SIWA PURANA III
Dewa Siwa menjadi Krishna Darshana
Nabhagha
adalah putra kesembilan Shradha Dewa. Dalam hal pembagian tanah ia
telah ditipu. Ia menemui ayahnya yang menyarankannya untuk pergi dimana
Angirasa melakukan sebuah yajna dan menceritakan tentang Vishwadewa
sukta. Nabhagha melakukan yang disarankan dan kemudian Angirasa membagi
ritual itu bersamanya. Ketika ia mengambilnya, Dewa Siwa muncul sebagai
Yajnadarshana dan mengatakan bahwa bagian itu harus menjadi miliknya.
Nabhaga bertanya bertanya mengapa ia melakukan itu. Kemudian
Krishnadarshana bertanya pada Nabhaga untuk menemui ayahnya untuk
memecahkan permasalahan ini. Sharadha Dewa memberitahu putranya bahwa
yang ia temui itu adalah Dewa Siwa sendiri. Dan mengatakan bahwa
segalanya adalah miliknya. Kemudian pemuda itupun meminta ampun pada
Dewa Siwa. Dewa Siwa yang pengampun mengampuninya. Awatara yang
berikutnya adalah Avadhuteshwara inkarnasi dimana dari api mata ketiga
Dewa Siwa muncullah Jalandhara. Ceritanya telah diceritakan sebelumnya.
Awatara berikutnya adalah Varyaavatara
Bhiksu Varyavatara
Radha,
raja Vidarbha, dibunuh oleh musuh. Istriya pergi beserta putranya yang
masih dalam kandungan ke hutan agar selamat. Di tepi kolam, ia
melahirkan bayi laki-laki. Ketika ia ingin meminum air dari kolam itu ia
dimangsa buaya. Kshatriya kecil itu menangis sendiri.
Dewa
Siwa melihat hal ini, ia mengutus seorang brahmana wanita kesana. Ia
menyusuinya bagaikan anaknya sendiri. Walaupun ia sangat penyayang,
tetapi ia tidak berani mengangkat anak itu menjadi anaknya karena
asalnya yang tidak jelas. Tetapi Dewa Siwa datang ketempat itu dan
menyuruh wanita itu untuk memelihara bayi itu agar selamat. Ia
menjelaskan bahwa ayah bayi itu tidak melakukan pemujaan karena ia takut
dengan musuhnya. Sebagai akibatnya kemudian pada kehidupan berikutnya
ia dibunuh oleh musuhnya. Ibu bayi itu dimangsa oleh buaya karena
dosanya telah membunuh istri suaminya yang lain. Dewa Siwa
memperlihatkan ‘rupa’ nya yang sebenarnya. Brahmana wanita itu mengambil
bayi itu dan merawatnya serta memberinya nama Dharmagupta. Ia kemudian
menikah dengan seorang gandharwa yang amat cantik dan atas bantuan
temannya mendapatkan kembali kerajaannya, dimana ia hidup bahagia.
Kemudian
Dewa Siwa muncul sebagai Sureshwara untuk menyelamatkan Upamanyu. Ia
juga mengubah diri menjadi Vaishnawa untuk mempengaruhi Menaka dan
Himavant. Selain inkarnasi ini, Ashwathhama juga dianggap sebagai
inkarnasi Dewa Siwa.
Inkarnasi sebagai Ashwatthama
Cerita
tentang Dewa Siwa yang berinkarnasi sebagai Ashwatthama adalah
inkarnasi yang penting. Dronacharya berpihak pada Kaurawa. Sebagai
janjinya untuk melindungi dan melayani mereka, ia melakukan tapasya
memuja Dewa Siwa. Ketika Dewa Siwa bermanifestasi dan meminta anugerah,
Drona meminta seorang putra, pemberani, kuat, ‘atiradha’ yang terlahir
sebagai amshanya. Kemudian Dewa Siwa memberkahinya dengan seorang putra
yang Drona berinama sebagai Ashwatthama. Perannya dalam Mahabharata
sangatlah dikenal. Ia abadi.
Kritaarjuneyam
Awatara yang membuat Arjuna (Partha) menjadi manusia yang sangat penting adalah Kiratavatara.
Rsi
Wedavyasa meminta Arjuna untuk melakukan tapasya untuk memperoleh
senjata yang suci (astra) yang penting untuk perang Mahabharata.
Dalam
waktu yang singkat, tapasya kekasih Uluchi membuat terkesan Dewa Siwa
yang bermata tiga. Tetapi, ia ingin mengujinya. Ia memanggil Mukasura
dan memerintahkannya untuk mengganggu tapasya Arjuna. Muka dalam wujud
seekor babi mengamuk dimana Arjuna melakukan tapa. Karena Arjuna sangat
kesal iapun bangun dan mengambil busur dan panahnya dan iapun mengejar
babi itu.
Dewa
Siwa menyamar menjadi seorang kirata (seorang pemburu dengan kasta
rendah) dengan pramadagana (pengikutnya) yang mengikuti serta Dewi
Parwati yang juga menemaninya sebagai Chenchita (bidadari hutan).
Menyembunyikan mata ketiganya, ia memakai Sindhur, Dewa Siwa memasuki
area itu.
Baik
Arjuna dan Kirata memburu babi itu. Kedua panah mereka mengenai babi
yang kuat dan besar itu. Panah yang ditembakkan Arjuna mengenai kepala
babi itu dan babi itupun mengeluarkan suara yang menyakitkan. Panah Dewa
Siwa mengenai gigi babi itu dan tembus hingga kepala babi itu. Babi itu
terbunuh.
Kedua
pahlawan ini mendekati babi itu untuk menarik panah mereka. Mereka
saling bertengkar dengan sengit. Arjuna sangat terkejut melihat
keberanian pria hutan ini.
Arjuna
menarik panahnya dari tempatnya. Ia mengangkat Gandhivanya untuk
mengalahkan Dewa Siwa. Dengan mantra yang diucapkan oleh Dewa Siwa,
busur ini menghilang. Mereka saling bertarung tangan kosong. Putra Kunti
walaupun sedang bertempur tetap memuja Dewa Siwa. Dewa Siwa sangat
berkenan dan segera ia memanifestasikan dirinya dan memberi Arjuta
senjata yang sangat sakti, Pasupata.
Dua belas Lingga jyotir
Selain
inkarnasi yang ada, Dewa Siwa memanifestasikan dirinya menjadi dua
belas lingga sebagai cahaya lampu (jyoti). Yang pertama adalah Somanath
jyotirlingga di Somanath di Saurashtra; 2. Mallikharjuna jyotirlinga di
Shrisailam; 3. Mahakaleshwara lingga di Ujjain; 4. Omkareshwara lingga
di Mandhatopura; 5. Kedareshwara lingga di Kedarnath; 6. Namarupeshwara
lingga di dekat Pune; 7. Vishweshwara lingga di Kashi; 8.
Trayambakeshwara lingga di Trayambakeshwara; 9. Vaidyanatha lingga di
Purli; 10. nageshwara lingga di Dwaraka; 11. Rameshwara lingga di
Rameshwaram; dan 12. Gushmeshwara lingga di Gushmeshwara.
Sangatlah
beruntung mereka yang mengetahui tentang cerita dua belas lingga. Orang
yang mengingat ini setiap hari adalah orang yang beruntung.
Dengan dua belas yang telah ditambahkan, seratus inkarnasi Dewa Siwa telah selesai dalam Samhita yang bernama Satarudra Samhita.
Akhir bagian ketiga Shata Rudra Samhita dalam Shiva Purana
yang terdiri dari tujuh Samhita
Kotirudra Samhita
Samhita keempat
Kata Suta Muni:
Dimana
ada pemuja yang melakukan pemujaan, Janganmayya (Parameswara) muncul
sebagai sebuah lingga. Dua belas jyotirlingga perlu dipuja. Mereka yang
menerima sloka menggambarkan tentang dua belas lingga dan mengulanginya
berkali-kali akan bebas dari dosa. Mereka yang melakukannya dengan
pengabdian dan tanpa keinginan, akan mendapatkan kebebasan dan tidak
mengalami kelahiran kembali.
Selain
mengingat, mereka yang mengunjungi tempat-tempat lingga dengan penuh
pengabdian untuk sebuah darshan dari lingga akan diberkahi dengan
kedamaian dan mendapat tempat di Siwaloka.
Terdapat
dua belas upalingga (lingga yang lebih kecil). Di Somanatha, pada
pertemuan sungai Mahi dan lautan, terdapat upalingga di Antahkesha. Di
Sri Shaila Mallikarjuna terdapat Rudreshwara lingga di Bhrugukaksha.
Sedangkan di Mahakaleshwara terdapat Dughdeshwara lingga sebagai
upalingga pada tepi sungai Narmada. Untuk Omkara lingga terdapat
Bhuteshwara lingga di tepi sungai Yamuna. Untuk Bhimeshwara lingga
terdapat Bhumeswarlinggam di Gunung Sahya. Untuk Nageshwaralingga
terdapat Bhuteshwaralingga di pertemuan sungai Mallika dan Saraswati.
Bagi Rameshwara, upalingganya adalah Gupteshwara. Bagi mereka yang
mengunjungi upalingga ini akan dibebaskan dari semua upakarma.
Lingga yang terdapat di Utara dan Barat – praka dan udichi lingga.
Kasi
adalah sebuah kshetra yang disebut dengan Mahalingga. Kemudian, di
Varanasi terdapat banyak lingga seperti Avimukta, Krittivasa,
Vruddhabala, Tila Bhanda, Dasahwamedha siwa lingga. Di tepi sungai
Kaushiki dan Gandaki terdapat Ardhanariswara dan Vatukeshwara lingga. Di
tepi sungai Phalguna, lingga yang terkenal adalah Purneshwara dan
Siddhinatheswara. Di Uttaranagara (Kota Utara) yang lebih terkenal
adalah Dureshwara, Sringeshwara dan Vidyanatha.
Di
sebuah daerah yang kemungkinan disebut sebagai Dadhici terdapat lingga
yang dipuja. Lingga itu adalah Japeshwara, Gopeshwara, Rankeshwara,
Vameshwara, Shukeshwara, Bhandeshwara, Hunkareshwara, Sulochaneshwara,
Bhukteshwara dan Sangameshwara. Kemudian di tepi sungai Taptaka terdapat
Shiddeshwara, Sneshwara, Kumbesha, Nandisha, Punjesha lingga.
Purkeshwara lingga di dekat sungai Purna dan di Prayaga lingga yang
ditanam oleh Brahma di Kashi Dasashwa medh ghat adalah Brahmeshwara,
Bharadevajeshwara, Shaneshwara, Shulatankeshwara, Madhavesha lingga
adalah lingga yang penting dan amat berharga. Di Saketnagara, Nagesh, di
Purushotama Nagara, Bhuvanesha, Lokesha, Kamesha, Ganggesha, Sukresha,
Sukra Siddhesa, Vakeswara linggalah yang terkenal. Inilah beberapa
lingga yang terdapat pada tepi sungai Sindhu. Linga-lingga itu adalah
Kapalesha, Vaktresha, Dhartapateshwara, Parmeshwara, Bilneshwara,
Suryeshwara, Kautakeshwara lingga. Pada pertemuan sungai Purna dan laut
terdapat lingga Dhautukeshwara, Chandreshwara, Bilweshwara,
Andhakeshwara, Saraneshwara, Kardhamesha. Terdapat Kotesha di dekat
Arbudachalam. Terdapat Nagesha di Kaushika kshetram dan Yogeshwara,
Vidyanadheswara, Koteshwara, Sapteshwara, Bhadreshwara, Chandreshwara,
Sangameshwara lingga yang bisa memberkahi pemuja dengan kesejahteraan
dan juga pembebasan. Terdapat lingga di daerah Utara dan Timur.
Lingga di Selatan
Brahma
menanam Brahmapuri lingga di dekat Gunung Chitrakuta., Matta
Gajendreshwara lingga. Di sebelah timur terdapat Koteshalingga. Di
sebelah barat terdapat Govadari, dimana terdapat lingga Pashupati
Nayaka. Di selatan juga terdapat sebuah lingga yang membuat Sadhwi
Anasuya sangat berkenan.
Cerita tentang Atri – Anasuya
Atri
adalah seorang manasaputra (anak yang spiritual) Brahma. Dewi Anasuya
adalah istrinya. Pada saat pasangan ini melakukan tapasya (perenungan
spiritual) terjadilah bahaya kelaparan. Semuanya sangat kering. Bahkan,
jika seseorang menangis tetesan air mata tidak mampu keluar hanya rasa
panas pada mata. Walaupun demikian pasangan ini tetap melakukan tapasya.
Semua murid meninggalkan pertapaan. Tetapi Anasuya tidak bergeming sama
sekali. Ia terus menghaturkan pemujaan pada Parthivalingga secara
mental. Api dari tapasyanya membumbung dan menyebar keseluruh tempat.
Gangga,
yang juga dikenal sebagai Maharasana sangat berkenan dengan tapasya
Anasuya. Jadi iapun ingin menolong Anasuya. Suami Gangga, Dewa Siwa
masuk ke dalam parthivalingga yang dibuat Anasuya dan ia tetap disana.
Pada saat itu terjadi kemarau yang amat panjang selama lima puluh empat
tahun. Tiba-tiba Atri bangun dari tapanya dan meminta air. Istrinya yang
sangat berbakti dan setia mengambil air dengan kamandalu dan pergi ke
suatu tempat. Kemudian ia bertemu dengan Dewi Gangga. Ia memberikan
hormat dan mengambil air. Gangga menyuruhnya untuk menggali sebuah
lubang ditanah dan mengisinya dengan air. Ia berdoa agar air itu tetap
ada disana hingga ia kembali, mengisinya dengan air dan membawanya pada
suaminya. Keduanya kembali dan mandi bersama di kubangan air itu.
Kemudian
Dewa Siwa bermanifestasi disana dengan lima wajah dan sepuluh tangan.
Pasangan ini memuja-Nya dan memohon agar Dewa Siwa tetap disana. Pada
saat itu Gangga berkata bahwa ialah yang akan tinggal disana seperti
permintaan Anasuya jika ia merelakan satu tahun hasil tapa dengan
melayani suaminya dan juga setahun hasil tapa memuja Dewa Siwa. Anasuya
setuju dan Gangga tinggal disana. Dewa Siwa memanifestasikan dirinya
atas nama Muni Atri sebagai Atrishwara.
Nandishwara dan lingga lainnya
Lingga
yang paling penting adalah Nandishwara. Di bukit yang bernama Kalanjar.
Nilakantha sendiri adalah sebuah lingga Siwa dan tempat itu diberi nama
sesuai dengan lingga itu. Banyak sekali lingga yang terdapat di sekitar
sungai Narmada. Di tepi sungai itu terdapat sebuah lingga yang ditanam
oleh Anjaneya sebagai Maha Kapileshwara lingga. Selain itu terdapat juga
Artheswara, Parameshwara, Simheswara, Sharmeshwara, Kumareshwara,
Pundarikeshwara, Mandapeshwara, Tikshaneshwara, Manggaleshwara lingga.
Suatu
kali terdapat seorang brahmana yang bernama Suwada yang berangkat dari
desanya untuk membawa abu ibunya ke sungai Gangga dan ia bermalam di
Desa Vimshati. Pada saat malam tiba, terjadilah sebuah keajaiban.
Pada
saat itu, di rumah itu, sapi belum sempat diperah. Ternak yang laparpun
mencoba membangunkan pemilik rumah. Brahmana yang marah ini memukuli
ternak dengan tongkat dan menjauhkan ternak dari sapi. Setelah semua
tertidur lelap, ternak itupun merasa sedih. Sapi menghibur ternak itu.
Ia mengatakan ia akan melihat penderitaan yang ia alami juga akan
terjadi pada brahmana itu. Ia juga mengatakan bahwa dosa membunuh
brahmana yang ditujukan padanya akan hilang begitu saja.
Suwada yang mendengar hal ini tinggal disana untuk melihat apa yang akan terjadi.
Pada
pagi harinya brahmana menyuruh agar anak laki-lakinya yang memerah
sapi. Ketika Brahmana itu mendekatinya, sapi itu menendangnya dengan
keras. Anak itupun tewas. Semua orang yang ada disana sangat panik.
Tubuh sapi itu menjadi hitam- karena dosa membunuh brahmana atau karena
hal lain. Sapi ini dibebaskan dan dibawa keluar. Suwada mengikuti sapi
itu. Ia sampai di tepi sungai Narmada. Ia mengitari Nandishwara lingga
sebanyak tiga kali. Hitam pada tubuhnya menghilang. Ia kemudian menjadi
seperti biasa.
Karena
terkejut, Suwada memuja Narmada dan pergi ke Kashi. Di sungai Gangga,
seorang dewi muncul dan meminta pemuda itu untuk menenggelamkan abu
ibunya di tempat itu. Jika ia melakukannya, ibunya akan menjadi dewi dan
pergi ke Kailasha. Pada hari itu, pada hari ketujuh bulan Vaisakha,
Gangga akan tinggal di Narmada.
Ketika
abu itu ditenggelamkan oleh putranya, ibunya muncul sebagai orang suci
dan memberkahinya bahwa ia akan hidup damai dan sejahtera untuk
selamanya karena telah membebaskannya dari ikatan.
Dewa Siwa memperlihatkan berkahnya di Rushika
Para rsi dan orang suci bertanya pada Suta Muni kenapa Dewi Gangga pergi ke Narmada pada hari itu.
Suta menjawab pertanyaan mereka
Rushika
adalah seorang brahmana wanita. Ia menjadi janda pada umurnya yang
sangat muda. Karena kebingungannya, ia memuja Ishwara, ia memuja
Parthivalingga untuk waktu yang lama di tepi sungai Narmada. Seorang
raksasa yang bernama Mudha memintanya untuk bersamanya. Ia tidak mau
mendengarkan. Ia mulai menggangunya. Rishika meminta perlindungan Dewa
Siwa. Dewa Siwa bermanifestasi dengan cepat dan memenggal kepala raksasa
itu. Rushika berdoa pada Dewa Siwa agar ia tinggal di Narmada
selamanya. Sebagai gantinya, Ganggalah yang tinggal disana. Ia berjanji
bahwa ia akan ada disana pada hari suaminya datang kesana. Dewa Siwa
memasuki Parthivalingga yang dibuat oleh Rushika. Dewa Brahma dan yang
lainnya juga datang kesana dan menyebut lingga itu sebagai Nandishwara
lingga.
Sejak saat itu, Gangga ada di Narmada, terutama pada hari ketujuh pada bulan Vaishaka.
Shivalingga di Barat
Kaleshwara
dan Rameshwara lingga di daerah Barat adalah lingga yang paling suci
dan dihormati. Di tepi pantai Barat Mahasidheswaralingga akan
menganugerahkan pemujanya keempat tujuan hidup manusia; Dharma, Artha,
Kama dan Moksha. Juga terdapat Gokarna Kshetra yang akan menghancurkan
dosa besar seperti brahmahatya dosha – dosa karena membunuh brahmana.
Lingga utama adalah Mahabaleshwara. Di jaman Krita lingga ini berwarna
hitam, pada jaman Treta yuga akan berwarna merah, dan pada jaman Dwapara
yuga akan berwarna kuning. Dan pada jaman Kaliyuga akan berwarna hitam
lagi. Lingga akan dipuja dan akan menghancurkan semua dosa dan akan
mengarahkan pemuja pada pembebasan dan juga akan mengalami Siwa Sayujya,
yaitu hadirnya diri kita di Siwaloka bersama-Nya.
Munculnya Mahabaleshwara lingga
Pada
jaman dahulu, suatu ketika ketika Dewa Siwa memberikan Rawanasura
sebuah lingga dan memintanya untuk tidak menanamnya hingga ia sampai di
Lanka. Dengan membawa lingga ini pada tangannya, Rawana mengelilingi
Lanka.
Para
dewa mulai khawatir kejadian buruk apa yang akan terjadi jika seorang
raja raksasa menanam sebuah lingga di istananya. Mereka meminta Vinayaka
untuk melindungi mereka.
Ganapati
mengambil wujud seorang penggembala laki-laki menghadang langkah
Rawana. Rawana pada saat itu ingin membuang air kecil dan menyerahkan
lingga ini pada penggembala. Gembala ini menaruh lingga itu ke dalam
telinga sapi dan pergi begitu saja.
Rawana
kembali dan ia sangat marah namun tidak bisa berbuat apa-apa. Kemudian
raksasa dengan sepuluh kepala ini mencoba untuk menarik lingga dari
telinga sapi tetapi ia tidak bisa. Dewa Siwa sendiri adalah
Mahabaleshwara dan sebagai sebuah lingga ia berdiri di tanah dan tinggal
disana. Untuk membuat Dewa Siwa berkenan, para aditya, para rsi dan
orang suci bersama dengan Dewa Brahma dan dewa yang lainnya bersama
dengan amsha (aspek) mereka tinggal disana di arah Timur. Di dekat
gerbang utara Yama, dewa kematian, para dewa dan dua belas rudra
tinggal. Di bagian barat tinggallah Varuna, Dewa hujan, Gangga dan yang
lainnya. Di sebelah utara tinggalah Bayu, Dewa angin, Kubera, Bhadra
Kali dan yang lainnya memuja Dewa Siwa.
Bahkan
pendosa besar sekalipun akan hilang dosanya apabila ia memuja Dewa Siwa
pada Mahasiwaratri, hari keempat belas pada bulan Magha. Bagi mereka
yang memuja Dewa Siwa pada hari itu akan berada di dekat Dewa Siwa.
Gokarna kshetra ini dikenal dengan nama Bhukailasha, Kailasha yang ada
di bumi.
Bhukailasha memberikan pembebasan
pada wanita yang tak tersentuh
Saudamini
adalah seorang wanita yang buta. Ia telah kehilangan kedua orang-tuanya
ketika ia masih kecil. Ketika ia dewasa ia menjadi pengemis. Tanpa
merasakan kebahagiaan ia telah menjadi tua. Suatu hari pada saat hari
Siwaratri ia pergi bersama beberapa pemuja ke Gokarna. Ia meminta-minta
disepanjang jalan. Seorang pemberi yang cerdik memberinya satu helai
daun bilwa. Saudamini mengira bahwa ini adalah sesuatu yang bisa
dimakan. Karena ternyata daun itu tidak bisa dimakan ia membuangnya yang
kebetulan jatuh diatas lingga Dewa Siwa. Karena lapar, Saudamini malam
itu tidak tidur. Pada saat menuju perjalanan kembali dari Gokarna ia
jatuh dan meninggal karena kelelahan dan kelaparan. Pengikut Dewa Siwa
membawanya ke Kailasha.
Cerita tentang Mitrasaha
Pada
jaman dahulu kala, ada seorang raja yang bernama Mitrasaha dari dinasti
matahari. Karena ia telah menjadi seorang raksasa karena kutukan,
ketika ia sangat lapar iapun membunuh dan memakan seorang brahmana.
Walaupun ia menjadi raja kembali dan dibebaskan dari kutukan, ia masih
membawa dosa karena membunuh brahmana. Ia meminta pertolongan pada Rsi
Gautama. Gautama berpikir sejenak dan mengatakan padanya tentang
Mahabaleshwara di Gokarna dan memintanya untuk memuja dan juga memuja
Dewa Siwa. Sang raja juga pergi kesana dan memuja Dewa Siwa. Dosanya
karena membunuh seorang Brahmana telah dihapuskan karena hal ini.
Di
hutan yang lebat disekitar Gokarna, Rawana menanam sebuah lingga yang
disebut sebagai Phaleshwaralinggam. Dadhici, rsi yang agung menanamkan
sebuah lingga yang bernama Dadhichiswara lingga. Pemuja memuja patung
Dadhichi di tempat ini juga. Terdapat sebuah lingga Raishwara yang
ditanam oleh para rsi di hutan Naimisha. Terdapat Laliteshwaralingga di
Deva Prayaga. Di Nayapala (Nepal) terdapat Pashupathiswara lingga.
Sangat dekat dengan tempat itu, terdapat Muktinatheshwaralingga juga.
Sangatlah tidak mungkin untuk menghitung semua lingga, kata Muni Suta.
Rsi
Saunaka meminta Suta Muni memberitahu mereka (para rsi dan para orang
suci yang berkumpul disana) dan memberikan mereka tentang wujud Pinda
dan Panapatta- komponen dari lingga Siwa.
Suta Muni menjelaskan:
Di
hutan Badari (daruvana), Dewa Siwa suatu kali menguji para rsi dengan
terlihat telanjang dengan abu yang membalur tubuhnya. Saat itu para rsi
sedang ke hutan mencari akar-akaran suci dan dedaunan. Semua wanita yang
melihat Dewa Siwa telanjang segera memeluk dan menciumnya. Mereka
berebut untuk memeluk dan menciumnya. Para rsi yang melihat hal ini
melihat lelaki ini sedang dinikmati oleh para istrinya dan iapun
mengutuk lelaki ini agar organ vitalnya jatuh. Lingga jatuh dan Dewa
Siwa menghilang. Bumi tidak bisa menahan berat lingga itu yang memenuhi
ketiga dunia. Panasnya mengganggu semua makhluk hidup.
Para
rsi dan orang suci putus asa. Mereka berdoa pada Dewa Brahma. Ia
menunjukkan welas asihnya. Ia meminta mereka untuk memuja Dewa Siwa
bersama dengan pasangannya Dewi Parwati. Dewi Parwati menjadi Panapattam
dan mengenakan lingga. Agnilingga, menjadi jyotilingga dan ditanam di
hutan Badari. Karena adalah kutukan para rsi dan orang suci disebut
sebagai Hatakeshwara lingga. Pinda dan Panapatta adalah Dewa Siwa dan
Shakti. Lingga ini adalah lingga yang paling terkenal.
Munculnya Vatuka
Dadhichi
memiliki seorang putra yang bernama Sudharshana. Istrinya Dukula
menginginkan kebersamaan dengannya. Suatu kali Dadhichi mempercayakan
pemujaan lingga pada putranya pada saat ia pergi ke desa lain. Siwaratri
tiba. Sudharshana melakukan puasa dan semua kewajibannya. Tetapi pada
malam hari mendapatkan keinginannya untuk bercinta dengannya. Sementara
itu adalah saat untuk memuja Dewa Siwa. Seperti itulah, tanpa mandi atau
mengganti pakaian ia memuja Dewa Siwa. Rudra marah dan mengutuknya agar
ia terlahir sebagai jada (seorang idiot).
Kembali
ke rumah, Dadhichi meminta putranya memuja Chandi. Chandi
bermanifestasi dan membawa Sudarshana ke Kailasha dan meyakinkan Dewa
Siwa. Dewi Parwati mengatakan bahwa Sudarshana sudah ia anggap sebagai
putranya, sehingga Sudharsana juga akan menjadi putranya juga.
Sudharshana
diberkahi oleh Dewa Siwa lagipula Chandi menaruhnya dipangkuannya. Dewa
Siwa meminta Sudarshana untuk mandi setiap hari dan memakai bubuk
kunyit pada dahinya, melakukan Siwa Sandhya dan Siwa Gayatri. Oleh
karena itu Dewa Siwa akan mendapatkan penghormatan darinya pada urutan
pertama. Ia menempatkan keempat putra Sudharshana dan menerima
berkahnya.
Mahima
(keagungan dan kesaktian) dari keempat Vatus tidak terbayangkan.
Terjadilah sebuah cerita yang akan menggambarkan kekuatan itu.
Ada
seorang raja yang bernama Bhadra. Dewa Siwa memberkahinya dan
memberinya sebuah bendera. Bendera ini akan berkibar pada siang hari dan
jatuh pada malam hari. Jika sang brahmana tidak makan maka bendera ini
akan berkibar siang dan malam. Tetapi suatu ketika ketika brahmana itu
tidak makan, maka bendera itu jatuh. Sang raja mengirimkan ahli
astrologinya dan meminta ia untuk mencari tahu apa yang sebenarnya
terjadi. Walaupun para brahmana tidak makan, para vatu, putra Chandi
telah memakan makanan itu. Karena itulah bendera itu jatuh. Mereka
meyakinkan sang raja bahwa Dewi Parwati dan Parameshwara sangat
berkenan. Makanan Vatu sangat kuat dan penting. Dalam pemujaan ini hanya
Brahmachari (yang tidak menikah dan pria yang suci) memiliki hak untuk
makan terlebih dahulu. Ini adalah perintah Dewa Siwa dan pemujaan
terhadap Dewa Siwa akan dekat dengan para Vatu yang menikmati makanan
mereka.
Suta Muni menceritakan tentang jyoti lingga di Somanatha
Cerita tentang Jyoti Lingga di Somanatha
Daksha
menikahkah dua puluh tujuh putrinya yang memiliki nama seperti
bintang-bintang pada Chandra (Dewa bulan). Namun Dewa bulan hanya
mencintai Rohini saja. Keduapuluh enam putri yang lain merasa terabaikan
dan mereka mengadu pada ayah mereka. Daksha mencoba memberitahu
Chandra, namun ia tetap saja tidak memperdulikan keduapuluh enam putri
yang lain. Daksha mengutuk Chandra agar chandra terserang penyakit
parah. Chandra sedikit demi sedikit kehilangan cahaya kilaunya. Ia
meminta bantuan pada Brahma. Brahma memintanya untuk memuja
Parthivalingga di Prabha Kshetra dan mengajarkan Mrutyunjaya mantra.
Membutuhkan
waktu enam bulan untuk mengucapkan mantra itu sebanyak seratus juta
kali. Dewa Siwa bermanifestasi dan menenangkannya bahwa kekuatannya akan
hanya meredup pada malam hari saja namun akan meningkat ketika pagi
tiba. Kemudian atas permintaan para dewa seperti Brahma, Dewa Siwa tetap
menjadi Somanatha Jyoti lingga. Bagi mereka yang mandi di Chandrakunda,
semua penyakit akan menghilang. Mengunjungi tempat ziarah ini akan
mendatangkan pahala. Bagi mereka yang memuja Somanatha akan dibebaskan
dari penyakit lepra.
Cerita Jyoti lingga Mahakaleshwara
Suatu
hari hiduplah di Avantinagara seorang brahmana yang bernama Vedavipra.
Dengan memuja Parthivalingga setiap hari ia mendapatkan berkah dewa
Siwa. Ia memiliki empat putra yang bernama Devapriya, Priya Medha,
Sukruta dan Dharmavahi. Seorang raksasa yang jahat telah datang ke kota
dan mengganggu keamanan. Orang-orang meminta perlindungan pada keempat
putra Vedavipra. Walaupun mereka sedang melakukan pemujaan, mereka bisa
mendengar keluhan orang-orang yang datang pada mereka. Mereka meminta
orang-orang untuk memuja Dewa Siwa bersama mereka karena Dewa Siwalah
yang bisa menjadi penyelamat mereka. Saat itu datanglah raksasa itu
untuk membunuh keempat putra Vedavipra. Tiba-tiba dari sebuah lubang
pada Parthiva lingga, Dewa Siwa memanifestasikan diri sebagai Mahakala.
Dengan api yang besar, ia membakar raksasa itu dan juga pengikutnya.
Orang-orang
yang ada disana meminta Dewa Siwa untuk tetap tinggal disana dan Dewa
Siwa sendiri mengabulkan permintaan mereka dengan tetap berada disana
sebagai Jyoti lingga yang akan disebut sebagai Mahakaleshwara.
Cerita tentang munculnya Shri Kedareshwara
Seperti
ditakdirkan, Dewa Wisnu harus terlahir kedunia sebagai Nara dan
Narayana pada Dharma. Keduanya melakukan tapasya di Badarikavan. Setiap
hari mereka biasa memuja Parthivalingga. Karena mereka terlahir dengan
amsha Dewa Wisnu, Dewa Siwa biasa memperlihatkan diri pada mereka setiap
hari. Suatu hari Ia meminta mereka meminta sebuah anugerah. Mereka
berdoa padanya agar Ia berada disana selamanya. Jadi Dewa Siwa berada di
Kedar sebagai Kedareshwar.
Ketika
Pandawa sedang melakukan perjalanan, Dewa Siwa ingin menguji mereka dan
memperlihatkan diri sebagai seekor kerbau. Pandawa menyadari bahwa
kerbau ini adalah jelmaan Dewa Siwa sehingga merekapun mencoba menghalau
kerbau itu. Kerbau itu kemudian ditarik. Dan kerbau itu meminta agar ia
dibagi tiga saja. Bagian kepala jatuh di Nepa dan mengambil wujud
sebuah lingga. Bagian kaki jatuh dan menjadi Tunganadheshwara lingga.
Bagian punggung menjadi Kedareshwara jyoti lingga.
Mereka
yang memuja Kedareshwara harus meninggalkan gelang disana. Sebelum itu,
dari pintu dalam seseorang harus melihat Dewa Siwa sendiri secara
langsung. Kedareshwara lingga dipercaya memenuhi semua keinginan
pemujanya.
Masa lalu Bhimasura
Kartaki
adalah istri Viradha. Karena suaminya dibunuh oleh Shri Rama, Kartaki
dilihat oleh Kumbhakarna yang kemudian memperkosanya. Ia menjadi hamil
dan melahirkan putra yang ia berinama Bhimasura. Mengetahui kepedihan
yang telah ibunya lalui, Bhimasura melakukan tapasya pada Brahma dan
dengan berkahnya ia menjadi sangat kuat. Setelah itu ia melakukan banyak
sekali kekacauan di bumi. Ia pergi ke Patala, alam bawah dan
mengalahkan Kamarupeshwara dan memenjarakan istrinya Sudhakshina.
Munculnya Bhimeshwara jyoti lingga
Sudhakshina
dan Kamarupeshwara adalah pemuja Dewa Siwa yang berbakti. Pada saat
mereka dipenjara mereka masih memuja Dewa Siwa. Suatu kali ada yang
melihat pada saat mereka sedang melakukan pemujaan. Orang itu kemudian
melaporkan bahwa pasangan ini sedang melakukan ilmu hitam. Ia kemudian
bertanya dan diberitahu bahwa mereka sedang memuja Dewa Siwa.
Bhimasura
menertawakan mereka telah memuja Dewa yang menjadi penjaga pintu
gerbangnya. Ia terus menerus menghina Dewa Siwa dan mengatakan bahwa ia
adalah pengemis dan yang lainnya. Dalam amarah yang amat besar ia
mencoba mengusik Parthiva lingga. Dari sana muncullah lingga yang
memanifestasikan Iswara dan membakar Bhimasura hingga mati menjadi abu.
Api menyebar membunuh para raksasa dan membuat binatang dan pegunungan
terbakar. Para pemuja berdoa padanya agar ia tetap berada disana dan
Dewa Siwa muncul sebagai Bhimeshwara jyoti lingga disana.
Shri Vishesveshwara lingga – sebuah sejarah
Luas
Brahmanda menurut para rsi adalah 500 juta yogana. Kashi adalah tempat
dimana ia menciptakan Paramashiwa yang melindungi jutaan jiwa yang telah
diciptakan oleh Brahma dalam Brahmandanya. Ketika Dewa Siwa
menganggukkan telinganya ia terkejut melihat tempat itu, anting-anting
permatanya jatuh. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Mani Karnika
Ghatta. Dewa Siwa meletakkan lingga lain yang akan tetap ada disana.
Itulah mengapa tempat itu disebut dengan nama Mukteshwara dan Kashi
menjadi Avimukta. Prakruti dan Purasha tidak menemukan orang-tuanya Maya
dan Maheshwara untuk waktu yang lama. Kemudian Siwani meminta mereka
untuk melakukan tapasya pada dewa Siwa. Ketika mereka mencari tempat
untuk melakukan pemujaan sebuah kota yang indah dengan lebar lima kosa
dan juga luas lima kosa dibangun. Srihari, Purusha juga melakukan
tapasya disana. Lingga itu menghiasi Kashi. Karena akan menghancurkan
dosa semua orang, maka tempat ini disebut dengan Kashi.
Tapasya Gautama – membantu yang lain
Ketika
Gautama dan istrinya Ahalnya melakukan tapasya di Brahmagiri bagian
selatan, terjadilah bahaya kelaparan selama ratusan tahun. Orang-orang
kelaparan dan kekurangan makanan. Gautama sangat tersentuh. Ia melakukan
tapasya untuk memuja Varuna, dewa hujan. Varuna meminta agar ia meminta
yang lain, bukan hujan, karena kemarau ini adalah kehendak Dewa Siwa.
Tetapi kemudian Varuna hanya memohon setitik air saja. Ia diminta untuk
menggali sebuah lubang dan mengisinya dengan air suci. Ia memberitahu
Gautama bahwa tempat ini akan menjadi terkenal dengan nama Akshaya
Tirtha. Pemberian sumbangan dilakukan dan meminum air di tempat ini akan
memberikan manfaat yang baik.
Terimakasih pada Gautama
Sejak
saat itu orang-orang mengambil air dari tempat ini yang bernama Akshaya
Tirtha (air yang tak pernah habis). Suatu hari ketika murid Gautama
sedang mengambil air, istri para rsi mengatakan bahwa merekalah yang
berhak terlebih dahulu mengambil air dari tempat ini. Murid Gautama ini
menemui Ahalya yang datang kesana, ia menenangkan para istri rsi itu dan
mengambil air di tempat ini.
Para
istri rsi tidak suka dengan Ahalnya. Mereka membuat cerita yang buruk
tentang Ahalya dan Gautama dan mereka menyuruh para suaminya untuk
menerapkan aturan “Naticharami” (Aku tidak akan melewati batas). Para
rsi memuja Ganapati dan mereka memintanya untuk mengusir Gautama dari
pertapaan ini. Jadi Vinayaka muncul dihadapan Rsi Gautama dengan
menjelma menjadi seekor sapi tua.
Sawah
Gautama menguning dengan padi yang siap dipanen. Vinayaka, dengan
menyamar menjadi sapi tua merusak tanaman itu. Gautama mencoba
menyelamatkan tanamannya, ia melemparkan ilalang pada sapi itu. Sapi ini
mati terkena ilalang itu. Para muni (orang suci) mengatakan bahwa
Gautama telah membunuh sapi. Setelah pergi, Gautama ingin meminta maaf
pada para rsi atas perbuatannya. Namun rupanya para rsi itu ingin
membuat Gautama lebih terhina, mereka menyuruhnya untuk mengelilingi
Brahmagiri sebanyak sebelas kali. Kemudian ia harus membawa Gangga
kesana. Setelah mandi, ia harus memuja ribuan Parthiva lingga. Kemudian
ia harus mandi di sungai Gangga dengan ratusan pot air melakukan
Rudrabhisheka untuk membersihkan dosanya.
Kelahiran Govadari dan lingga Triumbhakeshwara
Gautama
seperti yang disarankan oleh para rsi, mengelilingi Brahmagiri sebelas
kali. Ia mandi disebuah kubangan kecil yang diberikan oleh Dewa Varuna,
iapun memuja parthiva lingga ribuan kali. Kemudian muncullah Dewa Siwa.
Ahalya dan Gautama berdoa pada keduanya dan memohon agar mereka
diberkahi dengan air Gangga.
Dewa
Siwa mengabulkan doanya. Air sungai Gangga yang tidak pernah berhenti
mengalir muncul sebagai seorang bidadari dan disebut dengan nama
Gautami. Dewa Siwa memerintahkannya untuk tetap tinggal di bumi hingga
Kaliyuga yang kedua puluh delapan pada Vywaswat manwatar yang akan
datang. Kemudian Gautami meminta Dewa Siwa untuk tinggal ditepiannya
memberikan mereka semangat dalam wujud beliau yang sangat indah. Dewi
Gangga meminta para dewa untuk memberikan mereka sesuatu yang sangat
indah. Mereka memberitahunya bahwa pada setiap dua belas tahun akan ada
sebuah perayaan, Pushkara, ketika semua planet Guru berada dalam posisi
Simha Raasih (konstelasi bintang). Kemudian darisana Gangga akan
mengalir dari cabang sebuah medi (pohon beringin) pohon yang mengucikan
Gautama.
Kemudian
tempat itu dikenal sebagai pintu menuju Gangga. Para rsi yang
mencelakai Gautama diberikan pelajaran. Ketika mereka ingin mendekati
sungai itu, maka Ganggapun menghilang. Gangga memberitahu mereka
bahwa Gautama akan memaafkan mereka jika mereka mengelilingi Brahmagiri
sekitar seratus satu kali dan memberikan penghormatan pada mereka.
Kemudian pada kaki bukit ketika Gautama membalikkan batang pohon maka
air mengalir. Gautama dan Ahalya mandi disana terlebih dahulu dan kolam
(gunda) itu disebut dengan nama Kushawant. Sehingga Dewa Siwa tinggal
disana sebagai Trayambhakeshwara lingga. Govadari telah diberinama
sebagai ibu yang sangat pemurah dan welas asih.
Setelah
munculnya Govadari dan Trayambakeshwara lingga, Gautama mengutuk semua
orang yang telah membuatnya menderita agar mereka semua jauh dari Shiva
jnana dan mereka akan memiliki tanda hitam pada dahi mereka. Dan kutukan
itu juga mengatakan bahwa siapapun yang mencapai Kanchi dan bahkan
keturunan merekapun agar menjauh dari pemujaan dan juga komitmen pada
Dewa Siwa.
Mengetahui
tentang cerita munculnya Govadari dan Trayambakeshwara lingga dan
membaca ini semua akan memberikan pahala yang baik dan keberhasilan
dalam segala usaha yang dilakukan pemuja.
Munculnya Vidyanadeshwara lingga
Pemuja
Dewa Siwa yang peling terkemuka adalah Rawanasura. Suatu hari ia pergi
ke gunung Kailasha, ia memilih satu tempat suci dan tempat ini berada di
bawah sebuah pohon yang berada didekat api suci. Didekatnya, ia
mendirikan sebuah lingga. Ia mulai sebuah ‘havana’ (pemujaan dengan
persembahan pada api suci) untuk memuja Dewa Siwa dengan Siwa
Panchakshari. Raja raksasa begitu yakin bahwa Dewa Siwa tidak akan
memberkahinya. Ia mulai menghaturkan genitri yang terbuat dari kepalanya
sendiri dan membuangnya ke dalam api suci satu persatu. Ketika ia akan
memenggal kepalanya yang kesepuluh, Dewa Siwa bermanifestasi. Ia
memberkahi raja raksasa dan kesembilan kepalanya lagi. Ia memberkahinya
dengan kekuatan yang tak terkalahkan. Masih tidak puas, raja raksasa
meminta Lanka dimana ia akan menghaturkan pemujaan setiap hari.
Rawana
sangatlah senang. Tetapi di tengah jalan, ia ingin sekali buang air
kecil. Ia menemukan penggembala sapi dan memberikan anak kecil itu
lingga yang ia bawa. Ternyata Rawana tak kunjung kembali. Penggembala
kecil itu karena tidak mampu membawa lingga itu untuk wantu yang lama,
menaruhnya di bawah. Lingga itu tertanam, tidak bergerak. Rawana, ketika
kembali tidak bisa menggeser lingga itu bahkan dengan kedua puluh
tangannya. Lingga Siwa yang agung yang ditanam oleh penggembala itu
tetap berada disana sebagai Vidyanadhishwara.
Munculnya Lingga Sri Nageshwara jyoti
Pada
jaman dahulu kala, hiduplah sepasang suami istri yang bernama Daruka
dan Daruk. Sang istri Daruka adalah pemuja yang sangat berbakti dan
rajin melakukan tapasya. Ibu Mulia memberinya sebuah hutan dengan luas
enam belas yogana di tepi Pantai Barat dengan kekuatan yang sangat
besar. Sejak saat itu pasangan raksasa ini tidak terkendali. Mereka
biasa mencabuti pohon hutan yang besar-besar dan membuangnya begitu saja
di desa. Orang-orang yang tinggal disana biasanya tergencet oleh
pepohonan itu.
Tidak
bisa menahan hal ini lagi, orang-orang desa menemui Aurva-bumi. Muni
itu mengutuk agar semua raksasa yang mengganggu bumi agar mati. Ini
menyebabkan banyaknya raksasa yang tewas. Kedua raksasa inipun menjadi
lemah. Pada akhirnya, para dewa turun ke bumi untuk melawan para raksasa
itu. Kemudian Daruka dengan kekuatannya dengan seluruh kekuatannya
membawa seluruh hutan ke dalam lautan. Tempat ini menjadi tempat
berlindung bagi mereka.
Tak
mampu kembali ke darat, para raksasa mulai mengganggu penghuni laut.
Biasanya mereka membunuh atau memenjarakan manusia yang pergi ke laut.
Diantara yang terpenjara itu terdapatlah Supriya, pemuja Dewa Siwa. Ia
sangat berbakti. Bahkan walau di penjarapun ia tetap melakukan pemujaan.
Ia juga menyarankan agar orang-orang memuja Dewa Siwa. Berkenan, Dewa
Siwa mulai menerima pemujaan yang dilakukan oleh Supriya. Tetapi Supriya
tidak tahu akan hal ini.
Para
raksasa tidak suka pemujaan ini. Mereka mulai mengganggu orang-orang
yang dipenjara. Para pemuja Dewa Siwa memohon pertolongan Dewa Siwa.
Kemudian sebuah lingga jyoti muncul disana dan membebaskan semua pemuja.
Ia kemudian memberikan anugerah bahwa Daruka vana akan menjadi tempat
untuk Varna ashram dharma – tatanan dharma.
Mengetahui
hal ini, Daruka memuja Dewi Parwati, karena ia berjanji akan melindungi
para raksasa. Ini membuat sedikit pertengkaran antara Ibu Dewi dengan
Dewa Siwa. Mereka kemudian akhirnya sepakat. Seperti perintah Dewi,
selama satu yuga, Daruka vana akan dikuasai oleh raksasa dan akan
mengganggu manusia. Bagi mereka yang datang ke tempat itu akan selamat
karena dilindungi oleh sebuah lingga yang disebut dengan nama Nageshwara
lingga. Pada akhir sebuah yiga seorang raja yang bernama Virasena akan
datang kesana dan memuja Nageshwara Lingga. Ia mempelajari cara
menggunakan Pashupata dan menghancurkan keturunan Daruka. Putra Virasena
adalah Maharaja Nala.
Cerita tentang Lingga jyoti Sri Rameshwara
Rama
datang sebagai inkarnasi untuk membunuh raksasa Rawana. Ia menikah
dengan Dewi Sita dan ketika menjalani masa pembuangan, Rawana
menculiknya. Rama harus menyeberangi lautan hingga mencapai Lanka dan
memuja Dewa Siwa. Dewa Siwa dipuja sebagai parthivalingga. Setelah
dipuja, Dewa Siwa diminta untuk bersemayam disana. Dewa Siwa bersemayam
disana sebagai Lingga jyoti Rameshwara.
Mereka
yang membawa air dari Prayaga dan melakukan Abhisheka ke Lingga jyoti
Rameshwara mendapatkan berkah dan juga pahala. Mereka akan diselamatkan
dari siklus kelahiran dan kematian. Sedangkan bagi pemuja, kebahagiaan
dan kenyamanan hidup yang tidak bisa didapatkan oleh para bidadari
sekalipun bisa didapatkan dengan berkah Dewa Siwa.
Munculnya Lingga Ghusmeshwara
Devagiri
adalah sebuah gunung di sebelah barat negeri Bharata. Di dekat gunung
itu ada sebuah desa yang kaya. Terdapatlah seorang brahmana yang bernama
Sudharma. Sudeha adalah istrinya. Karena ia tidak memiliki keturunan,
ia meminta suaminya menikah dengan adiknya, Ghushma. Gushma biasanya
memuja parthiva lingga sebanyak seratus satu kali. Ia kemudian
melahirkan seorang putra. Sudeha sangatlah bahagia. Tetapi sementara
semua orang memuji Gushma, mereka juga menghina Sudeha sebagai perempuan
yang mandul dan semua orang menjelek-jelekkannya. Hal ini menimbulkan
kecemburuan pada diri Sudeha.
Ketika
anak ini beranjak dewasa, pernikahannya diadakan. Besannya menghormati
Ghusma tetapi merendahkan Sudeha. Tetapi pengantin sangat menghormati
Sudeha. Tetapi Sudeha karena kecemburuan dan sakit hatinya membunuh
putra tirinya tanpa diketahui oleh suaminya. Ia memotong-motongnya dan
membuat kantung yang berisi mayat ini ke dalam sebuah saluran dimana
Gushma biasanya membuang sisa-sisa pemujaan.
Sang
fajar mulai bersinar. Sudharma dan Ghusma melakukan aktifitas mereka
sehari-hari. Ghusma terus memuja parthiva lingga. Pengantin peremouan
bangun dari tidurnya melihat tetesan darah dan potongan tubuh manusia.
Dalam ketakutan dan kebingungan ia menemui mertuanya. Ibu mertuanya
tidak mengacuhkannya karena ini akan mengganggu pemujaan yang ia
lakukan.
Pada
akhirnya setelah sore tiba pemujaan telah selesai, dan sisa pemujaan
itupun ia buang ke dalam sebuah saluran. Ketika selesai, iapun menuju ke
rumah untuk menemui putranya. Dewa Siwa muncul dan memintanya memohon
sebuah anugerah. Ia meminta Dewa Siwa tinggal disana atas namanya. Dewa
Siwapun bermanifestasi sebagai sebuah jyoti lingga yang bernama
Ghusmeshwara. Saluran yang berisikan sisa pemujaan dikenal dengan nama
Siwalaya.
Inilah cerita tentang sebelas lingga jyoti.
Shrihari mendapatkan Cakra Sudharsana dari Dewa Siwa
Para
rsi dan para orang suci menyarankan agar Suta Muni memberitahu mereka
bagaimana Srihari diberkahi oleh Dewa Siwa dengan memberikannya senjata
sakti yang bernama Sudharsana chakra, cakranya yang amat sakti.
Suta Muni memberitahu mereka:
Suatu
kali para raksasa menjadi sangat kuat dan mulai mengganggu penghuni
bumi. Para dewa semua menghadap Dewa Wisnu dan memintanya untuk
menghancurkan para raksasa. Dewa Wisnu merenung dan berkata ini semua
adalah kehendak dewata. Jadi yang harus dilakukan adalah memuja
Kanthikala dan menemukan cara untuk memecahkan masalah ini. Dewa Wisnu
kemudian membuat sebuah lubang di dekat Kailasha, membuat api dan
melanjutkan melakukan sebuah havana (upacara api). Setiap hari ia memuja
parthivalingga. Ia akan membawa bunga dari Manasa Sarovara dan memuja
parthivalingga dengan ratusan bunga. Suatu kali Dewa Wisnu pergi ke
Manasa Sarovara dan mempersiapkan bunga lotus. Ia terus menghaturkan
bunga setelah mengucapkan Shivasahasra nama (ribuan nama/pujian pada
Dewa Siwa). Saat itu ia hanya kekurangan satu bunga saja. Ia hampir
mengambil matanya untuk ia persembahkan, itulah mengapa ia disebut
bermata lotus dan meminta Dewa Wisnu untuk memohon sebuah anugerah.
Kemudian
Dewa Wisnu menceritakan tentang kejahatan para raksasa. Ia mengatakan
bahwa semua senjata yang ia miliki tidak mempan untuk mengalahkan para
raksasa itu. Mendengar cerita ini, Dewa Siwa memberikan sebuah senjata,
yaitu chakra yang ia sempurnakan sendiri. Sejak saat itu Dewa Wisnu
memperoleh gelar Chakradhari, Chakrapani, Chakri dan lain-lain. Dewa
Wisnu juga dikenal dengan nama Padmadhara, dewa yang membawa setangkai
lotus, karena ia hampir mempersembahkan matanya sebagai pengganti bunga
lotus yang tidak ada. Dewa Siwa memberkahi Dewa Wisnu dengan sebuah
astra dan Shastra.
Para
rsi dan orang suci meminta Suta Muni memberikan mereka saran atau
memberi mereka ‘tantra’ (sebuah cara) untuk memberikan mereka
pembebasan.
Kumpulan pemujaan (Sukshma puja)
Suta
mulai memberitahu mereka tentang sukshma pujan. Pemujaan yang paling
tinggi adalah Siwaratri vrata (pemujaan pada hari Siwaratri dengan
berpuasa dan memuja).
Seorang
yang bijaksana akan bangun pada pagi hari setelah mandi pagi dan
melakukan darshana lingga dengan merenung pada Dewa Siwa. Pada bagian
awal pemujaan pada malam itu mempersiapkan semua upacara, mengumpulkan
perhiasan dewa atau alat-alat pemujaan untuk melakukan pemujaan
dihadapan atau dibelakang lingga, mandi lagi, menggunakan pakaian yang
bersih dan rudraksha dan melanjutkan ritual pemujaan dengan semua
upacara. Bagi mereka yang tidak tahu prosedur upacara ini bisa
mengucapkan mantra, Mantra Siwa yang didapatkan dari seorang guru.
Setelah
mendengarkan delapan nama, dan prosedur pemujaan lain, para rsi dan
orang suci meminta Suta Muni untuk memberitahu mereka yang tidak
mengetahui atau mereka yang telah kehilangan harapan.
Keagungan Shivaratri dan cerita Guha
Suta Muni memberitahu para rsi dan orang suci:
Suatu
hari hiduplah seorang pemburu yang bernama Guha. Ketika ia tidak mampu
berburu binatang lagi. Perayaan Siwaratri datang. Guha sama sekali tidak
tahu apapun tentang perayaan ini.
Seperti
biasa, pada hari itu ia ia berangkat dengan panah dan busur. Hingga
malam, ia tidak bisa menangkap satu buruanpun. Malam telah tiba.
Berkeliling hutan, ia sampai ke sebuah kolam berharap ia akan menemukan
binatang. Ia naik kesebuah pohon dan duduk menunggu. Ia ingin menembak
seekor rusa yang kebetulan melintas disana, tetapi tempat air yang ia
bawa bergoyang-goyang. Ia ternyata menaiki pohon bilwa. Pohon ini
bergoyang hingga beberapa daunnya jatuh. Daun ini jatuh diatas lingga di
bawah pohon. Sang pemburu mendapatkan pahala (punia) dengan memuja Dewa
Siwa dengan abhisheka pada perempat pertama malam itu.
Sementara
itu rusa yang datang ke tempat itu melihat pemburu. Ia memberitahu
pemburu itu bahwa ia bisa menembakkanya setelah ia menitipkan
anak-anaknya pada suami dan istri suaminya yang lain. Pemburu ini duduk
menunggu rusa itu. Kemudian bergulirlah sang malam. Kemudian datanglah
rusa pertama dengan istri suaminya yang lain. Melihat rusa betina itu
pemburu segera meraih busur dan panahnya. Sekali lagi air tumpah dan
daunpun berguguran dan jatuh diatas lingga di bawah pohon. Pahala memuja
Dewa Siwa pada malam itu adalah karma yang baik bagi pemuja.
Kemudian
datanglah lagi rusa yang masih mengatakan bahwa ia akan menitipkan
anak-anaknya pada suaminya. Pemburu kembali menunggu sehingga tak terasa
ia telah melewati malam yang semakin larut.
Kemudian
malam terus berjalan. Pemburu berpikir bahwa binatang itu telah
membohongi dirinya. Kemudian rusa jantan mencari betinanya. Ketika
pemburu mencoba untuk memanahnya, air rumpah dan daun-daun berguguran
dari pohon jatuh ke lingga. Sehingga kembali ia mendapatkan pahala baik
karena memuja Dewa Siwa. Rusa betina melihat Guha, ia memohon padanya
agar ia tidak dibunuh. Ia berjanji akan kembali setelah menitipkan
anak-anaknya pada ibunya. Menunggu rusa betina itu datang, pemburu tetap
menunggu sehingga iapun tetap terjaga sepanjang malam.
Ketika rusa betina dan rusa jantang akan memenuhi janji mereka pada pemburu, anak rusa yang paling bungsu mengikuti mereka.
Ketika
telah begitu lama Guha menunggu akhirnya keluarga rusa muncul dan iapun
merasa bahagia. Dan lagi ia mengambil busur dan iapun tidak sadar bahwa
ia telah memuja Dewa Siwa.
Sebagai
pahala atas pemujaan yang ia lakukan, Guha menjadi orang yang
bijaksana. Ia menyesali dosa yang telah ia lakukan. Ia kemudian
melepaskan rusa-rusa itu.
Dewa
Siwa memperlihatkan diri dihadapan Guha dan memberinya nama Guha, nama
yang kita pakai menyebutnya dalam cerita ini. Ia meminta Guha untuk
memerintah kerajaan Nishada dan menjadikan Shringaberipuram sebagai ibu
kotanya. Ia memberinya anugerah bahwa ia akan bertemu dengan Shri Rama
dan memberkahi keluarga rusa dengan memberikan mereka tempat di
Siwaloka. Pada bukit yang disebut dengan Adbhutachala, Dewa Siwa tinggal
disana sebagai Vyadheshwara.
Karena
siwaratri memiliki kekuatan yang amat besar seperti dalam cerita, semua
orang harus melakukan pemujaan pada hari Siwaratri.
Dengan berakhirnya cerita ini, maka Kotirudra Samhita juga telah selesai. Suta Muni kemudian melakukan semadi lagi.
Umana Samhita
Samhita kelima
Kata para pemuja:
Ibu
Mulia! Tidak ada pendosa yang lebih buruk dari diriku. Tidak ada yang
lebih agung dari dirimu dalam hal menyelamatkan pendosa. Berikanlah aku
pentuk.
Dan kemudian:
Aku
mencari Siwatatwa (sifat menjadi mulia seperti Dewa Siwa). Ia yang
memiliki Rajoguna, dalma menciptakan segalanya, ia yang terus menjaga
segalanya dalam kebaikan, yang menghancurkan segalanya yang memiliki
Tamo Guna, yang memiliki Tirodhana dan Anugraha, ia yang dipenuhi dengan
kebaikan dan kemurnian, ia yang dipenuhi dengan sifat-sifat Satwika, Ia
yang menciptakan maya (ilusi, keterikatan) namun tidak berada dalam
kendalinya, Ia yang bukan maya yang lengkap sempurna dalam kemuliaan-
Siwatatwa itulah yang aku puja.
Krishna bertemu dengan Upamanyu
Kata Suta Muni:
Pada
jaman dahulu, Sri Krishna menginginkan seorang putra, ia pergi ke
Kailasha dengan niat ingin melakukan tapasya. Ia memuja seorang rsi yang
bernama Upamanyu. Ia mencari penerangan tentang keagungan (mahima) Dewa
Siwa.
Upamanyu
mulai memberikan ia pelajaran. Begitu agung penampakan Dewa Siwa, yang
memberikan berkah dan kebahagiaan, berdiri pada satu kaki dengan wajah
yang memiliki taring dan penuh api, memiliki banyak tangan dan kaki,
banyak mata dan cahaya terang. Tidak ada yang bisa dibandingkan dengan
dirinya. Trisulanya diberinama Wijaya dan ia adalah pemiliki kapak yang
agung.
Mendengar
ini semua Krishna ingin mendapatkan Darshan dari Dewa Siwa. Upamanyu
memberinya mantra panchakshari dan memintanya untuk membacanya dan
mengulanginya dalam hati. Dengan melakukan semua ini, setelah bulan yang
keenam belas kata rsi, keinginan Krishna akan terwujud.
Dewa Siwa bermanifestasi dan memberikan anugerah pada Shri
Krishna
Dewa
Siwa bermanifestasi bersama dengan pasangannya Dewi Uma. Mereka sangat
berkesan dengan pemujaan yang dilakukan oleh Shri Krishna. Ibu Mulia
memohon pada Shri Krishna untuk meminta beberapa anugerah.
Shri Krishna meminta beberapa anugerah yang disebutkan dibawah ini.
i) Semoga pikiranku tidak pernah berpaling darimu.
ii) Semoga aku mendapatkan berkah dengan kemunculanmu setiap saat padaku
iii) Semoga nama baikku tidak pernah mendapat penghinaan.
iv) Semoga
sepuluh putra terlahir dariku dengan sifat yang pemberani, bijaksana,
panjang-umur, sehat, sejahtera dan bertingkah-laku yang baik dengan
sifat-sifat yang mulia.
v) Semoga tidak ada yang mengalahkanku—semoga aku bisa mengalahkan semua musuhku.
vi) Semoga penghinaan dan cacian tidak pernah mendekatiku
vii) Semoga aku selalu dipuja oleh orang yang mengasihi, memuja dan setia padamu.
Berkahilah aku dengan semua yang telah disebutkan.
Semua
doanya dikabulkan dan diberitahu bahwa ia akan diberkahi dengan seorang
putra yang bernama Shambhu, ia yang sangat kuat. Semuanya yang ia
mohonkan akan dikabulkan.
Tidak cukup puas dengan semua ini, Ibu Mulia meminta Krishna untuk meminta anugerah lagi.
Kemudian Shri Krishna menjawab
Ibu Mulia- Semoga aku selalu berjalan diatas jalan Dharma, selalu melakukan tapasya dan menghormati Brahmana.
Semoga aku menjadi kesayangan bagi semua Brahmana.
Semoga kekuatanku selalu berguna.
Semoga segala sesuatu menjadi menyenangkan dimanapun aku berada.
Semoga semua sejak saat ini aku terlahir pada keluarga yang mulia.
Semoga Aku selalu bisa melakukan upacara api.
Semoga banyak orang yang datang dan makan di rumahku
Semoga aku memberikan kebahagiaan pada banyak istriku
Setelah
mengabulkan permohonan Shri Krishna, Dewa Siwa dan Dewi Parwati
menghilang. Krishna menyampaikan kabar baik ini pada Upamanyu dan
meminta ijin padanya untuk pergi.
Banyak
sekali pemuja yang telah diberkahi seperti ini oleh Ibu Mulia dan Dewa
Siwa. Rsi Yajnyavalkya adalah pemuja Siwa yang paling terkemuka.
Demikian juga Rsi Vyasa. Hanya karena berkahnyalah Anasuya melakukan
tapasya diatas lesung kayu yang tinggi dan mendapatkan tiga putra:
Chandra, Datta dan Durwasa. Seorang wanita prostitusi yang bernama
Pingala dan seorang brahmana diberikan anugerah oleh Dewa Siwa pada saat
ia berinkarnasi sebagai Rishabha. Pengabdian dan pemujaan pada Dewa
Siwa membuat Brahma, Sang pencipta dan juga Chirajivi makhluk yang
abadi. Parashurama menjadi pemenang didunia dan Devala yang dikutuk oleh
Devendra, mendapatkan pembebasan. Pemujaan pada Dewa Siwa dan
berkah-Nya bisa menyelamatkan Gritsamana (putra Chakshusa manu) dari
kutukan Wasistha. Berkah Dewa Siwalah yang memberkahi Gargyamuni untuk
mendapatkan pengetahuan dama tiga waktu: sekarang, dimasa lalu dan masa
depan (Trikala), Parashara menjadi rsi yang agung dan menjadi termasyur
hanya karena berkah (anugerah) Dewa Siwa. Dewa Siwalah yang
menyelamatkan seorang rsi yang bernama Mandavya yang terkena sebuah
tongkat sebagai hukuman.
Setelah
mengatakan itu Suta Muni menyarankan agar para orang suci dan rsi untuk
selalu menjaga pikiran, hati dan inteleknya untuk selalu tertuju pada
Dewa Siwa yang akan menghasilkan semua pahala yang diinginkan.
Dosa dan tingkatan Dosa
Sanaka dan Rsi lainnya bertanya pada Suta Muni tentang berbagai dosa dan tingkatan dosa.
Suta Muni menjawab:
Seseorang
yang menginginkan suami orang, harta benda orang lain, uang orang lain
dan mereka yang ingin mencelakai orang—adalah pendosa psikologi atau
mental. Membicarakan orang lain dan menggosip adalah dosa karena lidah.
Memakan makanan yang tidak baik (tidak suci, hal yang terlarang), yang
membuat orang lain sakit, melakukan perbuatan tidak baik, mencuri adalah
dosa tubuh. Ini adalah dosa yang tertinggu (maha papa). Benci kepada
Tuhan adalah dosa yang terdalam. Memberikan sedekah pada mereka yang
tidak berhak mendapatkannya, yang tidak baik, membaca buku yang
dilarang—tinggal dirumah yang tidak disucikan oleh ‘vaastu’ (cara
membangun yang benar) dan pemujaan yang tepat – tidak pernah berderma
adalah dosa. Membunuh Brahmana, meminum minuman keras, mencuri emas,
menggoda istri guru- berteman dengan orang jahat, membuat orang menjadi
pendosa besar (maha papi). Menghina orang yang baik, mencuri uang para
dewa (patung di kuil), menghasilkan uang dengan cara yang tidak benar,
tidak melakukan upacara, membunuh orang yang tidak berbahaya, binatang
yang tidak buas, juga adalah dosa. Demikian juga melukai atau menganiaya
Brahmana, memenuhi keinginan indra, perzinahan, pelecehan seksual pada wanita adalah dosa yang lainnya.
Seorang
kakak yang membiarkan adiknya menikah terlebih dahulu akan disebut
sebagai parivitti. Sebuah yajna dengan adanya kakak yang seperti itu
adalah dosa. Menikahkan perawan pada orang yang seperti itu adalah dosa.
Meninggalkan dharma, kewajiban, mengikuti dharma orang lain, mencoba
untuk belajar obat-obatan tanpa pengetahuan yang cukup, melakukan ilmu
hitam, menghancurkan sebuah taman, menghina tamu, kikir, menganiaya
orang yang lebih lemah semuanya adalah dosa. Membantu, menolong dan
melakukan kebaikan adalah punia atau pahala. Diantara dosa itu, yang
paling berat adalah dosa perzinahan (perselingkuhan). Bagi mereka yang
diketahui melakukannya akan dihukum oleh raja, tetapi bagi mereka yang
tidak ketahuan maka akan dihukum oleh Dewa Yama sendiri.
Pahala terhadap sepuluh jenis kebaikan
Semua
perbuatan akan mengarah pada Punia (pahala) dan Papa (dosa) dan adalah
sesuatu hal yang mutlak bagi manusia untuk menuai apa yang ia tanam.
Bagi mereka yang ingin jauh dari Neraka (tempat penderitaan bagi mereka
yang berdosa) harus melakukan perbuatan yang baik dan menjauh dari semua
jenis kejahatan. Punia yang dihasilkan dari pujan
(pemujaan), vrata (segala jenis puasa), japa (mengulangi nama tuhan),
tapa (melakukan perenungan), Homa (upacara api) dan dana (menyumbang).
Yang tertinggi adalah memberikan sumbangan. Bagi mereka yang berdosa
sekalipun, kedermawanan akan menghasilkan punya. Bagi mereka yang sudah
menghuni neraka sekalipun, punia masih bisa membantu.
Bagi
mereka yang ingin mendapatkan punia harus melakukan perbuatan yang
menghasilkan pahala. Seseorang itu harus memberikan sumbangan dan juga
melakukan perbuatan baik. Adalah dosa bagi mereka yang tidak memberikan
sumbangan. Sepuluh kedermawanan yang baik adalah – memberikan emas, biji
wijen, gajah, perawan, pembantu, kuda, kereta, permata (batu berharga),
sapi hitam dan tanah. Segala sesuatu yang disayangi oleh seseorang jika
diberikan pada orang lain adalah sumbangan, yang akan menghasilkan
pahala. Tetapi sumbangan harus diberikan pada mereka yang membutuhkan,
orang yang pantas mendapatkannya. Ini bisa dilakukan kapanpun juga.
Bagi
mereka yang memberikan emas akan menghancurkan dosa dimasa lalu dan
masa sekarang. Bagi mereka yang memberikan sapi maka keinginan mereka
akan terkabul. Bagi mereka yang memberikan tanah akan terlahir kembali
sebagai manusia. Menghiasi seekor sapi dengan biji wijen dan seekor
ternak dengan emas dan memberikan binatang itu untuk disumbangkan akan
menjadikan seseorang itu penghuni swarga hingga kepemimpinan Dewa Indra
yang keempat belas kali. Bagi mereka yang memberikan til (biji wijen)
sebagai sumbangan akan membuat dosa mereka sirna. Ini akan menghapus
dosa yang disengaja maupun yang tidak disengaja baik dimasa anak-anak
maupun masa remaja. Dalam hal ini, sumbangan yang diberikan pada saat
tertentu akan lebih memberikan hasil.
Ketika
musim panas tiba, alas kaki harus diberikan pada orang yang lebih
memerlukan daripada pemberi. Bagi mereka yang memberikan payung akan
mendapatkan akan mendapatkan jalan hidup yang lebih teduh. Semua punia
yang diberikan dengan tulus akan menghasilkan pahala. Bagi mereka yang
terlahir sebagai manusia dan di bumi – mereka yang lahir sebagai mereka
yang mengetahui hal ini harus memeberikan sumbangan jika mereka
menginginkan kenyamanan pada kehidupan mereka berikutnya.
Mahima (keagungan) Anandana (memberikan makanan sebagai sumbangan)
Anna
(makanan, secara umum) menjaga prana dan menjaga semuanya agar tetap
hidup). Jadi bagi mereka yang memberikan makanan sama dengan penjaga
kehidupan itu sendiri. Tidak ada yang lebih penting daripada prana
(kekuatan hidup). Annadana menghasilkan pahala dari semua dana yang
terbaik. Karena itulah, ini harus dilakukan kapan saja. Tetapi harus
dilakukan pada mereka yang berhak.
Tetapi adalah baik apabila memberikan makanan bagi mereka yang sedang sekarat apakah ia orang yang baik atau pendosa.
Bagi
mereka yang memberikan makanan dengan tulus akan tinggal lama di swarga
di Nandana dikelilingi oleh pohon Parijata dan di bawah Kalpavriksha
(pohon pengabul keinginan).
Memberikan air sebagai amal atau sumbangan (Jala dana)
Setelan
annadana ada jaladana – memberikan air sebagai amal. Ketika makanan
bisa diberikan demikian juga dengan makanan. Itulah mengapa Jala-dana
sangat penting. Bagi mereka yang memberikan minuman bagi mereka yang
sangat haus, memberikan minuman pada saat panas membekar tenggorokan
adalah dana (amal). Membuat sumur atau membuat tempat penampungan air
adalah pahala yang baik. Dosa karena kelahiran seseorang akan hancur
pada saat orang membuat sumur. Bagi mereka yang membuat lubang untuk
sumur akan mendapatkan punia (pahala) yang sama dengan Aswamedha yajna.
Walaupun pengelenggaraan yajna mencakup banyak sekali hal namun termasuk
annadana dan jala dana di dalamnya.
Setelah
menggambarkan sepuluh dana yang agung dan annadana Serta jaladana, Suta
Muni memberitahu mereka tentang ketidakmurnian tubuh. Tetapi sebelum
melakukan ini ia mengingat Ibu Mulia.
Ketidakmurnian tubuh
Dalam
tubuh, anna dan jala sangatlah berbeda. Dari udara yang dihembuskan
oleh darah, api rasa lapar membakar air. Inilah yang memasak anna.
Makanan yang telah dimasak menjadi ‘kekuatan substansial) dan sebagian
lagi menjadi excreta (kotoran).
Kotoran ini dibuang dari tubuh melalui beberapa organ – Telinga, Mata, Gigi, Organ kemaluan, Anus dan kuku.
Karena
anna (makanan), sperma dibentuk dan ini mengacu pada pembentukan tubuh.
Sperma kemudian masuk ke vagina dan pada saat penerimaan itu semuanya
haruslah bersih. Sperma ini kemudian menyatu dengan cairan dari vagina
(yang disebut sonita) yang menyebabkan terjadinya prokreasi.
Kualitas tubuh
Ketidamurnian
adalah kualitas dan sifat tubuh. Betapa kerasnya seseorang mencoba,
ketidakmurnian tidak dapat secara total dibersihkan.
Walaupun
seseorang bisa mencium bau tubuh dan mengetahui batasan tubuh, tidak
seorangpun yang bisa bebas dari bau ini; ini adalah bagian dari manusia.
Untuk membebaskan seseorang dari ketidakmurnian, yang utama seseorang
itu haruslah memiliki kesucian pikiran. Demikian juga dengan pentingnya
kebersihan tubuh luar maupun dalam. Tanpa kemurnian dari dalam diri,
kebersihan tubuh luar tidak ada artinya. Untuk itulah semua manusia
berusaha untuk memperbaiki diri untuk mendapatkan kesempurnaan diri.
Umur
Setiap
umur memiliki karakter atau kejadian tersendiri. Pada masa anak-anak
dan masa balita karena indera belum berkembang, manusia merasakan sakit.
Pada masa anak-anak akan tumbuh gigi- anak harus melewati banyak fase
penyakit. Pada masa anak-anak dan masa sekolah, terjadi gangguan
belajar, mendapatkan pengetahuan dan mendapatkan berbagai jenis
pengalaman. Pada masa muda banyak sekali terjadi pengejeran untuk
kepuasan indera dan masa mengumpulkan uang. Pada masa tua, manusia
menjadi seperti tebu yang telah diperas seperti ampas. Usia tua menjadi
siksaan yang amat mengganggu.
Kemudian
ada tahap untuk kita pergi. Tahap dalam hidup yaitu: tubuh terbentuk,
terlahir sebagai bayi, kemudian memasuki masa tua dan akhirnya mati.
Selain tentunya adanya penyakit juga, juga terdapat tanda lain apabila
kita mendekati waktu kematian. Yang pertama adalah tidak berfungsinya
indra, kemudian menurunnnya pendengaran, penglihatan, organ wicara da
ketidakmampuan untuk melihat cahaya dan penyakit yang lainnya.
Tetapi ada cara untuk menghindari kematian. Yaitu dengan memuja shabdha brahma. Shabdha brahma adalah Dewa Siwa sendiri.
Kemudian Suta melanjutkan menceritakan tentang Manu (nenek moyang kita) dan Manvantara (waktu hidup manu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar