Pages - Menu
▼
Pages
▼
Selasa, 18 September 2012
Perbandingan Konsep Arahat dan Boddhisattva dalam Buddhisme Theravada &Mahayana
Pengantar
Tulisan ini merupakan hasil revisi salah satu bagian buku saya yang
berjudul Ehipassiko: Studi Banding Filosofis Buddhisme Aliran Utara
dan Selatan yang diterbitkan oleh Penerbit Suwung (Terima kasih banyak untuk Bapak Agus atas izinnya memposting artikel ini ). Oleh
karena ada seorang kawan yang menanyakan mengenai perbedaan konsep
arahat-bodhisattva dalam Theravada dan Mahayana, maka saya memutuskan
untuk merevisi bagian buku saya tersebut yang khusus membahas
mengenai arahat dan bodhisattva. Adapun tulisan ini dimaksudkan untuk
MEMADAMKAN konflik atau polemik antara Theravada dan Mahayana. Jadi
bukannya untuk menimbulkan polemik baru. Karena itu, saya tidak akan
melayani polemik apapun sehubungan dengan tulisan ini. Lebih baik
kita berpraktek atau melatih diri menjadi arahat atau bodhisattva -
apapun aliran yang kita anut - dan bukannya memperdebatkannya.
Memperdebatkan konsep arahat atau bodhisattva mana yang benar
tidaklah membawa kita makin dekat pada pembebasan. Orang yang
mempermasalahkan perbedaan antar aliran adalah pribadi-pribadi yang
patut dikasihani. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan kita
semua. Semoga bermanfaat dan selamat membaca!
A. Arahat
Pandangan yang berbeda mengenai Arahat merupakan salah satu penyebab
timbulnya polemik antara Mahayana dan Theravada. Secara garis besar
Theravada berpendapat bahwa Arahat sudah sempurna dan merupakan
pencapaian yang diidam-idamkan oleh penganut aliran tersebut;
sedangkan Mahayana menganggap bahwa Arahat bukanlah pencapaian
tertinggi, dan sebagai gantinya menganut pandangan bahwa
Samyaksambuddha (Pali: Sammasambuddha) - yang direalisasi melalui
jalan Bodhisattva (Pali: Bodhisatta) - adalah pencapaian tertinggi.
Untuk mengetahui duduk permasalahannya, kita perlu meneliti
apakah makna Arahat menurut Theravada dan Mahayana.
1. Pandangan Theravada mengenai Arahat.
Menurut Theravada, Arahat adalah tingkat kesucian tertinggi di antara
empat macam tingkat kesucian yang terdiri dari: sotapatti (pemasuk
arus), sakadagami (yang hanya akan terlahir sekali lagi), anagami
(yang tidak akan terlahir kembali), dan Arahat. Menurut Abhidhamma,
Arahat telah terbebas dari kelima hal, yaitu: kemelekatan akan wujud
(rupa raga), kemelekatan pada yang bukan wujud (arupa-raga),
mementingkan diri sendiri (mana), keresahan (uddhacca), dan kebodohan
(avijja), -- sehingga dengan demikian ia telah merealisasi Nibbana.
Lebih jauh lagi, Abhidhamma menyatakan bahwa seorang Arahat memiliki
sifat-sifat positif sebagai berikut: perasaan belas-kasih yang kuat
dan kebaikan hati yang penuh kasih, persepsi yang cepat dan tepat,
ketenangan dan ketrampilan dalam bertindak, keterbukaan kepada orang-
orang lain dan kepekaan terhadap kebutuhan mereka. Atau dengan kata
lain, seluruh sifat-sifat negatif dalam diri seorang Arahat telah
ditransformasikan menjadi sifat-sifat positif.
2. Pandangan Mahayana mengenai Arahat.
Di dalam Mahayana, ada pandangan kritis terhadap Arahat, mari kita
baca petikan dari Sutra Srimaladevisimhanada :
Para Arahat dan para Pratyekabuddha tidak hanya mencari perlindungan
dari Tathagata, mereka masih mempunyai rasa cemas. Mengapa? Ini
karena mereka masih mempunyai perasaan takut terhadap segala
fenomena, contohnya seperti sewaktu berhadapan dengan seorang algojo
yang sedang mengarahkan pedang terhadap dirinya. Maka, mereka belum
benar-benar mencapai tingkat pembebasan maupun mencapai kebahagiaan
tertinggi.
Berdasarkan kutipan ini, kita mengetahui bahwa berdasarkan Ajaran
Mahayana seorang Arahat masih dicengkeram rasa takut, yakni ketakutan
akan samsara. Pada sutra yang sama dibabarkan pula sebagai berikut:
Bhagava, para Arahat dan Pratyekabuddha tidak hanya mempunyai
perasaan cemas, mereka masih mempunyai sisa benih untuk dilahirkan
kembali karena masih belum benar-benar murni. Mereka masih mempunyai
sisa karma, maka mereka masih memerlukan kebutuhan-kebutuhan. Di
samping itu, mereka masih mempunyai sifat-sifat dasar yang perlu
dibuang, dan karena sifat-sifat dasarnya belum terbuang, maka para
Arahat dan Pratyekabudda masih jauh dari Nirvana
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan pandangan bahwa seorang Arahat
masih mempunyai sifat-sifat negatif di dalam dirinya, dan belumlah
mencapai Nirvana/ Nibbana.
Dalam Sutra Samdhinirmocana bab V disebutkan:
Putera yang Bajik, orang yang termasuk dalam golongan kaum Sravaka
(Arahat) meskipun beralih pada ketenangan batin/ Samatha
(quiescence), dan bahkan dibimbing secara jitu oleh semua Buddha
sekalipun, masih belum dapat duduk di atas tahta kebijaksanaan serta
mencapai penerangan sempurna. Hal ini dikarenakan wawasan mereka
adalah wawasan bawah, belas kasih mereka masih lemah. Motivasi mereka
adalah hanya ketakutan terhadap penderitaan. Karena belas kasih yang
lemah, maka mereka memalingkan wajahnya dari mengusahakan kebahagiaan
semua makhluk. Karena mereka telah hidup di dalam ketakutan akan
penderitaan, mereka telah memalingkan wajah mereka dari mengerjakan
kegiatan-kegiatan bermanfaat. Aku tidak pernah mengajarkan bahwa
mereka yang memalingkan muka dari mengusahakan kebahagiaan semua
makhluk serta yang memalingkan wajah mereka dari melaksanakan
kegiatan bermanfaat akan duduk di atas tahta kebijaksanaan serta
mencapai penerangan terunggul Karenanya Aku mengajarkan bahwa orang
tersebut dinamakan kaum Sravaka yang bersungguh-sungguh di dalam
Samatha.."
Kutipan di atas menegaskan bahwa seorang Arahat kurang memiliki belas
kasih, karena mereka menghindarkan diri dari mengusahakan kebahagiaan
semua makluk.
Bahkan lebih jauh lagi menurut Sutra Upayakausalya, jalan Arahat
adalah sesuatu yang dihindari, bagaikan jurang yang dalam di tepi
jalan yang sempit.
3. Perbandingan pandangan mengenai Arahat di dalam Theravada dan
Mahayana.
Setelah menganalisa kutipan-kutipan di atas dengan seksama, nampaknya
konsep arahat antara Theravada dan Mahayana amat bertolak belakang;
di mana perbedaanya dapat diringkaskan pada tabel berikut ini:
Theravada
Sudah bebas dari ketakutan/keresahan
Sudah mencapai Nibbana/ Nirvana
Belas kasih yang kuat
Tujuan yang diagung-agungkan
Terbebas dari egoisme (mana)
Mahayana
Belum bebas dari ketakutan/kecemasan
Belum mencapai Nibbana/ Nirvana
Tidak ada atau kurangnya belas kasih
Tujuan yang patut dihindari
Masih terikat oleh egoisme
Apakah dengan demikian Theravada bertentangan dengan Mahayana?
Sepintas lalu memang demikian. Namun, kalau kita memperhatikan fakta
bahwa Mahayana juga mengakui salah satu gelaran Buddha sebagai
Arahat, maka kita patut mempertimbangkan kembali pendapat tersebut.
Untuk memecahkan perbedaan di atas, penulis berpendapat bahwa
sesungguhnya konsep Arahat yang dimaksud oleh Theravada dan Mahayana
adalah berbeda. Arahat yang dimaksud oleh Mahayana adalah "Arahat"
palsu (1) , atau orang yang merasa dirinya telah menjadi Arahat. Pada
masa awal berkembangnya Mahayana (sekitar abad pertama Masehi), telah
terjadi degradasi pemahaman makna Arahat di kalangan Umat Buddha.
Banyak bhikkhu yang terlalu mementingkan naskah-naskah tertulis,
mengasingkan dirinya, dan tidak begitu terdorong untuk melayani umat.
Mereka melupakan belas kasih untuk menolong makhluk lain, dan hanya
mementingkan pembebasan dirinya saja. Mereka mengasingkan diri dari
masyarakat dan menyendiri untuk mempelajari naskah-naskah suci demi
kepentingan dirinya saja. Mereka menjadi terlalu kaku, dingin dan
angkuh. Kaum biarawan dan umat menjadi dua entitas yang saling asing
satu sama lain. Pada zaman itu, Buddhisme seolah-olah hanya menjadi
milik sekelompok orang saja. Padahal Buddha sendiri dan murid-murid
utamanya - yang juga bergelar Arahat - tidaklah pernah menganjurkan
sikap semacam itu. Inilah yang menjadi pemicu timbulnya gerakan
Mahayana.
Arahat-arahat palsu semacam itulah yang dicela oleh Mahayana, dan
sebagai gantinya mereka memberikan alternatif melalui Jalan
Bodhisattva, di mana belas kasih mendominasi; -- padahal sesungguhnya
pada seorang Arahat sejati, sifat belas kasih inipun mendominasi.
Kehangatan serta kepedulian terhadap orang lainpun ditekankan di
dalam Mahayana, di mana sebelumnya Para Bhikkhu yang merasa dirinya
Arahat menjadi kurang merakyat. Rujukan tentang hal ini dapat kita
baca pada buku karya David J Kalupahana,:
Dengan adanya perkembangan skolatisisme, semangat kuat untuk kemajuan
spiritual yang mula-mula ada di pihak para bhikkhu secara perlahan-
lahan kemudian melemah. Mereka lebih suka hidup menyendiri,
membaktikan hidup mereka untuk penelaahan dhamma (pariyatti) daripada
melaksanakannya…….. Hal ini, bersama dengan kehidupan menyendiri yang
dijalani para bhikkhu, menciptakan suatu kekosongan tertentu dalam
kehidupan religius dari para pengikut awam.(2)
Mahayana timbul sebagai reaksi dan kritikan atas kondisi tersebut.
Jadi kesimpulannya, Theravada sebenarnya mengajarkan mengenai sifat-
sifat seorang Arahat sejati; sedangkan Mahayana merupakan kritikan
terhadap arahat palsu, dan oleh sebab itu sesungguhnya tidak ada
kontradiksi antara kedua aliran besar Buddhis tesebut bila kita
bersedia mengamati duduk permasalahannya.
K Sri Dhammananda memberikan penjelasan mengenai Arahat yang sejati:
Untuk mencapai keArahatan, seseorang harus menghapuskan seluruh
keserakahan serta sikap mementingkan diri sendiri. Hal tersebut
mempengaruhi hubungannya dengan yang lain, seorang Arahat akan
bertindak dengan belas kasih dan mencoba untuk mengajak yang lainnya
agar ikut berjalan di atas Jalan menuju Pembebasan. Ia adalah bukti
hidup bagi kebaikan yang ditimbulkan oleh mereka yang mengikuti
Ajaran Sang Buddha. Pencapaian Nibbana adalah mustahil bagi orang
yang masih mementingkan dirinya sendiri. Karenanya gagasan bahwa
untuk menjadi Arahat merupakan tindakan yang mementingkan diri
sendiri adalah tidak berdasar. (3)
Pendapat di atas juga diperkuat oleh David J Kalupahana,:
Satu dari kritikan utama yang muncul terhadap idola Buddha awal
berupa "manusia sempurna" atau "yang mulia" (arahat) adalah bahwa ia
lebih bersifat mementingkan diri sendiri daripada bersifat idola yang
altruistik. Tetapi perlu diingat bahwa "manusia sempurna" ini
merupakan produk akhir dari pengembangan kebajikan moral mulai dari
tingkat dasar seperti yang dibicarakan dalam penjelasan yang disebut
di atas. Kebajikan-kebajikan moral yang dasar ini dalam satu bentuk
atau lainnya dimaksudkan bukan hanya untuk pengembangan moral
seseorang, melainkan juga membawakan kerukunan, kedamaian, dan
kemajuan sosial. Hanya mereka telah melalui latihan moral yang
demikian yang mampu mengembangkan kebajikan moral yang lebih tinggi
(adhisila) dan konsentrasi mental (adhicitta) yang diperlukan untuk
mengembangkan pengetahuan yang lebih tinggi (adhipanna), dan
selanjutnya mampu mencapai kebebasan (vimutti) (4)
Pada bagian berikutnya kita akan membahas mengenai konsep yang
berbeda mengenai Bodhisattva di antara kedua aliran.
B. Bodhisattva
Bagian ini erat hubungannya dengan bagian sebelumnya, karena konsep
Arahat dan Bodhisattva merupakan sesuatu yang berkaitan. Karena itu
agar mendapatkan pemahaman yang baik mengenai bagian ini dianjurkan
untuk membaca bagian sebelumnya terlebih dahulu. Dalam Bahasa Pali,
Bodhisattva disebut dengan istilah Bodhisatta, yang artinya secara
umum adalah calon Buddha. Menurut Theravada dan Mahayana sebelum
terlahir menjadi Pangeran Siddharta, Sang Buddha adalah seorang
Bodhisattva yang berdiam di Surga Tushita.
Kontroversi mulai timbul ketika ada pandangan bahwa seorang
Bodhisattva sudah mencapai kesempurnaan dan kedudukannya lebih tinggi
dibanding Arahat. Kita akan membahas hal tersebut dari sudut pandang
Theravada dan Mahayana.
1. Pandangan Theravada mengenai Bodhisattva.
Seperti yang sudah kita singgung di atas menurut Buddhisme Theravada
seorang Bodhisattva atau Bodhisatta adalah calon Buddha. Kalau kita
analisa dari segi etimologis maka kata Bodhisatta terbentuk dari dua
kata, yakni Bodhi yang bermakna penerangan atau pencerahan dan satta
atau sattva dalam Bahasa Sansekerta yang berarti makhluk. Sehingga
Bodhisatta berarti "makhluk yang beraspirasi untuk mencapai
penerangan sempurna."
Di dalam Visuddhimagga IX disebutkan:
Sebagaimana halnya dengan Makhluk Agung (maha-satta: suatu sinonim
yang sering dijumpai dalam Sutra-Sutra Mahayana bagi Bodhisatta, yang
berarti "Makhluk yang mencari pencerahan" atau "makhluk yang
ditentukan untuk mencapai Kebuddhaan.") memperhatikan kesejahteraan
para makhluk, tidak dapat membiarkan penderitaan para makhluk,
mengharapkan waktu yang lebih lama bagi tingkat kebahagiaan para
makhluk yang lebih tinggi, tidak membeda-bedakan serta adil bagi para
makhluk. (5)
Secara ringkas kutipan di atas menyatakan bahwa seorang Bodhisatta
bergiat dalam mengusahakan kesejahteraan makhluk lain.
Literatur Theravada lainnya yang membahas mengenai Bodhisatta
adalah Buddhavamsa (6) . Pada literatur ini pandangan ideal seorang
Bodhisatta dikembangkan hingga mencapai puncak yang tertinggi. Pada
kitab ini disebutkan bahwa seorang Bodhisatta adalah seseorang yang
berikrar untuk menjadi seorang Buddha yang sempurna (Samasambuddha)
dikarenakan oleh belas kasihnya pada semua makhluk, yang melakukan
berbagai macam kebajikan, dan yang menerima peramalan untuk
pencapaian Kebuddhaannya pada masa mendatang (vyakarana). Sebagai
tambahan seorang Bodhisatta yang disebutkan dalam Buddhavamsa
berikrar untuk menjadi Bodhisatta setelah mencapai Kearahatan. Hal
ini tercermin pada riwayat Bodhisatta Sumedha, kelahiran masa lampau
dari Sang Buddha saat ia masih menempuh Jalan Bodhisatta. Saat itu
Beliau terlahir pada masa Buddha Dipankara. Pada saat itu Sumedha
merelakan tubuhnya diinjak oleh Buddha Dipankara agar kakiNya tidak
kotor. Pada saat itu Sang Bodhisatta berpikir: "Jika mau, aku dapat
membakar sampai habis kekotoranku sekarang [juga]. [Namun] apakah
gunanya merealisasi Dhamma di sini [tanpa menguntungkan makhluk
lain]? Setelah mencapai kemahatahuan, aku akan menjadi Buddha di
dunia ini…"
Pandangan Theravada berikutnya mengenai Bodhisatta
dikemukakan oleh Walpola Rahula:
Meskipun para penganut Buddhisme Theravada meyakini bahwa seseorang
dapat menjadi Bodhisattva, namun mereka tidak mengharuskan atau
menekankan bahwa seseorang harus menjadi seorang Bodhisattva…
Terserah kepada masing-masing individu untuk memutuskan jalan mana
yang akan diambilnya, entah sebagai Savaka, Paccekabuddha, atau
Samaksambuddha (7)
2. Pandangan Mahayana mengenai Bodhisattva.
Menurut naskah-naskah Mahayana, Bodhisattva adalah juga calon Buddha.
Seorang Bodhisattva juga berikrar agar kelak dapat menjadi seorang
Buddha yang sempurna dan lengkap (Samyaksambuddha). Hal tersebut
dapat dibaca dalam Sutra Suvarnabhasottama bab III:
Semoga aku menjadi seorang Buddha yang istimewa dengan ratusan ribu
meditasi, dengan Dharani (magic formula) yang tak terbayangkan,
dengan pencerapan-pencerapan (senses), dengan sepuluh kekuatan
(bala), [dan tujuh] bagian pencerahan.
Seorang Bodhisattva berikrar pula untuk membantu memberi manfaat
kepada semua makhluk sebagaimana yang tercantum pada
Suvarnabhasottama Sutra dengan bab yang sama:
Semoga aku menjankan tugas/ karirku selama jutaan kalpa demi
kepentingan tiap-tiap makhluk, sampai aku berhasil membebaskan mereka
semua dari lautan kesengsaraan.
Berbagai sutra Mahayana juga menyebutkan bahwa Buddha memberikan
peramalan mengenai pencapaian Kebuddhaan berbagai Bodhisattva.
Di dalam Sutra Avatamsaka (Sutra Dasabhumika), juga disebutkan
mengenai sepuluh tingkatan kesucian Bodhisattva. Adapun tingkatan-
tingkatan tersebut adalah Pramudita, Vimala, Prabhakari, Arcismati,
Sudurjaya, Abhimukhi, Durangama, Acala, Sadhumati, dan Dharmamegha.
Seorang Bodhisattva menapaki tahapan tersebut satu persatu, hingga
merealisasi Kebuddhaan, yang merupakan tingkatan tertinggi di atas
Dharmamegha. Karena masih harus melalui tingkatan-tingkatan tersebut,
berarti seorang Bodhisattva juga masih belum sempurna. Di dalam Sutra
Samdhinirmocana bab VII, masing-masing tingkatan tersebut dihubungkan
dengan kekotoran bathin (kilesha) (8) yang masih dimiliki
Bodhisattva tersebut. Di mana naiknya seorang Bodhisattva ke tingkat
yang lebih tinggi berarti penghapusan kotoran bathin tertentu yang
masih dimilikinya. Makin tinggi tingkatannya makin halus kilesha yang
tersisa. Dengan dihapuskannya kilesha terakhir pada tingkatan
Dharmamegha tersebut seseorang mencapai tingkat Kebuddhaan.
Di sepanjang pelatihan spiritualnya dalam mencapai Kebuddhaan,
seorang Bodhisattva melaksanakan tindakan-tindakan bajik yang disebut
dengan paramita (lihat bagian khusus buku ini mengenai paramita).
Tujuan paramita tersebut adalah untuk membawa kebahagiaan bagi
makhluk lainnya.
3. Perbandingan pandangan dasar mengenai Bodhisattva di dalam
Theravada dan Mahayana.
Setelah membandingkan kedua pandangan di atas, dapat
disimpulkan bahwa kedua aliran sepakat bahwa:
1. Seorang Bodhisattva adalah calon Buddha.
2. Seorang Bodhisattva berikrar untuk menjadi Buddha.
3. Seorang Bodhisattva berjuang demi menguntungkan makhluk
lainnya.
4. Para Bodhisattva juga menerima ramalan pencapaian Kebuddhaan
(vyakarana) dari Buddha-Buddha terdahulu
Terlihat bahwa sebenarnya secara mendasar tidak ada perbedaan
pengertian Bodhisattva di dalam Theravada dan Mahayana.
4. Ulasan pandangan yang berbeda mengenai Bodhisattva antara
Theravada dan Mahayana.
Kini bagaimanakah dengan pendapat bahwa seorang Bodhisattva lebih
tinggi dibandingkan dengan Arahat? Mahayana mengatakan bahwa Arahat
tidak favorit dibandingkan Bodhisattva karena mereka hanya bertujuan
untuk mencari keselamatan dirinya saja dan tidak membantu
menyelamatkan makhluk lainnya. Marilah kita pelajari sutra-sutra
Mahayana berikut ini mengenai Bodhisattva.
1. Sutra Mahratnakuta, sutra ke 35, yang berjudul Pembabaran Mengenai
Kondisi Kebuddhaan Yang Tak Tertandingi menyebutkan:
Seorang Bodhisattva melampaui para Sravaka dan Pratyekabuddha dalam
hal berikut, ia mencapai Nirvana, namun ia keluar lagi darinya,
inilah yang membedakannya dengan Para Sravaka (Arahat) dan
Pratyekabuddha.
2.Sutra Upayakausalya:
Bodhisattva-Mahasattva makhluk yang termulia, yang terunggul.
Bodhisattva Mahasattva melatih semua dhyana dan samadhi, tetapi
setelah melaksanakan itu semua, mereka kembali masuk ke Alam Nafsu
untuk mengajari dan mengubah para makhluk hidup. Meskipun mereka
melatih kekosongan, ketiadaan corak, dan ketiadaan aktivitas untuk
mengubah makhluk hidup dan menyebabkan mereka menjadi Sravaka (Arhat)
atau Pratyekabuddha, namun karena cinta kasih dan belas kasih agung,
mereka selamanya tidak terpisah dari hati Bodhisattva.
3.Sutra Delapan Kesadaran Agung:
Roda kelahiran dan kematian bagaikan nyala api yang membakar sebuah
rumah. Terdapat penderitaan yang tak terhingga. Pertama-tama kita
harus berikrar untuk mengabdikan diri pada pengabdian kemanusiaan,
kemudian menderita demi kepentingan mereka, dan akhirnya
mempersilahkan mereka mencapai Nirvana, kebahagiaan mutlak yang mulia.
Untuk memecahkan permasalahan di atas, pertama-tama ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan di sini; di dalam naskah-naskah Mahayana
sekalipun pembebasan tetap harus diusahakan sendiri. Nibbana atau
Nirvana tidaklah dapat dianugerahkan oleh makhluk lainnya, tetap kita
harus berjuang sendiri-sendiri. Ini dinyatakan dengan jelas sekali
dalam Sutra Mahaparinirvana Pacchimovada:
O, Para Bhikshu, berusahalah dengan giat dan bulatkan tekad untuk
mencapai pembebasan! Segala sesuatu yang berubah dan tidak berubah
merupakan manifestasi bentuk fenomena dari kemayaan! Tenanglah
kalian! Tak lama kemudian Aku akan sirna! Inilah pesan-pesan terakhir-
Ku!
Seorang Bodhisattva menurut Mahayana hanyalah membimbing para makhluk
di dalam menempuh jalan yang benar menuju nirvana. Itulah pengertian
yang benar bagi "menyelamatkan semua makhluk". Mereka menggunakan
berbagai metode-jitu (skillful means) yang disebut upaya kausalya
(merupakan salah satu di antara 10 Paramita Mahayana, lihat bagian
buku ini yang khusus membahas mengenai paramita) dalam membimbing
para makhluk agar selalu berada di jalan yang benar atau membawanya
ke jalan tersebut apabila mereka belum berada di atasnya. Upaya
kausalya berarti dengan terampil memanfaatkan berbagai metode untuk
menarik perhatian dan mengarahkan para makhluk agar bersedia menapaki
Jalan Dharma. Inilah salah satu keahlian para Bodhisattva. Para
Bodhisattva dapat memahami keinginan dan kecenderungan para makhluk
sehingga dapat mengajar mereka dengan metode yang tepat. Di sini kita
menyimpulkan bahwa: setidaknya Mahayana dan Theravada setuju bahwa
pencapaian nibbana tetap harus diusahakan oleh diri sendiri.
Untuk memahami akar gagasan Mahayana mengenai Bodhisattva
serta latar belakang pandangan bahwa seorang Arahat hanya
mengusahakan pembebasan dirinya saja, akan dikutipkan penjelasan
Suwarto Tani:
Seorang arhat, yang telah terbebas, mengetahui bahwa dia tidak akan
terlahir kembali. Dia telah menyelesaikan dengan baik apa yang harus
dikerjakan. Dia telah melepaskan bebannya. Dia hidup pada kehidupan
suci. Dia mencapai kebersihan-kemurnian dan akhir emansipasi pikiran
dan hati. Dia sendiri menyendiri, bersemangat, bersungguh-sungguh,
menguasai dirinya sendiri.
Seorang arhat seperti itu juga pergi sebagai seorang pengkhotbah dan
mengajarkan ajaran Buddha kepada orang lain. Guru tersebut sangat
menganjurkan para siswanya untuk berkelana dan membabarkan kebenaran
demi kebaikan dan pembebasan orang banyak, karena ia mengasihi sesama
makhluk hidup dan menaruh belas kasihan pada mereka.
Demikianlah gagasan mengenai Arhat tersebut selama tiga abad sebelah
parinibbana Sang Buddha. Tetapi nyatanya Para Bhikkhu Buddhisme mulai
mengabaikan aspek-aspek perpenting tertentu gagasan tersebut pada
abad kedua SM….. Mereka menjadi terlalu mementingkan diri sendiri
dengan hidup menyendiri. Mereka tidak lagi melaksanakan semangat
untuk membabarkan Dharma bagi yang lainnya di antara umat manusia.
Mereka hanya mementingkan pembebasan diri mereka sendiri dan tidak
lagi berpikir untuk mengajar dan membantu sesama manusia.(9)
Kutipan di atas melengkapi apa yang telah disampaikan pada bagian
sebelumnya mengenai arhat.
Berdasarkan kutipan tersebut kita boleh menyimpulkan bahwa para arhat
pada mulanya juga memiliki semangat bodhisattva, yakni dalam wujud
menyebarkan Dharma demi pembebasan makhluk lainnya. Hal tersebut
terbukti pada Sutta Punnovana (Sutta ke-145 Majjhima Nikaya). Pada
Sutta tersebut diriwayatkan mengenai murid Buddha yang bernama Punna.
Ia mengatakan pada Buddha bahwa ia hendak mengajarkan Dhamma di
Negeri Sunaparanta. Buddha mengingatkan bahwa penduduk negeri itu
amat mengerikan dan kasar, serta menanyakan apakah yang akan terjadi
bila mereka mencaci maki dan mengancam Punna. Ternyata, Punna
memberikan jawaban yang sangat bagus:
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta mengancam dan mencaci makiku,
maka aku akan berpikir [demikian]: "Warga Sunaparanta ini [memang]
luar biasa, benar-benar luar biasa, mereka tidak meninjuku." Maka aku
seharusnya berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya
berpikir demikian, Yang Mulia.
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar meninjumu, maka apa
yang akan pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar meninjuku, maka aku
seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini memang luar
biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka tidak
melempariku dengan segumpal tanah." Maka aku seharusnya berpikir
demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang
Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar melemparimu dengan
tanah, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar melempariku dengan
tanah, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini
memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka
tidak memukulku dengan tongkat." Maka aku seharusnya berpikir
demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang
Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulmu dengan
tongkat, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar memukulku dengan
tongkat, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta
ini memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena
mereka tidak menusukku dengan pisau." Maka aku seharusnya berpikir
demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian, Yang
Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukmu dengan
pisau, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar menusukku dengan
pisau, maka aku seharusnya berpikir [demikian]:"Warga Sunaparanta ini
memang luar biasa baik, benar-benar luar biasa baik, karena mereka
belum membunuhku dengan pisau yang tajam." Maka aku seharusnya
berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian,
Yang Mulia."
"Namun, Punna, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhmu dengan
pisau yang tajam, maka apa yang akan engkau pikirkan kemudian?"
"Yang Mulia, jika warga Sunaparanta benar-benar membunuhku dengan
pisau yang tajam, maka aku seharusnya berpikir demikian:"Telah ada
murid-murid Yang Terberkahi yang jijik, direndahkan, dan muak, dengan
tubuh dan kehidupan, telah berharap agar dibunuh. Namun aku telah
mengalami pembunuhan ini tanpa mencarinya." Maka aku seharusnya
berpikir demikian, Yang Terberkahi, aku seharusnya berpikir demikian,
Yang Mulia."
"Bagus, bagus, Punna! Engkau memiliki pengendalian diri dan
kedamaian, engkau akan sanggup berdiam di Negeri Sunaparanta. Kini,
Punna, saatnya untuk melakukan, apa yang engkau rasa baik."
Punna kemudian berangkat ke negeri tersebut. Sebagai hasil pembabaran
Dhammanya, 500 orang penganut awam pria dan 500 penganut awam wanita
mengenal kebenaran yang diajarkan Sang Buddha. Di sini kita
mempelajari dua hal penting. Pertama, tidak benar bahwa seorang arhat
[yang asli] hanya mementingkan pembebasan dirinya saja. Banyak bukti
dalam Kitab Suci Tipitaka Pali bahwa para arhat juga menyebarkan
Dhamma demi membebaskan makhluk lainnya. Kedua, sikap Punna tersebut
yang tetap sabar meskipun dianiaya dan dibunuh mencerminkan sikap
seorang Bodhisattva yang welas asih. Padanan kisah tersebut terdapat
dalam Sutra Saddharmapundarika bab XX, yang mengisahkan mengenai
seorang Bodhisattva bernama Sadaparibhuta atau disebut juga
Bodhisattva Yang Tidak Pernah Balas Mengutuk. Ia menerima dengan
sabar cacian dan aniaya yang diberikan padanya, karena merasa bahwa
orang-orang yang memusuhi dirinya kelak juga akan menjadi Buddha.
Lebih jauh lagi, dalam Cariyapitaka Atthakata 292, yang merupakan
literatur Buddhisme Theravada, disebutkan bahwa:
Seseorang hendaknya berpikir: "Aku tidak akan dapat memberi
kebahagiaan dan kesejahteraan pada mereka yang lain, dengan berharap
semata. Aku harus berusaha untuk mewujudkannya.
Dalam Milindapanha 394 disebutkan:
Meditasi Cinta Kasih hendaknya dilakukan demi diri sendiri dan orang
lain. Semua hendaknya diliputi cinta kasih. Inilah Ajaran Sang Buddha.
Dan pada Samyutta Nikaya II: 264 dikatakan:
Apabila seseorang memberi pemberian seratus uang logam pada pagi hari
lalu siang hari dan sekali lagi pada malam harinya, dibanding seorang
lain yang mengembangkan batin yang penuh cinta kasih pada pagi hari,
siangnya dan malamnya walau hanya sepemerahan susu sapi, maka akan
jauh lebih bermanfaat yang kedua. Oleh karenanya, hendaknya engkau
melatih dirimu, dengan berpikir: "Kami akan mengembangkan pembebasan
batin melalui cinta kasih. Kami akan sering berlatih. Kami akan
menjadikannya sarana serta mendasari semua perbuatan. Kami akan
berdiri kokoh di atasnya, menimbunnya dan lalu menganjurkannya.
Kutipan-kutipan dari naskah suci Theravada di atas menjelaskan pada
kita bahwa sebenarnya aspek cinta dan belas kasih juga ditekankan
dalam Theravada, sehingga dengan demikian para arhat sejatipun
memiliki aspek cinta dan belas kasih tersebut. Namun sayangnya
sebagian bhikkhu pada masa-masa yang lebih kemudian telah melupakan
aspek tersebut, sehingga merusak pandangan umum mengenai kearahatan.
Karenanya mereka lebih pantas disebut arahat palsu.
Kita dapat menyimpulkan bahwa timbulnya gagasan Mahayana bahwa
Bodhisattva lebih tinggi dari arhat adalah sebagai reaksi atas
kesalahan sikap sebagian bhikkhu dan pemuka Buddhis saat itu. Hal ini
seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi kita, yakni membuat Buddhisme
menjadi "merakyat" dan "membumi". Para pemuka Buddhisme dewasa ini
seyogianya harus dapat memberikan pengabdian lebih pada umat.
Berikut ini akan kita bahas satu persatu kutipan-kutipan Sutra
Mahayana di atas yang berhubungan dengan doktrin mengenai
Bodhisattva. Berdasarkan konteks di atas kita seharusnya melihat
bahwa kutipan sutra ke 35 dari kumpulan Maharatnakuta ditujukan
sebagai sindiran bagi para bhikkhu dan pemuka agama pada zaman itu.
Mereka disindir sebagai "arhat" dan "pratyekabuddha" palsu karena
hanya mengurung diri dalam "nirvana"ciptaan mereka saja dan tidak
bersedia keluar untuk melayani umat; karenanya, istilah "nirvana" di
atas bukanlah dimaksudkan sebagai nirvana sebenarnya dan hanya
dimaksudkan sebagai sindiran saja. Kata "nirvana" di atas
dipergunakan untuk menyindir tempat pengasingan seorang bhikkhu yang
menjauhkan diri dari umat awam. Seorang Bodhisattva dipuji karena
bersedia meninggalkan tempat tersebut berkarya bagi kemanusiaan.
Analoginya adalah saat kita menyindir orang yang pulang terlampau
malam, kita dapat menyindirnya dengan ucapan, "Mengapa tidak pulang
pagi saja?" Tentunya kita tidak mengharapkan agar ia benar-benar
pulang pagi, bukan? Pola penafsiran yang sama hendaknya diterapkan
pada kutipan sutra-sutra Mahayana di atas, dimana kita harus memahami
konteks dan suasana spiritual saat timbulnya sutra-sutra itu. Kesan
negatif terhadap para bhikkhu zaman itulah yang menyebabkan
pengagungan terhadap konsep Bodhisattva.
Kutipan Sutra Upayakausalya di atas juga diawali dengan
pengagung-agungan terhadap Bodhisattva, yakni dengan mengatakan bahwa
mereka adalah makhluk termulia dan terunggul. Mereka juga mempelajari
beraneka Ajaran Buddha, seperti kekosongan, ketiadaan corak, dan lain
sebagainya. Namun setelah mempelajarinya mereka bersedia
menerapkannya di tengah -tengah masyarakat, tidak seperti beberapa
bhikkhu di zaman itu yang tidak berniat untuk mengimplikasikan
pengetahuannya bagi humanisme. Pada zaman sekarang sekalipun kita
juga sering tergoda untuk melakukan hal serupa, dengan banyak belajar
dan mendengar Dharma, namun malas menyebarkannya demi terciptanya
masyarakat yang lebih baik. Akibatnya, Buddhisme mengalami stagnasi.
Sutra Delapan Kesadaran Agung mengajarkan bahwa sebagai
seorang Buddhis kita harus peduli dengan masalah kemasyarakatan.
Sebagai seorang Buddhis kita tidak dapat menutup diri kita terhadap
apa yang terjadi di sekeliling kita - termasuk penderitaan yang
dialami para makhluk -- jadi kita tidak cukup hanya mengurung diri
dan mempelajari Dharma. Oleh karenanya Sutra Delapan Kesadaran Agung
ini dapat dianggap sebagai sindiran bagi sebagian bhikkhu zaman itu
yang terlalu mementingkan dirinya, menjadi melekat pada apa yang
tertulis dan mengabaikan penderitaan makhluk lainnya. Lebih jauh
lagi, kutipan sutra di atas juga menganjurkan agar kita agar bersedia
menjadi pejuang kemanusiaan. Umat Buddha hendaknya tidak perlu takut
menyuarakan kebenaran meskipun mendapat resiko dicaci maki atau
dimusuhi.
Berdasarkan kutipan pernyataan Walpola Rahula di atas kita
mengetahui bahwa di dalam Buddhisme Theravada umat dibebaskan untuk
memilih pencapaian berupa Arhat, Pratyekabuddha, ataupun
Samyaksambuddha, sedangkan di dalam Mahayana tujuan utamanya adalah
menjadi Samyaksambuddha (Buddha yang sempurna dan lengkap). Tentu
saja, hal ini tidak bertentangan, karena seseorang boleh saja memilih
salah satu dari sekian banyak pilihan menjadi pilihan utamanya (10)
Sebagai penutup akan dikutipkan pendapat Kogen Mizuno:
Kebangkitan Mahayana, yang mendapatkan dukungan pada abad pertama
sebelum Masehi, atau sekitar 400 tahun setelah Sakyamuni Buddha
parinirvana, bertujuan untuk mengembalikan semangat asli dari Ajaran
Sang Buddha, yang pada saat itu telah menjadi terlalu formal.(11)
5. Apakah Ikrar Bodhisattva hanya dikenal dalam Buddhisme Mahayana?
Jawabnya ternyata adalah tidak. Di dalam Buddhavamsa 2A: 56 yang
terdapat dalam kanon Pali ternyata disebutkan ikrar Bodhisatta
Sumedha, yang merupakan kelahiran masa lampau dari Sang Buddha saat
Beliau masih menempuh Jalan Bodhisatta:
Apakah gunanya aku menyeberang seorang diri, menjadi seseorang yang
menyadari kekuatanku? Setelah meraih kemaha-tahuan, aku akan
menyebabkan dunia ini bersama dengan para dewa untuk menyeberang
[bersama-sama]. Memotong aliran samsara, menghancurkan tiga proses
dumadi (becomings), menaiki perahu Dhamma. Aku akan menyebabkan dunia
ini beserta para dewa untuk menyeberang. (12)
Kutipan di atas nyata sekali sangat dekat isinya dengan Ikrar
Bodhisattva yang terdapat dalam Mahayana.
Sejarah juga membuktikan bahwa banyak tokoh-tokoh Buddhis Theravada
yang menjalankan ikrar Bodhisattva atau memandang diri mereka sendiri
sebagai Bodhisattva (13) . Mahavamsa mengisahkan bahwa Raja
Duttagamani (abad kedua SM) dari Srilanka menolak untuk terlahir di
alam dewa setelah menjalani hidup sebagai seorang samanera. Ia lebih
memilih untuk terlahir kembali di dunia ini agar dapat memajukan
Buddhisme dan Sangha. Meskipun Duttagamani tidak disebutkan sebagai
seorang Bodhisattva dalam Mahavamsa, namun tentu saja ia memenuhi
kriteria-kriteria sebagai seorang Bodhisattva. Raja Sirisamghabodhi
menyelamatkan warga Srilanka dari kekeringan yang mematikan serta
mengorbankan kepalanya sendiri demi mencegah peperangan. Raja
Buddhadasa yang mengasihi semua makhluk, seolah-olah mereka adalah
anak-anaknya sendiri. Raja Upatissa (masih dari Srilanka) telah
menjalankan sepuluh parami pada masa pemerintahannya.
Semenjak abad kedelapan Masehi, hubungan antara kedudukan raja dengan
Kebodhisattvaan menjadi makin sering terjadi. Kita dapat menjumpai
banyak fakta bahwa raja-raja beragama Buddha Theravada dari Srilanka,
Burma (sekarang disebut Myanmar) dan Muangthai yang menyatakan diri
mereka sebagai Bodhisattva. Raja Nissanka Malla (1187-1196) dari
Polonnaruwa, Srilanka membuat pernyataan: "Aku akan menunjukkan
diriku dalam wujud yang sejati yang dilimpahi dengan…kualitas-
kualitas bajik seorang Raja Bodhisatta, yang bagaikan orang tua
melindungi dunia dan agama."
Raja Parakramabahu VI dalam segel kerajaannya menyebut dirinya
sebagai Bodhisatta Parakramabahu. Raja Mahinda IV bahkan lebih jauh
lagi menyatakan bahwa seorang yang bukan Bodhisatta tidak akan dapat
menjadi Raja Srilanka.
Kini kita beralih ke Burma. Di negeri tersebut contoh hubungan antara
raja dan Bodhisattva diperlihatkan oleh Raja Kyanzittha, yang
menyatakan dirinya sebagai "Bodhisatta, yang kelak akan menjadi
seorang Buddha, yang menyelamatkan dan membebaskan semua makhluk,
yang memiliki cinta dan belas kasih bagi semua makhluk di segala
jaman, serta yang telah diramalkan oleh Sang Buddha untuk menjadi
seorang Buddha yang sempurna." Raja Alaungsithu menulis bahwa ia akan
menolong semua makhluk mencapai "Kota yang Terberkahi" (nibbana).
Raja-raja Sri Tribhuvanaditya, Thiluin Man, Cansu I, dan Natonmya
semuanya menyatakan dirinya sebagai Bodhisatta.
Di Muangthai, Raja Lu Tai dari Sukhothai berharap untuk "menjadi
seorang Buddha demi membantu semua makhluk meninggalkan samsara."
Masih banyak lagi tokoh-tokoh Theravada lainnya, yang bukan berasal
dari kalangan kerajaan, juga berikrar untuk menjadi Bodhisatta.
Pengarang komentar kitab Jataka (Jatakattakatha) menutup karangannya
dengan ikrar untuk melaksanakan sepuluh parami agar pada masa
mendatang ia dapat menjadi Buddha dan membimbing para makhluk yang
berada di dunia ini dan alam dewa menuju nibanna, sehingga terbebas
dari kelahiran dan kematian yang tanpa henti. Buddhaghosa, penulis
komentar yang terkenal tersebut juga diyakini oleh para Bhikkhu di
Anuradhapura sebagai penjelmaan Bodhisatta Metteya. Bhikkhu besar
dari Srilanka Doratiyaveye (sekitar 1900) setelah menerima ajaran
rahasia dari guru meditasinya, menolak untuk mempraktekkannya.
Penolakan itu disebabkan karena ia merasa bahwa teknik meditasi
tersebut akan menyebabkannya menjadi seorang Arahat atau setidaknya
sotapanna, padahal ia menganggap diri sebagai seorang Bodhisatta dan
telah berikrar untuk menjadi seorang Buddha kelak. Bhikkhu Mahaa
Tipitaka Culabhaya dalam komentarnya mengenai Milindapanha
menulis: "Buddho Bhaveyyam" atau "Semoga aku menjadi seorang Buddha.
Pertanyaan seputar Bodhisattva.
Para Bodhisattva berikrar bahwa mereka akan menyelamatkan seluruh
makhluk, tetapi karena makhluk hidup tak terhingga jumlahnya. Apakah
ikrar semacam itu masih relevan?
Jawab: Masih, karena di dalam membicarakan suatu ikrar kita
mementingkan suatu "totalisme" yang menunjukkan ketulusan di dalam
ikrar tersebut. Tidak mungkin seorang Bodhisattva mengatakan bahwa ia
hanya hendak menyelamatkan 1, 10, 100, 1000, 1 juta, ataupun 1 milyar
makhluk saja. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa ia hanya hendak
menyelamatkan 1/6, 1/8, atau ½ dari jumlah makhluk yang ada. Kalau ia
berikrar demikian maka ikrarnya masih belum tulus, karena masih ada
sifat membeda-bedakan. Dengan demikian, ikrar semacam itu bukanlah
ikrar sejati dan tidak mengandung belas kasih universal.
Sama halnya dengan seorang murid yang berikrar bahwa ia tidak akan
membolos lagi. Janji tersebut berlaku tanpa kecuali. Kalau seorang
murid telah berjanji demikian maka itu artinya sampai kapanpun ia
tidak akan membolos.
Demikian pula dengan para Bodhisattva, meskipun jumlah makhluk hidup
tak terhitung, kita menyadari bahwa masing-masing menanggung buah
karmanya sendiri.
Lebih jauh lagi, apabila kita memahami bahwa makhluk hidup itu
semuanya sebenarnya kosong (shunya) maka sebenarnya `tidak ada'
makhluk hidup yang diselamatkan. `Jumlah' makhluk hidup tampaknya
luar biasa tak terhingga bagi mereka yang melekat pada pandangan
adanya suatu "aku" yang kekal (atta).
Di dalam Mahayana terdapat Bodhisattva-Bodhisattva lainnya seperti
Avalokitesvara, Kshitigarbha, Manjushri, Samantabhadra,
Mahasthamaprapta, Bhaisajyaraja, dan lain-lain, sedangkan di dalam
Buddha Theravada hanya dikenal satu Bodhisattva saja yakni Metteya
(Maitreya). Apakah hal tersebut menunjukkan pertentangan antara
Mahayana dan Theravada?
Jawabnya tentu saja tidak. Ada beberapa jawaban untuk hal ini.
Pertama kali tidak disebutkannya suatu hal, bukanlah kriteria bahwa
hal tersebut tidak ada, misalnya ada kalimat yang berbunyi sebagai
berikut: "contoh sayuran adalah bayam, kubis, dan sawi." Lalu apakah
dengan demikian lobak dan wortel bukan termasuk sayuran? Kalau
misalnya penulis membuat kalimat baru: "contoh sayuran adalah bayam,
kubis, sawi, wortel, lobak, dan buncis." Apakah kedua kalimat di atas
bertentangan? Tentu tidak bukan? Demikian juga halnya dengan masalah
Bodhisattva di atas. Theravada tidak mencantumkan nama-nama
Bodhisattva lainnya, bukan berarti kedua hal tersebut bertentangan (tidak ada).
Sesungguhnya kalau ditinjau dari segi ilmiah (tanpa memandang Kanon
Pali maupun Sansekerta), Metteya maupun Avalokitesvara,
[Kshitigarbha, Manjushri, dll.] adalah sama saja; dalam artian bahwa
mereka semua bukanlah tokoh yang benar-benar pernah hidup dalam
sejarah dan sama-sama tidak dapat dibuktikan keberadaannya secara
historis. Dari sudut pandang seorang skeptis/ non-Buddhis, Metteya
(meskipun namanya tercatat dalam Kanon Pali) dan Avalokitesvara
(meskipun namanya tidak tercatat dalam Kanon Pali) adalah sama-sama
fiktifnya. Tanyakanlah kepada penganut Agama non-Buddhis, "Apakah
Anda percaya akan keberadaan Metteya?" Jawabnya pasti "tidak."
Tanyakan pula, "Apakah Anda percaya akan keberadaan Avalokitesvara?"
Jawabnya juga pasti "tidak." Kita tidak dapat memungkiri bahwa tiap-
tiap agama mengandung unsur faith atau keyakinan, yakni keyakinan
terhadap "sesuatu" yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah [dengan
menggunakan metode-metode sains] dan ini tentunya tidak dapat
diperdebatkan. Theravada juga mengakui adanya dewa, naga, Mara,
surga, neraka, alam-alam kehidupan lain (yang juga diyakini oleh
Mahayana), namun tentu saja keberadaannya juga tidak dapat dibuktikan
dengan menggunakan metode-metode sains. Hal ini menunjukkan bahwa
baik Theravada maupun Mahayana sama-sama tidak terbebas dari "mitos."
Penting pula untuk memahami mengenai makna Avalokitesvara yang
sesungguhnya menurut Ajaran Buddhisme Mahayana. -- Menurut Ajaran
Mahayana yang sejati masalahnya bukan terletak pada percaya ataupun
tidak percaya. Pandangan ini diwakili oleh Buddhisme Zen yang
mengatakan bahwa Avalokitesvara sejati berada dalam pikiran kita
sendiri, jadi tidak ada keharusan untuk meyakini keberadaannya.
Demikian pula dengan yang diajarkan oleh Buddhisme Vajrayana yang
memiliki ritual (sadhana) meditasi Avalokitesvara. Di dalam sadhana
tersebut kita membayangkan diri kita berubah menjadi Avalokitesvara,
dimana hal ini melambangkan transformasi pikiran kita menjadi pikiran
Avalokitesvara yang mewakili metta karuna. Kita memeditasikan diri
kita sebagai Avalokitesvara yang membagi kebahagiaan kepada semua
makhluk dan meneladani kebajikan Avalokitesvara.
Jadi kesimpulannya Mahayana sendiripun tidak mengajarkan umatnya
untuk meminta-minta pada Avalokitesvara. Avalokitesvara adalah suatu
teladan untuk melatih Ajaran Sang Buddha. Yang Arya Mahaguru Sheng-
yen dalam bukunya Pedang Pusaka Kebijaksanaan juga memaparkan hal
tersebut. Kalau kita melihat beberapa gambar atau patung
Avalokitesvara, tampaklah Beliau sedang memegang tasbih.
Pertanyaannya tasbih tersebut dipergunakan untuk membaca atau
mengulang nama siapakah? Pertanyaan ini adalah sebuah kung-an atau
koan (pertanyaan yang membimbing menuju pencerahan pada Buddhisme
Zen). Master Sheng-yen menjawabnya bahwa tasbih itu dipergunakan
untuk membaca nama Avalokitesvara atau namanya sendiri. Hal ini
mengajarkan bahwa kita harus bergantung pada diri kita sendiri,
sebagaimana Avalokitesvara yang melafalkan namanya sendiri secara
berulang-ulang.
CATATAN PINGGIR:
(1)
Acuan terhadap "arahat" palsu secara implisit dapat ditafsirkan dari
5 pertanyaan yang dilontarkan oleh Mahadeva sehubungan dengan status
kearahatan, yakni:
(i).Apakah seorang arahat masih dapat tergoda oleh orang lainnya?
(ii).Apakah seorang arahat masih dapat mengalami ketidak-tahuan. --
Ketidak tahuan tersebut barangkali bukan dimaksudkan dalam bidang
spiritual, melainkan misalnya tidak mengetahui nama seseorang dan
lain sebagainya.
(iii).Apakah seorang arahat masih dapat memiliki keraguan?
(iv).Apakah seorang arahat masih mungkin diberi petunjuk oleh orang
lainnya?
(v).Apakah seorang arahat masih dapat menyesal tatkala memasuki Jalan
Kebuddhaan, misalnya ditunjukkan dengan ucapan: "O, Penderitaan."
Untuk lebih jauh lagi dapat melihat buku Mahayana Buddhism, karya
Paul Williams hal 17.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas tentunya didukung oleh
kenyataan sehari-hari yang barangkali dijumpai oleh Mahadeva, karena
kalau tidak pertanyaan semacam itu tidak akan timbul. Buku yang sama
juga menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan inilah yang juga
menimbulkan perpecahan Agama Buddha.
Tentu saja kalau kita berpedoman pada Buddhisme primitif, maka
seorang Arahat tidak dapat tergoda karena segenap nafsu indriyanya
telah padam dan juga karena ia telah mencapai pantai seberang maka
tiada lagi keraguan dalam dirinya.
Guna mencegah spekulasi pencapaian spiritual palsu semacam itu ada
terdapat dalam salah satu pasal dari keempat Parajika, yakni mengenai
larangan untuk melakukan uttarimanussadhamma, atau berbohong mengenai
pencapaian spiritual. Adanya vinaya ini menandakan bahwa semenjak
jaman Sang Buddha telah ada orang yang berbohong mengenai pencapaian
spiritualnya dan oleh sebab itu tidak mustahil bahwa banyak timbul
orang yang mengaku dirinya arahat setelah mahapariNibbananya Sang
Buddha.
Terlepas dari semua itu yang pasti semenjak Konsili Kedua telah
terjadi pertanyaan atas otoritas para Arahat, tentu saja adanya
pertanyaan semacam itu pastilah memiliki suatu penyebab dan latar
belakang tertentu.
(2) Filsafat Buddha terjemahan Ir. Hudaya Kandahjaya MSc hal 104.
(3) What Buddhists Believe, karya K. Sri Dhammananda, halaman 20
(4) Filsafat Buddha terjemahan Ir. Hudaya Kandahjaya MSc hal 49.
(5) Lihat Buddhist Dictionary, karya Nyanatiloka, halaman 125
(6) Lihat artikel The Bodhisattva Ideal in Theravada, karya Jeffrey Samuels halaman 402
(7) Lihat L'ideal du bodhisattva dans le Theravada et le Mahaayaana, karya Walpola Rahula, halaman 69
(8) Kilesha: sebagai sesuatu yang pasif (laten) bisa berarti `kekotoran
bathin' atau defilement, namun dalam kondisi aktif wujudnya adalah
gangguan-kekesalan (vexations, emotional afflictions) – ed.
(9)Buddha Dharma Mahayana, halaman 132.
(10)
Lihat artikel The Bodhisattva Ideal in Theravada, karya Jeffrey
Samuels halaman 408.
(11)
Essentials of Buddhism, Concepts of Buddhist Philosophy and Practice,
karya Kogen Mizuno halaman 25.
(12)
Lihat artikel The Bodhisattva Ideal in Theravada, karya Jeffrey
Samuels halaman 410.
(13) Ibid, halaman 404-406.
Dari : Millis Dharmajala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar