Pages - Menu

Pages

Minggu, 09 September 2012

Manjusri Bodhisatva


Aplikasi kebajikan dapat berbentuk apa saja. Tidak menyoal bagaimana dan dengan apa pengorbanan itu dilakukan. Tidak penting apakah sosok bijak tersebut mempersembahkan jiwa atau raga. Namun semuanya berpulang pada ketulusan dan kesungguhan.

Ada figur 'pahlawan' yang mengorbankan jiwa dan raganya demi tercapainya sebuah hal luhur pancacita. Ada pula yang mendedikasikan kebajikan tersebut dalam bentuk kebijaksanaan dan ajaran moralitas. Semuanya sama. Semuanya memiliki takaran berimbang, tanpa deskripsi lebih atau kurang.
Yang pasti, semua hal yang mereka lakukan toh pada akhirnya akan bermuara pada hal yang sama pula.
***

Tersebutlah Manjusri Bodhisatva. Dalam mitologi Tiongkok ia karib disebut Wen Shu She Li. Kadang-kadang ia disebut Miao De yang berharfiah 'Kebijaksanaan Mulia' dan Miao Ji Xiang yang berharfiah 'Berkah Termulia'. 
Alkisah, di antara maharesi jelma totem Langit, ia merupakan pengawal Sakyamuni Tataghata dalam membabarkan kebenaran sejati. Oleh karenanya, ia juga digelari Wen Shu She Li Wang Zhi yang berharfiah Wen Shu She Li, Si Putra Mahkota. Dan ia berdiri pada posisi sebelah kiri Sakyamuni Tataghata.

***

Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan.

Konon dalam kehidupannya sebelum mencapai 'pencerahan', dalam setiap reinkarnasinya yang berasimilasis manusia, ia pernah menjadi guru pembimbing dari tujuh resitama yang merupakan cikal-bakal maharesi yang kelak berandil besar dalam pengembangan kebenaran sejati. Dalam tiga fase kalpa yang sangat panjang, ia sudah merintis jalan-jalan menuju 'pencerahan' bagi resitama-resitama tersebut. Makanya, ia juga digelari 'Berkah Termulia dari Pencerahan Tiga Kala'.

Dalam sebuah fase kalpa kehidupan yang telah dilaluinya dengan gigih tanpa berputus asa, Wen Shu She Li sebenarnya telah mencapai 'pencerahan'. Sesungguhnya pula, ia sudah berhasil menjadi totem Langit dan maharesi karena jasa-jasa baiknya selama hidup. Namun ia menampik 'pengangkatan' dirinya itu dengan melaburkan dirinya kembali dalam abdi buana demi melihat penderitaan manusia yang tidak ada hentinya.

Masyarakat Tiongkok kuno hingga kini sangat menghargai jasa-jasanya yang penuh dengan pengorbanan. Ia merupakan salah satu maharesi Langit yang menanggalkan takhta Kerajaan Langit semata-mata demi kepentingan manusia. Gelimang keterpurukan dan dosa manusia menggugah nuraninya untuk tetap dapat bereinkarnasi di dalam alam-alam berstrata rendah, menjadi resi dan pengajar kebajikan agar manusia luput dari angkara.

Salah satu retasis kemanusiaannya adalah ketika lahir di Jambudipa—kini India. Ia merupakan putra dari seorang brahmana di Sravasti. Waktu lahir, konon, halaman istananya ditumbuhi bunga teratai dan menyeruakkan wangi tak tergambar kata. Ia lahir gaib dan tak galib, melalui salah satu tubuh sang Ibunda yang bukan merupakan organ reproduksi. Ia juga dapat langsung berbicara ketika lahir. Dan ketika beranjak remaja, maka ia menjadi pengikut Sakyamuni Tataghata yang pada saat itu hidup sezaman dengannya.

Kebijaksanaannya yang tinggi serta toleransinya terhadap kehidupan papa jelata membuatnya cepat mencapai 'pencerahan'. Dalam beberapa tahun setelah mengikuti Sakyamuni Tataghata sebagai salah satu siswa teladan, maka bersama Sang Tataghata sendiri berserta sahabat resinya yang juga berdedikasi tinggi, Pu Xian Pu Sa yang lazim disebut Samantabhadra, ia kembali mendapat gelar wisesa, Tri Suci Avatamsaka—Tiga Maharesi dari Surga Avatamsaka. Kebijaksanaannya melegenda. Sedari dulu, masyarakat Tiongkok kuno hingga kini pun masih memujanya. Ia bahkan dirupamkan sebagai sosok yang memegang dao—pedang kebijaksanaan pada tangan kanannya, serta sebuah kitab bernama Maha Prajna di tangan kirinya. Ia berdiri di atas sebuah teratai yang melambangkan kesucian.

Di daerah pegunungan Wu Tai yang terletak di propinsi Shan Xi, masyarakat bahkan membangun sebuah puri khusus untuk mengenang napak tilas Wen Shu She Li alias Manjusri Bodhisatva. Seiring dengan bergulirnya sang waktu, pada kekuasaan Dinasti Tang, di daerah pegunungan Wu Tai bahkan merebak tiga ratusan puri puja serupa yang menampung puluhan ribu rahib. Seiring perkembangan zaman pula, hingg kini Wu Tai menjadi salah satu ranah suci nan sakral.

(Weni L. Ratana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar