PROLOG *** Bersama Sakyamuni Tataghata, dan sahabat resinya, Manjusri Bodhisatva, kedua-duanya lantas turun ke dunia fana yang dihuni manusia untuk menyebarluaskan kebenaran sejati. Manjusri Bodhisatva menunggangi seekor singa, berada di sebelah kiri Sakyamuni Tataghata, sementara Samantabhadra menunggangi seekor gajah berada di sebelah kanan. Dalam perjalanan waktu, ketika 'makhluk suci' tersebut digelari Tri Suci Avatamsaka berharfiah 'Tiga Makhluk Suci dari Surga Avatamsaka', oleh masyarakat Tiongkok kuno yang mentrinitaskan mereka. Samantabhadra mengandung arti 'Kebijaksanaan nan Purna'. Dikisahkan oleh riwayat, ada tiga muasal penembahan sosoknya sehingga melegenda. Pertama, ia merupakan putra kedelapan dari Raja Cakravirtin yang pernah berkuasa di Jambudipa—kini India. Kedua, ia merupakan putri ketiga dari Kaisar Miao Zhuang yang pernah berkuasa di Tionggoan. Ketiga, merunut Avatamsaka Sutra dalam kitab kuna masyarakat Tionghoa yang sudah berasimilasi dengan buddhisme, semua Tataghata alias Sang Pembabar Kebenaran memiliki putra sulung yang bergelar Samantabhadra. Hal ini merujuk kalau Samantabhadra merupakan putra semua Tataghata yang ada. Menurut mitologi Tiongkok pula, dikatakan ketika Sang Tataghata mangkat, maka ia dianugerahi 'mukjizat' Langit, dapat mengerupa halimun dan mentransformasi diri menampakkan sosoknya di hadapan banyak orang pada saat yang sama, pada daerah yang berbeda-beda. Ia akan melindungi masyarakat dari gangguan para mara yang merupakan perwujudan setan dan autotrop hitam kejahatan lainnya. Dalam memperjuangkan kebenaran sejati Langit itulah ia selalu menekankan sepuluh usaha luhur dalam pencapaian pancacita. Dan sepuluh usaha luhur itu adalah: Menghormati semua Tataghata atau Sang Pembabar Kebenaran, mengagungkan Tataghata, dermawan, pertobatan, kebajikan, santri dalam rambu kebenaran dan dharma, bakti pada Kebenaran Langit, permenungan kebaikan dan semedi, menularkan kebajikan, dan doa. *** Aplikasi kebajikan dan kebatilan merupakan hal yang seiring dan sejalan, bagai fenomena alam siang dan malam. Dalam ranah yang tercabik-cabik, timbullah manifesto yang merupakan perwujudan kebaikan, dan merupakan kontrakejahatan. Samantabhadra Bodhisatva dengan cita-cita luhur tanpa pamrih hadir di tengah-tengah kehidupan manusia untuk mengangkat manusia dari nista dan kubangan dosa. Dikisahkan pula, pada salah satu riwayat perjuangannya yang gigih, ia pernah bereinkarnasi jelma manusia dan lahir sebagai jelata yang pada akhirnya memilih menjadi rahib bernama Shi De. Pada suatu hari seorang rahib bernama Feng Gan dari puri Guo Qing melewati jalan di desa Chi Cheng, mendengar suara tangisan anak-anak di tengah padang ilalang di dekat hutan flora berusia ratusan tahun. Ia mendekati asal suara tangis itu, mendekat dan bertanya. "Hei, bocah. Gerangan apakah yang membuatmu menangis?" tanyanya prihatin. Si Bocah menjawab. "Saya tidak memiliki rumah. Tidak memiliki marga. Juga tidak punya nama." Rahib Feng Gan iba, dan membawa bocah itu pulang ke puri. Dirawatnya si Bocah tadi dengan memberinya sandang dan pangan yang layak. Di dalam puri si Bocah itu bertugas mencuci dan memasak makanan untuk rahib-rahib lainnya. Ia pun diberi nama Shi De yang berharfiah 'Anak Pungut'. Shi De adalah anak yang pintar dan cerdik. Praktis hanya dalam tiga tahun, ia dipercayakan menjadi koki utama di puri. Alkisah, pada suatu hari ketika tidak ada seorang pun yang melihatnya, ia naik ke altar rupam dan mencaci-maki sebuah rupam. "Hei, kau sungguh tidak berguna! Hanya duduk berdiam saja di altar. Diberi persembahan dan makanan enak. Namun, apa aplikasi kebajikanmu bagi masyarakat? Tidak ada! Sebab kau hanya duduk sehari-harian, diam dan hanya enak-enakan di sini! Sungguh tidak memiliki rasa empati terhadap sesama yang tengah dilanda derita. Sungguh tidak berdaya dan bertanggung-jawab terhadap mereka yang tengah kesusahan." Tindakan 'kurang ajar' Shi De terhadap rupam itu diketahui oleh seorang rahib bernama Ling Hui. Sertamerta ditegur dan dimarahinya Shi De yang telah melakukan pelanggaran keras terhadap 'kesucian' rupam. Shi De dianggap 'gila', dan sejak kejadian itu ia dipecat sebagai koki utama, dan jabatannya kembali diturunkan sebagai pencuci piring dan mangkok. Shi De yang berbakti mematuhi keputusan yang mendiskreditkannya itu, dan sama sekali tidak menyimpan dendam. Dilaluinya hari-harinya yang keras dengan tabah tanpa sekalipun mengeluh. Pada saat itu ia berteman dengan seorang rahib kecil bernama Han Shan yang juga bertugas di dalam dapur puri. Solidaritasnya yang besar sering membuatnya rela berkorban tidak makan untuk hari itu ketika melihat sahabat kecilnya kelaparan lantaran jatah makanan yang telah dihabiskan oleh rahib senior. Jatah makanannya itu direlakannya untuk Han Shan, dan biasanya ditaruh di dalam bambu agar tidak ketahuan. Pada suatu hari, makanan dan buah-buahan persembahan untuk rupam dimakan oleh burung-burung liar. Shi De yang marah memukul sebuah rupam 'Dewa Gunung' dengan tongkat kayu, dan memaki rupam tersebut dalam versi bocah. "Hei, lihatlah. Bahkan burung-burung itu saja tidak dapat kau usir, bagaimana kau dapat menolong rakyat jelata? Huh, gara-gara kau yang tidak becus, matilah saya. Saya pasti dimarah habis-habisan." Konon, malamnya, 'dewa' yang bersemayam di dalam rupam itu melaporkan kejadian siang tadi kepada rahib Ling Hui lewat mimpi. "Biksu Ling Hui nan Bijak, saya adalah 'Dewa Gunung'. Siang tadi rahib bocah Shi De telah memukul saya. Ia memukul saya karena menganggap saya tidak becus. Saya akhirnya tersadar bahwa selama ini saya memang telah lalai dan membutakan nurani saya melihat umat manusia yang dicacah kejahatan! Saya menyampaikan penghargaan sebesar-besarnya kepada biksu Shi De, karena kelak ia merupakan maharesi nan bijaksana." Ketika terbangun, rahib Ling Hui langsung ke ruangan utama puri di mana altar rupam 'Dewa Gunung' berada. Diperiksanya rupam besar berdiameter seorang dewasa itu dengan seksama. Dan alangkah terkejutnya ia ketika mendapati bilur bekas pukulan pada rupam tersebut. Setelah kejadian itu, rahib Ling Hui mafhum dan menyadari kalau seorang rahib bocah bernama Shi De memang bukan anak biasa. Ia adalah cikal-bakal samana atau maharesi nan bijak. *** Pada suatu ketika pula, dikisahkan bahwa Shi De memiliki kebijaksanaan tinggi meskipun ia masih kanak-kanak. Suatu hari rahib bocah Han Shan yang merupakan sahabat terbaik Shi De bertanya. "Sahabatku biksu Shi De, bagaimana saya harus menyikapi perlakuan orang-orang di dunia ini terhadap saya? Saya senantiasa dihina, direndahkan karena berkasta rendah, menyerang bahkan memukuli saya tanpa sebab?" Shi De dengan bijak menjawab. "Biksu Han Shan yang baik, hanya dengan bersabar dan tabah maka kau dapat mengendalikan orang-orang yang menzalimimu. Dalam perjalanan waktu nanti, orang-orang lalim tersebut pasti akan mendapat balasan buruk dari karma dan perbuatan batilnya sendiri." Kisah kebijaksanaan Shi De melegenda seiring bergulirnya sang waktu. Kisah-kisah barusan hanyalah segelintir dari banyak riwayat yang menyoal kebajikannya semenjak masih kanak-kanak hingga dewasa. Dan setelah selesai 'merampungkan' tugas mulianya membabarkan kebenaran, maka Shi De berbekal seluruh kebajikannya yang tulus tak berpamrih pun diangkat sebagai totem Langit. Ia menyertai dan mendampingi Sang Tataghata menjadi sebuah kesatuan yang tak terpisahkan dalam jalan kebenaran. Masyarakat Tionghoa sangat memuja kebijaksanaannya, dan setiap penanggalan lunar imlek yang jatuh pada tanggal duapuluh satu bulan dua, maka orang-orang yang masih memegang teguh pada prinsip kebajikannya pasti akan merayakan hari kelahirannya dengan khusyuk. (Weni L. Ratana) |
Pages - Menu
▼
Pages
▼
Tidak ada komentar:
Posting Komentar