PROLOG
Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan.
Dalam kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno, kondisi chaos demikian akan melahirkan kisah epik nan heroitik. Sebutlah satu figur yang sangat melegenda: Qiang Shou Guan Yin—Guan Yin, Dewi Tangan Seribu.
***
Menurut kepercayaan masyarakat Tiongkok kuno, yang sarat berbaur dengan ajaran serta moralitas Buddhisme, bentuk-bentuk penderitaan, kegelisahan dan keresahan akibat kondisi berniskala derita merupakan persoalan majemuk insan dan madani. Pendambaan akan kehidupan yang tenteram dan lebih baik inilah yang mendorong munculnya pertolongan totemis dari langit.
Guan Yin Dewi Tangan Seribu merupakan pengejawantahan kebaikan yang berinkarnasi dari jelata ke subtilitas langit. Itulah sebabnya, penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berkembang pesat di China sampai saat ini masih sangat menjunjung tinggi nilai moral dan kebajikannya. Ia merupakan sosok dewi yang bersahaja, welas asih, dan penolong kaum lemah tertindas dan marjinal.
Menurut salah satu kitab suci masyarakat Tiongkok kuno, Sutra Dharma, Guan Yin Dewi Tangan Seribu mendapat maklumat dari Raja Seribu Cahaya di Nirwana untuk mengembang 'Maha Karuna Dharma Sutra' atau 'Amanat Belas Kasihan Tanpa Batas' kepada semua makhluk hidup dan insan di dunia. Bahkan, kepada semua makhluk yang tak kasatmata sekalipun.
Ketika itu, Sang Tathagata atau lazim disebut Raja Seribu Cahaya, memanggil Guan Yin ke Nirwana. Di situlah ia mendapat anugerah yang tak dimiliki oleh dewa maupun dewi lain. Maka, berbekal sifat welas asihnya yang platonis, Guan Yin pun memperoleh pencerahan agung tersebut setelah berikrar:
"Saya Guan Yin, dan saya berikrar, jika saya dapat mendedikasikan kebaikan sehingga membawa manfaat kebahagiaan dan kesejahteraan bagi semua makhluk hidup, maka izinkahlah saya dapat memiliki seribu tangan serta seribu mata untuk dapat membantu saya mewujudkan hal mulia tersebut!"
Setelah mengucapkan ikrar tulus tersebut semata kiasan dan simbolik, maka tumbuhlah jasadi seribu tangan dan seribu mata pada raga Guan Yin. Mulanya, timbul tangan yang memegang Ru Yi atau Permata Intan yang melambangkan kemuliaan, disusul kemudian tangan yang memegang Anggur sebagai lambang kemakmuran, dan tangan yang memegang Tirta Armata yang melambangkan air kehidupan, dan tangan yang memegang Daun Yang-liu (sakura blossoms) sebagai lambang kesejahteraan, serta tangan Telapak Buddha berwarna putih yang melambangkan kebajikan, dan lain seterusnya.
***
Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan.
Setelah mendapat amanat suci tersebut, maka 'tugas' Sang Dewi Tangan Seribu adalah turun ke dunia kasatmata, dimana manusia serta makhluk hidup lainnya beranak-pinak. Di sanalah Guan Yin Dewi Tangan Seribu akan mengembangkan Maitri dan Karuna atau welas asih dan belas kasihan. Ia senantiasa menyingkirkan segala macam penderitaan dan menumbuhkan kebahagiaan dengan mewujudkan permintaan kesejahteraan kaum papa.
Dalam kepercayaan Buddhisme yang berkembang pesat di China, diyakini bahwa segala permohonan yang berangkat dari ketulusan dan niat suci, maka biasanya Guan Yin Dewi Tangan Seribu akan mengabulkan permintaan tersebut. Terutama pada saat-saat genting dimana seseorang tengah berhadapan dengan marabahaya. Sehingga dalam kurun ribuan tahun, pengabdian moral dari Sang Dewi Tangan Seribu dikenal galib berporos empat jalan kebenaran. Yakni, pengembangan kebajikan, pengembangan toleransi dan saling hormat menghormati, pengendalian batin dan mawas diri, serta penyingkiran marabahaya.
Turun temurun masyarakat Tionghoa sangat menghormati Qiang Shou Guan Yin. Hampir di setiap rumah penganut Konfusiunisme dan klenteng-klenteng pasti memiliki rupam atau diorama puja untuk mengenang jasa dan kebaikannya. Meski demikian, banyak di antara mereka yang tidak mengetahui asal-usul manusia reinkaransi 'dewi' tersebut. Dan hanya melaksanakan puja-bakti sebagai formalitas belaka.
***
Ihwal Guan Yin Dewi Tangan Seribu bermula di salah satu daerah perbatasan Tionggoan—kini China—dan Negeri Jambudipa—kini India. Tersebutlah seorang raja yang bernama Miao Zhuang. Ia memiliki tiga orang putri yang cantik-cantik. Putri sulung bernama Miao Jin, putri kedua bernama Mio Yin, dan yang bungsu bernama Miao Shan. Miao Jin dan Miao Yin sepanjang waktu hanya bermalas-malasan dan bermanja-manja di dalam istana. Sementara Miao Shan dengan telaten menjaga dan merawat kedua orangtua mereka. Dari ketiga putri Sang Raja, hanya Miao Shan-lah yang sangat berbakti kepada kedua orangtua serta leluhurnya. Ia juga sudah memperlihatkan rasa welas asihnya kepada semua orang, bahkan kepada binatang sekalipun. Itulah sebabnya ia menjadi vegetarian sejak dari balita. Toleransinya kepada dayang-dayang istana demikian besar sehingga ia sangat disayangi dan disenangi oleh semua orang. Dan hanya ia pulalah yang mengaplikasikan bentuk-bentuk kebajikan Buddhisme yang ia pelajari dan dalami ke dalam kesehariannya.
Hal tersebut menimbulkan benci dan dengki di hati kakak-kakak perempuannya. Maka dengan beberapa intrik dan hasutan jahat yang berkolaborasi dengan seorang cenayang tua batil, akhirnya Miao Shan terusir dari istana. Miao Shan dituduh merupakan jelmaan iblis jahat sehingga negeri mereka yang dulunya makmur senantiasa dirundung bencana.
"Sejak Miao Shan lahir, negeri kita selalu dilanda bencana!" ujar Miao Jin.
"Benar, Kakanda," tambah Miao Yin. "Padahal, negeri kita ini makmur, dan tiba-tiba sejak kelahiran Adinda Miao Shan, rundungan bencana susul menyusul tanpa henti. Tidak kekeringan, tidak kebanjiran. Tidak kelaparan, tidak wabah penyakit. Pasti Adinda merupakan jelmaan iblis yang dikutuk oleh Langit!"
Di dalam pengembaraannya, Miao Shan mengabdikan dirinya sebagai samaneri—calon biksu perempuan. Tahun berganti tahun, akhirnya Sang Raja, ayahanda Miao Shan, yang sudah uzur dan sakit-sakitan merasa sangat rindu kepada putri bungsunya tersebut. Namun Miao Shan yang merasa belum merampungkan 'pertapaan' dan 'tugas mulia'-nya masih menampik keinginan ayahnya tersebut, yang memanggilnya pulang lewat perantaraan beberapa bentara atau pengawal kerajaan. Sampai akhirnya, Sang Raja menderita penyakit akut aneh. Di sekujur tubuhnya ditumbuhi bisul dan borok yang tidak dapat disembuhkan.
Miao Shan yang merasa iba, berkat kesaktiannya, mereplikasi dirinya menjadi seorang biksuni. Ia mendatangi istana, dan menjenguk ayahandanya yang terkapar sakit dengan dalih sebagai tabib. Namun di dalam penyamarannya tersebut, ia bukannya mengobati, tetapi justru memberi petunjuk bahwa Sang Kaisar menderita penyakit aneh renjana, dan hanya dapat sembuh jika ia mengkomsumsi sekerat daging manusia dan sebiji bola mata yang berasal dari tetubuh putri-putrinya sendiri.
Sang Kaisar murka luar biasa. Diusirlah 'sang Biksuni' jejelma Miao Shan karena menganggap perempuan abdi langit tersebut tengah membual. Hari demi hari berlalu, penyakit Sang Raja bertambah parah. Miao Shan mereduksi kembali tubuhnya kembali ke bentuk semula, dari seorang biksuni menjadi dirinya yang asli. Ia mendatangi ayahnya, dan sangat prihatin melihat kondisi tubuh tua itu yang semakin memburuk. Maka ia mengusulkan agar ayahnya melakukan apa yang telah diusulkan oleh 'biksuni' tersebut sebagai jalan pengobatan. Ayahnya mengakuri usul tersebut demi penyembuhan dirinya.
Ketika meminta kakak-kakak perempuannya untuk berkorban diiris otot lengan dan dicungkil sebiji bola matanya untuk dicampur pada obat bagi ayah mereka, sontak keduanya berlutut di samping ranjang ayahanda mereka, menangis tersedu-sedu.
"Oh, Ayahanda, kasihanilah saya Miao Jin. Saya masih memiliki anak yang masih kecil-kecil, dan mereka masih membutuhkan saya untuk membesarkan mereka."
Tidak lama berselang, Miao Yin menyusul dengan kalimat serupa. Kali ini tangisnya lebih menderas.
Namun tiba-tiba Miao Shan datang menengarai, dan dengan bijak ia berkata.
"Biarkan saya saja, Ayahanda. Mereka, Kakanda-Kakanda saya tercinta, masih memiliki suami dan anak-anak. Jadi, izinkanlah saya yang berkorban untuk Anda."
Setelah mengiris sekerat otot lengan dan mengcongkel bola matanya sendiri dengan belati tanpa rasa takut, dengan tenang serta penuh dengan keikhlasan, ia memasukkan bagian-bagian organ tubuhnya tersebut sebagai ramuan obat untuk ayahnya. Ketika mengaduk-aduknya ramuan obat itu, maka keajaiban terjadi seketika. Ramuan obat itu menyerbakkan wangi seharum dupa dan memenuhi seluruh penjuru istana. Raja Miao Zhung, sang Ayahanda Miao Shan yang meminum 'obat mujarab' tersebut sembuh seketika. Dan dengan wajah berseri, dipeluknya tubuh putri bungsunya itu dengan airmata berlinang.
***
Sejak saat itulah kebajikan dan keluhuran budi Miao Shan menjadi legenda di ranah Tionggoan. Ia menggugah ketulusan tanpa pamrih, pengorbanan tanpa batas, sifat welas asih yang tiada tara, dan masih banyak lagi kemuliaan yang tidak dapat dirunut satu per satu. Dikisahkan pula, setelah peristiwa fenomenal tersebut, maka Miao Shan melanjutkan pertapaannya, dan ia menjadi biksuni sepanjang hidup dan pengabdiannya. Meski berat hati, tetapi Raja Miao Zhung dan Ibunda Permaisuri merelakan melepas putri bungsunya tersebut, dan memafhumi niatnya untuk mengabdi bagi kemanusiaan.
Untuk mengenang putri bungsunya tersebut, Raja Miao Zhung memerintahkan pekerja seni rupa terbaik di negerinya untuk membuat patung berwujud Miao Shan.
"Putri saya, Miao Shan, ibarat memiliki seribu tangan untuk membantu sesama dengan tulus serta ikhlas, dan seribu mata yang peka melihat penderitaan rakyat jelata!" demikian aku Raja Miao Zhung dalam nada bangga, yang ternyata salah ditanggapi oleh para pemahat arca suruhan istana.
Arca rampung dengan memiliki seribu tangan dan seribu mata.
Dan itulah ihwal Miao Shan yang melegenda menjadi Qiang Shou Guan Yin—Guan Yin Dewi Tangan Seribu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar