Pages - Menu

Pages

Minggu, 09 September 2012

Wei Tou & Kwan Im Pu sa


PROLOG
Replikasi kebajikan senantiasa akan berhadapan dengan kebatilan sebagai lawan yang abadi. Fenomena tersebut serupa siklus cakra dunia. Ada benderang siang sebagai hal yang dapat dipersonifikasikan sebagai kebajikan, dan ada gulita malam sebagai wujud serta rupa gergasi kejahatan. Merunut histori kelam masa-masa maharana di Tiongkok kuno, maka banyak legenda yang akan menguak menjadi landasan moralitas dan pengembangan batin. Tokoh-tokoh bajik tercipta dalam memerangi tokoh-tokoh batil. Di samping itu, tidak sedikit pula lahir figur-figur panutan yang mendedikasikan seluruh hidupnya demi kesejahteraan orang banyak. Mengenyahkan egosentrisme dan kepentingan diri sendiri meskipun harus berkorban jiwa dan raga.

Dan dalam perkembangan zaman, mereka adalah pebijak yang 'hidup abadi' di antara mortalitas kita, yang terkungkung dalam sebuah kemafhuman bernama napas pendek usia.
Salah satu di antara mereka adalah, Guan Yin dan Wei Tuo, sepasang maharesi yang lebih dikenal sebagai Dwi Resi Wisesa.
***

Alkisah, setelah mencapai 'pencerahan', jelata jelma 'dewi', Putri Ketiga Kaisar Miao Zhung—salah satu kaisar pendiri dinasti negeri Tionggoan yang terletak di perbatasan Tiongkok dan Jambudipa (kini India), Miao Shan, yang telah bergelar Qiang Shou Guan Yin—Guan Yin, Dewi Tangan Seribu, sesuai ikrar yang pernah diucapkannya kepada Sang Tatagatha di Langit, maka sejak saat itu pulalah ia sering menjelma manusia nan kasatmata. Menolong kaum papa atau marjinal yang dirundung lara: kelaparan, pandemi penyakit, dan beberapa yang tertindas oleh penguasa lalim.

Ia menyusuri ranah Tiongkok yang babur, dan ketika itu masih dirundung maharana yang berkepanjangan di antara kaisar-kaisar yang ingin menduduki takhta kekuasaan. Peperangan telah menyita demikian banyak hal yang semestinya digunakan demi kepentingan rakyat. Kaisar dan para penguasa pemerintahan melalaikan kewajiban mereka terhadap nasib rakyat. Mereka berlomba-lomba menimbun kekayaan untuk kepentingan pribadi, dan juga mengalokasikan dana yang cukup besar bagi stok logistik armada perang ketimbang lumbung pangan bagi rakyat. Penderitaan rakyat bertambah ketika beberapa kaisar dan penguasa lalim dengan seenaknya memungut pajak irasional sehingga rakyat semakin miskin, dan bahkan banyak di antara kaum papa tersebut mati lantaran busung lapar.

Menyikapi carut-marutnya keadaan yang terjadi nyaris di seantero ranah Tionggoan, maka Guan Yin kembali mereplikasi dirinya menjadi jelata, seorang putri berwajah rupawan, dan mengunjungi salah satu daerah landa rana di bawah kaki gunung Omei dan bantaran sungai Jia Ling.

***

Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan.
Tersebutlah Wei Tuo, murid dari resi Lu Ban yang tinggal di kaki gunung Omei. Sudah lama pemuda itu ingin mewujudkan pancacita bagi penduduk di daerahnya. Hatinya giris melihat penderitaan rakyat selama ini. Untuk itulah ia senantiasa mencari 'pencerahan' dengan bertapa dan bersemedi untuk mendapatkan sebuah wangsit nan wisesa. Dan semuanya demi cita luhur yang telah menjadi tekad muasal hatinya nan putih.

Pada suatu hari, saat ia berjalan di gigir sungai Jia Ling, ia menyaksikan seorang penduduk desa yang tewas terseret arus deras sungai. Hatinya sedih dan berkecamuk dalam perasaan yang tidak menentu kala itu. Tak ada sedikit pun perhatian serta kepedulian dari penguasa dan pejabat pemerintah yang menanggap kondisi miris daerahnya. Seharusnya mereka telah membangun jembatan penyeberangan di sungai Jia Ling, yang menghubungkan dusun per dusun. Sehingga penduduk tidak usah menyeberangi aliran deras sungai dengan berakit atau melalui batu sungai yang lembab dan licin.

Berangkat dari hal itulah maka ia memutuskan untuk mengumpulkan uang sedikit demi sedikit agar dapat membiayai pembangunan sebuah jembatan kayu. Setiap hari ia bekerja keras dan serabutan. Menabung uangnya demi mewujudkan keinginannya mempersembahkan sebuah jembatan yang melintang di atas sungai Jia Ling.

Guan Ying yang mengetahui niat mulia pemuda itu segera turun tangan 'membantu' pemuda berhati luhur itu dengan caranya sendiri. Bersama seorang pejongkong setempat bernama Shao Gong, maka Guan Yin—yang telah menyamar menjadi seorang putri rupawan dari sebuah kota—mengarungi sungai Jia Ling. Guan Yin yang dapat melihat dengan dengan mata batinnya, mengetahui di desa tersebut santer dibicarakan secara turun-temurun bahwa setiap penanggalan lunar imlek yang jatuh pada tanggal tigabelas bulan tiga, maka akan muncul sesosok 'dewi' di atas sebuah perahu yang mengapung di atas sungai Jia Ling. 'Dewi' berwajah amat cantik dan rupawan tersebut tengah mencari calon suami untuk kelak dinikahinya dengan syarat: pemuda atau lelaki yang dapat melempar tepat sasar setail uang perak ke arah tubuhnya, maka ia dapat menikahi 'dewi' itu.

Maka sesuai sosio-kultural yang telah menjadi 'keyakinan' bagi masyarakat desa, menjelang fajar orang-orang sudah menjejali gigir sungai untuk melihat 'penampakan gaib' tersebut. Antusiasme 'melempar setail uang perak' memang didominasi oleh orang-orang kaya dari desa itu. Banyak di antara mereka adalah saudagar kaya dan bangsawan berdarah biru, yang telah menyiapkan uang perak mereka bahkan sampai sekarung, menunggu dengan hati berdebar-debar. Sementara sebagian besar penduduk miskin hanya dapat menelan ludah dan melihat 'peristiwa' tersebut sebagai bagian dari seromoni belaka.

Waktu yang dinantikan oleh semua lelaki—perjaka maupun duda—pun tiba. Perahu yang menoktah di batas cakrawala berangsur menjelas, dan lamat menampakkan sosok seorang putri yang sangat cantik berdiri di atas sebuah sampan. Di samping sang Putri tampak seorang lelaki tua tengah menjongkok mengayun galah. Sontak suasana yang sunyi meriuh oleh desahan kagum akan kecantikan sang Putri.

Tak lama berselang, tanpa mengaba, para lelaki sudah berebutan melempar uang-uang perak mereka ke arah sang Putri di atas sampan. Namun tak satu pun uang-uang perak tersebut yang mengenai tubuh sang Putri. Semakin banyak uang perak yang dilemparkan, maka semakin meleset pulalah uang-uang perak itu dan hanya jatuh memenuhi geladak sampan. Para lelaki dan pemuda yang sudah mulai frustasi, terus melempar dan menghabiskan berkantung-kantung uang perak mereka.
Pada saat itu, Wei Tuo yang hanya menonton seremoni itu didatangi dan ditegur oleh seorang lelaki tua berambut dan berjanggut putih.

"Ananda, jika kau jatuh cinta kepada putri di atas sampan itu, lemparlah dia dengan uang perakmu. Aku yakin lemparanmu dapat mengenai tubuhnya."

Wei Tuo ragu. Bukannya ia tidak percaya dengan perkataan orang tua itu, namun ia hanya memiliki satu keping uang perak yang merupakan hasil kerja kerasnya selama ini. Dan jika ia pun terbawa hawa nafsu untuk dapat memiliki sang Putri itu, maka ia telah mengingkari janjinya agar dapat mempersembahkan sebuah jembatan bagi penduduk desanya. Maka diurungkannya niatnya yang menggejolak di hati layaknya laki-laki lainnya. Dienyahkannya bayang wajah rupawan sang Putri yang sesungguhnya telah membuatnya jatuh cinta—semua kaum laki-laki pasti jatuh hati. Diputuskannya meninggalkan gigir sungai untuk kembali bekerja seperti biasa di pagi hari sebelum obsesi menjeratnya dalam pengingkaran dari niat mulianya.

Namun langkahnya tertahan oleh sebuah cekalan pada pundak. Orang tua itu tersenyum bijak, matanya yang tua berbinar dan mengaba yakin supaya ia melakukan apa yang telah diperintahkannya.
"Lakukan apa yang aku perintahkan, Ananda. Niat tulus dan ikrar tanpa pamrihmu merupakan bekal dalam keyakinanku, bahwa Anandalah yang bakal mendapatkan sang Putri itu!"

Meski masih dirundung ragu karena hal yang diperintahkan oleh orang tua itu merupakan 'perjudian' dan dilematisasi, tetapi akhirnya dilakukannya juga. Ia kembali menepi ke gigir sungai setelah tadi melangkah sedepa untuk pulang. Dilemparkannya sebuah uang perak yang merupakan satu-satunya miliknya yang paling berharga. Tanpa terasa, ia menitikkan airmata kala melemparkan hartanya yang paling berharga itu. Kerongkongannya memerih. Dipejamkannya mata, merunduk dan berharap ada keajaiban yang dapat mengubah hidup penduduk desa yang kini berada di dalam satu-satunya 'benda' yang telah dilemparkannya tadi!

***

Keajaiban seperti menaunginya!
Wei Tuo membelalak tidak percaya saat orang-orang di gigir sungai Jia Ling bersorak-sorak gembira. Mereka mengelu-elukan namanya. Rupanya ia berhasil melempar mengenai sasaran, dan jatuh tepat di tangan sang Putri. Semua lelaki yang gagal 'mempersunting' sang Putri pulang dengan raut wajah kecewa. Mereka telah menghabiskan demikian banyak uang demi pemenuhan ego dan kepentingan diri sendiri.

Dan sesuai dengan 'janji' Langit, maka Wei Tuo-lah yang berhak menikahi sang Putri. Sampan yang sarat dengan uang perak menepi ke gigir sungai Jia Ling. Sang Putri rupawan menjelma Guan Yin begitu sosok 'dewi' itu menginjak tanah. Wei Tuo terkejut, dan semakin jatuh hati pada Guan Yin yang jauh lebih rupawan ketimbang 'sang Putri' jejelma tadi. Sesaat pemuda itu seperti tidak tahu harus berbuat apa. Ia sangat terkesima dengan kecantikan Guan Yin.

"Wei Tuo yang baik hati, aku adalah Qiang Shou Guan Yin—Guan Yin, Dewi Tangan Seribu. Aku sudah tahu niat tulus tanpa pamrihmu untuk kepentingan rakyat jelata. Nah, uang perak sesampan ini aku serahkan kepadamu agar kau dapat merealisasikan keinginanmu untuk membangun sebuah jembatan di atas sungai Jia Ling ini."

Sejak saat itu, dengan uang perak bantuan Langit, Wei Tuo dapat membangun sebuah jembatan penyeberangan bagi penduduk desa. Sejak saat itu pula, tak terdengar lagi orang yang terseret arus deras air sungai. Penduduk desa dan rakyat sekitar sungai Jia Ling semakin mencintai sosok Wei Tuo, menganggapnya pahlawan dan melegendakannya sebagai salah satu tokoh totemis.

Namun Wei Tuo yang masih diradi sifat badani, telah jatuh cinta terhadap Guan Yin. Setelah menunaikan ikrarnya mendirikan jembatan bagi penduduk desa, maka ia mengikuti ke mana pun Guan Yin pergi. Wei Tuo terus mengekori dan mengikuti sosok wisesa nan lembut tersebut. Ia bahkan mengucap sumpah untuk setia, dan terus akan mendampingi Guan Yin.
Guan Yin mengurai senyum bijak. Ia yang telah mencapai 'pencerahan sempurna' tidak terpengaruh oleh rasa 'badani' begitu. Ia mafhum. Dianggapnya Wei Tuo masih dipasung oleh radiah ragawi, dan suatu saat kelak jika ia pun telah mencapai 'pencerahan', maka perasaan-perasaan inferior demikian akan lenyap dengan sendirinya. Dibiarkannya pemuda itu mengikutinya tanpa merasa terganggu. Berangkat dari hal itulah maka seiring dengan bergulirnya sang waktu, maka Guan Yin membawa Wei Tuo ke Nirwana. Berbekal kebajikan pemuda itu, maka ia dikaruniai kemampuan setara dewa. Dan ditugaskan untuk menjadi bentara dan pengawal Guan Yin, mendampinginya menunaikan tugas mulia menolong jelata di dunia.

Demikianlah ihwal terciptanya figur bajik Dwi Resi Wisesa yang melegenda di kalangan masyarakat Tionghoa. Kedua sosok resi itu bagaikan pinang dibelah dua. Alhasil, pada zaman Dinasti Tang, salah satu kaisar yang berkuasa mendirikan sebuah vihara untuk mengenang Dwi Resi Wisesa yang merupakan personifikasi kebajikan dari Guan Yin dan Wei Tuo. Konon, pada saat itu pula, di Tiongkok tersebar lebih tiga ratusan vihara yang memajang rupam penghormatan bagi Dwi Resi Wisesa tersebut.

Dan hingga saat ini sosok keduanya masih terlihat bersamaan meski dalam bentuk rupam. Di mana ada Guan Yin, maka biasanya akan terlihat pula sosok dalam diorama berwujud Wei Tuo yang gagah perkasa dengan pakaian zirah bentara nirwananya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar