Sarira
Sumber: 10-3-2011 舍利子 Sarira
[Dulu sekali pernah hidup seorang wanita tua yang anak lelakinya rutin pergi ke India untuk berdagang. Ibu tua itu berkata kepada anaknya: Aku dengar Ia yang suci, Sang Buddha, berdiam di atas bumi ini. Jadi waktu kamu pergi ke India, tolong mintakan Beliau untuk memberkati sebuah benda untukku sehingga aku bisa menghormati dan menjapa mantra kepadanya.
Si anak sebegitunya sibuk dan benar-benar lupa akan permintaan ibunya. Ini terjadi berkali-kali meski si ibu selalu mengingatkannya.
Suatu kali waktu si anak kembali ke rumahnya, pas saat dia akan memasuki rumahnya dia tiba-tiba teringat akan pesan ibunya. Dalam keputusasaannya dia melihat sebuah ‘Gigi Anjing’, dia ambil lalu dibersihkan dan diletakkannya di dalam kantong yang terbuat dari kain sutera.
Dia berikan ‘gigi anjing’ itu kepada si ibu sambil mengatakan bahwa gigi tersebut adalah Gigi Buddha.
Si ibu dengan penuh hormat memuja ‘gigi anjing’ yang Suci tersebut, tiap hari membungkuk di hadapan ‘gigi’ tersebut tiga kali, menjapa mantra dan memberikan persembahan di altar. Namun hanya dengan membungkuk untuk memberi hormat, memberikan persembahan, dan menjapa mantra ternyata menghasilkan mujizat.
Dengan iman si ibu yang kuat, ‘gigi anjing’ itu dengan penuh keajaiban ‘melahirkan’ banyak sarira (relik). Mereka berwarna-warni dan menarik perhatian.
Ibu itu kemudian membagi-bagikannya kepada semua orang.
Saat ia meninggal dunia, tubuhnya juga menghasilkan banyak sarira dan banyak bola-bola sinar terang yang nampak.
Ternyata iman si ibu yang kuatlah yang menyentuh hati Buddha untuk memberkati ‘gigi anjing’ tersebut. Demikianlah ternyata ‘gigi anjing’ dan ‘gigi Buddha’ menghasilkan menghasilkan Kekuatan Dharma yang sama.]
- – - – - – - – - – -
Berikut ini dikutip dari Wikipedia:
Śarīra (शरीर) adalah istilah umum untuk “relik Buddha”, meski penggunaannya secara umum sering mengacu pada benda-benda yang mirip mutiara atau biji Kristal yang biasanya ditemukan di antara abu kremasi para guru spiritual agama Buddha. Sarira dipercaya mampu memancarkan atau memberikan ‘pemberkatan’ dan ‘kemuliaan’ (Bhs. Sansekerta: adhishthana) di dalam aliran pikiran dan pengalaman mereka yang terhubung dengannya. Dalam tradisi Himalaya, Sarira juga dianggap sebagai sebuah benda yang mampu menghalau kekuatan jahat.
Istilah sarira atau “sharira” (शरीर) berasal dari istilah Sansekerta. Pada awalnya ia berarti “tubuh”, namun saat digunakan dalam naskah-naskah Buddhis berbahasa Sansekerta, ia berubah artinya menjadi “relik”, dan selalu digunakan dalam bentuk jamak: śarīrāḥ. Istilah “ringsel” di sisi lain berasal dari Bahasa Tibet. Kedua istilah ini cukup ambigu pemakaiannya dalam Bahasa Inggris, umumnya digunakan sebagai sinonim, meski menurut beberapa interpretasi, ringsel adalah bagian dari sarira.
Sarira (舍利) dapat mengacu pada hal-hal berikut:
Benda-benda tersebut dianggap sebagai relik yang punya arti penting dalam berbagai ordo Buddhisme karena mereka dipercaya sebagai perwujudan pengetahuan spiritual, ajaran, realisasi atau inti kehidupan dari para guru spiritual. Mereka dianggap sebagai bukti dari pencerahan dan kesucian spiritual sang guru.
Beberapa percaya bahwa sarira sengaja ditinggalkan oleh kesadaran seorang guru untuk tujuan pemujaan/penghormatan, dan keindahan dari sarira tersebut bergantung pada seberapa baik sang guru yang bersangkutan telah melatih pikiran dan jiwanya. Mereka tampil dalam berbagai macam warna dan beberapa malah bahkan tembus pandang.
Sarira biasanya dipajang di dalam sebuah mangkok kaca dalam guci emas atau stupa, dan kemudian juga ada yang disimpan di dalam patung sang guru. Kepingan-kepingan sarira ini juga dipercaya dapat menggandakan diri secara misterius saat berada di dalam wadah penyimpanannya dengan kondisi yang menguntungkan/tepat.
Helai-helai saffron kadang juga dimasukkan ke dalam atau sekitar mangkok yang berisi kepingan-kepingan sarira sebagai bentuk persembahan.
Ada kepercayaan bahwa para individu, terlepas dari agama/kepercayaan yang mereka anut, akan dipenuhi dengan emosi sukacita, cinta, damai, inspirasi, atau bahkan transformasi spiritual saat ringsel hadir di dekat mereka.
Sudah banyak testimoni mengenai penyembuhan dan penampakan dengan melihat relik-relik tersebut . [memerlukan rujukan]
Di dalam Samguk Yusa diceritakan bahwa bhiksu Myojong mendapatkan sebuah sarira dari seekor kura-kura yang menyebabkan orang-orang memperlakukan si bhiksu dengan lebih baik setelahnya.
Pemunculan sarira ini tidak terbatas hanya pada jaman kuno saja, dan banyak para pemeluk agama Buddha yang menunjukkan bahwa sarira tidak terbatas pada manusia atau para guru spiritual saja. Kremasi Tong Xian (通显法师) di bulan Maret 1991 menunjukkan munculnya 11.000 sarira. Banyak naskah agama Buddha aliran Tanah Suci yang juga menyebutkan munculnya sarira dari para penganutnya dan beberapa dari mereka terjadi baru-baru ini. Burung nuri dan anjing juga dilaporkan meninggalkan sarira setelah mereka dikremasi.
Beberapa orang Buddhis menghubungkan kehidupan spiritual para murid dengan kondisi dan banyaknya sarira yang akan mereka tinggalkan setelah kremasi.
Banyak para penganut agama Buddha aliran Tanah Suci yang percaya bahwa kekuatan Buddha Amitabha memanifestasikan sisa-sisa kremasi menjadi sarira. Banyak juga yang mengklaim bahwa mutiara-mutiara sarira turun menghujani pada saat pengebumian para bhiksu terkemuka.
Tapi ada juga laporan yang mengatakan bahwa sarira dapat muncul, menggandakan diri atau menghilang, tergantung pada pikiran si penyimpannya.
Sumpah seseorang juga menjadi faktor penting di sini. Legenda menceritakan bahwa Kumārajīva, sang penerjemah, ingin menunjukkan bahwa karya-karya terjemahannya bukanlah dusta; sebagai hasilnya lidahnya tetap utuh.
- – - – -
Haha! Ada banyak mitos atau cerita tentang SARIRA.
Saya ingin menyarankan agar kita semua tidak sebegitunya mendamba untuk memilikinya tanpa memperhatikan biaya dan caranya.
Saya percaya bahwa mereka akan diberikan kepada orang-orang yang berjodoh atau yang akan menggunakannya untuk memberi manfaat pada semua insan.
Si ibu pada kisah yang diceritakan oleh Mahaguru Lu di atas, membagikan sarira yang muncul dari hasil penggandaan sarira yang telah ada sebelumnya.
Saya lihat ada beberapa orang yang mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk membeli sarira. Ternyata memiliki sarira tersebut juga tidak bisa menolong mereka juga.
Banyak dari mereka yang masih memancarkan aura gelap, mereka jatuh sakit atau malah mengalami gagal organ.
Otentik ataupun tidak, sarira seharusnya dibagikan.
Ada seseorang yang memberi saya sebuah tabung penuh berisi sarira. Ia bilang kalau sarira-sarira tersebut berasal dari Arahat. Saat saya membagikannya, ada beberapa orang yang kurang senang dengan hal tersebut karena mereka pikir bahwa sarira tersebut bukan berasal dari Buddha. Haha!
Lalu memangnya ada masalah?
Saya senang karena ada orang yang cukup Sadar untuk memasukkan Disclaimer (seperti Peraturan & Persetujuan) seperti ini:
[Relik Istana Naga ini tidak akan membuat si pemiliknya mendapatkan kekuatan sihir atau untuk digunakan sebagai senjata untuk pamer kekuatan spiritual. Relik ini tidak akan mempercepat pencerahan spiritual tanpa disertai ketekunan dalam melatih diri. Bagi mereka yang sekarang memiliki relik atau ingin membelinya untuk tujuan-tujuan di atas, mohon tinggalkan konsep yang salah tersebut. Jangan sampai disesatkan oleh keserakahan, amarah kebencian dan kebodohan.]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Saya mendapatkan umpan balik dari para penjual Sarira. Secara umum mereka kurang senang dengan artikel yang saya posting-kan tanggal 3 April 2012 kemarin: Sarira & Keserakahan [1].
Mereka mengklaim bahwa artikel saya mempengaruhi bisnis mereka!
Mahaguru Lu berkata bahwa kita di dalam Ordo Satya Buddha harus jujur dalam berbisnis.
Dalam kasus di atas, jika Promosi (Trik) Penjualan mereka adalah dengan mengatakan bahwa yang mereka jual adalah Sarira dari para Arahat, Bodhisattva dan Buddha yang punya “kekuatan” untuk memperlancar kehidupan Anda, mengabulkan atau memuaskan semua keinginan dan nafsu Anda tanpa pandang bulu; maka mereka hanya sedang memberitahu Anda apa yang ingin Anda dengar berhubung Anda sudah punya prasangka awal mengenai “kekuatan” yang akan dihasilkan.
Sekarang Sarira Istana Naga ini katanya ditinggalkan (dihasilkan) oleh mereka yang telah mencapai tingkat Arahat.
Tingkat tertnggi untuk para pelatih diri dari jalan Hinayana adalah Arahat, masih di bawah Bodhisattva dan Buddha.
Buddha Shakyamuni mendorong para murid-Nya yang telah melatih diri hingga mencapai tingkat Arahat untuk kemudian melatih Bodhicitta sehingga dapat mencapai tingkat Bodhisattva dan Buddha.
Guru juga menjelaskan mengenai hal tersebut pada ceramah-ceramah Dharma -Nya. Beliau berkata bahwa Buddha mendepak Arahat kembali ke alam samsara untuk melatih Bodhicitta.
Saya telah mengamati ada beberapa teman lhama yang juga mempunyai dahi yang menonjol dan tulang kepalanya seperti terbagi dua di bagian tengah, memisahkan bagian depan dan belakang.
Ini sungguh merupakan perubahan formasi tulang yang sangat unik untuk mereka yang telah melatih hingga ke tingkat Arahat.
Ingatlah selalu bahwa Arahat masih perlu melatih Bodhicitta!
Seperti yang dikatakan oleh Guru dalam ceramah dharma-Nya kemarin, Bodhicitta adalah unsur yang penting untuk mencapai Kebuddhaan.
Siapa saja tentunya bebas untuk membeli apa saja yang diinginkannya.
Namun yang ingin saya beritahukan kepada semua teman pelatih diri adalah supaya lebih bijaksana dan mempelajari kebenaran suatu hal terlebih dulu sebelum memutuskan apakah kalian membutuhkan benda-benda duniawi untuk kemajuan pelatihan diri kalian.
Memangnya Shakyamuni juga mempunyainya?
Hahaha!
[Dulu sekali pernah hidup seorang wanita tua yang anak lelakinya rutin pergi ke India untuk berdagang. Ibu tua itu berkata kepada anaknya: Aku dengar Ia yang suci, Sang Buddha, berdiam di atas bumi ini. Jadi waktu kamu pergi ke India, tolong mintakan Beliau untuk memberkati sebuah benda untukku sehingga aku bisa menghormati dan menjapa mantra kepadanya.
Si anak sebegitunya sibuk dan benar-benar lupa akan permintaan ibunya. Ini terjadi berkali-kali meski si ibu selalu mengingatkannya.
Suatu kali waktu si anak kembali ke rumahnya, pas saat dia akan memasuki rumahnya dia tiba-tiba teringat akan pesan ibunya. Dalam keputusasaannya dia melihat sebuah ‘Gigi Anjing’, dia ambil lalu dibersihkan dan diletakkannya di dalam kantong yang terbuat dari kain sutera.
Dia berikan ‘gigi anjing’ itu kepada si ibu sambil mengatakan bahwa gigi tersebut adalah Gigi Buddha.
Si ibu dengan penuh hormat memuja ‘gigi anjing’ yang Suci tersebut, tiap hari membungkuk di hadapan ‘gigi’ tersebut tiga kali, menjapa mantra dan memberikan persembahan di altar. Namun hanya dengan membungkuk untuk memberi hormat, memberikan persembahan, dan menjapa mantra ternyata menghasilkan mujizat.
Dengan iman si ibu yang kuat, ‘gigi anjing’ itu dengan penuh keajaiban ‘melahirkan’ banyak sarira (relik). Mereka berwarna-warni dan menarik perhatian.
Ibu itu kemudian membagi-bagikannya kepada semua orang.
Saat ia meninggal dunia, tubuhnya juga menghasilkan banyak sarira dan banyak bola-bola sinar terang yang nampak.
Ternyata iman si ibu yang kuatlah yang menyentuh hati Buddha untuk memberkati ‘gigi anjing’ tersebut. Demikianlah ternyata ‘gigi anjing’ dan ‘gigi Buddha’ menghasilkan menghasilkan Kekuatan Dharma yang sama.]
- – - – - – - – - – -
Berikut ini dikutip dari Wikipedia:
Śarīra (शरीर) adalah istilah umum untuk “relik Buddha”, meski penggunaannya secara umum sering mengacu pada benda-benda yang mirip mutiara atau biji Kristal yang biasanya ditemukan di antara abu kremasi para guru spiritual agama Buddha. Sarira dipercaya mampu memancarkan atau memberikan ‘pemberkatan’ dan ‘kemuliaan’ (Bhs. Sansekerta: adhishthana) di dalam aliran pikiran dan pengalaman mereka yang terhubung dengannya. Dalam tradisi Himalaya, Sarira juga dianggap sebagai sebuah benda yang mampu menghalau kekuatan jahat.
Istilah sarira atau “sharira” (शरीर) berasal dari istilah Sansekerta. Pada awalnya ia berarti “tubuh”, namun saat digunakan dalam naskah-naskah Buddhis berbahasa Sansekerta, ia berubah artinya menjadi “relik”, dan selalu digunakan dalam bentuk jamak: śarīrāḥ. Istilah “ringsel” di sisi lain berasal dari Bahasa Tibet. Kedua istilah ini cukup ambigu pemakaiannya dalam Bahasa Inggris, umumnya digunakan sebagai sinonim, meski menurut beberapa interpretasi, ringsel adalah bagian dari sarira.
Sarira (舍利) dapat mengacu pada hal-hal berikut:
- Sarira tubuh Dharma, atau dikenal sebagai sutra yang diucapkan oleh Buddha. Menurut Kamus Din Fu Bao mengenai Istilah-istilah Buddhis, sarira tubuh Dharma adalah “Sutra yang diceriterakan oleh Buddha: Yang tidak pernah berubah dalam apa yang dikatakan oleh Buddha, adalah sama halnya dengan inti dari Sang Buddha sendiri, oleh karenanya dinamakan sebagai “sarira tubuh dharma”.
- Sarira badan dan seluruh tubuh, adalah sisa-sisa hasil kremasi dari tubuh Sang Buddha (atau para guru spiritual lainnya), tapi juga dapat mengacu pada sisa-sisa (contoh: jari), atau tubuh yang diawetkan, mirip dengan tubuh santo/santa agama Katolik Roma yang tidak membusuk. Sarira seluruh tubuh ini mengacu pada sisa-sisa tubuh para guru spiritual yang diawetkan.
- Sarira pecahan tubuh khususnya mengacu pada sisa-sisa hasil kremasi.
- Sarira atau Ringsel, saat istilahnya digunakan tanpa mengkualifikasikan, ia umumnya mengacu pada bagian-bagian kecil yang berbentuk seperti mutiara dari tubuh seorang guru spiritual yang telah dikremasi.
Sarira yang seperti mutiara
Meski istilah sarira dapat digunakan untuk mengacu pada berbagai macam jenis relik Buddhis, seperti yang dijelaskan di atas, ia umumnya digunakan untuk mengacu pada benda yang berbentuk seperti manik-manik yang menyerupai kristal yang konon ditemukan di antara abu kremasi para guru spiritual Buddhis.Benda-benda tersebut dianggap sebagai relik yang punya arti penting dalam berbagai ordo Buddhisme karena mereka dipercaya sebagai perwujudan pengetahuan spiritual, ajaran, realisasi atau inti kehidupan dari para guru spiritual. Mereka dianggap sebagai bukti dari pencerahan dan kesucian spiritual sang guru.
Beberapa percaya bahwa sarira sengaja ditinggalkan oleh kesadaran seorang guru untuk tujuan pemujaan/penghormatan, dan keindahan dari sarira tersebut bergantung pada seberapa baik sang guru yang bersangkutan telah melatih pikiran dan jiwanya. Mereka tampil dalam berbagai macam warna dan beberapa malah bahkan tembus pandang.
Sarira biasanya dipajang di dalam sebuah mangkok kaca dalam guci emas atau stupa, dan kemudian juga ada yang disimpan di dalam patung sang guru. Kepingan-kepingan sarira ini juga dipercaya dapat menggandakan diri secara misterius saat berada di dalam wadah penyimpanannya dengan kondisi yang menguntungkan/tepat.
Helai-helai saffron kadang juga dimasukkan ke dalam atau sekitar mangkok yang berisi kepingan-kepingan sarira sebagai bentuk persembahan.
Ada kepercayaan bahwa para individu, terlepas dari agama/kepercayaan yang mereka anut, akan dipenuhi dengan emosi sukacita, cinta, damai, inspirasi, atau bahkan transformasi spiritual saat ringsel hadir di dekat mereka.
Sudah banyak testimoni mengenai penyembuhan dan penampakan dengan melihat relik-relik tersebut . [memerlukan rujukan]
Di dalam Samguk Yusa diceritakan bahwa bhiksu Myojong mendapatkan sebuah sarira dari seekor kura-kura yang menyebabkan orang-orang memperlakukan si bhiksu dengan lebih baik setelahnya.
Pemunculan sarira ini tidak terbatas hanya pada jaman kuno saja, dan banyak para pemeluk agama Buddha yang menunjukkan bahwa sarira tidak terbatas pada manusia atau para guru spiritual saja. Kremasi Tong Xian (通显法师) di bulan Maret 1991 menunjukkan munculnya 11.000 sarira. Banyak naskah agama Buddha aliran Tanah Suci yang juga menyebutkan munculnya sarira dari para penganutnya dan beberapa dari mereka terjadi baru-baru ini. Burung nuri dan anjing juga dilaporkan meninggalkan sarira setelah mereka dikremasi.
Beberapa orang Buddhis menghubungkan kehidupan spiritual para murid dengan kondisi dan banyaknya sarira yang akan mereka tinggalkan setelah kremasi.
Banyak para penganut agama Buddha aliran Tanah Suci yang percaya bahwa kekuatan Buddha Amitabha memanifestasikan sisa-sisa kremasi menjadi sarira. Banyak juga yang mengklaim bahwa mutiara-mutiara sarira turun menghujani pada saat pengebumian para bhiksu terkemuka.
Tapi ada juga laporan yang mengatakan bahwa sarira dapat muncul, menggandakan diri atau menghilang, tergantung pada pikiran si penyimpannya.
Sumpah seseorang juga menjadi faktor penting di sini. Legenda menceritakan bahwa Kumārajīva, sang penerjemah, ingin menunjukkan bahwa karya-karya terjemahannya bukanlah dusta; sebagai hasilnya lidahnya tetap utuh.
- – - – -
Haha! Ada banyak mitos atau cerita tentang SARIRA.
Saya ingin menyarankan agar kita semua tidak sebegitunya mendamba untuk memilikinya tanpa memperhatikan biaya dan caranya.
Saya percaya bahwa mereka akan diberikan kepada orang-orang yang berjodoh atau yang akan menggunakannya untuk memberi manfaat pada semua insan.
Si ibu pada kisah yang diceritakan oleh Mahaguru Lu di atas, membagikan sarira yang muncul dari hasil penggandaan sarira yang telah ada sebelumnya.
Saya lihat ada beberapa orang yang mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk membeli sarira. Ternyata memiliki sarira tersebut juga tidak bisa menolong mereka juga.
Banyak dari mereka yang masih memancarkan aura gelap, mereka jatuh sakit atau malah mengalami gagal organ.
Otentik ataupun tidak, sarira seharusnya dibagikan.
Ada seseorang yang memberi saya sebuah tabung penuh berisi sarira. Ia bilang kalau sarira-sarira tersebut berasal dari Arahat. Saat saya membagikannya, ada beberapa orang yang kurang senang dengan hal tersebut karena mereka pikir bahwa sarira tersebut bukan berasal dari Buddha. Haha!
Lalu memangnya ada masalah?
Saya senang karena ada orang yang cukup Sadar untuk memasukkan Disclaimer (seperti Peraturan & Persetujuan) seperti ini:
[Relik Istana Naga ini tidak akan membuat si pemiliknya mendapatkan kekuatan sihir atau untuk digunakan sebagai senjata untuk pamer kekuatan spiritual. Relik ini tidak akan mempercepat pencerahan spiritual tanpa disertai ketekunan dalam melatih diri. Bagi mereka yang sekarang memiliki relik atau ingin membelinya untuk tujuan-tujuan di atas, mohon tinggalkan konsep yang salah tersebut. Jangan sampai disesatkan oleh keserakahan, amarah kebencian dan kebodohan.]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Saya mendapatkan umpan balik dari para penjual Sarira. Secara umum mereka kurang senang dengan artikel yang saya posting-kan tanggal 3 April 2012 kemarin: Sarira & Keserakahan [1].
Mereka mengklaim bahwa artikel saya mempengaruhi bisnis mereka!
Mahaguru Lu berkata bahwa kita di dalam Ordo Satya Buddha harus jujur dalam berbisnis.
Dalam kasus di atas, jika Promosi (Trik) Penjualan mereka adalah dengan mengatakan bahwa yang mereka jual adalah Sarira dari para Arahat, Bodhisattva dan Buddha yang punya “kekuatan” untuk memperlancar kehidupan Anda, mengabulkan atau memuaskan semua keinginan dan nafsu Anda tanpa pandang bulu; maka mereka hanya sedang memberitahu Anda apa yang ingin Anda dengar berhubung Anda sudah punya prasangka awal mengenai “kekuatan” yang akan dihasilkan.
Sekarang Sarira Istana Naga ini katanya ditinggalkan (dihasilkan) oleh mereka yang telah mencapai tingkat Arahat.
Tingkat tertnggi untuk para pelatih diri dari jalan Hinayana adalah Arahat, masih di bawah Bodhisattva dan Buddha.
Buddha Shakyamuni mendorong para murid-Nya yang telah melatih diri hingga mencapai tingkat Arahat untuk kemudian melatih Bodhicitta sehingga dapat mencapai tingkat Bodhisattva dan Buddha.
Guru juga menjelaskan mengenai hal tersebut pada ceramah-ceramah Dharma -Nya. Beliau berkata bahwa Buddha mendepak Arahat kembali ke alam samsara untuk melatih Bodhicitta.
Saya telah mengamati ada beberapa teman lhama yang juga mempunyai dahi yang menonjol dan tulang kepalanya seperti terbagi dua di bagian tengah, memisahkan bagian depan dan belakang.
Ini sungguh merupakan perubahan formasi tulang yang sangat unik untuk mereka yang telah melatih hingga ke tingkat Arahat.
Ingatlah selalu bahwa Arahat masih perlu melatih Bodhicitta!
Seperti yang dikatakan oleh Guru dalam ceramah dharma-Nya kemarin, Bodhicitta adalah unsur yang penting untuk mencapai Kebuddhaan.
Siapa saja tentunya bebas untuk membeli apa saja yang diinginkannya.
Namun yang ingin saya beritahukan kepada semua teman pelatih diri adalah supaya lebih bijaksana dan mempelajari kebenaran suatu hal terlebih dulu sebelum memutuskan apakah kalian membutuhkan benda-benda duniawi untuk kemajuan pelatihan diri kalian.
Memangnya Shakyamuni juga mempunyainya?
Hahaha!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar