Namo Ratnatrayaya,
Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam kitab-kitab Jataka, baik dari Theravada, Mahayana maupun tradisi-tradisi lainnya hampir selalu kita menemukan bahwa Sang Bodhisattva Gotama dalam kelahiran lampaunya selalu terlahir menjadi seorang pria.
Dalam naskah Buddhavamsa disebutkan syarat seorang Bodhisatta adalah seorang laki-laki.
Dia memahami: “Adalah tidak mungkin, adalah tidak bisa terjadi bahwa seorang perempuan dapat menjadi orang yang Terampil, Yang Sepenuhnya Tercerahkan (Sammasambuddha) – tidak ada kemungkinan seperti itu”
(Bahudhatuka Sutta, Majjhima Nikaya 115)
Selain itu Bahudhatuka Sutta juga menyebutkan ketidakmungkinan seorang perempuan menjadi Brahma, Sakka, Mara dan Cakkavati.
Aliran Mahisasaka mengatakan, “Wanita tidak bisa mencapai lima kemampuan supernatural, ia tidak dapat terlahir kembali sebagai seorang Tathagata (seorang Buddha) yang tidak memiliki kemelekatan dan telah mencapai pencerahan sempurna. Ia tidak dapat terlahir kembali sebagai Dewa Sakka, Mara, Brahma atau sebagai Raja Cakkavati. Tetapi, pria dapat terlahir kembali sebagai seorang Tathagata yang tidak memiliki kemelekatan dan telah mencapai pencerahan sempurna. Pria juga dapat terlahir kembali sebagai Raja Cakkavati Dewa Sakka, Brahma atau sebagai Mara.”
Mahavastu juga menyebutkan bahwa perempuan tidak dapat menjadi Bodhisattva. Tapi ini mungkin merujuk pada kelahiran terkahir Sang Bodhisattva [misal: Pangeran Siddharta]. Jadi masih ada kemungkinan di kelahiran-kelahiran sebelumnya, Bodhisattva terlahir sebagai perempuan.
Kelahiran Bodhisattva Gotama sebagai Perempuan
Namun apakah kita tahu, menurut Mahayana, bahwa sedikit kali [bahkan bisa kita hitung menggunakan jari-jari dalam satu tangan saja], Bodhisattva Gotama pernah menjadi seorang perempuan?
Dalam koleksi Jataka Tiongkok, Sang Bodhisattva Gotama dikisahkan pernah beberapa kali terlahir sebagai perempuan, yaitu dua kali menjadi seorang wanita dan 1 kali menjadi seekor induk angsa.
Di sini akan dikutip kisah dari 2 kelahiran lampau Bodhisattva Gotama dalam wujud seorang perempuan, yang pertama adalah:
Berdasarkan Sutra tentang yang Bijak dan yang Dungu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa dari bahasa Sansekerta oleh Huichyeh pada tahun 445 M:
"Raja itu memiliki seorang putri bernama Putri Cerdas, ia melihat bhiksu itu sibuk mengunjungi kota setiap hari, mengirim seorang pria untuk bertanya alasan untuk hal ini. Bhiksu ini memberitahu pria itu: 'Saya telah membuat sumpah untuk mempersembahkan sebuah pelita kepada Buddha dan Sangha selama tiga bulan. Saya pergi ke kota untuk meminta minyak dan barang-barang kebutuhan.' Ketika pria itu melaporkan hal ini kepada putri, dia senang dan memberitahu bhiksu itu: 'Jangan pergi ke kota lagi untuk meminta minyak dan barang-barang kebutuhan. Saya akan memberikan semua kebutuhan kepadamu.' Bhiksu itu menjawab: 'Baiklah,' dan pergi.
"Kemudian putri itu mengirim pelita minyak dan barang-barang kebutuhan kepada bhiksu itu setiap hari dan bhiksu Arya Upasika mempersembahkan pelitanya kepada Buddha. Kemudian dia memperoleh pikiran awal welas asih, Buddha membuat ramalan: 'Oh bhiksu, di masa yang akan datang, ketika berkalpa-kalpa tak terhitung telah telewati, engkau akan menjadi Buddha Dipankara dianugrahi dengan 32 tanda.' Ketika putri ini mendengar ramalan ini, dia berpikir: 'Tetapi sayalah yang mempersiapkan minyak dan barang-barang kebutuhan. Mengapa dia yang memperoleh ramalan itu dan saya tidak?' Pergi menghadap Buddha, dia bertanya kepadaNya mengenai hal ini. Buddha kemudian memberinya ramalan berikut ini: 'Putri Cerdas, di waktu yang akan datang, ketika 91 kalpa telah terlewati, engkau akan menjadi Buddha Sakyamuni dan dianugrahi dengan 32 tanda.' Putri ini bersuka cita, bersujud di atas kaki Buddha, dan memohon untuk bergabung dengan Perkumpulan. Buddha setuju mentahbiskannya dan dia kemudian menghindari pembunuhan, dan berusaha gigih mempraktikkan dhamma.
Buddha kemudian berkata: "Ananda, pada saat itu Buddha Dipankara adalah bhiksu Arya Upasika. Saya adalah putri itu. Karena di waktu lampau saya mempersembahkan sebuah lampu, melalui kalpa yang tak terhitung saya memperoleh kebajikan di alam para dewa dan manusia. Saya dilahirkan lebih tampan dari yang lainnya, dan sekarang saya menjadi seorang Buddha Sempurna yang kepadaNya banyak pelita dipersembahkan." Ketika Buddha telah berkata demikian Yang Mulia Ananda dan seluruh kumpulan bermudita dalam kata-kata Bhagava dan percaya.
(Sutra Yang Bijak dan Yang Dungu –mDzangs blun zhe bya bai mdo – Xianyu Jing賢愚経, abad 5 M)
Divyavadana (abad 3 M) dan Bodhisattva-Avadanakalpalata (abad 11 M) tulisan Ksemendra dari Kashmir menulis kisah kelahiran Sang Bodhisattva Gotama sebagai seorang wanita yang baik hati bernama Rukmavati / Rupavati.
Rukmavati adalah perempuan yang memberikan buah dadanya [payudara] kepada seorang perempuan yang kelaparan dan anaknya. Dulu sekali, perempuan bernama Rukmavati hidup di kota Utpalavati. Ia terkenal oleh karena kebaikan hatinya dan kedermawanannya pada semua makhluk. Suatu hari, ketika ia berada di suatu tempat meditasi di hutan, ia mendatangi seorang perempuan yang baru saja melahirkan dan terlihat kelaparan. Ibu baru tersebut sangatlah lapar sehingga hampir saja ia memakan anaknya sendiri. Hati Putri Rukmavati iba melihatnya. Rukmavati tahu apabila ia meninggalkan ibu itu sendiri dan menmcari makanan untuk ibu tersebut, maka ibu itu akan memakan anaknya sendiri sebelum dirinya kembali. Rukmavati juga tahu bahwa apabila ia membawa bayi tersebut ke rumahnya untuk diberi makan, ibunya akan meninggal. Lalu dengan tiba-tiba ia memutuskan untuk memberikan kedua payudaranya pada sang ibu untuk menyelamatkan keduanya, baik sang anak maupun sang ibu. Rukmavati tidak menyesal pun tidak ragu menyerahkan tubuhnya dan kedermawanannya diagungkan di seluruh dunia. Putri Rukmavati kemudian berkata jika ia berkata kebenaran, jika ia dengan sungguh-sungguh tidak memiliki rasa penyesalan atau tertekan oleh karena tubuhnya didanakan, maka semoga tubuhnya berubah menjadi seorang pria.
Segera tubuh Rukmavati berubah menjadi seorang pria, duduk bergabung di kelompok menteri di kerajaan Utpalavati. Raja Utpalavati baru saja meninggal dan para menteri di kota memutuskan bahwa Rukmavatilah yang paling cocok untuk memimpin kota. Perempuan yang welas asih tersebut telah berubah menjadi laki-laki dan diangkat menjadi seorang raja, menguasai kerajaan lama sekali. Setelah Rukmavati meninggal, ia terlahir kembali sebagai anak seorang pedagang bernama Sattvavara.
(Avadanakalpalata)
Selain itu, pada abad ke-18 muncul Itikumara Jataka, yang juga mengisahkan kelahiran Bodhisattva Gotama sebagai seorang perempuan.
Sungguh langka, Sang Bodhisattva Gotama terlahir menjadi seorang perempuan. Bahkan setelah menjadi perempuan, seorang Bodhisattva harus kembali lagi lahir menjadi seorang pria untuk menjadi seorang Samyaksambuddha.
Pencapaian Samyaksambuddha bagi Perempuan dalam Mahayana
Dalam paham Mahayana, bukan tidak mungkin seorang perempuan menjadi Bodhisattva. Tapi mereka harus menjadi pria terlebih dahulu.
“Aku juga memanifestasikan diriku di Jambudvipa sebagai seorang Buddha perempuan. Orang-orang melihat ini dan berkata bahwa mengherankan seorang perempuan dapat mencapai Anuttara Samyaksambodhi. Sang Tathagata, sebenarnya, tidak pernah menjadi seorang perempuan. Dengan tujuan untuk mengajar banyak orang, Aku berwujud sebagai seorang perempuan.”
(Mahayana Mahaparinirvana Sutra)
Sang Tathagata berkata bahwa Buddha dalam wujud perempuan itu ada. Namun sebenarnya Ia tidak pernah menjadi seorang perempuan. Tathagata menjadi perempuan hanya oleh karena upaya kausalyanya.
“Ia [Tathagata] menjadi seorang lelaki, perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan.”
(Mahayana Mahaparinirvana Sutra)
Tentu, Tathagata dapat berwujud sebagai seorang perempuan, namun:
“Berkata bahwa Bodhisattva-mahasattva mencapai Anuttara Samyaksambodhi dalam wujud perempuan tidaklah benar.”
(Mahayana Mahaparinirvana Sutra)
Maka menurut pandangan Mahayana, seorang perempuan tidak dapat mencapai Anuttara Samyaksambodhi, untuk mencapainya, mereka harus mengubah wujud mereka menjadi laki-laki terlebih dahulu. Apabila ada Buddha perempuan, maka itu hanyalah upaya kausalya saja.
“Dewi Gangga, Ananda, di masa depan adalah seorang Tathagata bernama “Bunga Emas”, Arhat, Samyaksambuddha, Vidyacarana Sampanna, Sugato Lokavidu, Anuttara Purusadamyasarathi, Sasta Devamanusyanam, Buddha, Bhagavat. Di dalam kalpa bintang, ia muncul di dunia dan merealisasikan Samyaksambodhi….. ia berhenti menjadi perempuan, ia terlihat sebagai pria.”
(Astasahasrika Prajnaparamita Sutra)
Sumati dalam Sumati Sutra, Putri “Hadiah Murni” dalam Sutra Hadiah Murni, Candrottara dalam Candrottara Sutra, Putri Raja Naga dalam Saddharmapundarika Sutra-pun harus terlebih dahulu mengubah wujudnya menjadi pria untuk menjadi seorang Samyaksambuddha [dalam hal ini Bodhisattva tingkat 10 yang telah diabhiseka sebagai Samyaksambuddha, namun belum sebagai Samyaksambuddha sejati].
Manjusri kemudian bertanya, “Kenapa engkau belum mengganti tubuh perempuanmu?” dan Sumati menjawab, “Itu tidak dapat dipahami, karena Dharma bukanlah laki-laki maupun perempuan. Namun sekarang aku harus melenyapkan keragu-raguanmu…. Jika ini benar maka aku akan mencapai tingkat Tathagata… semoga aku sekarang…. Berubah menjadi pria.” Dan segera ia berubah menjadi seorang shramanera muda. Sumati kemudian membuat tekad mengenai tanah Buddha-nya di masa depan, di mana di tanah tersebut tidak ada Mara, tidak ada neraka dan tidak ada perempuan.” Dan ia menambahkan, “Jika aku berhasil memenuhi ini, biarkanlah tubuhku menjadi seperti bhiksu berusia 30 tahun tersebut.”
(Sumati Sutra)
Dalam Sumati Sutra malah disebutkan bahwa Sumati merubah dirinya menjadi pria karena upaya kausalya untuk menghilangkan keragu-raguan banyak orang. Melihat sutra ini, kita dapat berkesimpulan bahwa mungkin bagi Sumati untuk mencapai ke-Buddhaan dalam wujud perempuan.
Tetapi Mahamaudgalyayana datang dan mengatakan bahwa ia [Hadiah Murni] menganggap enteng karir Bodhisattva dan tidak mengerti akan karir Bodhisattva, karena seseorang tidak dapat mencapai Samyaksambodhi dalam tubuh seorang perempuan. Kemudian “Hadiah Murni” menujukkan sebuah tindakan Dharma:
“Jika kata-kataku benar dan tidak salah, maka di kehidupan selanjutnya aku akan mencapai… Samyaksambodhi dari para Buddha… semoga semua sistem dunia besar bergoncang enam kali --- bunga-bunga surgawi turun dan instrumen musik bernyanyi dengan sendirinya dan semoga wujud perempuanku berubah menjadi seorang anak laki-laki berumur 8 tahun – Aku membuat tekad ini.”
Mahamaudgalyayana bertanya pada “Hadiah Suci”: karena engkau telah lama memiliki pengertian ini, kenapa engkau tidak merubah tubuh perempuanmu sebelum ini? Dan ia [Hadiah Murni] menjawab: “Sang Bhagava telah memujimu sebagai yang terbaik dalam pencapaian abhijna. Mengapa engkau belum mengganti tubuh laki-lakimu?” Mahamaudgalyayana lagi-lagi tak bisa berkata-kata, tetapi “Hadiah Murni” meneruskan: “Bukan dengan tubuh perempuan maupun tubuh laki-laki, Samyaksambodhi dicapai…. Karena tidak ada pencapaian Samyaksambodhi dengan cara apapun.”
[Sutra Hadiah Murni]
Bodhisattva Amoghadarshana berkata pada perempuan muda Candrottara: “Candrottara, seseorang tidak dapat menjadi seorang Buddha dalam wujud seorang perempuan. Mengapa engkau tidak mengganti jenis kelamin perempuanmu sekarang?” Candrottara menjawab, “sifat dari Kekosongan tidak dapat diganti atau diubah. Ini juga berlaku bagi semua fenomena. Maka dari itu, bagaimana bisa aku mengganti tubuh perempuanku?”
(Sutra Dialog Candrottara)
Dan Candrottara kemudian berubah menjadi seorang pria.
Melihat dua kutipan sutra di atas, kita dapat mengetahui bahwa sebutan dan perbedaan wujud ‘wanita’ dan ‘pria’ itu sebenarnya tidak ada – kosong. Dalam pencerahan, tidak ada dualitas. Maka dari itu, tidak ada alasan untuk mengganti wujud perempuan, toh wujud laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya, keduanya sama-sama ‘kosong’.
Tapi bagaimanapun juga, “Hadiah Murni” dan Candrottara tetap berubah menjadi seorang pria.
Apalagi seorang wanita yang tubuhnya masih rnempunyai 5 rintangan yaitu pertama ia tidak dapat mencapai tingkat kabrahman, kedua yaitu tingkat Indra, ketiga yaitu raja mara, ke-empat yaitu raja tingkat Cakravartin, dan kelima adalah seorang Buddha. Lalu bagaimana mungkin tubuh seorang wanita dapat menjadi seorang Buddha dengan begitu cepatnya ?“
Pada saat itu sang puteri naga mempunyai sebuah mutiara indah seharga jutaan dunia yang ia acungkan dan ia persembahkan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha pun menerimanya dengan segera. Kemudian sang puteri naga berkata pada Bodhisatva Prajnakuta dan pada Sariputra yang agung, “Aku telah mempersembahkan mutiaraku dan Yang Maha Agung pun telah menerimanya. Apakah tindakan tadi berjalan dengan cepat ? Mereka menjawab “Sangat cepat.” Sang puteri berkata pula “Dengan kekuatan gaib kalian lihatlah aku menjadi seorang Buddha yang bahkan lebih cepat dari tindakan tadi !“
Pada saat itu seluruhnya pertemuan melihat sang puteri naga menjelma dengan tiba-tiba menjadi seorang pria yang sempurna dharma Bodhisatvanya, yang dengan segera pergi ke Dunia Yang Tiada Berbatas dikawasan selatan, dimana ia duduk diatas sebuah bunga teratai indah dan mencapai Penerangan Agung dengan 32 tanda serta 80 jenis keistimewaan dan secara menyeluruh memaklumkan Hukum Yang Menakjubkan kepada semua umat di alam semesta. Kemudian alam semesta para Bodhisattva, sravaka, 8 kelompok dari para dewa dan para naga, manusia dan yang bukan manusia, semuanya melihat dari kejauhan puteri naga menjadi seorang Buddha dan secara menyeluruh rnengkhotbahkan Hukum Kesunyataan kepada para dewa, manusia dan lain-lainnya diantara pertemuan itu.
(Saddharmapundarika Sutra bab Devadatta)
Menurut Sutra-sutra tersebut dan Vimalakirti sutra, tidak ada dualitas antara laki-laki dan perempuan:
Sariputra: Dewi, apa yang menghalangimu untuk mengubah wujud perempuanmu?
Dewi: Meskipun aku memiliki “wujud perempuan” selama 12 tahun, aku belum juga menemukannya. Yang Arya Sariputra, jika seorang penyihir menciptakan seorang perempuan dengan sihirnya, apakah anda akan menanyainya, “Apakah yang menghalangimu untuk mengubah wujud perempuanmu?”
Sariputra: Tidak! Perempuan seperti itu tidak sungguh-sungguh ada, lalu apa yang ingin diubah?
Dewi: Demikian juga, Bhante Sariputra, semua fenomena tidaklah eksis. Sekarang, apakah anda berpikir, “Apa yang menghalangi seseorang yang merupakan perwujudan sihir untuk mengubah dirinya bebas dari wujud perempuan?”
Maka dari itu, dewi tersebut menggunakan kekuatan sihirnya untuk mengubah Sariputra Sthavira menjadi wujud sang dewi dan sang dewi mengubah wujudnya sendiri menjadi Sariputra. Kemudian sang dewi, [setelah] berubah menjadi Sariputra, berkata pada Sariputra dan sebagai dirinya sendiri (dewi), “Bhante Sariputra, apakah yang menghalangimu untuk mengubah dirimu untuk bebas dari wujud perempuan?”
Dan Sariputra, dalam wujud dewi, menjawab, “Aku tidak lagi memiliki wujud laki-laki! Tubuhku telah berubah menjadi tubuh perempuan! Aku tidak tahu apa yang harus diubah!
Sang Dewi melanjutkan, “Jika Sthavira[Thera] dapat mengubah wujud perempuan, maka semua perempuan dapat mengubah [membebaskan] wujud perempuan mereka. Semua perempuan muncul dalam wujud perempuan sama seperti Bhante muncul dalam wujud seorang perempuan. Meskipun mereka sesungguhnya bukanlah perempuan, namun mereka muncul dalam wujud perempuan. Dengan pikiran ini, Sang Buddha berkata, ‘Di semua fenomena, tidak ada laki-laki maupun perempuan.’ Kemudian, sang dewi melepaskan sihirnya dan masing-masing kembali ke wujud asal mereka. Ia kemudian berkata pada Shariputra: “Bhante Sariputra, apa yang telah anda lakukan pada wujud perempuanmu?”
Sariputra: Aku tidak membuatnya maupun mengubahnya.
Dewi: Demikian juga, semua fenomena tidaklah dibuat maupun dirubah, dan mereka tidak dibuat dan tidak diubah, itulah ajaran Sang Buddha.
Sariputra: Dewi, seberapa cepat engkau akan mencapai Anuttara samyaksambodhi?
Dewi: Sama seperti anda, Bhante, memiliki sekali lagi kualitas dari manusia biasa, maka aku akan mencapai Anuttara Samyaksambodhi.
(Vimalakirti Nirdesha Sutra)
Di dalam Sutra Sagara, putri Raja Naga, Ratnavati, setelah mengatakan tidak ada dualitas antara laki-laki dan perempuan, mendapat vyakarana dari Sang Buddha bahwa ia akan mencapai ke-Buddhaan. Di sini tidak disebutkan bahwa Ratnavati akan berubah menjadi pria:
Mahakashyapa memberitahu Ratnavati, putri Sagara: “Seseorang tidak dapat mencapai Ke-Buddhaan dengan tubuh perempuan.”
Ratnavati menjawab: “Seseorang tidak dapat mencapai Ke-Buddhaan dengan tubuh perempuan. Maka seseorang juga tidak dapat mencapai Ke-Buddhaan dengan tubuh laki-laki. Mengapa? Karena pikiran Pencerahan bukanlah laki-laki maupun perempuan. Sang Buddha pernah berkata: ‘Apa yang dilihat oleh mata bukanlah laki-laki maupun perempuan dan persepsi telinga, hidung, mulut, tubuh dan pikiran juga bukan laki-laki atau perempuan. Apa alasannya? Karena hanya yang berkebajikanlah yang memiliki mata kekosongan. Mereka yang memahami [perceive] melalui kekosongan bukanlah laki-laki maupun perempuan… Seseorang yang memahami melalui pencerahan memiliki Dharma yang bukan laki-laki maupun perempuan.”
(Sutra Sagara)
Marilah kemudian kita simak kisah Bodhisattva Tara:
Dahulu kala, hiduplah Putri Jnanachandra. Ia setiap harinya memberikan dana persembahan pada Buddha Dundubishvara dan anggota Sangha. Kemudian muncullah aspirasi Bodhicitta dalam dirinya.
Seorang Bhiksu memberikan saran bagi putri Jnanachandra untuk berdoa agar terlahir sebagai pria, dengan demikian ia akan menjadi Buddha [mengingat ada konsep bahwa seorang Samyaksambuddha haruslah lelaki].
Namun Putri Jnanachandra menolak, Putri Jnanachandra berikrar untuk mencapai tingkat Ke-Buddhaan dalam wujud perempuan dan memberi manfaat bagi semua makhluk dalam wujud seorang perempuan. Ia berikrar di hadapan Buddha Dundubishvara dan Sang Buddha mengatakan bahwa ia kelak akan menjadi seorang Bodhisattva dan Buddha yang dikenal dengan nama Tara.
Tidak ada pria maupun wanita
Tidak ada diri, tidak ada orang dan tidak ada kesadaran
Istilah ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’ tidaklah memiliki inti,
Tetapi merupakan tipuan dari kekotoran batin
Dan Ia membuat ikrar demikian:
Banyak yang ingin mencapai Pencerahan dengan tubuh pria, namun tidak ada yang bekerja untuk manfaat para makhluk hidup dalam tubuh seorang wanita.
Maka dari itu, sampai samsara kosong, Aku akan bertindak memberikan manfaat bagi para makhluk hidup dalam tubuh seorang perempuan!”
Dan selain Tara, sekarang kita bisa melihat beberapa Buddha perempuan seperti Buddha Prajnaparamita, Buddha Locana, Buddha Mamaki, Buddha Akasadatvishvari dan Buddha Pandaravasini.
“Prajnaparamita. Ia adalah Ibu para Bodhisattva….. Ia memiliki 10 kekuatan dari seorang Buddha”
(Astasahasrika Prajnaparamita Sutra)
Kenapa Vajrayana dan Mahayana mengakui bahwa seorang Samyaksambuddha dapat berwujud sebagai seorang perempuan?
Jawabannya lagi-lagi ada di Mahaparinirvana Sutra, di mana “pria’lelaki” dan “perempuan/wanita” sebenarnya hanya bermakna simbolik saja.
“O pria yang berbudi! Untuk alasan ini, semua pria dan perempuan yang mendengar ajaran Mahayana Mahaparinirvana Sutra harus selalu meninggalkan wujud “perempuan” dan mencari wujud “pria”. Mengapa demikian? Mahayana Sutra dapat diperbandingkan dengan seorang “pria”. Poinnya adalah sifat ke-Budddhaan. Jika seseorang tidak mengetahui sifat ke-Buddhaan, seseorang tidak dapat disebut sebagai “pria”. Kenapa tidak? Karena seseorang tidak menyadari [merealisasikan] bahwa ada sifat ke-Buddhaan di dalam dirinya. Siapapun [pria] yang tidak menyadari bahwa ia memiliki sifat ke-Buddhaan, ia adalah seorang perempuan. Jika ia menyadarinya, ia adalah seorang “pria”. Jika ada perempuan yang mengetahui bahwa ia memiliki sifat ke-Buddhaan, maka perempuan itu adalah seorang pria.”
(Mahayana Mahaparinirvana Sutra)
Nah ini sudah sangat menjelaskan bahwa apa yang dimaksud sebagai “perempuan” dalam sabda Sang Buddha seperti:
"Adalah tidak mungkin, adalah tidak bisa terjadi bahwa seorang perempuan dapat menjadi orang yang Terampil, Yang Sepenuhnya Tercerahkan (Sammasambuddha)"
Dan:
“Berkata bahwa Bodhisattva-mahasattva mencapai Anuttara Samyaksambodhi dalam wujud perempuan tidaklah benar.”
Memiliki arti simbolik yaitu lemah, tidak kuat, tidak sepenuhnya menyadari sifat ke-Buddhaan
Sedangkan “pria” memiliki arti kuat, teguh, sepenuhnya menyadari sifat ke-Buddhaan
Ketika Sang Buddha mengatakan bahwa seorang perempuan tidak dapat mencapai Samyaksambuddha, yang dimaksud sebagai “perempuan’ di sini bukan orang berjenis kelamin perempuan, tetapi orang yang lemah, tidak teguh, yang tidak menyadari sepenuhnya sifat ke-Buddhaannya, tidak peduli laki-laki atau perempuan.
Sedangkan kata-kata Samyaksambuddha haruslah “pria” juga simbolik. “Pria” menyimbolkan kuat, teguh, sepenuhnya menyadari sifat ke-Buddhaan. Perempuan yang kuat, teguh, sepenuhnya menyadari sifat ke-Buddhaan adalah “pria”.
Maka dari itu, kesimpulannya: Perempuan dapat menjadi Buddha Yang tercerahkan Sempurna.
Dalam Sutra “Keyakinan Benar”, “Keyakinan benar” bertanya pada Sang Buddha: Apa yang harus dilakukan oleh seorang perempuan untuk menanggalkan tubuh “perempuan” nya? Sang Buddha menjawab ada 16 hal yang perempuan harus lakukan:
tidak iri, tidak kikir, tidak sombong, tidak pemarah, jujur, tidak memfitnah orang, meninggalkan nafsu dan semua pandangan salah, memuja Buddha dan Dharma, memberikan persembahan bagi para bhiksu dan brahmana, melepaskan keterikatan pada rumah dan keluarga, menjalankan sila, tidak memiliki pikiran buruk, menjaga tubuh perempuannya, berada di dalam pikiran pencerahan dan Dharma dari Mahapurisa, menanggapi kehidupan duniawi sebagai ilusi, seperti mimpi.
Apabila Sang Buddha mengatakan bahwa perempuan tidak dapat menjadi Sammasambuddha, ini tidak akan menjadi suatu yang bertentangan.
Karena perempuan di sini berarti simbolik, bukan harafiah. Selain itu mungkin saja itu adalah upaya kausalya yang dilakukan Sang Buddha.
Perempuan Yang Kebajikannya Bagaikan Buddha
Bahkan banyak juga perempuan yang tindakannya sebanding dengan para Bodhisattva Agung dan Buddha, sebagai contohnya adalah Gangottara, Vasumitra dan Sumitta, yang kelak akan menjadi Yasodhara.
“Sangat jarang upasika [umat awam perempuan] ini, yang dapat berbicara tanpa rasa takut sebanding dengan Tathagata.”
(Gangottara Sutra)
“Kemudian Sudhana melihat Vasumitra, yang sangat cantik, dengan kulit emas dan rambut hitam, proporsi tubuh dan ototnya bagus. Ia lebih cantik daripada semua dewi dan manusia di alam nafsu [kamadhatu]. Ia telah ahli dalam semua seni dan ilmu pengetahuan dan ia juga menguasai semua aspek upaya kausalya yang dilakukan oleh para Bodhisattva.”
(Gandavyuha Sutra)
Dipankara Buddha berkata: “Dengarkanlah, O Sumedha, upasika [perempuan] ini memiliki citta yang sebanding dengan dirimu, ia akan menjadi pendampingmu dalam berbagai hidup. Membantumu dengan semangat dan perbuatan yang sama [kusalakamma] dalam usahamu mencapai ke-Buddhaan, ia akan membahagiakanmu dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatannya, ia akan berpenampilan cantik dan menyenangkan, manis tutur katanya dan baik hati. Dalam usahamu mencapai ke-Buddhaan, dalam kelahiranmu yang terkahir, ia akan menjadi murid perempuan yang akan menerima warisan spiritual darimu [dhammadayada], menjadi seorang arahanta, lengkap dengan kemampuan batin yang tinggi.
Perempuan ini akan melakukan semua kusala dhamma bahkan seperti semua pemilik harta menyimpan harta mereka ke dalam kotak harta. Maka dari itu orang-orang akan menyokong perempuan yang engkau kasihi ini. Perempuan ini akan memiliki parami sempurna, ia akan melenyapkan kilesa bagaikan singa keluar dari kandangnya, dan akan mencapai bodhinana dalam kalpa Yang Tidak Terhitung mulai dari sekarang.”
(Suttanta Pitaka, Khuddaka Nikaya, Apadana, Buddhavamsa-Cariya Pitaka)
Dikatakan bahwa kebajikan dan parami Yasodhara yang merupakan seorang perempuan dan seorang istri, sebanding dengan Sang Bodhisattva Gotama sendiri!
Dalam Saddharmapundarika Sutra, Sang Buddha meramalkan bahwa kelak Yasodhara akan menjadi seorang Samyaksambuddha:
Kemudian Ibu Rahula, yaitu Bhiksuni Yasodhara, membayangkan demikian :"Yang Maha Agung didalam Penetapan-Nya telah meninggalkan Nama-Ku sendiri tanpa disebut-Nya." Kemudian Sang Buddha bersabda kepada Yasodhara: "Didalam Hukum-Hukum Kesunyataan dari Ratusan Ribu Koti Para Buddha di dunia yang mendatang nanti, Engkau dengan Perbuatan-Perbuatan Bodhisattva-Mu, akan menjadi Seorang Guru Besar Hukum Kesunyataan dan akhirnya akan sempurna di dalam Jalan KeBuddhaan serta didalam Kawasan Kebaikan, Engkau akan menjadi Seorang Buddha yang Bergelar Rasmisatasahasraparipurnadhvaja, Yang Telah Datang, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna, Yang Telah Mencapai Kebebasan Yang Sempurna, Sempurna Pikiran dan Perbuatan, Yang Terbahagia, Maha Tahu Tentang Dunia, Sang Pemimpin Tiada Tandingan, Guru Dewa dan Manusia, Yang Telah Sadar, Yang Dihormati Dunia. Masa Hidup dari Sang Bhagavato Tathagata Arhan SamyakSamBuddha Rasmisatasahasraparipurnadhvaja ialah sekian kalpa asamkhyeya yang tak terbatas."
(Saddharmapundarika Sutra Bab Penegakan)
Tidak ada diskriminasi baik di Theravada maupun Mahayana. Bagi saya, tidak ada pertentangan antara Theravada dan Mahayana dalam hal ini.
Apakah seorang Buddha perempuan memiliki 32 Mahapurisa Laksana [32 Tanda Agung Seorang Buddha] ?
Jawabnya adalah YA.
Banyak orang yang mengatakan bahwa salah satu dari 32 Mahapurisa yaitu kosohitavatthguyho [yaitu alat kelamin laki-laki seorang Buddha terbungkus oleh selaput] adalah penyebab tidak diakuinya perempuan sebagai Samyaksambuddha [alias penyebab diskriminasi gender].
Karena bagaimana mungkin seorang perempuan dapat memiliki alat kelamin laki-laki?
Tentu saja tidak mungkin. Tapi yang patut diingat adalah 32 Mahapurisa Laksana juga dimiliki oleh para Buddha perempuan, di antaranya yang dapat kita lihat adalah Tara dan Mandarava [emanasi Buddha Pandaravasini].
Diberkahi oleh 37 bodhipaksa dharma
Dhyana, dan banyak samadhi dan Pembebasan,
Engkau [Tara] dihiasi oleh 32 [Mahapurisa] Laksana
Dan juga dihiasi oleh 80 tanda minor
(Arya-Taradevi-Stotra-Sarvartha-Sadhana-nama-Stotra-raja oleh Matrceta)
Pujian [32 nama Tara] adalah buah dari 32 bunga Laksana
Dan 80 tanda minor yang seindah
Sebuah hiasan permata yang mencapai semua tujuan
Raja pujian dari semua Penakluk
(Arya-Tara-Bhattarika-nama-dvatrimsatka-stotra-Sarvartha-sadhaka-ratnalamkara-samnibha-nama oleh Suryagupta)
Penghormatan:
Perwujudan dari 5 Jnana [Kebijaksanaan]
O Tubuh-Mu [Tara] yang dimuliakan dan tanpa noda
Dengan berhiaskan 32 Mahapurisa Laksana,
Memunculkan 80 karakteristik baik.
(Tara Devistotra-Puspamala oleh Chandragomin)
"... sang yogi mengatakan bahwa anak perempuan tersebut memiliki 32 tanda seorang Buddha.... dan ia menamakannya Mandarava."
(The Tibetan Book of the Great Liberation oleh Walter Yeeling Evans-Wentz)
"Seorang anak perempuan, yang memiliki 32 tanda seorang Buddha, terlahir bagi mereka dan ia menamakannya Mandarava."
(Lion's Roar)
Buddha berarti Yang Telah Tersadarkan Sepenuhnya
BalasHapusBuddha dapat dikategorikan kedalam 3 hal (bukan tingkat):
1. Sammasambuddha
2. Paccekhabuddha
3. Savakabuddha
kondisi kelahiran terakhir dalam memenuhi pencapaian Sammasambuddha dan Pacchekabuddha, harus seorang Laki-Laki.
Sedangkan untuk savakabuddha, bisa dicapai dalam kondisi Laki-Laki ataupun Perempuan.
Toh harus ingat, Buddha itu hanya gelar, bukan gender.
didalam konsep AKU, tidak ada laki-laki ataupun Perempuan, yang ada hanyalah unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain, dan terus berproses.
Apa yang membedakan Sammasambuddha, Pacchekabuddha, dan Savakabuddha?
yang membedakan adalah Jalan yang ditempuh, serta hasil akhir pengetahuan yang dicapai. Sedangkan dalam merealisasikan Nirvana tidak ada perbedaan, oleh karena itu, baik Sammasambuddha, Pacchekabuddha, dan Savakabuddha mendapat predikat ARAHAT atau Ariya Puggala.