotoran batin menjadi abu. Aku memiliki kebijaksanaan yang seperti bom milik Sakka yang dapat menghancurkan gunung karang kebodohan (avijjà) menjadi berkeping-keping. Aku juga memiliki perhatian (sati) dan konsentrasi (samàdhi), perhatian yang memungkinkan Aku untuk menjadi Buddha yang tidak lupa akan apa yang pernah dilakukan dan diucapkan di waktu-waktu lalu; dan konsentrasi yang tetap berdiri kokoh dalam menghadapi angin badai, bagaikan pilar batu berukir yang tidak tergoyahkan oleh badai. Dengan memiliki lima kualitas, Aku akan mencapai pantai seberang Nibbàna. Aku bekerja keras bahkan dengan mempertaruhkan hidup-Ku. Kepada orang seperti Aku, untuk apakah Engkau membicarakan mengenai umur panjang dan untuk apa membujuk-Ku untuk hidup lebih lama? Sebenarnya, tidak ada gunanya hidup bahkan selama satu hari sebagai manusia bagi mereka yang berusaha dengan rajin dan tidak pernah menyerah, yang memiliki Pandangan Cerah melalui Appanà samàdhi dan yang melihat dengan jelas timbul dan lenyapnya kelompok-kelompok jasmani dan batin.” (Dengan kata-kata ini Bodhisatta melawan Màra yang menakut-nakuti-Nya dengan mengatakan, “O Pangeran Siddhattha, kematian-Mu sudah mendekat, kesempatan-Mu untuk tetap hidup sangatlah kecil, hanya seperseribu.)
“Wahai Màra. Angin di dalam tubuh-Ku ini yang disebabkan oleh latihan appànaka Jhàna mampu mengeringkan air di Sungai Gangà, Yamunà, dan lain-lain, bagaimana mungkin tidak dapat mengeringkan sedikit darah di dalam diri-Ku, dengan pikiran yang terpusat ke Nibbàna? Sebenarnya, cukup kuat untuk mengeringkannya. Ketika darah dalam tubuh-Ku, yang banyaknya kira-kira empat ambana, mengering karena tiupan angin dalam latihan meditasi untuk mencapai Nibbàna, cairan-cairan empedu yang terdiri dari dua jenis, yang tercampur (baddha) dan tidak tercampur (abaddha); dan dahak, yang juga banyaknya empat ambana yang membungkus segala yang dimakan dan ditelan sehingga tidak menimbulkan bau-bau yang menjijikkan; dan air seni dan unsur-unsur gizi, yang juga lebih kurang empat ambana, akan mengering. Jika darah, cairan-cairan empedu, dahak, air seni, dan unsur-unsur gizi ini mengering, tentu saja daging akan menyusut. Ketika darah, cairan-cairan empedu, dahak, air seni, dan daging itu menyusut, pikiran-Ku menjadi lebih jernih.Keletihan demikian tidak akan membuat-Ku mundur karena Engkau tidak mengetahui bahwa pikiran-Ku sangat sungguh-sungguh, Engkau berbicara mengenai ‘keinginan untuk hidup’ (jivitanikanti), dengan berkata “O Pangeran Siddhattha, seluruh tubuh-Mu begitu kurus karena kekurangan daging dan darah” dan seterusnya). Tidak hanya pikiran-Ku menjadi lebih jernih, tetapi perhatian-Ku yang bagaikan pusaka raja dunia, kebijaksanaan-Ku yang bagaikan senjata pemotong intan dan konsentrasi-Ku yang tidak tergoyahkan bagaikan Gunung Meru, menjadi lebih berkembang dan kokoh.”
“Walaupun darah dan daging-Ku menyusut, pikiran-Ku lebih ceria dan menjadi lebih jernih dan mencapai tahap di mana perasaan-perasaan yang tiada bandingnya yang dialami oleh para Bodhisatta mulia, manusia-manusia luar biasa (Mahàpurisa). Meskipun seluruh tubuh-Ku mengering sampai hampir terbakar dan meskipun Aku benar-benar kelelahan, pikiran-Ku tidak pernah memikirkan objek-objek indria seperti kota kerajaan dan istananya, Yasodharà, Ràhula, empat puluh ribu pelayan perempuan dan lain-lain. Wahai Màra, selidiki dan lihatlah sendiri kesucian dan keteguhan hati-Ku yang tiada bandingnya, seseorang yang telah memenuhi Kesempurnaan.” (Dengan kata-kata ini Bodhisatta menunjukkan kesungguhan usaha-Nya.)
SEPULUH BALA TENTARA MARA
(1) “Wahai Màra, ada objek-objek indria (vatthu-kàma), bergerak atau tidak bergerak, dan kotoran indria (kilesa-kàma) yang adalah kemelekatan terhadap objek-objek indria ini; dua bentuk indria ini menyebabkan para perumah tangga menjadi bodoh sehingga tidak menyadari kebenaran. Oleh karena itu, dua ini, vatthu-kàma dan kilesa-kàma adalah bala tentara pertama. Ada para perumah tangga yang mati dalam keduniawian (putthujjhana) di tengah-tengah harta duniawi (gihibhoga) karena mereka tidak dapat melepaskannya meskipun mereka mengetahui jarangnya kemunculan seorang Buddha (Buddh’uppàda dullabha) dan sulitnya menjalani hidup bertapa (pabbajitabhàva dullabha). Sebagai petapa, kebutuhan-kebutuhan seperti jubah, mangkuk, vihàra, taman, tempat tidur, dipan, selimut yang dapat dilekati dan dinikmati adalah merupakan materi-materi indria. Dan ada beberapa petapa yang mati dalam keduniawian di tengah-tengah harta benda indria milik vihàra dalam bentuk empat kebutuhan yaitu: tempat tinggal, pakaian, makanan, dan obat-obatan yang dipersembahkan oleh umat awam. Mereka meninggal dunia dengan cara demikian karena mereka tidak sanggup melepaskan harta benda tersebut meskipun mereka telah memelajari pada waktu penahbisan tentang bagaimana memanfaatkan bawah pohon sebagai tempat tinggal, jubah dari potongan-potongan kain, dàna makanan, dan menggunakan air seni sapi yang bau sebagai obat. Para perumah tangga dan petapa ini meninggal dunia saat bertemu dengan bala tentara pertama Màra yaitu indria (kàma). (Dikutip dari terjemahan nissaya dari Paddhana Sutta oleh Ledi Sayadaw.)
(2) “Walaupun mereka telah menjalani kehidupan pertapaan setelah bertekad melepaskan gilibhoga, beberapa cenderung terganggu atau dirusak oleh kebencian (arati) dan ketidakpuasan (ukkanthita) sehingga tidak merasa berbahagia menjadi petapa, tidak berbahagia dalam belajar atau berlatih, tidak berbahagia dalam bertempat tinggal di kesunyian hutan, dan tidak berbahagia dalam meditasi konsentrasi (samatha) dan meditasi Pandangan Cerah (Vipassanà). Oleh karena itu arati dan ukkanthita merupakan bala tentara kedua Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara kedua dari Màra ini.)
(3) “Walaupun beberapa petapa telah mengatasi bala tentara kedua, sewaktu menjalani praktik menyiksa diri dhutaïga, dan karena aturan-aturan keras dari dhutaïga yang memaksa mereka untuk makan makanan apa pun yang tersedia dari segala jenis yang dicampur menjadi satu. Beberapa tidak dapat makan dengan puas (seperti sapi yang haus memuaskan dahaganya sewaktu berkubang di dalam air); dan tidak terpuaskan sehingga menjadi lapar lagi, menderita bagaikan cacing tanah gila yang menggelepar jika terkena garam. Karena dahaga dan lapar, khuppipàsa, mereka menjadi tidak tertarik kepada pertapaan dan menjadi berkeinginan untuk mengambil makanan sebanyak-banyaknya. Khuppipàsa ini adalah bala tentara ketiga Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara ketiga dari Màra ini.)
(4) “Ketika mereka menderita lapar dan haus, beberapa dari mereka menjadi sangat lemah secara fisik dan batin dan menjadi sangat ketakutan. Mereka menjadi kehilangan kepercayaan diri, malas, dan tidak berbahagia. Karena kelelahan (tandi) mereka tidak mampu menjalani kehidupan pertapaan mereka. Tandi ini adalah bala tentara keempat dari Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara keempat dari Màra ini.)
(5) “Karena tidak mengalami kemajuan dalam usaha spiritualnya dan menjadi malas dan putus asa, mereka mulai merasa bosan dan terjatuh dalam kekecewaan. Sejak saat kemalasan dan kelembaman (thina-middha) berkembang, mereka mulai tidur-tiduran di dalam vihàra, berguling-guling dari satu sisi ke sisi lain dan tidur menelungkup. Thina-middha ini adalah bala tentara kelima dari Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara kelima dari Màra ini.)
(6) “Tidur yang berlebih-lebihan karena kemalasan menyebabkan kebuntuan dalam meditasi mereka dan ketumpulan dalam pikiran. Diliputi oleh kemelekatan mereka menjadi lemah dan bingung karena hal-hal sepele ini dan itu. Karena rasa takut (bhiru) berkembang dalam keguncangan dari ketakutan mereka; dan dengan hati yang bergetar mereka menganggap tunggul kayu sebagai gajah, seekor macan sebagai raksana. Bhiru ini adalah bala tentara keenam dari Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara keenam dari Màra ini.)
(7) “Walaupun mereka berlatih meditasi setelah mengatasi rasa takut dan memperoleh dorongan melalui latihan, jalan untuk mencapai Jhàna dan mencapai Magga telah tenggelam. Karena keraguan (vicikicchà) berkembang dan mereka tidak yakin apakah mereka telah berada pada Jalan atau tidak, berada dalam praktik maupun teori. Keraguan (vicikicchà) ini adalah bala tentara ketujuh dari Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara ketujuh dari Màra ini.)
(8) “Setelah berhasil melenyapkan vicikicchà, beberapa orang terus menerus berusaha siang dan malam tanpa putus. Begitu tanda-tanda tidak lazim muncul dalam meditasi mereka, mereka mulai menganggap tinggi diri mereka. Karena keangkuhan dan kesombongan (makkha-thamba) mereka berkembang, mereka tidak dapat menerima pendapat orang lain; mereka merusak reputasi baik mereka; mereka tidak menghormati saudara tua mereka; bersikap tidak sabar. Makkha-thamba ini adalah bala tentara kedelapan dari Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara kedelapan dari Màra ini.)
(9) “Jika mereka meneruskan bermeditasi, setelah melenyapkan makkha-thamba, mereka bahkan melihat lebih banyak tanda-tanda yang tidak lazim dan menjadi bangga akan kemajuan yang mereka muncul sebagai berikut: mereka menjadi gembira dan bersukacita karena memperoleh banyak hadiah; mereka gembira dan bersukacita karena terkenal di empat penjuru; mereka gembira dan bersukacita karena memperoleh hal-hal menakjubkan yang tidak pernah dialami oleh orang lain; dan mereka gembira dan bersukacita karena kemasyhuran dan pengikut yang banyak yang diperoleh melalui khotbah-khotbah mengenai ajaran yang salah dan keangkuhan yang diperlihatkan melalui keinginan jahat dan kemelekatan untuk meningkatkan keuntungan mereka. Kelompok faktor-faktor taõhà-màna adalah bala tentara kesembilan Màra. (Beberapa petapa mati tenggelam dalam lautan bala tentara kesembilan dari Màra ini.)
(10)“Beberapa petapa yang menghadapi sembilan kelompok di atas mempraktikkan pemujaan dan penghormatan diri sendiri yaitu; mereka selalu mencela (att’uukkamsa) dan merendahkan orang lain (paravambhana). Dua ini, att’uukkamsa dan paravambhana, adalah bala tentara kesepuluh Màra.
“Wahai Màra, Engkau yang dengan kekuatan menghalang-halangi Pembebasan manusia, dewa, dan brahmà dari lingkaran penderitaan dan Engkau yang memiliki kekuatan yang besar! Sepuluh faktor ini yaitu kamà, arati, dan lain-lain, yang adalah pemimpin bala tentaramu. Wahai Màra, hatimu yang bukan putih tetapi hitam legam, dan penuh dengan kemelekatan yang sangat kuat! Mereka juga adalah senjatamu, meriammu, dan bahan peledakmu yang membunuh para petapa dalam perjalanannya. Para umat awam yang memiliki keyakinan, kemauan, usaha, dan kebijaksanaan yang rendah dan memiliki sedikit dorongan untuk dapat mengalahkan seranganmu dan menjauhkan diri darinya. Hanya mereka, para petualang sejati, yang memiliki keyakinan, kemauan, usaha, dan kebijaksanaan yang besar, tidak akan menganggap engkau bahkan sebagai sehelai rumput; mereka dapat bertarung bertahan dan melarikan diri. Pelarian diri ini setelah bertarung dan mempertahankan diri dapat mengantar menuju kebahagiaan Jalan dan Buahnya, Nibbàna, dari ancaman pedang, tombak dan senjata-senjata lainnya milik para pasukan dari sepuluh bala tentaramu, duhai Màra Jahat.”
“Wahai Màra, Aku ingin engkau mengenal-Ku sebagai berikut:
‘Pangeran Siddhattha ini, sebagai manusia mulia, pahlawan sejati, setelah tiba di medan pertempuran, tidak akan mundur selangkahpun; Beliau adalah seorang jenderal yang memakai hiasan bunga keberanian di kepala-Nya, bunga rumput mu¤ja yang dianggap sebagai pertanda baik dan berani, spanduk, dan bendera kemenangan. (Biasa dipakai oleh pejuang-pejuang berani, yang tidak mengenal mundur, yang mengikatkan rumput-rumput mu¤ja di kepalanya, di bendera (spanduk)nya atau senjatanya untuk menunjukkan bahwa ia adalah pemberani yang tidak mengenal mundur. Bagaikan pemimpin pasukan yang disebut jenderal). Jika Aku harus mundur dari medan pertempuran dan dikalahkan olehmu dan tetap hidup di dunia, hal demikian sangatlah memalukan, merusak, tidak terhormat, dan menjijikkan. Oleh karena itu, kenalilah Aku sebagai seseorang yang menyakini: ‘Lebih baik mati di medan pertempuran daripada menyerah di depan bala tentaramu.’
‘Karena di dunia ini, beberapa petapa dan brahmana yang maju ke medan perang di garis depan dengan mengenakan jubah kuning dan melengkapi diri mereka dengan perlengkapan-perlengkapan sebagai senjata perang tetapi tidak memiliki kekuatan yang mampu mengalahkan sepuluh bala tentaramu. Dengan demikian mereka bagaikan memasuki kegelapan total tanpa mempersiapkan cahaya seperti kebajikan moralitas, dan lain-lain. Ketika mereka diserang oleh sepuluh bala tentaramu, Màra, tanpa alat apa pun mereka dapat mengetahui jalan permata Roda Dhamma yaitu, Tujuh Faktor Pencerahan Sempurna (Bojjhanga) yang merupakan jalan mulia yang dijalani oleh para Buddha, Pacceka Buddha, dan para mulia lainnya dalam mencapai Nibbàna. (Oleh karena itu Aku ingin engkau menganggap-Ku sebagai seseorang yang akan bertempur dan menghancurkan sepuluh bala tentaramu dan mengibarkan bendera kemenangan.)’”
Mendengar kata-kata berani yang diucapkan oleh Bodhisatta, Màra pergi dari tempat itu tanpa bisa memberikan jawaban apa-apa.
PENCAPAIAN KE-BUDDHA-AN SETELAH MENGUBAH CARA BERLATIH
Setelah Bodhisatta menyelesaikan praktik penyiksaan diri, dukkaracariya, selama enam tahun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, saat itu adalah awal bulan Vesàkha (April-Mei) setelah bulan Citta (Maret-April) tahun 103 Mahà Era. Pada waktu itu Bodhisatta berpikir:
“Para samana dan brahmana pada masa-masa lampau dalam praktik penyiksaan diri hanya mampu melewati penderitaan sekeras ini. Mereka tidak mampu melewati penderitaan yang lebih keras dari yang Kualami sekarang. Para samana dan brahmana sekarang juga mempraktikkan penyiksaan diri sekeras apa yang Kualami sekarang. Mereka tidak dapat melewati lebih dari apa yang Kualami sekarang. (Kerasnya usaha yang Kulakukan tidak mungkin berkurang bahkan bisa lebih dari kesakitan dan penderitaan yang dialami oleh para samaõa dan brahmana pada masa lampau, pada masa depan, dan masa sekarang. Aku telah berusaha keras mempraktikkan penyiksaan diri dengan sungguh-sungguh selama enam tahun.)
Meskipun Aku telah berusaha sungguh-sungguh dengan cara demikian, Aku tetap tidak mencapai Pencerahan Sempurna, Sabbannuta Nàna; Aku belum menembus Ke-Buddha-an. Mungkin ada cara lain untuk mempraktikkan jalan lain untuk mencapai Pencerahan Sempurna, Sabbannuta Nàna, untuk menembus Kebuddhaan.”
Pada waktu merenungkan demikian, Beliau teringat bahwa Beliau pernah mengembangkan dan mencapai Jhàna Pertama ànàpàna ketika duduk di bawah keteduhan pohon jambu (Eugenia jambolana) sewaktu upacara pembajakan sawah yang diselenggarakan oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana, Beliau menyadari kemudian bahwa praktik Jhàna Pertama ànàpàna pasti adalah jalan yang benar, cara yang benar untuk mencapai Sabbannuta Nàna (Ke-Maha-Tahu-an), penembusan Kebuddhaan. Beliau merenungkan lebih jauh, “Mengapa Aku takut akan kebahagiaan Jhàna yang diperoleh dari meditasi konsentrasi ànàpàna; itu adalah kebahagiaan yang muncul secara murni dari melepaskan keduniawian (nekkhamma) dan sama sekali tidak melekat pada objek-objek nafsu materi dan kenikmatan indria. Aku seharusnya tidak takut akan kebahagiaan Jhàna dari meditasi konsentrasi ànàpàna.”
Beliau kembali merenungkan, “Aku tidak akan mampu mengembangkan meditasi konsentrasi ànàpàna itu dengan tubuh-Ku yang lelah dan lemah ini. Lebih baik jika Aku memakan makanan yang padat dan kasar seperti nasi untuk memulihkan dan menyegarkan tubuh yang kurus ini sebelum Aku berusaha mencapai Jhàna melalui meditasi konsentrasi ànàpàna.”
Setelah mempertimbangkan demikian, Bodhisatta mengambil mangkuk-Nya pergi ke Kota Sena untuk mengumpulkan dàna makanan untuk memulihkan tubuh-Nya dengan makanan apa pun yang Beliau terima. Dalam dua atau tiga hari Beliau memperoleh kembali kekuatan dan tanda-tanda fisik utama dari seorang manusia luar biasa (Mahàpurisa Lakkhanà) yang telah lenyap saat Beliau mempraktikkan dukkaracariya dan kemudian muncul kembali dengan jelas dalam bentuk aslinya. Pada waktu itu tubuh fisik Bodhisatta terlihat kuning segar seperti warna emas.
BODDHISATTA MENINGGALKAN PENGIKUT-NYA KELOMPOK LIMA BIKKHU ( PANCAVAGGIYA )
Adalah ciri alami (dhammatà), bahwa ketika seorang Bodhisatta mendekati mencapai Kebuddhaan setelah menyelesaikan praktik dukkaracariya, para bhikkhu pelayan-Nya akan meninggalkan-Nya untuk alasan tertentu atau Bodhisatta meninggalkan mereka. Demikianlah, ketika Bodhisatta mulai memulihkan tubuh-Nya dengan berbagai makanan, nasi kasar, dan lain-lain yang Beliau terima, kelompok lima bhikkhu tersebut menjadi muak dan menggerutu, “Bhikkhu Gotama telah menjadi seseorang yang berlatih untuk memperoleh kekayaan materi; Beliau telah menjadi orang yang meninggalkan latihan meditasi dan kembali mengumpulkan materi.”
Mengikuti ciri alami tersebut, mereka meninggalkan Bodhisatta dan pergi menuju Isipatana, Taman Rusa, dekat Vàràõasã, di mana khotbah pertama, Roda Dhamma, disampaikan oleh semua Buddha. (Adalah ciri-ciri bahwa para bhikkhu pelayan akan meninggalkan Bodhisatta yang dalam waktu menjelang tercapainya Kebuddhaan dan pergi menuju Taman Rusa di mana semua Buddha akan menyampaikan khotbah pertama, Dhammacakka).
Kelompok lima bhikkhu meninggalkan Bodhisatta pada awal bulan Citta dan pindah ke Migadàya, Taman Rusa. Waktu itu sebenarnya adalah tepat pada waktu Bodhisatta telah menyelesaikan latihan dukkaracariya. Ketika para pelayan bhikkhu meninggalkan-Nya, Bodhisatta hidup menyendiri memperoleh tingkat kesunyian yang mendukung kemajuan dan memperkuat konsentrasi-Nya. Demikianlah Beliau hidup dalam kesunyian total selama lima belas hari, dan mempraktikkan meditasi dan memperoleh kemajuan. Bodhisatta mulia bermimpi lima mimpi luar biasa setelah tengah malam menjelang fajar pada tanggal empat belas di bulan Vesàkha.
LIMA MIMPI BODDHISATTA
(1) Beliau bermimpi bahwa Beliau sedang tertidur di atas permukaan tanah, dengan Pegunungan Himalaya sebagai bantalnya, tangan kiri-Nya di Samudra Timur, tangan kanan-Nya di Samudra Barat dan kedua kaki-Nya di Samudra Selatan. Mimpi pertama menandakan pencapaian Kemahatahuan, menjadi Buddha di antara manusia, dewa, dan brahmà.
(2) Beliau bermimpi bahwa sejenis rumput yang disebut tiriya dengan tangkai merah berukuran sebuah gandar sapi muncul dari pusar-Nya dan sewaktu Beliau melihat, rumput tersebut tumbuh, pertama berukuran setengah lengan, kemudian satu lengan, satu fathom (1 fathom = 1.8 meter), satu ta, satu gavuta, setengah yojanà, satu yojanà dan seterusnya. Tumbuh tinggi dan lebih tinggi hingga mencapai langit, angkasa luas, seribu yojanà ke atas dan diam di sana. Mimpi kedua ini menandakan bahwa Beliau akan mampu mengajar Jalan Berfaktor Delapan, (Atthangika Magga), yang adalah Jalan Tengah (Majjhima Patipadà), kepada umat manusia dan dewa.
(3) Beliau bermimpi, ada sekumpulan ulat berbadan putih dan kepala hitam perlahan-lahan merayap ke atas kaki-Nya, menutupi dari ujung kaki hingga ke lutut-Nya. Mimpi ketiga ini menandakan banyaknya orang (berkepala hitam) yang mengenakan pakaian putih menghormati dan berlindung (Màhasaranàgaåmana) kepada Buddha.
(4) Beliau bermimpi, empat jenis burung berwarna biru, keemasan, merah, dan abu-abu terbang datang dari empat penjuru dan sewaktu mereka turun dan berdiri di atas kedua kaki-Nya, semua burung-burung itu berubah menjadi putih. Mimpi keempat menandakan kasta-kasta dari empat kasta dalam masyarakat, yaitu, kasta kesatria, ajaran Buddha, menjadi bhikkhu dan mencapai Kearahattaan.
(5) Beliau bermimpi bahwa Beliau sedang berjalan mondar-mandir, ke sana kemari di setumpukan kotoran setinggi gunung tanpa menjadi kotor. Mimpi kelima ini menandakan perolehan empat kebutuhan, yaitu: jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan, dan memanfaatkannya tanpa terikat dan melekat pada mereka.
BODDHISATTA MENAFSIRKAN LIMA MIMPI-NYA SENDIRI
Bodhisatta, bangun dari tidur-Nya dan duduk bersila setelah mengalami lima mimpi ini kemudian berpikir; “Jika Aku mengalami mimpi ini sewaktu masih berada di Kota Kapilavatthu, Aku dapat menceritakannya kepada ayah-Ku Raja Suddhodana; Aku dapat menceritakannya kepada ibu-Ku jika ia masih hidup, di Hutan Uruvela, tidak ada yang akan mendengarkan mimpi-Ku dan menafsirkannya untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membaca pertanda ini.”
Dan kemudian, Beliau menafsirkan-Nya sebagai berikut: Mimpi pertama menandakan pencapaian manfaat ini dan itu; mimpi kedua menandakan manfaat ini dan itu dan seterusnya seperti yang telah dijelaskan di atas.
DANA NASI SUSU GHANA OLEH SUJATA
Setelah mengalami lima mimpi dan menafsirkan sendiri mimpi tersebut, Bodhisatta berkesimpulan:” Pasti Aku akan mencapai Kebuddhaan hari ini juga.” Dan pada saat fajar menyingsing (pagi hari purnama), Beliau membersihkan badan-Nya dan pergi dari tempat itu, dan ketika Beliau tiba di pohon banyan yang setiap tahunnya dikunjungi oleh Sujàtà, putri seorang kaya, Beliau berhenti dan duduk di bawah pohon itu menghadap ke timur sambil menunggu waktu untuk mengumpulkan dàna makanan, dan pada saat itu seluruh pohon banyan itu bersinar terang dengan cahaya yang memancar dari tubuh-Nya.
Pada waktu itu, di Kota Sena, yang terletak di tepi Hutan Uruvela, Sujàtà, putri seorang kaya bernama Senàni, saat usianya menginjak dewasa, berdoa di bawah pohon banyan, “O dewa penjaga pohon banyan, jika aku menikah dengan seorang kaya dari kasta yang sama, aku akan mempersembahkan dàna nasi susu ghana.” Doa Sujàtà telah terkabul. Jadi putri orang kaya, Sujàtà menepati janjinya untuk mempersembahkan nasi susu ghana pada hari purnama di bulan Vesàkha setiap tahunnya.
Persiapan yang dilakukan oleh Sujàtà untuk mengadakan upacara persembahan kepada dewa penjaga pohon banyan pada hari purnama di bulan Vesàkha ketika Bodhisatta telah menyelesaikan enam tahun praktik dukkaracariya adalah sebagai berikut:
(1) Pertama-tama ia membiarkan seribu ekor sapi susu merumput di hutan, kemudian susu yang diperoleh dari seribu ekor sapi susu ini diberikan sebagai makanan bagi lima ratus sapi susu lainnya.
(2) Susu yang berasal dari lima ratus sapi susu itu, diberikan sebagai makanan bagi dua ratus lima puluh sapi susu lainnya lagi.
(3) Susu yang berasal dari dua ratus lima puluh sapi susu itu, diberikan sebagai makanan bagi seratus dua puluh lima sapi susu lainnya lagi
(4) Susu yang berasal dari seratus dua puluh lima sapi itu diberikan sebagai makanan kepada enam puluh empat sapi susu lainnya.
(5) Susu yang berasal dari enam puluh empat sapi itu diberikan sebagai makanan kepada tiga puluh dua sapi susu lain.
(6) Susu yang berasal dari tiga puluh dua sapi itu diberikan sebagai makanan bagi enam belas sapi lain.
(7) Susu yang berasal dari enam belas sapi susu itu, diberikan sebagai makanan bagi delapan sapi lain.
Demikianlah, Sujàtà mengambil langkah-langkah ini untuk memperoleh susu yang lezat dan bergizi untuk membuat nasi susu.
Dengan tujuan, “Aku akan melakukan persembahan nasi susu ghana pagi-pagi hari ini.” Sujàtà bangun pagi-pagi pada hari purnama di bulan Vesàkha kemudian memerah delapan sapi susu itu. Anak-anak sapi (yang tidak diikat dengan tali) tidak berani mendekati sapi-sapi ibunya. Anehnya ketika mangkuk susu ditempatkan tepat di bawah ambing sapi, susu mengalir deras terus menerus meskipun tidak diperah. Sujàtà, menyaksikan peristiwa ajaib ini, mengulurkan tangannya menuangkan susu yang mengalir terus-menerus tersebut ke dalam kendi baru dan menyalakan api dengan tangan lainnya, mulai memasak nasi susu ghana.
BANTUAN DARI PARA DEWA DAN BRAHMA
Saat nasi susu ghana sedang dimasak, (1) gelembung-gelembung besar bermunculan banyak berputar searah jarum jam, namun tidak setetes pun tumpah; (2) tidak ada asap sedikit pun yang naik ke atas tungku; (3) empat raja dewa, penjaga dunia datang dan berdiri menjaga tungku; (4) brahmà agung menutupi kendi nasi susu ghana dengan payung; (5) Sakka mengatur kayu-kayu bakar merata agar api menyala dengan merata; (6) dengan kekuatan batinnya para dewa mengumpulkan bahan-bahan makanan bergizi tinggi yang biasanya dimakan oleh dewa dan manusia dari empat benua dan dua ribu pulau-pulau kecil di sekelilingnya; mereka melakukan hal itu seolah-olah mengumpulkan madu dari sarang lebah yang tergantung di dahan-dahan pohon; dan mereka menuangkan bahan-bahan makanan bergizi yang terkumpul ini ke dalam panci nasi susu ghana.
Melihat banyak keajaiban dalam sehari seperti yang dijelaskan di atas, di tempat di mana nasi susu tersebut dimasak, Sujàtà memanggil pelayannya, Punnà, dan memerintahkan, “Punnà, hari ini dewa penjaga pohon banyan, sedang berbaik hati. Selama dua puluh tahun ini, aku belum pernah menyaksikan peristiwa-peristiwa ajaib ini. Cepat pergi bersihkan pohon banyan, tempat tinggal dewa penjaga.” Punnà si pelayan menjawab, “ Baiklah, Nyonya.” Ia segera pergi ke dekat pohon dan melihat Bodhisatta duduk di bawah pohon menghadap ke timur dan melihat seluruh pohon bercahaya kuning keemasan dengan cahaya yang terpancar dari tubuh Bodhisatta. Ketakutan dan berpikir, “Hari ini dewa penjaga pohon banyan telah turun ke bawah pohon; kelihatannya Beliau duduk di sana untuk menerima dàna dengan tangannya sendiri.” Ia tergesa-gesa kembali ke rumah dan melaporkan hal ini kepada Sujàtà.
Mendengar kata-kata pelayannya, Sujàtà menjadi sangat gembira dan berkata, “Sejak hari ini, engkau menjadi putri tertuaku,” kemudian memberikan pakaian dan perhiasan yang sesuai sebagai seorang anak perempuan.
Sudah menjadi tradisi (dhammata) bagi seorang Bodhisatta untuk menerima persembahan nasi susu ghana pada hari Beliau akan mencapai Kebuddhaan; dan menerima makanan ini hanya menggunakan cangkir emas seharga satu lakh. Sujàtà, berpikir, “Aku harus menempatkan nasi susu ghana ini dalam cangkir emas,” mengambil sebuah cangkir berharga satu lakh dari dalam kamarnya. Kemudian ia menuangkan nasi susu ghana yang telah matang ke dalam cangkir dengan memiringkan pancinya. Semua nasi susu ghana tersebut masuk ke dalam cangkir sampai tetes terakhir bagaikan tetesan air yang mengalir dari daun teratai paduma. Seluruh nasi susu ghana mengisi cangkir tersebut sampai penuh, tidak lebih tidak kurang.
Cangkir emas berisi nasi susu ghana tersebut ditutup dengan sebuah cangkir emas yang lain lagi dan dibungkus dengan kain putih yang bersih. Dan setelah berdandan dan menghias diri dengan pakaian lengkap, ia membawa cangkir emas di atas kepalanya dan pergi ke dekat pohon banyan. Ia sangat gembira melihat Bodhisatta dan menganggapnya sebagai dewa penjaga pohon banyan, ia berlutut penuh hormat. Kemudian ia menurunkan cangkir emas dari kepalanya, membukanya dan membawa cangkir emas harum, dan mendekati Bodhisatta dan berdiri di dekat-Nya.
Mangkuk tanah liat, yang dipersembahkan kepada Bodhisatta oleh Brahmà Ghatikàra pada waktu melepaskan keduniawian dan dengan setia menemani-Nya selama enam tahun dukkaracariya, menghilang secara misterius pada saat istri orang kaya, Sujàtà datang memberikan nasi susu ghana. Karena tidak melihat mangkuk-Nya, Bodhisatta mengulurkan tangan kanan-Nya untuk menerima dàna tersebut. Sujàta menyerahkan dàna makanan ghana dalam cangkir emas dan meletakkannya di tangan Bodhisatta. Bodhisatta menatap Sujàtà, yang memahami maksud tatapan tersebut, kemudian Sujàtà berkata, “ O Yang Mulia, aku mendanakan nasi susu dalam cangkir emas, terimalah beserta cangkir emas ini dan pergilah ke mana pun Engkau suka.” Kemudian ia mengucapkan doa, “Keinginanku telah terkabul, semoga keinginan-Mu terkabul pula!” Kemudian ia pergi tanpa sedikit pun memikirkan cangkir emas seharga satu lakh tersebut seolah-olah hanya sehelai daun kering.
Bodhisatta juga bangkit dari duduk-Nya, setelah mengelilingi pohon banyan dengan hormat, Beliau berjalan menuju tepi Sungai Neranjarà, membawa cangkir emas berisi nasi susu ghana. Di Sungai Neranjarà terdapat sebuah tangga bernama Suppatitthita, tempat banyak Bodhisatta turun dan mandi pada hari pencapaian Kebuddhaan. Bodhisatta meninggalkan cangkir emas-Nya di tangga, setelah selesai mandi, Beliau naik dan duduk menghadap ke timur di bawah keteduhan sebatang pohon. Kemudian, Beliau menyiapkan empat puluh sembilan gumpalan nasi susu ghana, tidak lebih tidak kurang, berukuran sebesar biji kacang palmyra (bukan sebesar kacang palmyra) dan kemudian memakan semuanya tanpa meminum air. Gumpalan nasi susu ghana tersebut akan menjadi nutrisi (àhàra) untuk mempertahankan kebutuhan nutrisi tubuh-Nya selama empat puluh sembilan hari (sattasattàha), kemudian berdiam di sekeliling pohon Bodhi setelah mencapai Pencerahan Sempurna. Selama empat puluh sembilan hari, Buddha diam dalam kebahagiaan Jhàna dan buahnya, tanpa memakan makanan apa pun, tanpa mandi, tanpa mencuci muka, dan tanpa membersihkan tubuh-Nya.
KEAJAIBAN CANGKIR EMAS PERTANDA PENCAPAIAN KE-BUDDHA-AN
Setelah memakan nasi susu ghana yang dipersembahkan oleh Sujàtà, Bodhisatta mengucapkan tekad sambil memegang cangkir, “Jika Aku akan mencapai Kebuddhaan hari ini, semoga cangkir emas ini mengalir ke hulu; jika Aku tidak mencapai Kebuddhaan hari ini, semoga cangkir emas ini mengalir ke hilir mengikuti arus sungai.” Kemudian Beliau meletakkan cangkir emas itu di atas air Sungai Neranjarà. Cangkir emas tersebut memotong arus air menuju ke tengah sungai dan kemudian mengambang dan mengalir ke hulu, dari sana dengan kecepatan seekor kuda tercepat berlari, sampai sejauh delapan puluh lengan dan tenggelam dalam pusaran air. Sewaktu mencapai istana raja nàga, Kàla, cangkir emas itu membentur tiga cangkir emas yang digunakan oleh tiga Buddha sebelumnya, yaitu Kakusandha, Konàgamana, dan Kassapa pada hari mereka akan mencapai Kebuddhaan, menghasilkan bunyi (logam yang beradu) ‘kili, kili’ dan akhirnya diam di bawah tiga cangkir emas tersebut.
Mendengar bunyi tersebut, Raja Nàga Kàla berkata, “Baru kemarin seorang Buddha muncul, hari ini, seorang Buddha lain muncul lagi.” Dan kemudian ia bangkit dan mengucapkan kata-kata pujian dalam bait-bait. (Periode antara kemunculan Buddha Kassapa dan Buddha kita sangatlah lama, bumi kita ini telah tumbuh berkembang sebesar satu yojanà dan tiga gavuta selama periode ini, namun bagi Raja Nàga Kàla, periode ini sangatlah pendek sehingga ia menyebutnya hanya sebagai ‘kemarin’ dan ‘hari ini.’ )
Kemudian, Bodhisatta beristirahat di Hutan Sala di tepi Sungai Neranjarà yang diliputi oleh keharuman bunga-bunga, menghijau, dan indah dipandang. Kemudian Beliau melakukan meditasi ànapàna; setelah mencapai delapan Lokiya Jhàna dan lima Abhinnà, di kesejukan senja menjelang malam, Beliau berjalan di sepanjang jalan yang telah dihiasi oleh para dewa dan brahmà; setelah turun dan mandi di Sungai Neranjarà, Beliau berjalan menuju pohon Mahàbodhi melalui jalan yang dibuat oleh para dewa dan brahmà. Pada waktu itu, dewa-dewa nàga, yakkha, dan gandabbha memberi hormat kepada-Nya dengan persembahan bunga-bunga dan wangi-wangian surgawi. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu surgawi yang merdu. Sepuluh ribu alam semesta hampir seluruhnya tertutupi oleh bunga-bunga dan wangi-wangian surgawi, juga oleh sorak-sorai para dewa dan brahmà.
Pada waktu itu Sotthiya, seorang brahmana pemotong rumput berjalan datang dari arah berlawanan membawa rumput-rumputan; mengetahui bahwa Bodhisatta menginginkan beberapa rumput, ia memberikan delapan ikat rumput. Bodhisatta membawa delapan ikat rumput tersebut pergi menuju Mahàbodhi dan berdiri di selatan pohon Mahàbodhi menghadap ke utara. Saat itu, bagian selatan dari sepuluh ribu alam semesta turun hingga seolah-olah menyentuh Alam Mahà âvici; dan bagian utara dari sepuluh ribu alam semesta naik hingga seolah-olah terbang ke Alam Bhavagga. Melihat fenomena ini, Bodhisatta berpikir, “Ini bukanlah tempat di mana Arahatta-Magga Nàna dan Subbannuta Nàna dapat ditembus.” Jadi Beliau bergerak searah jarum jam, berjalan ke sebelah barat pohon Bodhi dan berdiri menghadap ke timur. Saat itu, bagian barat dari sepuluh ribu alam semesta turun hingga seolah-olah menyentuh Alam Mahà âvici; dan bagian timur alam semesta naik hingga seolah-olah menyentuh Alam Bhavagga, melihat fenomena ini, Bodhisatta berpikir lagi, “Ini bukanlah tempat di mana Arahatta-Magga Nàna dan Subbannuta Nàna dapat ditembus.” Jadi Beliau bergerak lagi searah jarum jam, berjalan ke sebelah utara pohon Bodhi dan berdiri menghadap ke selatan. Saat itu, bagian utara dari sepuluh ribu alam semesta turun hingga seolah-olah menyentuh Alam Mahà âvici; dan bagian selatan alam semesta naik hingga seolah-olah menyentuh Alam Bhavagga, melihat fenomena ini, Bodhisatta berpikir lagi, “Ini bukanlah tempat di mana Arahatta-Magga Nàna dan Subbannuta Nàna dapat ditembus.”
Kemudian Beliau bergerak mengelilingi pohon Bodhi, Beliau berjalan ke timur pohon Bodhi, menghadap ke barat.
Tempat di mana singgasana kemenangan, aparàjita, akan muncul di sebelah timur pohon Bodhi tetap utuh tidak berubah, sebagai tempat yang tidak akan ditinggalkan: avijahitatthàna, di mana singgasana semua Buddha muncul. Mengetahui bahwa “tempat ini pastilah tempat kemenangan di mana semua Buddha menghancurkan kotoran batin.” Kemudian Bodhisatta menebarkan delapan ikat rumput yang dibawa-Nya.
Begitu Beliau menebarkan delapan ikat rumput itu, rumput-rumput itu berubah menjadi singgasana permata yang besar, berukuran enam belas lengan, yang sangat indah yang tidak dapat dilukiskan dan diukir oleh pelukis dan pengukir yang paling ahli sekalipun, dan tercipta dalam bentuk yang sangat menakjubkan (dari sebuah singgasana permata).
Dengan bersandar pada pohon Bodhi, menghadap ke arah timur dengan pikiran terpusat, Bodhisatta berseru: ”Meskipun hanya kulit-Ku yang tersisa, meskipun hanya urat-Ku yang tersisa, meskipun hanya tulang-Ku yang tersisa, meskipun seluruh tubuh-Ku dan seluruh daging dan darah-Ku mengering, jika aku belum mencapai Kebuddhaan, Aku tidak akan mengubah postur-Ku dari duduk bersila seperti sekarang ini.”
Demikianlah dengan mengembangkan tekat atas empat faktor, Beliau duduk di atas singgasana permata yang tidak terlihat (aparàjita) dengan postur duduk bersila (postur menaklukkan musuh, bukan mengaku kalah), yang tidak dapat dihancurkan bahkan oleh ratusan petir yang menyerang bersamaan.
MENAKLUKKAN VASAVATTI MARA (DEVAPUTTA MARA) SEBELUM MATAHARI TERBENAM
Ketika Bodhisatta duduk di atas tempat duduk-Nya, aparàjita, yang tidak terlihat, di bawah pohon Bodhi, untuk menembus Sabbannuta Nàna, Sakka datang untuk memberikan penghormatan dan berdiri sambil meniup kulit kerang Vijayuttara. (Kulit kerang ini panjangnya 120 lengan dan ketika ditiup, suaranya baru menghilang setelah empat bulan). Dewa Pancasikha datang untuk memberikan hormat dan memainkan harpa Beluva. Dewa Suyama berdiri dan mengebutkan pengusir serangga dari ekor yak, Dewa Santusita berdiri mengibaskan kipas berhiaskan batu delima, dan Brahmà Sahampati berdiri memegang payung putih sepanjang tiga yojanà. Nàga Kàla tiba bersama delapan puluh ribu penari nàga perempuan dan berdiri memberi hormat dengan menyanyikan bait-bait pujian-pujian kepada Bodhisatta. Semua dewa dan brahmà dari sepuluh ribu alam semesta datang memberi hormat dengan mempersembahkan bunga-bungaan, wangi-wangian, dupa, dan menyanyikan ribuan lagu-lagu pujian.
Màra dari Alam Dewa Vasavatti, demi kesenangannya, terus menerus mengikuti Bodhisatta selama enam tahun dukkacariya, menunggu kesempatan saat Bodhisatta berpikiran jahat (micchà vitakka) seperti nafsu-nafsu indria (kàma vitakka), dan lain-lain, namun tidak berhasil menemukan penyimpangan dari pikiran bajik di dalam diri Bodhisatta. Màra berpikir, “Sekarang, Pangeran Siddhattha telah tiba di pohon Bodhi untuk mencapai Kebuddhaan. Saat ini, Beliau berusaha menjauhkan diri dari wilayah kekuasaanku (di tiga alam manusia, dewa, dan brahmà); Aku tidak dapat mengalahkannya sehingga Beliau berkesempatan untuk melarikan diri dari tiga alam yang berada di bawah kekuasaanku.” Dengan pikiran ini, ia pergi ke Alam Dewa Vasavatti dan mengumpulkan prajurit-prajurit mara, dan memerintahkan, “O Prajurit, ubah dirimu menjadi berbagai bentuk-bentuk untuk bertempur, dan masing-masing memegang senjata yang berbeda-beda, dan cepat serang Pangeran Siddhattha seperti banjir besar.” Ia sendiri, mengikuti mereka dengan menunggangi gajah Girimekhala yang berukuran 150 yojanà dan menciptakan seribu tangan dari tubuhnya, masing-masing memegang senjata yang berbeda-beda Bala tentara Màra yang mendekati Bodhisatta berjumlah sangat besar, barisannya mencapai dua belas yojanà di depan Màra, dua belas yojanà di sebelah kanan Màra, dua belas yojanà di sebelah kiri Màra, sembilan yojanà di atas Màra, dan di belakang mencapai hingga ujung dari sepuluh ribu alam semesta. Suara-suara yang menakutkan yang mengintimidasi, teriakan-teriakan dan sorak-sorai dari pasukan Màra dapat terdengar hingga sejauh seribu yojanà, bagaikan bunyi yang berasal dari bumi yang membelah. Màra yang memegang seribu senjata dengan seribu tangannya, dan prajuritnya yang tidak terhitung banyaknya yang masing-masing memegang senjata yang berbeda-beda. Mengubah wujud mereka ke dalam bentuk yang sangat menakutkan, mendekati Bodhisatta untuk mengalahkan dan menghancurkan-Nya.
Ketika bala tentara Màra sedang mendekati pohon Mahàbodhi. Tidak satu pun dewa yang dipimpin oleh Sakka yang datang untuk memberi penghormatan kepada Bodhisatta yang mampu menahan mereka; mereka lari tunggang langgang, Sakka lari dengan terompet kulit kerang Vijayuttara di punggungnya dan tetap berdiri di ujung sepuluh ribu alam semesta; Mahàbrahmà juga mencampakkan payung putihnya di tepi alam semesta, dan kembali ke alamnya; raja nàga juga, meninggalkan para penari nàganya dan masuk ke dalam tanah, pergi ke istana nàga yang disebut Manjerika, berukuran lima ratus yojanà, dan tidur dengan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya; tidak ada satu pun dewa dan brahmà yang berani berada di dekat-dekat Bodhisatta dan pohon Mahàbodhi. Pada waktu itu, Bodhisatta tetap duduk sendirian bagaikan brahmà yang menyendiri di dalam istananya.
MARA MENYERANG DENGAN SEMBILAN JENIS PELURU
Sewaktu Bodhisatta sedang merenungkan Sepuluh Kesempurnaan, Màra membuat rencana, “Dengan menembakkan sembilan jenis peluru. Aku akan memaksa Pangeran Siddhattha untuk melarikan diri.”
- Pertama, ia melepaskan pusaran angin kencang. Tiba-tiba, angin timur, angin barat, angin selatan, dan angin utara bertiup kencang; dan meskipun angin ini mampu meruntuhkan puncak gunung yang berukuran setengah yojanà, satu yojanà, dua atau tiga yojanà, dan mampu mencabut pohon-pohon dan semak belukar di dalam hutan; dan mampu menghancurkan desa-desa dan kota-kota di sekitar sana, namun tidak mampu mendekati Bodhisatta dan bahkan tidak mampu menggerakkan ujung jubah-Nya karena keagungan dan kekuatan kebajikan Bodhisatta.
- Dengan penuh harapan Màra berpikir:”Saat ini, Petapa Gotama pasti telah terbang tertiup oleh peluru, seperti yang kutembakkan dan menghantam gunung ‘Cakkavala’ dan hancur berkeping-keping.” Ia menjadi gusar melihat Bodhisatta duduk seperti semula, tidak tergoyahkan, tegak bagaikan tiang pintu gerbang. Kemudian ia merencanakan; “Aku akan membunuh-Nya dengan menenggelamkan-Nya di dalam arus air yang mengalir kencang.” Ia menciptakan awan mendung dalam sekejap dan hujan deras turun dengan segera. Bumi ini berubah menjadi lembah karena tekanan hujan yang diciptakan oleh Dewa Màra. Saat banjir ini, setelah mengikis dan menghanyutkan hutan-hutan, bukit, dan pohon-pohon, namun setelah mendekati Buddha, air ini tidak mampu membasahi bahkan sehelai benang pun dari jubah Bodhisatta; ia mengubah arah aliran-Nya dan mengalir ke tempat lain tanpa menyentuh Bodhisatta.
- Menyaksikan fenomena ini, Màra merencanakan, “Aku akan mengubah Pangeran Siddhattha ini menjadi debu dengan menghujaninya dengan batu,” dan menciptakan hujan batu. Batu-batu berukuran sangat besar berjatuhan dari angkasa sebesar puncak gunung yang besar, sehingga menyebabkan kabut debu di mana-mana; namun begitu mendekati Bodhisatta, batu-batu ini berubah menjadi karangan bunga surgawi dan bola-bola bunga.
- Setelah itu, dengan pikiran, “Aku akan menyebabkan kematian bagi Pangeran Siddhattha ini, aku akan membunuh-Nya, dan mengalahkan-Nya,” Ia melepaskan hujan senjata. Segala jenis lain-lain yang memancarkan asap dan api, datang dan melayang dari angkasa hanya untuk berubah menjadi karangan bunga, dan lain-lain, di sekeliling pohon Mahàbodhi.
- Meskipun Màra berpikir, “Pangeran Siddhattha akan menjadi seperti tumpukan daging cincang,” Ia terkejut ketika melihat bahwa Pangeran Siddhattha tetap duduk seperti semula tanpa terganggu sedikit pun bagaikan gunung berlian besar. Jadi sekali lagi ia menciptakan hujan batu-batu yang menyala terbakar. Batu-batu menyala itu jatuh berkobar namun segera berubah menjadi bunga melati, dan lain-lain sewaktu mendekati Bodhisatta.
- Setelah itu, Màra menciptakan hujan abu panas. Abu yang sangat panas bagaikan api turun dari langit namun berubah menjadi bubuk cendana sewaktu mencapai kaki Bodhisatta.
- Lagi, ia menciptakan hujan pasir panas. Pasir dalam bentuk bubuk yang sangat halus turun dari angkasa dan jatuh di kaki Bodhisatta menjadi bunga-bunga surgawi.
- Setelah itu, ia menciptakan hujan lumpur panas. Lumpur panas dengan kepulan asap dan api yang berkobar-kobar dari angkasa jatuh di kaki Bodhisatta setelah berubah menjadi pasta wangi-wangian surgawi.
- Setelah itu, ia menciptakan kabut gelap dengan niat, “Aku akan membuat Pangeran Siddhattha melarikan diri dengan menakut-nakuti-Nya dengan kabut kegelapan.” Kegelapan yang diciptakan Màra bagaikan kegelapan yang dihasilkan oleh empat faktor yaitu: malam bulan muda, dengan langit yang ditutupi awan, di tengah-tengah hutan belantara, namun begitu mendekati Bodhisatta, kabut ini menghilang seperti kegelapan yang sirna dengan munculnya cahaya matahari.
(Di sini, mengetahui bahwa Màra menciptakan awan kegelapan, Bodhisatta memancarkan sinar dari tubuh-Nya yang berukuran seperti bulu-bulu badan-Nya. Harus dipahami, jaringan sinar-sinar inilah yang menghancurkan kegelapan total yang diciptakan oleh Màra dan yang menghasilkan cahaya gilang gemilang.)
DETIK-DETIK KEMENANGAN BODDHISATTA PETAPA GOTAMA ATAS MARA DAN PASUKANNYA
Mara berusaha dengan keras untuk menaklukkan Boddhisatta Petapa Gotama dengan berbagai kesaktian dan tipu-dayanya. Namun Boddhisatta Petapa Gotama, dengan Welas-Asihnya, mampu mematahkan berbagai serangan yang dilancarkan oleh Mara.
Tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi, panik serta marah, ia meneriakkan perintah (kepada pasukannya), “Mengapa kalian hanya berdiri diam di sana? Jangan biarkan Pangeran Siddhattha ini mencapai cita-cita-Nya menjadi Buddha; tangkap Dia, bunuh Dia, tusuk, dan hancurkan Dia. Jangan biarkan Dia melarikan diri.” Ia sendiri mendekati Bodhisatta, duduk di punggung Gajah Girimekhala, melambai-lambaikan sebatang anak panah, ia berkata kepada Bodhisatta, “O Pangeran Siddhattha, menjauhlah dari singgasana permata itu.” Pada saat itu, prajurit-prajurit Màra terlihat dalam wujud yang menakutkan, dan mengancam dengan tindakan-tindakan yang menakutkan.
Seorang ayah yang penuh welas asih tidak akan menunjukkan kemarahan sedikit pun kepada putranya yang nakal, bahkan sebaliknya ia akan merangkulnya, memangkunya dan menidurkannya di pangkuannya dengan cinta kasih dan welas asih seorang ayah terhadap anaknya. Demikian pula, Bodhisatta mulia memperlihatkan kesabaran terhadap semua perbuatan buruk dari Màra jahat, tidak sedikit pun merasa sedih; dan Beliau melihat Màra tanpa rasa takut tetapi dengan penuh cinta kasih dan welas asih.
Jika kumpulan jasa-jasa baik seluruh makhluk-makhluk di seluruh alam semesta yang tidak terhitung banyaknya ditempatkan di satu sisi dari sebuah timbangan kebijaksanaan dan kumpulan jasa-jasa baik yang Kulakukan dalam bentuk Pàramã, ditempatkan di sisi lainnya, kumpulan jasa-jasa baik dari seluruh makhluk tidak dapat menyamai bahkan seper dua ratus lima puluh enam (1/256) dari jasa-jasa baik yang dihasilkan dari satu Pàramã yang Kulakukan. Benar! Bahkan dalam kehidupan-Ku sebagai kelinci di alam binatang, Aku telah dengan sengaja melompat ke dalam kobaran api untuk memberikan daging-Ku yang telah matang dengan penuh kegembiraan ketika Aku melihat ia yang mengharapkan daging-Ku.
Màra tidak tahu, manusia seperti apakah Aku ini; bahwa Aku memiliki pribadi yang seperti ini dalam kehidupan ini adalah sebagai hasil dari kebajikan-kebajikan yang telah Kulakukan. Dan dia pikir Aku hanyalah manusia biasa.
Sebenarnya, Aku bukanlah manusia biasa berumur tujuh hari; Aku juga bukan raksasa, atau brahmà atau dewa. Aku dikandung dalam rahim seorang perempuan meskipun Aku bukan seorang manusia biasa berumur tujuh tahun untuk menunjukkan penderitaan karena usia tua, sakit, dan kematian dalam lingkaran kelahiran kepada semua makhluk.
Hei! Màra, meskipun Aku terlahir di alam manusia ini, Aku tidak sedikit pun ternoda oleh kondisi-kondisi makhluk-makhluk. Setelah mengatasi kondisi-kondisi ini yang tidak terbatas dan kotoran batin yang juga tidak terbatas, Aku memperoleh gelar si penakluk yang tidak terbatas (Anantajina). Bahkan selagi Aku duduk di singgasana tidak terlihat tanpa mengubah postur duduk bersila ini, Aku telah menghanguskan dan menyingkirkan semua kotoran batin; Aku telah benar-benar menjadi Buddha di antara manusia, dewa, dan brahmà. Dan Aku akan menolong semua makhluk dari aliran samsàra dan membawanya ke daratan tinggi Nibbàna. Engkau tidak mampu menahan-Ku; bukan urusanmu.
Hei! Màra, melihat bala tentaramu mendekat dari segala penjuru dengan kibaran bendera dan engkau yang menunggangi Gajah Girimekhala, Aku mendekat dan menghadapimu dengan kebijaksanaan dan bertempur dengan gagah berani. (Yang dimaksudkan di sini bukan mendekat secara fisik, tetapi dengan kekuatan kebijaksanaan). Engkau tidak dapat membuat-Ku bangkit atau pindah dari singgasana yang tidak terlihat ini; Aku akan melihat bahwa engkau tidak mampu melakukan hal ini.
Hei! Màra, bagaikan seorang kuat yang menggunakan sebuah batu besar menghancurkan semua kendi dan cangkir yang dibuat oleh seorang pengrajin tembikar, Aku akan menghancurkan dengan sebelah tangan dan tanpa bangkit dari tempat ini dan dengan kekuatan kebijaksanaan, sepuluh bala tentaramu berupa nafsu indria, kamaraga, (telah dijelaskan di atas) yang mana seluruh dunia akan mengaku kalah, Aku akan menghancurkannya dengan perasaan jijik; atau bala tentaramu yang mendekat yang sebesar dua belas yojanà ke depan, kiri dan kanan, sembilan yojanà ke atas mencapai batas alam semesta, Aku akan memukul mundur seluruh bala tentaramu hingga tidak satu pun yang tertinggal. Bahkan sejak saat ini, engkau dan seluruh bala tentaramu akan Kubuat menyerah bagaikan sekelompok burung-burung yang terbang jauh karena dilempar batu.
Hei! Màra, sebenarnya, jika Aku menginginkan (jika Aku ingin menjadi kecil), Aku dapat berjalan-jalan di dalam sebutir biji mostar. Jika Aku menginginkan (jika Aku ingin menjadi besar), Aku dapat menutupi seluruh alam semesta dengan tubuh-Ku (atthabhava).
Hei! Màra, Aku memiliki kekuatan untuk menghancur-leburkan engkau beserta seluruh bala tentaramu hanya dengan menjentikkan jari; namun Aku tidak akan merasakan sedikit pun kegembiraan dengan membunuh makhluk lain, karena itu adalah perbuatan salah.
Apa untungnya bagi-Ku jika Aku menggunakan senjata kekuatan fisik-Ku melawan Màra ini yang seukuran cacing tanah? Benar, Aku bahkan tidak menyukai berbicara dengan Màra jahat ini.
(Sebelum Bodhisatta mengucapkan kata-kata tegas ini, Màra bertanya, “O Pangeran Siddhattha, mengapa Engkau menduduki singgasana yang tidak terlihat milikku ini?” Bodhisatta menjawab, “Siapakah yang menjadi saksi bahwa singgasana yang tidak terlihat ini adalah milikmu?” Dewa Màra merentangkan tangannya dan berkata, “Apa gunanya mendatangkan saksi lain; semua prajurit Màra yang sekarang berada di depan-Mu adalah saksiku;” dan pada saat itu, banyak crore prajuritnya muncul bersamaan berseru “Aku saksinya, aku saksinya.” Kemudian Bodhisatta, untuk menahan pasukan Màra, mengucapkan bait berikut untuk mengungkapkan saksinya).
Hei! Màra, karena keinginan-Ku akan singgasana yang tidak terlihat ini, tidak ada dàna yang tidak Kuberikan; tidak ada sãla yang tidak Kupatuhi; tidak ada penyiksaan diri (dukkara) yang tidak Kupraktikkan, dalam banyak kehidupan di banyak alam. Hei! Màra, untuk Kesempurnaan Kedermawanan saja, yang telah Kulakukan dalam banyak kehidupan, bahkan dalam satu kehidupan sebagai Vessantara, ketika Aku melakukan dàna besar tujuh kali hingga mencapai dàna-Ku yang tertinggi dengan mendanakan Ratu Maddi, bumi ini berguncang tujuh kali. Sekarang Aku menduduki singgasana yang tidak terlihat ini untuk menaklukkan seluruh dunia, dan engkau bala tentara Màra datang menantang-Ku bertempur, mengapa bumi ini begitu tenang dan tidak berguncang?
Hei! Màra, engkau memerintahkan prajuritmu untuk memberikan kesaksian palsu; namun bumi ini tidak berniat apa-apa dan bersikap adil padamu maupun pada-Ku, bumi ini tidak memihak engkau maupun Aku, dan tidak bermaksud apa pun, bumi ini adalah saksi-Ku.” Setelah berkata demikian, Bodhisatta mengeluarkan tangan kanan-Nya dari balik jubah-Nya dan menunjuk bumi, bagaikan lintasan kilat yang menyambar dari celah awan.
Pada saat itu juga, bumi ini berputar cepat bagaikan roda tembikar dan berguncang dengan keras. Bunyi yang diakibatkan oleh bumi menggelegar di seluruh angkasa bagaikan guruh. Tujuh gunung yang mengelilingi Gunung Meru serta Pegunungan Himalaya juga bergemuruh terus menerus, Seluruh sepuluh alam semesta berguncang menakutkan dan mengeluarkan bunyi yang dahsyat, bergemeretak dan terdengar bunyi ledakan-ledakan bagaikan hutan bambu yang terbakar. Seluruh angkasa yang tidak berawan bergemuruh menakutkan bagaikan padi yang dipanggang dan meletus di dalam panci panas. Hujan percikan api yang sangat lebat bagaikan air terjun lahar dari gunung berapi, dan halilintar menyambar-nyambar. Màra, yang terperangkap di tengah-tengah bumi dan langit yang terus-menerus menggelegar, sangat ketakutan tanpa pertolongan dan perlindungan, menjatuhkan bendera pertempurannya dan melepaskan seribu senjatanya di tempat itu juga, kemudian lari tunggang langgang dengan kecepatan tinggi tanpa sempat melirik ke arah gajahnya ‘Girimekhala.’ Karena Màra menyerah, bala tentaranya porak poranda dan para prajuritnya juga menyerah, bubar dalam kekacauan ke segala penjuru bagaikan abu yang berhamburan tertiup badai; akhirnya mereka semua kembali ke Alam Dewa Vasavatti.
Demikianlah, dengan kemenangan atas Màra Vasavatti sebelum matahari tenggelam pada hari purnama di bulan Vesàkha, di tahun 103 Mahà Era, Bodhisatta menjadi penakluk semua alam, semua makhluk dan mencapai keadaan tanpa takut, tanpa bahaya, dan dengan selamat. Pada saat itu, melihat bala tentara Dewa Màra yang tercerai berai dan porak poranda, para dewa dan brahmà yang lari ketakutan saat datangnya Màra, bertanya-tanya, “Siapa yang akan keluar sebagai pemenang? Siapa yang kalah?” Menyaksikan peristiwa ini, mereka bersorak, “jayo hi Buddhassa sirimato ayam,” dan seterusnya. “Kabar baik, Màra telah ditaklukkan; Pangeran Siddhattha keluar sebagai pemenang; kita akan merayakan kemenangan-Nya.” Dikirim dari satu nàga ke nàga lain, dari satu garuda ke garuda lain, dari satu dewa ke dewa lain, dari satu brahmà ke brahmà lain; membawa bunga-bunga dan wangi-wangian, dan lain-lain di tangan masing-masing; mereka berkumpul di singgasana Mahàbodhi di mana Bodhisatta berdiam.
Kemenangan yang diserukan oleh bumi dan langit yang mati yang bergemuruh seolah-olah hidup, hanya dimiliki Buddha, yang karena Kemahatahuan-Nya memiliki segala pengetahuan akan Kebenaran sampai yang sekecil-kecilnya yang harus diketahui, yang merupakan gudang penyimpanan keagungan yang tiada bandingnya di sepuluh ribu alam semesta. Kemenangan ini dirayakan oleh manusia, dewa, dan Brahmà yang bergema menembus angkasa. Dan Màra yang jahat dan keji yang menderita hinaan kekalahan, mundur kocar kacir, takut akan kekuatan Buddha, dan dibutakan oleh kebodohan, mundur bersama bala tentaranya, seolah-olah dapat menyebabkan pergolakan di delapan penjuru permukaan bumi, yang memulai serangan dengan gertakan untuk merebut singgasana Puncak-Bodhi (Bodhimakuta Pallanka).
Demikianlah, pada hari kemenangan, pada hari purnama di bulan Vesàkha, tahun 103 Mahà Era, di tempat singgasana yang tidak terlihat di mana Kemahatahuan dicapai oleh Buddha, rombongan nàga, garuda, dewa, dan Brahma di alam surga, berbahagia dan bergembira dengan kemenangan Buddha, yang telah melatih sifat-sifat luar biasa seperti kelompok-kelompok perbuatan baik (silakhandha), menyerukan kemenangan yang bergema keras mencapai sepuluh ribu alam semesta.
Semua dewa dan brahmà yang berasal dari sepuluh ribu alam semesta berkumpul di depan Bodhisatta, bersujud di depan-Nya, memberi hormat dengan persembahan bunga-bungaan, wangi-wangian, menyanyikan puji-pujian dan menyampaikan penghormatan dalam berbagai cara.
PENCAPAIAN KE-BUDDHA-AN DENGAN DITANDAI PENEMBUSAN TIGA PENGETAHUAN SEJATI (TEVIJJO)
Setelah memenangkan pertempuran melawan Màra Vasavattã yang juga dikenal dengan Devaputta Màra sebelum matahari terbenam pada hari purnama di bulan Vesàkha tahun 103 Mahà Era, Bodhisatta menembus tiga pengetahuan, (vijja) , dengan urutan sebagai berikut: Pengetahuan mengenai kehidupan-kehidupan lampau (Pubbenivasanussati Nàna) di jaga pertama malam itu; mata-dewa (Dibbacakkhu Nàna), di jaga pertengahan malam itu; dan pengetahuan akan padamnya perbuatan buruk (Asavakkhaya Nàna) di jaga terakhir malam itu, dan mencapai Kebuddhaan di jaga terakhir malam itu juga di malam purnama bulan Vesàkha.
PENGHORMATAN OLEH PARA DEWA DAN BRAHMA
Pada waktu itu, Sakka sedang berdiri di Alam Dewa Tàvatimsa meniup kulit kerang Vijayuttara yang panjangnya 120 yojanà, untuk memanggil para dewa dan brahmà. Suara dari kulit kerang tersebut dapat terdengar hingga seluas sepuluh ribu yojanà. Sambil meniup kulit kerangnya terus menerus, Sakka berlari cepat menuju pohon Bodhi. (Bukan hanya Sakka dari alam semesta ini, tetapi semua Sakka dari sepuluh ribu alam semesta juga mendatangi Bodhisatta sambil meniup kulit kerang).
Mahà Brahmà datang dan memberi hormat dengan memegang payung putih yang ditinggalkannya di puncak Gunung Cakkavala dan memayungi Bodhisatta dari atas. (Semua Mahà Brahmà dari sepuluh ribu alam semesta datang berdiri memegang payung putih di tangan masing-masing, payung-payung tersebut saling bersentuhan sehingga tidak ada celah di antaranya.)
Suyama, raja dari Alam Dewa Yama datang dan berdiri di dekat Bodhisatta, memberi hormat dengan mengibaskan kipas dari ekor yak yang berukuran tiga gàvuta. (Semua Dewa Suyama dari sepuluh ribu alam semesta datang dan memberi hormat, masing-masing memegang kipas dari ekor yak, memenuhi alam semesta ini.)
Santusita, raja Alam Dewa Tusita, juga datang dan memberi hormat dengan mengipasi Bodhisatta dengan kipas berhias batu delima berukuran tiga gàvuta. (Semua Dewa Santusita dari sepuluh ribu alam semesta juga datang dan memberi hormat, masing-masing memegang kipas berhiaskan batu delima, memenuhi alam semesta ini.)
Dewa Pancasikha datang, membawa harpa surgawi, Beluva, diiringi oleh sekelompok penari surgawi, dan memberi hormat dengan menari, bernyanyi, dan memainkan musik. (Semua penari surgawi dari sepuluh ribu alam semesta datang dan memberi hormat dengan menari, bernyanyi, dan bermain musik.)
Selanjutnya, semua dewa dan dewi yang berdiam di sepuluh ribu alam semesta berkumpul di alam semesta ini dan memberi hormat dengan berdiri di tempat-tempat yang masih tersedia, beberapa dari mereka bahkan harus berdiri dengan berpegangan di tiang pintu gerbang. Beberapa berdiri di sekeliling bersama kelompoknya masing-masing, membawa berbagai persembahan yang terbuat dari tujuh jenis permata, beberapa membawa pohon pisang dari emas, beberapa membawa istana emas, beberapa membawa kebutan dari ekor yak, beberapa membawa tongkat (untuk mengendalikan gajah), beberapa membawa sepasang ikan, beberapa membawa bunga mawar, panggung bundar dari emas, mangkuk berisi air, kendi berisi air, kulit kerang, tongkat api, lampu minyak dengan tiang dari batu delima, cermin emas, cermin bertatahkan batu mulia, cermin dengan tujuh jenis permata, lampu minyak berhiaskan batu delima, kain-kain untuk bendera dan pita-pita, dan pohon-pohon harapan. Semua dewa dari sepuluh ribu alam semesta datang, terlihat penampilan para penari surgawi, dan memberi hormat dengan menarikan tarian surgawi, menyanyikan lagu-lagu surgawi, mempersembahkan bunga-bunga, wangi-wangian, dan bubuk dupa surgawi. Pada waktu itu, seluruh angkasa dipenuhi oleh bunga-bungaan dan wewangian surgawi seolah-olah seluruh semesta ditutupi oleh hujan lebat.
PENCAPAIAN KE-BUDDHA-AN DI ANTARA TIGA ALAM
Ketika Bodhisatta mencapai Arahatta-Phala segera setelah mencapai Arahatta-Magga, batin-Nya menjadi sangat murni dan Beliau mencapai Pencerahan Sempurna (Sammàsambuddha), pemimpin tertinggi di tiga alam, dengan pencapaian Kemahatahuan (Sabbannuta Nàna) bersama-sama dengan Empat Kebenaran Mulia, Empat Pengetahuan Analitis (Patisambhidà Nàna), Enam Kebijaksanaan Tinggi (Assadhàrana Nàna), yang menjadikan Empat belas Kebijaksanaan seorang Buddha, dan Delapan belas kualitas (âvenika Dhamma), dan Empat Kebijaksanaan Berani (Vesàrajja Nàna). Bersamaan dengan tercapainya Sabbannuta Nàna ( Ke-Maha-Tahu-an ), datanglah fajar. (Penembusan Sabbannuta Nàna ( Ke-Maha-Tahu-an ) berarti tercapainya Kebuddhaan.)
BERDIAM DI TUJUH TEMPAT SETELAH PENCERAHAN-SEMPURNA
(1) Satu Minggu di Singgasana (Pallanka-sattàha)
Setelah mencapai Kebuddhaan, pada hari pertama bulan mulai memudar di bulan Vesàkha, Buddha mengucapkan seruan gembira (udàna), dan masih dengan postur duduk bersila di atas singgasana Aparàjita, Beliau berpikir:
“Untuk memperoleh singgasana ini, Aku telah mengembara dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain selama empat asankhyeyya dan seratus ribu kappa, memenuhi Sepuluh Kesempurnaan, berkali-kali dengan cara yang unik. Selama empat asankhyeyya dan seratus ribu kappa, untuk memperoleh singgasana Aparàjita ini, berkali-kali Aku memenggal dan mendanakan kepala-Ku; berkali-kali Aku mencungkil dan mendanakan mata dan jantung-Ku; berkali-kali Aku mendanakan putra-Ku seperti Jàli, putri-Ku seperti Kanhajina, dan istri-Ku seperti Maddi kepada mereka yang memintanya untuk dijadikan budak. Dari atas singgasana inilah Aku secara total menaklukkan lima Màra. Sebuah singgasana yang sunguh-sungguh agung dan mulia. Selagi duduk di atas singgasana ini, semua keinginan-Ku, termasuk cita-cita untuk menjadi Buddha telah terkabulkan. Aku belum akan bangkit dari singgasana ini karena Aku berhutang banyak kepada singgasana ini.”
Demikianlah Buddha menghabiskan tujuh hari di atas singgasana tersebut berdiam dalam Jhàna Keempat yang membawa kepada tingkat Kearahattaan, pencapaian yang berjumlah lebih dari seratus ribu crore.
Berdiam dalam Jhàna Keempat sehari penuh pada hari pertama setelah mencapai Pencerahan Sempurna, Buddha menikmati kebahagiaan Kebebasan, Vimutti (Kebahagiaan Kearahattaan). Selama jaga pertama malam itu, Beliau merenungkan hukum Paticcasamuppàda (Musabab Yang Saling Bergantung), “avijjà paccaya saïkhàrà,” Karena kebodohan (avijjà), tiga jenis bentukan-bentukan pikiran (saïkhàra), yaitu: pikiran baik (pu¤¤àbhisaïkhàra), pikiran buruk (apu¤¤àbhisaïkhàra), dan pikiran netral (ana¤jabhisaïkhàra) muncul. Dimulai dengan cara ini, Buddha meneruskan perenungan dengan urutan maju proses munculnya lingkaran penderitaan. Kemudian Beliau merenungkan, “avijjàya tv’eva asesaviràganirodho sangkhàra nirodho,” “Karena lenyapnya kebodohan dan tidak muncul kembali melalui Jalan Kearahattaan, tiga jenis bentukan-bentukan pikiran, yaitu: pikiran baik, pikiran buruk, dan pikiran netral juga lenyap (dan tidak muncul kembali).” Kemudian Buddha melanjutkan perenungan dengan urutan mundur proses lenyapnya lingkaran penderitaan.
Ketika Buddha terus-menerus merenungkan hukum ini dalam urutan maju dan urutan mundur, Beliau menjadi lebih memahami, lebih jelas dan lebih jelas lagi, proses munculnya penderitaan dalam saÿsàra dalam urutan maju, karena kebodohan yang menjadi penyebabnya, muncullah akibat yang tidak putus-putusnya berupa bentukan-bentukan pikiran, dan lain-lain; demikian pula Buddha juga memahami proses lenyapnya penderitaan saÿsàra dalam urutan mundur, bahwa, karena lenyapnya kebodohan dan lain-lain yang menjadi penyebabnya (tidak muncul kembali), sehingga
akibatnya juga lenyap yang merupakan lenyapnya bentukan-bentukan pikiran, dan lain-lain (dan tidak muncul kembali). Demikianlah, muncul terus-menerus dorongan-dorongan hati dalam batin Buddha seperti mahà-kiriya somanassasahagata nanasampayutta asa¤khàrika javana diawali dengan kepuasan dan kegembiraan, pãti dalam hati-Nya.
(2) Satu Minggu Menatap Pohon Bodhi (Animisa-sattàha)
(Tujuh hari selama Buddha menatap pohon Mahàbodhi dan singgasana Aparàjita tanpa mengedipkan mata-Nya disebut animisa sattàha).
Setelah mencapai Kebuddhaan dan menikmati kebahagiaan Kearahattaan (tanpa mengubah postur bersila-Nya selama duduk) Buddha tetap duduk di atas singgasana Aparàjita selama tujuh hari. Dalam batin beberapa dewa dan brahmà biasa (selain dewa dan brahmà yang mengetahui ciri-ciri Buddha karena mereka telah mengalami mencapai Jalan dan Buahnya dalam masa Buddha-Buddha sebelumnya) merasa ragu dan bertanya-tanya, “Buddha belum bangkit dari singgasana sampai saat ini. Selain dari ciri-ciri yang telah dimiliki-Nya, adakah ciri-ciri lain yang memungkinkan-Nya mencapai Kebuddhaan?”
Kemudian pada hari kedelapan (kedelapan setelah purnama) Buddha bangkit dari menikmati kebahagiaan Kearahattaan; mengetahui keraguan dewa dan brahmà tersebut, Buddha naik ke angkasa dan memperlihatkan Keajaiban Ganda (Yamaka-Patihariya) —air dan api untuk menghilangkan keraguan mereka.
(Keajaiban ganda yang diperlihatkan di Mahàbodhi ini, yang diperlihatkan pada pertemuan sanak saudara-Nya di Kota Kapilavatthu, yang diperlihatkan pada pertemuan para petapa telanjang Pathikaputta di Kota Vesàli―Semua Keajaiban Ganda ini sama dengan yang diperlihatkan di dekat pohon mangga di Kandamba. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut.)
Setelah menghilangkan keraguan para dewa dan brahmà dengan memperlihatkan Keajaiban Ganda air dan api, Buddha turun dari angkasa dan berdiri tegak bagaikan tiang emas di sebelah timur laut dari singgasana Aparàjita dan merenungkan, “Aku telah mencapai Kemahatahuan di atas singgasana Aparàjita ini,” Beliau menghabiskan tujuh hari tanpa berkedip menatap singgasana dan pohon Mahàbodhi di mana Beliau mencapai ‘Arahatta-Magga ¥àõa dan Sabba¤¤uta ¥àõa’ sebagai hasil dari Kesempurnaan yang Beliau penuhi selama kurun waktu empat asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa. Tempat itu disebut Animisa Cetiya.
(3) Satu Minggu Berjalan (Cankama-sattàha)
Ketika tiba di minggu ketiga, Buddha menghabiskan tujuh hari, berjalan mondar-mandir di jalan setapak permata yang diciptakan oleh para dewa dan brahmà dan berjalan dari timur ke barat antara singgasana Aparàjita dan cetiya ‘tatapan’; Pada saat itu Beliau merenungkan Dhamma dan tenggelam dalam Phala Samàpatti, meditasi dalam Buah Pencapaian. Tempat ini disebut Ratanàcankama Cetiya.
(4) Satu Minggu di Rumah Emas (Ratanàghara-sattàha)
Ketika tiba di minggu keempat, Buddha merenungkan hukum tertinggi dari Abhidhammà Piñaka selagi duduk bersila di dalam rumah emas (Ratanàghara) yang diciptakan oleh para dewa dan brahmà di sudut barat laut dari pohon Mahàbodhi.
Menurut Jinàlankàra Tikà, ketika Buddha duduk bersila di dalam rumah emas dan merenungkan Dhamma mengamati makhluk-makhluk yang layak ditolong, Beliau melihat jelas rangkaian praktik sila, samàdhi, dan pannà: makhluk-makhluk dewa, manusia, dan brahmà yang layak ditolong akan mencapai keadaan mulia Jalan dan Buahnya, Nibbàna, dengan menjalani sãla, memusatkan pikirannya melalui samàdhi, dan berusaha mengembangkan Pandangan Cerah melalui pannà; oleh karena itu Buddha pertama-tama merenungkan Vinaya Piñaka yang mengajarkan sila, kemudian Sutta Pitaka yang mengajarkan samàdhi, dan akhirnya Abhidhammà Pitaka yang mengajarkan pa¤¤à.
Ketika Beliau merenungkan Abhidhammà Pitaka, Beliau memulai pertama-tama dari enam ajaran-ajaran yang sederhana Dhammasàngani, Vibhanga, Dhàtukathà, Puggala Pannàtti, Kathà Vatthu, dan Yamaka; enam sinar tubuh-Nya tidak memancar karena Kemahatahuan-Nya yang sangat luas dan hukum-hukumnya (dalam ajaran tersebut) sangat terbatas; sinar tubuh-Nya tidak dapat dipancarkan. Namun ketika Beliau merenungkan ajaran yang ketujuh yang mencakup seluruh Patthàna dengan metode yang tidak terbatas (anantanaya samanta), Kemahatahuan-Nya berkesempatan untuk memperlihatkan kecemerlangannya (seperti ikan raksasa timingala, berukuran seribu yojanà, berkesempatan bermain-main di samudra.)
Ketika Buddha memusatkan pikiran-Nya pada titik yang paling halus dan dalam yang mencakup seluruh Patthàna dengan metode yang tidak terbatas, muncullah dalam batin Buddha kebahagiaan luar biasa. Karena kebahagiaan ini, darah-Nya menjadi murni, karena kemurnian darah-Nya, kulit-Nya juga menjadi bersih; karena kebersihan kulit-Nya, cahaya sebesar rumah atau sebesar gunung bersinar dari bagian depan tubuh-Nya dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah timur bagaikan Chaddanta, raja gajah, terbang di angkasa.
Demikian pula, cahaya bersinar dari bagian belakang tubuh Buddha dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah barat; cahaya bersinar dari sebelah kanan tubuh Buddha dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah selatan; cahaya bersinar dari sebelah kiri tubuh Buddha dan memancar hingga alam semesta yang tidak terhitung banyaknya di sebelah utara; dan dari telapak kaki-Nya memancar cahaya berwarna koral, mencapai angkasa luas setelah menembus daratan, air, dan udara; bagaikan rantai yang berhiaskan batu safir yang melingkar, demikian pula bola cahaya biru memancar satu demi satu dari kepala-Nya, mencapai angkasa di atasnya setelah melewati enam alam dewa dan dua puluh Alam Brahmà Kàmàvacara. Pada waktu itu tidak terhitung banyaknya makhluk di alam semesta yang tidak terhitung banyaknya memancarkan cahaya keemasan.
Catatan: Cahaya yang memancar dari tubuh Buddha pada hari Beliau merenungkan hukum Patthàna masih bergerak menuju alam semesta yang tidak terhitung banyaknya bahkan hingga hari ini dalam bentuk rantai zat-zat yang bersuhu (utuja-rupa).
(5) Satu Minggu di Bawah Pohon Banyan Ajapala
Setelah menghabiskan empat minggu (dua puluh delapan hari) di dekat pohon Mahàbodhi, pada minggu kelima, Buddha berjalan menuju pohon banyan ajapàla yang terletak di sebelah timur pohon Mahàbodhi dan tinggal selama tujuh hari di bawah pohon tersebut, merenungkan Dhamma dan tenggelam dalam Phala Samàpatti. (Pohon banyan ini disebut ajapàla karena pohon ini merupakan tempat berkumpulnya para gembala. Ajapàla nigrodha, pohon banyan di mana para gembala berteduh di bawahnya).
Pada waktu itu, seorang brahmana yang tidak diketahui nama dan sukunya, yang terlihat kasar dan angkuh, mendekati Buddha dan berbincang-bincang dengan Buddha. Setelah saling menyapa, si brahmana (kasar) berdiri di suatu tempat dan bertanya kepada Buddha:
“Yang Mulia Gotama, kebajikan apa yang membuat seorang brahmana menjadi brahmana yang sesungguhnya di dunia ini? Apa yang diperlukan untuk menjadi seorang yang mulia?”
Di sini, si brahmana kasar tidak akan dapat menembus Empat Kebenaran Mulia bahkan jika Buddha mengajarkannya. Benar bahwa mereka yang mendengar bait-bait Dhamma dari Buddha sebelum Buddha mengajarkan khotbah Dhammacakka akan beruntung hanya karena mendapat kesan pada batinnya, seperti dua pedagang bersaudara Tapussa dan Bhallika; tetapi mereka tidak akan dapat mencapai Jalan dan Buahnya melalui penembusan Empat Kebenaran Mulia. sekadar Dhamma bagi hal-hal yang alami (Sarattha Dipani òãkà). Karena si brahmana kasar tidak dapat menyerap Dhamma (bukan seorang yang dapat melihat Empat Kebenaran), Buddha tidak mengajarkan Dhamma kepadanya. Tetapi, memahami maksud pertanyaan si brahmana, Buddha mengucapkan bait berikut:
“Seorang Arahanta yang disebut brahmana adalah ia yang telah menyingkirkan semua kejahatan; ia bebas dari segala kekerasan dan kekasaran; ia bebas dari noda kotoran batin; ia berusaha untuk mengembangkan meditasi; atau ia memiliki pikiran yang terkendali oleh moralitas; atau ia telah mencapai Nibbàna, lenyapnya secara total kelompok-kelompok batin dengan penembusan Empat Magga ¥àõa; atau ia telah mencapai tingkat Arahatta-Phala, puncak dari Empat Magga Nàna. Ia mempraktikkan latihan mulia Jalan menuju Nibbàna. Di dunia ini, di mana segalanya timbul dan lenyap, tidak ada satu pun dari lima kejahatan yang muncul (ussadà) dari salah satu objek indrianya, yaitu nafsu (rag’ussada), kebencian (dos’ussada), kebodohan (moh’ussada), kesombongan (man’ussada), pandangan salah (ditth’ussada). Arahanta tersebut disebut brahmana yang dengan berani mengatakan, “Sungguh benar, Aku adalah seorang brahmana sejati!”
(Apa yang dimaksudkan di sini adalah: Seseorang yang memiliki tujuh kebajikan layak disebut brahmana: (1) bebas dari kejahatan, (2) bebas dari kekerasan dan kekasaran, (3) bebas dari noda kotoran batin, (4) pengendalian diri melalui moralitas, (5) pencapaian Nibbàna, (6) telah menjalani praktik mulia Jalan, (7) tidak munculnya lima kejahatan (ussada).
Màra Mengaku Kalah
Màra telah mengikuti Buddha selama tujuh tahun untuk mencari kesempatan menemukan kesalahan Buddha, namun ia tidak mendapat kesempatan sedikit pun untuk melakukannya. Oleh karena itu ia mendekati Buddha ketika Buddha berdiam di bawah pohon banyan ajapala dan berkata:
“O Petapa Gotama, apakah Engkau termenung di dalam hutan ini karena Engkau diliputi kesedihan? Apakah Engkau mengalami kehilangan kekayaan bernilai ratusan ribu? Atau, apakah Engkau termenung di sini karena Engkau menginginkan kekayaan bernilai ratusan ribu? Atau, apakah Engkau termenung di dalam hutan ini karena telah melakukan kejahatan berat di sebuah desa atau kota dan tidak berani bertemu orang lain? Mengapa Engkau tidak bergaul dengan orang lain? Engkau sama sekali tidak memiliki teman!”
Buddha menjawab:
“O Màra, Aku telah mencabut dan menghancurkan semua penyebab kesedihan, Aku tidak melakukan kejahatan yang terkecil sekalipun; karena terbebas dari segala kekhawatiran, Aku tenggelam dalam dua Jhàna. Aku telah memotong keinginan akan kelahiran (bhavatanhà); Aku tidak memiliki kemelekatan apa pun; Aku tetap berbahagia dalam dua bentuk Jhàna. (Tidak seperti yang engkau pikirkan, Aku bukan datang ke sini karena kesedihan yang disebabkan oleh kehilangan kekayaan, atau karena keserakahan.)”
Màra berkata lagi:
“O Petapa Gotama, di dunia ini, beberapa orang dan petapa melekat kepada objek-objek kekayaannya seperti emas dan perak, dan objek kebutuhannya seperti jubah, dan lain-lain, dan berkata, “Ini milikku.” Jika batin-Mu melekat, seperti orang-orang dan petapa ini terhadap emas dan perak, dan lain-lain, terhadap jubah, dan lain-lain, Engkau tidak akan pernah dapat melarikan diri dari wilayah kekuasaanku di tiga alam.”
Buddha menjawab:
“O Màra, Aku tidak memiliki kemelekatan terhadap semua objek-objek kekayaan seperti emas, perak, dan lain-lain, dan terhadap objek kebutuhan seperti jubah, dan lain-lain, dan berkata “Ini milikku,” tidak seperti orang lain, Aku bukanlah seorang yang berkata “Ini milikku.” “O Màra, anggaplah Aku sebagai seorang yang demikian!, karena Aku telah meninggalkan tiga alam kehidupan, engkau tidak akan menemukan jejak-Ku di wilayah kekuasaanmu di tiga alam kehidupan (bhava), empat jenis kelahiran (yoni), lima bagian (gati), dan sembilan alam makhluk berperasaan.”
Màra berkata lagi:
“O Petapa Gotama, jika Engkau telah menemukan jalan menuju Nibbàna, pergilah sendiri. Mengapa Engkau ingin mengajarkannya kepada orang lain?”
Kemudian Buddha berkata:
“O Marà, (Sekeras apa pun engkau berusaha menghalangi Aku) Aku akan tetap mengajarkan kepada makhluk lain Jalan Benar menuju Nibbàna, jika Aku diminta untuk mengajarkan Jalan Benar dan Nibbàna, bebas dari kematian oleh dewa, manusia, dan brahmà, yang ingin mencapai Nibbàna, pantai seberang.”
Ketika berkata demikian, Màra, yang menjadi kehilangan akal bagaikan kepiting yang cangkangnya dipecahkan oleh anak-anak desa mengucapkan bait berikut (dan mengaku kalah):
“Buddha, bernama Gotama, keturunan raja besar terpilih (Mahàsammata)! (Sebuah perumpamaan bagaikan) burung gagak bodoh kelaparan melompat di delapan penjuru, mengelilingi sebutir batu yang mirip sebongkah lemak dan mencoba merobeknya dengan paruhnya, karena ia berpikir bahwa ia akan memperoleh lemak dan daging yang lembut dan rasanya pasti sangat lezat.”
“Tidak berhasil mendapatkan kelezatan batu itu, burung gagak bodoh itu pergi. Bagaikan burung gagak bodoh itu, karena gagal menikmati sedikit pun kelezatan meskipun ia telah berusaha merobek batu yang mirip sebongkah lemak tersebut, kami menyerah, merasa sedih, sangat sedih, dan hampir patah hati, karena tidak berhasil memperoleh apa pun yang diharapkan setelah mengganggu, menyakiti, dan menghalangi Engkau, Yang Mulia.”
Putri Màra Datang Merayu Buddha
Selanjutnya Màra merenungkan, “Walaupun aku telah mengikuti Buddha untuk mencari kesalahan-Nya, namun aku tidak berhasil menemukan kesalahan yang terkecil pun dari Pangeran Siddhattha yang dapat dicela. Sekarang, Pangeran Siddhattha telah lari dari kekuasaanku di tiga alam.” Demikianlah ia termenung dan merasa patah hati duduk jongkok sendirian di jalan utama tidak jauh dari Buddha dan membuat goresan enam belas garis di atas tanah yang menggambarkan enam belas kejadian. Arti dari enam belas garis itu adalah sebagai berikut:
(1) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Kedermawanan dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis pertama.
(2) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Moralitas dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kedua.
(3) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Melepaskan keduniawian dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis ketiga.
(4) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis keempat.
(5) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Usaha dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kelima.
(6) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Kesabaran dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis keenam.
(7) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Kejujuran dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis ketujuh.
(8) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Tekad dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kedelapan.
(9) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Cinta kasih dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kesembilan.
(10) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Kesempurnaan Ketenangseimbangan dalam kehidupan lampauku. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kesepuluh.
(11) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh pengetahuan mengenai pikiran dan kehendak makhluk-makhluk lain (indriyaparopariyatti Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kesebelas.
(12) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh pengetahuan mengenai sifat dan watak makhluk-makhluk lain (àsayànusaya Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kedua belas.
(13) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk mencapai Welas asih yang luar biasa (Mahàkarunàsamàpatti Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis ketiga belas.
(14) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh Kemampuan untuk melakukan Keajaiban Ganda (Yamaka-Pàtihàriya Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis keempat belas.
(15) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh pengetahuan yang tanpa halangan (anàvarana Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis kelima belas.
(16) “Tidak seperti Pangeran Siddhattha ini, aku tidak memenuhi Sepuluh Kesempurnaan dalam kehidupan lampauku untuk memperoleh Kemahatahuan (Sabbannuta Nàna) yang tidak lazim bagi makhluk-makhluk biasa. Oleh karena itu, aku tidak dapat disamakan dengan Pangeran.” Dengan pikiran seperti ini, Màra menarik garis keenam belas.
Pada waktu itu, tiga putri Màra—Tanhà, Arati, dan Ràga—melihat ke sekeliling, berpikir, “Kita tidak melihat ayah kita (Màra). Di manakah ia sekarang?,” dan mereka melihatnya termenung berjongkok dan menggoreskan garis-garis di atas tanah, kemudian mereka segera mendekati ayah mereka dan bertanya, “Ayah, mengapa engkau begitu bersedih dan patah hati?” “Putri-putriku,” jawab Màra, “Petapa Gotama ini telah lari dari kekuasaanku di tiga alam. Walaupun aku telah mengikutinya selama kurun waktu tujuh tahun untuk mencari kesalahan-Nya, namun aku tidak berhasil mendapat kesempatan sedikit pun untuk mencela-Nya. Oleh karena itulah aku begitu sedih dan patah hati.” “Ayah, jangan khawatir. Kami akan membujuk Petapa Gotama ini dan membawa-Nya ke hadapanmu, ayah,” janji tiga putri tersebut.
Kemudian Màra berkata, “Putriku, tidak seorang pun di dunia ini yang mampu membujuk Petapa Gotama ini. Petapa Gotama ini memiliki keyakinan yang sangat kokoh dan tidak tergoyahkan.” “Ayah, kami perempuan. Kami akan menjerat-Nya dengan nafsu dan segera membawa-Nya ke hadapanmu. Jangan kecewa dan bersedih.”
Setelah berkata demikian, tiga putri ini mendekati Buddha dan berkata dengan nada membujuk, “Yang Mulia Petapa, izinkan kami melayani-Mu, bersujud dengan hormat di kaki-Mu dan memuaskan segala kebutuhan-Mu.” Buddha mengabaikan mereka, dan tetap menikmati kebahagiaan Nibbàna dalam Phala Samàpatti tanpa membuka mata-Nya.
Kemudian, tiga putri Màra berdiskusi, “Para laki-laki memiliki selera yang berbeda. Beberapa menyukai perempuan yang muda dan halus; yang lain menyukai perempuan yang sedang dalam tahap pertama kehidupannya. Yang lain lagi menyukai perempuan yang sedang dalam tahap pertengahan. Jadi mari kita menciptakan perempuan dalam berbagai usia dan memikat petapa ini.”
Demikianlah, masing-masing dari mereka menciptakan seratus perempuan (1) yang muda, (2) yang menjelang kehamilan, (3) yang telah melahirkan satu kali, (4) yang telah melahirkan dua kali, (5) yang dalam usia pertengahan, (6) yang dalam usia yang sangat dewasa dan matang, semuanya cantik-cantik.
Kemudian mereka mendekati Buddha enam kali dan merayu seperti sebelumnya, “Yang Mulia Petapa, izinkan kami melayani-Mu, bersujud dengan hormat di kaki-Mu, dan memuaskan segala kebutuhan-Mu.” Sama seperti sebelumnya, Buddha mengabaikan mereka, dan tetap menikmati kebahagiaan Nibbàna dalam Phala Samàpatti tanpa membuka mata-Nya.
Kemudian Buddha berkata, “Pergilah, dewi. Melihat manfaat apakah engkau mencoba menguji-Ku seperti ini? Perbuatan ini hendaknya dilakukan kepada mereka yang belum terbebas dari nafsu (ràga), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha). Sedangkan Aku, Aku telah melenyapkan nafsu, Aku telah melenyapkan kebencian, Aku telah melenyapkan kebodohan.” Kemudian Buddha mengucapkan dua bait berikut seperti yang terdapat dalam Dhammapada:
Yassa jitam nàvajiyati
Jitamassa no yàti kosi loke
Tam Buddhaÿananta gocaram
Apadam kena padena nessatha
Yassa jàlini visattikà
tanhà natthi kuhin ci netave
tam Buddhaÿananta gocaram
apadam kena padena nessatha.
“Buddha, yang telah menaklukkan kotoran batin, tidak ada lagi yang harus ditaklukkan. Tidak ada kotoran apa pun yang telah ditaklukkan mengikuti Buddha. Buddha yang memiliki ketidakterbatasan pemahaman melalui kebijaksanaan, yang tidak memiliki faktor-faktor kotoran seperti nafsu (ràga), dengan cara apakah engkau akan membawa-Nya.
Buddha yang tidak memiliki faktor-faktor seperti kemelekatan (taõhà), yang bagaikan jerat yang dapat menariknya ke dalam kelahiran kembali, yang memiliki sifat seperti racun yang ganas; atau yang dapat melekati segala hal. Buddha yang memiliki ketidakterbatasan pemahaman melalui kebijaksanaan, yang tidak memiliki faktor-faktor kotoran seperti nafsu, dengan cara apakah engkau akan membawa-Nya.”
Setelah mengucapkan puji-pujian terhadap Buddha mereka berkata, “Ayah kita berkata benar. Petapa Gotama ini, yang memiliki ciri-ciri seperti Arahaÿ dan Sugata, tidak dapat dibujuk dengan menggunakan nafsu,” mereka kembali ke ayah mereka, Màra.
Buddha Bertekad untuk Hidup Dalam Dhamma
Selagi Buddha berdiam selama seminggu di Ajapala, Ia berpikir, “Betapa menyedihkan hidup tanpa menghormati orang lain (tidak seorang pun yang dihormati). Siapa yang harus didekati dan dihormati oleh-Ku, seseorang yang telah melenyapkan semua kotoran, yang telah melenyapkan semua kajahatan?” Kemudian Beliau melanjutkan, “Aku harus menetap di dekat mereka yang lebih tinggi dari diri-Ku dalam hal Moralitas, Konsentrasi, Kebijaksanaan, dan Kebebasan sehingga Moralitas, Konsentrasi, Kebijaksanaan, dan Kebebasan-Ku yang masih belum lengkap dan belum mencukupi akan menjadi lengkap dan cukup.” Kemudian Buddha mencari dengan Kemahatahuan-Nya mereka yang lebih tinggi daripada-Nya dalam hal Moralitas, Konsentrasi, Kebijaksanaan, dan Kebebasan.
Melihat bahwa tidak ada makhluk yang demikian di tiga alam, Beliau berpikir, “Lebih baik Aku hanya hidup dengan menghormati Dhamma yang telah Kutembus.”
Pada waktu itu, mengetahui pikiran Buddha, Brahmà Sahampati tiba dalam sekejap di hadapan Buddha dan setelah meletakkan selendangnya di bahu kirinya dan menyentuh tanah dengan lutut kanannya, ia merangkapkan tangannya memberi hormat dan berkata, “Buddha Yang Agung, apa yang Engkau pikirkan adalah benar. Yang Mulia, Buddha-Buddha pada masa lampau hanya hidup dengan menghormati Dhamma. Buddha-Buddha pada masa depan hanya hidup dengan menghormati Dhamma. Buddha Agung, aku juga ingin agar Engkau menjadi Buddha masa sekarang yang hanya hidup dengan menghormati Dhamma.”
(6) Satu Minggu di Danau Mucalinda (Mucalinda-sattàha)
Setelah menghabiskan tujuh hari merenungkan Dhamma di bawah pohon banyan ajapala, Buddha pindah ke pohon mucalinda (Barringtonia acutangula) di sebelah timur pohon Mahàbodhi. Di bawah pohon mucalinda, Buddha duduk bersila menikmati kebahagiaan Kearahattaan.
Pada waktu itu turun hujan yang sangat lebat (hujan lebat sebelum memasuki musim hujan) selama tujuh hari. (Hujan seperti ini hanya terjadi pada dua peristiwa! Satu ketika munculnya raja dunia, dan satu lagi saat munculnya seorang Buddha.) Ketika turun hujan lebat, raja nàga yang sangat sakti dan sangat berkuasa, Mucalinda, yang memerintah alam nàga di bawah danau di sana berpikir, “Hujan lebat ini turun segera setelah Buddha berdiam di wilayahku. Baik sekali jika tempat kediaman Buddha dapat mudah ditemukan.” Raja nàga sangat sakti untuk menciptakan sebuah istana dengan tujuh jenis permata namun ia mempertimbangkan bahwa “Tidaklah sangat bermanfaat jika aku menciptakan sebuah istana besar dari permata dan mendanakannya kepada Buddha. Aku akan menyumbangkan tenagaku kepada Buddha dengan tubuhku.” Jadi ia mengubah tubuhnya menjadi besar dan melingkari tubuh Buddha dalam tujuh lingkaran dan memayungi kepala Buddha dengan kepalanya yang mengembang sehingga Buddha tidak diserang oleh dingin, panas, gigitan serangga seperti nyamuk, lalat, dan lain-lain.
(7) Satu Minggu di Bawah Pohon Ràjàyatana (Ràjàyatana sattàha)
Setelah menghabiskan tujuh hari menikmati kebahagiaan Arahatta di bawah pohon mucalinda dan ketika tiba minggu ke tujuh, Buddha beranjak dari tempat itu dan pindah ke pohon Ràjàyatana (Buchaniania latifolia) di sebelah selatan pohon Mahàbodhi dan duduk di bawah pohon menikmati kebahagiaan Kearahattaan selama tujuh hari.
Ketika telah berlalu empat puluh sembilan hari, pada hari Rabu, tanggal lima di bulan âsàëha, selagi berdiam di Ràjàyatana, Sakka datang dan mendanakan buah obat myrobalan (Terminalia citrina) karena ia mengetahui keinginan Buddha untuk mencuci muka dan membersihkan diri. Buddha menerima buah itu. Segera setelah Buddha mengambil buah tersebut, Buddha menjawab panggilan alam (buang air). Setelah itu Sakka memberikan pembersih gigi dari alam nàga, dan air dari Danau Anotatta (untuk mencuci muka). Buddha menggunakan pembersih gigi, membersihkan mulut-Nya dan mencuci muka, dengan air dari Danau Anotatta, dengan tetap duduk di bawah pohon Ràjàyatana.
Dua Pedagang Bersaudara, Tapussa dan Bhallika, Menerima Perlindungan Ganda
Buddha bertanya-tanya, “Semua saudara-Ku, Buddha-Buddha masa lampau, tidak pernah menerima dàna makanan dengan tangan Mereka. Jadi, dengan apakah Aku harus menerima kue nasi dan gumpalan makanan madu yang dipersembahkan oleh kedua pedagang bersaudara ini?” (Karena mangkuk tanah yang didanakan oleh Brahmà Ghatikàra sewaktu Beliau melepaskan keduniawian telah lenyap pada hari Beliau menerima nasi susu dari Sujàtà).
Mengetahui pikiran Buddha, empat raja dewa dari empat arah, yaitu: Dhataratta, Virulhaka, Virupakkha, dan Kuvera dengan hormat menyerahkan empat mangkuk terbuat dari batu zamrud. Tetapi Buddha menolak menerima mangkuk tersebut. Sekali lagi, empat raja dewa tersebut menyerahkan empat mangkuk dari batu (alami) berwarna hijau daun. Empat mangkuk ini diterima oleh Buddha. Dan karena welas asih-Nya kepada para raja dewa tersebut, Buddha menumpuk empat mangkuk tersebut dan berkehendak, “Semoga empat mangkuk ini menjadi satu.” Segera empat mangkuk tersebut melebur menjadi satu mangkuk bersegi empat.
Kemudian Buddha menerima kue nasi dan gumpalan makanan madu dengan mangkuk dan memakannya dan memberikan khotbah yang sesuai untuk kedua pedagang bersaudara tersebut. Kemudian kedua pedagang bersaudara tersebut menyatakan berlindung kepada Buddha dan Dhamma (karena Sangha belum terbentuk pada waktu itu), dan dengan demikian menjadi siswa yang hanya mengucapkan dua kata perlindungan (Devàcika-sarana) yang ditujukan kepada Buddha dan Dhamma, dengan mengucapkan,
“Kami menyatakan berlindung, Yang Mulia, kepada Buddha dan Dhamma” (Ete mayam bhante Bhagavàntam saranam gacchàma Dhamman ca). (Kedua bersaudara ini adalah siswa pertama yang menyatakan berlindung dengan mengucapkan kedua kata ini.)
Setelah itu kedua pedagang bersaudara mengajukan permohonan dengan berkata, “Buddha Yang Mulia, berikanlah sesuatu kepada kami berkat welas asih-Mu sebagai objek pemujaan kami selamanya.” Buddha mengusap kepala-Nya dengan tangan kanan-Nya dan memberikan mereka relik dari rambut-Nya sesuai permintaan mereka. Kedua bersaudara tersebut sangat gembira menerima relik rambut Buddha, seolah-olah disiram air surga. Setelah menyelesaikan perdagangan, mereka kembali dan tiba di kota mereka Pukkharavati di distrik Ukkalà di mana mereka membangun cetiya untuk memuja relik rambut yang disimpan dalam peti emas.
BUDDHA MERENUNGKAN DHAMMA
Ketika itu, hari Kamis, tanggal enam bulan âsàlha, lima puluh hari setelah mencapai Kebuddhaan pada hari Rabu malam purnama bulan Vesàkha, setelah melewatkan Sattasattàha (empat puluh sembilan hari), Buddha bangkit dari duduk-Nya di bawah pohon Ràjàyatana, kemudian berjalan kembali menuju pohon banyan Ajapàla (gembala) dan berdiam di sana duduk bersila. Selanjutnya Buddha dalam kesunyian dan ketenangan merenungkan Kelompok Dhamma, Empat Kebenaran Mulia.
Selanjutnya, dua bait yang menakjubkan, yang belum pernah didengar sebelumnya, tiba-tiba muncul dengan jelas dalam batin Buddha, yaitu:
(1) Tidak ada manfaatnya mengajarkan Dhamma Empat Kebenaran Mulia kepada dewa dan manusia, yang telah Kuperoleh dengan usaha keras mengembangkan Kesempurnaan (Pàrami) pada saat ini di saat hanya ada perasaan welas asih-Ku yang merupakan penyebab internal (ajjhattika Nidàna) tetapi belum ada permohonan dari brahmà yang dipuja oleh dunia ini (Lokagaru), yang adalah penyebab eksternal (bàhira-Nidàna); Dhamma Empat Kebenaran Mulia ini tidaklah mudah dipahami dan sangatlah sulit bagi mereka yang diliputi oleh kejahatan dan terpengaruh keserakahan dan kebencian.
(2) Semua dewa dan manusia yang diliputi oleh kegelapan batin (avijjà), sehingga mereka tidak memiliki mata kebijaksanaan, terikat kepada kenikmatan indria (kàma-ràga), kelahiran yang berulang-ulang (bhava-ràga) dan pandangan salah (ditthi ràga), tidak akan dapat melihat Dhamma Empat Kebenaran Mulia, yang halus, dalam (bagaikan air yang tertahan di dalam tanah). Sulit terlihat (bagaikan biji mostar yang terhalang oleh Gunung Meru besar), kecil bagaikan sebuah atom, dan yang membawa menuju Nibbàna melawan arus sangsàra. (Pikiran seperti ini adalah wajar, dhammatà, yang terjadi pada semua Buddha).
Buddha yang merenungkan demikian merasa segan untuk mengajarkan Dhamma karena tiga alasan berikut: (1) batin makhluk-makhluk yang penuh dengan kotoran, (2) Dhamma yang sangat dalam, dan (3) Buddha sangat meninggikan Dhamma.
Mengajarkan Dhamma hanya setelah permohonan brahmà adalah suatu peristiwa yang wajar, dhammatà, bagi setiap Buddha. Alasan dari pengajaran Dhamma setelah permohonan dilakukan oleh brahmà adalah: di luar masa berkembangnya ajaran Buddha (sebelum munculnya Buddha), mereka yang taat dan bajik, apakah ia umat awam, petapa pengembara, samaõa atau brahmaõa, hanya memuja brahmà. Oleh karena itu, jika brahmà yang dihormati di dunia memperlihatkan penghormatan kepada Buddha dengan bersujud di depan Buddha, seluruh dunia juga akan berbuat serupa, memiliki keyakinan terhadap Buddha. Untuk alasan ini, adalah suatu kebiasaan dan kewajaran bagi Buddha untuk mengajarkan Dhamma hanya setelah permohonan diajukan oleh brahmà. Demikianlah, hanya setelah bàhira Nidàna, permohonan brahmà diajukan, Buddha bersedia mengajarkan Dhamma.
Brahmà Sahampati Memohon Pengajaran Dhamma
(Brahmà Sahampati yang agung adalah seorang Thera mulia bernama Sahaka pada masa Buddha Kassapa. Dalam kapasitasnya, ia berhasil mencapai Jhàna Pertama Råpàvacara dan karena ia meninggal dunia tanpa terjatuh dari Jhàna, ia terlahir di Alam Jhàna Pertama dan menjadi Mahàbrahmà yang memiliki umur kehidupan enam puluh empat antara kappa yang setara dengan satu asaïkhyeyya kappa. Ia disebut Brahmà Sahampati di alam brahmà tersebut. Saÿyutta Atthakatthà dan Sàrattha Tikà).
Ketika Buddha masih tidak berkeinginan untuk berusaha mengajarkan Dhamma, Mahàbrahmà Sahampati berpikir, “Nassati vata bho loko! Vinassati vata bho loko!” “O teman, dunia akan binasa! O teman, dunia akan binasa!” Buddha yang layak mendapat penghormatan oleh dewa dan manusia karena telah menembus pengetahuan semua Dhamma di dunia tidak sudi mengajarkan Dhamma!” Kemudian dalam sekejap, dengan kecepatan bagaikan seorang kuat yang merentangkan tangannya yang terlipat atau melipat tangannya yang terentang, Brahmà Sahampati lenyap dari alam brahmà bersama-sama dengan sepuluh ribu Mahàbrahmà lainnya, muncul di hadapan Buddha. Pada waktu itu, Mahàbrahmà Sahampati meletakkan selendangnya (selendang brahmà) di bahu kirinya dan berlutut dengan lutut kanannya menyentuh tanah (duduk cara brahmà). Bersujud kepada Buddha dengan mengangkat kedua tangannya yang dirangkapkan dan berkata:
“Buddha yang agung, sudilah Buddha mengajarkan Dhamma kepada semua makhluk, manusia, dewa, dan brahmà. Buddha agung yang memiliki bahasa yang baik, sudilah Buddha mengajarkan Dhamma kepada semua makhluk, manusia, dewa, dan brahmà. Ada banyak makhluk-makhluk yang memiliki sedikit debu kotoran di mata pengetahuan dan kebijaksanaan mereka. Jika makhluk-makhluk ini tidak berkesempatan mendengarkan Dhamma Buddha, mereka akan menderita kerugian besar karena tidak memperoleh Dhamma yang luar biasa Magga-Phala yang layak mereka dapatkan. Buddha yang mulia, akan terbukti bahwa ada dari mereka yang mampu memahami Dhamma yang Engkau ajarkan.”
Kemudian lagi, setelah mengucapkan dengan bahasa prosa biasa, Mahàbrahmà juga mengajukan permohonan dalam syair seperti berikut:
“Buddha yang agung, pada masa lampau sebelum kemunculan-Mu, di Negeri Magadha, terdapat ajaran salah yang tidak suci, yang diajarkan oleh enam guru berpandangan salah, seperti Påraõa Kassapa yang dinodai oleh lumpur kotoran. Dan oleh karena itu, sudilah membuka pintu gerbang Magga untuk memasuki Nibbàna yang abadi (yang tertutup sejak lenyapnya ajaran Buddha Kassapa). Izinkan semua makhluk mendengarkan Dhamma Empat Kebenaran Mulia yang terlihat jelas oleh-Mu yang bebas dari debu kilesa.
“Buddha yang mulia dan bijaksana, yang memiliki mata kebijaksanaan yang mampu melihat segala sesuatu! Bagaikan seorang yang memiliki pandangan mata yang tajam berdiri di puncak gunung dan melihat semua orang di sekelilingnya, demikian pula Engkau, Buddha yang mulia, karena telah terbebas dari kesedihan, naik ke menara Pa¤¤à dan melihat semua makhluk, manusia, dewa, dan brahmà, yang terjatuh ke dalam jurang kesedihan (karena dilindas oleh kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian, dan lain-lain).
“Buddha yang mulia dan memiliki kecerdasan, yang hanya mengetahui kemenangan, tidak pernah kalah, dalam semua pertempuran! Bangunlah! Buddha yang mulia, yang bebas dari hutang kenikmatan indria, yang memiliki kebiasaan membebaskan makhluk-makhluk yang ingin mendengarkan dan mengikuti ajaran Buddha, dari perjalanan sulit berupa kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian dan bagaikan pemimpin rombongan, yang mengantar mereka dengan selamat menuju Nibbàna! Sudilah, mengembara di dunia ini dan mengumandangkan Dhamma dari Buddha yang agung, sudilah, mengajarkan Empat Kebenaran Mulia kepada semua makhluk manusia, dewa, dan brahmà. Buddha yang mulia, ada makhluk-makhluk yang dapat melihat dan memahami Dhamma yang Engkau ajarkan.”
Buddha Mengamati Dunia Makhluk-makhluk
Ketika Brahmà Sahampati telah mengajukan permohonan untuk mengajarkan Dhamma, dua kondisi, yaitu, bàhira Nidàna dan ajjhattika Nidàna telah terpenuhi, dan kemudian Beliau mengamati dunia makhluk-makhluk dengan sepasang Mata-Buddha (Buddha-cakkhu): Pengetahuan atas keinginan tersembunyi atau kecenderungan atau sebaliknya, sifat-sifat indria (Indriya-paropariyatta Nàna).
Dalam pengamatannya, Beliau melihat jelas berbagai jenis makhluk yang berbeda-beda (seperti empat jenis bunga teratai): ada sebuah kolam yang berisi bunga teratai biru, merah, dan putih, empat jenis teratai ini—
(1) jenis bunga teratai yang hidup dalam air, tumbuh dalam air, dan masih berada di bawah permukaan air,
(2) jenis bunga teratai tumbuh dalam air, berkembang dalam air, dan akhirnya diam persis di permukaan air,
(3) jenis bunga teratai yang hidup dalam air, berkembang dalam air, dan akhirnya diam tinggi di atas permukaan air, sama sekali tidak basah dan tidak ada air yang menempel di bunga teratai tersebut. (Dari ketiga jenis bunga teratai ini, teratai no. 3 yang berada tinggi di atas permukaan air akan mekar pada hari itu juga; teratai no. 2 yang berada persis di permukaan air akan mekar keesokan harinya, dan teratai no. 1 yang masih berada di bawah air, akan mekar pada hari ketiga).
(4) Selain tiga jenis teratai ini, ada teratai jenis keempat yang tidak akan muncul di atas permukaan air dan tidak akan mekar; teratai jenis ini adalah teratai sakit dan akhirnya hanya menjadi makanan bagi ikan dan kura-kura.
Bagaikan empat jenis teratai ini, ada makhluk-makhluk yang memiliki sedikit atau sama sekali tidak ada debu kilesa di mata kebijaksanaannya; makhluk-makhluk yang memiliki banyak debu di mata kebijaksanaannya; makhluk-makhluk yang lima kelompok keyakinan, ketekunan, perhatian, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang tajam dan matang; makhluk-makhluk yang kelima kelompok tadi tumpul dan tidak matang; makhluk-makhluk yang memiliki watak-watak seperti keyakinan, dan lain-lain, cukup baik atau tidak cukup baik; makhluk-makhluk yang dapat dengan mudah memahami Dhamma yang diajarkan dan makhluk-makhluk yang tidak dapat memahami; makhluk-makhluk yang memandang hal-hal duniawi seperti kelompok kehidupan, semua bentuk kemelekatan, perbuatan jahat, kehendak-kehendak, dan tindakan yang akan menyebabkan kelahiran kembali, sebagai kelompok yang menakutkan dan berbahaya bagaikan musuh yang memegang pedang yang bersiap-siap untuk menyerang, dan makhluk-makhluk yang tidak memiliki pandangan seperti itu.
Setelah merenungkan dan melihat, Buddha memberikan persetujuan kepada Mahàbrahmà Sahampati dalam syair berikut:
“O Mahàbrahmà Sahampati, Aku tidak menutup pintu Magga bagi para dewa dan manusia untuk memasuki Nibbàna Abadi dan mencapai Kebebasan. (Pintu itu senantiasa terbuka). Semoga dewa dan manusia yang memiliki pendengaran yang baik (sotapasàda) memperlihatkan keyakinan terhadap-Ku.”
“O Mahàbrahmà Sahampati, Aku belum mengajarkan Dhamma mulia yang telah Kuperoleh kepada manusia, dewa, dan brahmà dalam beberapa hari ini. Hal ini karena pada waktu itu, dua Nidàna untuk mengajarkan Dhamma belum terpenuhi dan karena Aku melihat bahwa, bahkan jika Dhamma diajarkan, tidak akan bermanfaat bagi mereka, hanya melelahkan-Ku saja.”
Setelah itu, Mahàbrahmà Sahampati merasa sangat gembira dan berseru, “Buddha telah menyetujui untuk mengajarkan Dhamma!” Kemudian, setelah bersujud dan mengelilingi Buddha, ia menghilang dari tempat itu (dan pulang ke alam brahmà).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar