Menjadikan Bumi ini Tanah Murni
Renungan Mendalam serta Tafsir Kontemporer terhadap
Ajaran Dharma Aliran Sukhavati
oleh: Ivan Taniputera, dipl. Ing.
PENDAHULUAN
Rekan-rekan Buddhis yang terkasih,
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas mengenai makna sejati ajaran Dharma aliran Sukhavati, mengingat suatu ajaran apabila tidak diterapkan secara cerdas dan trampil tidak akan berguna atau bahkan akan
membahayakan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh YA. Thich Nhat Hanh pada buku karangan Beliau berjudul “Keheningan Yang Menggelegar,” terbitan Mutiara Dhamma, Bali, 2003 halaman 32 – 33:
“Ketika kita mendengar cerita ini, kita mungkin berpikir betapa luar biasa bodohnya orang itu. Tetapi jika kita melihat lebih mendalam, kita bisa melihat
bahwa diri kita sendiri tidak jauh lebih baik. Karena kita kekurangan kecerdasan dan ketrampilan, kita belajar Dharma dan mendiskusikannya untuk kesenangan atau hanya pamer saja. Kita tidak cukup tekun untuk
membebaskan diri kita sendiri dari penderitaan yang paling mendalam. Kita tetap melekat pada kata-kata dan gagasan-gagasan, baik dalam belajar maupun praktik kita. Cara kita dalam menghitung nafas, praktek
meditasi cinta-kasih dan kasih-sayang, atau membaca mantra, juga bisa kurang cerdas dan trampil. Kita bisa terperangkap dalam bentuk-bentuk. Tidaklah mudah untuk membangkitkan pengertian.”
Demikianlah apabila kita tidak dapat memahami hakekat sejati dari suatu Dharma, maka kita akan terperangkap di dalamnya. Memang benar, tidaklah mudah untuk membangkitkan pengertian. Oleh karenanya untuk
memiliki pandangan yang benar tentang Ajaran Dharma Sukhavati perlulah kita merenungannya secara mendalam.
Namun masih ada hal yang perlu diingat, tafsiran ini bukanlah satu-satunya tafsiran yang benar mengenai Ajaran Sukhavati. Melainkan hanya salah satu usaha untuk memanfaatkan Ajaran Sukhavati guna memotivasi diri kita di dalam menciptakan suatu dunia yang lebih baik. Suatu dunia yang lebih layak untuk ditempati.
BAGIAN 1
Renungan Mengenai Keadaan Dunia
Banyak orang mengatakan bahwa dunia yang kita tinggali ini baik-baik saja, banyak pula dari mereka yang mengatakan bahwa dunia ini indah. Namun apakah benar demikian? Tentu saja untuk menjawabnya kita perlu melihat pada fakta. Ambillah surat kabar edisi terbaru. Apakah yang kita baca di dalamnya? Pasti kita akan mendapatkan berita mengenai perang yang sedang berkecamuk, kejahatan yang merajalela, dan lain sebagainya. Meskipun peristiwanya beraneka ragam, tetapi intisarinya hanya satu: selalu ada saja seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan
penderitaan bagi orang lainnya. Perang di Irak, Palestina, Aceh, dan lain sebagainya adalah contoh paling aktual atas aksi saling membunuh yang
berkecamuk di muka bumi ini. Tidak ada pembunuhan yang tidak menimbulkan penderitaan.
Tidak hanya itu saja, baru-baru ini di televisi dikisahkan mengenai upacara adat suku tertentu yang sungguh mengerikan. Upacara kematian tersebut sungguh mengerikan dan mengandung penyiksaan yang luar biasa
terhadap hewan. Pertama-tama seseorang mengayunkan parang ke leher seekor kerbau hingga menimbulkan luka yang cukup serius, dan bukan itu saja hewan malang tersebut kemudian diseret dengan menggunakan mobil
keliling kampung dalam kondisi hidup-hidup. Dalam keadaan sekarat tubuh hewan tersebut luka-luka terkena goresan kerikil, sehingga akhirnya mati kehabisan darah. Alasan bagi tindakan kejam itu adalah sang kerbau hendak dijadikan tunggangan bagi arwah orang meninggal tersebut. Tentu saja ini adalah pandangan salah. Memang tidak ada tindakan hukum yang dapat
diambil terhadap orang yang menyiksa dan membunuh hewan (setidaknya di Indonesia), namun Agama Buddha sebagai agama yang paling menghargai kehidupan memandang bahwa penyiksaan dan pembunuhan terhadap
hewan adalah sama buruknya dengan penyiksaan dan pembunuhan terhadap manusia. Kalau kita mempelajari lebih jauh, ternyata banyak pula suku-suku lain yang mewajibkan pengorbanan hewan-hewan di dalam ritual
mereka. Tentu saja bagi hewan-hewan itu sendiri, entah dengan alasan menjalankan tradisi atau bukan, pembunuhan adalah tetap pembunuhan dan tidak ada makhluk hidup yang tidak takut terhadap kematian. Sang
Buddha mengajarkan di dalam SAMYUTTA NIKAYA buku VIII, bahwa mengorbankan hewan-hewan tersebut serta melaksanakan upacara ritual tidaklah berharga seperenambelasnya sekalipun dari hati yang diliputi
cinta kasih. Demikianlah setiap hari ada banyak hewan yang harus menderita karena manusia.
Lubangnya lapisan ozon, kelaparan, wabah penyakit, bencana alam, dan lain sebagainya juga merupakan isi dari pemberitaan surat kabar sehari-hari. Manusia yang selama beberapa ratus tahun terakhir ini telah
mengeksploitasi alam, mengakibatkan “marah”nya alam. Alam berbalik “melawan” manusia. Baru-baru ini terjadi wabah penyakit SARS serta amukan topan di Korea Selatan. Kemiskinan dan kekurangan meraja lela di
mana-mana, terjadi kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Jurang ini semakin hari semakin bertambah lebar. Orang kaya dapat dengan bebas menghamburkan kekayaannya sementara orang miskin sibuk mengais
rejeki untuk mempertahankan hidup mereka sehari-hari. Kesenjangan sosial ini sebagai akibatnya terkadang dapat juga memicu kerusuhan.
Sebenarnya masih banyak hal-hal yang perlu diungkapkan, namun contoh-contoh di atas sudah cukup membuktikan bahwa dunia ini tidaklah “baik-baik saja.” Kita (sebagai seorang Umat Buddha) harus meyakini
bahwa dunia ini “sakit.” Dunia ini begitu buruk dan rusak. Tentu saja setelah menyadari sakitnya dunia ini, maka kita harus melakukan sesuatu untuk
merubahnya.
BAGIAN 2
Sumber Ajaran Tanah Murni (Sukhavati)
2.1 Sutra-Sutra Aliran Sukhavati
Aliran Tanah Murni atau Sukhavati menyandarkan ajarannya pada ketiga Sutra berikut ini:
Ketiga Sutra tersebut merupakan landasan bagi aliran Sukhavati dan disebut “Tiga Sutra Aliran Sukhavati.” Pada kesempatan kali ini kita akan membahas ajaran-ajaran sejati yang terdapat pada Sutra-Sutra
tersebut di atas.
2.2 Sukhavati dan Tanah Buddha
Sesungguhnya Aliran Mahayana mengenal banyak sekali apa yang dinamakan Tanah Buddha. Pembabaran mengenai apakah sebenarnya yang disebut Tanah Buddha memerlukan waktu yang tidak singkat. Oleh karenanya tidak akan kita bahas di sini. Pembahasan pada kesempatan kali
ini lebih ditujukan bagi penerapan Ajaran Buddha pada praktek hidup kita sehari-hari. Teori yang terlalu rumit tidak akan berguna apabila tidak dihidupkan pada keseharian hidup kita.
Hanya saja pada bagian ini kita akan menyebutkan beberapa contoh Tanah Buddha di dalam Aliran Mahayana:
Tanah Buddha Abhirati tempat Buddha Aksobhya, Tanah Buddha tempat Buddha Bhaisajyaguru, Tanah Buddha Sukhavati tempat Buddha Amitabha dan masih banyak yang lainnya. Lalu jika demikian, apakah bedanya Aliran
Sukhavati dengan aliran Mahayana lainnya? Berbeda dengan Aliran Mahayana lainnya Aliran Sukhavati hanya menekankan pada Tanah Buddha Sukhavati saja, sesuai dengan nama aliran tersebut. Meskipun demikian Aliran
Sukhavati tidaklah menyangkal keberadaan Tanah Buddha lainnya, melainkan mereka hanya menekankan pada satu Tanah Buddha saja.
BAGIAN 3
Ada suatu dunia yang jauh lebih baik dan ideal
Sang Buddha berusaha membangkitkan pengertian kita bahwa dunia ini tidaklah “baik-baik saja” dan kondisi dunia yang dilihat dan dialami para makhluk bukanlah sesuatu yang ideal. Hal ini dapat diumpamakan dengan
suatu negeri, di mana korupsi merajalela sehingga akhirnya dipandang sebagai suatu kewajaran. Demikian pula halnya dengan para makhluk yang karena telah
terbiasa dengan dunia yang diliputi samsara ini, memandangnya sebagai suatu kewajaran. Marilah kita tengok kutipan dari SUKHAVATI VYUHA SUTRA di bawah ini:
“Pada waktu itu Hyang Buddha bersabda kepada sesepuh Sariputra: “O, Sariputra! Berlalu dari sini melewati ratusan ribu Koti negeri-Buddha (Buddha-ksetra), di penjuru Barat terdapat sebuah alam (lokhadhatu) yang
bernama Sukhavati. Di dalam alam tersebut, seorang Tathagata, Arhat, Samyaksambuddha yang bernama Amitayus, kini sedang bermukim, berdiam, dan tinggal, serta membabarkan Dharma di sana. Kini bagaimana
pendapatmu, O, Sariputra? Apakah sebabnya alam itu disebut Sukhavati? Bagi makhluk-makhluk yang hidup di alam Sukhavati, O, Sariputra, tak ada penderitaan badani maupun batin. Di sana sumber-sumber kebahagiaan
tak terhitung banyaknya. Karena alasan itulah maka alam tersebut dinamakan Sukhavati.”
CATATAN: Secara etimologis, Sukhavati berarti Tanah Kebahagiaan.
Kita baru saja membaca kutipan ujaran Sang Buddha kepada Yang Arya Sariputra. Intisari ucapan Sang Buddha tersebut memberitahukan pada kita akan adanya suatu dunia yang terbebas dari penderitaan baik batin
maupun jasmani. Demikianlah seharusnya dunia ideal yang harus kita capai, suatu dunia yang tanpa penderitaan. Sang Buddha mengajarkan bahwa kondisi
semacam itu tidaklah mustahil untuk dicapai. Ada suatu dunia di luar sana yang berbeda dengan dunia yang kotor ini dan itu bukanlah hanya sekedar khayalan.
Banyak makhluk yang terlena dengan penderitaan itu sendiri, mereka malahan menganggap penderitaan sebagai kenikmatan, contohnya adalah orang yang menderita penyimpangan seksual, di mana mereka merasakan kenikmatan dengan siksaan. Sebagian besar umat manusia
juga demikian, mereka tidak lagi memiliki keinginan untuk lepas dari kondisi yang penuh penderitaan ini. Sang Buddha sekali lagi memberanikan kita untuk
membebaskan diri dari kondisi dunia yang buruk ini.
BAGIAN 4
Tekad Kuat untuk Mewujudkannya
Pribahasa Tiongkok menyatakan bahwa perjalanan 1000 li diawali dengan suatu langkah saja. Ada pelajaran yang dapat kita tarik dari pribahasa di atas. Proyek atau rencana sebesar apapun tidak akan terealisasi
tanpa diambilnya inisiatif untuk mengawalinya, dan awal tersebut nampaknya terkesan sebagai sesuatu yang remeh. Pembangunan rumah sebesar apapun tidak akan terealisasi tanpa peletakkan batu bata yang pertama.
Demikian pula halnya tindakan untuk keluar dan merubah kondisi dunia yang buruk ini tidak akan terealisasi tanpa langkah awal yang disebut dengan tekad. Marilah kita baca kembali kutipan dari SUKHAVATI VYUHA SUTRA:
“Selanjutnya O, Sariputra! Hendaknya setiap makhluk bertekad (untuk terlahir dalam) negeri-Buddha tersebut.”
Kutipan di atas mengajarkan mengenai kekuatan tekad. Intisari kutipan di atas adalah ajakan Sang Buddha untuk bertekad meninggalkan semua kondisi yang buruk ini.
BAGIAN 5
Memperkuat tekad
Agar tekad yang telah timbul tadi semakin kuat, perlu ada usaha untuk memelihara dan menjaganya. Hal tersebut dapat diumpamakan dengan api yang dijaga agar jangan padam. Bagaimana caranya? Caranya dengan
melakukan perenungan atas kebaikan-kebaikan yang di masa mendatang yang masih perlu kita wujudkan. Marilah kita baca kutipan dari AMITAYUR DHYANA SUTRA:
“Kini Aku – Hyang Tathagata – mengajar Vaidehi dan juga semua makhluk agar selanjutnya mereka dapat bermeditasi pada alam Sukhavati di penjuru Barat.”
Pada AMITAYUR DHYANA SUTRA, Sang Buddha mengajarkan Ratu Vaidehi mengenai meditasi terhadap Alam Sukhavati serta merenungkan satu persatu aspek kebajikan yang terkandung di dalamnya. Meditasi dan perenungan itu
harus dilakukan dengan pikiran teguh dan tak tergoyahkan. Pada bagian selanjutnya dari Sutra dapat kita baca:
“Engkau harus duduk dengan badan tegak, melihat ke arah Barat, dan mempersiapkan pikiranmu untuk mencapai meditasi (padanya) dengan teguh supaya memiliki persepsi tak-tergoyahkan melalui penerangan tunggal
(pikiranmu)...”
Sang Buddha masih di dalam Sutra yang sama menyebutkan bahwa Tanah Buddha Sukhavati tanahnya terbuat dari batu permata hijau muda yang sangat indah, tembus-pandang dan bersinar baik di dalam
maupun luarnya. Di sana juga terdapat pohon-pohon yang terbuat dari permata. Hal ini melambangkan bahwa di dalam Tanah Buddha Sukhavati semua tempat dan momen adalah berharga, di mana hal ini merupakan kebalikan dari keadaan dunia kita. Di dalam dunia kita ini setiap jengkal tanah adalah penderitaan. Setiap kita melangkah, usia kita bertambah tua dan makin dekat dengan kematian. Sang Buddha mengajarkan agar kita memiliki persepsi yang kuat atas betapa mulianya kondisi Tanah Buddha Sukhavati tersebut.
Praktek spiritual dari Aliran Sukhavati adalah dengan mengulangi Nama Buddha Amitabha, baik dengan cara duduk dan berjalan, serta pada tiap-tiap tarikan nafas. Hal ini dapat diartikan bahwa pada setiap saat, langkah, dan hembusan nafas, dunia ini adalah Sukhavati nan murni. Kita dapat mewujudkan dunia ini menjadi Sukhavati pada tiap saat, langkah, dan hembusan nafas.
BAGIAN 6
Kitalah yang Mewujudkan Dunia ini Menjadi Tanah Murni
Setelah menyadari betapa buruknya kondisi dunia ini serta bertekad untuk meninggalkannya, maka kita diajak untuk berperan aktif merubah dunia ini. Agar lebih jelas lagi ini saya akan memberikan analogi mengenai
sebuah departemen pada suatu perusahaan yang kinerja dan manejemennya buruk. Pertama-tama, harus disadari dahulu kinerja yang buruk tersebut, kedua seluruh anggota departemen tersebut harus bertekad untuk
merubah manajemennya tersebut, ketiga agar tekad tersebut bertambah kuat, masing-masing anggota departemen harus memiliki gambaran yang jelas seperti apakah kinerja dan manajemen yang baik tersebut.
Setelah itu langkah selanjutnya adalah mengetahui langkah-langkah untuk mewujudkannya.
Begitu pula halnya dengan Ajaran Dharma Tanah Murni. Pertama-tama kita harus menyadari bahwa diri kitalah yang harus berperan aktif mewujudkan dunia ini menjadi Tanah Murni. Diri kita sanggup untuk mewujudkan dunia ini menjadi Tanah Murni. Inilah yang harus kita camkan
baik-baik. Sang Buddha mengajarkan untuk menjadikan diri kita sebagai pulau perlindungan bagi diri kita sendiri. Praktek Dharma Tanah Murni tidak hanya puas dengan melafal Nama Buddha. Seorang yang lapar tidak
cukup hanya dengan mengucapkan, “Nasi goreng! Nasi goreng!” Ia harus melakukan suatu tindakan yang nyata. Apakah tindakan yang nyata tersebut?
Tindakan nyata tersebut dapat kita pelajari dari MAHA SUKHAVATI VYUHA SUTRA. Pada Sutra tersebut dapat kita baca ikrar-ikrar dari Bhikshu Dharmakara (yang merupakan Buddha Amitabha sendiri tatkala masih
menempuh Jalan Bodhisattva). Dalam ikrar-ikrar tersebut terkandung langkah-langkah nyata untuk mewujudkan dunia ini menjadi Sukhavati. Salah satu
dari ikrar tersebut berbunyi sebagai berikut:
“...jika dalam negeri Buddhaku itu terdapat neraka, kelahiran sebagai binatang, alam hantu kelaparan (preta), ataupun wujud Asura, maka biarlah aku tidak mencapai Anuttara Samyak-sambodhi.”
Neraka adalah tempat penderitaan. Sesungguhnya kita banyak melihat neraka di dunia ini, medan perang dan pejagalan adalah salah satu di antaranya. Lebih jauh lagi kita juga banyak melihat alam hantu kelaparan di
muka bumi ini. Banyak penderitaan yang disebabkan oleh nafsu keserakahan orang lain. Oleh sebab itu, intisari dari ikrar di atas adalah kita harus berperan aktif di dalam meringankan penderitaan tiap makhluk.
Tidak cukup hanya dengan berusaha seorang diri untuk meringankan penderitaan tiap makhluk, kita juga harus berusaha mendorong orang lain untuk melakukannya. Agar orang lain juga ikut tergerak untuk meringankan penderitaan para makhluk, kita harus menyebar-luaskan
penghargaan atas kehidupan. Kita harus meningkatkan kesadaran akan HAM (Hak Asazi Manusia) dan hak asazi para makhluk pada lingkungan sekitar kita.
Banyak orang yang hafal segudang teori Buddhis, misalnya mengenai hukum karma dan sebab akibat. Namun, mereka tidak berusaha menciptakan karma baik. Mereka hanya menggunakan teori-teori Dharma tersebut hanya untuk berdebat dan menyalahkan aliran lainnya. Sikap
ini tentu saja bukanlah mencerminkan seorang Buddhis sejati. Teori tidaklah cukup untuk sekedar menjadi teori saja, kitalah yang harus menjadikannya hidup di dalam keseharian kita. Demikianlah pula halnya, kita
harus menciptakan Tanah Murni tersebut dengan kedua belah tangan kita sendiri.
Marilah kini kita baca salah satu ikrar lainnya:
“O, Hyang Buddha, jika aku telah mencapai Anuttara Samyak-sambodhi, makhluk-makhluk yang berada di seluruh penjuru alam yang telah mengarahkan batin mereka kepada Anuttara Samyak-sambodhi, yang pernah
mendengar namaku, pada saat menjelang kematian mereka, aku yang telah dipuja oleh mereka tidak mendatangi mereka bersama sekumpulan para Bhiksu, supaya batin mereka tidak kacau,...”
Di sini kita mempelajari ikrar Bhikshu Dharmakara untuk selalu siap sedia menolong makhluk lainnya. Keegoisan telah menjadi penyakit kronis masyarakat
dunia ini. Ini yang menjadi salah satu penyebab makin merajalelanya penderitaan di dunia ini. Jika tiap orang sanggup melaksanakan ikrar agung di atas, maka kita akan dapat hidup saling tolong menolong satu sama
lainnya. Apabila ada seseorang yang membutuhkan pertolongan maka kita akan datang menolongnya, sebaliknya apabila kita membutuhkan pertolongan, maka orang lain akan datang menolong kita. Tidakkah ini indah?
MAHA SUKHAVATI VYUHA SUTRA mencatat ada 48 ikrar dari
Bhikshu Dharmakara. Para pembaca disarankan untuk membaca sendiri ke-48 ikrar tersebut satu persatu. Ke-48 ikrar tersebut dapat dianggap sebagai suatu “rencana kerja” di dalam merubah dunia ini menjadi Tanah Murni. Apabila tiap orang telah sanggup melaksanakannya maka dunia ini akan menjadi Tanah Murni.
BAGIAN 7
Avalokitesvara dan Mahasthamaprapta
AMITAYUR DHYANA SUTRA mengajarkan bahwa di Tanah Murni Sukhavati terdapat dua orang Bodhisattva, yakni Avalokitesvara dan Mahasthamaprapta. Kedua orang Bodhisattva ini dapat melambangkan sikap yang harus kita miliki di dalam mengembangkan Tanah Murni Sukhavati. Marilah kita pelajari, apakah yang dimaksud dengan kedua Bodhisattva di atas.
Secara etimologis Avalokitesvara berarti “Pengamat
Suara Dunia.” Yang dimaksud dengan “Suara Dunia” adalah jeritan dan ratapan penderitaan para makhluk. Ini melambangkan sikap kepedulian kita terhadap penderitaan makhluk lain. Kita harus menjadikan diri
kita Avalokitesvara-Avalokitesvara dunia. Salah satu perwujudan Avalokitesvara adalah “Avalokitesvara Bertangan Seribu dan Bermata Seribu” (Sahasra Bhuje Sahasra Netre Avalokitesvara Bodhisattva, Mandarin:
Qianshou Qianyan Guanshiyin Busa). Ini adalah perwujudan Avalokitesvara yang bertangan seribu, di mana pada tiap tangannya terdapat sebuah mata. Seribu tangan tersebut melambangkan kesanggupan untuk menolong dalam situasi dan kondisi apapun. Seribu mata melambangkan kepedulian dan kepekaan di dalam menolong semua makhluk. Banyak orang yang sesungguhnya memiliki tangan untuk menolong orang lain, namun mereka tidak
melakukannya. Banyak orang yang membutakan dirinya terhadap penderitaan orang lain. Ini merupakan salah satu penyebab, mengapa dunia ini tidak kunjung menjadi Tanah Murni. Avalokitesvara juga melambangkan cinta
kasih. Mahabhiksuni Cheng-yen, pendiri yayasan Tzu Chi, suatu yayasan sosial yang berusaha meringankan penderitaan para makhluk, juga terinsipirasi oleh Bodhisattva Avalokitesvara.
Mahasthamaprapta, berarti “Kekuatan Besar.” Kekuatan ini adalah kekuatan untuk membebaskan para makhluk dari penderitaan. Cinta kasih tanpa kekuatan adalah kelemahan. Kita harus memiliki keseimbangan antara
kasih dan kekuatan. Banyak orang yang sesungguhnya memiliki cinta kasih dan berhasrat untuk menolong makhluk lainnya, namun gagal dikarenakan tiadanya kekuatan. Namun sebaliknya banyak para tiran di muka bumi ini yang memiliki kekuatan, namun tidak memiliki cinta kasih. Demikianlah, dari sini kita seyogianya menyadari bahwa kekuatan dan cinta kasih adalah sesuatu yang saling melengkapi, dengan bersikapkan kedua hal itu kita akan mulai merubah dunia ini menjadi Tanah Murni.
BAGIAN 8
Memulai dari mana?
Apabila kita telah berikrar untuk merubah dunia ini dan telah pula mengetahui rencana untuk melakukannya, maka barangkali timbul pula pertanyaan dalam diri kita: Dari manakah akan memulai? Jawabnya sederhana
saja kita memulai dari yang dekat dengan diri kita. Hal ini jugalah yang dikatakan oleh Yang Mulia Ch’an Master Sheng-yen dalam bukunya “Complete
Enlightenment, Zen comments on the Sutra of Complete Enlightenment” hal 205:
“Di dalam menolong para makhluk sebagai contoh, adalah bijaksana untuk mengawalinya dengaan mereka yang berada di sekitar Anda, yakni keluarga, kawan, dan kenalan. Jika seseorang mengabaikan mereka yang dekat
dengannya, namun membicarakan mengenai menolong semua makhluk dan mengawalinya dengan semut dan ikan, maka ia telah berpandangan salah. Sutra-Sutra Buddhis mengatakan bahwa kita seharusnya menolong mereka yang berada dalam posisi sama dengan kita, dan bertolak dari hal tersebut kita memperluasnya hingga mencapai yang terbaik dari kesanggupan kita.”
Kita bisa juga mengawali dari lingkungan vihara kita. Kita bisa tanyakan pada diri kita, apakah semua yang hadir di vihara tersebut telah merasa, bahwa tempat tersebut Tanah Murni? Masih adakah kaum yang terpinggirkan di sana? Masih adakah kesenjangan sosial di dalamnya? Meskipun kita kaya, apakah bijaksana apabila kita memamerkan kekayaan kita di vihara? Ini
sangat penting mengingat vihara bukan hanya tempat ibadah, vihara adalah juga tempat sosial kemasyarakatan. Di dalam Tanah Murni tidak ada lagi
kesenjangan sosial, karenanya marilah kita wujudkan keadaan demikian di muka bumi ini, dimulai dari vihara kita sendiri. Jangan jadikan vihara sebagai kumpulan orang-orang buangan, jadikanlah ia kumpulan orang-orang berkualitas.
Demikian juga halnya dengan para Bhiksu, mereka juga seyogianya interpretasi diri, apakah mereka telah berpartisipasi aktif mengembangkan Tanah Murni atau malah mengembangkan Tanah Duit.
BAGIAN 9
Kesimpulan dan Penutup
Kita tidak perlu mengharapkan Tanah Murni setelah kematian kita. Justru kitalah yang perlu mewujudkannya di muka bumi ini dengan kedua belah tangan kita. Di dalam melafalkan Amitabha kita seyogianya mengembangkan kesadaran yang kuat, bahwa dalam tiap momen, hembusan nafas, dan langkah, kita bertekad untuk menjadikan dunia ini Tanah Murni.
Seorang praktisi Tanah Murni sejati adalah ia yang berperan aktif dalam merubah dunia ini, atau setidaknya berusaha meringankan penderitaan sesamanya. Berdana merupakan salah satu di antaranya. Saya lebih setuju berdana dilakukan sendiri-sendiri dan tidak secara kelompok untuk menghindarkan sikap pamer. Sudahkan Anda berdana hari ini?
Sebagai penutup marilah kita harapkan agar semua makhluk berbahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar