Lonceng & Vajra Dorje
Diterjemahkan oleh Lotus Nino
Sumber: Bell & Dorje
Vajra bersula lima (dengan empat makara dan sebuah sula di pusatnya) adalah bentuk vajra yang paling sering terlihat. Di dalamnya ada sistem hubungan antar lima elemen sisi nomenal* vajra yang jauh lebih mendetil. Salah satu hubungan yang penting di sana adalah antara lima macam “racun” dengan lima macam kebijaksanaan. Lima macam racun adalah berbagai kondisi pikiran yang menutupi/mengaburkan kemurnian sejati pikiran para insan, sedangkan lima macam kebijaksanaan adalah lima aspek yang terpenting dari pikiran yang telah tercerahkan. Masing-masing dari lima macam kebijaksanaan ini dihubungkan dengan seorang figur Buddha. (Lihat juga Lima Buddha Kebijaksanaan)
*) [1] obyek yang dipandang sebagai memiliki realitas transenden. [2] Alam yang mengandung obyek semacam itu.
Berikut ini adalah lima macam racun yang setara/mirip dengan lima macam kebijaksanaan dalam hubungannya dengan para Buddha yang bersangkutan:
Kebijaksanaan individualitas juga dikenal sebagai Kebijaksaan Untuk Mendiskriminasi (membedakan).
Sumber: Wikipedia – Vajra
Agama Buddha aliran Vajrayana punya berbagai macam peralatan ritual. Banyak gambaran para Buddha yang memegang sebuah atau dua buah, atau banyak peralatan ritual tersebut, bergantung pada banyaknya tangan yang ditampilkan oleh Buddha yang bersangkutan. Semua peralatan ritual tersebut mempunyai arti dan masing-masing digunakan untuk mengatasi pikiran kita yang sibuk lewat cara yang mampu mengantar kita menuju pemahaman akan Kebenaran Utama. Peralatan ritual yang dipegang di tangan kiri ada hubungannya dengan kebijaksanaan, realisasi kekosongan segala macam fenomena, sedangkan yang dipegang di tangan kanan berhubungan dengan cara-cara penyelamatan yang disesuaikan dengan jodoh karma si penerima atau si praktisi (upaya kausalya), atau welas asih.
Lonceng dan vajra dorje hanya merupakan salah satunya. Dorje, yang dipegang di tangan kanan, melambangkan upaya kausalya, dan lonceng di tangan kiri mewakili kebijaksanaan. Saat dipegang bersamaan, alat ritual ini melambangkan kebijaksanaan dan welas asih yang tak terpisahkan di dalam aliran pikiran yang telah tercerahkan. Bila dilihat secara terpisah, masing-masing alat tersebut merupakan harta spiritual yang luar biasa.
Dorje, dalam Bahasa Tibet, berarti Raja dari semua batu-batuan. Ia menyimbolkan kemampuannya untuk mengubah semua pengalaman menjadi pengalaman yang sarat akan perspektif pencerahan. Segala hal di dalam samsara, siklus kehidupan, sifatnya tidak abadi, dan oleh karenanya jangan bersandar kepadanya. Dorje juga melambangkan upaya kausalya untuk mengubah berbagai pengalaman kita yang biasa menjadi pengalaman yang menggerakkan/menarik kita ke dalam jalur spiritual. Dorje ini punya lima macam karakteristik yang luar biasa. Ia tidak bisa ditembus, tidak bergeming, tidak berubah, tidak bisa dipecah, dan tidak bisa rusak. Ia juga merupakan senjata para dewata angkara murka yang tak terhancurkan, dan menjadi simbol otoritas spiritual dari para dewata yang tampil dalam bentuk damai.
Vajra, dalam Bahasa Sansekerta, berarti ia yang keras atau kuat, seperti intan berlian. Kecemerlangannya menerangi (menghapus) kebodohan dan menampilkan Kebenaran, menghancurkan semua kebodohan yang menyebabkan penderitaan. Saat penyebab penderitaan telah nampak di hadapan kita, kita diberkati untuk menciptakan berbagai sebab kebahagiaan. Pada akhirnya kita akan mencapai kondisi tiada ego, yang bebas dari segala macam penderitaan. Dari sudut pandang Vajrayana, motivasi untuk mencapai kondisi ini adalah untuk mengentaskan penderitaan para insan.
Bentuk fisik dari dorje ini kaya akan makna. Di bagian pusatnya adalah bola yang melambangkan dharmata, bola kenyataan itu sendiri, yang merupakan kebenaran tertinggi. Yang mengitari bola di masing-masing sisi adalah satu atau tiga ‘untaian mutiara’, tergantung ukuran dorje tersebut. Mereka melambangkan tiga pintu pembebasan. Pintu yang pertama adalah konsentrasi transendental bahwa tidak ada apapun yang muncul, di mana semua perkataan dan konsep sudah tidak bisa digunakan dan di sana juga tidak ada yang bisa dipegang. Pintu kedua adalah konsentrasi transendental akan ketiadaan arah, di sini artinya kondisi ketenangan yang sempurna – stabilitas spiritual dan keseimbangan. Dan pintu yang ketiga adalah konsentrasi transendental akan kekosongan.
Di sebelah mutiara-mutiara tersebut adalah bunga teratai berkelopak delapan. Kelopak di salah satu sisi melambangkan Delapan Bodhisattva agung; sedangkan di sisi yang satunya lagi melambangkan pendamping Mereka. Di sebelahnya lagi adalah penampang lingkaran bulan yang merupakan tempat duduk para Bodhisattva sebagai simbol realisasi Bodhicitta sepenuhnya – Welas Asih yang Agung.
Setelah lingkaran bulan masih ada enam cincin lagi. Mereka melambangkan enam kesempurnaan (paramita): kemurahan hati, kelakuan moral, kesabaran, usaha yang penuh dengan sukacita, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Keberhasilan dari enam paramita ini merupakan fondasi dari Mahayana, Kendaraan Besar untuk pembelajaran dan praktek agama Buddha. Mereka adalah ciri khas dari jalur Bodhisattva. Saat si praktisi berhasil menyempurnakan enam paramita tersebut, maka ia baru dapat benar-benar memberi manfaat pada insan lain.
Di sebelah enam cincin adalah makara. Makara merupakan hewan gabungan (ikan berkepala gajah) dengan rahang yang berbentuk seperti buaya. Ia melambangkan usaha dan ketekunan dalam melatih Dharma.
Vajra sendiri bisa mempunyai sula satu, dua, tiga, empat, lima, enam, ataupun sembilan. Yang paling umum adalah yang bersula lima. Ia terlihat seperti titik-titik yang menonjol dari ujung-ujungnya yang melengkung, satu pada setiap lengkungan dan satunya lagi pada setiap ujungnya. Lima sula ini melambangkan lima Buddha dari lima keluarga Buddha beserta dengan pendamping mereka.
Mengenai lonceng – ia juga kaya akan makna dan kekuatan. Lonceng ini utamanya adalah mandala dari Prajnaparamita, Sang Bunda Agung – B eliau dari mana semua realitas muncul. Lewat suaranya, lonceng mampu mengundang atau menarik para dewata untuk hadir atau berpartisipasi dan memberi peringatan atau mengusir kekuatan-kekuatan negatif yang mengganggu. Dentingan lonceng mengingatkan kita akan sifat semua fenomena yang kosong atau membawa pikiran kita ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Sebagai instrumen musik, suaranya dapat dipersembahkan kepada para Buddha dan Bodhisattva.
Rongga lonceng melambangkan kekosongan dari mana semua fenomena muncul, termasuk suara dari lonceng tersebut, sedangkan gandel (anak genta) melambangkan bentuk. Bersamaan mereka melambangkan kebijaksanaan (kekosongan) dan welas asih (bentuk atau penampakan). Suara, seperti semua fenomena, muncul, menyebar dan akhirnya melebur kembali ke dalam kekosongan.
Kalau kita melihat lonceng dengan lebih dekat, kita akan melihat ada berbagai macam desain ukiran di sana. Setiap ukiran tersebut ada artinya. Di tepi lonceng adalah lingkaran ruang yang akan menghasilkan suara kekosongan. Pagar vajra, lingkaran perlindungan yang tak terhancurkan yang melingkari lonceng berbatasan dengan lingkaran mutiara-mutiara pada kedua ujungnya. Lingkaran sebelah bawah adalah lingkaran api kebijaksanaan – melambangkan lima kebijaksanaan primordial (asal). Lingkaran sebelah atas yang juga merupakan lingkaran perlindungan menyimbolkan perkembangan kondisi kesadaran yang lebih tinggi yang memampukan kita untuk memasuki istana surga Prajnaparamita. Sedangkan api di sana ada hubungannya dengan Manjushri – Sang Bodhisattva Kebijaksanaan, Vajra berhubungan dengan Vajrapani – Sang Bodhisattva yang mewakili Kekuatan Dharma, dan teratai dalam hubungannya dengan Chenrezig (Avalokiteshvara) – Bodhisattva Welas Asih. Ini semua menandakan bahwa kualitas-kualitas spiritual merupakan perlindungan yang sejati.
Di atas batas perlindungan adalah makara yang menyangga untaian liotin permata di mana di antara mereka terdapat vajra-vajra. Liontin permata ini menghiasi istana surga. Vajra-vajra di antara mereka melambangkan delapan tanah pekuburan di dalam mandala. Di atas untaian liontin permata dan antara makara adalah delapan kelopak teratai yang melambangkan delapan Bodhisattva. Pada masing-masing kelopak teratai terukir aksara yang mewakili delapan pendamping atau para dewi pembawa persembahan. Di atas kelopak teratai ini adalah dua baris untaian mutiara dengan sebaris untaian vajra di antaranya. Mereka melambangkan dinding sisi dalam dan lingkaran perlindungan bagian dalam dari mandala.
Batang dari lonceng berdiri tegak di atasnya. Bagian dasarnya adalah kelopak-kelopak teratai yang melambangkan tahta teratai Prajnaparamita. Pada bagian batang ada dua set lingkaran mutiara: bagian bawah dan bagian atas. Secara bersamaan mereka melambangkan enam paramita. Di antaranya bisa berbentuk sebuah persegi atau lingkaran. Kalau berbentuk persegi maka melambangkan bumi, sedangkan bila lingkaran berarti vas panjang umur. Vas panjang umur menyimbolkan nektar keberhasilan dan melambangkan tubuh dari Prajnaparamita yang berisi nektar. Di atas bagian ini adalah wajah dari Prajnaparamita sendiri. Prajnaparamita mewakili kesempurnaan (paramita) non-dualitas absolut dari semua kebijaksanaan Buddha atau kesadaran yang mampu membedakan (prajna). Ikatan rambut-Nya melambangkan semua pandangan diikat ke dalam realitas non-dual. Pada mahkota-Nya terdapat lima permata kebijaksanaan (yang terletak menumpuk di atas lima kelopak bagian depan dari alas teratai berkelopak delapan dari vajra bagian atas). Bagian paling atas dari lonceng ini sendiri bermahkotakan vajra bersula lima atau sembilan.
Dua peralatan ritual tersebut bisa menjadi bahan renungan dan meditasi kita. Mereka akan memperdalam pemahaman kita akan apa yang mereka wakili di sana. Saat kita menggunakan mereka dalam sadhana kita dengan pemahaman yang lebih mendalam maka potensi mereka yang sangat berharga akan muncul untuk membantu kita dalam menyusuri jalan Dharma. Saat kita telah mengenal berbagai Buddha beserta kualitas mereka dengan lebih baik, dan turut berpartisipasi dalam upacara ritual dan abhiseka pemberkatan, kita semakin mendekatkan diri dengan realisasi sifat sejati Buddha dalam diri kita sendiri, yang dengan sendirinya adalah inti dari semuanya.
Sumber: Bell & Dorje
Vajra bersula lima (dengan empat makara dan sebuah sula di pusatnya) adalah bentuk vajra yang paling sering terlihat. Di dalamnya ada sistem hubungan antar lima elemen sisi nomenal* vajra yang jauh lebih mendetil. Salah satu hubungan yang penting di sana adalah antara lima macam “racun” dengan lima macam kebijaksanaan. Lima macam racun adalah berbagai kondisi pikiran yang menutupi/mengaburkan kemurnian sejati pikiran para insan, sedangkan lima macam kebijaksanaan adalah lima aspek yang terpenting dari pikiran yang telah tercerahkan. Masing-masing dari lima macam kebijaksanaan ini dihubungkan dengan seorang figur Buddha. (Lihat juga Lima Buddha Kebijaksanaan)
*) [1] obyek yang dipandang sebagai memiliki realitas transenden. [2] Alam yang mengandung obyek semacam itu.
Berikut ini adalah lima macam racun yang setara/mirip dengan lima macam kebijaksanaan dalam hubungannya dengan para Buddha yang bersangkutan:
Racun | Kebijaksanaan | Buddha |
Nafsu (hasrat) | Kebijaksanaan individualitas | Amitabha |
Marah, kebencian | Kebijaksanaan bagai cermin | Akshobhya |
Delusi (kebodohan) | Kebijaksanaan realitas | Vairocana |
Keserakahan, kesombongan | Kebijaksanaan akan kesetaraan | Ratnasambhava |
Dengki (iri hati) | Kebijaksanaan keberhasilan semua pencapaian | Amoghasiddhi |
Sumber: Wikipedia – Vajra
Agama Buddha aliran Vajrayana punya berbagai macam peralatan ritual. Banyak gambaran para Buddha yang memegang sebuah atau dua buah, atau banyak peralatan ritual tersebut, bergantung pada banyaknya tangan yang ditampilkan oleh Buddha yang bersangkutan. Semua peralatan ritual tersebut mempunyai arti dan masing-masing digunakan untuk mengatasi pikiran kita yang sibuk lewat cara yang mampu mengantar kita menuju pemahaman akan Kebenaran Utama. Peralatan ritual yang dipegang di tangan kiri ada hubungannya dengan kebijaksanaan, realisasi kekosongan segala macam fenomena, sedangkan yang dipegang di tangan kanan berhubungan dengan cara-cara penyelamatan yang disesuaikan dengan jodoh karma si penerima atau si praktisi (upaya kausalya), atau welas asih.
Lonceng dan vajra dorje hanya merupakan salah satunya. Dorje, yang dipegang di tangan kanan, melambangkan upaya kausalya, dan lonceng di tangan kiri mewakili kebijaksanaan. Saat dipegang bersamaan, alat ritual ini melambangkan kebijaksanaan dan welas asih yang tak terpisahkan di dalam aliran pikiran yang telah tercerahkan. Bila dilihat secara terpisah, masing-masing alat tersebut merupakan harta spiritual yang luar biasa.
Dorje, dalam Bahasa Tibet, berarti Raja dari semua batu-batuan. Ia menyimbolkan kemampuannya untuk mengubah semua pengalaman menjadi pengalaman yang sarat akan perspektif pencerahan. Segala hal di dalam samsara, siklus kehidupan, sifatnya tidak abadi, dan oleh karenanya jangan bersandar kepadanya. Dorje juga melambangkan upaya kausalya untuk mengubah berbagai pengalaman kita yang biasa menjadi pengalaman yang menggerakkan/menarik kita ke dalam jalur spiritual. Dorje ini punya lima macam karakteristik yang luar biasa. Ia tidak bisa ditembus, tidak bergeming, tidak berubah, tidak bisa dipecah, dan tidak bisa rusak. Ia juga merupakan senjata para dewata angkara murka yang tak terhancurkan, dan menjadi simbol otoritas spiritual dari para dewata yang tampil dalam bentuk damai.
Vajra, dalam Bahasa Sansekerta, berarti ia yang keras atau kuat, seperti intan berlian. Kecemerlangannya menerangi (menghapus) kebodohan dan menampilkan Kebenaran, menghancurkan semua kebodohan yang menyebabkan penderitaan. Saat penyebab penderitaan telah nampak di hadapan kita, kita diberkati untuk menciptakan berbagai sebab kebahagiaan. Pada akhirnya kita akan mencapai kondisi tiada ego, yang bebas dari segala macam penderitaan. Dari sudut pandang Vajrayana, motivasi untuk mencapai kondisi ini adalah untuk mengentaskan penderitaan para insan.
Bentuk fisik dari dorje ini kaya akan makna. Di bagian pusatnya adalah bola yang melambangkan dharmata, bola kenyataan itu sendiri, yang merupakan kebenaran tertinggi. Yang mengitari bola di masing-masing sisi adalah satu atau tiga ‘untaian mutiara’, tergantung ukuran dorje tersebut. Mereka melambangkan tiga pintu pembebasan. Pintu yang pertama adalah konsentrasi transendental bahwa tidak ada apapun yang muncul, di mana semua perkataan dan konsep sudah tidak bisa digunakan dan di sana juga tidak ada yang bisa dipegang. Pintu kedua adalah konsentrasi transendental akan ketiadaan arah, di sini artinya kondisi ketenangan yang sempurna – stabilitas spiritual dan keseimbangan. Dan pintu yang ketiga adalah konsentrasi transendental akan kekosongan.
Di sebelah mutiara-mutiara tersebut adalah bunga teratai berkelopak delapan. Kelopak di salah satu sisi melambangkan Delapan Bodhisattva agung; sedangkan di sisi yang satunya lagi melambangkan pendamping Mereka. Di sebelahnya lagi adalah penampang lingkaran bulan yang merupakan tempat duduk para Bodhisattva sebagai simbol realisasi Bodhicitta sepenuhnya – Welas Asih yang Agung.
Setelah lingkaran bulan masih ada enam cincin lagi. Mereka melambangkan enam kesempurnaan (paramita): kemurahan hati, kelakuan moral, kesabaran, usaha yang penuh dengan sukacita, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Keberhasilan dari enam paramita ini merupakan fondasi dari Mahayana, Kendaraan Besar untuk pembelajaran dan praktek agama Buddha. Mereka adalah ciri khas dari jalur Bodhisattva. Saat si praktisi berhasil menyempurnakan enam paramita tersebut, maka ia baru dapat benar-benar memberi manfaat pada insan lain.
Di sebelah enam cincin adalah makara. Makara merupakan hewan gabungan (ikan berkepala gajah) dengan rahang yang berbentuk seperti buaya. Ia melambangkan usaha dan ketekunan dalam melatih Dharma.
Vajra sendiri bisa mempunyai sula satu, dua, tiga, empat, lima, enam, ataupun sembilan. Yang paling umum adalah yang bersula lima. Ia terlihat seperti titik-titik yang menonjol dari ujung-ujungnya yang melengkung, satu pada setiap lengkungan dan satunya lagi pada setiap ujungnya. Lima sula ini melambangkan lima Buddha dari lima keluarga Buddha beserta dengan pendamping mereka.
Mengenai lonceng – ia juga kaya akan makna dan kekuatan. Lonceng ini utamanya adalah mandala dari Prajnaparamita, Sang Bunda Agung – B eliau dari mana semua realitas muncul. Lewat suaranya, lonceng mampu mengundang atau menarik para dewata untuk hadir atau berpartisipasi dan memberi peringatan atau mengusir kekuatan-kekuatan negatif yang mengganggu. Dentingan lonceng mengingatkan kita akan sifat semua fenomena yang kosong atau membawa pikiran kita ke tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Sebagai instrumen musik, suaranya dapat dipersembahkan kepada para Buddha dan Bodhisattva.
Rongga lonceng melambangkan kekosongan dari mana semua fenomena muncul, termasuk suara dari lonceng tersebut, sedangkan gandel (anak genta) melambangkan bentuk. Bersamaan mereka melambangkan kebijaksanaan (kekosongan) dan welas asih (bentuk atau penampakan). Suara, seperti semua fenomena, muncul, menyebar dan akhirnya melebur kembali ke dalam kekosongan.
Kalau kita melihat lonceng dengan lebih dekat, kita akan melihat ada berbagai macam desain ukiran di sana. Setiap ukiran tersebut ada artinya. Di tepi lonceng adalah lingkaran ruang yang akan menghasilkan suara kekosongan. Pagar vajra, lingkaran perlindungan yang tak terhancurkan yang melingkari lonceng berbatasan dengan lingkaran mutiara-mutiara pada kedua ujungnya. Lingkaran sebelah bawah adalah lingkaran api kebijaksanaan – melambangkan lima kebijaksanaan primordial (asal). Lingkaran sebelah atas yang juga merupakan lingkaran perlindungan menyimbolkan perkembangan kondisi kesadaran yang lebih tinggi yang memampukan kita untuk memasuki istana surga Prajnaparamita. Sedangkan api di sana ada hubungannya dengan Manjushri – Sang Bodhisattva Kebijaksanaan, Vajra berhubungan dengan Vajrapani – Sang Bodhisattva yang mewakili Kekuatan Dharma, dan teratai dalam hubungannya dengan Chenrezig (Avalokiteshvara) – Bodhisattva Welas Asih. Ini semua menandakan bahwa kualitas-kualitas spiritual merupakan perlindungan yang sejati.
Di atas batas perlindungan adalah makara yang menyangga untaian liotin permata di mana di antara mereka terdapat vajra-vajra. Liontin permata ini menghiasi istana surga. Vajra-vajra di antara mereka melambangkan delapan tanah pekuburan di dalam mandala. Di atas untaian liontin permata dan antara makara adalah delapan kelopak teratai yang melambangkan delapan Bodhisattva. Pada masing-masing kelopak teratai terukir aksara yang mewakili delapan pendamping atau para dewi pembawa persembahan. Di atas kelopak teratai ini adalah dua baris untaian mutiara dengan sebaris untaian vajra di antaranya. Mereka melambangkan dinding sisi dalam dan lingkaran perlindungan bagian dalam dari mandala.
Batang dari lonceng berdiri tegak di atasnya. Bagian dasarnya adalah kelopak-kelopak teratai yang melambangkan tahta teratai Prajnaparamita. Pada bagian batang ada dua set lingkaran mutiara: bagian bawah dan bagian atas. Secara bersamaan mereka melambangkan enam paramita. Di antaranya bisa berbentuk sebuah persegi atau lingkaran. Kalau berbentuk persegi maka melambangkan bumi, sedangkan bila lingkaran berarti vas panjang umur. Vas panjang umur menyimbolkan nektar keberhasilan dan melambangkan tubuh dari Prajnaparamita yang berisi nektar. Di atas bagian ini adalah wajah dari Prajnaparamita sendiri. Prajnaparamita mewakili kesempurnaan (paramita) non-dualitas absolut dari semua kebijaksanaan Buddha atau kesadaran yang mampu membedakan (prajna). Ikatan rambut-Nya melambangkan semua pandangan diikat ke dalam realitas non-dual. Pada mahkota-Nya terdapat lima permata kebijaksanaan (yang terletak menumpuk di atas lima kelopak bagian depan dari alas teratai berkelopak delapan dari vajra bagian atas). Bagian paling atas dari lonceng ini sendiri bermahkotakan vajra bersula lima atau sembilan.
Dua peralatan ritual tersebut bisa menjadi bahan renungan dan meditasi kita. Mereka akan memperdalam pemahaman kita akan apa yang mereka wakili di sana. Saat kita menggunakan mereka dalam sadhana kita dengan pemahaman yang lebih mendalam maka potensi mereka yang sangat berharga akan muncul untuk membantu kita dalam menyusuri jalan Dharma. Saat kita telah mengenal berbagai Buddha beserta kualitas mereka dengan lebih baik, dan turut berpartisipasi dalam upacara ritual dan abhiseka pemberkatan, kita semakin mendekatkan diri dengan realisasi sifat sejati Buddha dalam diri kita sendiri, yang dengan sendirinya adalah inti dari semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar