Pages - Menu

Pages

Jumat, 25 Juli 2014

SIWA PURANA I

SIWA PURANA I


Siwa Purana
Wacana Suta dalam Siwa Purana

            Dalam seratus ribu sloka yang berisikan dua belas samhita (bagian atau bab) Dewa Siwa Sendiri memberikan Siwa Purana pada Brahma dengan penuh berkah. Dewa Brahma, sang pencipta, memberikannya pada putra kesayangannya Narada. Narada kemudian meneruskannya pada Sanata Kumara, yang kemudian menceritakan kisah ini kembali pada Wedavyasa (para rsi penemu weda).
            Kemudian Rsi Wedavyasa yang terberkahi ini mengintisarikan seratus ribu sloka ini menjadi dua puluh empat ribu sloka, dalam tujuh samhita: Vidyeswara, Rudra, Shatarudra, Kotirudra, Uma, Kailasa dan Vayuviya samhita. Maharshi Suta bersama dengan Shuka Munindra diberkahi oleh Wedavyasa. Dan kemudian, Suta Muni menceritakan purana, cerita epos yang besar ini pada Rsi Shaunaka dan rsi lainnya.

Keagungan Siwa Purana

            Di sungai suci Prayaga (pertemuan antara sungai Gangga, Yamuna dan sungai Saraswati yang legendaris), diminta oleh para rsi dan orang suci lainnya yang dipimpin oleh Shaunaka, Maharshi Suta menjelaskan kepada mereka keagungan Parama Siwa yang sangat luar biasa.
            Dewa Siwa sendiri diberkahi oleh Brahma dengan cerita yang terbagi menjadi dua belas bagian yang disebut sebagai samhita. Brahma diberkahi oleh Narada menceritakan tentang purana dan Narada kemudian menceritakannya pada Sanata Kumara. Ia menceritakan cerita yang agung ini pada rsi Wedavyasa.
            Rsi Wedavyasa diberkahi dengan pengetahuan tentang Siwa, Siwajnana. Karena kasihnya pada semua makhluk, dengan keinginan mencerahi semua dengan yang mana ia telah terberkahi, Wedawyasa mengintisarikan Mahapurana, epos yang besar ini menjadi dua puluh empat ribu sloka yang dibagi menjadi tujuh. Tujuh samhita yang diceritakan oleh Maharsi Suta pada Saunaka dan rsi lainnya adalah: i) Vidyeshwara samhita, ii) Rudra samhita, iii) Shatarudra samhita, iv) Kotirudra samhita, v) Uma Samhita, vi) Kailasa samhita dan vii) Vaayuviya samhita.
            Karena kehendak suci Paramasiwa, Suta kemudian menceritakan purana pada para rsi dan orang suci lainnya di Triveni Sangam, pada Shaunaka dan rsi lainnya.
            Suta adalah putra Romaharshana. Ia dipanggil Roma Harshana. Ia adalah murid kesayangan Rsi Vedavyasa yang membagi nyanyian weda menjadi empat weda, demikian juga dengan delapan belas purana.
Ia juga memberikan dunia cerita epos besar Maha Bharata yang disebut sebagai Weda kelima.
            Rsi Suta berkata:
            Wahai! Para rsi! Kalian akan mendapatkan inspirasi tentang kegagungan Parama Siwa. Dengarkanlah! Tidak ada yang lebih berharga dan lebih suci serta yang akan memberikan pahala kebaikan (punia) selain mendengarkan dan membaca Siwa Purana. Bahkan mereka yang hanya mendengarkan satu cerita saja, atau sebagian kecil saja, satu episode saja atau bahkan setengahnya saja, akan diberkahi dan akan mencapai mukti, pembebasan dari ikatan duniawi.
            Siapapun yang mendengarkan ini pada saat berpuasa pada hari keempat belas bulan chaturdasi maka ia akan mencapai pahala kebaikan dan akan menumui kebaikan selalu.
            Ketahuilah, bahwa Rudra dan Kailasa Purana adalah samhita yang teragung untuk mendapatkan berkah.
            Ia yang menceritakan Rudra Samhita tiga selama empat hari dihadapan Dewa Bhairava maka keinginan yang ia miliki semuanya akan terpenuhi.
            Yang lebih agung dari samhita ini adalah Kailasa Samhita. Hanya Parama Siwa sendiri yang mengetahui cerita ini. Bahkan guruku hanya mengetahui setengahnya. Sedangkan aku hanya mengetahui cerita ini seperempat saja. Semua ini adalah kehendaknya, kehendak Parama Siwa.
            Siwa Panchakshari (nyanyian lima sloka Dewa Siwa), kekuatannya, keampuhannya, bagaimana cara mengucapkannya, cara mencapai Tri warga; dharma, artha dan kama serta bagaimana cara mencapai pelepasan diri (moksha) semuanya telah dimasukkan dan dijelaskan dalam Siwa Purana. Walaupun tidak mungkin nampaknya menceritakannya dengan semua kata, Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menceritakan apa yang aku tahu dengan berkah Tuhan.
            Setelah berkata demikian Muni Suta mulai menceritakan tentang Dewaraja.

KISAH DEWARAJA

            Pada jaman dahulu kala, di Kirata Nagara hiduplah seorang brahmana yang bernama Dewaraja. Ia menjalani kehidupan yang tidak teratur dan hidup yang amat buruk. Ia tidak pernah mandi dan berdoa. Satu-satunya tujuan utamanya dalam hidup adalah untuk menghasilkan banyak uang dan kemudian menghamburkannya sesuka hatinya. Ia menipu orang lain dan juga bertikai dengan teman atau sanak-saudaranya. Suatu hari ia pergi ke sebuah kolam pemandian yang amat segar dan disana ia bertemu dengan seorang wanita jahat yang bernama Shobawati. Ia terperangkap oleh kejahatan wanita itu. Ia menghaburkan uangnya untuk wanita itu. Orang-tuanya dan istrinya berusaha untuk memberinya nasehat namun ia tidak perduli. Setelah semua uangnya habis, wanita itupun mencampakkannya.
            Brahmana itu tiba disebuah tempat yang bernama Pratishthana Pura. Disana ia jatuh sakit. Ia merasa bahwa ajalnya akan tiba. Ia berlindung di sebuah kuil Dewa Siwa. Ia berbaring dan tak mampu bergerak. Ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mendengarkan Purana dan juga wacana keagamaan di tempat itu. Wacana dan pravachana ini berakhir pada saat nafas terakhirnya terhembus.
            Utusan Dewa Kematian (Yama) datang menjemput arwah (prana) brahmana itu menuju ke tempat mereka. Namun dihalangi oleh utusan Siwa, Siwaduta. Utusan Yama membebaskan brahmana yang berdosa, Dewaraja. Tetapi kemudian utusan Dewa Siwa mengatakan apapun yang ia lakukan dalam hidup dan bagaimana caranya ia hidup terdahulu, pada hari –hari terakhirnya hidup ia telah mendengarkan Siwa Purana yang menghapus semua dosanya hingga bersih. Setelah berkata seperti itu, mereka membawa arwah brahmana itu ke Kailasa, kediaman Dewa Siwa.
            Dharma (nama lain Yama) ketika ditanyai oleh pelayannya mengenai kejadian itu menjelaskan, begitulah keagungan Dewa Siwa dan berkah seperti itulah yang diberikan pada orang yang telah mendengarkan Siwa Purana.
            Muni Suta menceritakan sebuah cerita lain – cerita tentang Chencula.

CERITA CHENCULA

            Di sebuah tempat yang bernama Baskhala hiduplah seorang Brahmana yang bernama Binduga dengan istrinya Chencula. Binduga terperangkap oleh seorang wanita yang buruk tabiatnya. Ia tidak pernah pulang atau menemui istrinya. Itulah yang membuat Chencula sakit hati dan menderita, Chencula kemudian juga ikut mencari teman laki-laki yang juga bertabiat buruk untuk membalas perbuatan suaminya.
            Mengetahui hal ini, Binduga pulang suatu hari dan memukulinya. Chencula menuduh suaminya tidak setia dan menyalahkan suaminya atas semua yang terjadi.
            Setelah bertengkar cukup lama, keduanya sepakat. Chencula yang akan bekerja dan kemudian memberikan uangnya pada suaminya. Tidak ada yang akan ada pria yang mau membayarnya. Mereka setuju untuk berpura-pura selayaknya suami dan istri yang sebenarnya.
            Seiring waktu yang telah berjalan, Chencula kemudian menjadi janda. Ia berkelana tanpa tujuan. Ia kemudian tiba di Gokarna Kshetra (kshetra adalah tempat perziarahan). Di kuil Mahabeleshwar ia mendengarkan wacana tentang Siwa Purana. Ia kemudian paham, bahwa pendosa akan pergi ke neraka, tempat dimana Yama Dharmaraja akan memberikan hukuman pada pendosa. Iapun pergi. Sehari setelah wacana itu, ia pergi ke Pauranik (pencerita purana) dan mengakui dosanya. Pauranik itupun menyarankan agar ia tetap mendengarkan wacana itu dan mengingat Tuhan selalu. Ia melakukannya.
            Sebagai hasilnya, setelah ia meninggal ia dibawa ke Kailasa, dimana ia menjadi sahabat Ibu Tertinggi, Gauri.

CHENCULA MENYELAMATKAN SUAMINYA

            Suatu hari Chencula memohon dan bertanya pada Ibu Tertinggi dimanakan suaminya Binduga. Iapun  mendapatkan jawaban. Ia berada di Neraka mendapatkan buah atas perbuatannya. Ibu Tertinggi memberitahunya bahwa ia telah menjadi arwah yang jahat dan mengganggu (Pishacha) berkelana di gunung Vindhya. Chencula berdoa untuk pengampunannya. Ibu Mulia yang amat pengasih tersenyum dan mengirim Tumbura, seorang Gandharwa (makhluk surgawi) bersama dengan Chencula ke Gunung Vindhya. Ia memberitahu Tumbura untuk menceritakan Siwa Purana pada pendosa Binduga, yang akan menghancurkan dosanya. Tumbura kemudian diberikan dua pelayan Siwa sebagai pendampingnya.
            Di gunung itu, Tumbura menemukan dimana arwah jahat itu berada. Tetapi arwah itu tidak mau mendengarkan Siwa Purana. Oleh karena itu pelayan Siwa mengikatnya. Tumbura memainkan alat musik dan menyanyikan keagungan Maha Siwa. Gunung ini dipenuhi dengan melodi yang sangat indah. Para bidadari turun dari surga untuk mendengarkan melodi tentang keagungan Siwa dan perbuatannya.
            Sedangkan Binduga telah lepas dari kejahatannya dan ia telah pulih. Kejahatannya sirna. Ia telah berubah menjadi makhluk yang bersinar. Chencula bersama dengan suaminya mencapai Kailasha dan mereka hidup bahagia selamanya.
            Begitulah kekuatan berkah Siwa.
            Muni Suta kemudian menghubungkan kekuatan Purana yang memberikan kebahagiaan dan penghancur dosa suami Ambika, yang memaksa para rsi da orang suci untuk mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian. Kemudian ia memulai wacananya tentang Siwa Purana.



SHRI VIDYESHWARA SAMHITA
Kata Muni Suta
 Setelah beberapa yuga, yang sekarang disebut dengan Swetavaraha Kalpa (kalpa bisa diartikan sebagai beberapa yuga). Swetawahara berarti potongan putih. Pada awal kalpa ini enam rsi agung dari garis keturunan tertentu (dari Gotra yang terkemuka) duduk di sungai Triveni Sangam dan membahas tentang siapa Para Brahma itu. Diskusi mereka tidak mendapatkan jawaban. Mereka menemui Brahma, Sang pencipta dan berdoa dihadapannya.

Percakapan antara para rsi dan Dewa Brahma

Berikut inilah percakapannya:

Para rsi   : Wahai, Dewa Brahma! Siapakah Parama yang disebut sebagai Para (Yang maha mutlak – yang tidak diketahui)?
Brahma : Ia adalah Rudra. Ia adalah Sadasiwa.
Para Rsi : Bagaimana tatwa (alam, filsafatnya dan keberadaannya) bisa diketahui?
Brahma : Hanya melalui berkahnya, Siwa kataksha (berkah dan keberkenanannya). Hanya melalui berkahnya hingga pengabdian  melalui berkahnya yang maha agung akan mengembangkan seseorang secara perlahan. Hanya melalui berkahnya yang bisa tercapai dicapai. Berkahnyalah yang mengarahkan kita pada Jnana. Hanya melalui Jnana, tatwa Siwa, sifatnya bisa dipahami.
Para rsi   : Diantara semua yang bisa dicapai (sadhya) yang manakah yang terpenting? Apakah arti berlatih – Sadhana? Siapakah yang bisa disebut sebagai Sadhaka?
Brahma : Diantara semua yang bisa dicapai yang paling penting adalah mencapai kaki Dewa Siwa. Ia yang mampu mengendalikan diri dan tidak mengenal lelah ialah seorang pencari atau sadhaka. Ialah yang menaati aturan suci (Dharma) seperti yang disebutkan dalam Weda, karena kelahirannyalah, kebiasaannya dan tradisinya yang sesuai dengan ashrama dharma, mempersembahkan semua hasil perbuatannya pada Siwa- itulah sadhaka, tidak diragukan lagi, ialah yang mencapai Kailasha, kediaman Siwa. Untuk mencapai aki sucinya, untuk pergi ke Kailasa, shravan, chintan, manan dan kirtan sangatlah penting. Shrawana artinya mendengarkan ceritanya, perbuatannya dan berkahnya, Manan artinya perenungan, Chintan artinya mengingat dan Kirtan artinya menyanyikan pujaan pada Siwa.
Para Rsi : Jelaskanlah pada kami ketiganya dengan lengkap.
Brahma : Dengarkanlah! Dengarkanlah tentang perbuatannya, kekuatannya dan kejayaannya yang adalah Shravana. Kita melihat dunia dengan mata kita. Tetapi kita merasa lebih senang mendengarkan Parameshwara, Ia yang tidak terlihat lewat mata kita, yang tidak terucap dengan bibir kita dan juga lidah kita (vaak) atau bahkan dengan manas (hati- pikiran). Dengan keinginan untuk mengetahui dan rasa haus akan kebijaksanaan, seseorang itu harus mendengarkan cerita tentang-Nya.
                                    Untuk hal ini, seorang guru diperlukan.

                Seperti seorang pemuda yang mengalihkan pandangannya pada seorang bidadari yang cantik, demikian pula seseorang itu akan berpaling dan mendengarkan kejayaannya. Ini adalah Shrawana.
                Kemudian Kirtan- menyanyikan Kejayaan-Nya, perbuatan baiknya untuk menyelamatkan dan melindungi kebaikan dan menghukum kejahatan. Menyanyikan Kirtan harus dilakukan siang dan malam.
            Kemudian, Manan (perenungan) adalah untuk melihat pikiran Penyelamat, pelindung, Pemberi berkah dan pemberi ampun. Ia bisa membebaskan dan memberikan mukti (kebebasan) pada siapapun.
            Sumber dari ketiganya adalah sangatya- satsatng- menemani mereka yang bijaksana, berbakti, maha-mengetahui dan murni. Dengan menemani mereka yang seperti itu maka akan memungkinkan mendengarkan hal yang baik. Shrawana ini akan membimbing kita mendapatkan pencerahan saat itu juga. Mereka yang melakukan ketiga ini makan akan menjadi berpunya dan semakin dekat dengan-Nya. Tetapi terkecuali mendapatkan berkahnya, tidaklah mungkin membuat bahkan awalnya sekalipun, mengambil langkah pertama dalam berbuat yang benar dan ke arah yang diinginkan .

Sanata Kumara mengajarkan Shaivisme pada Vyasa

Suta, pencerita Purana (Pauranik) melanjutkan ceritanya:
Guru Maharshi Vyasa tenggelam dalam meditasinya dan merenung  dalam tapasyanya. Suatu hari Sanata Kumara datang. Vedavyasa menghaturkan sebuah penyambutan selamat datang dan menghaturkan upachaara (sebuah ritual) sesuai dengan adat yang ada. Sanata Kumara sangat berkenan dan mengajarkan Maharshi Vyasa cerita tentang Shaivisme.

            Wahai Putra Satyawati!
            Kebenaran yang mutlak dan satu-satunya adalah obyek dari perenungan atau tapasya. Kemudian tidak ada kebenaran yang tertinggi selain Siwa. Inilah yang sebenarnya, seseorang sepertimu harus mampu melihat-Nya. Ia meminta sang Rsi untuk melakukan apa yang ia minta.
            Rsi Wedavyasa menjawab:
            Aku mencatat berbagai jalan dimana manusia bisa mencapai keempat tujuan yang disebut dengan Purushaartha – Dharma, Artha, Kama dan Moksha. (Berpegang teguh pada hukum suci, menghasilkan uang, memenuhi keinginan dan akhirnya mencapai kebebasan- mukti.). Bahkan setelah melakukan hal ini semua, aku masih tidak mampu mendapatkan jnana itu yang adalah alah untuk mencapai kebebasan. Dengan pikiran seperti itulah aku bertapa.
            Sanata Kumara tersenyum dan berkata:
            Mengapa mengkhawatirkan hal itu? Dulu akupun menderita kebimbangan yang sama dan melakukan tapasya. Dengan berkah Siwa, aku berlari ke Nandikeshwara yang meyakinkanku. Ia memberkahiku hanya dengan Shrawana, Chintana, Manana dan Kirtana seseorang bisa mencapai-Nya.
            Wahai putra Parasara! Kaupun harus melakukan ketiga hal ini. Lupakan keinginanmu yang lain. Tenanglah dan berpegang-teguhlah.
Kejarlah cita-citamu dengan ketetapan hati.
            Setelah mengatakan hal ini, Sanata Kumara pergi dengan sahabat-sahabatnya ke Brahmaloka.
            Karena itulah, kata Rsi Suta bahwa Shravana, chintana, manana dan kirtana akan menjadi jalan untuk menyadari-Nya.
            Kata Rsi Shaunaka dan yang lainnya:
            Apa yang kau katakan memang benar. Tetapi ketiga hal ini yang disebut dengan sadhana trikam sangat lama dicapai. Bahkan tidak mungkin pada jaman Krita dan juga Treta yuga. Dengan sedikit usaha akan bisa dicapai pada masa Dwapara. Tetapi pada jaman Kaliyuga manusia memiliki umur yang pendek. Dalam hidup yang pendek, adakah cara yang lebih mudah?
            Maharshi Suta kemudian menjawab:
            Tidak hanya dalam Kaliyuga. Pada jaman apapun adalah mudah untuk mencapai kebebasan. Yaitu dengan memuja (berdoa) Siwa dengan menggunakan lingga. Seseorang itu bisa memiliki lingga pada telapak tangannya, atau pada tempat pemujaan, pada ruang yang khusus atau kuil. Bisa juga pada tempat suci peziarahan. Ia yang memuja Siwa pasti akan mencapai pembebasan. Perenungan/meditasi (dhyana), memanggil dewa, menghaturkan tempat duduk, lampu, buah dan air, menghidupkan wewangian adalah proses pemujaan yang disebutkan dalam shastra dan menghaturkan semua keenam belas upachara—ritual – dengan ketulusan akan menghasilkan hasil yang baik. Ia yang tidak bisa melakukan vidhi atau tugasnya menghaturkan pemujaab, bisa memuja lingga dengan memakai sebuah patung. Hanya Siwa dengan kesempurnaannya dan keagungannya dipuja sebagai ‘personalitas’. Dewa yang lain memiliki personalitas (murtimanta) tetapi tidak mencapai keadaan nirakarata – ketidakberwujudan dengan menjadi Paratatwa. Ini adalah alasan menyebut Siwa dengan Sarveswara.
            Setelah mendengarkan Rishi ini iapun bertanya lagi:
            Ini benar-benar indah. Dengan menjadi Parabhrahma bagaimana bisa Siwa memiliki semua wujud dan bentuk dan pada saat yang sama tidak memiliki bentuk, wujud atau sifat?
Mari kita pelajari lagi.
            Kata Muni Suta:
            Aku akan memberitahumu. Pada jaman dulu ketika Markandeya bertanya pada-Nya, Ia menjawab. Aku akan memberikanmu jawaban:

CERITA TENTANG MUNCULNYA LINGGA

            Kata Nandikeshwara:
            Suatu kali, ketika penciptaan dimulai Brahma, ia yang memiliki lima wajah duduk diatas lotus, hingga datanglah Wisnu. Wisnu yang sangat tampan tidur diatas lingkaran ular besar – Adisesha menyambutnya dengan berbagai upachara.
            Penciptaan terjadi begitu saja tanpa ada yang membuat Brahma bangga. Ketika harga-diri memenuhinya muncullah Siwa Maya, penggoda Siwa. Itulah yang terjadi pada Brahma. Ia marah pada Wisnu karena tidak menunjukkan rasa hormat dan karena ia tertidur. Ia berpikir, Ialah pencipta, ayah dari semuanya. Ia mendekati Wisnu dan membangunkannya dan mengatakan bahwa ia akan mendapat balasan atas kelalaiannya itu.
            Wisnu sangat marah karena ia berpikir bahwa Brahma yang lahir dari pusarnya harus menghormatinya. Apalagi, kemudian ia berpikir, bahwa ia adalah penjaga semuanya, pemelihara semuanya. Dengan bibir tersenyum, tanpa menunjukkan amarahnya, Wisnu berkata pada Brahma bahwa ialah yang akan mendapatkan balasannya. Setelah berkata seperti itu iapun memuji dirinya.
            Keduanya bertikai. Ini menjadi semakin sengit dan menjadi perang. Brahma dan Wisnu kemudian keduanya terbelenggu oleh Siwa Maya. Masing-masing pendukungnya mendukung junjungannya. Masing-masing mengaku ada dimana mana dan sangat kuat.
            Sebagai akhirnya, Wisnu menggunakan senjata Maheswaranya. Brahma menggunakan senjata Pashupatanya. Kedua rsi dan para bidadari tercengang. Mereka semua pergi ke Kailsasha mencari perlindungan pada Siwa untuk mendapatkan kedamaian.
            Siwa menghilang setelah memberikan mereka perlindungan dan berdiri sebagai pillar api yang besar dan bercahaya. Dengan cahaya sucinya senjata Brahma dan Wisnu terserap. Dalam cahaya yang gemerlap itu baik Brahma atau Wisnu sangat terpukau. Semua yang hadir disana terkesima. Cahaya ini tak tertahankan olehnya. Pilar cahaya ini juga adalah pilar api. Tidak berawal dan tidak berakhir. Untuk menemukan pangkalnya Wisnu menjadi Sweta Varaha, babi hutan putih, dan pergi menyelami awal semuanya. Brahma dalam pencarian yang sama juga mencari ujung pillar itu. Keduanya gagal menjalankan misinya. Ketika itu pula Brahma melihat bunga Ketaki yang jatuh, ia meminta bunga untuk menjadi saksi bahwa ia melihat ujung pilar itu. Bunga Ketaki dan Brahma menuju medan perang. Wisnu disana dengan muka yang malu. Brahma telah mendapatkan kemenangan dengan bunga Ketaki sebagai saksinya. Wisnu menerimanya dan menerima kesuperioran Brahma. Kemudian Wisnu memberikan hormat serta menghaturkan upacara pada Brahma.

Siwa bermanifestasi untuk memberkahi Wisnu
            Saat ahamkara, keegoisan dan kesuperioran Wisnu hilang, demikian juga dengan penggoda Siwa, yang juga menghilang. Wisnu mengulangi nama Siwa dengan ketetapan hati (Chitta). Dengan pemujaan yang dilakukan Wisnu, Siwa menjadi berkenan dan mengampuni. Dari pilar api itu Ia bermanifestasi dengan satu mata pada dahinya selain mata yang ada pada wajahnya, dengan tenggorokan yang berwarna biru dan sebuah bulan sabit pada rambutnya yang bergelung. Ia memandangi Wisnu dengan mata yang lembut. Dengan pikiran dan hati yang dipenuhi kebahagiaan Wisnu menyanyikan lagu suci Siwa.

Siwa yang memiliki tubuh bagaikan kristal menjanjikan Sri Hari dengan tubuh berkilai bagai safir.
Wahai Narayana! Seandainya engkau berbohong seperti Brahma, engkau akan menang. Tetapi kau tidak mau melakukan kebohongan itu. Dengan kebenaran engkau membuatku sangat berkenan. Kebenaran itu abadi. Ia yang memagang teguh Kebenaran akan abadi. Mulai saat ini engkau akan dipuja di ketiga dunia, di surga, di bumi dan di alam bawah, seperti Aku. Banyak tempat suci dipersembahkan padamu seperti aku sebagai kshetra. Pemujaan juga akan banyak diadakan untukmu. Siwa memberkahi Wisnu dan menghukum Brahma untuk dipenggal.
Bhava, yang juga disebut sebagai Sambasiwa, menciptakan Bhairawa untuk memberikan pelajaran pada Brahma. Ia memerintahkan:
Bhairawa! Hukum Brahma dengan memenggal kepalanya!
Bhairawa kemudian menajamkan pedangnya dan memegang kepala Brahma. Ia memotong kepala pertamanya. Ketika kepalanya yang lain juga akan menemui nasib yang sama, Brahma memohon ampun pada Siwa.
Kesedihan pencipta Brahma sangat menyentuh hati karena ia juga lahir dari pusar Wisnu. Brahma memohon hidup pada Siwa. Wisnu juga memohon pada Siwa. Siwa mengabulkan permohonan itu.
Siwa mengijinkan Brahma menjalankan kewajibannya sebagai pencipta tetapi mengutuknya bahwa ia tidak akan dipuja lagi. Pada akhirnya Brahma juga mendapatkan pengampunan lain. Pada semua upacara api Brahma dihormati sebagai pencipta. Ritual yang tidak memberikan penghormatan pada Brahma tidak akan mendatangkan hasil.

Siwa menghukum Ketaki
            Ketaki berdiri dihadapan Siwa dengan tubuh gemetar. Siwa mengutuknya bahwa ia tidak akan digunakan lagi pada pemujaan manapun. Para bidadari dan dewa yang menggunakan ketaki pada rambut mereka, membuangnya. Kemudian bunga itupun memohon ampun pada Siwa. Tersentuh hatinya, Dewa Siwa mengatakan bahwa Ketaki bisa digunakan sebagai payung oleh pemujanya saat memuja Siwa.

Keagungan Siwaratri
            Setelah Siwa melakukan itu semua, Iapun menjadi dewa yang dipuja bahkan oleh Sang Pencipta, Brahma dan juga dewa pemelihara, Wisnu. Mereka semua menghaturkan sembah padanya.
            Siwa sangat berkenan. Ia mengumumkan bahwa hari hari tertentu akan di ingat selamanya sebagai Siwaratri. Malam itu akan diingat sebagai Siwaratri (Malam Siwa). Pada hari itu, siapun yang memuja –Nya dan juga berpuasa serta begadang (melakukan jagarana) akan mendapatkan pahala yang setara dengan pemujaan biasa yang dilakukan dalam setahun. Hari itu adalah hari suci bagi pratishtha (pengukuhan) Lingga Siwa dan merayakan Siwa Kalyana, utuk membangun kuil. Hari keempat belas, bulan Margashira dibawah naungan bintang Arudra akan sangat baik untuk memuja Siwa. Tempat dimana Siwa berubah wujud menjadi sebuah linggam api dan cahaya akan dikenal dengan nama Linggastana—tempat lingga. Tempat api itu menyala juga akan menjadi Lingga Siwa. Tempat darimana api itu keluar atau berkobar akan disebut dengan Arunacala- yang berarti gunung merah. Ini akan menjadi peziarahan terkemuka diantara Kshetra Siwa (peziarahan suci Siwa). Bagi mereka yang memuja Siwa tentu akan mendapatkan tempat si Siwaloka misalnya di Sallokya, Samipya dan Sayujya (tempat pada loka yang sama, kedekatan dan penyatuan. Pada saat akhir pemujaan pada hari Siwaratri, Siwa memberitahu Brahma dan Wisnu bahwa ia bemanifestasi menjadi pilar api yang besar hanya untuk memperlihatkan pada mereka Parama Tatwa- sifat Kenyataan Mutlak. Ia juga bisa bermanifestasi dengan sifat atau bahkan tanpa wujud, tidak bisa dibandingkan dengan apapun dan dalam wujud yang tidak terbatas. Dualitas kualitas dengan apa yang disebut dengan Nirakara Nirguna dan Sakara Nirguna. Yang pertama adalah Niskala dan yang kedua adalah Sekala. Dewa Siwa adalah keduanya. Ia kemudian lebih jauh lagi mengatakan pada mereka bahwa tidak ada bedanya antara Ia dan lingga. Ia menyarankan kepada mereka berdua untuk melanjutkan tugasnya tanpa saling bertikai lagi. Ia berkata bahwa Ia akan tinggal disebuah tempat. Ia menyerap dalam segala hal.
            Mereka yang memasang lingga Siwa akan tinggal di Kailasa seperti Siwa sendiri. Itulah Sayujya. Hal yang paling banyak mendatangkan pahala adalah memasang Lingga Siwa. Ini disebut dengan Pratisthana. Jika tidak memiliki lingga, maka patungnyapun bisa dipasang, dan tempat dimana patung itu dipasang akan menjadi Siwa Kshetra.

Panchakritya

            Baik Wisnu dan Brahma, mendengarkan dengan penuh perhatian semua yang telah dijelaskan oleh Dewa Siwa mengenai lima perbuatan atau Kriya.

Dewa Siwapun menjelaskan pada Brahma dan Wisnu hal berikut ini:

            Penciptaan berarti bertumbuh dengan ikatan dan aturan. Menjaga semuanya teratur dan melindungi semua ciptaan dari ketidakteraturan adalah bisa dilakukan dengan menjaganya. Membagi dunia makro dan menjadikannya dalam bentuk mikro adalah samhara- penghancuran. Dan kemudian menjaganya hingga penciptaan yang berikutnya adalah thirodhana, atau terkadang disebut dengan thirodhana sankalpa (mengalami kemunduran, atau kembali). Keempat kriya ini saling berhubungan. Yang paling akhir dan paling utama adalah ‘Anugraha’ berkah suci yang membebaskan persembahan mukti (pembebasan). Hanya Siwa yang mampu memberikan anugraha- berkah. Semuanya terlahir dari bumi, hanya dengan air semuanya bisa tumbuh. Hanya melalui cahaya dan kehangatan mereka akan pergi. Dengan udara dan kedalam udara mereka akan menghilang. Hanya akashalah yang nyata- yang berarti ia dengan wujud Dewa Siwa.
            Untuk menjalankan kelima fungsi ini, Ia memiliki lima wajah. Dengan berkahnya, sementara Dewa Brahma dan Wisnu menciptakan dan menjaga, penghancuran dan penarikan kembali penciptaan dilakukan oleh Dewa Rudra atau Maheswara. Dewa Siwa sendiri mampu melakukan rangkaian kriya yang kelima- Anugraha. Karena Rudra dan Maheswara melampaui ‘Ahamkara’ dan mentransendenkan egoisme- mereka tidak memiliki bentuk atau wujud selain Siwa. Mereka memiliki kendaraan (wahana) yang sama, tempat duduk yang sama (asana) dan juga wujud eksternal yang sama (vesha).
            Dengan bertikai, Dewa Brahma dan Wisnu telah merendahkan diri mereka sendiri. Siwa menyarankan agar Dewa Brahma dan Wisnu memberikan Shivapanchakshari mantra Om Namahsiwaya dan Pranawa, Om yang berada dalam diri Siwa dan Shakti. Dari keduanya muncullah pengucapan mantra. Dengan mengucapkan dan melakukan pengulangan mantra, manfaat tertentu akan diperoleh. Semua mantra memberikan kebahagiaan dan juga kesenangan. Tetapi Panchaksari mantra akan memberikan semua kesenangan dan kenyamanan dan bahkan mukti (pelepasan diri).
            Dengan menyuruh Dewa Brahma dan Wisnu menghadap ke utara, Dewa Siwa memberikan mantra kepada mereka. Kemudian Ia juga memberkahi mereka dengan yantra dan juga tantra. Yantra mengacu pada cara pemujaan dengan rancangan geometris dan juga aturan tertentu yang sesuai dengan tantranya.
            Kemudian keduanya Brahma dan Wisnu menyimpan Vrushakapi (perlambangan Siwa) di tempat guru (guru sthana). Sebagai persembahan pada guru, mereka melakukannya dengan sepenuh jiwa.
            Kata Muni Suta:

            Wahai Para rsi dan orang suci sekalian!
            Mengucapkan mantra Panchakshari pada hari keempat belas bulan Marghashirsa dibawah naungan Arudra akan memberikan manfaat yang tak terhitung. Tidak ada yang lebih bermanfaat selain memuja Siwa dengan memasang Lingga Siwa baik dilakukan sendiri atau dilakukan oleh brahmana dan memujanya dengan enam belas upachara, akan memastikan orang yang melakukannya mencapai kediaman Dewa Siwa.

Berbagai Jenis pemujaan Lingga
            Pada waktu yang suci (muhurta) waktu yang sangat nyaman bagi semua pemuja, ditepi sungai suci, lingga harus dipasang (pratishthana). Lingga ini bisa dibuat dari tanah liat atau bisa berupa tejo lingga. Jika bisa dibawa kemana-mana, haruslah kecil. Apapun bentuknya, sebuah lingga harus memiliki sebuah dasar- panapatta. Bisa berbentuk segi empat atau segi tiga. Harus terbuat dari bahan yang sama dengan lingga. Untuk lingga yang bisa dibawa kema-mana, lingga dan panapattanya harus menyatu. Bagi mereka yang melepaskan diri dari ketetarikan duniawi, ia yang mencari pembebasan, sebuah lingga dengan tinggi satu inci akan mencukupi. Mereka yang membuat sebuah pratishtana haruslah membuat kanopi juga. Pahatan dewa-dewi, dewatagana, harus mengelilingi tembok seperti yang disebutkan dalam shastra. Pintu masuk tempat ini harus dihias dengan batu permata. Di bawah dasar lingga, pada sebuah lubang, batu berharga juga harus diletakkan disana. Harus terdapat sebuah ‘havana’ dan pemujaan dengan ucapan mantra yang telah disebutkan. Orang yang melakukan ritual ini harus dihormati. Setelah pemujaan, orang miskin harus diberi sedekah berupa makanan dan juga baju baru. Bahkan ‘utsawa murti’ yang dibawa pada saat prosesi bisa diletakkan pada sebuah tempat.

Penjelasan mengenai Lingga yang berbeda
            Lingga ada dua jenis: yang tidak bisa berpindah, tetap ada disuatu tempat dan lingga yang bisa dibawa kemana-mana, dinamis. Lingga yang dinamis bisa terbuat dari tanah-liat atau jaggeri (gud), mentega atau tepung dan diletakkan pada ibu jari tangan kiri dan bisa dipuja dengan mengucapkan mantra seperti yang disebutkan dalam buki suci.
            Mereka yang tidak bisa melakukan upacara secara lengkap da menyeluruh bisa memberikan dana—sedekah , yang juga adalah sebuah lingga.
            Pranawa harus diucapkan berulang-ulang paling sedikit 1000 kali. Ini bisa dilakukan oleh pemuja sendiri atau dengan bantuan pandit (Brahmana). Ini dianggap sebagai sebuah diksha (komitmen suci) dari pemuja yang telah mengetahui dan juga telah mengetahui hal ini. Mereka yang ingin mendapatkan berkah Siwa harus tinggal di Siwa Kshetra.
           

Dengan mengulangi Panchakshari lima crore kali maka manusia akan menjadi sama dengan Dewa Siwa.
Dengan empat crore maka manusia akan sama dengan seorang Brahmana; jika seseorang mengulangi mantra Gayatri seribu kali Siwa akan berkenan, dan akan menghadiahkan tempad di kediamannya Kailasha.
Haruslah diingat bahwa pemujaan Siwa pada malam hari akan menghasilkan buah pahala yang amat baik.
Setelah mendengar semua ini semua suta, pencerita purana (pauranik), para rsi dan juga para orang suci ingin mendengar dan mengetahui lebih jauh lagi tentang Siwa Kshetra, kediaman Dewa Siwa.

Sungai Dan Kshetra

            Setelah mendengarkan perintah Dewa Siwa, Bumi telah menyangga berat ribuan gunung dan juga sungai-sungai yang sangat banyak. Untuk memberkahi mereka yang hidup di bumi, Siwa membuat Kshetranya, tempatnya, di suatu tempat. Dari kshetra-kshetra itu ada yang muncul sendiri atau yang didirikan oleh para pemuja (para bidadari dan dewa) dan juga oleh orang suci atau para rsi. Terdapat banyak pantai di lautan dan tepian sungai.
            Kashi, misalnya, berada di tepian Sungai Gangga. Bagi mereka yang mandi di Narmada dan melakukan puasa, maka ia akan menjadi pemimpin yang baik.
            Sungai yang lain, yang juga dipuja adalah Govadari. Hanya dengan mengucapkan namanya saja, Govadari akan menghancurkan dosa-dosa mereka. Varanasi telah menjadi tempat yang terkenal karena menjadi Siwa Kshetra. Mandi di sungai Gangga akan menghasilkan pahala ratusan Sandhya wandana (pemujaan pada saat matahari terbenam dan matahari terbit). Mandi ratusan kali akan menjadi langkah pertama untuk belajar yoga. Tidak ada yang mampu menggambarkan pahala kebajikan yang bisa diperoleh dengan mandi setiap hari di sungai Govadari. Sungai Govadari memiliki kekuatan untuk membebaskan seseorang dari semua dosa-dosanya dan memberkahinya dengan tinggal di Kailasha.
            Pada semua kshetra, kediaman mulia, sangatlah penting untuk selalu berbakti dan tulus. Dosa apapun yang dilakukan di tempat ini akan membuat seseorang menderita di neraka.
            Baik punia (pahala yang baik) atau neraka (dosa) memiliki tiga aspek:
1.      Aspek benih (bija)- ini bisa dihancurkan dengan jnana (pengetahuan dan kebijaksanaan).
2.      Aspek pertumbuhan (vriddhi) – ketertarikan untuk berbuat dosa dengan hal ini bisa dikendalikan dengan melakukan perbuatan yang mendatangkan pahala.
3.      Aspek pengalaman (anubawa) – dengan Jnananamsa dan vriddhayamsa walaupun dosa sudah sudah dihapus, beberapa pahala baik dan juga dosa harus dinikmati – harus dilalui oleh orang yang melakukannya. Itulah anubawa.

Untuk menghindari buah dosa, empat cara yang disarankan adalah:
1.      Memuja Siwa
2.      Memberikan sedekah bagi mereka yang pantas mendapatkannya.
3.      Melakukan meditasi dan juga perenungan ( juga dsebut dengan tapasya).
4.      Mengingat  bahwa akan mendapatkan penderitaan yangb luar biasa dengan melakukan perbuatan yang salah.
Karena yang keempat bukan cara untuk menghindari dosa, maka seseorang itu harus melakukan banyak kebaikan untuk menghalangi papa (dosa). Mendengarkan Muni Suta yang menjelaskan hal ini para rsi menanyakan cara menerapkan (sadachara) semua itu dengan baik.

Melakukan kebaikan dan juga penerapan yang sesuai

Kata Rsi Suta:

Seseorang harus bangun pagi. Ia harus bermeditasi pada dewa pilihannya. Ia harus menjaga diri dan penghasilannya serta semua yang ia keluarkan. Ia harus menggunakan waktunya dengan baik untuk menghasilkan uang dan melakukan perbuatan yang baik. Seseorang itu harus memikirkan kesehatannya, kekuatannya, kemampuaanya, penghasilannya dan juga pengeluarannya.
Ia kemudian harus mandi sebelum melakukan doa hariannya dan melakukan anusthan seperti Gayatri atau yang lainnya, mengucapkan mantra yang tepat. Ini bisa dilakukan di rumah atau kuil. Sampai berumur tujuh puluh tahun, seseorang harus mengurusi rumah-tangganya (jika berumah-tangga) dan setelah itu ia harus menjalani hidup suci (sanyasin). Seorang Sanyasin harus mengulangi pranawa mantra paling tidak dua belas kali sehari.
Hanya dengan mengikuti dharma (hukum suci) uang bisa diperoleh. Dharma harus membentuk dasar semua tindakan. Uang bisa dicari dan dihabiskan sesuai dengan dharma. Bahkan kesenanganpun harus dinikmati berdasarkan pada dharma.
Dharma ada dua jenis: yang pertama dharma yang dilakukan dengan bantuan uang- seperti ritual, kratu, yajna dan yaga, dan dharma yang kedua adalah dengan tubuh—secara fisik, misalnya pergi ke peziarahan, mandi di sungai suci atau laut, mengucapkan Gayatri Mantra dan yang lainnya. Yang melibatkan pengetahuan, kebijaksanaan dan juga kecerdasan harus melibatkan kedua jenis dharma ini. Dengan melakukan dharma, apapun yang bersifat duniawi atau yang lainnya harus dimiliki.
Apakah itu dharma? Semua kekerasan adalah adharma. Membuat orang lain bahagia adalah dharma. Adharma membuat kita sengsara dan dharma memberikan kita kedamaian dan kesenangan.

Jenis-jenis Yadnya

            Menghaturkan samagri (benda atau materi) pada api dalam havana disebut dengan yadnya. Havana yang dilakukan untuk menghormati dewa tertentu misalnya Indra disebut dengan dewa yagna. Brahma yadnya adalah ilmu yang mempelajari weda. Selain dari Agni (api) ada dewa lain juga yang dipuja pada saat yadnya.
            Tujuh hari yang ada memiliki dewa tersendiri. Memuja mereka akan mendatangkan pahala seperti berumur panjang, kesehatan, kekayaan dan juga ilmu pengetahuan. Mantra, japa, havana adalah ketiga hal yang berkaitan dengan ritual api. Dana (sedekah) dan memberikan makanan pada pemuja dan orang yang tak punya juga adalah yadnya. Ada tiga jenis yadnya yang berbeda untuk mencapai hasil tertentu. Semua ini dilakukan sesuai dengan prosedur dalam kitab suci, akan meningkatkan kesehatan seseorang. Bahkan dengan mendengarkan pada cerita tetang yadnya ini akan menghasilkan pahala saat melakukan dewa yadnya.

Waktu dan tempat untuk melaksanakan Dewayadnya
            Para rsi dan para orang suci meminta Suta untuk memberitahu mereka tempat yang mana- desa, waktu- kaala, jaman yang tepat melakukan dewayadnya. Sebuah rumah yang bersih, tepian sungai, pohon Bilva (bel), tumbuhan basil dan Aswatha (pipal) adalah tempat yang tepat. Tepi laut sepuluh kali lebih baik daripada sebuah sungai dan puncak gunung sepuluh kali lebih baik daripada tepi laut. Pada masa Kaliyuga, buah yadnya datang lebih cepat dibandingkan dengan jaman Kritayuga. Sebuah hari yang suci yang sesuai dengan almanak (panchanga) adalah hari yang baik. Prosedur pemujaan mungkin berbeda antara satu rumah dengan rumah yang lain, karena tiap rumah atau keluarga memiliki cara yang sedikit berbeda untuk pemujaan. Memuja Parthiwa lingga, atau lingga yang terbuat dari tanah liat, akan melindungi kepala rumah tangga dan juga keluarganya dari kematian atau bahaya.

Memuja Parthiwa Lingga
            Lingga harus terbuat dari tanah liat yang diambil dari dasar sungai dan mencampurnnya dengan bubuk cendana dan susu. Karena percikan air akan membuat lingga ini rusak (meleleh), maka hanya bunga yang digunakan pada saat puja (pemujaan). Di rumah pemujaan seharusnya diikuti dengan annadaana (memberikan makanan pada orang yang tidak punya selain juga teman dan sanak keluraga. Dhupa, deepa dan naivedya serta japa harus dilakukan. Untuk menghasilkan tujuan puja tertentu, terdapat hari tertentu dalam seminggu dan tithis pada malam tertentu yang bersifat khusus.

Bindu—Nada Lingga
            Bindu adalah titik, atau tetes – adalah shakti. Nada adalah suara – yang adalah Siwa- dan seluruh jagat raya menyerap ke dalam nada. Nada adalah dasar dari penciptaan dan lingga adalah kesatuan dari keduanya—Shiva dan Shakti. Maka tidak ada bedanya antara Siwa dan Shakti. Lingga Siwa bermanifestasi dalam enam cara dan masing-masing memiliki dua aspek.
            Suara ‘A” adalah lingga achara dan Lingga Guru; suara ‘u’ adalah guru lingga dan chara lingga. Suara ‘m’ adalah suara dari Lingga Siwa dan Lingga Yantra. Bindu adalah Lingga Chara dan Lingga Bindu. Nada adalah prasada mantra lingga dan lingga pranawa. Terdapat empat cara kunci untuk mendapatkan berkah: memakai rudraksha, menggunakan abu suci, mengulangi panchakshari Siwa dan memuja Siwa ( di kuil, di rumah atau di Khsetra). Pemuja yang sebenarnya memuja dengan tulus. Orang yang seperti itu akan mencapai mukti dan mendapatkan Sayujya Siwa.

Akibat Pengucapan pranawa dan Panchaksari

            Para rsi dan orang suci bertanya pada Maharsi Suta untuk memberikan mereka pencerahan tentang Siwa Panchakshari.
            Kata Suta Pauranik:
            Hanya Siwa yang bisa menjelaskan tentang Panchaksari secara lengkap tetapi aku akan berusaha sebaik mungkin.
            Siwa sendiri adalah yang bisa membantu kita untuk melewati lautan kehidupan duniawi. Nava adalah perahu; Pranawa itu ada dua jenis: yang makro (sthula) dan mikro (suksma). Suksma memiliki satu huruf dan sthula memiliki lima huruf. Terdapat tiga tahap, tingkatan yaitu: kriya yoga, tapa yoga dan japa yoga. Satu tapoyogi lebih agung dari sepuluh kriya yogi dan sebuah japa yogi lebih agung daripada sepuluh tapoyogi. Bagi mereka yang adalah pemuja Siwa, walaupun ada grihasta (tahap hidup berumahtangga), Panchakshari sendiri adalah sthula pranawa, wujud makro pranawa seseorang.

Bandha Moksha (Ikatan dan pembebasan)
            Suta menjelaskan lebih jauh lagi apa yang dimaksud dengan Bandha dan Moksha.
            Prakirthi (alam), buddhi (intelek) dan ahamkara (kebodohan) dan panchabutha (lima unsur) – inilah ikatan. Ia yang terikat dengan semua ini adalah yang terikat. Pada saat seseorang hidup maka seseorang itu secara literal terikat oleh delapan ikatan ini.
            Ia yang mengerti hal ini adalah orang yang terbebaskan – Ia yang mencapai pembebasan atau moksha.
            Jiwa adalah ikatan dan tubuh akan mengalami siklus seperti sebuah roda. Hanya Siwa yang melampaui prakirti. Untuk bebas dari ikatan ini seseorang harus mencari perlindungan terhadap Siwa sendiri. Dengan cara seperti itu, maka berkahnya akan diperoleh. Bahkan, untuk-Nya yang sempurna dan tanpa kesadaran (Siwa adalah yang tidak memiliki spruha- kesadaran; Ia adalah nispruha. Sebenarnya puja tidak perlu dilakukan untuknya. Tetapi puja dilakukan untuk menghormatinya karena Ia adalah niraakaara dan nirguna. Ia akan menjadi saguna dan sakara untuk memberkahi pemujanya. Dengan berkahnya segalanya akan terkendali. Tubuh dan tindakan ketika dikendalikan, maka keberadaan akan menjadi semakin berevolusi dan berkembang. Masing-masing perkembangan itu atau jiwa itu akan mendapatkan salokya – berada di loka yang sama dengan Siwa. Kemudian Ahamkara tersingkap dan buddhi berkembang. Ketika chitta (hati- pikiran – intelek) terkendali, maka manusia menjadi seorang yogi. Orang yang seperti itu akan memiliki wujud yang sama bahkan dengan Siwa sendiri (Sarupya).
            Terkecuali Shivapujan, tidak ada cara lain untuk mendapat pembebasan dari ikatan. Diantara chara lingga, Rasa lingga adalah yang terbaik untuk Brahmana. Sedangkan untuk kshatriya adalah banalingga, bagi Wesya adalah swaran lingga dan Siwa lingga untuk sudra. Bagi Suhagana (wanita suci yang menikah) lingga dari tanah liat dan bagi yang sudah menjadi janda, lingga dari kristal adalah yang terbaik. Bagi mereka yang menghindari perbuatan buruk, selalu ada di jalan Dharma, bisa memuja Siwa pada tangan kirinya sebelum makan. Setelah menghaturkan makanan pada lingga (naivedya) mereka boleh makan. Lingga bisa digantung di leher kita sebagai kalung. Inilah yang diajarkan padaku oleh Rsi Wedavyasa dan aku meneruskan apa yang ia telah ajarkan padaku kepada kalia semua. Semoga kalian semua mendapatkan berkah Dewa Siwa.
            Itulah yang dikatakan Suta.


Pahala memuja Parthivalingga
           
            Wahai para Rsi dan Orang suci!

            Dari semuanya lingga yang terbuat dari tanah liat adalah yang terbaik. Hanya melalui pemujaan Parthivalingga, Brahma, Wisnu dan Indra bisa memperoleh berkah. Pada jaman Kritayuga, lingga dari permatalah yang digunakan, dan pada jaman Tretayuga lingga yang terbuat dari emaslah yang dipuja. Pada jaman Dwapara yuga, Rasalinggalah yang dipakai dan pada jaman Kaliyuga, Parthivalinggalah yang dikatakan sebagai yang terbaik. Dalam pembuatan Parthivalingga tidak ada pantangan tertentu dari panca sutra. Tanah liat ini dipakai untuk membuat lingga, secara keseluruhan. Tetapi mereka yang memasangkannya (meletakkannya) pada suatu tempat haruslah dua orang. Bagi mereka yang mengetahui lingga mahawidya, linggam sendiri adalah Mahadewa.
            Sebuah prosedur telah ditetapkan dalam kitab suci dan sastra dalam melaksanakan atau menghaturkan ritual dengan enam belas upachara.

Keinginan dan jumlah lingga yang harus dipuja untuk pemenuhannya

            Mereka yang menginginkan kemajuan dalam bidang pendidikan harus memuja ribuan parthivalingga. Mereka yang menginginkan kekayaan harus memuja lima ratus lingga, mereka yang menginginkan keturunan laki-laki harus memuja seribu lima ratus lingga, mereka yang menginginkan pembebasan harus memuja ribuan lingga dan bagi mereka yang menginginkan tanah (properti), lima ratus buah dan yang seterusnya. Hanya dengan menghaturkan sembah pada lingga, seseorang akan bebas dari kesedihan dan juga keraguan.
            Tidak ada cara yang lebih baik ataupun lebih mudah selain menyeberangi gelombang kehidupan yang amat besar sengan memuja Siwa. Dikatakan hanya dengan melakukan pemujaan yang bisa membuka mata mereka yang buta atas kebodohan dan kesenangan duniawi. Tiga material penting dalam memuja Siwa adalah i) Abu Suci ii) Rudraksha dan iii) daun bilwa (bilwa patra).
            Daun Bel (bilwa) adalah perwujudan Dewa Siwa. Dipercaya bahwa pada akar pohon ini, semua tempat suci atau peziarahan berada. Jika seseorang melakukan pemujaan di bawah pohon ini, akan merangsang pertumbuhan Vamsha (keturunan). Mereka yang menyalakan lampu pada pohon ini akan mendapatkan Jnana Siwa. Jika seorang Brahmana diberikan makanan di bawah pohon ini maka akan memberikan pahala sama seperti memberikan makanan pada seribu orang lebih. Mereka yang memberkan nasi (nasi yang dimasak dengan susu – paramaanna dan ghee, tidak akan pernah menderita kemiskinan.

Pahala bagi yang menggunakan abu suci
            Bashma – abu suci, terdapat dua jenis: swalpa bhasma dan mahabhasma. Dari kedua shrauta, smarta dan laukila vibhuti terlahir. Brahmana, kshatriya dan Vysyas mengoleskan abu ini dengan mantra yang mengagungkan Dewa Siwa.
            Semua dosa dan perbuatan buruk akan dibersihkan dengan mengoleskan abu suci ini membentuk tiga garis pada dahi (tripundra).
            Untuk Siwapuja paling tidak dua hal penting yang harus diperhatikan yaitu abu suci dan rudraksha – benih pohon Cedar.
            Mengunjungi mereka yang memiliki keduanya (bhasma dan rudraksha) akan membuat si pengunjung membersihkan dosanya. Mereka yang tidak mengoleskan abu suci, tidak memakai Rudraksha dan tidak mengucapkan nama Dewa Siwa dengan penuh pengabdian, adalah orang yang paling buruk – begitulah yang dikatakan orang bijaksana dan mulia.

Keampuhan Rudraksha – cara memakainya
            Setelah menjelaskan keagungan dan keampuhan (mahima) rudraksha, Maharsi Suta ditanyai lebih jauh lagi mengenai benih suci ini.
            Suatu kali Rudra melakukan tapasya, pernungan yang berlangsung selama bertahun-tahun. Ketika ia mencapai kesadaran akan sekelilingnya dan membuka matanya beberapa titik air mata jatuh. Satu butir air mata itu jatuh di daerah Gowda dan yang lainnya sampai ke Mathura, Ayodya, Lankapatna, Gunung Malaya, Sathyagiri dan Kashi. Air-mata yang jauh ini seketika itu juga menjadi rudraksha. Karena berasal dari mata Siwa, maka disebutlah sebagai Rudraksha. Rudraksha sangat ampuh menghapus kesedihan semua maklhuk.
            Siwa, yang Maha pengasih, memberikan Rudraksha ini pada pemuja dari semua kasta. Rudraksha dengan ukuran sebuah biji regu (Zizyphus jujuba) akan memberikan ketenangan dan kekayaan. Yang memiliki ukuran sebuah biji Gooeseberri (amla) akan mengurangi keburukan. Yang memiliki ukuran seperti sebuah guru-vinja (sebuah biji kecil, yang berwarna merah pada ujungnya dan berwarna hitam pada bagian bawah, akan memenuhi semua keinginan hati pemakainya. Rudraksha lebih ampuh ketika ukurannya kecil. Bisa dipakai seperti seutas tali untuk japa (mengulangi nama dewa).
            Ini bukan berarti bahwa semua rudraksha itu bisa digunakan semuanya. Yang memiliki biji yang bulat, kuat dan kokoh adalah yang baik. Yang bijinya cacat, patah dan tidak bulat tidak bisa dipakai. Tidak baik dipakai memuja.
            Yang tidak memiliki lubang, tidak baik dipakai. Mereka yang memakai seribu seratus rudraksha akan menjadi rudra swarupa.
            Muni Suta kemudian memberitahu semua rsi dan orang-orang suci berapa banyak rudraksha yang harus dipakai, dimana memakainya, kapan dan bagaimana caranya. Mereka yang menggunakannya harus memathui beberapa prinsip utama. Mereka harus mengucapkan mantra juga ketika memakainya.
            Terdapat empat belas jenis rudraksha bergantung dari jumlah wajah yang dimilikinya. Yang memiliki empat belas adalah perwujudan Parameshwara sendiri.
            Setelah menjelaskan semua, Maharsi Suta mengatakan pada semua rsi dan orang suci bahwa ia telah menjelaskan tentang keampuhan, kekuatan dan kejayaan bilwa, bhasma dan rudraksha dan memperlihatkan pada mereka prosedur yang harus dilalui ketika memakainya. Ini adalah akhir dari Vidyeshwara Samhita.

Akhir dari bagian pertama Vidyeshwara Samhita dalam
Siwa Purana yang terdiri dari tujuh samhita.

 
RUDRA SAMHITA

Muni Suta kemudian lebih jauh lagi menceritakan Samhita baru yang bernama Rudra Samhita.

Tapasya Narada dan Keangkuhannya
            Suatu kali Narada melakukan tapasya yang kusyuk sehingga surgawi berguncang. Indra mengirimkan Manmadha dan memerintahkannya untuk mengganggu dan membuat konsentrasi Narada buyar saat ia melakukan tapasya.
            Narada duduk di tempat dimana sebelumnya di tempat itu, Ia telah dibakar oleh mata ketiga Dewa Siwa. Pada saat itu, Dewa Siwa mengatakan bahwa tempat ini akan membuat mantra Manmadha  tidak ampuh dan bekerja. Narada tidak tahu akan hal ini.
            Setelah beberapa saat Narada membuka matanya dan mengetahui apa yang telah terjadi. Terpengaruhi oleh maya, ia berpikir bahwa kekuatannyalah yang bisa mengalahkan Manmadha. Ia mengira bahwa tapasyanya telah membuahkan hasil. Ia menghentikan diksha-nya dan pergi ke Kailasha. Ia menghadap Siwa dan mengatakan bahwa ia telah mengalahkan Manmadha.
            Siwa merasa kasihan dan menenangkan Narada yang berapi-api. Sankara yang memiliki tiga mata menyarankan Narada untuk tidak terlalu bangga, sombong dan memuji dirinya sendiri. Ia kemudian memberikan penghormatan pada Siwa dan pergi ke Satyaloka, untuk mengunjungi ayahnya Brahma. Ia mengulangi apa yang telah ia ceritakan pada Siwa dengan kesombongan yang sama. Brahma juga mengingatkan Narada tetapi Narada pergi ke Wisnuloka. Narayana sendiri datang untuk memberikan penghormatan pada Narayana.
            Wisnu mendengarkannya sesaat dan menyadari bahwa Narada telah melihat maaya – Siwa. Ia juga memuji Narada, yang membuatnya semakin sombong. Ini membuat Narada semakin membual tidak hanya sekali tetapi berkali-kali. Kemudian ia meminta ijin pada Wisnu untuk pergi dan kemudian berkelana ketiga Loka.

Maaya Wisnu dan kesombongan Narada yang runtuh
            Saat Narada pergi, Dewa Wisnu menciptakan dengan kekuatannya sebuah ilusi, sebuah kota, seorang raja dan seorang putri. Narada sampai ke kota itu.
            Raja kota itu bernama Silanidhi menyuruh putrinya, Srimati untuk menyambut Maharsi. Raja meminta maharsi untuk memberikan berkah pada putrinya dengan nasib yang baik pada malam Swayambaranya (memilih suami sendiri). Narada sendiri sangat tertarik dengan gadis ini. Kekuatan Manmadha pada dirinya tak tertahankan. Ia sangat ingin memilikinya sebagai istri. Ia juga memutuskan untuk menjadi suami dengan mengawininya.
            Narada menemui wisnu untuk meminta tolong. Ia memohon Wisnu untuk memberikan ketampanannya. Narayana sendiri terseyum dan berubah menjadi seorang pria yang sangat tampan. Tetapi wajahnya berbeda. Karena Narada tidak melihat wajahnya, ia tidak tahu bagaimana sebenarnya wajahnya itu. Wisnu juga disebut dengan Hari; Hari berarti selain arti yang lain, juga berarti kera. Narada menjadi sangat gagah namun ia berwajah kera.
            Narada pergi ke Swayambara itu itu. Dua pendeta duduk di samping Narada, juga yang adalah maaya. Pada saat yang sama Wisnu sendiri datang ke Swayambara itu. Srimati tidak melirik siapapun, kecuali Dewa Wisnu dan menjatuhkan kalungan bunganya pada leher Dewa Wisnu dan menjadikan Dewa Wisnu pasangannya.
            Narada, telah ingin memiliki Srimati, pertama kali melihatnya. Pendeta yang berada di sampingnya meminta Narada melihat wajahnya di cermin. Narada melihat wajah seekor kera. Dalam amarah yang besar, Ia ingin membalas perbuatan Dewa Wisnu, bahkan ia ingin mengutuknya. Ia juga mengutuk dua brahmana yang menyamar untuk terlahir sebagai raksasha. Karena masih marah iapun pergi ke Vaikunta untuk mengutuk Wisnu.

Kutukan Narada pada Wisny

            Begitu Narada sampai di Vaikuntha, ia menuduh Dewa Wisnu menipunya. Begitu ia melihatnya, ia langsung mengutuknya. “ Seperti engkau menipuku gara-gara seorang wanita, dengan menyamar menjadi raja, engkau juga akan menderita karena berpisah dengan seorang wanita, kau juga akan menderita sebagai manusia, yang terpisah dari pasangan hidupmu. Dan dengan wajah kera seperti yang kau berikan untukku maka engkau akan dibantu untuk menyatu dengannya lagi”.
            Dewa Wisnu menenangkan Narada. Kemudian ia memuja Dewa Siwa. Saat itu juga Siwa membebaskan Narada dari pengaruh ilusi. Narada tenang kembali. Kemudian ia sadar dengan apa yang terjadi. Iapun memohon ampun pada Dewa Wisnu. Kemudian Dewa Wisnu mengatakan bahwa itu semua adalah lila Dewa Siwa. Ia memberitahunya, seorang jnani harus selalu memuja Siwa, Ia yang menaklukkan kematian mrutyunjaya. Atas nasehat Wisnu, Narada memohon pada Brahma untuk mengajarinya cara memuja dan memperoleh berkah Dewa Siwa.

Brahma memberikan Siwajnana pada Narada
            Kata Brahma:
            Narada! Anakku Aku dan Narayana, tidak memiliki pengetahuan yang penuh tentang Siwa Jnana. Siwa adalah keajaiban dari semua keajaiban.
            Pada saat pralaya segalanya akan dihancungkan. Tidak akan ada siang ataupun malam. Tidak akan ada unsur apapun (panchabhoota) atau panchatanmatra. Kamudian Ia yang tanpa awal, tanpa akhir, tanpa bentuk, wujud dan evolusi, Ia yang bersinar, tanpa akhir dan abadi. Ilah Siwa, Ialah Siwa.
            Parama ini (yang mutlak, pasti dan abadi) akan menciptakan sebuah murti- untuk memulai sekali lagi dan memberinya nama Sadasiwa. Bersama dengannya akan ada Shakti – dua kekuatan yang adalah satu.
            Shakti ini atau Sakaleshwari memiliki satu wajah dan Sadasiwa memiliki lima wajah. Siwa dalam wujud cahaya dan terang. Siwa tinggal bersama dengan Sakaleshwari. Itulah Shivaloka, Kashi dan Anandavana. Di tempat itu, mereka mengaduk lautan chitta (pikiran-hati-intelek) dan disebelah kirinya ada aliran air kehidupan. Kemudian makhluk yang sangat tampan, damai, memegang teguh kebenaran, Ia yang menggunakan busana yang sangat indah dan memiliki lengan yang amat kuat. Ia berdoa pada Siwa untuk memberinya nama dan Ia diberi nama Wisnu – yang menyerap ke dalam semuanya. Dewa Siwa kemudian meminta Wisnu untuk melakukan meditasi (tapasya). Ia melakukan tapa selama dua belas ribu tahun surgawi. Bahkan pada saat itupun ia belum mendapatkan berkah Siwa. Suara langit (akashvani) memintanya terus melanjutkan tapasya-nya. Setelah sekian lama, maya Siwa menciptakan aliran sungai dan aliran itu mengalir melalui Wisnu. Ketika ia berbaring, air itu terlihat begitu menggoda. Karena lelah karena tapasya yang ia lakukan dan juga kekaguman akan beningnya air itu, Wisnu tertidur. Karena ia tidur saat melihat air sebagai ayana maka iapun diberi gelar Narayana – ‘Nara’ artinya air.
            Sebelum Narayana sadar akan tiga guna (satwik, rajasik dan tamasik) ahamkara, kelima unsur (panchabhuta) dan lima tanmatra dan jnana dan karmendriya- dalam ke dua puluh empat tattwa ia menjadi manusia. Ia sendiri adalah Chaitanya. Yang berbeda darinya adalah bahwa ia adalah air, air dan air.

Pertikaian antara Brahma dan Wisnu- bermanifestasilah Siwa

            Dari atas pusar Narayana, sebuah lotus muncul sedangkan ia tidur terus menerus untuk waktu yang lama tanpa akhir. Sejak saat itu ia diberi gelar sebagai Kamalanabha.
            Saat ini terjadi, batang dibawah lotus terus berkembang dan membentuk hingga ke daerah selatan. Siwa menciptakan Brahma dan meletakkannya pada lotus yang tumbuh pada pusar Wisnu. Oleh karena itu Brahma kemudian diciptakan dengan lima wajah, ia kemudian dikenal dengan Brahma yang memiliki empat wajah (Chaturmukha Brahma). Karena ia memiliki emas pada perutnya oleh karena itu ia disebut dengan Hiranyagarbha. Karena tinggal di dalam bunga lotus itu, Brahma tidak mengetahui apa- apa selain lotus itu. Ini semua adalah maya Siwa. Karena ingin mengetahui dimana ujung tangkai bunga lotus, iapun memanjat selama ratusan tahun, dan tidak tahu dimana tangkai itu berawal. Tangkai itu terus tumbuh. Ia kemudian melakukan perjalanan selama ratusan tahun juga tetapi tetap saja belum menemukan bunga. Kemudian ia mendengar suara suci dan memutuskan untuk melakukan tapasya. Ia kemudian bisa melihat Wisnu, dan Ia sangat kagum dengan keagungan Wisnu. Pada saat itu Brahma menangkap Dewa Wisnu saat ia tidur. Wisnu mencoba untuk menjelaskan pada Siwa tetapi Brahma mengatakan bahwa Ialah pencipta. Ia terlahir sendiri, dan bukan melalui Wisnu. Pertikaian ini terus berlanjut dan Wisnu kemudian semakin ingin menjelaskan. Pertikaian ini terjadi dalam waktu yang cukup lama. Siwa kemudian berubah menjadi pilar api. Ia muncul sebagai lingga. Kemudian Brahma dan Wisnu tidak berada dalam pengaruh maya Siwa lagi. Kemudian mereka berdua memuja Siwa. Siwa sangat terkenan. Bagian selatan lingga seperti huruf pertama ‘a’. Di bagian utara seperti ‘u’; ‘m’ seperti chandramandala – lapangan yang menyerupai bulan. Diatasnya terdapat ananda- kesenangan- yang dipenuhi dengan Kenyataan yang Mutlak. Inilah yang memperlihatkan Siwa-tatwa. Kemudian muncullah seorang rsi. Ia kemudian menjelaskan pada Brahma dan Wisnu bahwa Mahadewa adalah manifestasi dari Shabda – suara dan Paramatma diatas, baik manas ataupun vaak. Ia adalah semua alasan dari semua yang ada. Ia disebut dengan ‘om’ (Ia adalah laki-laki, perempuan dan juga benda). Dari ‘a’ ‘u’ ‘m’, Brahma Wisnu dan Maheswara muncul dengan membawa tiga fungsi penciptaan, pemeliharaan dan penghancuran. ‘M’ adalah prinsip kewanitaan dan ‘a’ adalah laki-laki dan ‘u’ adalah kshetra- medan. Nada – suara- adalah penghubungnya. Kemudian muncullah Brahmanda dan terendam dalam hujan surgawi, Brahmanda dibagi menjadi dua: bagian atas seperti dunia atas dan bagian bawah seperti dunia manusia dan lain sebagainya. Pada saat sang rsi menceritakan hal ini, pendengar mendengarkan dengan penuh seksama. Dan kemudian dengan berbagai perhiasan, kulit yang berwarna keabu-abuan, memiliki lima wajah dan sepuluh tangan, seorang pria pemberani muncul dengan tersenyum: ‘a’ adalah mahkota, ‘aa’ adalah dahi dan lain sebagainya. Semua aksara suci ini ada pada makhluk surgawi ini. Makhluk ini memiliki semua nyanyian surgawi dan juga mantra yang lainnya. Wisnu kemudian membentuk semua. Beberapa membentuk Isana, tataparusha, aghora, vamadewa, sadyojata dan bentuk dari semu mantra muncul sebagai Parabrahma omni-huruf. Brahma dan Wisnu kemudian menyebut shabda parabrahma sebagai lokeshwara, Makhluk yang tertinggi.

Siwa mengajari Brahma dan Wisnu
            Paramasiwa yang menyerap dalam semua, melalui pengetahuannya memberikan Brahma dan Wisnu semua Weda. Kemudian Dewa Brahma dan Wisnu mengajarkan mereka cara memuja-Nya dan cara mencapai kediamannya.
            Kata Siwa pada mereka:
            Meditasi dan perenungan padaku dan keagunganku akan menjadi sangat suci dan memberikan anugerah. Pujalah lingga yang berada dihadapanmu. Aku akan memenuhi keinginan semua pemuja dalam wujudku ini. Pemujaan dengan menggunakan Lingga adalah yang termudah dan terbaik.
            Brahma! Menciptalah. Aku akan muncul dari dahimu sebagai Rudra. Uma berada dalam diriku adalah prakruti. Bentuk kedua prakruti, Saraswati akan di bawa oleh Wisnu,bentuk yang ketiga adalah Lakshmi, akan dibawa oleh Wisnu. Bentuk lain adalah Kaali, bentuk yang diambil oleh Wisnu. Bentuk yang lain adalah Kali, wujudku yang akan tertarik pada Rudra pada medan internal dan eksternal yang dipenuhi dengan Rajoguna. Keempat Warna dan keempat ashrama diciptakan olehnya berada di dalam tamoguna dan diluar wujud Rudra adalah Satwa tetapi muncul sebagai tamoguna. Rudra akan mengambil fungsi yang ketiga, penghancuran. Wisnu dan Brahma akan memuja-Ku dan kalian berdua akan memuja Rudra. Bahkan, tidak ada perbedaan diantara ketiganya. Karena lila-Ku Trimurti akan menjadi satu dan sama. Pemuja Siwa manapun yang menyalahkan salah satu dari Trimurti maka akan kehilangan punia (pahala baik). Dengan melindungi kebaikan dan memberikan pemuja kenyamanan dan kemewahan, kalian berdua jalankanlah tugas ini.
            Narayana! Tanpa menyakiti ciptaan Brahma, membunuh, mengambil berbagai wujud, menarik pemuja yang sangat banyak lakukalah kewajibanmu. Jika ada yang bisa aku lakukan maka akan aku lakukan. Kemudian merekapun menentukan ayush-kala.

Waktu yang ditentukan oleh Siwa
            Bagi Brahma, empat ribu tahun yuga adalah sehari dan empat ribu tahun yang lain adalah satu malam. Tiga puluh hari – dua lakh empat puluh ribu tahun adalah sebulan. Dua belas bulannya adalah setahun. Umur Brahma adalah ratusan tahun seperti ini. Dua puluh lakh delapan puluh ribu adalah satu hari bagi Wisnu dan umur Wisnu adalah ratusan tahun. Jika satu tahun Wisnu- melewati sehari- untuk ratusan tahun dengan hari seperti ini, Rudra menjadi Nara (manusia) dan tenggelam dalam diriku.
            Kemudian aku akan ada. Dari tarikan nafasku, Shakti yang agung akan muncul. Dari hembusan nafasku Brahma, Wisnu dan Maheswara dan raja lain seperti Garuda, Uraga dan Gandharwa akan muncul (terlahir).
            Enam penarikan nafas adalah satu kshana (saat). Enam puluh kshana adalah satu jam. Dua puluh jam seperti ini adalah satu hari. Bahkan aku tidak bernafas. Aku tidak menarik atau menghembuskan nafas. Aku melampaui semua hal, semua pengukuran, Aku tidak berakhir, abadi.
            Setelah mengatakan semua itu ia memberikan semua yang bisa ia ajarkan. Sejak saat itu pemujaan lingga dilakukan. Mereka yang membaca cerita ini di hadapan lingga selama enam bulan akan mencapai Siwarupa.

Prosedur untuk Pemujaan Siwa
            Seperti yang disebutkan dalam kitab suci, terdapat prosedur pembersihan- dimulai dengan menggosok gigi, mandi dll. Kemudian pada saat menghaturkan upacara- ritual, yang jumlahnya enam belas- mantra tertentu harus diucapkan. Upacara ini adalah: dhyana, avahana, arghya, paadya, snana, vastram, yajnopavitram, dhoop, deep, naivedya dll dalam urutan tertentu.
            Beberapa dewa menghaturkan pemujaan pada Lingga dalam beberapa hari bergantung dari lingga yang dibuat. Lingga bisa dibuat dari permata (batu berharga), emas, perak atau bahkan tanah-liat.
            Dari semuanya, yang paling berharga dan sangat ampuh adalah Bhavalingga, yang terdapat pada Bhaa – pada pikiran. Tetapi ini hanya memungkinkan bagi seorang yogi dari jajaran tertinggi. Manusia biasa hanya bisa memuja sthula Lingga (lingga biasa).
            Untuk memenuhi keinginan, bunga dalam jumlah tertentu dihaturkan. Tidak hanya bunga saja, tetapi juga biji-bijian yang digunakan dalam Shivarchana – pemujaan Siwa untuk mencapai tujuan tertentu dan memenuhi keinginan pemuja.
            Abhiseka – adalah memandikan patung dewa dengan air, susu, madu dan gula serta sari buah dll dan juga air dari sungai Gangga – ini akan menghasilkan pahala yang baik dan juga berkah dari surgawi.

Awal Penciptaan
            Suta Muni melanjutkan:
            Para Rsi dan orang suci!
            Setelah memanifestasikan lingga dan mengajarkan pelajaran pada Brahma dan Wisnu, Siwa menghilang. Kemudian Brahma memulai penciptaan dengan bantuan Wisnu. Wisnu menuju Brahmanda dan tinggal disana.
            Kemudian Brahma menciptakan telur yang sangat besar dengan dua puluh empat tattwa. Itulah viratrupa – wujud makro. Tidak tahu dengan apa yang harus dilakukan, Brahma meminta nasehat Wisnu. Wisnu bermanifestasi dihadapan Brahma.
            Wisnu, menjadi tak berwujud, ia masuk ke dalam telur. Ketika ribuan tangan, kaki dan kepala memasukinya telur ini mengalami kesadaran.
            Brahma memulai penciptaan kembali. Kemudian lahirlah awidya (kebodohan), tamas (kegelapan) dan semuanya. Kemudian muncullah pepohonan, gunung dan semua benda diam (sthaavara). Burung-burung dan binatang liar mengikuti. Kemudian muncullah manusia. Dengan semua ini Brahma sangat bahagia.
            ‘Sargam’ adalah tatwa penciptaan yang agung. Suksma Panchabhuta dan Panchakrita bhuta adalah jenis pembentukan. Ketiganya, lima unsur dan lima mahattwam semuanya menjadi delapan penciptaan awal. Yang kesembilan adalah kaumara. Dalam keadaan ini Sanaka, Sananda dan orang suci lainnya terlahir. Brahma meminta mereka ikut dalam penciptaan. Tetapi mereka tidak mau dan pergi. Brahma merasa kecewa karena ciptaannya tidak mau mematuhinya. Ia sangat sedih dan atas saran Wisnu, Iapun memuja Siwa.

Munculnya Rudra
            Dari mata Brahma muncullah Maheswara sebagai ardhareehwara (setengah laki-laki dan permpuan). Bersamanya ia menciptakan rudra gana – kelompok pelindung. Inilah cerita tentang munculnya Rudra, Ia yang menghancurkan semua dosa.
            Brahma memuja-Nya dan berdoa bagi penciptaan yang adalah subyek kelahiran, umur tua dan penyakit. Tetapi Rudra mengatakan bahwa yang ia lebih sukai adalah membebaskan manusia dari kesedihan dan mengangkat mereka. Ia memberitahu Brahma untuk menciptakan manusia seperti yang ia sarankan dan memberikan ia anugerah. Setelah itu Rudra pergi.
           
Susunan Srishti (Penciptaan)
            Penciptaan Brahma dimulai lagi. Lima mikro yaitu shabda, sparsha, rupa, rasa dan gandha (suara, sentuhan, rasa dan bau) bersatu dengan lima unsur makro. Kemudian muncullah sifat statis dan dinamis. Dari matanya muncullah Marichi, Bhrugu muncul dari jantungnya, Angirasa muncul dari kepalanya dan lain sebagainya.
            Kemudian, diinspirasi oleh Siwa, ia mengubah setengah dari dirinya untuk menjadi permpuan, sedangkan setengah dari dirinya sebagai pria. Dari keduanya kemudian lahirlah Swayambhu Manu adan bersama dengannya seorang yogini yang bernama Shatarupa. Kemudian keduanya disatukan oleh Brahma. Mereka memiliki putra Priyavrata dan Uttanapada, dua putra dan tiga putri; Akuti, Devahuti dan Prasuti. Akuti menikah dengan Ruchi, Devahuti menikah dengan Kardama dan Prasuti menikah dengan Daksha.
            Dari Akuti dan Ruchi, lahirlah Yajna dan Dakshina. Mereka dinikahkan dan memiliki dua belas putra.  Devahuti dan Kardama memiliki dua belas putri. Prasuti dan Daksha memiliki dua puluh empat putri. Ketiga belasnya menikah dengan Dharma. Mereka adalah; Shraddha, Lakshmi, Dhriti, Tushthi, Pushthi, Medha, Kriya, Buddhi, Lajja, Vasuvu, Santhi, Siddhi, dan Kirti. Sebelas yang tersisa; Khyati dengan Bhrigu, Niti dengan Dharma, Sambhuti dengan Marichi, Smriti dengan Angirasa, Priti dengan Paulasthya, Kshama dengan Pulaha, Sannuti dengan Kratu, Anurupa dengan Atri dan Vurja dengan Vasistha, Swaaha dengan Agni dan Suddha dengan Daksha.
            Juga dipercaya bawa Daksha memiliki enam puluh putri. Tetapi pada masing-masing kalpa, kejadian yang muncul berbeda. Tetapi cerita dasarnya tetap sama. Dari keenam puluh putrinya, Daksha memberikan sepuluh diantaranya pada Dharma, dua puluh tujuh pada Chandra, tiga belas diantaranya pada Kashyapa, empat diantaranya pada Garutman, dan satu pada masing-masing orang yaitu pada Bhrigu, Angirasa dan Krishaasva.
            Yang lebih penting lagi, Kashyapa dengan anaknya yang terlahir dari tiga belas istrinya memenuhi dunia. Ia memenuhi semua dengan sthavara dan jangama, statis dan dinamis. Dewata, rsi, raksasa, pohon-pohonan, burung dan pegunungan serta ular adalag keturunan Kashyapa. Itulah mengapa semua ciptaan disebut denan Kashyapi dan bumi juga disebut dengan Kashyapi.
            Siwa menerima putra Daksha Sati. Haruslah dicatat bahwa Wisnu terlahir dari bagian kiri Sarveshwara, Dhata dari kanan dan Rudra dari jantungnya. Haruslah dicatat ketiganya adalah sama. Adishakti sendiri menciptakan Lakshmi, Saraswati dan Dakshayani pasangan ketiga dewa ini. Lakshmi adalah Tamas, Saraswatu adalah Rajas dan Sati adalah Satwa.
            Kaalika, Chamunda, Jaya, Vijaya, Jayanthi, Bhadrakaali, Durga, Bhagwathi, Kameswari, Kamada, Amba, Mridani, Ambika, Sarvamangala- semuanya adalah nama dari Sati Dewi yang agung. Nama yang berbeda berasal dari ‘lila’nya.
            Di Siwaloka, Siwa bersama dengan Adishakti dalam penyatuan. Parameshwara berada dalam manifestasi – Purwa awatara. Ia tinggal di Kailasha. Segalanya mungkin akan sirna namun Kailasha akan ada selamanya dan abadi.
            Sehingga Narada diajari oleh Brahma dan kemudian diteruskan oleh Muni Suta pada Saunaka dan rsi serta orang- suci lainnya.
            Suta juga memberikan para rsi dan orang suci lainnya seratus delapan nama Siwa dalam pemujaanya. Ia juga menjelaskan arti dari seratus delapan nama itu.

Cerita Gunanidhi
            Narada bertanya pada Brahma kapan Siwa akan pergi ke Kailasha, bagaimana caranya dan mengapa ia bersahabat dengan Kubera dan lila apa yang ia mainkan ketika berinkarnasi Maheswara. Kata Brahma pada Narada dan juga Muni Suta serta pada Saunaka.
            Pada jaman dahuludi kota Kampilya hiduplah seorang Brahmana yang bernama Yajnaduta. Ia diberkahi  dengan memiliki seorang putra yang ia berinama Gunanidhi – harta karun yang berharga. Setelah melalui sebuah upacara upanayana kemudian ia kemudian dikirim pada seorang guru. Anak ini tumbuh menjadi dewasa dan iapun berteman dengan orang yang jahat. Ia memiliki banyak sekali kebiasaan buruk. Ayahnya, yang selalu sibuk tidak pernah memiliki waktu untuk anaknya. Ibunya terlalu mencintai anaknya dan memanjakannya.
            Kemudian Gunanidhi menjadi seorang penjudi dan juga orang yang jahat. Ia menghabiskan semua uangnya. Kemudian ia mencuri barang-barang dan menjualnya. Ia menghabiskan semua uangnya dalam perjudian. Suatu kali ketika akan mandi, ayah Gunanidhi memberikan pada istrinya cincin berlian. Dan Ia lupa dimana meletakkannya, hingga Gunanidhipun mencurinya dan menjualnya. Semua uangnya ia habiskan dalam perjudian. Gunanidhi tanpa sengaja melihat cincinnya pada jari tangan orang lain dan menanyai orang itu. Yajnadutta tahu bahwa anaknya telah menjadi seorang berandal dan seorang penjudi. Takut ayahnya menghukumnya, Gunanidhi pergi dari rumahnya.
            Dalam beberapa hari Gunanidhi bahkan tidak memiliki uang yang bisa ia pakai untuk makan. Pada saat ia duduk di bawah pohon, marah dan sangat lapar, hidungnya bisa menciumnbau makanan yang amat lezat, makanan yang akan di bawa ke Mandir Siwa. Ia mengikuti pemujanya ke kuil. Ia menunggu saat yang tepat untuk mencuri makanan itu. Ia melihat pemujaan itu dari kejauhan. Setelah semua orang tidur ia menyelinap mencuri makanan. Lentera nyaris padam. Ia kemudian menyobek pakaian dalamnya. Mencelupkannya pada minyak dan membuat lentera kecil itu menyala lagi. Ia memasukkan makanan ke dalam bungkusan yang ia bawa dan kemudian ia menginjak seseorang hingga orang itupun menangis dan berteriak. Ia tertangkap dan dipukul dengan sebatang tongkat. Kepalanya pecah dan iapun mati seketika.
            Ketika utusan Dewa Kematian, Yama datang untuk menjemput suksma prana-nya, utusan Siwa mencegahnya. Arwah Gunanidhi yang telah mati tertahan di kuil itu, melakukan puasa dan menyaksikan pemujaan Siwa, iapun menghidupkan cahaya lentera di kuil itu. Semua dosanya terhapus. Kemudian ia dibawa ke Siwaloka, bukan ke neraka. Utusan Siwa diperintahkan untuk tidak menyentuh siapapun yang memuja Siwa – siapapun itu.
            Kemudian Gunanidhi terlahir sebagai putra seorang raja di kerajaan Uthal. Ia bernama Damana. Dalam kehidupannya sebagai Damana, ia adalah pengikut dharma, yang berbakti dan melakukan kebenaran. Kemudian ketika ia meninggal iapun menjadi cucu Brahma Wiswavasu. Karena kebaikan yang ia lakukan dalam kelahirannya terdahulu, ia mampu melihat kelahirannya di masa lalu. Ia menjalani kehidupan sebagai seorang pemuja Siwa yang taat. Ia memasang Lingga Siwa di tepi sungai Bhagirathi dan kemudian melakukan tapasya. Dewa Siwa amat berkenan dengan pemujaan yang ia lakukan, Iapun bermanifestasi dengan pasangannya, Shakti. Pasangan Siwa dan Shakti ini memberkahinya dengan wujud yang menakjubkan dan menamainya Kubera. Kemudian Kubera diberikan kekuasaan untuk memerintah Alakapuri. Ketika Kubera meminta anugerah, Dewa Siwa akan tinggal di dekat Alakapuri agar ia bisa dekat dengan pemujanya.
            Setelah mencapai tempat tinggalnya, Dewa Siwa memainkan dhamaruka. Nada (suara yang berasal dari dhamaruka) memenuhi jagat-raya. Semua malaikat dan dewa datang kesana untuk mendapatkan Darsana Siwa. Banyak sekali para rsi, orang suci dan pemuja lain serta siwa gana dengan para pemimpinnya datang dengan tangan tercakup dan membungkuk memberikan penghormatan. Bangunan yang sangat besar dibuat agar dapat memuat semua orang oleh Vishwakarma. Dewa Siwa menempati kediamannya. Setelah itu semuanya kembali ke rumah mereka. Sehingga Siwapun memberikan Kubera sahavasa-Nya (menemaninya).
            Para rsi dan orang suci meminta Suta bagaimana shaktinya adalah putri Daksha dan juga putri Himavan. Kemudian Suta menjelaskan cerita tentang kisah surgawi, untuk mendengarkan cerita yang suci dan memberikan keberuntungan.

Cerita Tentang Kshupa dan Dadichi
            Dadhichi adalah seorang pemuja Siwa yang taat. Ia memiliki seorang teman baik seorang Raja Kshatriya, Kshupa yang adalah pemuja Wisnu. Tetapi karena hari yang buruk keduanyapun bertengkar. Masing-masing merasa bahwa mereka yang paling baik. Sang Raja adalah seorang kshatriya dan Dadhichi adalah seorang Brahmana.
            Dalam amarah, Dadichi memukul sang raja dengan knuckles nya. Karena jugamarah sang Raja pun memukulnya dengan permata. Pada saat jatuh, Dadichi ingat kepada Sukracharya, guru para raksasa. Sukra memberinya Mrutyunjaya mantra. Siwalah yang dipuja apabila mengucapkan mantra itu. Ketika Ia Muncul, ia memujanya dan memohon agar tulangnya kuat seperti batu permata. Ia juga memohon dua hal lagi; tidak akan bisa dibunuh oleh siapapun dan tidak akan pernah terhina.
            Kemudian Dadhichi melanjutkan pertarungan itu dan menendang Kshupa di dadanya. Raja kemudian memukul Brahmana itu dengan permatanya, tetapi Brahmana ini tidak terluka. Mengetahui ini adalah sebuah anugerah dari Tuhan, Kshupa melarikan diri dan bertapa di hutan. Wisnu kemudian muncul dan memberitahu bahwa pemuja Siwa adalah bagaikan Siwa sendiri. Keduanya menuju pertapaan Dadhichi. Ia meminta Dadhichi untuk menyerah, tetapi ia menolak. Kemudian Wisnu bermanifestasi dengan virata-rupa-nya. Dadichi memberitahu Wisnu bahwa dengan berkah Siwa pula ia bisa menunjukkan Viraat rupa-nya.
            Kshupa sangat terkesima. Brahma datang menemui Dadichi dan ia mengutuk Wisnu. Kemudian Kshupa memberitahu Brahma, bahwa ialah yang salah.
            Walaupun orang-orang meninggal pada saat yajna Daksha, dengan satu mantra dari Dadhichi maka mereka akan terlahir kembali. Itulah berkah Dadhichi. Ia mengatakan bahwa semua yang terbunuh di dekat tempat yajna maka atas lila Siwa akan hidup lagi.
            Cerita ini semakin jauh sehingga setelah yajna Daksha posisi kepemimpinan para gana jatuh ke tangan Virabadhra.

Siwa berkenan, menghidupkan kembali Daksha
            Setelah Virabhadra kembali ke Kailasha, mereka yang bersembunyi dan melarikan diri keluar. Mereka bersedih atas mereka yang terbunuh. Brahma dan Wisnu datang dan mengajak mereka ke Kailasha untuk berdoa pada Siwa. Siwa muncul dan melihat tempat dimana yajna dilakukan. Hatinya tersentuh. Ia memanggil Virabhadra dan memerintahkannya untuk membunuh bahkan orang suci sekalipun. Semua yang mati kemudian dihidupkan kembali. Siwa kemudian memotong kepala kambing dan meletakkanya di tubuh Daksha yang tanpa kepala. Kemudian Daksha hidup kembali mengagungkan nama Siwa.
            Siwa juga sangat berduka atas hilangnya pasangannya, Sati. Tetapi ia tahu bahwa Sati adalah bagian yang tidak berbeda dari dirinya.
            Kemudian Muni Suta menceritakan bagaimana Uma terlahir sebagai putri Daksha untuk membuat Daksha senang. Kemudian ia menjadi Uma – Parwati- putri Himavan. Sebenarnya Ia tidak pernah pergi dari Siwa.

Cerita tentang Menaka Dhanya – Kalawati
            Kemudian para rsi dan orang suci meminta Maharsi Suta untuk menceritakan pada mereka bagaimana Mahamaya menjadi Hymavathi.
            Adalah hal yang sangat agung menjadikan Ibu Mulia sebagai putri seseorang. Karena Himavan juga pemuja yang taat seperti Daksha, ia juga bisa memiliki Parwati sebagai putrinya.
            Swadha, salah-satu dari putra Daksha, menikah dengan Pitara. Mereka memiliki tiga putri, Menaka, Dhanya dan Kalavati. Ketiganya diselamatkan dari kutukan Sanata Kumara – Menaka terlahir dari istri Himavan dan akan menjadikan Shakti sebagai putrinya dan Siwa sebagai menantunya. Kalavati lahir kemudian sebagai Radha dari Goloka da Dhanya sebagai istri Rsi Janaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar